atresia ani
DESCRIPTION
laporan pendahuluanTRANSCRIPT
ATRESIA ANI
A. Pengertian
Istilah atresia ani berasal dari bahasa Yunani yaitu “ a “ yang artinya tidak ada dan trepsis
yang berarti makanan dan nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia ani adalah suatu keadaan
tidak adanya atau tertutupnya lubang yang normal. Atresia ani atau anus imperporata adalah
malformasi kongenital dimana rektum tidak mempunyai lubang ke luar (Wong, 2003).
Sebagian besar prognosis atresia ani biasanya baik bila didukung perawatan yang tepat
dan juga tergantung kelainaan letak anatomi saat lahir. Atresia ani bila tidak segera ditangani
maka dapat terjadi komplikasi seperti obstruksi intestinal, konstipasi dan inkontinensia feses.
Klasifikasi atresia ani:
1. Kelainan Rendah (Low Anomaly/Kelainan Translevator), ciri-cirinya adalah rektum turun
sampai ke otot puborektal, spingter ani eksternal dan internal berkembang sempurna
dengan fungsi yang normal, rektum menembus muskulus levator ani sehingga jarak kulit
dan rektum paling jauh 2 cm. Tipe dari kelainan rendah antara lain adalah anal stenosis,
imperforata membrane anal, dan fistula ( untuk laki-laki fistula ke perineum, skrotum atau
permukaan penis, dan untuk perempuan anterior ektopik anus atau anocutaneus fistula
merupakan fistula ke perineal, vestibular atau vaginal).
2. Kelainan Intermediet/Menengah (Intermediate Anomaly), ciri-cirinya adalah ujung rektum
mencapai tingkat muskulus Levator ani tetapi tidak menembusnya, rektum turun melewati
otot puborektal sampai 1 cm atau tepat di otot puborektal, ada lesung anal dan sfingter
eksternal. Tipe kelainan intermediet antara lain, untuk laki-laki bisa
rektobulbar/rektouretral fistula yaitu fistula kecil dari kantong rektal ke bulbar), dan anal
agenesis tanpa fistula. Sedangkan untuk perempuan bisa rektovagional fistula, analgenesis
tanpa fistula, dan rektovestibular fistula.
3. Kelainan Tinggi (High Anomaly/Kelainan Supralevator). Kelainan tinggi mempunyai
beberapa tipe antara lain: laki-laki ada anorektal agenesis, rektouretral fistula yaitu rektum
buntu tidak ada hubungan dengan saluran urinary, fistula ke prostatic uretra. Rektum
berakhir diatas muskulus puborektal dan muskulus levator ani, tidak ada sfingter internal.
Perempuan ada anorektal agenesis dengan fistula vaginal tinggi, yaitu fistula antara rectum
dan vagina posterior. Pada laki dan perempuan biasanya rektal atresia.
B. Etiologi
Penyebab kelainan ini belum diketahui secara pasti. Dalam beberapa kasus, atresia ani
kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan (seperti peggunaan obat-
obatan dan konsumsi alkohol selama masa kehamilan) namun hal ini masih belum jelas
(Bobak, 2005). Kelainan genetik atau bawaan (autosomal) anus disebabkan oleh gangguan
pertumbuhan, fusi dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Pada minggu kelima
sampai ketujuh pada usia kehamilan, terjadi gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan
sinus urogenital, biasanya karena gangguan perkembangan septum urogenital.
C. Anatomi
a. Usus halus (usus kecil)
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di
antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut
zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang
melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang
dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula
dan lemak. Lapisan usus halus ; lapisan mukosa ( sebelah dalam ), lapisan otot melingkar
( M sirkuler ), lapisan otot memanjang ( M Longitidinal ) dan lapisan serosa ( Sebelah Luar ).
Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong
(jejunum), dan usus penyerapan (ileum).
1. Usus dua belas jari (Duodenum)
Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak
setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejunum). Bagian usus dua
belas jari merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale
dan berakhir di ligamentum Treitz. Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal,
yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang
normal berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara
saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu. Nama duodenum berasal dari bahasa
Latin duodenum digitorum, yang berarti dua belas jari.
Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum), yang
merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam duodenum
melalui sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa di cerna oleh usus halus. Jika penuh,
duodenum akan megirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti mengalirkan
makanan.
2. Usus Kosong (jejenum)
Usus kosong atau jejunum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah bagian kedua
dari usus halus, di antara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum).
Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah
bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam tubuh
dengan mesenterium. Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan
terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus. Secara histologis
dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni berkurangnya kelenjar Brunner.
Secara hitologis pula dapat dibedakan dengan usus penyerapan, yakni sedikitnya sel
goblet dan plak Peyeri. Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan usus
penyerapan secara makroskopis. Jejunum diturunkan dari kata sifat jejune yang berarti
“lapar” dalam bahasa Inggris modern. Arti aslinya berasal dari bahasa Laton, jejunus,
yang berarti “kosong”.
3. Usus Penyerapan (illeum)
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem
pencernaan manusia, ) ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah
duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7
dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-garam
empedu.
b. Usus Besar (Kolon)
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan
rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar terdiri dari :
Kolon asendens (kanan), Kolon transversum, Kolon desendens (kiri)
Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum). Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam
usus besar berfungsi mencerna beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi.
Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K.
Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa
menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi
yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.
c. Usus Buntu (sekum)
Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin: caecus, “buta”) dalam istilah anatomi adalah
suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon menanjak dari
usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Sebagian
besar herbivora memiliki sekum yang besar, sedangkan karnivora eksklusif memiliki sekum
yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing.
d. Umbai Cacing (Appendix)
Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu. Infeksi pada
organ ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing. Apendisitis yang parah dapat
menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga abdomen atau
peritonitis (infeksi rongga abdomen).
Dalam anatomi manusia, umbai cacing atau dalam bahasa Inggris, vermiform appendix
(atau hanya appendix) adalah hujung buntu tabung yang menyambung dengan caecum.
Umbai cacing terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam orang dewasa, Umbai
cacing berukuran sekitar 10 cm tetapi bisa bervariasi dari 2 sampai 20 cm. Walaupun lokasi
apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa berbeda – bisa di retrocaecal atau di
pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di peritoneum. Banyak orang percaya umbai
cacing tidak berguna dan organ vestigial (sisihan), sebagian yang lain percaya bahwa
apendiks mempunyai fungsi dalam sistem limfatik. Operasi membuang umbai cacing
dikenal sebagai appendektomi.
e. Rektum dan anus
Rektum (Bahasa Latin: regere, “meluruskan, mengatur”) adalah sebuah ruangan yang
berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini
berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong
karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon
desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air
besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam
rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi.
Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di mana
penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama,
konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa
menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam
pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB.
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari
tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lannya dari
usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses dibuang dari tubuh
melalui proses defekasi (buang air besar – BAB), yang merupakan fungsi utama anus.
D. Patofisiologi
Pada usia gestasi minggu ke-5, kloaka berkembang menjadi saluran urinari, genital dan
rektum. Usia gestasi minggu ke-6, septum urorektal membagi kloaka menjadi sinus urogenital
anterior dan intestinal posterior. Usia gestasi minggu ke-7, terjadi pemisahan segmen rektal
dan urinari secara sempurna. Pada usia gestasi minggu ke-9, bagian urogenital sudah
mempunyai lubang eksterna dan bagian anus tertutup oleh membrane. Atresia ani muncul
ketika terdapat gangguan pada proses tersebut.
Selama pergerakan usus, mekonium melewati usus besar ke rektum dan kemudian
menuju anus. Persarafan di anal kanal membantu sensasi keinginan untuk buang air besar
(BAB) dan juga menstimulasi aktivitas otot. Otot tersebut membantu mengontrol pengeluaran
feses saat buang air. Pada bayi dengan malformasi anorektal (atresia ani) terjadi beberapa
kondisi abnormal sebagai berikut: lubang anus sempit atau salah letak di depan tempat
semestinya, terdapat membrane pada saat pembukaan anal, rectum tidak terhubung dengan
anus, rektum terhubung dengan saluran kemih atau sistem reproduksi melalui fistula, dan
tidak terdapat pembukaan anus.
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik pada klien dengan atresia ani antara lain meconium tidak keluar dalam
24 jam pertama setelah kelahiran atau keluar melalui saluran urin, vagina atau fistula. Pada
bayi baru lahir tidak dapat dilakukan pengukuran sehu secara fekal. Distensi abdomen dapat
terjadi bertahap dalam 8-24 jam pertama. Pemeriksaan fisik ditemukan adanya tanda-tanda
obstruksi usus dan adanya konstipasi. Muntah pada bayi umur 24048 jam atau bila bayi diberi
makan juga perlu diperhatikan. Pembukaan anal terbatas atau adanya misplaced pembukaan
anal. Lebih dari 50% klien dengan atresia ani mempunyai kelainan congenital lain (Kurniah,
2013).
F. Pemeriksaan Penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
1. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak
pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.
3. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam sistem pencernaan dan
mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
4. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
5. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6. Pemeriksaan fisik rektum
Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
7. Rontgenogram abdomen dan pelvis juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya
fistula yang berhubungan dengan traktus urinarius.
G. Komplikasi
Komplikasi jangka pendek yang dapat terjadi pada klien atresia ani adalah asidosis
hiperkloremi, infeksi saluran kemih yang berkepanjangan, dan kerusakan uretra. Komplikasi
jangka panjang yang dapat terjadi antara lain eversi mukosa anal, stenosis, infaksi dan
kostipasi, masalah toilet training, prolaps mukosa anorectal, dan fistula kambuhan. Komplikasi
lainnya antara lain obstruksi intestinal dan inkontinensia bowel (Kurniah, 2013).
H. Penatalaksanaan Medis
Ada beberapa penataklasaan medis, yaitu (Kurniah, 2013):
1. Kolostomi
Bayi laki-laki maupun perempuan yang didiagnosa mengalami malformasi anorektal
(atresia ani) tanpa fistula membutuhkan satu atau beberapa kali operasi untuk
memperbaikinya. Kolostomi adalah bentuk operasi yang pertama dan biasa dilakukan.
Kolostomi dilakukan untuk anomaly jenis kelainan tinggi (High Anomaly), rektovaginal
fistula, rektovestibular fistula, rektouretral fistula, atresia rektum, dan jika hasil jarak udara
di ujung distal rektum ke tanda timah atau logam di perineum pada radiologi invertogram
> 1 cm. Tempat yang dianjurkan ada 2 : transverso kolostomi dan sigmoidostomi. Bentuk
kolostomi yang aman adalah stoma laras ganda. Kolostomi merupakan perlindungan
sementara (4-8 minggu) sebelum dilakukan pembedahan. Pemasangan kolostomi
dilanjutkan 6-8 minggu setelah anoplasty atau bedah laparoskopi. Kolostomi ditutup 2-3
bulan setelah dilatasi rektal/anal postoperatif anoplasty. Kolostomi dilakukan pada periode
perinatal dan diperbaiki pada usia 12-15 bulan.
1. Dilatasi Anal (secara digital atau manual)
Dilatasi anal dilakukan pertama oleh dokter, kemudian dilanjutkan oleh perawat.
Setelah itu prosedur ini diajarkan kepada orang tua kemudian dilakukan mandiri. Klien
dengan anal stenosis, dilatasi anal dilakukan 3x sehari selama 10-14 hari. Dilatasi anal
dilakukan dengan posisi lutut fleksi dekat ke dada. Dilator anal dioleskan cairan/minyak
pelumas dan dimasukkan 3-4 cm ke dalam rektal.
Pada perawatan postoperatif anoplasty, dilatasi anal dilakukan beberapa minggu
(umumnya 1-2 minggu) setelah pembedahan. Dilatasi anal dilakukan dua kali sehari selama
30 detik setiap hari dengan menggunakan Hegar Dilator. Ukuran dilator harus diganti
setiap minggu ke ukuran yang lebih besar. Ketika seluruh ukuran dilator dapat dicapai,
kolostomi dapat ditutup, namun dilatasi tetap dilanjutkan dengan mengurangi frekuensi.
Ukuran Hegar Dilator:
Umur Anak Hegar Dilator1-4 bulan 12
4-12 bulan 138-12 bulan 141-3 tahun 15
3-12 tahun 16>12 tahun 17
2. Anoplasty
Anoplasty dilakukan selama periode neonatal jika bayi cukup umur dan tanpa
kerusakan lain. Operasi ditunda paling lama sampai usia 3 bulan jika tidak mengalami
konstipasi. Anoplasty digunakan untuk kelainan rektoperineal fistula, rektovaginal
fistula, rektovestibular fistula, rektouretral fistula, atresia rektum.
3. Bedah Laparoskopik/Bedah Terbuka Tradisional
Pembedahan ini dilakukan dengan menarik rectum ke pembukaan anus.
I. Penatalaksanaan Keperawatan
Ada beberapa tindakan lkeperawatan yang dapat dilakukan, yaitu (Kurniah, 2013):
1. Toilet Training
Toilet training dimulai pada usia 2-3 tahun. Menggunakan strategi yang sama dengan
anak normal,misalnya pemilihan tempat duduk berlubang untuk eliminasi dan atau
penggunaan toilet. Tempat duduk berlubang untuk eliminasi yang tidak ditopang oleh
benda lain memungkinkan anak merasa aman. Menjejakkan kaki le lantai juga
memfasilitasi defekasi
2. Bowel Management
Meliputi enema/irigasi kolon satu kali sehari untuk membersihkan kolon.
3. Diet Konstipasi
Makanan disediakan hangat atau pada suhu ruangan, jangan terlalu panas/dingin.
Sayuran dimasak dengan benar. Menghindari buah-buahan dan sayuran mentah.
Menghindari makanan yang memproduksi gas/menyebabkan kram, seperti minuman
karbonat, permen karet, buncis, kol, makanan pedas, pemakaian sedotan
4. Diet Laksatif/Tinggi Serat
Diet laksatif/tinggi serat antara lain dengan mengkonsumsi makanan seperti ASI, buah-
buahan, sayuran, jus apel dan apricot, buah kering, makanan tinggi lemak, coklat, dan
kafein.
J. Pembedahan Pada Atresia Ani
Tindakan sementara
Salah satu tindakan sementara adalah kolostomi. Kolostomi adalah suatu operasi
untuk membentuk suatu lubang buatan antara kolon dengan permukaan kulit pada
dinding perut. Lubang buatan ini bisa bersifat sementara atau selamanya. Jenis – jenis
kolostomi, antara lain(Anderson,2002) :
1. Kolostomi transversum
2. Kolostomi sigmoid
3. Kolostomi kolon asenden
4. Kolostomi kolon desenden.
Untuk kolostomi kolon asenden dan desenden sangat jarang digunakan karena
letak anatomis dari kolon asenden dan desenden tersebut retroperitoneal (Brunicardi,
2005)
Terapi definitif
Terapi definitif yang biasa digunakan pada atresia ani adalah anoplasti.
Anoplasti adalah tindakan pembedahan untuk membuat anus pada penderita
malformasi anorektal.
Anoplasti dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. Abdominoperineal pulltrough
Indikasi: Rektum terletak sangat tinggi dan tidak mungkin dicapai melalui insisi
perineum
Dilakukan dengan:
Posisi pronasi, panggul diganjal bantal dilanjutkan posisi supinasi
Insisi sagital mulai koksigeus melalui pusat kontraksi sfingter ani ke arah
perineum
Bila didapatkan fistel ð dipisahkan dan dijahit
Gambar Abdominoperineal pulltrough
2. Posterosagital Anorektoplasti (PSARP)
Indikasi:
Atresia ani letak tinggi
Fistel rektouretral
Fistel rektovesikal
Fistel rektovestibular
Fistel rektovaginal
Kloaka
Dilakukan dengan :
Identifikasi sfingter ani eksterna
Insisi posterosagital
Identifikasi otot perineum – stimulator elektrik
Insisi diperdalam dengan memotong sfingter ani dan otot levator sampai mencapai
rektum
Dinding rektum diinsisi dan dijahit
Fistel dicari, dipisahkan, dan diligasi
Rektum dipisahkan dengan uretra dan jaringan sekitarnya
Diseksi melingkari rektum sampai rektum mencapai perineum
Otot levator dan sfingter ani dijahit dengan mengikutsertakan sebagian dinding
rektum
Fiksasi rektum di perineum
Gambar PSARP
3. Limited Posterosagital Anorektoplasti
Tidak diperlukan pemotongan otot levator untuk mencapai rectum. Indikasi :
Atresia ani letak rendah (<1cm).
Dilakukan dengan:
Posisi pronasi, punggung diganjal bantal
Identifikasi pusat kontraksi sfingter
Insisi posterosagital, diperdalam sampai mencapai rektum dengan memotong
sfingter ani
Dinding rektum diinsisi dan dijahit
Diseksi melingkari rektum sampai rektum mencapai perineum
Fiksasi rektum di perineum
4. Anoplasti Perineal
Indikasi: Fistel anoperineal dan anovestibular
5. Laparoskopik anoplasti
Indikasi: Atresia ani letak tinggi (supralevator)
(Purwadi, 2003).
K. Kasus dan Asuhan Keperawatannya
a. Kasus
Seorang bayi baru lahir dengan berat badan 3kg dirujuk dari rumah sakit daerah ke rumah
sakit Muhammad Husein Palembang dengan kasus kelahiran tanpa memiliki anus. Setelah
dilakukan pemeriksaan, bayi dijadwalkan operasi 3 hari lagi. Buat asuhan keperawatannya!
b. Asuhan keperawatan
Pengkajian
1. Biodata Klien
2. Riwayat keperawatan
Riwayat keperawatan/kesehatan sekarang
Riwayat kesehatan masa lalu
3. Riwayat Psikologis (Koping keluarga dalam menghadapi masalah)
4. Riwayat Tumbuh Kembang
BB lahir abnormal
Kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif dan tumbuh kembang pernah
mengalami trauma saat sakit
Sakit kehamilan mengalami infeksi intraparta
Sakit kehamilan tidak keluar mekonium
5. Riwayat sosial (Hubungan sscial dengan orang lain maupun lingkungan sekitar)
6. Pemeriksaan fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus tampak
merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi, termometer yang
dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengan
hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan
vagina. (Whaley & Wong,1996).
Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :
1. Pre Operasi
a. Inkontinentia bowel berhubungan dengan tidak lengkapnya pembentukan anus.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah.
c. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan
prosedur perawatan.
2. Post Operasi
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan.
d. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan kebutuhan perawatan dirumah.
Intervensi
Intervensi keperawatan :
1. Pre Operasi
a. Inkontinentia bowel berhubungan dengan tidak lengkapnya pembentukan anus.
Tujuan : Terjadi peningkatan fungsi usus. 29
KH : 1.) Pasien menunjukkan konsistensi tinja lembek
2.) Terbentuknya tinja
3.) Tidak ada nyeri saat defekasi
4.) Tidak terjadi perdarahan
Intervensi :
a.) Lakukan dilatasi anal sesuai program.
Rasional : Meningkatkan kenyamanan pada anak.
b.) Kaji bising usus dan abdomen setiap 4 jam.
Rasional : Menyakinkan berfungsinya usus.
c.) Ukur lingkar abdomen klien.
Rasional : Membantu mendeteksi terjadinya distensi.
d.) Pertahankan puasa dan berikan terapi hidrasi IV sampai fungsi usus normal.
Rasional : Memulihkan dan mengembalikan fungsi usus.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah.
Tujuan : Volume cairan terpenuhi
Kriteria Hasil :
1.) Turgor kulit baik dan bibir tidak kering
2.) TTV dalam batas normal
Intervensi :
a.) Awasi masukan dan keluaran cairan.
Rasional : Untuk memberikan informasi tentang keseimbangan cairan. 30
b.) Kaji tanda-tanda vital seperti TD, frekuensi jantung, dan nadi.
Rasional : Kekurangan cairan meningkatkan frekuensi jantung, TD dan nadi turun.
c.) Observasi tanda-tanda perdarahan yang terjadi post operasi.
Rasional : Penurunan volume menyebabkan kekeringan pada jaringan.
d.) Kolaborasi dalam pemberian cairan elektrolit sesuai indikasi.
Rasional : Untuk pemenuhan cairan yang hilang.
c. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan
prosedur perawatan.
Tujuan : Rasa cemas dapat hilang atau berkurang.
Kriteria Hasil :
1.) Ansietas berkurang
2.) Klien tidak gelisah
Intervensi :
a.) Kaji status mental dan tingkat ansietas dari klien dan keluarga.
Rasional : Derajat ansietas akan dipengaruhi bagaimana informasi tersebut diterima.
b.) Jelaskan dan persiapkan untuk tindakan prosedur sebelum dilakukan operasi.
Rasional : Dapat meringankan ansietas terutama ketika tindakan operasi tersebut dilakukan.
31
c.) Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan isi pikiran dan perasaan takutnya.
Rasional : Mengungkapkan rasa takut secara terbuka dimana rasa takut dapat ditujukan.
d.) Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman.
Rasional : Lingkungan yang nyaman dapat mengurangi ansietas.
2. Post Operasi
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan.
Tujuan : Nyeri dapat berkurang dan skala nyeri berkurang
Kriteria Hasil :
1.) Klien mengatakan nyeri berkurang
2.) Skala nyeri 0-1
3.) Ekspresi wajah terlihat rileks
Intervensi :
a.) Kaji karakteristik, lokasi, durasi, frekuensi, dan kualitas nyeri.
Rasional : Bantu klien untuk menilai nyeri dan sebagai temuan dalam pengkajian.
b.) Ajarkan klien manajemen nyeri dengan teknik relaksasi dan distraksi.
Rasional : Membantu dalam menurukan atau mengurangi persepsi atau respon nyeri.
c.) Ciptakan lingkungan yang nyaman dan anjurkan klien untuk istirahat.
Rasional : Memberikan kenyamanan untuk klien agar dapat istirahat.
d.) Kolaborasi untuk pemberian analgetik sesuai advis dokter.
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
Tujuan : Asupan nutrisi dapat terpenuhi dan menuunjukkan perbaikan usus.
Kriteria Hasil :
1.) Tidak terjadi penurunan BB.
2.) Klien tidak mual dan muntah
Intervensi :
a.) Kaji kemampuan klien untuk menelan dan menguyah makanan.
Rasional : Menentukan pemilihan jenis makanan sehingga mencegah terjadinya aspirasi.
b.) Timbang berat badan sesuai indikasi.
Rasional : Mengevaluasi keadekuatan rencana pemenuhan nutrisi.
c.) Jaga keamanan saat memberikan makan klien seperti kepala sedikit fleksi saat menelan.
Rasional : Menurunkan resiko terjadinya aspirasi dan mengurangi rasa nyeri pada saat
menelan.
d.) Berikan makanan lembut dalam porsi sedikit tapi sering.
Rasional : Meningkatkan pemasukan dan menurunkan distress gaster.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan.
Tujuan : Tidak ditemukannya tanda-tanda infeksi
Kriteria Hasil :
1.) Tidak ada tanda-tanda infeksi
2.) Pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan peningkatan leukosit.
3.) Luka post operasi bersih
Interversi :
a.) Pantau suhu tubuh klien (peningkatan suhu).
Rasional : Demam dapat terjadi karena infeksi.
b.) Ajarkan keluarga teknik mencuci tangan dengan benar dan menggunakan sabun anti
mikroba.
Rasional : Faktor ini paling sederhana tetapi paling penting untuk mencegah infeksi di rumah
sakit.
c.) Pertahankan teknik aseptik pada perawatan luka.
Rasional : Mencegah terjadinya infeksi nosokomial.
d.) Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.
Rasional : Mencegah terjadinya infeksi luka.
e.) Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium.
Rasional : Peningkatan leukosit menunjukkan adanya infeksi.
d. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan kebutuhan perawatan dirumah.
Tujuan : Pasien dan keluarga memahami perawatan di rumah
Kriteria Hasil :
1.) Kelurga menunjukkan kemampuan untuk memberikan perawatan untuk bayi di rumah.
2.) Keluarga tahu dan memahami dalam memberikan perawatan pada klien.
Intervensi :
a.) Ajarkan perawatan kolostomi dan partisipasi dalam perawatan.
Rasional : Agar keluarga dapat melakukannya.
b.) Ajarkan untuk mengenal tanda-tanda dan gejala yang perlu dilaporkan perawat.
Rasional : Agar segera dilakukan tindakan.
c.) Ajarkan keluarga cara perawatan luka yang tepat.
Rasional : Dapat memberikan pengetahuan keluarga
d.) Latih keluarga untuk kebiasaan defekasi.
Rasional : untuk melatih pasien.
e.) Ajarkan keluarga untuk memodifikasi diit (misalnya serat).
Rasional : Membantu klien memperlancar defekasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdi, n. (2008). Anatomi dan fisiologi sistem pencernaan manusia. Blog. Just another blog Unpad
(http://blogs.unpad.ac.id/haqsbageur/2010/03/26/anatomi-dan-fisiologi-sistem-pencernaan-
manusia/ diperoleh pada tanggal 22 November 2014).
Anderson, D. (2002). Kamus Kedokteran Dorlan, Colostomy. Jakarta : EGC
Bobak, I.M., Lowdermik, D.L., & Jensen, M.D. (2005). Buku ajar keperawatan maternitas. Edisi 4.
Jakarta: EGC
Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE, et al. (2005). Anorectal
Malformations in Schwart’z Principles of Surgery. 8th ed. United States of America.
Kurniah, A. (2013). Analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada klien
atresia ani di lantai III Utara RSUP Fatmawati. Karya ilmiah akhir-ners. Program Profesi Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
Purwadi. (2003). Anoplasti. Bedah Anak RSUD dr. Soetomo Surabaya.
Wong, Donna L. (2003). Pedoman klinis keperawatan pediatrik. Sri Kurnianianingsih (ed), Monica Ester
(Alih Bahasa). edisi ke-4. Jakarta : EGC.