b08wku

Upload: benjamin-iannone

Post on 29-Oct-2015

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Kajian Aktivitas Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit

    (Curcuma longa Linn.) Dalam Proses Persembuhan Luka Pada Mencit

    (Mus musculus Albinus.)

    WENI KURNIATI

    DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI

    FAKULTAS KEDOKERAN HEWAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2008

  • Judul Skripsi : Kajian Aktivitas Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit (Curcuma

    longa Linn.) Dalam Proses Persembuhan Luka Pada Mencit

    (Mus musculus Albinus.)

    Nama : Weni Kurniati

    NRP : B04104131

    Disetujui

    Dr. drh. Wiwin Winarsih, M.Si

    Pembimbing I

    Dr. Dra. Ietje Wientarsih, Apt. M.Sc

    Pembimbing II

    Diketahui

    Wakil Dekan FKH IPB

    Dr. Nastiti Kusumorini

    Tanggal lulus:

  • ABSTRAK

    WENI KURNIATI. Kajian Aktivitas Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit (Curcuma

    longa Linn.) Dalam Proses Persembuhan Luka Pada Mencit (Mus musculus

    Albinus). Dibimbing oleh WIWIN WINARSIH dan IETJE WIENTARSIH.

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui khasiat sediaan salep ekstrak etanol

    kunyit (Curcuma longa Linn.) sebagai obat penyembuhan luka, serta zat-zat aktif

    yang terkandung dalam kunyit yang dapat dilarutkan oleh pelarut etanol.

    Beberapa uji yang dilakukan adalah; penapisan fitokimia, uji patologi anatomi,

    dan histopatologi. Ekstraksi kunyit dilakukan dengan metode maserasi hingga

    dihasilkan sediaan kental dan selanjutnya dibuat menjadi sediaan salep. Sebagai

    hewan percobaan mencit (Mus musculus Albinus.) jantan sebanyak 45 ekor, yang

    berumur 8 minggu dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok kontrol

    negatif tanpa perlakuan, kelompok kontrol positif yang diberikan sediaan

    mengandung neomycin sulfat 5%, dan pemberian sediaan salep ekatrak etanol

    kunyit. Setelah itu mencit dilukai di bagian punggung sepanjang 1.5 cm. Sediaan

    ekstrak semi padat etanol kunyit kemudian diuji dengan menggunakan metode

    fitokimia, diketahui bahwa senyawa yang teridentifikasi adalah kelompok

    alkaloid dan kuinon. Setelah itu pengamatan Patologi anatomis dilakukan pada

    hari ke 2, 4, 7, 14, 21. Parameter yang diamati secara patologi anatomi adalah

    warna luka, folikel rambut, penyempitan luka, oedema, dan keberadan keropeng.

    Peubah yang diamati secara histopatologis adalah jumlah polimorfonuklear,

    neovaskularisasi, presentasi reepitelisasi, dan luasan kolagen. Data yang

    didapatkan kemudian diuji dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan Uji Wilayah

    Berganda Duncan. Dari pengamatan histopatologi salep ekstrak etanol kunyit dan

    kontrol positif dapat mempercepat prases pembentukan neovaskularisasi.

    Sementara untuk jumlah polimorfonuklear, persentasi reepitelisasi dan luasan

    kolagen, ketiga kelompok memberikan hasil yang tidak berbeda.

  • Kajian Aktivitas Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit

    (Curcuma longa Linn.) Dalam Proses Persembuhan Luka Pada Mencit

    (Mus musculus Albinus.)

    WENI KURNIATI

    Skripsi

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    Sarjana Kedokteran Hewan

    Pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

    DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI

    FAKULTAS KEDOKERAN HEWAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2008

  • PRAKATA

    Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala

    karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan tadak lupa salawat dan

    salam senantiasa tercurah kepada nabi Muhammad SAW. Terima kasih penulis

    ucapkan kepada:

    1. Bapak dan Mamah tercinta untuk doa, dukungan, dan kepercayaannya.

    2. Ibu Dr. drh. Wiwin Winarsih, M.Si. dan Ibu Dr. Dra. Ietje Wientarsih,

    Apt. M.Sc. selaku pembimbing skripsi yang telah dengan penuh kesabaran

    membimbing penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.

    3. drh. Agus Setiono, Ms. PhD. selaku dosen penguji.

    4. Bapak drh. Isdhoni, M. Biomed. selaku pembimbing akademik, yang telah

    membimbing penulis selama menjalani masa kuliah di FKH.

    5. Bapak Bayu, Ibu Lina, dan Ibu Rini atas bantuannya selama penulis

    melakukan penelitian da laboratorium farmasi.

    6. Pak Soleh, Pak Kasnadi, Pak Endang, yang telah membantu selama

    bekerja di laboratorium patologi.

    7. Kakak-kakak tercinta (Teh Entin, Teh Lilis, Ka Ichsan, Ka Ibnu) dan

    pangeran-pangeran kecilku (Ilham, Azriel, Ivander) yang selalu menjadi

    inspirasi.

    8. Ratih, Rina, Dika, Agus, Tia atas kerjasamanya selama penelitian.

    9. Penghuni Pondok Iswara (Upik, Nora, Tika, Nona, Eni, Lala, Ismi) atas

    pengertian dan persaudaraannya.

    10. Teman dan sahabat Mba Rina, Ami, Ria, Dc, Siti, Srie, Akil, Ratna, Dilla,

    Rina F, Winda M, penghuni HAMAS, serta penghuni pondok Saka.

    11. Riva, dan Arwin yang senantiasa mengajarkan indahnya kebersamaan.

    12. Himpro Ruminansia dan DKM An-Nahl yang memberikan begitu banyak

    pengalaman dan pengajaran.

    13. Kakak-kakak 39, 40, Adik-adik 42 dan 43, dan tentu saja para pejuang

    Asteroidea 41 yang selalu menjadi terbaik dan teristimewa.

    14. Semua pihak yang telah memberikan bantuan yang tidak mungkin

  • dituliskan satu persatu.

    Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh

    karena itu kritik dan saran yang membangun amat penulis harapkan. Semoga

    karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

    Bogor, September 2008

    Weni Kurniati

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan di Bogor 5 Mei 1986 dari ayah Katidjo dan Ibu

    Marah. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara.

    Penulis menempuh pendidikan di SD Empang 2 (1992-1998), SLTPN 1

    Bogor (1998-2001), dan SMUN 1 Bogor (2001-2004). Pada tahun yang sama

    penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

    Bogor melalui jalur USMI.

    Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi pengurus Himpro

    Ruminansia (2005/2007) dan DKM An-Nahl (2004/2008). Selain itu penulis juga

    pernah menjadi asisten Pendidikan Agama Islam (PAI) tahun 2007 dan

    Pengelolaan Kesehatan Hewan dan Lingkungan (PKHL) pada tahun 2008.

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    DAFTAR TABEL .................................................................................................x

    DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi

    DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xii

    PENDAHULUAN ................................................................................................1

    TINJAUAN PUSTAKA

    Kunyit Sejarah Tanaman Kunyit.....................................................................4 Taksonomi...........................................................................................4 Manfaat ...............................................................................................6

    Mencit Mencit Sebagai Hewan Percobaan ......................................................6

    Kulit Struktur dan Fungsi kulit ....................................................................8 Histologi Kulit ....................................................................................8

    Fitokimia ....................................................................................................12 Kurkuminoid ..............................................................................................13 Etanol .........................................................................................................13 Ekstraksi .....................................................................................................14 Salep ...........................................................................................................15 Persembuhan Luka .....................................................................................16 Faktor-Faktor yang mempengaruhi persembuhan Luka ............................20

    BAHAN DAN METODE

    Tempat dan Waktu .....................................................................................22 Bahan dan Alat ...........................................................................................22

    Hewan Percobaan ............................................................................ 22 Bahan ................................................................................................22 Alat ....................................................................................................23

    Tahapan Penelitian Ekstraksi Rimpang Kunyit ................................................................23 Penapisan Fitokimia ..........................................................................24 Pembuatan Salep Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit ..........................26 Mencit Untuk Perlakuan ...................................................................26 Aplikasi Obat ....................................................................................26 Pengamatan Patologi Anatomi ..........................................................26 Pengambilan Sampel Kulit ...............................................................27 Fiksasi sediaan kulit dan pembuatan preparat histopatologi .............27 Pembuatan Sediaan Haematoxilin-Eosin ..........................................28 Pembuatan Sediaan Masson Trichrome ............................................28

  • Pengamatan Histopatologi ................................................................29 Analisis Data .....................................................................................31

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Penapisan Fitokimia ...................................................................................32 Patologi Anatomi .......................................................................................33 Hasil Pengamatan Histopatologi

    Polimorfonuklear ..............................................................................36 Neovaskular ......................................................................................39 Reepitelisasi ......................................................................................41 Luasan Jaringan Ikat Kolagen ...........................................................44

    KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................................48

    DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................49

    LAMPIRAN ........................................................................................................52

  • DAFTAR TABEL

    Halaman

    1. Hasil penapisan fitokimia ekstraksi

    rimpang kunyit dengan pelarut etanol ....................................................... 32

    2. Perbandingan patologi anatomi

    persembuhan luka ketiga perlakuan ............................................................ 33

    3. Rataan jumlah sel polimorfonuklear

    pada pemeriksaan mikroskopis ................................................................... 36

    4. Rataan jumlah neovaskularisasi

    pada pemeriksaan mikroskopis.. ................................................................. 39

    5. Rataan persentase reepitelisasi

    pada pemeriksaan mikroskopis .................................................................. 42

    6. Rataan persentase jaringan ikat kolagen

    pada pemeriksaan mikroskopis.. ................................................................. 45

  • DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    1. Tanaman kunyit ...........................................................................................4

    2. Rimpang Kunyit ...........................................................................................6

    3. Mencit laboratorium.....................................................................................6

    4. Struktur skematis kulit ...............................................................................11

    5. Struktur kimia kurkumin ............................................................................13

    6. Proses ekstraksi rimpang kunyit dengan pelarut etanol .............................23

    7. Metode penentuan luasan jaringan ikat kolagen pada pengamatan

    histopatologis .............................................................................................30

    8. Gambaran patologi anatomis luka hari ke-4 ketiga perlakuan ....................35

    9. Sel radang netrofil yang mengilfiltrasi jaringan luka dengan

    perlakuan salep ekstrak etanol kunyit pada hari ke-7. ...............................37

    10. Perbandingan rataan jumlah sel polimorfonuklear

    pada proses persembuhan luka...................................................................38

    11. Neovaskularisasi yang yang terbentuk pada jaringan luka

    dengan perlakuan salep ekstrak etanol kunyit pada hari ke-14...................40

    12. Perbandingan rataan jumlah neovaskularisasi

    pada proses persembuhan luka.................................................................41

    13. Reepitelisasi persembuhan luka dengan perlakuan

    salep ekstrak etanol pada hari ke-14...........................................................43

    14. Perbandingan presentase reepitelisasi pada

    proses persembuhan luka ............................................................................44

    15. Jaringan ikat berwarna biru pada perlakuan

    salep ekstrak etanol kunyit pada hari ke-21 ................................................46

    16. Perbandingan persentase luasan jaringan ikat kolagen

    pada proses persembuhan luka ...............................................................47

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Halaman

    1.Hasil perhitungan statistik polimorfonuklear ...................................................52

    2.Hasil perhitungan statistik neovaskularisasi ....................................................55

    3.Hasil perhitungan statistik persentase reepitelisasi .........................................58

    4.Hasil perhitungan statistik persentase luasan kolagen ...................................61

  • PENDAHULUAN

    Latar Belakang

    Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki ekosistem berupa flora

    dan fauna yang tergolong cukup beragam di dunia. Kekayaan alam yang cukup

    berpotensi di Indonesia adalah adanya berbagai spesies flora, dari 40 ribu jenis

    flora yang tumbuh di dunia, 30 ribu diantaranya tumbuh di Indonesia. Sekitar

    26% telah dibudidayakan, sedangkan sisanya masih liar di hutan-hutan. Lebih dari

    940 jenis tanaman yang dibudidayakan digunakan sebagai obat tradisional, salah

    satunya adalah kunyit (Syukur dan Hernani 2002).

    Kunyit sebagai tanaman yang digunakan untuk pengobatan, telah

    digunakan secara tradisional oleh nenek moyang kita sejak lama. Diantara

    beberapa manfaat rimpang kunyit yang dapat digunakan adalah sebagai

    antikoagulan, menurunkan tekanan darah, obat malaria, obat cacing, bakterisida,

    obat sakit perut, memperbanyak ASI, fungisida, mengobati keseleo, memar dan

    rematik, obat asma, diabetes melitus, usus buntu, amandel, sariawan, tambah

    darah, menghilangkan noda di wajah, penurun panas dan mengobati luka (Tilaar

    2002).

    Seiring dengan berjalannya waktu dan arus industrialisasi yang makin

    hebat, kunyit kini banyak diolah sebagai obat alternatif, namun beberapa manfaat

    dari kunyit belum terkelola dengan maksimal diantaranya adalah kunyit sebagai

    obat penyembuh luka. Obat-obat kimia untuk persembuhan luka hingga kini

    masih menjadi pilihan utama di pasaran karena efek penyembuhan yang bisa

    dirasakan langsung, serta mudah diperoleh. Namun ketakutan masyarakat akan

    efek samping obat kimia dan harganya yang semakin tinggi, membuat masyarakat

    beralih kepada pengobatan alternatif, serta perawatan kesehatan dan kecantikan

    secara tradisional. Hal ini didukung juga dengan tingginya nilai manfaat dengan

    efek samping yang relatif kecil, serta harga yang terjangkau bila dibandingkan

    dengan obat-obatan modern.

    Perkembangan ini pulalah yang akhirnya mendorong para ahli untuk terus

    menggali potensi tanaman-tanaman obat dengan cara mencari zat aktif dari

  • tanaman obat tersebut yang dapat bermanfaat. Teknik yang dikenal untuk

    mengetahui zat aktif dalam tumbuhan dikenal dengan nama penapisan fitokimia.

    Ketersediaan kunyit yang melimpah di Indonesia tidak didukung dengan

    pengembangan obat luka herbal secara komersil, dengan berkembangnya metode

    di bidang pengolahan obat tradisional diharapkan dapat mengoptimalkan

    pemanfaatan kunyit sebagai penyembuh luka sehingga dapat menjadi produk siap

    pakai dalam upaya peningkatan taraf kesehatan masyarakat.

    Tujuan

    1. Melakukan preparasi sediaan ekstrak etanol rimpang kunyit dalam bentuk

    salep dan membandingkannya dengan sediaan komersil yang beredar di

    pasaran.

    2. Mengetahui khasiat sediaan salep ekstrak etanol rimpang kunyit sebagai

    obat penyembuhan luka.

    3. Mengetahui senyawa yang terkandung dalam rimpang kunyit yang dapat

    ditarik oleh pelarut etanol, sehingga dapat memberikan manfaat secara

    maksimal dalam proses persembuhan luka.

    Permasalahan Penelitian

    Penelitian mengenai aktivitas kunyit secara in vivo sebagai obat

    penyembuhan luka masih sedikit, dan belum ada penelitian mengenai aktivitas

    sediaan salep kunyit dalam persembuhan luka pada hewan di Indonesia. Oleh

    karena itu masih perlu dicari pelarut terbaik yang dapat menarik zat-zat aktif dari

    kunyit yang dapat memberikan efek maksimal sebagai obat penyembuhan luka.

    Dengan penelitian ini diharapkan dapat diketahui perbandingan khasiat dari

    sediaan salep kunyit dengan pelarut etanol dengan obat persembuhan luka

    komersil.

    Manfaat

    Penelitian kunyit dalam bentuk salep belum pernah dilakukan sebelumnya.

    Sehingga untuk diperoleh data awal perlu diketahui terlebih dahulu pelarut tepat

  • yang dapat menarik zat aktif dari kunyit agar kunyit sebagai obat penyembuh luka

    dapat memberikan efek maksimal. Penelitian kali ini menggunakan pelarut etanol

    yang kemudian akan diolah menjadi bentuk sediaan salep dan diaplikasikan

    secara topikal. Diharapkan dengan demikian sediaan salep dapat lebih mudah

    diaplikasikan, praktis, tahan lama, serta lebih efektif digunakan sebagai obat

    persembuhan luka.

  • TINJAUAN PUSTAKA

    Kunyit

    Sejarah Tanaman Kunyit

    Kunyit telah digunakan oleh bangsa Assyiria sebagai obat herbal sejak

    600 tahun sebelum masehi. Sejak beratus-ratus tahun kunyit juga digunakan oleh

    orang India sebagai pewarna dan pemberi rasa pada makanan. Pada tahun 1971

    kunyit pertama kali dilaporkan sebagai anti peradangan baik bagi kasus akut

    maupun kronik (Miils 2000).

    Taksonomi

    Kunyit (Gambar 1) merupakan tanaman herba, dengan tinggi mencapai

    100 cm. Batang semu, tegak, bulat, membentuk rimpang, berwarna hijau

    kekuningan. Daun tunggal, lanset memanjang, helai daun berjumlah 3-8 dan

    pangkal runcing, tepi rata, panjang 20-40 cm, lebar 8-12.5 cm, pertulangan

    menyirip , berwarna hijau pucat. Bunga tumbuh dari ujung batang semu, panjang

    10-15 cm, bunga berwarna kuning atau kuning pucat, mekar secara bersamaan.

    Rimpang induk bercabang, rimpang cabang lurus atau sedikit melengkung,

    keseluruhan rimpang membentuk rumpun yang rapat, berwarna jingga, tunas

    muda berwarna putih. Akar serabut berwarna cokelat muda (Syukur dan Hernani

    2002).

    Gambar 1: Tanaman kunyit

    (Sumber: Dokumentasi Pribadi. 2008)

  • Klasifikasi kunyit menurut Linnaeus dalam Winarto (2003),

    selengkapnya adalah sebagai berikut:

    Kingdom : Palantae

    Divisi : Spermatophita

    Subdivisi : Angiospermae

    Kelas : Monocotyledonae

    Subkelas : Zingiberales

    Famili : Zingibereaceae

    Genus : Curcuma

    Spesies : Curcuma Longa Linn.

    Kunyit (Gambar 1) dapat tumbuh di daerah tropis dan sub tropis mulai

    dari ketinggian 240-2000 meter di atas permukaan laut (dpl). Daerah dengan

    curah hujan 2000-4000 mm/tahun merupakan tempat tumbuh yang baik bagi

    kunyit. Kunyit dapat pula tumbuh di daerah dengan curah hujan kurang dari 1000

    mm/tahun, tetapi diperlukan pengairan yang cukup dan tertata dengan baik

    (Syukur dan Hernani 2002). Kunyit dapat tumbuh dan biasa di tanam di Asia

    Selatan, Cina, Taiwan, Indonesia, dan Filipina (Tilaar 2002).

    Kunyit dapat menghasilkan rimpang yang cukup besar dan baik (Gambar

    2), saat di tanam didaerah yang terbuka sedikit naungan (Tilaar 2002). Jenis tanah

    yang cocok bagi tanaman kunyit adalah tanah ringan dengan bahan organik yang

    tinggi, seperti tanah lempung berpasir yang terbebas dari genangan air. Tanaman

    ini dapat hidup di daerah yang memiliki intensitas cahaya matahari penuh atau di

    daerah yang ternaungi. Rimpang kunyit dapat pula ditanami tumpang sari

    bersama dengan padi gogo, jagung, singkong, kacang merah atau palawija lainnya

    ( Syukur dan Hernani 2002).

    Rimpang kunyit (Gambar 2) mengandung minyak atsiri 3-5%

    (Departemen Kesehatan 1989). Minyak atsiri tersebut terdiri dari senyawa antara

    lain, fellandrene, sabinene, sineol, borneol, zingibrene, curcumene, turmeron,

    kamfene, kamfor, seskuiterpene, asam kafrilat, asam methoksisinamat, tolilmetil

    karbinol. Selain itu rimpang kunyit juga mengandung alkohol kurkumin (Syukur

    dan Hernani 2002).

  • Gambar 2: Rimpang Kunyit

    (Sumber: Dokumentasi Pribadi. 2008) Manfaat

    Rimpang kunyit (Gambar 2) dapat digunakan sebagai antikoagulan,

    menurunkan tekanan darah, obat malaria, obat cacing, bakterisida, obat sakit

    perut, memperbanyak ASI, fungisida, stimulan, mengobati keseleo, memar dan

    rematik, obat asma, diabetes melitus, usus buntu, amandel, sariawan, tambah

    darah, menghilangkan noda diwajah, penurun panas, melindungi jantung, radang

    hidung, menghilangkan rasa gatal, menyembuhkan kejang, mengobati luka dan

    obat penyakit hati. Selain obat, rimpang kunyit dapat dimanfaatkan untuk bumbu

    dapur. Zat warna kuning yang dikandungnya dimanfaatkan sebagai bahan

    pewarna alami dan tambahan untuk makanan ternak (Syukur dan Hernani 2002).

    Mencit

    Mencit Sebagai Hewan Percobaan

    Mencit (Gambar 3) dipilih sebagai hewan percobaan karena merupakan

    hewan yang praktis, mudah dipelihara dalam ruangan yang relatif kecil dan dapat

    digunakan untuk penelitian dalam jumlah yang cukup banyak (Malole dan

    Pramono 1989) .

    Gambar 3. Mencit laboratorium

    (Sumber: http://www.rooj.com/Radioprotection_files/image002.jpg . 2008)

  • Klasifikasi mencit menurut Linnaeus dalam Arington (1972), adalah

    sebagai berikut:

    Kingdom : Animalia

    Filum : Chrodata

    Sub filum : Vertebrata

    Kelas : Mammalia

    Ordo : Rodentia

    Sub ordo : Myomorphoa

    Familia : Muridae

    Sub familia : Murinae

    Genus : Mus

    Species : Mus musculus

    Mencit liar atau mencit rumah adalah hewan semarga dengan mencit

    laboratorium. Hewan tersebut tersebar di seluruh dunia dan sering ditemukan di

    dekat atau di dalam gedung dan rumah yang dihuni manusia. Mencit laboratorium

    memiliki berat yang relatif sama dengan mencit liar yaitu mencapai 18-20 gram

    pada umur empat minggu dan saat dewasa dapat mencapai 30-40 gram (Smith

    1988).

    Mencit laboratorium (Gambar 3) adalah strain mencit yang telah

    dikembangkan oleh ahli genetik dari peternak mencit peliharaan sejak 100 tahun

    silam (Penn 1999). Mencit laboratorium setelah diternakkan secara selektif

    memiliki berbagai warna bulu dan timbul banyak galur dengan berat badan

    berbeda- beda (Smith 1988).

    Mencit laboratorium dapat dikandangkan dalam kotak sebesar sepatu. Hal

    yang paling penting dalam sistem perkandangan mencit adalah persyaratan

    fsiologis dan tingkah laku mencit harus terperhatikan. Persyaratan ini meliputi

    menjaga lingkungan tetap kering dan bersih, suhu yang memadai, dan memberi

    ruang yang cukup untuk bergerak dengan bebas dalam berbagai posisi. Banyak

    faktor-faktor lingkungan terutama kualitas pakan berpengaruh pada kondisi

    mencit secara keseluruhan. Status makanan hewan yang diberikan dalam

    percobaan biomedis mempunyai pengaruh nyata pada kualitas hasil percobaan.

  • Mencit membutuhkan protein sbanyak 20-25% lemak 10-12%, pati 45-55%, dan

    serat kasar 4% atau kurang. Tiap hari mencit dewasa makan 3 - 5 gram makanan

    (Smith 1988).

    Mencit berkembang biak dalam waktu yang singkat sehingga

    keturunannya dapat diperoleh dalam jumlah banyak . Kebanyakan mencit mampu

    kawin pada umur kurang lebih 5 minggu. Tetapi, biasanya lebih baik kalau mencit

    tidak dikawinkan sebelum umur 8 minggu. Estrus terjadi kira-kira tiap 4-5 hari,

    dan segera setelah beranak. Lama bunting biasanya 19-21 hari dan anak-anak

    dapat disapih pada umur 18-28 hari tetapi biasanya 21 hari (Smith 1988).

    Kulit

    Struktur dan Fungsi Kulit

    Kulit (Gambar 4) adalah suatu jaringan atau organ yang kompleks , suatu

    organ yang dinamis dengan berbagai macam sel multiple dengan tipe dan fungsi

    yang khas. Kulit mempunyai fungsi ganda (multiple function) yang unik sebagai

    pelindung sel dan jaringan yang lebih dalam dari pengaruh lingkungan, mengatur

    dan mempertahankan suhu tubuh, sebagai organ neuroreseptor seraya

    memonitoring rangsanganrangsangan dari lingkungannya, memproses substansi

    antigenik yang ditugaskan kepadanya, serta sebagai tempat beradanya

    kelengkapan (appendages) berupa rambut, bulu, struktur keratin, kelenjar

    keringat, zat tanduk (kuku) yang berfungsi sebagai pelindung, penampilan

    (appearences) dan menentukan ciri individu (warna, pola, dan sebagainya)

    (Dharmojono 2002).

    Histologi Kulit

    Lapisan Kulit terdiri dari epidermis, dermis, dan subkutis. Kulit dilengkapi

    pula oleh derivatnya seperti rambut, serta sistem vaskular dan neural (Dellmann

    dan Brown 1992).

    Epidermis Epidermis, merupakan lapis paling luar kulit, berbentuk epitel pipih

    banyak lapis berkeratin. Paling sedikit ada empat lapis yang dapat diidentifikasi,

  • yakni stratum basale, stratum spinosum, stratum granulosum, dan stratum

    korneum (Dellmann dan Brown 1992). Stratum basale (stratum germinativum)

    terdiri atas selapis sel kuboid atau silindris basofilik yang terletak di atas lamina

    basalis pada batas epidermis-dermis dan memisahkan epidermis dari dermis.

    Stratum spinosum terdiri atas sel-sel kuboid, poligonal, atau agak gepeng dengan

    inti di tengah dan sitoplasma dengan cabang-cabang yang terisi berkas filamen

    (Junqueira et al. 1998).

    Stratum Granulosum ditandai oleh tiga sampai lima lapis sel poligonal

    gepeng dengan sitoplasma yang berisi granula basofilik kasar yang disebut

    granula keratohialin. Struktur khas lainnya adalah sel-sel stratum granulosum

    epidermis merupakan granula berlamel, yatu sebuah struktur lonjong atau mirip

    batang kecil yang mengandung cakram berlamen yang dibentuk oleh lapis-ganda

    lipid. Stratum lusidum tampak lebih jelas pada kulit tebal, bersifat transluen dan

    terdiri atas selapis tipis sel eusinofilik sangat gepeng. Stratum korneum terdiri atas

    sel berkeratin tanpa inti gepeng yang sitoplasmanya dipenuhi skleroprotein

    filamentosa berpigmen yaitu keratin (Junqueira et al. 1998).

    Epidermis memiliki empat tipe sel. Paling banyak adalah keratinosit yang

    bertanggungjawab memproduksi keratin, suatu jenis protein yang sulit larut dan

    mengisi sel-sel stratum korneum. Tiga tahap aktivitas sel ini adalah, pertama

    tahap proliferasi dimana sel-sel terletak tepat diatas lamina basalis yang

    mengalami pembelahan secara mitosis. Kedua adalah tahap pemasakan dimana

    sel-sel bermigrasi ke arah permukaan dan mengumpulkan filamen keratin

    (tonofilamen) secara tidak teratur, butir-butir keratohialin akan meningkat

    jumlahnya setelah sel mencapai permukaan atas epitel. Tahap ketiga adalah tahap

    inaktif di mana inti sel lenyap, juga filamen keratin dan butir keratohialin bersifat

    kompak dan memipih (Dellmann dan Brown 1992).

    Warna pada kulit dan bulu terjadi karena butir melanin yang dihasilkan

    oleh melanosit. Melanosit adalah sel-sel dendrit. Melanosit akan mensintesis

    melanin (biochrome) berwarna kuning, merah, dan cokelat berupa polimer besar

    yang terikat pada protein (Dharmojono 2002).

    Sel-sel langerhans (sel-sel dendritik agranural) adalah sel-sel imun

  • epidermis berasal dari sumsum tulang. Mereka mewakili sistem kekebalan paling

    luar dan berfungsi sebagai penghubung antara lingkungan luar dengan organisme.

    Sel-sel merkel terdapat dalam epidermis pada elevasi peraba pada banyak

    spesies. Daerah tersebut terdiri dari epidermis menebal dengan deretan sel

    epiteloid peraba membalut ujung terminal serabut saraf yang menembus lamina

    basalis (Dellmann dan Brown 1992).

    Hubungan antara dermis dan epidermis umumnya halus pada kulit yang

    dilindungi dengan selimut bulu tebal (Dellmann dan Brown 1992). Hubungan

    (dermal-epidermal junction) bertindak sebagai penghalang bagi berkembangnya

    radang dari sel-sel neoplastik di antara dermis dan epidermis (Dharmojono 2002).

    Dermis Dermis (Corium) terletak di antara epidermis dan jaringan lemak

    subkutan (Dharmojono 2002). Dermis merupakan serabut kolagen, serabut elastik

    dan serabut retikuler. Folikel bulu, kelenjar peluh dan palit, pembuluh darah dan

    limfe, serta saraf tertanam pada kedalaman yang berbeda pada dermis (Dellmann

    dan Brown 1992).

    Dermis umumnya dibagi menjadi lapis superfisial (stratum papillare) yang

    berbatasan dengan lapis dalam (stratum reticulare) tanpa adanya batasan yang

    jelas. Lapis superfisial langsung berbatasan dengan dengan epidermis dan

    menyesuaikan diri dengan garis bentuk stratum basale. Terbentuk dari jalinan

    halus serabut kolagen, serabut retikuler dan elastik, fibrosit, makrofag, sel plasma,

    dan sel mast. Seringkali kromatofor (melanosit) dan sel lemak terdapat

    didalamnya (Dellmann dan Brown 1992).

    Subkutis Subkutis (tela subcutanea) berupa lapis jaringan ikat longgar yang

    mempertautkan kulit dengan otot dan tulang dibawahnya. Jaringan serabut

    kolagen dan elastik yang longgar memungkinkan fleksibilitas kulit serta gerakan

    bebas di sekitar daerah tersebut. Jaringan lemak sering terdapat di daerah tersebut,

    dapat berupa sel-sel lemak individu atau sel-sel lemak besar yang biasa disebut

    panikulus adiposus (Dellmann dan Brown 1992).

  • Rambut Menurut Junqueira et al (1998), rambut adalah struktur berkeratin

    panjang berasal dari invaginasi epitel epidermis. Setiap rambut berkembang dari

    sebuah invaginasi epidermal, yaitu folikel rambut, yang selama pertumbuhannya

    mempunyai pelebaran pada bagian ujung yang disebut bulbus rambut. Pada dasar

    bulbus rambut dapat dilihat papila dermis. Papila dermis memiliki jalinan kapiler

    yang vital bagi kelangsungan hidup folikel rambut. Hilangnya aliran darah atau

    vitalitas papila dermis akan mengakibatkan matinya folikel. Sel epidermis yang

    menutupi papila dermis membentuk akar rambut yang menghasilkan dan

    berhubungan langsung dengan batang rambut yang menonjol di atas kulit.

    Inervasi dan Vaskularisasi Kulit mendapatkan vaskularisasi dari tiga pleksus yang dilepaskan oleh

    arteri kutanea. Pleksus profundus atau pleksus subkutaneus akan melepaskan

    pleksus medius, yang selanjutnya akan membentuk cabang yang membentuk

    pleksus superfisialis atau pleksus subpapilaris. Sebaliknya berlaku untuk

    pengembalian vena balik ke vena kutaneus. Dengan susunan demikian, semua

    komponen kulit dijamin mendapatkan darah secara sempurna. Pleksus

    superfisialis juga mendapatkan lengkung kapiler yang menjulur ke dalam papil

    dermis (Dellmann dan Brown 1992).

    Inervasi kulit bervariasi pada bagian tubuh berbeda. Tali saraf subkutaneus

    membentuk fleksus saraf yang menyelimuti dermis, menginervasi kelenjar, otot

    dan bulu, juga mengirim cabang menuju epidermis. Serabut saraf berakhir dalam

    berbagai bentuk ujung saraf yakni, ujung saraf bebas dalam epidermis, atau ujung

    saraf yang berselubung maupun tidak berselubung (Dellmann dan Brown 1992).

  • Gambar 4 Struktur skematis kulit

    (Sumber: Yahya. 2008)

    Fitokimia

    Fitokimia merupakan senyawa yang berada di dalam tumbuhan. Fitokimia

    memberikan aroma khas, rasa dan warna tertentu bagi tanaman dalam berintegrasi

    dengan lingkungan. Manusia memilih senyawa ini karena beberapa alasan,

    diantaranya karena fitokimia mempunyai efek biologi yang efektif menghambat

    pertumbuhan kanker, sebagai antioksidan, mempunyai sifat menghambat

    pertumbuhan mikroba, menurunkan kolesterol darah, menurunkan kadar glukosa

    darah, bersifat antibiotik, dan menimbulkan efek peningkatan kekebalan (Amelia

    2002). Beberapa fitokimia yang sudah diketahui terdapat di dalam tanaman obat

    antara lain sebagai berikut :

    1. Alkaloid

    Alkaloid pada umumnya larut dalam bahan pelarut lipofil, yang garamnya

    larut dalam pelarut hidrofil. Alkaloid dalam tumbuhan umumnya terdapat sebagai

    garam, sehingga dapat langsung diekstraksi dengan bahan pelarut hidrofil (air,

    etanol) (Voight1994) .

    2. Flavonoid

    Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Flavonoid dapat

    diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini

    dikocok dengan etanol. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu warnanya

  • akan berubah jika ditambah basa atau amonia, sehingga mudah dideteksi pada

    kromatogram atau dalam larutan (Harborne 1987).

    3. Tanin

    Tanin dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Tanin dapat

    bereaksi dengan protein membentuk suatu polimer mantap yang tidak dapat

    bereaksi dengan air (Harborne 1987).

    4. Kuinon

    Kuinon adalah senyawa berwarna dan memiliki kromofor dasar seperti

    kromofor pada benzikuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid.

    Tiga kelompok pertama biasanya terhidroksiliasi dan bersifat senyawa fenol

    serta mungkin terdapat in vivo dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai

    glikosida atau dalam bentuk kuinol terwarna, kadang-kadang juga bentuk dimer.

    Sehingga diperlukan hidrolisis asam untuk melepaskan kuinon bebasnya

    (Harborne 1987).

    5. Saponin

    Saponin adalah glikosida triterpen dan sterol telah terdeteksi dari 90

    tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti

    sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan

    menghemolisis darah (Harborne 1987).

    Kurkuminoid

    Kurkuminoid merupakan komponen yang dapat memberikan warna, dan

    zat ini digunakan baik dalam industri pangan maupun kosmetik. Salah satu fraksi

    yang terdapat dalam kurkuminoid adalah kurkumin ( Sembiring et al. 2006).

    Kurkumin bermanfaat sebagai antioksidan, antimikroba, antifungi, dan

    juga antiinflamasi. Selain itu kurkumin juga diyakini mampu menghambat

    pertumbuhan sel kanker dan memacu apoptosisi sel kanker. Bahan warna

    kurkumin dapat juga digunakan untuk memecah penggumpalan darah di otak

    seperti yang terjadi pada pasien penyakit alzheimer (Dheni 2007). Menurut

    Purwanti (2008), kandungan kurkumin dalam kunyit adalah 2,38 % per 100 gram

    kunyit.

  • Partikel kurkumin memiliki bagian dalam yang bersifat hidrofobik dan

    bagian luar yang bersifat hidrofilik (Dheni 2007). Secara kimia, kurkumin dapat

    digambarkan sebagai berikut:

    Gambar 5 Struktur kimia kurkumin (Sumber: Best 2008)

    Etanol

    Etanol banyak dipakai sebagai pelarut dalam dunia farmasi dan industri

    makanan dan minuman. Etanol sering ditulis dengan rumus EtOH. Rumus

    molekul etanol adalah C2H5OH atau rumus empiris C2H6O (Ane 2008). Kelarutan

    zat dalam pelarut tergantung dari ikatannya (polar, semipolar, atau non polar).

    Etanol termasuk ke dalam pelarut polar, sehingga sebagai pelarut etanol

    diharapkan dapat menarik zat-zat aktif yang juga bersifat polar (Houghton dan

    Raman 1998).

    Ekstraksi

    Ekstraksi adalah proses untuk mengisolasi senyawa dari suatu tumbuhan.

    Ragam ekstraksi bergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan

    yang diekstraksi pada jenis senyawa yang diisolasi (Harborne 1987). Ekstraksi

    amat bergantung pada jenis dan komposisi dari cairan pengekstraksi. Cairan

    pelarut yang biasanya digunakan dalam proses ekstraksi adalah air, eter, atau

    campuran etanol air. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol air sebaiknya

    menggunakan cara maserasi (Farmakope Indonesia 1979).

    Prosedur klasik ekstraksi untuk memperoleh kandungan senyawa organik

    dari jaringan tumbuhan kering (galih, biji kering, akar, daun) ialah dengan

    menggunakan alat soxlet dengan menggunakan sederetan pelarut secara berganti-

  • ganti, mulai dengan eter, lalu eter minyak bumi, dan kloroform (untuk

    memisahkan lipid dan terpenoid). Kemudian digunakan alkohol dan etil asetat

    untuk senyawa yang lebih polar. Ekstrak yang diperoleh kemudian diuapkan

    dengan penguap putar yang akan menguapkan larutan menjadi volume kecil.

    (Harborn 1987).

    Menurut Wientarsih dan Prasetyo (2006) metode ekstraksi dibagi kedalam

    5 cara, yaitu:

    1. Maserasi

    Maserasi adalah cara ekstraksi paling sederhana. Proses maserasi adalah

    proses menyatukan bahan yang telah dihaluskan dengan bahan ekstraksi. Waktu

    maserasi, semua farmakope mencantumkan 4-10 hari. Setelah waktu itu,

    sebaiknya ditetapkan suatu keseimbangan antara bahan yang diekstraksi dalam

    bagian sebelah dalam sel dengan yang masuk ke dalam cairan, dengan demikian

    difusi akan berakhir. Melalui usaha ini diharapkan akan terjadi keseimbangan

    konsentrasi simplisia yang lebih cepat ke dalam cairan. Sedangkan keadaan diam

    saat maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif (Voight 1994).

    Metode ekstraksi maserasi memiliki kelebihan karena pengerjaan dan alat

    yang dipakai sederhana. Tetapi proses ekstraksi dengan metode ini membutuhkan

    waktu yang relatif lama, serta hasil ekstraksi yang kurang sempurna (Yuliani dan

    Sofyan 2003).

    2. Metode Perkolasi

    Metode ini dilakukan dengan cara mencampur 10 bagian simplisia ke

    dalam 5 bagian larutan pencuci. Setelah itu dipindahkan ke dalam perkolator, dan

    ditutup selama 24 jam setelah itu biarkan menetes sedikit demi sedikit. Kemudian

    ditambahkan larutan pencuci secara berulang-ulang hingga terdapat selapis cairan

    pencuci. Perkolat yang telah terbentuk kemudian diuapkan (Wientarsih dan

    Prasetyo 2006).

    3. Digesti

    Metode ini merupakan bentuk lain dari maserasi yang menggunakan panas

    seperlunya selama proses ekstraksi (Wientarsih dan Prasetyo 2006).

    4. Infusi

  • Metode ini dilakukan dengan memanaskan campuran air dan simplisia

    pada suhu 90C dalam waktu 5 menit. Selama proses ini berlangsung campuran

    terus diaduk dan diberi tambahan air hingga diperoleh volume infus yang

    dikehendaki (Wientarsih dan Prasetyo 2006).

    5. Dekoksi

    Metode yang digunakan sama dengan metode infusi hanya saja waktu

    pemanasannya lebih lama yaitu sekitar 30 menit (Wientarsih dan Prasetyo 2006).

    Salep

    Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan

    sebagai obat luar (Farmakope Indonesia 1979). Menurut Ansel (1989), salep

    merupakan sediaan dermatolologi yang paling sering dipakai. Sediaan topikal

    dapat digunakan untuk perlindungan setempat (lokal) atau dengan alasan

    terapeutik (Blodinger 1994).

    Menurut Farmakope Indonesia (1979), bahan obat dalam pembuatan

    salep harus dapat larut/terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok.

    Pemilihan dasar salep harus memiliki syarat tertentu, diantaranya stabil secara

    fisik dan kimia, warna dan bau stabil selama penyimpanan / pemakaian, dapat

    dicampur dengan semua obat, teksturnya halus dan licin sehingga mudah dioles

    pada kulit. Selain itu dasar salep juga harus baik untuk semua tipe kulit, tidak

    mudah tengik, tidak mengiritasi kulit, dan mudah dioleskan (Wientarsih dan

    Prasetyo 2006).

    Pemilihan dasar salep untuk dipakai dalam formulasi dari salep tergantung

    pada pemikiran yang cermat atas sejumlah faktor-faktor termasuk laju pelepasan

    yang diinginkan bahan obat dari dasar salep, keinginan peningkatan absorbsi

    perkutan dari obat, kelayakan melindungi kelembaban kulit, kestabilan dasar

    salep dalam jangka waktu lama, pengaruh obat terhadap kekentalan atau lainnya

    dari dasar salep (Ansel 1989).

    Salep merupakan sediaan yang digunakan secara topikal. Salep, baik salep

    penutup maupun pelindung berguna untuk melindungi kulit dari kerja yang

    merusak. Salep diharapkan mampu melakukan penetrasi sampai ke dalam lapisan

  • kulit teratas dan dapat memberikan efek penyembuhan untuk menangani luka

    maupun penyekit kulit lainnya tang bersifat akut ataupun kronis (Ansel 1989).

    Persembuhan Luka

    Persembuhan luka adalah proses dalam tubuh untuk memperbaiki bagian

    luka menjadi bentuk yang paling mendekati kondisi normal tubuh sebelumnya.

    (Vegad 1995). Berdasarkan keadaan luka yang terjadi, jenis penyembuhan dibagi

    menjadi dua macam. Luka paling sederhana adalah luka yang dapat ditangani

    sendiri oleh tubuh seperti pada insisi pembedahan, yang tepi lukanya dapat saling

    didekatkan untuk dimulainya proses persembuhan. Persembuhan semacam itu

    disebut persembuhan primer atau healty by first intention (Price dan Wilson

    1992). Pola kedua adalah penyembuhan luka terjadi jika kulit yang mengalami

    luka sedemikian rupa sehingga tepinya tidak dapat saling didekatkan selama

    proses penyembuhan. Keadaan ini disebut sebagai healing by second intention

    atau terkadang disebut penyembuhan dengan granulasi. Luka seperti ini biasanya

    menimbulkan jaringan parut dan memerlukan waktu yang lama dalam proses

    persembuhannya (Price dan Wilson 1992).

    Menurut Nayak dan Pereira (2006), persembuhan luka merupakan suatu

    proses untuk memperbaiki kulit dan jaringan lunak setelah terjadinya proses

    perlukaan. Setelah perlukaan terjadi akan diikuti dengan reaksi peradangan pada

    daerah dermis yang diikuti penurunan produksi jaringan ikat kolagen. Kemudian

    akan terjadi regeneresi dari sel epitel. Oleh karena itu, proses persembuhan luka

    umumnya terdiri atas tiga fase yaitu, proses peradangan, fase proliferasi, serta

    remodeling atau fase maturasi (Singer dan Clark 1999).

    Fase Peradangan ( Fase Inflamasi) Peradangan adalah reaksi universal dari kerusakan jaringan karena

    terjadinya trauma mekanis, nekrosa jaringan, dan terjadinya infeksi (Price dan

    Wilson 1992). Pada fase inflamasi terjadi respons vaskuler dan seluler yang

    terjadi akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak (Tawi 2008 ; Vegad

    1995). Pada awal fase ini, luka yang mengakibatkan kerusakan pembuluh darah

  • akan menyebabkan keluarnya darah (Spector dan Spector 1993). Menurut Tawi

    (2008), kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang

    berfungsi hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan

    juga mengeluarkan substansi vasokonstriksi yang mengakibatkan pembuluh

    darah kapiler vasokonstriksi, selanjutnya terjadi penempelan endotel yang yang

    akan menutup pembuluh darah.

    Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit, dan setelah itu akan terjadi

    vasodilatasi kapiler stimulasi saraf sensoris, local reflex action, dan adanya

    substansi vasodilator: histamin, serotonin, dan sitokin. Sitokin terdiri dari

    Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Plateled-

    derived Growth Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-) .

    Keberadaan sitokin akan mempercepat kehadiran makrofag dan monosit (Singer

    dan Clarc 1999). Sementara histamin, selain menyebabkan vasodilatasi juga

    mengakibatkan meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah

    keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi

    oedema jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis (Tawi 2008).

    Oedema yang terjadi akan mengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama

    netrofil) ke ekstra vaskuler. Fungsi netrofil adalah membersihkan daerah luka

    dari benda asing dan bakteri (Singer dan Clark 1999). Menurut Spector dan

    Spector (1993) keberadaan netrofil di daerah luka sangat singkat, sehingga setelah

    dihasilkannya sitokin, monosit masak akan berubah menjadi makrofag di jaringan

    dan menggantikan fungsi netrofil. Sel makrofag berfungsi untuk fagositosis,

    mensintesa kolagen, membentuk jaringan granulasi bersama-sama dengan

    fibroblas, memproduksi growth factor yang berperan pada reepitelisasi, serta

    membentuk pembuluh kapiler baru atau angiogenesis (Tawi 2008)

    Setelah luka bersih dari infeksi dan bakteri serta terbentuknya

    makrofag, dan fibroblas, dapat dikatakan bahwa fase inflamasi telah terjadi. Fase

    ini ditandai dengan adanya eritrema, hangat pada kulit, oedema dan rasa sakit

    yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4 setelah terjadinya perlukaan

    (Tawi 2008).

  • Fase Proliferasi Menurut Tawi (2008), proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini

    adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel.

    Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada

    persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama

    proses rekonstruksi jaringan.

    Pada jaringan lunak yang mengalami perlukaan, fibroblas akan aktif

    bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan

    berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin,

    hyaluronic acid, fibronectin dan profeoglycans) yang berperan dalam

    membangun (rekonstruksi) jaringan baru (Singer dan Clark 1999).

    Kolagen memiliki fungsi yang lebih spesifik yaitu membentuk cikal bakal

    jaringan baru dan dengan dikeluarkannnya subtrat oleh fibroblas, memberikan

    tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai satu

    kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka (Tawi 2008).

    Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan

    baru tersebut, disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi

    fibroblas dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroblasia. Respon yang dilakukan

    fibroblas terhadap proses fibroplasia adalah proliferasi, migrasi, deposit jaringan

    matriks, serta kontraksi luka (Tawi 2008).

    Angiogenesis merupakan proses komplek pembentukan pembuluh

    kapiler baru didalam luka, mempunyai arti penting pada tahap proliferasi

    persembuhan luka (Singer dan Clark 1999). Kegagalan vaskuler akibat penyakit

    (diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid) mengakibatkan

    lambatnya proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang kronis. Jaringan

    vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk

    memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka karena biasanya pada

    daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada fase

    ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan dipengaruhi

    oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (grawth factors)

    (Tawi 2008).

  • Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblas mengeluarkan

    keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel

    epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk

    barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblas,

    pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya dengan

    mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan

    baru tersebut menutup luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi

    myofibroblas yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan.

    Fungsi kontraksi akan lebih menonjol pada luka yang ekstrim dibandingkan

    dengan luka biasa (Tawi 2008). Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis

    dan lapisan kolagen telah terbentuk (Anonim 2003).

    Fase Maturasi Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai

    kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah menyempurnakan

    terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan

    bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna

    kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan

    serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut

    (Tawi 2008).

    Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan

    pada fase maturasi. Selain teejadi pembentukan kolagen baru, enzim kolagenase

    akan mengubah kolagen muda ( gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase

    proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat dan

    struktur yang lebih baik (proses re-modelling) (Singer dan Clark 1999). Menurut

    Tawi (2008) luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan

    kekuatan jaringan kulit mampu melakukan aktivitas yang normal.

    Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Peradangan Dan Penyembuhan

    Persembuhan luka dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu usia, nutrisi,

    infeksi, sirkulasi dan oksigenasi, keadaan luka dan obat (Drakbar 2008). Anak dan

    dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua. Orang tua lebih sering

  • terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu sintesis dari

    faktor pembekuan darah (Drakbar 2008).

    Menurut Drakbar (2008) proses penyembuhan membuat tubuh bekerja

    lebih keras, sehingga penderita memerlukan diet kaya protein, karbohidrat,

    lemak, vitamin C dan A, dan mineral seperti Fe, Zn. Penderita kurang nutrisi

    memerlukan waktu lebih lama untuk persembuhan, karena mereka harus

    memperbaiki status nutrisi mereka terlebih dahulu baru melakukan proses

    persembuhan. Sedangkan pada penderita yang nutrisinya berlebih (gemuk) infeksi

    luka akan memerlukan waktu penyembuhan yang lama karena suplai darah

    jaringan adipose tidak merata. Penggunaan obat anti inflamasi (seperti steroid dan

    aspirin), heparin dan anti neoplasmik mempengaruhi penyembuhan luka.

    Penggunaan antibiotik yang lama juga dapat membuat seseorang rentan terhadap

    infeksi luka (Drakbar 2008). Penyembuhan luka juga terganggu oleh adanya

    benda asing atau jaringan nekrotik pada luka yang menyebabkan infeksi jaringan,

    sehingga persembuhan luka lebih lama (Price dan Wilson 1992).

    Faktor lain yang mempengaruhi proses persembuhan luka adalah proses

    sirkulasi dan oksigenisasi. Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan

    lemak pada orang-orang yang gemuk membuat penyembuhan luka lambat. Hal

    ini dikarenakan pada jaringan lemak jumlah pembuluh darah sedikit, sehingga

    jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh.

    Pada orang yang menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau

    diabetes millitus aliran darah terganggu sehingga persembuhan luka terhambat.

    Begitupula pada penderita anemia atau gangguan pernapasan kronik pada

    perokok, oksigenasi jaringan menurun sehingga prosesnya lebih lama

    dibandingkan pada orang yang sehat (Drakbar 2008).

    Menurut Price dan Wilson (1992), hal lain yang dapat mempengaruhi

    proses persembuhan luka adalah pemakaiaan obat-obatan tertentu seperti

    penderita yang mengkonsumsi sediaan kortikosteroid dalam dosis tinggi ataupun

    obat antiinflamasi, seperti steroid dan aspirin yang membuat proses persembuhan

    luka akan terhambat.

  • BAHAN DAN METODE

    Tempat dan Waktu Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Farmasi, dan Bagian Patologi,

    Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut

    Pertanian Bogor pada bulan Juli 2007- April 2008.

    Bahan dan Alat

    Hewan Percobaan

    Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit albino jantan sebanyak

    45 ekor umur 8 minggu dengan berat badan 20-40 gram. Mencit dipelihara dalam

    kotak plastik berukuran 20 X 30 cm. Pada sisi atas kotak ditutup dengan kawat

    kasa agar mencit tidak lepas, namun udara tetap bersirkulasi. Pada bagian dasar

    diberi serbuk gergaji atau sekam untuk menjaga suhu tetap optimal. Mencit diberi

    pakan pelet dan minum ad libitum.

    Bahan

    Bahan yang digunakan antara lain rimpang kunyit berumur 9 bulan yang

    diperoleh dari Balitro dan telah diidentifikasi di Herbarium LIPI Bogorience.

    Kemudian rimpang kunyit tersebut diolah menjadi simplisia rimpang kunyit.

    Bahan lainnya antara lain etanol 96%, eter, larutan Netral Buffer Formalin

    (BNF) 10% untuk fiksasi kulit, dan kapas serta vaselin kuning untuk pembuatan

    salep. Obat komersil yang digunakan mengandung ekstrak plasenta 0.5%,

    neomycin sulfate 5% dan jelly base.

    Bahan yang digunakan untuk membuat sediaan histopatologi yaitu larutan

    Mayers Hematoxylin, larutan Eosin, Xylol, alkohol dengan konsentrasi

    bertingkat (70%, 80%, 90%, 95% dan 100%), larutan Lithium Carbonat,

    Aquades, Asam Asetat 1%, larutan Mordant, larutan Carrazis Hematoxylin,

    larutan Orange G 0,75% larutan Ponceau Xylidine Fuchsin, Larutan

    Phosphotungstic acid 2,5%, Anilin Blue, dan parafin.

  • Alat

    Alat-alat yang digunakan antara lain toples, kandang mencit, pisau bedah

    untuk mendapatkan sediaan kulit, peralatan untuk pembuatan sediaan

    histopatologi yaitu tissue processor, mikrotom, penangas air, gelas objek dan

    gelas penutup. Mikroskop cahaya dan mikroskop video mikrometer untuk

    pengamatan histopatologi. Sedangkan, alat-alat untuk ektraksi rimpang kunyit

    adalah maserator, evaporator, gelas elenmayer 100 ml, dan oven untuk

    pengeringan.

    Tahapan Penelitian

    Ekstraksi rimpang kunyit

    Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi. Metode ini dilakukan

    dengan cara serbuk kunyit (simplisia) yang didapatkan dari rimpang kunyit 9

    bulan, dimasukkan ke dalam wadah, setelah itu ditambahkan pelarut etanol

    (alkohol 96%) dengan perbandingan 10 : 1. Kemudian direndam selama 24 jam

    dengan melakukan pengadukan secara berkala. Setelah itu dilakukan

    penampungan filtrat. Ampas yang didapatkan dari penyaringan kemudian

    direndam kembali dengan menggunakan etanol 96%. Prosedur ini dilakukan

    sebanyak 3 kali. Setelah filtrat didapatkan maka dilakukanlah evaporasi dengan

    menggunakan evaporator hingga dihasilkan ekstrak semi padat etanol rimpang

    kunyit. Kemudian keringkan dalam oven bersuhu 40 C hingga didapatkan

    ekstrak kental etanol rimpang kunyit.

  • Gambar 6. : Proses ekstraksi rimpang kunyit dengan pelarut etanol

    Penapisan Fitokimia

    Metode fitokimia dilakukan untuk menganalisis senyawa yang terkandung

    dalam rimpang kunyit yang dapat berguna dalam membantu proses persembuhan

    luka. Dalam metode ini senyawa yang dianalisis keberadaannya adalah senyawa

    alkaloid, flavonoid, tanin dan polifenol, saponin, dan senyawa kuinon.

    a. Senyawa Alkaloid

    Serbuk simplisia dibebaskan dengan amonia, kemudian ditambahkan

    kloroform dan digerus kuat-kuat. Lapisan kloroform dipipet sambil disaring,

    kemudian kedalamnya ditambahkan asam klorida (HCl) 2N. Campuran dikocok

    Ekstrak Kental

    Evaporasi

    Ekstrak Semi Padat

    Panaskan (Oven)

    Rimpang Kunyit

    Serbuk Halus

    Simplisia Kunyit

    Filtrat

    Maserasi Etanol 96%

  • kuat-kuat hingga terdapat dua lapisan. Lapisan asam dipipet, kemudian dibagi

    menjadi tiga bagian. Bagian pertama ditambahkan pereaksi Mayer, setelah itu

    amati adanya endapan atau kekeruhan yang terjadi. Bila terjadi kekeruhan atau

    endapan berwarna putih berarti dalam simplisia kemungkinan terkandung

    alkaloid. Bagian kedua ditambahkan pereaksi Dragendroff. Terjadinya endapan

    jingga kuning atau kekeruhan kemungkinan simplisia tersebut mengandung

    alkaloid. Bagian ketiga digunakan sebagai blanko.

    b. Senyawa Polifenolat

    Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam

    penangas air, kemudian disaring. Kepada filtrat ditambahkan larutan pereaksi besi

    (III) klorida. Adanya senyawa fenolat ditandai dengan terjadinya warna hijau-biru

    hitam hingga hitam.

    c. Senyawa Tanin

    Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam

    penangas air, kemudian disaring. Setelah itu kedalam filtrat ditambahkan larutan

    larutan pereaksi besi (III) klorida sehingga terjadi warna hijau-biru hitam hingga

    hitam, kemudian ditambahkan larutan gelatin 1%. Adanya senyawa tanin ditandai

    dengan terjadinya endapan berwarna putih.

    d. Senyawa Flavonoid

    Simplisia dipanaskan dengan campuran Magnesium (Mg) dan asam

    klorida (HCl) 5N, kemudian disaring. Adanya flavonoid akan menyebabkan filtrat

    berwarna merah yang dapat ditarik oleh amil alkohol.

    e. Senyawa kuinon

    Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam

    penangas air, kemudian disaring. Kedalam filtrat ditambahkan larutan KOH 5%.

    Adanya senyawa kuinon ditandai dengan terjadinya warna kuning hingga merah.

    f. Senyawa Saponin

    Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam

    penangas air, kemudian disaring. Setelah dingin filtrat dalam tabung reaksi

    dikocok kuat-kuat selama kurang lebih 30 detik. Pembentukkan busa sekurang-

    kurangnya setinggi 1 cm dan persisten hilang selama beberapa menit serta tidak

  • hilang pada penambahan tetes demi tetes asam klorida encer menunjukkan

    adanya saponin dalam simplisia.

    Pembuatan Salep Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit.

    Ekstrak kental etanol kunyit yang telah dihasilkan kemudian ditimbang

    dan dihomogenisasi dengan vaselin kuning menggunakan mortar. dilakukan

    homogenisasi hingga merata dan tidak terasa lagi butiran serbuk kunyit. Setelah

    itu disimpan dalam tabung dan diberi label.

    Mencit Untuk Perlakuan

    Mencit yang digunakan berjumlah 45 ekor dan dibagi menjadi 3 kelompok

    perlakuan; 1) kontrol negatif, yaitu kelompok mencit yang dilukai namun tidak

    diberikan pengobatan, 2) kontrol positif, yaitu kelompok mencit yang diberikan

    salep neomycin sulfat 5%, dan 3) kelompok mencit yang dilukai dan diberikan

    sediaan salep ekstrak etanol kunyit.

    Perlukaan Pada Mencit

    Sebelum melakukan perlukaan, rambut di sekitar punggung mencit

    dicukur. Sebelum disayat kulit mencit diulas dahulu dengan menggunakan

    alkohol 70%. Mencit diberi anastesia perinhalasi dengan eter, kemudian

    dilakukan penyayatan pada punggung mencit sepanjang satu centimeter sejajar os.

    Vertebrae dengan menggunakan pisau bedah steril.

    Aplikasi Obat

    Aplikasi obat luka komersil yang mengandung neomicin sulfat 5%,

    plasenta, dan jelly base, dilakukan dengan mengoleskan obat pada luka dengan

    menggunakan cotton buds. Begitupula dengan aplikasi obat luka salep ekstrak

    etanol rimpang kunyit dilakukan dengan cara yang sama. Aplikasi sediaan obat

    tersebut dilakukan setiap hari sebanyak dua kali sehari selama 21 hari pasca

    perlukaan.

  • Pengamatan patologi Anatomi

    Mencit perlakuan dan mencit kontrol diamati setiap hari khususnya pada

    hari ke 2, 4, 7, 14 dan 21 setelah perlukaan. Pengamatan patologi anatomi

    dilakukan terhadap mencit perlakuan dan mencit kontrol menggunakan metode

    deskriptif dengan membandingkan proses persembuhan yang terjadi parameter

    yang diamati adalah menyempitnya luka, panjang luka, keringnya luka, warna

    luka, keberadaan rambut, dan keberadaan keropeng.

    Pengambilan sampel kulit

    Sampel kulit diambil pada hari ke 2, 4, 7, 14 dan 21 paska perlukaan

    setelah mencit dieuthanasi dengan menggunakkan eter dosis berlebih perinhalasi.

    Daerah punggung yang diambil kulitnya dibersihkan dari rambut yang mulai

    tumbuh. Kemudian kulit disekitar luka dipotong dengan ukuran 1.5 cm

    (sentimeter) dengan menggunakan skapel yang telah disterilkan terlebih dahulu.

    Kulit yang sudah dipotong difiksasi dengan larutan BNF (Buffer Neutral

    Formaline) 10 % selama 48 jam.

    Fiksasi sediaan kulit dan pembuatan preparat histopatologi

    Potongan sediaan kulit dimasukkan ke dalam kaset tisue dan didehidrasi

    dengan cara merendam sediaan secara berturut-turut ke dalam alkohol 70%, 80%,

    90%, alkohol absolut I, alkohol absolut II, xylol I, xylol II, parafin I, dan terakhir

    ke dalam parafin II. Proses perendaman pada setiap bahan dilakukan selama 2 jam

    untuk masing-masing sediaan.

    Jaringan kemudian dimasukkan ke dalam alat pencetak berisi parafin cair .

    Letak jaringan diatur sedemikian rupa agar tetap berada di tengah blok parafin.

    Setelah mulai membeku, parafin ditambah kembali hingga alat pencetak penuh

    dan dibiarkan hingga parafin mengeras.

    Pemotongan dengan mikrotom dilakukan dengan ketebalan 5 mikron. Hasil

    pemotongan yang berbentuk pita diletakkan di atas permukaan air hangat 45

    C dengan tujuan menghilangkan lipatan-lipatan pada pita akibat pemotongan.

    Setelah itu sediaan diangkat dari permukaan air dengan gelas objek yang telah

  • diulasi larutan albumin yang berguna untuk merekatkan sediaan. Kemudian

    preparat dikeringkan semalam dalam inkubator bersuhu 60C. Selanjutnya

    dilakukan pewarnaan umum Haematoxylin Eosin dan pewarnaan khusus Masson

    Trichrome.

    Pembuatan sediaan Haematoxilin Eosin (HE)

    Sediaan histopatologi yang telah didapatkan kemudian dimasukkan ke

    dalam xylol dua kali selama dua menit. Kemudian sediaan direhidrasi yang

    dimulai dari alkohol absolut sampai alkohol 80 % dengan waktu masing-masing 2

    menit. Selanjutnya sediaan dicuci dalam air mengalir dan dikeringkan.

    Setelah sediaan kering kemudian diberi pewarna Mayers Hemaktosilin

    selama 8 menit, kemudian dibilas dengan air mengalir dan dicuci dengan lithium

    karbonat selama 15-30 detik, dibilas dengan air, dan akhirnya diwarnai dengan

    pewarna Eosin selama 2 menit. Pewarna Eosin yang berlebihan dihilangkan

    dengan cara mencuci sediaan pada air yang mengalir, setelah itu sediaan

    dikeringkan. Kemudiaan sediaan dicelupkan ke dalan alkohol 90% sebanyak 10

    kali celupan, alkohol absolut I 10 kali celipan, alkohol absolut II selama 2 menit,

    xylol I selama I menit, dan xylol II selama 2 menit. Sediaan lalu dikeringkan

    terlebih dahulu sebelum ditetesi dengan perekat permount dan kemudian ditutup

    dengan gelas penutup dan disimpan beberapa menit hingga zat perekatnya

    mengering. Preparat siap untuk diamati dibawah mikroskop cahaya.

    Pembuatan Sediaan Masson Trichrome (MT)

    Sediaan histopatologi dideparafinasi dan rehidrasi hingga pencucian

    dengan air dan akuades dilakukan terlebih dahulu sebelum diwarnai. Sediaan

    kemudian dimasukkan ke dalam larutan Mordant selama 30-40 menit lalu dicuci

    dengan akuades. Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam larutan Carrazis

    Hematoksilin selama 40 menit dan dicuci dengan akuades. Setelah itu sediaan

    dimasukkan ke dalam larutan Orange G 0.75 % selama 1 sampai 2 menit lalu

    dicuci dengan asam asetat 1% sebanyak 2 kali dengan cara menggoyangnya

    sebentar. Kemudian sediaan dimasukkan ke dalam larutan Ponceau Xylidine

  • Fuchsin selama 15 menit dan dicuci dengan asam asetat 1% sebanyak 2 kali.

    Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam larutan Phosphotungstic Acid selama

    10 menit lalu dicuci dengan asam asetat 1% sebanyak 2 kali dan terakhir

    dimasukkan ke dalam alkohol 95 %. Berikutnya adalah sediaan dimasukkan ke

    dalam Anilin Blue selama 15 menit dan dibilas dengan asam asetat 1% sebanyak

    dua kali. Kemudian sediaan dicelupkan ke dalam alkohol 95% selama tiga menit.

    Sediaan didehidrasi dan clearing terlebih dahulu sebelum ditetesi perekat

    permount dan ditutup dengan gelas penutup.

    Pengamatan Histopatologi

    Pengamatan histopatologi dilakukan pada sampel kulit yang telah diambil

    pada hari ke 2, 4, 7, 14, dan, 21 dengan menghitung sel polimorfonuklear

    (Netrofil), jumlah neovaskularisasi, persentase reepitelisasi, dan persentase luasan

    jaringan ikat kolagen.

    Pengamatan terhadap jumlah sel polimorfonuklear menggunakan

    mikroskop Olympus BX51TF, Japan dan pemotretan dengan videophoto dalam

    10 lapang pandang dimana luas tiap lapang pandang adalah 20450m2.

    Pengukuran panjang luka dan reepitelisasi menggunakan video mikrometer FDR-

    A IV-560 dengan perbesaran objektif empat kali. Ketebalan dan luasan jaringan

    ikat dilihat dengan menggunakan preparat yang memakai pewarnaan Masson

    Trichrome. Presentase reepitelisasi dan jaringan ikat menggunakan video

    micrometer JVC, Japan dengan perbesaran objektif empat kali.

    Perhitungan panjang jaringan ikat kolagen dan reepitelisasi ditentukan

    dengan cara mengkonfersi skala bar yang digunakan pada video mikrometer

    dengan perbesaran 180x, yaitu 200 m menjadi 3,6 cm.

    Kemudian dibuatlah pola kotak-kotak dengan ukuran 3.6 X 3.6 cm dengan

    kertas plastik (Gambar 7) . Kertas plastik yang sudah berpola ditempelkan pada

    monitor video micrometer. Setelah itu, untuk menyamakan standar perhitungan

    200m X 180x = 3.6 x 104 m = 3.6 cm

  • ditentukan tiga kotak untuk setiap panjang luka yang akan dihitung yang diambil

    dari tengah bagian luka.

    Gambar 7. Metode penentuan luasan jaringan ikat pada pengamatan histopatologis jaringan luka hari ke 14. Jaringan ikat terlihat berwarna biru pada sediaan Masson Trichrome.Pada tampilan gambar video mikrometer dibuat pola kotak-kotak yang tiap sisinya berukuran 200m.

    Jaringan ikat yang tampak pada video micrometer ditentukan dengan

    ketetapan sebagai berikut:

    Perhitungan presentase jaringan ikat ditentukan dengan menggunakan rumus:

    Sedangkan untuk presentase reepitelisasi ditentukan dengan rumus:

    Jika luas jaringan ikat memenuhi lebih dari setengah bagian kotak maka dihitung satu luasan, namun jika luasannya kurang dari setengah kotah maka tidak dihitung sebagai

    luasan

    Luas jaringan ikat kolagen yang terbentuk X 100% Luas luka

  • Analisis Data

    Hasil pengamatan patologi anatomi diuji secara deskriptif. Hasil

    pengamatan histopatologi berupa data banyaknya jumlah sel polimorfonuklear,

    neovaskularisasi, persentase luasan jaringan ikat kolagen, dan presentase

    reepitelisasi. Selanjutnya data diuji secara statistika menggunakan uji sidik ragam

    ANOVA yang dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan untuk

    mengetahui hasil yang diperoleh berbeda secara nyata atau tidak.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Luas luka yang telah ditutupi epitel X 100% Luas luka

  • Penapisan Fitokimia

    Hasil pengamatan penapisan fitokimia dilakukan untuk mengetahui

    senyawa pada kunyit yang dapat tertarik oleh pelarut etanol yang disajikan pada

    Tabel 1. Senyawa-senyawa yang dilakukan pengujian adalah alkaloid, flavonoid,

    tanin dan polifenol, saponin, serta kuinon. Etanol yang merupakan pelarut polar

    hanya dapat menarik senyawa-senyawa yang juga bersifat polar (Houghton dan

    Raman 1998).

    Tabel 1 Hasil penapisan fitokimia ekstraksi rimpang kunyit dengan pelarut

    etanol

    Senyawa dalam kunyit Pelarut Etanol Alkaloid + Flavonoid - Tanin dan Polifenol - Saponin - Kuinon +

    Keterangan : ( + ) Etanol dapat menarik senyawa tersebut ( - ) Etanol tidak dapat menarik senyawa tersebut

    Berdasarkan penapisan fitokimia yang dilakukan, senyawa yang dapat

    tertarik dari proses ekstraksi rimpang kunyit memakai pelarut etanol adalah

    alkaloid dan kuinon. Alkaloid merupakan golongan zat sekunder yang terbesar.

    Alkaloid sering kali bersifat racun bagi manusia dan banyak memiliki kegiatan

    fisiologi yang menonjol sehingga sering digunakan secara luas pada bidang

    pengobatan (Harborne 1987). Hampir semua alkaloid yang ditemukan di alam

    mempunyai keaktifan biologis tertentu, ada yang sangat beracun tetapi adapula

    yang berguna bagi pengobatan. Misalnya adalah morfin, dan striknin yang

    terkenal memiliki efek fisiologis dan psikologis (Leny 2006). Keberadaan

    alkaloid pada ekstrak etanol rimpang kunyit memiliki peran menenangkan

    penderita luka sehingga dapat mengurangi rasa sakit.

    Kuinon adalah senyawa berwarna (Harborne 1987). Menurut Robinson

    (1995), kuinon berperan sebagai anti bakteri dan sebagai pewarna. Pada

    persembuhan luka, kuinon berperan dalam proses pencegahan masuknya bakteri

    pada luka sehingga dapat mempercepat proses persembuhan.

  • Patologi Anatomi

    Hasil pengamatan persembuhan luka berdasarkan gambaran patologi

    anatomi (PA) pada mencit kontrol positif yang diberi sediaan neomicin sulfat

    5%, kontrol negatif yang tidak diberi perlakuan apapun, serta mencit yang

    diberikan sediaan ekstrak etanol rimpang kunyit, disajikan dalam Tabel 2 .

    Tabel 2. Perbandingan patologi anatomi persembuhan luka kulit antara mencit kontrol negatif dan mencit perlakuan dengan neomycin sulfat 5% dan ekstrak rimpang kunyit etanol

    Hari Kontrol Negatif Kontrol Positif Salep Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit

    1 Panjang luka 1.5 cm, luka

    basah, merah dan terbuka Panjang luka 1.5 cm, luka basah, merah dan terbuka

    panjang luka 1.5 cm , basah dan merah

    2 Panjang luka 1.36 cm, lukabasah, merah dan terbuka

    Panjang luka 1.3 cm, luka masih terbuka dan mulai mengering

    Luka terbuka, panjang luka 1.3 cm, pinggiran mengering dan mengeras

    3 Luka mulai mengering dan menutup, kulit berwarna merah agak pucat

    Luka mengering dan masih terbuka dan berwarna merah pucat

    Luka terbuka, pinggiran mengering dan mengeras

    4 Panjang luka 1,20 cm, luka kering dan berwarna merah pucat

    Luka menutup dan kering. Panjang luka 1 cm.

    Luka mengering, belum menutup, panjang luka 1.3 cm

    5 Tepi luka mengeras dan panjang luka agak mengecil

    Luka hampir menutup dan tepi luka mengeras

    Luka menutup namun masih terdapat keropeng

    6 Tepi luka mengeras dan panjang luka agak mengecil

    Luka hampir menutup dan tepi luka mengeras

    Luka menutup namun masih terdapat keropeng

    7 Luka semakin menutup, panjang luka 1,07 cm

    Luka mengecil, panjang luka 0,27 cm.

    Luka menutup panjang luka 0.98 cm, masih terdapat keropeng.

    8 Luka hampir menutup Luka semakin mengecil Luka menutup namun masih terdapat keropeng

    9 Luka semakin mengecil Luka telah menutup Luka menutup namun masih terdapat keropeng

    10 Luka semakin mengecil Luka telah tertutup Luka menutup 11 Luka tertutup Luka telah menutup

    semputna Luka menutup sempurna

    12 Luka telah menutup sempurna

    Luka menutup sempurna, terlihat adanya bekas luka

    Luka tertutup, masih terlihat bekas luka.

    13 Terlihat adanya bekas luka Terlihat bekas luka dan mulai ditumbuhi rambut

    Terlihat adanya bekas luka

    14 Masih terlihat bekas luka dan mulai ditumbuhi rambut

    Masih terlihat bekas luka dan ditumbuhi rambut

    Luka menutup sempurna mulai ditutupi rambut

    15 Masih terlihat bekas luka dan mulai ditumbuhi rambut

    Bekas luka hampir tidak terlihat, dan ditutupi rambut baru

    Bekas luka hampir tidak terlihat, ditutupi rambut baru

    16-21 Masih terlihat sedikit bekas luka, mulai tertutupi rambut

    Bekas luka tidak terlihat dan ditutupi rambut baru

    Bekas luka tidak terlihat dan ditutupi rambut baru

    Pengamatan secara patologi anatomi, memperlihatkan bahwa pada hari

  • pertama dan kedua keadaan luka pada kulit masih terbuka dan memperlihatkan

    warna kemerahan baik pada kontrol positf, negatif maupun pelakuan dengan

    menggunakan salep ekstrak etanol rimpang kunyit. Menurut Spector and Spector

    (1993), kulit yang tersayat akan kehilangan retraksinya dan membuat celah yang

    terbuka. Cedera yang mendadak membuat perubahan dalam pembuluh darah kecil

    yang menyusun reaksi inflamasi akut. Segera setelah terjadinya luka , akan terjadi

    konstriksi singkat arteriola yang diikuti dengan dilatasi berkepanjangan. Hal ini

    menyebabkan menjadi merahnya anyaman kapiler darah dan membukanya

    saluran kapiler yang tidak aktif, selain itu terjadi pula dilatasi vena dan pembuluh

    limfe. Keadaan ini memungkinkan darah mengalir ke dalam miikrosirkulasi lokal.

    Kapiler yang awalnya kosong atu sedikit meregang kini mulai terisi dengan darah

    secara cepat (Price dan Wilson 1992). Hal ini yang menyebabkan luka pada hari

    ke-1 dan ke-2 menunjukan warna kemerahan atau hiperemi.

    Pada hari pertama baik kontrol positif, kontrol negatif, maupun luka

    dengan perlakuan salep ekstrak etanol rimpang kunyit masih dalam keadaan

    basah. Menurut Spector and Spector (1993), hal ini terjadi karena seiring dengan

    percepatan pergerakan cairan yang cepat melalui dinding pembuluh darah ke

    jaringan peradangan, memungkinkan molekul-molekul kecil lewat. Akan tetapi

    hal ini menahan protein-protein besar seperti protein plasma tetap berada dalam

    pembuluh darah. Sifat pembuluh darah yang permeable akan menimbulkan

    tekanan osmotik yang cenderung menahan cairan di dalam pembuluh darah

    dengan melawan tekanan hidrostatik. Pada kasus inflamasi, tekanan hidrostatik

    dalam darah meningkat sehingga mengganggu keseimbangan dan menyebabkan

    banyak air meninggalkan darah menuju jaringan. Hal ini akhirnya mengganggu

    pula sistem limfatik yang kemudian memindahkan cairan yang mencapai celah

    jaringan keluar menuju jaringan, untuk mempertahankan kesetaraan secara

    normal. Pergeseran cairan pada saat luka terjadi sangat cepat, sehingga eksudat

    pada masa peradangan mengandung protein plasma yang sangat signifikan. Pada

    peradangan akut terjadi perubahan permeabilitas pembuluh-pembuluh yang

    sangat kecil di daerah tersebut yang menyebabkan kebocoran protein. Proses ini

    kemudian diikuti oleh pergeseran keseimbangan osmotik, dan air keluar bersama

  • protein, menimbulkan pembengkakan. Hal ini yang menyebabkan bertambahnya

    jumlah cairan secara abnormal di kompartemen ekstrasel (Spector dan Spector

    1993). Sehingga pada patologi anatomi terlihat adanya udema ditunjukkan dengan

    keadaan basah di sekitar luka dan terjadi pembengkakan.

    Pada hari ke- 4 (Gambar 8) kondisi luka sudah mulai menutup pada

    ketiga perlakuan hal ini terjadi karena telah terjadinya proliferasi dari sel. Pada

    saat ini peran fibroblas sangat penting dalam proses persembuhan luka. Fibroblas

    bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang

    akan digunakan pada konstruksi jaringan (Tawi 2008). Perbaikan dari sistem

    sirkulasi menyebabkan tekaan hidrostatik seimbang menyebabkan luka mulai

    mengering dan oedema berkurang.

    Pada hari ke-14 dan ke-21 luka sudah menutup sempurna. Pada saat ini

    fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari

    jaringan mulai berkurang karena pembuluh darah mulai regresi dan serat fibrin

    dari kolagen bertambah banyak memperkuat jaringan parut (Tawi 2008). Hal ini

    menyebabkan luka pada ketiga kelompok sembuh, ditandai dengan mulai

    menghilangnya jaringan parut .

    A

    B

    C

    Gambar 8. Gambaran patologi anatomis luka hari ke-4 pada mencit kelompok kontrol negatif (A), kelompok kontrol positif (B), serta kelompok perlakuan dengan salep ekstrak etanol rimpang kunyit (C).

    Hasil Pengamatan Histopatologi

    Sel Polimorfonuklear

    Hasil pemeriksaan mikroskopis terhadap jumlah sel polimorfonuklear,

  • akan ditunjukan pada Tabel 3 di bawah ini:

    Tabel 3 Rataan jumlah relatif sel polimorfonuklear pada pemeriksaan

    mikroskopis

    Hari ke- Kontrol Positif Kontrol Negatif Salep Ekstrak Etanol

    Rimpang Kunyit 2 9.014.40 a 15.715.24 a 6.872.93a 4 4.071.09 a 3.701.29 a 5.271.57a 7 14.500.00 a 10.582.99 a 11.701.81a 14 0.831.44 a 3.002.00a 1.330.58a 21 0.000.00 a 0.000.00a 0.000.00a

    Keterangan: Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata. (P>0.05)

    Hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan

    nyata (P>0.05) dari jumlah rataan sel netrofil untuk tiap kelompok (Tabel 3). Pada

    hari ke-2 diketahui bahwa sel polimorfonuklear (netrofil) telah hadir pada

    jaringan luka di setiap perlakuan. Menurut Price dan Wilson (1992), pada awal

    peradangan akut, aliran darah ke daerah yang meradang meningkat. Permeabilitas

    yang meningkat mengakibatkan cairan darah bocor keluar dari mikrosirkulasi,

    menyebabkan unsur-unsur darah dalam jumlah banyak (eritrosit, trombosit dan

    leukosit) tetap tertinggal sehingga viskositas darah meningkat mengakibatkan

    aliran darah di daerah luka melambat. Ketika viskositas darah meningkat dan

    aliran darah melambat, leukosit mulai mengalami marginasi, yaitu bergerak ke

    arah perifer di sepanjang lapisan pembuluh darah menuju ke daerah luka. Netrofil

    adalah leukosit yang pertama hadir pada proses persembuhan luka. Setelah

    terjadinya perlukaan sel-sel netrofil akan mengilfiltrasi jaringan luka dan

    terakumulasi pada benang-bengang fibrin. Benang-benang fibrin merupakan hasil

    dari polimerasi fibrinogen di jaringan ekstravaskular. Benang-benang fibrin ini

    akan mengisolasi jaringan perlukaan agar tidak mengakibatkan hal yang buruk

    bagi jaringan disekitarnya (McGavin dan Zachari 2007).

  • Gambar 9. Sel radang netrofil yang mengilfiltrasi jaringan luka dengan perlakuan salep ekstrak etanol rimpamg kunyit pada hari ke 7. Pewarnaan HE. Bar: 20 m

    Netrofil (Gambar 9) merupakan sel pertahanan pertama terhadap

    kontaminasi mikroba pada peradangan. Fungsi netrofil adalah membersihkan

    daerah luka dari benda asing dan bakteri (Singer dan Clark 1999). Menurut

    Spector dan Spector (1993) keberadaan netrofil di daerah luka sangat singkat,

    sehingga setelah dihasilkannya sitokin, monosit masak akan berubah menjadi

    makrofag di jaringan dan menggantikan fungsi netrofil. Keberadaan makrofag

    menjadi prasyarat terjadinya proses persembuhan.

    Keberadaan netrofil sudah terlihat pada awal perlukaan (Tabel 2).

    Netrofil sudah muncul pada hari ke-2 pada ketiga kelompok baik kontrol positif,

    negatif maupun perlakuan dengan salep ekstrak etanol rimpang kunyit. Jumlah

    netrofil tertinggi pada kontrol positif maupun perlakuan menggunakan salep

    ekstrak etanol rimpang kunyit terjadi pada hari ke-7, sedangkan kelompok kontrol

    negatif jumlah netrofil tertinggi terjadi pada hari ke-2. Pada hari ke -14

  • kelompok kontrol positif dan perlakuan salep ekstrak etanol rimpang kunyit

    memperlihatkan penurunan yang cukup signifikan, sedangkan pada kontrol

    negatif jumlahnya lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Penurunan jumlah netrofil

    pada kontrol positif dan dengan menggunaka sediaan salep ekstrak etanol

    rimpang kunyit, dapat disebabkan karena adanya zat anti inflamasi yaitu

    neoimicin sulfat 5% pada kontrol positif, sedangkan pada sediaan salep ekstrak

    etanol rimpang kunyit mengandung senyawa kuinon yang berfungsi sebagai anti

    mikrobial (Robinson 1995).

    Jika dibandingkan ketiga perlakuan baik kontrol positif, kontrol

    negatif, maupun perlakuan dengan salep ekstrak etanol rimpang kunyit terlihat

    bahwa pada hari pertama kontrol positf dan perlakuan salep ekstrak etanol

    rimpang kunyit memperlihatkan jumlah netrofil yang rendah di hari pertama

    dan hari ke-4, namun kemudian meningkat pada hari ke-7 dan turun secara

    signifikan pada hari ke -14 dan 21. Sedangkan pada kontrol negatif jumlah

    netrofil tertinggi justru terjadi pada hari pertama, sedangkan jumlah netrofil

    dari hari ke-7 menuju hari ke-14 penurunan jumlah netrofil tidak sebesar pada

    kelompok kontrol positif maupun perlakuan menggunakan salep ekstrak etanol

    rimpang kunyit. Perbandingan rataan jumlah sel polimorfonuklear disajikan pada

    grafik pada Gambar 10 berikut ini :

    02468

    1012141618

    2 4 7 14 21

    Hari Ke-

    Jum

    lah

    Sel P

    olim

    orfo

    nukl

    ear

    Kontrol Positif

    Kontrol Negatif

    Salep EkstrakEtanolRimpangKunyit

    Gambar 10. Perbandingan rataan jumlah sel polimorfonuklear pada proses persembuhan luka

  • Neovaskularisasi

    Menurut Singer dan Clark (1999) pembentukan pembuluh darah baru

    memiliki arti penting dalam proses persembuhan luka. Hasil pengamatan

    mikroskopis jumlah relatif rataan neovaskularisasi, akan disajikan pada Tabel 4.

    Tabel 4. Rataan jumlah relatif neovaskularisasi pada pemeriksaan mikroskopis

    Hari Kontrol Positif Kontrol Negatif Salep Ekstrak Etanol

    Rimpang Kunyit 2 0.000.00 a 0.000.00 a 0.000.00 a 4 0.330.58 a 0.000.00 a 0.000.00 a 7 8.001.73 a 0.671.15 b 1.670.58 b 14 6.332.52 a 5.001.00 a 6.671.15 a 21 0.000.00 a 6.001.00 b 1.671.53 a

    Keterangan: Huruf supersript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata. (P>0.05)

    Pada hari ke-2 maupun hari ke-4 terlihat ketiga perlakuan baik kontrol

    positif, kontrol negatif maupun kelompok perlakuan menggunakan salep ekstrak

    etanol rimpang kunyit tidak memperlihatkan perbedaan nyata (P>0.05) (Tabel 4)

    .Pada hari ke-2 belum terlihat munculnya neovaskularisasi pada ketiga kelompok.

    Hari keempat mulai terbentuk pembuluh darah baru pada kontrol positif,

    meskipun jumlahnya relatif masih sedikit.

    Pada hari ke-7 terjadi perbedaan nyata (P

  • luka. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu

    respon untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka, karena

    biasanya pada daerah luka terjadi keadaan hipoksia (Singer dan Clark 1999).

    Pada hari ke-14 ketiga perlakukan kembali tidak memperlihatkan

    perbedaan yang nyata (P>0.05). Menurut Spector dan Spector (1993), setelah

    dua minggu arteriola yang baru sudah mulai terbentuk dan memberikan suplai

    bagi saraf vasomotorik. Pada hari ke-21 terlihat terjadi perbedaan nyata (P

  • Apabila dibandingkan antara ketiga perlakuan (Gambar 12), terlihat

    bahwa kontrol positif mulai membentuk neovaskularisasai pada hari ke-4 berbeda

    dengan kontrol negatif dan perlakuan salep ekstrak etanol rimpang kunyit yang

    baru membentuk neovaskularisasi pada hari ke-7. Pada kontrol positif puncak

    jumlah neovaskularisasi terjadi pada hari ke-7 sedangkan pada kelompok negatif

    maupun perlakuan dengan ekstrak etanol kunyit jumlah pembentukan

    neovaskularisasi tertinggi terjadi pada hari ke-14. Pada hari ke-21 terlihat

    penurunan jumlah neovaskularisasi pada kontrol positif dan perlakuan dengan

    salep ekstrak etanol rimpang kunyit, sedangkan pada kontrol negatif jumlahnya

    masih relatif tinggi. Hal tersebut dapat menggambarkan persembuhan luka yang

    relatif lebih cepat pada kontrol positif maupun perlakuan dengan salep ekstrak

    etanol rimpang kunyit. Terjadinya keadaan seperti ini kemungkinan karena pada

    hari ke-14 dan 21 makrofag telah memfagositosis reruntuhan sel, terbukti dengan

    jumlah netrofil yang menurun pada kontrol positif maupun perlakuan dengan

    salep ekstrak etanol rimpang kunyit pada hari ke- 14 dan 21, sedangkan kontrol

    negatif pada hari yang sama jumlah netrofilnya masih relatif lebih tinggi daripada

    yang lain. Fagositosit oleh makrofag inilah yang memicu pembentukan pembuluh

    darah baru (Spector dan Spector 1993).

    0

    2

    4

    6

    8

    10

    2 4 7 14 21

    Hari Ke-

    Junl

    ah N

    eova

    skul

    ar

    Kontrol Positif

    Kontrol Negatif

    Salep EkstrakEtanolRimpangKunyit

    Gambar 12. Perbandingan rataan jumlah neovaskularisasi pada proses

    persembuhan luka

  • Reepitelisasi

    Proses reepitelisasi merupakan serangkaian peristiwa yang terkoordinasi

    dan terstruktur. Reepitelisasi pada kulit dicapai dengan meningkatkan aktivitas

    mitosis epitel di tepi luka (Spector dan Spector 1995). Hasil pengamatan

    mikroskopis mengenai gambaran reepitelisasi pada ketiga perlakuan ditunjukkan

    pada Tabel 5 berikut ini:

    Tabel 5. Persentase (%) reepitelisasi pada pemeriksaan mikroskopis

    Hari Ke- Kontrol Positif Kontrol Negatif Salep Ekstrak Etanol

    Rimpang Kunyit 2 33.3333.35 a 44.4319.28 a 55.5719.28 a 4 33.3333.35 a 33.3333.35 a 22.2019.23 a 7 77.8019.23 a 77.8019.23 a 44.4738.51 a 14 66.6757.74 a 88.9019.23 a 77.7738.51 a 21 100.000.00 a 100.000.00 a 100.000.00 a

    Keterangan: Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata. (P>0.05)

    Pada proses reepitelisasi t