autism
DESCRIPTION
hasil belajarTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Istilah “autisme” pertama kali diperkenalkan oleh Leo Kanner pada tahun 1943,
selanjutnya ia juga memakai istilah “Early Infantile Autism”, atau dalam bahasa
Indonesianya diterjemahkan sebagai “Autisme masa kanak-kanak” . Hal ini untuk
membedakan dari orang dewasa yang menunjukkan gejala autisme seperti ini.
Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan pada anak yang sifatnya komplek
dan berat, biasanya telah terlihat sebelum berumur 3 tahun, tidak mampu untuk
berkomunikasi dan mengekspresikan perasaan maupun keinginannya. Akibatnya
perilaku dan hubungannya dengan orang lain menjadi terganggu, sehingga keadaan
ini akan sangat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya.
Autisme dapat mengenai siapa saja tidak tergantung pada etnik, tingkat
pendidikan, sosial dan ekonomi. Autisme bukanlah masalah baru, dari berbgai bukti
yang ada, diketahui kelainan ini sudah ada sejak berabad-abad yang lampau. Hanya
saja istilahnya relatif masih baru. Diperkirakan kira-kira sampai 15 tahun yang lalu,
autisme merupakan suatu gangguan yang masih jarang ditemukan, diperkirakan
hanya 2-4 penyandang autisme. Tetapi sekarang terjdi peningkatan jumlah
penyandang autisme sampai lebih kurang 15-20 per 10.000 anak. Jika angka
kelahiran pertahun di Indonesia 4,6 juta anak, maka jumlah penyandang autisme
pertahun akan bertambah dengan 0,15% yaitu 6900 anak.
I.2 Tujuan dan manfaat
1. Menambah wawasan bersama
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi autisme
Istilah autisme berasal dari kata “Autos” yang berarti diri sendiri dan
“isme” yang berarti suatu aliran, sehingga dapat diartikan sebagai suatu
paham tertarik pada dunianya sendiri (Suryana, 2004). Autisme pertama
kali ditemukan oleh Leo Kanner pada tahun 1943. Kanner
mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk
berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan
dengan penguasaan bahasa yang tertunda, echolalia, mutism, pembalikan
kalimat, adanya aktivitas bermain repetitive dan stereotype, rute ingatan
yang kuat dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di
dalam lingkungannya (Dawson & Castelloe dalam Widihastuti, 2007).
Gulo (1982) menyebutkan autisme berarti preokupasi terhadap pikiran
dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi
kepada pikiran subjektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autisme disebut orang
yang hidup di “alamnya” sendiri.
Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan suatu gejala psikosis
pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut sindrom
Kanner yang dicirikan dengan ekspresi wajah yang kosong seolah-olah
sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain untuk
menarik perhatian mereka atau mengajak mereka berkomunikasi
(Budiman, 1998).
Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks
menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi.
Gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia 3 tahun (Suryana, 2004).
Menurut dr. Faisal Yatim DTM&H, MPH (dalam Suryana, 2004), autisme
bukanlah gejala penyakit tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala)
dimana terjadi penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan
berbahasa dan kepedulian terhadap sekitar, sehingga anak autisme hidup
dalam dunianya sendiri. Autisme tidak termasuk ke dalam golongan suatu
penyakit tetapi suatu kumpulan gejala kelainan perilaku dan kemajuan
perkembangan. Dengan kata lain, pada anak Autisme terjadi kelainan
emosi, intelektual dan kemauan (gangguan pervasif).
Berdasarkan uraian di atas, maka autisme adalah gangguan
perkembangan yang sifatnya luas dan kompleks, mencakup aspek interaksi
sosial, kognisi, bahasa dan motorik
2. Epidemiologi
Penyandang autisme pada anak (autsme infantil) dalam kurun waktu
10- 20 tahun terahir semakin meningkat di dunia. Prevalensi anak autis di
dunia pada tahun 1987 diperkirakan 1 berbanding 5.000 kelahiran.
Sepuluh tahun kemudian yaitu tahun 1997, angka itu berubah menjadi 1
berbanding 500 kelahiran dan tahun 2000 prevalensi anak autisme
meningkat menjadi 1 banding 150 kelahiran dan tahun 2001
perbandingannya berubah menjadi 1:100 kelahiran. Secara global
prevalensinya berkisar 4 per 10.000 penduduk, dan pengidap autisme laki-
laki lebih banyak di banding wanita (lebih kurang 4 kalinya). Sedangkan
penyandang autis di indonesia di perkirakan lebih dari 400.000 anak.
3. Etiologi
Etiologi pasti dari autis belum sepenuhnya jelas. Beberapa teori yang
menjelaskan tentang autisme
a) Teori psikoanalitik
Teori yang menyatakan bahwa autismekarena penolakan orang tua
terhadap anaknya. Anak menolak orang tuanya dan mampu merasakan
perasaan negatif mereka. anak tersebut meyakini bahwa dia tidak
memiiki dampak apapun pada dunia sehingga menciptakan benteng
kekosongan untuk melindungi dirinya dari penderitaan dan
kekecewaan.
b) Genetik
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki 3-4 kali lebih
beresiko lebih tinggi dari wanita. Sementara resiko autis jika memiliki
saudara kandung yang juga autis sekitar 3%. Kelainan gen pembentuk
metalotianin juga berpengaruh pada kejadian autis. Metalotianin
adalah kelompok protein yang juga merupakan mekanisme kontrol
tubuh terhadap tembaga dan seng. Fungsi lainnya
c) Studi biokimia dan riset neurologis
4. Patogenesis autisme
Sampai sejauh ini tidak ada gen spesifik autisme yang teridentifikasi
meskipun bu ini telah dikemukakan ada keterkaitan dengan gen serotonin
transporter. Selain itu adanya teori opioidyang mengemukakan bahwa
autisme timbul dari beban yang berlebihan pada susunan saraf pusat oleh
opioid pada usia dini.
5. Ciri-ciri autisme
Menurut American Psychiatric Association dalam buku Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition Text Revision
(DSM IV-TR, 2004), kriteria diagnostik untuk dari gangguan autistik
adalah sebagai berikut:
A. Jumlah dari 6 (atau lebih) item dari (1), (2) dan (3), dengan
setidaknya dua dari (1), dan satu dari masing-masing (2) dan (3):
1) Kerusakan kualitatif dalam interaksi sosial, yang
dimanifestasikan dengan setidak-tidaknya dua dari hal
berikut:
a) Kerusakan yang dapat ditandai dari penggunaan
beberapa perilaku non verbal seperti tatapan langsung,
ekspresi wajah, postur tubuh dan gestur untuk mengatur
interaksi sosial.
b) Kegagalan untuk mengembangkan hubungan teman
sebaya yang tepat menurut tahap perkembangan.
c) Kekurangan dalam mencoba secara spontanitas untuk
berbagi kesenangan, ketertarikan atau pencapaian
dengan orang lain (seperti dengan kurangnya
menunjukkan atau membawa objek ketertarikan).
d) Kekurangan dalam timbal balik sosial atau emosional.
2) Kerusakan kualitatif dalam komunikasi yang
dimanifestasikan pada setidak-tidaknya satu dari hal berikut:
a) Penundaan dalam atau kekurangan penuh pada
perkembangan bahasa (tidak disertai dengan usaha
untuk menggantinya melalui beragam alternatif dari
komunikasi, seperti gestur atau mimik).
b) Pada individu dengan bicara yang cukup, kerusakan
ditandai dengan kemampuan untuk memulai atau
mempertahankan percakapan dengan orang lain.
c) Penggunaan bahasa yang berulang-ulang dan berbentuk
tetap atau bahasa yang aneh.
d) Kekurangan divariasikan, dengan permainan berpura-
pura yang spontan atau permainan imitasi sosial yang
sesuai dengan tahap perkembangan.
3) Dibatasinya pola-pola perilaku yang berulang-ulang dan
berbentuk tetap, ketertarikan dan aktivitas, yang
dimanifestasikan pada setidak-tidaknya satu dari hal berikut:
a) Meliputi preokupasi dengan satu atau lebih pola
ketertarikan yang berbentuk tetap dan terhalang, yang
intensitas atau fokusnya abnormal.
b) Ketidakfleksibilitasan pada rutinitas non fungsional
atau ritual yang spesifik.
c) Sikap motorik yang berbentuk tetap dan berulang
(tepukan atau mengepakkan tangan dan jari, atau
pergerakan yang kompleks dari keseluruhan tubuh).
d) Preokupasi yang tetap dengan bagian dari objek
B. Fungsi yang tertunda atau abnormal setidak-tidaknya dalam 1 dari
area berikut, dengan permulaan terjadi pada usia 3 tahun: (1)
interaksi sosial, (2) bahasa yang digunakan dalam komunikasi
sosial atau (3) permainan simbolik atau imajinatif.
C. Gangguan tidak lebih baik bila dimasukkan dalam Rett’s Disorder
atau Childhood Disintegrative Disorder.
Gangguan autistik lebih banyak dijumpai pada pria dibanding wanita
dengan ratio 5 : 1. Dalam pengklasifikasian gangguan autisme untuk
tujuan ilmiah dapat digolongkan atas autisme ringan, sedang dan berat.
Namun pengklasifikasian ini jarang dikemukakan pada orangtua karena
diperkirakan akan mempengaruhi sikap dan intervensi yang dilakukan.
Padahal untuk penanganan dan intervensi antara autisme ringan, sedang
dan berat tidak berbeda. Penanganan dan intervensinya harus intensif dan
terpadu sehingga memberikan hasil yang optimal. Orangtua harus
memberikan perhatian yang lebih bagi anak penyandang autis. Selain itu
penerimaan dan kasih sayang merupakan hal yang terpenting dalam
membimbing dan membesarkan anak autis (Yusuf, 2003).
6. Tingkat kecerdasan anak autis
Pusponegoro dan Solek (2007) menyebutkan bahwa tingkat
kecerdasan anak autis dibagi mejadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
a. Low Functioning (IQ rendah)
Apabila penderitanya masuk ke dalam kategori low functioning (IQ
rendah), maka dikemudian hari hampir dipastikan penderita ini tidak
dapat diharapkan untuk hidup mandiri, sepanjang hidup penderita
memerlukan bantuan orang lain.
b. Medium Functioning (IQ sedang)
Apabila penderita masuk ke dalam kategori medium functioning (IQ
sedang), maka dikemudian hari masih bisa hidup bermasyarakat dan
penderita ini masih bisa masuk sekolah khusus yang memang dibuat
untuk anak penderita autis.
c. High Functioning (IQ tinggi)
Apabila penderitanya masuk ke dalam kategori high functioning (IQ
”tinggi”), maka dikemudian hari bisa hidup mandiri bahkan mungkin
sukses dalam pekerjaannya, dapat juga hidup berkeluarga.
7. Perkembangan anak autisme
Menurut Wenar (1994) autisme berkembang pada 30 bulan pertama
dalam hidup, saat dimensi dasar dari keterkaitan antar manusia dibangun,
karenanya periode perkembangan yang dibahas akan dibagi menjadi masa
infant dan toddler dan masa prasekolah dan kanak-kanak tengah.
1. Masa infant dan toddler
Hubungan dengan care giver merupakan pusat dari masa ini. Pada kasus
autisme sejumlah faktor berhubungan untuk membedakan perkembangannya
dengan perkembangan anak normal.
Tabel 2. Perbedaan perkembangan anak normal dan anak autis pada masa infant dan toddler
No. Faktor Pembeda
Perkembangan Normal
Anak Autis
1. Pola tatapan mata Usia 6 bulan sudah
mampu melakukan kontak sosial melalui tatapan Toddler: menggunakan gaze sebagai sinyal pemenuhan vokalisasi mereka atau mengundang partner untuk bicara
Pandangan mereka melewati orang dewasa yang mencegah perkembangan pola interaksi melalui tatapan Lebih sering melihat kemana-mana daripada ke orang dewasa
2. Affect Usia 2,5-3 bulan sudah melakukan senyum sosial
Tidak ada senyum sosial Usia 30-70 bulan melihat dan tersenyum terhadap ibunya, tapi tidak disertai dengan kontak mata dan kurang merespon senyuman ibunya
3. Vokalisasi Usia 2-4 bualn anak dan ibu terlibat dalam pola yang simultan dan berganti vokal yang menjadi awal bagi komunikasi verbal selanjutnya.
Karakter mutism mereka tampak dari kurangnya babbling yang menghambat jalan interaksi sosial ini
4. Imitasi Sosial: berkaitan dengan responsifitas sosial, bermain bebas dan bahasa
Langsung muncul setelah lahir
Usia 8-26 bulan dapat meniru ekspresi wajah tapi melalui sejumlah keanehan dan respon mekanikal yang mengindikasikan sulitnya perilaku ini bagi mereka
5. Inisiatif dan Reciprocity Merespon stimulus
yang ada sehingga timbul reciprocity
Anak menjadi penerima pasif dari permainan orang dewasa dan tidak berinteraksi secara ktif dengan mereka
6 Attachment Kelekatan pada anak autis diselingi dengan karakteristik pengulangan pergerakan motorik mereka seperti tepukan tangan, goncangan dan berputar-putar
7. Kepatuhan dan Negativisme
Anak autis patuh terhadap permintaan. Jika permintaan tersebut sesuai dengan kapasitas intelektual mereka, mereka dapat merespon secara pantas saat mereka dalam lingkungan yang terstruktur dan dapat diprediksi. Anak autis memiliki sifat negativistik secara berlebihan
2. Masa prasekolah dan kanak-kanak tengah
a. Faktor afektif-motivasional
Motivasi untuk menjadi partisipan aktif yang kuat pada anak
normal, lemah pada anak autis. Anak autis kurang tertarik dengan
teman sebayanya. Anak autis kurang dalam empati, yaitu proses
dimana seseorang berespon secara afektif terhadap orang lain
seperti mereka mengalami affect yang sama dengan orang tersebut.
b. Reciprocity
Pada anak autis, ketidakmampuan untuk berpartisipasi secara
penuh dalam interkasi sosial resiprokal yang sesuai umur dapat
bertahan seumur hidup mereka.
1) Kesulitan penerimaan
Mereka sulit mengenali wajah atau suara dari foto
atau rekaman suara, mungkin karena kesulitan kognitif
dalam memproses stimulus sosial yang kompleks. Anak
autis memahami penyebab dari emosi setidaknya pada
level-level sederhana. Misalnya: mereka memahami
hubungan antara situasi dan affect. Orang merasa senang
saat pesta ulang tahun, sedih saat jatuh.
2) Kesulitan ekspresif
Mereka kurang dalam hal malu, afeksi dan bersalah
yang biasanya muncul pada anak normal usia 2-3 tahun.
Mereka juga mengalami kekurangan dalam ekspresi
wajah, miskinnya gesture tubuh dan kurangnya modulasi
dalam aspek ekspresif dari suara yang memberikan kesan
kaku.
8. Diagnosis banding
Yang dapat menjadi diagnosis banding adalah
a) Gangguan perkembangan pervasif lainnya
1) Sindroma rett
2) Sindroma asperger
3) Sindroma disintegratif
b) Gangguan perkembangan bahasa
c) Skizofrenia dengan onset masa anak-anak
d) Retradasi mental
e) Afasia didapat dengan kejang
f) Ketulian kongenital atau gangguan pendengaran parah
g) Pemutusan psikososial
9. Pendekatan klinis autisme
1) Anamnesis
Ada beberapa gejala yang harus diwaspadai terlihat sejak bayi atau
anak menurut usia
Usia 0-6 bulan : terlalu tenang, terlalu sensitif, gerakan ekstremitas
berlebih, tidak ada senyum sosial (di atais 10 minggu), tidak ada
kontak mata (diatas 3 bulan), perkembangan motor kasar dan halus
tampak normal
Usia 6-12 bulan: terlalu tenang, terlalu sensitif, gerakan ekstremitas
berlebih, sulit digendong, sering mengigit orang lain (berlebihan),
senyum sosial (-), kontak mata(-),perkembangan motor kasar dan
halus tampak normal
1-2 tahun :
2) Pemeriksaan psikiatri
Kesan umum: tampak sakit jiwa
Kesadaran : kompos mentis
Sikap : hipoaktif
Tingkah laku: senyum sendiri, bicara sendiri, stereotipi
Orientasi: baik/ buruk
Bentuk pikir : autistik
Isi pikir: waham bizarre
Progresi pikir: neologisme, ekolali, inkoherensi, irrelevansi
Roman muka: sedikit mimik
Afek : inappropiate
Persepsi : halusinasi
Perhatian :sulit ditarik
Hubungan jiwa : sulit
Insight : buruk
3) Tatalaksana
Sampai saat ini belum ada obat-obatan atau cara lain yang dapat
menimbulkan autisme.terapi perilaku merupakan yang paling penting.
Metode yang digunakan adalah metode Lovans, dibedakan menjadi
enam kemampuan dasar yaitu:
1. Kemampuan memperhatikan
2. Kemampuan menirukan
3. Bahasa reseptif
4. Bahasa ekspresif
5. Ketrampilan praakademis
6. Kemampuan mengurus diri sendiri
Berikut juga dipaparkan tentang terapi menurut sugiarmin
1. Terapi Tingkah laku
Berbagai jenis terapi tingkahlaku telah dikembangkan untuk
mendidik penyandang autisme, mengurangi tingkahlaku yang
tidak lazim dan menggantinya dengan tingkahlaku yang bisa
diterima dslsm masyarakat Terapi ini sangat penting untuk
membantu penyandang autisme untuk lebih bisa menyesuaikan
diri dalam masyarakat.
2. Terapi wicara
Terapi wicara seringkali masih tetap dibutuhkan untuk
memperlancar bahasa anak. Menerapkan terapi wicara pasda
anak autisme berbeda daripada anak lain. Oleh karena itu
diperlukan pengetahuan yang cukup mendalam tentang
gangguan bicara pada anak autisme.
3. Pendidikan kebutuhan khusus
Pendidikan pada tahap awal diterapkan satu guru untuk satu
anak. Cara ini paling efektif karena anak sulit memusatkan
perhatiannya dalam suatu kelas yang besar. Secara bertahap
anak dimasukan dalam kelompok kelas untuk dapat mengikuti
pembelajaran secara klasikal. Penggunaan guru pendamping
sebaiknya tidak terlalu dominan, yang diharapkan adalah anak
dengan gangguan autisme dapat secara terus menerus belajar
dengan anak-anak lainnya dalam satu pembelajaran bersama.
Pola pendidikan yang terstruktur baik di sekolah maupun di
rumah sangat diperlukan bagi anak ini. Mereka harus dilatih
untuk mandiri, terutama soal bantu diri. Maka seluruh keluarga
di rumah harus memakai pola yang sama Agar tidak
membingungkan anak.
4. Terapi okupasi
Sebagian individu dengan gangguan autisme mempunyai
perkembangan motorik terutama motorik halus yang kurang
baik. Terapi okupasi diberikan untuk membantu menguatkan,
memperbaiki koordinasi dan keterampilan otot halus seperti
tangan. Otot jari tangan penting dilatih terutama untuk persiapan
menulis dan melakukan segala pekerjaan yang membutuhkan
keterampilan motorik halus.
5. Terapi medikamentosa (obat)
Pada keadaan tertentu individu dengan gangguan autisme
mempunyai beberapa gejala yang menyertai gangguan autisme,
seperti perilaku agresif atau hiperaktivitas. Pada individu dengan
keadaan demikian dianjurkan untuk menggunakan pemberian
obat-obatan secara tepat. Penggunaaan obat-obat yang digunkan
biasanya dilakukan dengan cermat agar memperoleh pengaruh
positif terhadap perkembangan anak.
10. Prognosis
Prognosis anak autisme dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1) Berat ringannya gejala atau kelainan otak
2) Usia,
3) Kecerdasan,
4) Bicara dan bahasa
5) Terapi yang intensif dan terpadu
Prognosis untuk penderita autisme tidak selalu buruk. Pada gangguan
autisme, anak yang mempunyai IQ diatas 70 dan mampu menggunakan
komunikasi bahasa mempunyai prognosis yang baik. Berdasarkan
gangguan pada otak, autisme tidak dapat sembuh total tetapi gejalanya
dapat dikurangi, perilaku dapat dirubah ke arah positif dengan berbagai
terapi.
11. Orangtua yang memiliki anak autis
Menurut Poerwadarminta (1985), orangtua adalah ibu dan bapak.
Sementara menurut Departemen Pendidikan Nasional dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2005), orangtua adalah ayah dan ibu kandung. Jadi, dari
definisi diatas, maka dapat dismpulkan bahwa orang tua yang memiliki
anak autis adalah ayah dan ibu yang memiliki anak-anak dengan ciri-ciri
autisme.
Dalam menerima kehadiran anak dengan gangguan autisme, beragam
hal terjadi pada diri orangtua. Orangtua biasanya stres, kecewa, patah
semangat, mencari pengobatan keman-mana, serba khawatir terhadap
masa depan anaknya dan lain-lain (Widihastuti, 2007). Hal ini ditegaskan
kembali oleh Williams dan Wright (2004) yang mengatakan bahwa
keluarga akan melalui serangkaian emosi saat dikatakan anak mereka
autis. Ini bervariasi pada setiap keluarga, dan setiap keluarga punya
perjalanan emosionalnya sendiri. Beberapa keluarga telah melalui proses
diagnostik panjang dan beberapa harus menunggu lama waktu konsultasi.
Beberapa menemukan prosesnya sangat cepat sehingga punya sedikit
waktu untuk memikirkan akibatnya dari menata emosi mereka. Pada
beberapa anak, diagnosis lebih mudah dibuat pada saat anak berusia dini
dan pada beberapa, diagnosisnya sulit karena masalahnya lebih ringan.
Semua ini dapat mempengaruhi bagaimana orangtua akan memikirkan
langkah ke depan apa yang harus mereka lakukan.
Menurut Williams dan Wright (2004) semua orangtua memiliki
respon dan perasaan berbeda saat anak mereka didagnosa menderita
autisme. Beberapa reaksinya adalah sebagai berikut:
a. Lega, jika orangtua memahami mengenai autisme dan
mengetahui bagaimana mencari bantuan ahli.
b. Rasa bersalah, adalah perasaan orangtua yang khawatir jika
mereka melakukan hal yang salah selama kehamilan atau
pengasuhannya.
c. Kehilangan, jika mimpi dan cita-cita bagi anak mereka sebelum
lahir dan saat mereka masih kecil tidak terpenuhi.
d. Ketakutan akan masa depan, disebabkan keluarga sangat takut
akan masa depan anak-anak mereka dan harus mengubah
harapan akan masa depan anaknya.
e. Mencari informasi, keluarga ingin mengumpulkan informasi
sebanyak mungkin dan mencari keluarga lain untuk berbagi
pengalaman. Walaupun ada beberapa keluarga yang mungkin
menghindar dari informasi dan mencoba tidak
memperdulikannya.