aswaja materi v
DESCRIPTION
materi aswajaTRANSCRIPT
Latar Belakang NU
Ada tiga alasan yang melatarbelakangi lahirnya Nahdlatul Ulama 31 Januari 1926:
1. Motif Agama.
Bahwa Nahdlatul Ulama lahir atas semangat menegakkan dan mempertahankan
Agama Allah di Nusantara, meneruskan perjuangan Wali Songo. Terlebih Belanda-Portugal
tidak hanya menjajah Nusantara, tapi juga menyebarkan agama Kristen-Katolik dengan
sangat gencarnya. Mereka membawa para misionaris-misionaris Kristiani ke berbagai
wilayah.
2. Motif Nasionalisme.
NU lahir karena niatan kuat untuk menyatukan para ulama dan tokoh-tokoh agama
dalam melawan penjajahan. Semangat nasionalisme itu pun terlihat juga dari nama Nahdlatul
Ulama itu sendiri yakni Kebangkitan Para Ulama. NU pimpinan Hadhratus Syaikh KH.
Hasyim Asy'ari sangat nasionalis. Sebelum RI merdeka, para pemuda di berbagai daerah
mendirikan organisasi bersifat kedaerahan, seperti Jong Cilebes, Pemuda Betawi, Jong Java,
Jong Ambon, Jong Sumatera, dan sebagainya. Tapi, kiai-kiai NU justru mendirikan
organisasi pemuda bersifat nasionalis.
3. Motif Mempertahankan Faham Ahlussunnah wal Jama’ah.
Munculnya Muhammad bin Abdul Wahab di abad ke 12 H / 18 M, seorang
pembaharu agama (mujaddid) yang lahir di Ayibah lembah Najed (1115-1201 H/1703-1787
M) yang mengaku sebagai penerus ajaran Salafi Ibnu Taimiyyah dan kemudian mendirikan
madzhab Wahabi-Wahabiyyah. Ia pun mengaku sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah karena
meneruskan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal yang diterjemahkan oleh Ibnu Taimiyyah,
tapi sebagaimana pendahulunya, Muhammad bin Abdul Wahab dan pengikutnya pun
layaknya kaum Khawarij yang mudah mengkafirkan para ulama yang tidak sejalan dengan
dia, bahkan sesama madzhab Hanbali pun ia mengkafirkanya.
Protes luar biasa pun muncul di Indonesia, ketika bulan Januari 1926 ulama-ulama
Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia berkumpul di Surabaya untuk membahas perubahan
ajaran di dua kota suci. Dari pertemuan tersebut lahirlah panita Komite Hijaz yang diberi
mandat untuk mengahadap raja Ibnu Sa'ud guna menyampaikan masukan dari ulama-ulama
Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia. Akan tetapi karena belum ada organisasi induk yang
menaungi delegasi Komite Hijaz, maka pada tanggal 31 Januari 1926, ulama-ulama
Ahlussunnah wal Jama’ah Indonesia kembali berkumpul dan membentuk organisasi Induk
yang diberi nama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Para Ulama) dengan Rois Akbar Hadhratus
Syaikh KH. Hasyim Asy’ari .
Susunan delegasi Komite Hijaz NU untuk menghadap raja Ibnu Sa'ud adalah sebagai
berikut:
Penasehat : KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Masyhuri Lasem, KH. Kholil Lasem Ketua :
KH. Hasan Gipo, Wakil Ketua : H. Shaleh Syamil Sekretaris : Muhammad Shadiq
Pembantu : KH. Abdul Halim
Materi pokok yang hendak disampaikan langsung ke hadapan raja Ibnu Sa'ud adalah:
1) Meminta kepada raja Ibnu Sa'ud untuk memberlakukan kebebasan bermadzhab empat:
Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. 2) Meminta tetap diramaikannya tempat bersejarah
karena tempat tersebut telah diwakafkan untuk masjid. 3) Mohon agar disebarluaskan ke
seluruh dunia setiap tahun sebelum jatuhnya musim haji, baik ongkos haji, perjalanan keliling
Makkah maupun tentang Syekh. 4) Mohon hendaknya semua hukum yang berlaku di negeri
Hijaz, ditulis sebagai undang-undang supaya tidak terjadi pelanggaran hanya karena belum
ditulisnya undang-undang tersebut. 5) Jam'iyyah NU mohon jawaban tertulis yang
menjelaskan bahwa utusan sudah menghadap raja Ibnu Sa'ud dan sudah pula menyampaikan
usul-usul NU tersebut.
A. Struktur Organisasi NU :
1. PBNU ( Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ) untuk tingkat pusat, berkantor di Ibu kota
Negara.
2. PWNU ( Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama ) untuk tingkat provinsi berkantor di Ibu
kota Provinsi.
3. PCNU ( Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama ) untuk tingkat Kabupaten / Kota,
berkantor di daerah Kabupaten atau Kota Madya (Kodya).
4. PCINU ( Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama ) untuk luar negeri, berkantor
di Ibu kota Negara dimana di negara itu sudah dibentuk kepengurusan NU.
5. MWCNU ( Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama ) untuk tingkat kecamatan.
6. PRNU ( Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama ) untuk tingkat Desa.
7. PARNU ( Pengurus Anak Ranting Nahdlatul Ulama ) untuk tingkat Dukuhan /
Lingkungan.
B. Struktur Lembaga Kepengurusan NU.
1. Mustasyar ( Penasehat )
2. Syuriah ( Pimpinan tertinggi ) terdiri dari :
Beberapa Wakil Rais
Katib.
Beberapa Wakil Katib
A’wan
Rais
3. Tanfidziyah ( Pelaksana Harian ) terdiri dari :
Beberapa Ketua
Sekretaris
Beberapa Wakil Sekretaris
Bendahara
Beberapa Wakil Bendahara.
Ketua
C. Struktur Organisasi Lajnah, Banom dan Lembaga :
PP ( Pimpinan Pusat ) untuk tingkat Pusat.
PW ( Pengurus Wilayah ) untuk tingkat Provinsi.
PC ( Pimpinan Cabang ) untuk tingkat Kabupaten / Kodya.
PAC ( Pimpinan Anak Cabang ) untuk tingkat Kecamatan.
Ranting untuk tingkat Desa / Kelurahan.
Komisariat untuk kepengurusan di sauatu tempat tertentu.
Sumber Rujukan: http://my-dock.blogspot.com/#ixzz3VD6oSvuT
BADAN OTONOM DALAM NAHDLATUL ULAMA
Badan otonom adalah perangkat organisasi Nahdlatul Ulama yang berfunsi
melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama yang berkaitan dengan kelompok masyarakat
tertentu dan beranggotakan perorangan.
Diantara Badan Otonom yang dimiliki oleh Nahdlatul Ulama adalah sebagai berikut :
1. Muslimat Nahdlatul Ulama (Muslimat NU)
Muslimat NU lahir pada Muktamar NU ke-15 di Surabaya pada tanggal 15 – 21 Juni
1940 dengan nama Nahdlatul Ulama Muslimat (NUM). Pada waktu itu Muslimat masih
menjadi bagian dari NU dan belum berdiri sendiri.
Baru pada Muktamar NU ke-16 di Purwokerto, Jawa Tengah, pada tanggal 26 – 29
Maret 1946, NUM disahkan menjadi organisasi yang berdiri sendiri dan menjadi Badan
Otonom (BANOM) Nahdlatul Ulama. Sehingga namanyapun juga berubah menjadi Muslimat
Nahdlatul Ulama disingkat menjadi Muslimat NU.
Muslimat NU didirikan dengan tujuan :
1) Terwujudnya wanita Islam yang bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu, beramal, cakap dan
bertanggungjawab serta berguna bagi agama, nusa, dan bangsa.
2) Terwujudnya wanita islam yang sadar akan kewajiban dan haknya menurut ajaran islam, baik
secara pribadi maupun sebagaibagian dari anggota masyarakat.
3) Terlaksananya tujuan jamiyyah Nahdlatul Ulama dikalangan kaum wanita, sehingga
terwujud masyarakat adil dan makmur yang merata dan diridlai Allah SWT.
Dalam usaha mencapai tujuannya, Muslimat NU melakukan serangkaian kegiatan
antara lain:
1) Mempelajari dan memperdalam serta mengamalkan ajaran islam ala Ahlisunnah Wal Jamaah
dengan sungguh-sungguh dan sebaik-baiknya.
2) Mempersatukan gerak langkah kaum wanita umumnya dan wanita Nahdlatul Ulama pada
Khususnya dalam menciptakan masyarakat adil makmur yang diridlai Allah SWT.
3) Melaksanakan nilai-nilai budi pakerti utama dalam kehidupan sehari-hari
4) Meningkatkan kwalitas (mutu), harkat dan martabat wanita Indonesia umumnya dan
Muslimat NU Khususnya, guna memperkuat tanggungjawab terhadap agama, bangsa dan
negara
5) Mengusahakan agar wanita Indonesia mumnya dan Muslimat NU khususnya menjadi istri-
istri dan ibu-ibu yang baik guna pertumbuhan bangsa yang taat beragama
6) Bergerak secara aktif dalam lapangan peribadatan, sosial, kesehatan, pendidikan, penerangan
atau da’wah, ek onomi dan usaha-usaha kemasyarakatan lainnya
7) Membina kerjasama dengan badan-badan dan organisasi wanita serta lembaga-lembaga lain.
Muslimat NU mempunyai lambang organisasi yang dilukiskan dalam bentuk sebuah
Bola Dunia yang dilingkari tali dikelilingi lima bintang yang terletak di atas garis katulistiwa
dan empat bintang yang terletak di bawah garis katulistiwa. Sehingga jumlah bintang
seluruhnya berjumlah sembilan buah. Di atasnya tertulis kata “MUSLIMAT”. Sedangkan di
ujung tali kiri dan kanan tertulis huruf “NU”. Lambang Muslimat NU berwarna putih di atas
dasar hijau, serta terdapat tulisan “Nahdlatul Ulama” dengan huruf arab yang memanjang
pada garis katulistiwa.
Dalam organisasi Muslimat NU tingkatan kepemimpinan di atur sebagai berikut:
1. Pimpinan Pusat (PP) untuk Tingkat Pusat
2. Pimpinan Wilayah (PW) untuk Tingkat Propinsi
3. Pimpinan Koordinator Daerah (PKORDA) untuk Tingkat eks Karesidenan
4. Pimpinan Cabang (PC) untuk Tingkat Kabupaten / Kota
5. Pimpinan Anak Cabang (PAC) untuk Tingkat Kecamatan
6. Pimpinan Ranting (PR) untuk Tingkat Kelurahan / Desa
Sedangkan permusyawaratan dalam Muslimat NU terdiri atas:
1. Kongres dan Rapat Kerja Nsional, untuk tingkat pusat/nasional
2. Konfrensi Wilayah dan Rapat Kerja Wilayah, untuk tingkat provinsi
3. Konfrensi cabang dan rapat kerja cabang, untuk tingkat Kabupaten atau Kota
4. Konfrensi Anak Cabang dan Rapat Kerja Anak Cabang, untuk tingkat Kecamatan
5. Rapat Anggota untuk tingkat Desa atau Kelurahan.
Disamping itu, Muslimat NU juga mempunyai perangkat-perangkat organisasi lain,
seperti :
1. Yayasan Kesejahteraan Muslimat (YKM), yang merupakan sarana organisasi untuk
mewujudkan program-program Muslimat NU dibidang sosial, kesehatan, kependudukan dan
lingkungan hidup
2. Yayasan Bina Bhakti Wanita (YBBW) yang melaksanakan program Muslimat NU dalam
bidang pendidikan dan didirikan atas kerja sama dengan Departemen Tenaga Kerja
3. Himpunan Da’iyah Muslimat NU (HIDMAT NU), yang melaksanakan program Muslimat
NU dibidang da’wah, bekerja sama dengan Nahdlatul Ulama.
Sebagai pedoman berorganisasi, Muslimat NU selain mempunyai Peraturan
Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PDPRT), juga mempunyai pedoman-pedoman lain
dalam bentuk Pola Dasar Pengembangan Perjuangan Muslimat NU, yang menyangkut
keberadaannya sebagai Khalifah fil ardli, sebagai warga negara Republik Indonesia, maupun
sebagai bagian warga nahdliyin. Beberapa pedoman, peraturan dan ketentuan-ketentuan lain
yang ada di organisasi Muslimat NU, dimungkinkan setiap kali mengalami perubahan dan
pengembangan. Hal ini untuk menyesuaikan dengan tuntutan perjuangan dan perkembangan
zaman.
2. Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor)
Gerakan Pemuda Ansor didirikan pada tanggal 14 Desember 1949 di Surabaya,
sebagai kelanjutan dari “ANSHORU NAHDLATUL ULAMA” (ANU) yang didirikan pada
tanggal 24 April 1934.
Jika ditelusuri, sejarah kelahiran dan perkembangan GP Ansor tidak bisaa dipisahkan
dari sejarah kelahiran Nahdlatul Ulama itu itu sendiri. Pada tahun 1924, di Surabaya berdiri
suatu organisasi pmuda yang diberi nama “SYUBBANUL WATHAN” (Pemuda Tanah Air)
dibawah pimpinan Abdullah Ubaid. Kegiatan utamanya ialah da’wah keliling, latihan
kepemimpinan dan latihan bela diri.
Pada tahun 1930, Syubbanul Wathan melebur diri menjadi “NAHDLATUS
SYUBBAN” dan pada tahun 1931 namanya berubah menjadi “PERSATUAN PEMUDA
NAHDLATUL ULAMA (PPNU)”. Setahun kemudian, kata “Persatuan” dihilangkan,
menjadi Pemuda Nahdlatul Ulama (PNU) dan kemudian berubah lagi menjadi ANSORU
NAHDLATUL ULAMA (ANU). Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi pada tanggal
21 – 26 April 1934 ANU diterima menjadi bagian dari jamiiyah NU.
Selama revolusi fisik, ANU dibekukan. Akan tetapi kemudian muncul ide dari
Muhammad Husaini, seorang tokoh ANU dari surabaya, untuk menghidupkan kembali
ANU. Dalam pertemuan tersebut, dicapai kesepakatan untuk menghidupkan kembali ANU
dengan nama baru yaitu “GERAKAN PEMUDA ANSOR” yang disingkat menjadi GP
ANSOR.
Gerakan Pemuda Ansor didirikan dengan tujuan antara lain:
1. Menyadarkan para pemuda islam akan kewajibannya memperjuangkan cita-cita islam
2. Meningkatkan mutu pendidikan dan pengajaran
3. Mempergiat pendidikan rohani dan jasmani dalam rangka mewujudkan masyarakat islam
4. Membimbing dan membantu tegaknya Kepanduan Ansor
5. Meningkatkan kerjasama dengan organisasi pemuda lainnya, baik di dalam maupun di luar n
egeri
6. Meningkatkan berbagai kegiatan-kegiatan olah raga, kesenian dan kemasyarakatan.
Lambang yang dipakai oleh GP Ansor ialah gambar segi tiga sama sisi dengan garis
tebal sebelah luar dan garis tipis sebelah dalam. Di dalamnya terdapat Bulan sabit dengan
sembilan bintang yang mengelilinginya, satu diantaranya yang terbesar, terletak di atas bulan
sabit dengan lima garis sinar ke atas, tiga ke bawah, dengan tulisan “ANSOR” dibawahnya,
dan gambar tersebut terlukis dengan warna putih di atas dasar warna hijau :
Susunan kepengurusan dalam organisasi GP Ansor terdiri atas:
1. Pimpinan Pusat (PP GP Ansor) di tingkat pusat/nasional
2. Pimpinan Wilayah (PW GP Ansor) di tingkat Provinsi
3. Pimpinan Cabang (PC GP Ansor) di tingkat Kabupaten/Kota
4. Pimpinan Anak Cabang (PAC GP Ansor) di tingkat kecamatan dan
5. Pimpinan Ranting (PR GP Ansor) di tingkat Desa/Kelurahan.
Didalam organisasi GP Ansor dikenal istilah-istilah untuk forum-forum
permusyawaratan sebagai berikut :
1. Kongres untuk tingkat pusat/PP
2. Konferensi, untuk tingkat PW/Propinsi, PC/Kabupaten/ Kota, PAC/Kecamatan, dan
3. Rapat Anggota, untuk tingkat PR/Ranting.
Sebagaimana organisasi yang lain, GP Ansor juga mempunyai perangkat organisasi
yang berada di bawah naungannya. Adapun perangkat organisasi dalam GP Ansor yang
terpenting ialah BANSER, singkatan dari “Barisan Ansor Serbaguna”. Banser merupakan
pasukan yang terlatih yang berfungsi serba guna, terutama dibidang pertahanan dan
keamanan, baik untuk kepentingan GP Ansor sendiri, NU maupun masyarakat pada
umumnya. Banser mulai didirikan pada tahun 1968, bertepatan dengan Kongres GP Ansor
VII di Jakarta.
3. Fatayat Nahdlatul Ulama
Fatayat NU didirikan pada 7 Rajab 1369 H/ 24 April 1950. Akan tetapi rintisannya
sebenarnya sejak 1940. Diantara tokoh perintisnya adalah : murthasiyah (Surabaya),
KH.uzaimah Mansur (Gresik), dan Aminah (Sidoarjo). Fatayat NU resmi menjadi Badan
Otonom NU setelah disahkan dalam Muktamar NU ke-18, pada tanggal 20 April – 3 Mei
1950 di Jakarta.
Tujuan Fatayat NU adalah:
1. Membentuk pemudi atau wanita muda islam bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur,
beramal, cakap, dan bertanggung jawab serta berguna bagi agama, nusa, dan bangsa.
2. Mewujudkan rasa kesetiaan terhadap asas, aqidah dan tujuan Nahdlatul Ulama dalam
menegakkan syariat islam.
3. Mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata serta diridlai Allah SWT.
Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, Fatayat NU melakukan serangkaian usaha
sebagai berikut:
1. Menghimpun dan membina pemudi atau wanita muda islam dalam suatu organisasi.
2. Meningkatkan mutu pendidikan, pengajaran, ketrampilan dan memperluas ilmu pengetahuan
yang bermanfaat bagi agama, bangsa, dan negara.
3. Meningkatkan peranan wanita Indonesia daam segala bidang kehidupan beragama, bernegara
dan bermasyarakat.
4. Mempertinggi budi (aKH.lakul karimah) dalam kehidupan sehari-hari.
5. Menjalankan kegiatan dan menjalin kerjasama yang menunjang syiar islam dan kesejahteraan
masyarakat.
6. Membina persahabatan dengan organisasi lain, terutama organisasi pemuda dan wanita.
Lambang Fatayat NU adalah setangkai bunga melati tegak di atas dua helai daun,
sebuah bintang besar dikelilingi delapan bintang kecil dengan dilingkari tali persatuan.
Lambang ini dilukiskan dengan warna putih di atas dasar hijau.
Kepengurusan Fatayat NU terdiri atas Pucuk Pimpinan (PP), Pimpinan Wilayah
(PW), Pimpinan Cabang (PC), Pimpinan Anak Cabang (PAC), Pimpinan Ranting (PR).
Kekuasaan tertinggi organisasi dipegang oleh kongres pada tingkat nasional (PP), Konferensi
Wilayah pada tingkat wilayah (PW), Konferensi Cabang pada tingkat cabang (PC),
Konferensi Anak Cabang pada tingkat anak cabang (PAC) dan Rapat Anggota ditingkat
Ranting (PR). Sedangkankeanggotaan Fatayat NU terdiri atas anggota biasa dan anggota luar
biasa.
4. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (disingkat IPNU) adalah badan otonom Nahldlatul
Ulama yang berfungsi untuk membantu melaksanakan kebijakan NU pada segmen pelajar
dan santri putra. IPNU didirikan di Semarang pada tanggal 20 Jumadil AKH.ir 1373 H/
bertepatan dengan tanggal 24 Pebruari 1954, yaitu pada Konferensi besar (Konbes) LP
Ma’arif NU. Pendiri IPNU adalah M. Shufyan Cholil (mahasiswa UGM), H. Musthafa
(Solo), Abdul Ghony Farida (Semarang) dan Thalhah Mansur.
Ketua Umum Pertama IPNU adalah M. Tholhah Mansoer yang terpilih dalam
Konferensi Segi Lima yang diselenggarakan di Solo pada 30 April-1 Mei 1954 dengan
melibatkan perwakilan dari Yogyakarta, Semarang, Solo, Jombang, dan Kediri.
Pada tahun 1988, sebagai implikasi dari tekanan rezim Orde Baru, IPNU mengubah
kepanjangannya menjadi Ikatan PelajarNahdlatul Ulama. Sejak saat itu, segmen garapan
IPNU meluas pada komunitas remaja pada umumnya. Pada Kongres XIV di Surabaya pada
tahun 2003, IPNU kembali mengubah kepanjangannya menjadi “Ikatan Pelajar Nahdlatul
Ulama”. Sejak saat itu babak baru IPNU dimulai. Dengan keputusan itu, IPNU bertekad
mengembalikan basisnya di sekolah dan pesantren.
Tujuan IPNU adalah terbentuknya pelajar bangsa yang bertaqwa kepada Allah SWT,
berilmu, beraKH.lak mulia dan berwawasan kebangsaan serta bertanggungjawab atas tegak
dan terlaksananya syari’at Islam menurut faham ahlussunnah wal jama’ah yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, dilakukan serangkaian usaha, yaitu :
1. Menghimpun dan membina putra-putra Nahdlatul Ulama dalam satu wadah organisasi
2. Mempersiapkan kader-kader intelektual sebagai penerus perjuangan bangsa
3. Mengusahakan tercapainya tujuan organisasi dengan menyusun landasan perjuangan sesuai
dengan perkembangan masyarakat (maslahah al-ammah), guna terwujudnya KH.aira ummah
4. Mengusahakan jalinan komunikasi dan kerjasama program dengan pihak lain selama tidak
merugikan organisasi.
Lambang IPNU berbentuk bulat dengan warna dasar hijau, berlingkar kuning
ditepinya dengan diapit dua lingkaran putih. Dibagian atas tercantum huruf IPNU dengan
titik diantaranya dengan di apit oleh tiga garis lurus pendek yang satu diantaranya lebih
panjang pada bagian kanannya. Semua berwarna putih. Di bawahnya terdapat bintang
sembilan, lima terletak sejajar yang satu diantaranya lebih besar terletak di tengah dan empat
bintang lainnya terletak mengapit membentuk sudut segitiga. Semua berwarna kuning.
Diantara bintang yang mengapit terdapat dua kitab dan dua bulu angsa bersilang berwarna
putih.
Struktur organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) terdiri atas :
1. Pimpinan tertinggi IPNU di ibu kota Negara disebut Pimpinan Pusat IPNU (PP IPNU)
2. Pimpinan IPNU di provinsi disebut Pimpinan Wilayah IPNU (PW IPNU)
3. Pimpinan IPNU di kabupaten/kota disebut Pimpinan Cabang IPNU (PC IPNU)
4. Pimpinan IPNU di kecamatan disebut Pimpinan Anak Cabang IPNU (PAC IPNU)
5. Pimpinan IPNU di desa/kelurahan disebut Pimpinan Ranting IPNU (PR IPNU)
6. Pimpinan IPNU di Lembaga Pendidikan perguruan tinggi, pondok pesantren, SLTP/MTs,
SLTA/MA dan yang sederajat disebut Pimpinan Komisariat IPNU (PK IPNU).
Kekuasaan tertinggi organisasi dipegang oleh kongres pada tingkat nasional,
Konferensi wilayah pada tingkat wilayah, Konferensi Cabang pada tingkat Cabang,
Konferensi Anak Cabang pada tingkat anak cabang dan Rapat Anggota pada tingkat Ranting.
Sedangkan keanggotaan IPNU terdiri atas anggota biasa dan anggota istimewa.
5. Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)
Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) adalah salah satu organisasi remaja
yang menghimpun Pelajar Putri NU. Organisasi ini didirikan pada tanggal 8 Rajab 1374 H
atau bertepatan dengan tanggal 2 Maret 1955 di Solo, Jawa Tengah. Salah seorang pendirinya
adalah Ny. Umrah Mahfudha. Semula organisasi ini merupakan bagian dari lembaga
pendidikan maarif, tetapi semenjak kongres di Surabaya pada tahun 1966, IPPNU
melepaskan diri dari LP. Maarif dan menjadi salah satu badan otonom Nahdlatul Ulama.
Sebagai bagian dari badan otonom Nahdlatul Ulama, IPPNU mempunyai tiga fungsi
utama, yaitu :
1. Sebagai wadah berhimpun Pelajar Putri NU untuk melanjutkan semangat jiwa dan nilai-nilai
ke-NU-an.
2. Sebagai wadah komunikasi Pelajar Putri NU untuk menggalang uKH.uwah islamiyah dan
syiar islam.
3. Sebagai wadah kaderisasi Pelajar Putri NU untuk mempersiapkan kaderisasi bangsa.
Dari ketiga fungsi di atas, maka tujuan IPPNU adalah :
1. Terbentuknya kesempurnaan putri Indonesia yang beraKH.lakul karimah, dan bertaqwa
kepada Allah SWT.
2. Tegak dan berkembangnya syariat islam menurut faham Ahlus-sunnah wal jamaah
3. Terbentuknya kader bangsa yang berilmu dan berwawasan nasional
4. Terbentuknya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut di atas, IPPNU melakukan usaha-usaha seperti :
1. Menghimpun dan membina Pelajar Putri islam dalam wadah organisasi.
2. Mempersiapkan kader-kader intelektual sebagai proses perjuangan bangsa.
3. Mengusahakan tercapainya tujuan organisasi dengan menyusun landasan perjuangan sesuai
dengan perkembangan masyarakat.
4. Membina persaha batan dengan organisasi putri islam pada Khususnya dan organisasi lain
pada umumnya selama tidak merugikan kepentingan organisasi IPPNU.
Lambang organisasi IPPNU berbentuk segitiga sama kaki dengan ukuran alas sama
dengan tinggi. Warna dasarnya hijau, bergaris dua warna kuning di tepinya. Isi lambang
terdiri atas: Bintang sembilan. Satu diantaranya di tengah, empat buah menurun di sisi
sebelah kiri dan empat buah lainnya di sisi sebelah kanan dan semuanya berwarna kuning. Di
bawah bintang terdapat dua buah kitab dan dua buah bulu ayam bersilang dengan warna
putih. Di bawah blu ayam terdapat tulisan IPPNU dengan lima titik di antaranya dan dilukis
dengan warna putih.
Struktur organisasi Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) terdiri atas :
1. Pimpinan tertinggi IPNU di ibu kota Negara disebut Pucuk Pimpinan IPPNU (PP IPPNU)
2. Pimpinan IPPNU di provinsi disebut Pimpinan Wilayah IPPNU (PW IPPNU)
3. Pimpinan IPPNU di tingkat kabupaten/kota disebut Pimpinan Cabang IPPNU (PC IPPNU)
4. Pimpinan IPPNU di kecamatan disebut Pimpinan Anak Cabang IPPNU (PAC IPPNU)
5. Pimpinan IPPNU di desa/kelurahan disebut Pimpinan Ranting IPPNU (PR IPPNU)
6. Pimpinan IPPNU di Lembaga Pendidikan perguruan tinggi, pondok pesantren, SLTP/MTs,
SLTA/MA dan yang sederajat disebut Pimpinan Komisariat IPPNU (PK IPPNU).
Kekuasaan tertinggi organisasi dipegang oleh kongres pada tingkat nasional,
Konferensi wilayah pada tingkat wilayah, Konferensi Cabang pada tingkat Cabang,
Konferensi Anak Cabang pada tingkat anak cabang dan Rapat Anggota pada tingkat Ranting.
Sedangkan keanggotaan IPNU terdiri atas anggota biasa dan anggota istimewa.
B. Badan Otonom Nahdlatul Ulama yang Berbasis Profesi dan Kekhususan
Diantara badan otonom yang dimiliki oleh Nahdlatul Ulama dalam bidang yang
berbasis profesi dan kekhususan adalah:
1. Jam’iyyah Ahlit Thoriqoh Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyah.
2. Jam’iyyatul Qurro’ wal huffadz
3. Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
4. Serikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI)
5. Pagar Nusa Nahdlatul Ulama (PN NU)
6. Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (PERGUNU).
Sejarah singkat Wali Songo
Biografi Sunan Bonang – Wali Songo Pencipta “Tombo Ati”
Sunan Bonang
Tahukah kalian dengan lagu “Tombo Ati” atau “Obat Hati”?
Tahukah teman, siapa sebenarnya yang menciptakan lagu yang legendaris itu?
Sebenarnya pencipta lagu tersebut adalah Sunan Bonang.
Sunan Bonang adalah salah satu dari Sembilan Wali (Wali Sanga) yang merupakan orang-
orang shalih yang telah menyebarkan Islam di pulau Jawa. Berikut ini akan diulas Biografi
Sunan Bonang.
Biografi Sunan Bonang
Sunan Bonang memiliki nama asli Raden Maulana Makdum Ibrahim. Sunan Bonang
dilahirkan pada tahun 1465 masehi. Beliau adalah salah satu putera dari Sunan Ampel dengan
nama ibunya adalah Nyai Ageng Manila yang merupakan puteri adipati Tuban. Nama Sunan
Bonang diduga adalah Bong Ang sesuai nama marga Bong seperti nama ayahnya Bong Swi
Hoo alias Sunan Ampel.
Sunan Bonang dikabarkan juga masih memiliki hubungan darah dengan Nabi Muhammad
SAW. Berikut ini adalah silsilah dari Sunan Bonang hingga sampai Nabi Muhammad
SAW.
Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) bin Sunan Ampel (Raden Rahmat) Sayyid Ahmad
Rahmatillah bin Maulana Malik Ibrahim bin Syekh Jumadil Qubro (Jamaluddin Akbar Khan)
bin Ahmad Jalaludin Khan bin Abdullah Khan bin Abdul Malik Al-Muhajir (dari
Nasrabad,India) bin Alawi Ammil Faqih (dari Hadramaut) bin Muhammad Sohib Mirbath
(dari Hadramaut) bin Ali Kholi' Qosam bin Alawi Ats-Tsani bin Muhammad Sohibus
Saumi'ah bin Alawi Awwal bin Ubaidullah bin Muhammad Syahril Ali Zainal 'Abidin bin
Hussain bin Ali bin Abi Thalib (dari Fatimah az-Zahra binti Muhammad SAW).
Sunan Bonang mempelajari berbagai ilmu agama Islam dari pesantren sang ayah (Sunan
Ampel) di Ampel Denta. Setelah dirasa sudah cukup mahir dan cukup umur, Sunan Bonang
mulai berdakwah dengan berkelana ke pelosok negeri. Ia pergi ke Kediri yang masyarakatnya
masih menganut Hindu. Di sana ia mendirikan masjid Sangkal Daha dan mendirikan
Pasujudan Sunan Bonang yang sangat terkenal.
Dalam berkelananya itu, Sunan Bonang akhirnya menetap di desa kecil di Lasem Jawa
Tengah yaitu kurang lebih berjarak 15 km dari Rembang. Daerah itu kemudian terkenal
dengan nama Bonang – sesuai nama Sunan Bonang. Di sana Sunan Bonang mendirikan
pesantren yang saat ini bernama Watu Layar. Sunan Bonang juga ditunjuk sebagai imam
besar Kesultanan Demak, beliau juga diangkat sebagai panglima tertinggi.
Sunan Bonang tetap mengunjungi daerah-daerah terpencil untuk menyebarkan Islam. Daerah
seperti Tuban, Pati, Madura bahkan Pulau Bawean yang sangat sulit dijangkau pernah
disentuh dengan dakwahnya.
Ajaran yang dibawa Sunan Bonang adalah campuran dari ajaran tasawuf dan ahlussunnah.
Sunan Bonang sangat menguasai ilmu fiqih, usuludin, tasawuf, seni,sastra dan arsitektur.
Sunan Bonang juga mendalami ilmu kebatinan dan ilmu dzikir. Bagi masyarakat yang pernah
dikunjunginya, Sunan Bonang terkenal karena keahliannya dalam menemukan sumber air
bagi daerah yang kering.
Dalam menyampaikan ajaran Islam, Sunan Bonang piawai memadukannya dengan tradisi
masyarakat disana. Sunan Bonang juga bekerja sam adengan muridnya yaitu Sunan Kalijaga
dalam menciptakan media penyampaian dakwah yang mudah difahami masyarakat.
Contohnya dalam pementasan wayang, Sunan Bonang sangat piawai menjadi dalang. Sunan
Bonang menggubah lakon dan memasukkan ajaran Islam yang membuat penonton secara
sadar ataupun tidak akhirnya menjadi pemeluk Islam yang benar. Sunan Bonang juga
menggubah gamelan jawa yang saat itu sangat kental dengan ajaran Hindu. Sunan Bonang
menambahkan instrumen Bonang. Gubahannya sangat kental dengan nuansa dzikir yang
selalu mengingatkan masyarakat akan Alloh SWT. Salah satu karya Sunan Bonang yang
sangat legendaris dan terkenal adalah tembang “Tombo Ati” atau lagu “Obat Hati”. Saat ini
lagu tersebut dibawakan oleh penyanyi religi Opick.
Gamelan yang digubah Sunan Bonang
Sunan Bonang wafat tahun 1525 masehi. Makam aslinya sebenarnya berada di desa Bonang.
Akan tetapi yang saat ini sering diziarahi adalah makam yang di Tuban. Mengapa seperti ini,
karena konon saat beliau meninggal, seorang murid yang dari Madura ingin membawa
jenazah gurunya untuk dimakamkan di Madura. Namun murid tersebut hanya berhasil
membawa kain kafannya serta bajunya saja. Saat sampai Tuban, sang murid dari Madura
dicegat oleh murid Sunan Bonang yang dari Tuban. Oleh sang murid yang dari Tuban, murid
yang dari Madura disangka membawa jenazah sang Guru. Mereka pun berebut dan murid
dari Tuban tadi berhasil membawa kain kafan dan baju-baju Sunan Bonang yang dikira
jenazah Sunan Bonang, dia kemudian menguburkannya di Tuban.
Sunan Kudus
Sunan Kudus dilahirkan dengan nama Jaffar Shadiq. Beliau adalah putra dari pasangan
Raden Usman Hajji yang dikenal dengan sebutan Sunan Ngudung,yang merupakan seorang
panglima perang Kesultanan Demak Bintoro dan Syarifah adik dari Sunan Bonang.
Diceritakan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang
berkelana hingga di Jawa. Ngudung adalah daerah Jipang Panolan atau sekitar utara kota
Blora sekarang
Sunan Kudus pernah menjabat sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak,dan dalam
masa pemerintahan Sunan Prawoto dia menjadi penasihat bagi Arya Penangsang. Selain
sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak,Sunan Kudus juga menjabat sebagai
hakim pengadilan bagi Kesultanan Demak. Beliau lahir sekitar tahun 1500-an,meninggal
tahun 1550 dan dimakamkan di Kudus
Cara da’wah Sunan Kudus
Dalam beberapa riwayat diceritakan Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga.
Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah bagian selatan seperti
Sragen,Simo (boyolali) hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan
Sunan Kalijaga:sangat toleran pada budaya setempat. Namun versi cerita ini ada yang
membantah,karena Sunan Kalijaga merupakan sunan termuda dari 9 wali. Sunan Kalijaga
adalah murid Sunan Ampel. Sedangkan Sunan Kudus belum pernah diberitakan mempunyai
guru di tanah jawa,apalagi berguru kepada Sunan Kalijaga.
Mengenai perjuangan Sunan Kudus dalam menyebarkan agama Islam tidak berbeda dengan
para wali lainnya,yaitu senantiasa dipakai jalan kebijaksanaan,dengan siasat dan taktik yang
demikian itu,Masyarakat sekitar dapat diajak memeluk Agama Islam. Cara Sunan Kudus
mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha.
Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Menara Kudus. Bentuk menara,gerbang dan pancuran /
padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang
dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu,ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya.
Untuk itu,ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman
masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi,menjadi simpati. Apalagi setelah
mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi
betina”. Untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu,Sunan Kudus meminta
kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan sapi dan mengganti kurban sapi dengan
memotong kurban kerbau,dalam perayaan Idul Adha. Sampai saat ini masyarakat Kudus
masih memegang amanat ini sehingga seni kuliner di kota Kudus banyak menggunakan
daging kerbau sebagai pengganti daging sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara
berseri,sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang
tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan
begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya. menurut riwayat beliau juga termasuk salah
seorang pujangga yang berinisiatif mengarang cerita-cerita pendek yang berisi filsafat serta
berjiwa agama. diantara buah ciptaannya yang terkenal,ialah Gending Maskumambang dan
Mijil.
peninggalan beliau adalah Masjid Raya di kota Kudus,yaitu Masjid Al-Aqsa Kudus atau yang
dikenal dengan Masjid Menara Kudus,yang menggabungkan arsitektur Islam dan Hindu.
Masjid tersebut didirikan tahun 1530 dan masih bertahan hingga saat ini. Mengenai asal usul
nama Kudus menurut legenda yang hidup dikalangan masyarakat setempat ialah,dahulu kala
Ja’far Shoddiq Muda (Sunan Kudus) melaksanakan ibadah haji sambil menuntut ilmu di
Tanah Arab dari Mekkah sampai Yerusalem / Palestina,kemudian beliau pun sempat menetap
pula di sana. Disebutkan bahwa Sunan Kudus saat itu berjasa bagi kota Al Quds,Palestina
karena menyembuhkan wabah penyakit di daerah tersebut lalu atas jasanya diberikan hadiah
Ijazah /Prasasti yang tertulis pada batu yang ditulis dengan huruf arab kuno,dan sekarang
masih utuh terdapat di atas Mihrab Masjid Menara Kudus. Kisah yang lain,bahwa setelah
beliau selesai melakukan pengembaraan ilmiah,beliau begitu terkesan dengan kota Al-Quds
itu,dan berniat untuk membuka kota di Jawa yang bernama Kudus juga
Sumber : http://catatan.bordirkudus.com/artikel/biografi-sunan-kudus/
Singkat Sunan Kalijaga
Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun
1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh
pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut
Islam Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama
panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden
Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang
disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon.
Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan
Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam
(‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal
dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci”
kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia
mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan
Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran
Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang
pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan
kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan
Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik
(pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk
berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika
diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil
mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya
kebiasaan lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan
Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana
dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang
Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun
dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam
melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen,
Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di
Kadilangu -selatan Demak.