asset bio

41
PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BIOLOGIS DALAM PERSPEKTIF STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN DAN IFRS Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pelaporan dan Akuntansi Keuangan Disusun oleh: Deta A. Wicaksono 2013220800 Hendi Subandi 2013220802 Moh. Hilmi Zakaria 2013220808 PROGRAM PROFESI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2014

Upload: ravevival

Post on 29-Dec-2015

56 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Asset bio

PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BIOLOGIS DALAM

PERSPEKTIF STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN DAN IFRS

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pelaporan dan Akuntansi Keuangan

Disusun oleh:

Deta A. Wicaksono 2013220800

Hendi Subandi 2013220802

Moh. Hilmi Zakaria 2013220808

PROGRAM PROFESI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2014

Page 2: Asset bio

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan dunia bisnis dan industri saat ini sangat pesat. Semua sektor

industri seakan berlomba-lomba meningkatkan kualitas entitasnya. Peningkatan kualitas

entitas bergantung pada informasi ekonomi yang bisa menjelaskan keberadaan dan

perkembangan entitas tersebut bagi pihak-pihak lain yang berhubungan dengan entitas.

Penyajian informasi terkait dengan aktivitas ekonomi entitas dapat dilakukaan melalui

penyajian laporan keuangan.

Laporan keuangan merupakan sarana bagi entitas untuk mengkomunikasikan

kegiatan bisnis entitas tersebut kepada pihak internal dan eksternal entitas. Pihak

internal entitas meliputi para pemegang modal atau saham, jajaran manajemen, dan juga

serikat pekerja entitas. Pihak eksternal entitas adalah kreditur, calon investor,

pemerintah, dan masyarakat yang berada di lingkungan sekitar entitas.

Tujuan laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi

keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar

kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi (PSAK

No.1,2009:05). Laporan keuangan juga menjadi wujud pertanggungjawaban manajemen

atas penggunaan sumber daya-sumber daya yang dimiliki entitas dan digunakan untuk

menjalankan roda bisnis entitas. Tingginya peranan laporan keuangan dalam sebuah

sistem industri membuat keberadaan laporan keuangan sangat dibutuhkan, tentunya

dengan kualitas laporan keuangan yang baik.

Laporan keuangan yang baik adalah laporan keuangan yang dapat dipahami,

relevan, andal, dapat diperbandingkan, dan lengkap. Kelengkapan laporan keuangan

bisa dilihat dari keberadaan lima elemen laporan keuangan yaitu: laporan laba rugi,

laporan perubahan ekuitas, laporan posisi keuangan, laporan arus kas, dan catatan atas

laporan keuangan. Mengingat fungsi penting dari laporan keuangan, maka mutlak bagi

entitas untuk melakukan penyusunan laporan keuangan dengan baik, benar, dan sesuai

standar yang berlaku. Hal ini ditujukan agar tidak terjadi asimetri informasi di kalangan

pengguna laporan keuangan.

Sehubungan dengan upaya penyusunan laporan keuangan yang baik, pemilihan

dan penggunaan metode akuntansi yang tepat menjadi hal yang harus diperhatikan.

Metode akuntansi yang digunakan harus disesuaikan dengan jenis industri yang

Page 3: Asset bio

2

dijalankan oleh entitas tersebut. Perbedaan jenis industri dan skala kegiatan entitas

menyebabkan pemilihan dan penggunaan metode akuntansi yang berbeda pula.

Pemilihan metode akuntansi yang tepat untuk digunakan oleh entitas akan dapat

memastikan kesesuaian terhadap pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan

untuk masing-masing elemen laporan keuangan dengan standar yang berlaku.

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, perbedaan penggunaan metode

untuk perlakuan akuntansi entitas sangat mungkin terjadi, khususnya pada beberapa

jenis industri yang unik dan memiliki karakteristik khusus. Letak kekhususan

karakteristik industri tersebut bisa terjadi pada sisi perlakuan aset, pengelolaan

komoditas entitas, struktur permodalan, atau lainnya.

Kondisi wilayah Indonesia yang cocok untuk industri pertanian dan

perkebunan menjadi satu alasan tersendiri mengapa di Indonesia banyak tumbuh entitas

yang berkecimpung di dunia agribisnis. Sektor ini pun sanggup menopang sebagian

perekonomian nasional dan sering kali menjadi penyelamat dalam struktur

perekonomian makro negara ini. Entitas yang bergerak pada sektor industri agribisnis,

utamanya bidang perkebunan, merupakan salah satu contoh dari entitas dengan

karakteristik khusus terkait dengan penyusunan laporan keuangannya. Skala usaha dari

entitas-entitas tersebut juga beragam. Mulai dari entitas yang berskala bisnis kecil

setaraf Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang belum go public hingga pada

entitas dengan skala bisnis yang besar dan sudah go public.

Entitas bisnis yang bergerak di bidang perkebunan memiliki dan mengelola

aset biologis berupa tanaman perkebunan yang cenderung lebih rumit perlakuannya.

Proses pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan untuk sisi aset entitas,

terutama pada bagian aset biologisnya, membutuhkan pemahaman yang lebih detail. Hal

ini dikarenakan, pada perkembangannya saat ini, aset biologis akan mengalami

klasifikasi yang berulang di sepanjang umur ekonomisnya akibat transformasi bentuk

aset tersebut. Aktivitas entitas terkait dengan pengelolaan aset biologis tersebut juga

menambah unsur kekhasan dari entitas bisnis yang bergerak di bidang perkebunan.

Keberadaan aset biologis bagi entitas bisnis yang bergerak di bidang

perkebunan menjadi sangat unik dan krusial karena jenis aset ini merupakan komoditas

utama entitas. Aktivitas utama entitas dalam pengelolaan aset biologis mulai dari

penanaman hingga bisa menghasilkan produk yang bisa dijual harus dikelompokkan

Page 4: Asset bio

3

dengan benar agar bisa menghasilkan laporan keuangan yang relevan, andal, dan dapat

diperbandingkan.

Pengukuran, pengakuan, dan penyajian terhadap aset biologis harus

menggunakan metode akuntansi yang tepat agar entitas bisa menentukan nilai dari

semua kelompok aset biologisnya dengan wajar. Kewajaran penilaian aset biologis ini

juga harus disesuaikan dengan kontribusi dari aset tersebut pada keuntungan entitas. Ini

dilakukan untuk memenuhi prinsip kesesuaian antara pendapatan dan beban (matching)

dalam penyusunan laporan keuangan entitas.

Apabila entitas sudah mampu menilai secara wajar maka laporan keuangan

yang akan disusun oleh entitas juga akan menampilkan informasi yang sesungguhnya

terjadi di lapangan pada entitas tersebut. Sehingga, laporan keuangan yang dihasilkan

tidak akan bias dan dapat memberikan informasi ekonomi yang benar kepada para

penggunanya. Namun, apabila entitas tidak mampu melakukan penilaian dengan wajar

dan sesuai standar, maka kemungkinan entitas untuk menyampaikan informasi yang

bias kepada para pengguna laporan keuangan akan semakin besar. Mengingat unsur

akun aset biologis ini merupakan hal utama bagi entitas perkebunan.

Entitas yang bergerak di bidang industri perkebunan juga wajib menyusun

laporan keuangannya sesuai dengan standar yang berlaku, dalam hal ini berlaku di

Indonesia. Seperti entitas yang pada umumnya, standar akuntansi keuangan menjadi

pedoman utama dalam menyusun laporan keuangannya. Terkait dengan pengelolaan

aset biologis pada entitas bisnis perkebunan yang menjadi isu tulisan ini, standar

akuntansi yang berlaku di Indonesia, yaitu Standar Akuntansi Keuangan (SAK), tidak

memunculkan secara spesifik tentang akuntansi perkebunan atau akuntansi untuk aset

biologis. Namun demikian, ada beberapa peraturan yang bisa digunakan sebagai acuan

untuk akuntansi aset biologis pada entitas bisnis yang bergerak di bidang perkebunan

ini, seperti:

1. Surat Edaran Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) No: SE-02/PM/2002

tentang Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau

Perusahaan Publik Industri Perkebunan.

2. Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN Berbasis IFRS yang dikeluarkan oleh PT.

Perkebunan Nusantara I-IV dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) tahun 2011.

3. PSAK 14 tentang Persediaan.

Page 5: Asset bio

4

4. PSAK 16 tentang Aset Tetap.

5. IAS 41 tentang Agricultural Asset.

6. PSAK No. 23 Revisi 2010 tentang Pendapatan

7. PSAK No. 48 Revisi 2009 tentang Penurunan Nilai Aset

8. Standar Akuntansi Keuangan ETAP

Beberapa acuan di atas dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi manajemen

untuk menyajikan laporan keuangan yang andal (reliable). Manajemen entitas terkait

tentunya harus menyesuaikan penerapan dengan kondisi yang ada di lapangan.

Manajemen harus tetap membuat kebijakan yang bisa menjamin bahwa laporan

keuangan yang mereka susun bisa dipercaya dan andal, sehingga para pengguna laporan

keuangan tetap bisa menggunakannya sebagai bahan pertimbangan utama untuk

memutuskan tindakan ekonomi atas entitas ini.

Keandalan laporan keuangan bisa diperoleh dengan cara menggunakan biaya

historis dalam penyajiannya. Prinsip biaya historis menekankan pada pencatatan atas

aset, utang, ekuitas, pendapatan dan beban entitas berdasarkan pada harga perolehan

awal dari akun tersebut. Penggunaan metode biaya historis ini memang lebih andal

karena angka nominal yang disajikan sesuai dengan kenyataannya dan dapat diperiksa

kebenarannya melalui dokumen terkait. Namun demikian, sisi lemah dari metode biaya

historis adalah ketidakmampuannya untuk membuat penyesuaian terhadap kondisi

terkini yang bisa mempengaruhi kewajaran nilai aset yang dimiliki entitas.

Sehubungan dengan kelemahan metode biaya historis tersebut, maka saat ini

munculah standar akuntansi yang berlaku internasional, yaitu IFRS. Secara garis besar,

IFRS memperbolehkan adanya pengukuran aset entitas dengan menggunakan metode

revaluasi atau penilaian kembali. Dengan menggunakan fair value accounting seperti

yang dianut oleh IFRS, maka entitas diperbolehkan untuk menyajikan laporan

keuangannya pada nilai yang disesuaikan dengan nilai pasarnya atau sering disebut

dengan nilai wajar.

Indonesia pun saat ini sudah mulai melakukan harmonisasi dan konvergensi

atas aturan yang ada dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dengan International

Financial Accounting Standards (IFRS). Entitas-entitas di Indonesia, termasuk juga

entitas perkebunan, diperbolehkan untuk menerapkan metode revaluasi terhadap

Page 6: Asset bio

5

pencatatan aset tetapnya. Sehingga, pencatatan aset tetap akan didasarkan pada nilai

wajarnya, bukan lagi berdasar pada biaya historisnya.

Terkait dengan akuntansi untuk industri perkebunan, IASB sebagai badan yang

menyusun IFRS telah mengeluarkan aturan mengenai akuntansi perkebunan. Peraturan

itu ada pada pada IAS 41 tentang Accounting for Agricultural Assets. Peraturan dalam

IAS 41 melingkupi standar akuntansi yang bisa diterapkan pada sektor industri

agrikultur. Standar ini dapat dijadikan bahan acuan bagi manajemen entitas perkebunan

untuk menyusun laporan keuangannya sesuai dengan metode revaluasi atau nilai wajar

di tengah keterbatasan standar pada SAK Indonesia.

Untuk SAK ETAP, memang sifatnya masih sama dengan SAK, masih

menjelaskan dengan umum mengenai pedoman akuntansi. SAK ETAP didesain untuk

entitas bisnis yang tidak mempunyai akuntabilitas publik. Di dalam SAK ETAP,

pedoman yang bisa dijadikan acuan terkait dengan akuntansi aset biologis pada industri

perkebunan adalah konsep mengenai persediaan dan aset tidak lancar serta metode

pengukuran atas nilai-nilai yang akan tersaji dalam laporan keuangan entitas tersebut.

Penggunaan SAK ETAP pada entitas bisnis yang bergerak di bidang perkebunan dapat

dilengkapi dengan penggunaan pedoman akuntansi lain yang lebih teknis mengatur

mengenai perlakuan akuntansi aset biologisnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk

memperbaiki kualitas pelaporan aset biologis tersebut.

Sampai saat ini ada beberapa penelitian yang juga membahas mengenai

masalah ini. Penelitian mengenai perlakuan akuntansi untuk aset biologis pada PT.

Perkebunan Nusantara XIV di Makasar dan membandingkan perlakuan akuntansi yang

ada dengan IAS 41 (Ridwan, 2011). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa entitas

terkait mengakui aset biologis yang dimilikinya dalam dua kelompok akun yaitu

tanaman belum menghasilkan dan tanaman telah menghasilkan (Ridwan, 2011). Aset

biologis tersebut diukur berdasarkan harga perolehannya.

Dalam artikel yang ditulis oleh Sari dan Martini (2012) mengenai Historical

Cost vs Fair Value Accounting atas Pengakuan dan Penilaian Tanaman Perkebunan,

disebutkan bahwa industri perkebunan memiliki karakteristik khusus yang

membedakannya dengan sektor industri lain, yang ditunjukkan oleh adanya aktivitas

pengelolaan dan transformasi biologis atas tanaman untuk menghasilkan produk yang

akan dikonsumsi atau diproses lebih lanjut. Tanaman perkebunan diklasifikasikan

Page 7: Asset bio

6

menjadi dua golongan yaitu persediaan dan tanaman produksi. Dengan menggunakan

historical cost tanaman persediaan dicatat sebesar harga perolehan. Sedangkan apabila

menggunakan fair value accounting, tanaman persediaan dan tanaman produksi yang

terdiri dari tanaman perkebunan yang belum menghasilkan dan tanaman perkebunan

yang menghasilkan harus diukur pada saat pengakuan awal (initial recognition) dan

pada setiap tanggal neraca sebesar nilai wajarnya (fair value) dikurangi dengan estimasi

biaya pada saat penjualan (point of sale costs).

Aset Biologis

Sub bab ini akan membahas mengenai topik aset biologis. Di dalamnya akan

dijelaskan mengenai pengertian dan gambaran umum tentang aset biologis, dan

klasifikasi aset biologis khusunya pada tanaman perkebunan.

Pengertian dan Gambaran Umum tentang Aset Biologis

Bagi entitas yang bergerak di industri perkebunan atau peternakan, maka akan

muncul jenis aset yang khusus pada sederet klasifikasi aset yang dilaporkannya. Aset

khusus yang menjadi pembeda tersebut adalah aset biologis. Aset biologis adalah aset

entitas berupa hewan dan atau tanaman (IAS 41). Sesuai dengan karakteristik mengenai

aset, maka aset biologis ini pun juga merupakan hasil dari transaksi ekonomi entitas di

masa lalu, dikendalikan sepenuhnya oleh entitas, dan juga diharapkan akan memberikan

manfaat bagi entitas di masa mendatang.

Karakteristik khusus yang melekat pada aset biologis terletak pada adanya

proses transformasi atau perubahan biologis atas aset ini sampai pada saatnya aset ini

dapat dikonsumsi atau dikelola lebih lanjut oleh entitas. Karakteristik khusus inilah

yang juga melekat pada entitas industri perkebunan seperti yang dijadikan obyek pada

tulisan ini. Tranformasi biologis merupakan proses pertumbuhan, degenerasi, produksi,

dan prokreasi yang disebabkan perubahan kualitatif dan kuantitatif pada makhluk hidup

dan menghasilkan aset baru dalam bentuk produk agrikultur atau aset biologis tambahan

pada jenis yang sama (Ridwan, 2011). Terkait dengan penulisan ini, maka penjelasan

mengenai aset biologis dikhususkan pada aset biologis berupa tanaman perkebunan.

Klasifikasi Aset Biologis-Tanaman Perkebunan

Pada industri perkebunan, tanaman perkebunan merupakan komoditas utama

entitas. Hal ini dikarenakan semua aktivitas entitas terkait operasional bisnisnya

bermula pada proses pengelolaan dan hasil penjualan dari tanaman ini. Aset biologis,

Page 8: Asset bio

7

khususnya yang berbentuk tanaman perkebunan dapat diklasifikasikan sebagai berikut

(SE Bapepam, 2002):

1. Tanaman semusim

Tanaman semusim dapat ditanam dan habis dipanen dalam satu siklus tanam.

Termasuk dalam kategori tanaman semusim adalah tanaman pangan seperti: padi,

kedelai, jagung, dan tebu.

2. Tanaman keras

Merupakan tanaman yang memerlukan waktu pemeliharaan lebih dari satu

tahun sebelum dapat dipanen secara komersial pertama kali. Contoh tanaman keras

antara lain: kelapa sawit, karet, dan coklat.

3. Tanaman yang dapat dipanen lebih dari satu kali tetapi bukan tanaman keras,

seperti: cabe, tomat, semangka, mentimun, dan lain-lain.

4. Tanaman holtikultura

Merupakan tanaman yang hasil panennya dapat dikonsumsi langsung seperti

buah-buahan dan sayuran. Tanaman holtikultura dapat berupa:

a. tanaman semusim, misalnya wortel, kol, kentang, dan lain-lain.

b. tanaman yang dapat dipanen lebih dari satu kali panen tapi bukan tanaman keras,

contoh: tomat, cabe, semangka, melon, timun, dan lain lain.

c. Tanaman keras, contoh: jeruk, apel, dan lain lain.

5. Tanaman non holtikultura

Merupakan tanaman yang hasil panennya tidak dapat dikonsumsi secara

langsung. Tanaman non holtikultura dapat berupa :

a. tanaman semusim, misalnya padi.

b. tanaman yang dapat dipanen lebih dari satu kali panen tapi bukan tanaman keras,

contoh: bunga matahari.

c. tanaman keras, contoh: kopi, teh, kelapa sawit, dan lain-lain.

6. Tanaman belum menghasilkan

Tanaman belum menghasilkan yang dapat berupa semua jenis tanaman, yang

dapat dipanen lebih dari satu kali. Digunakan sebagai sebutan akun untuk menampung

biaya-biaya yang terjadi sejak saat penanaman sampai saat tanaman tersebut siap untuk

menghasilkan secara komersial.

7. Tanaman telah menghasilkan

Page 9: Asset bio

8

Merupakan tanaman keras yang dapat dipanen lebih dari satu kali yang telah

menghasilkan secara komersial. Digunakan sebagai sebutan akun untuk biaya-biaya

yang sudah harus dikapitalisas sebagai bagian aktiva tetap.

Standar Akuntansi Keuangan untuk Industri Perkebunan

Standar akuntansi keuangan yang relevan dengan perlakuan akuntansi aset

biologis pada industri perkebunan dapat berupa pedoman teknis dalam berbagai bentuk,

yaitu: Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN Berbasis IFRS yang dikeluarkan oleh

PT. Perkebunan Nusantara I-IV dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) tahun 2011, PSAK

No.14 Revisi 2008 tentang Persediaan, PSAK No. 16 Revisi 2011 tentang Aset Tetap,

IAS 41 tentang Agricultural Asset, PSAK No. 23 Revisi 2010 tentang Pendapatan, dan

PSAK No. 48 Revisi 2009 tentang Penurunan Nilai Aset.

Standar Akuntansi Keuangan untuk Industri Perkebunan-Kehutanan

Di dalam Standar Akuntansi Keuangan yang digunakan di Indonesia, belum

ada pernyataan yang spesifik yang mengatur mengenai perlakuan akuntansi khusus bagi

industri perkebunan. Selama ini hanya ada PSAK 32 yang mengatur mengenai

akuntansi kehutanan, yang juga ikut diterapkan dalam industri perkebunan. PSAK 32 ini

sudah dicabut oleh IAI dan tidak dipergunakan lagi sebagai suatu standar akuntansi di

Indonesia. Standar yang khusus mengenai pengungkapan atau pelaporan aset biologis

belum ada. Dengan demikian, penyusunan laporan keuangan bagi entitas perkebunan

dilakukan berdasarkan penyesuaian terhadap konsep dan prinsip umum mengenai

pelaporan keuangan seperti yang dijelaskan pada PSAK No. 1 dan Peraturan Bapepam

tentang industri perkebunan, dan pedoman akuntansi lain yang sesuai. Secara umum,

metode akuntansi yang dapat diterapkan oleh manajemen entitas perkebunan adalah

metode pencatatan dengan biaya historis (historical cost method).

Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN Tahun 2011

Kebutuhan akan adanya pedoman akuntansi yang secara detail membahas

mengenai akuntansi perkebunan dan juga tuntutan keadaan global yang mengharuskan

adopsi terhadap IFRS membuat PTPN I-IV bersama IAI menyusun sebuah pedoman

akuntansi perkebunan BUMN berbasis IFRS. Pedoman akuntansi ini memang bukan

merupakan produk langsung dari Dewan Standar Akuntansi Keuangan dari IAI (DSAK-

IAI) karena produk langsung dari DSAK-IAI adalah Pernyataan Standar Akuntansi

Keuangan (PSAK). Pedoman akuntansi ini merupakan produk dari regulator dan

Page 10: Asset bio

9

asosiasi industri yang bersangkutan. Isi dari pedoman akuntansi perkebunan BUMN ini

dibuat secara lengkap dan terinci untuk semua komponen laporan keuangan yang

dibutuhkan.

Terkait dengan perlakuan akuntansi atas aset biologis, dalam pedoman ini yang

dapat dijadikan acuan adalah penjelasan pada bagian aset persediaan dan aset tanaman

tahunan. Persediaan adalah (Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN, 2011:47):

1. Aset yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal.

2. Aset dalam proses produksi atau dalam perjalanan.

3. Aset yang tersedia dalam bentuk bahan atau perlengkapan untuk digunakan dalam

pemberian pelayanan, proses produksi, dan mendukung kegiatan administratif.

Dasar pengaturan yang digunakan terkait dengan persediaan ini menggunakan

PSAK 14. Akun persediaan menampung beberapa jenis persediaan yaitu hasil tanaman,

barang dalam proses, bahan baku, bahan pelengkap (Pedoman Akuntansi Perkebunan

BUMN, 2011:47). Persediaan hasil tanaman yang dimaksud dapat berupa buah atau inti

kelapa sawit, hasil sadapan karet, teh, dan lain-lain. Persediaan bahan pelengkap

meliputi pupuk, obat-obatan tanaman atau pestisida, bahan bakar untuk memproduksi,

dan lain-lain.

Selain pada unsur akun persediaan, bagian lain dari pedoman ini yang relevan

dengan masalah penuliasan ini adalah mengenai aset tanaman tahunan. Aset tanaman

tahunan adalah aset tanaman perkebunan yang terdiri dari tanaman belum menghasilkan

(TBM) dan tanaman telah menghasilkan (TM) (Pedoman Akuntansi Perkebunan

BUMN, 2011:94). Dasar pengaturan untuk aset tanaman tahunan adalah PSAK 16

mengenai aset tetap dan PSAK 48 mengenai penurunan nilai aset.

Proses yang dilalui menjadi untuk aset tanaman tahunan adalah dari pembibitan

sampai dengan menjadi tanaman telah menghasilkan (proses dari TBM hingga menjad

TM) dan dari tanaman telah menghasilkan sampai dengan dihentikan pengakuannya,

misalnya ditebang atau diganti dengan tanaman lain (Pedoman Akuntansi Perkebunan

BUMN, 2011:94).

Terkait dengan pengakuan biaya perolehan aset biologis berupa tanaman

tahunan, maka hal ini dapat diklasifikasikan atas biaya TBM, biaya TM, dan biaya

untuk penyulaman atas tanaman yang rusak.

Page 11: Asset bio

10

Menurut Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN (2011:93), biaya yang diakui

sebagai bagian dari TBM (biaya perolehan awal) yaitu:

1. Biaya input, yaitu harga perolehan bibit dan biaya lainnya yang dikeluarkan entitas

sampai dengan bibit siap tanam.

2. Biaya proses, yaitu biaya yang dikeluarkan setelah biaya input sampai menjadi bibit

tanaman berikutnya yang terdiri dari biaya tenaga kerja langsung di unit atau di

kebun untuk pemeliharaan TBM dan biaya lainnya yang terjadi seperti: biaya

penyiapan lahan (land clearing) biaya handling dan pengangkutan bibit tanaman,

biaya penanaman, pemupukan, dan pemeliharaan, biaya pengujian aset tanaman

tahunan, dan biaya komisi profesional yang menangani aset tanaman.

Terkait dengan biaya penyulaman atau penyisipan, dapat dilakukan dengan

menggunakan metode pendekatan areal dan pendekatan per pohon. Dalam metode

pendekatan areal biaya penyisipan suatu aset tanaman dalam areal TBM diakui sebagai

penambah jumlah tercatat aset TBM dan biaya penyisipan suatu aset dalam areal TM

diakui sebagai beban periode terjadinya. Dalam metode pendekatan per pohon, jumlah

tercatat aset TM yang diganti diakui sebagai beban periode terjadinya dan biaya aset

tanaman baru diukur sebagai biaya perolehan aset tanaman tahunan (Pedoman

Akuntansi Perkebunan BUMN, 2011: 94-95)

Topik selanjutnya dalam pedoman akuntansi perkebunan ini adalah mengenai

reklasifikasi dari TBM ke TM. Menurut Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN

(2011:96), TBM direklasifikasi ke TM pada saat tanaman sudah menghasilkan.

Penentuan waktu tanaman dapat menghasilkan ditentukan oleh pertumbuhan vegetatif

dan berdasarkan taksiran manajemen. Nilai TBM yang direklasifikasi ke TM adalah

total biaya perolehannya yang dikurangi dengan akumulasi rugi penurunan nilai.

Perlakuan biaya setelah reklasifikasi dari TM ke TBM diatur sebagai berikut

(Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN, 2011:96):

1. Biaya perolehan TM sebesar nilai tercatat TBM yang direklasifikasi ke TM.

2. Biaya-biaya yang terjadi setelah TM diakui sebagai beban periode terjadinya, kecuali

biaya-biaya yang memenuhi syarat untuk dikapitalisasi ke aset.

3. Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memelihara aset tanaman yang tidak menambah

manfaat ekonomis aset tanaman, atau biaya-biaya yang mengembalikan aset tanaman

Page 12: Asset bio

11

ke kondisi normalnya, maka biaya-biaya tersebut dibebankan pada periode

terjadinya. Misalnya, biaya pemupukan rutin.

Pedoman ini juga mengatur mengenai penyusutan atas aset tanaman

perkebunan. Penyusutan aset tanaman dimulai ketika TBM direklasifikasi ke TM.

Penyusutan dilakukan menggunakan metode garis lurus. Penyusutan aset tanaman

tahunan diakui sebagai beban produksi atau penambah biaya perolehan persediaan yang

dihasilkannya. Akumulasi penyusutan aset tanaman disajikan sebagai pos pengurang

jumlah tercatatnya (Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN, 2011:99).

Penurunan nilai aset tanaman tahunan dapat dialami oleh entitas pada masa

aset berada dalam kualifikasi TBM, TM, maupun dalam bentuk hasil produk

tanamannya. Menurut Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN (2011:99), penurunan

nilai diakui sebagai kerugian pada periode terjadinya. Akumulasi rugi penurunan nilai

aset tanaman disajikan sebagai pos lawan jumlah tercatatnya. Pemulihan penurunan

nilai diakui sebagai keuntungan.

PSAK No. 14 Revisi 2008 tentang Persediaan

Dewan Standar Akuntansi Keuangan atau yang disingkat dengan DSAK di

bawah organisasi IAI mengeluarkan pernyataan standar akuntansi keuangan yang

membahas mengenai Persediaan dalam PSAK No.14 Revisi 2008. Tujuan

dikeluarkannya PSAK ini adalah untuk mengatur hal-hal terkait dengan persediaan,

yaitu: penentuan jumlah biaya yang diakui sebagai aset dan perlakuan akuntansi

selanjutnya atas akun ini sampai pendapatan terkait persediaan dapat diakui,

menyediakan panduan dalam menentukan biaya dan pengakuan selanjutnya sebagai

beban, termasuk juga mengenai nilai realisasi neto persediaan, memberikan panduan

rumus biaya yang digunakan untuk menentukan biaya persediaan, dan panduan

mengenai penurunan nilai persediaan.

Pengertian mengenai persediaan dalam PSAK ini sejalan dengan pengertian

yang ada dalam Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN yang dikeluarkan oleh PTPN

I-IV dan IAI, bahwa persediaan adalah aset yang tersedia untuk dijual, aset yang dalam

proses produksi untuk penjualan tersebut, dan aset yang dalam bentuk bahan atau

perlengkapan untuk digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa. Persediaan

terkait dengan aset biologis dan kegiatan operasional bisnis dari industri perkebunan

Page 13: Asset bio

12

berupa: persediaan hasil panen dan persediaan bahan pelengkap (pupuk, obat tanaman,

dan pestisida).

Pengukuran nilai persediaan dilakukan berdasarkan biaya atau nilai realisasi

neto, mana yang lebih rendah (PSAK No.14, 2008: 4). Biaya persediaan harus meliputi

semua biaya pembelian, biaya konversi, dan biaya lain yang timbul sampai dengan

persediaan berada dalam kondisi dan lokasi saat ini (PSAK No.14, 2008:4).

Teknik pengukuran biaya dalam persediaan menggunakan teknik pengukuran

biaya standar atau metode eceran. Dalam kaitannya dengan aset biologis, maka teknik

pengukuran biaya yang lebih mudah adalah menggunakan metode biaya standar dengan

cara memperhitungkan tingkat normal penggunaan bahan, perlengkapan, tenaga kerja,

efisiensi dan utilisasi kapasitas.

Persediaan akan dipindahbukukan dan diakui sebagai beban jika telah terjadi

penjualan atas persediaan tersebut. Menurut PSAK No.14 (2008:11), jika persediaan

dijual, maka nilai tercatat persediaan tersebut harus diakui sebagai beban pada periode

diakuinya pendapatan atas penjualan tersebut. Setiap penurunan nilai persediaan di

bawah biaya menjadi nilai realisasi neto dan seluruh kerugian persediaan harus diakui

sebagai beban pada periode terjadinya penurunan atau kerugian tersebut. Setiap

pemulihan kembali penurunan nilai persediaan karena peningkatan kembali nilai

realisasi neto, harus diakui sebagai pengurangan terhadap jumlah beban persediaan pada

periode terjadinya pemulihan tersebut. Di dalam kegiatan operasional entitas bisnis

perkebunan, berkurangnya nilai persediaan dikarenakan persediaan berupa hasil,

pemakaian bahan pelengkap, dan kerusakan yang terjadi pada stok hasil panen.

Kerusakan atas persediaan harus dihapus dari akun persediaan dan dibebankan sebagai

beban periodik pada tahun berjalan.

PSAK No. 16 Revisi 2011 tentang Aset Tetap

Penyusunan PSAK No.16 Revisi 2011 yang dilakukan oleh Dewan Standar

Akuntansi Keuangan-IAI ditujukan untuk mengatur mengenai perlakuan akuntansi aset

tetap. Isu utama yang diangkat akuntansi untuk aset tetap adalah pengakuan aset tetap,

penentuan jumlah tercatat, pembebanan penyusutan, dan rugi penurunan nilai atas aset

tetap.

Menurut PSAK No.16 (2011:2) aset tetap adalah aset berwujud yang:

Page 14: Asset bio

13

1. dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa untuk

direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif; dan

2. diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode.

Di dalam PSAK ini, dijelaskan bahwa pengakuan aset tetap dilakukan sebesar

biaya perolehannya jika kemungkinan besar entitas akan mendapatkan manfaat ekonomi

di masa depan atas aset tersebut dan biaya perolehannya dapat diukur secara andal.

Biaya perolehan aset tetap adalah setara dengan nilai tunai yang diakui pada saat

terjadinya (PSAK No.16, 2011:9). Komponen dari biaya perolehan awal adalah harga

pembelian aset, biaya pengiriman, estimasi biaya relokasi dan instalasi. Akumulasi atas

biaya perolehan akan berhenti ketika aset tetap sudah siap untuk digunakan.

Topik pembahasan aset tetap selanjutnya adalah mengenai pengakuan atas

biaya-biaya yang dikeluarkan setelah perolehan awal. Pengeluaran biaya pasca

perolehan ini bisa dalam jumlah yang kecil atau besar dan rutin dikeluarkan atau

insidental. Menurut PSAK No.16 (2011:5), entitas tidak boleh mengakui biaya

perawatan sehari-hari aset tetap sebagai bagian dari aset bersangkutan. Biaya-biaya ini

diakui dalam laba rugi saat terjadinya. Biaya perawatan sehari-hari terutama terdiri atas

biaya tenaga kerja dan bahan habis pakai (consumables) termasuk di dalamnya suku

cadang kecil. Pengeluaran-pengeluaran untuk hal tersebut sering disebut “biaya

pemeliharaan dan perbaikan” aset tetap. Untuk klasifikasi pengakuan atas pengeluaran

setelah perolehan awal selanjutnya adalah dikapitalisasi menambah nilai aset tetap yang

bersangkutan. Menurut PSAK No.16 (2011:6), entitas mengakui biaya penggantian

komponen suatu aset dalam jumlah tercatat aset saat biaya itu terjadi jika pengeluaran

tersebut memenuhi kriteria untuk diakui sebagai bagian dari aset. Jumlah tercatat

komponen yang diganti tersebut tidak lagi diakui apabila telah memenuhi ketentuan

penghentian pengakuan.

Pengukuran biaya setelah pengakuan awal dapat dilakukan dengan

menggunakan metode biaya dan metode revaluasi. Apabila menggunakan metode biaya

maka aset tetap dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan

akumulasi rugi penurunan nilai aset (PSAK No.16, 2011:11). Jika menggunakan metode

revaluasi, maka aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal harus dicatat

pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi

penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi.

Page 15: Asset bio

14

Revaluasi harus dilakukan dengan keteraturan yang cukup reguler untuk memastikan

bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara material dari jumlah yang ditentukan dengan

menggunakan nilai wajar pada akhir periode pelaporan (PSAK No.16, 2011:11).

Dalam PSAK No.16 ini juga mengatur mengenai penyusutan aset tetap.

Menurut PSAK No.16 (2011:14), entitas mengalokasikan jumlah pengakuan awal aset

pada bagian aset tetap yang signifikan dan menyusutkan secara terpisah setiap bagian

tersebut. Penyusutan merupakan alokasi harga perolehan dari sebuah aset tetap

sepanjang umur ekonomis secara sistematis dan rasional. Alokasi penyusutan ini untuk

memenuhi prinsip matching atas pendapatan dan beban dalam satu periode akuntansi

yang sama. Beban penyusutan untuk setiap periode harus diakui dalam laba rugi kecuali

jika beban tersebut dimasukkan dalam jumlah tercatat aset lainnya (PSAK No.16,

2011:15). Kebijakan manajemen berdasakan pertimbangan profesional yang logis,

praktis, dan sesuai dengan peraturan dibutuhkan untuk menentukan metode penyusutan,

alokasi atas nilai sisa aset tetap dan alokasi umur ekonomisnya.

Dalam kaitannya dengan perlakuan akuntansi aset biologis di industri

perkebunan, bagian aset biologis yang memenuhi kualifikasi sebagai aset tetap adalah

akun Tanaman Menghasilkan (TM). Kelompok akun tanaman ,menghasilkan

merupakan hasil reklasifikasi dari nilai bersih Tanaman Belum Menghasilkan (TBM)

yang sudah layak memasuki masa menghasilkan sesuai dengan taksiran manajemen.

Setelah diakui sebagai tanaman menghasilkan, maka aset biologis yang ada di dalamnya

akan disusutkan dengan metode penyusutan yang sesuai.

IAS 41 untuk Industri Agrikultur-Perkebunan

Berbeda dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), standar yang berlaku

internasional, yaitu IFRS telah mengatur secara spesifik mengenai akuntansi untuk

industri perkebunan. Peraturan tersebut disajikan dalam IAS 41 mengenai akuntansi

untuk kegiatan agrikultur. Aset biologis dalam agrikultur berupa tanaman dan hewan

(IAS 41:5). Jika dikaitkan dengan obyek tulisan ini, maka aset biologis yang dibahas

hanya terkait dengan tanaman.

IAS 41 mengatur mengenai perlakuan akuntansi, penyajian, dan pengungkapan

laporan keuangan terkait dengan aset biologis dan produk hasil pertanian pada saat masa

panen sejauh ada kaitannya dengan kegiatan pertanian. Menurut IAS 41 (2008:10)

terkait dengan pengakuan awal atas aset biologis adalah:

Page 16: Asset bio

15

“An entity should recognise a biological asset or agriculture produce only when the

entity controls the asset as a result of past events, it is probable that future economic

benefits will flow to the entity, and the fair value or cost of the asset can be measured

reliably.”

Sesuai dengan rerangka konseptual yang diterapkan dalam IFRS, maka IAS 41

ini menggunakan metode akuntansi dengan menerapkan revaluation model atau dikenal

dengan konsep fair value accounting. Penerapan revaluation model dalam pencatatan

terhadap kelompok akun aset tetap, termasuk akun tanaman perkebunan (aset biologis),

dilakukan berdasarkan nilai wajarnya. Menurut IAS 41 (2008:12), biological assets

should be measured on initial recognition and at subsequent reporting dates at fair

value less estimated costs to sell, unless fair value cannot be reliably measured.

Agricultural produce should be measured at fair value less estimated costs to sell at the

point of harvest.

Terkait dengan hasil produk agrikultur, maka entitas harus mengukurnya pada

saat panen sebesar nilai wajar dikurangi biaya penjualan. Tidak ada pengecualian

terhadap nilai wajar atas bagian produk yang tidak dapat diukur dengan andal karena

nilai wajar produk agrikultur selalu dapat diukur dengan andal. Persyaratan dalam

pengukuran sesuai dengan IAS 41 adalah sebagai berikut:

1. A quoted market price in an active market for a biological asset or agricultural

produce is the most reliable basis for determining the fair value of that asset. If an

active market does not exist, IAS 41 provides guidance for choosing another

measurement basis. First choice would be a market-determined price such as the

most recent market price for that type of asset, or market prices for similar or

related assets (IAS 41, 2008:17-19).

2. If reliable market-based prices are not available, the present value of expected net

cash flows from the asset should be used, discounted at a current market-

determined rate (IAS 41, 2008:20).

3. In limited circumstances, cost is an indicator of fair value, where little biological

transformation has taken place or the impact of biological transformation on price

is not expected to be material (IAS 41, 2008:24).

Page 17: Asset bio

16

4. The fair value of a biological asset is based on current quoted market prices and is

not adjusted to reflect the actual price in a binding sale contract that provides for

delivery at a future date (IAS 41, 2008:16)

PSAK No. 23 Revisi 2010 tentang Pendapatan

Pembahasan mengenai PSAK No. 23 Revisi 2010 ini ditampilkan karena

dipandang ada keterkaitannya dengan pengakuan pendapatan pada entitas bisnis

perkebunan yang mengelola aset biologis sebagai komoditas utama di dalam

operasional bisnisnya. PSAK No. 23 Revisi 2010 ini membahas mengenai topik

pengakuan, pengukuran, dan pengungkapan akun pendapatan yang diterima oleh suatu

entitas bisnis dari kejadian: penjualan barang, penjualan jasa, dan penggunaan aset

entitas oleh pihak lain yang menghasilkan bunga, royalti, dan deviden.

Di dalam PSAK No. 23 (2010:3) pendapatan adalah arus masuk bruto dari

manfaat ekonomi yang timbul dari aktifitas normal entitas selama suatu periode jika

arus masuk tersebut mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi

penanam modal. Untuk pengukuran pendapatan dilakukan dengan mengukur nilai wajar

imbalan yang diterima atau dapat diterima (PSAK 23, 2010:4).

Terkait dengan bidang usaha yang dijadikan obyek tulisan, maka pendapatan

entitas bisnis yang menjalankan usaha agribisnis dengan komoditas utamanya adalah

hasil dari aset biologis, yang akan dibahas dengan PSAK No.23 ini adalah pendapatan

yang berasal dari transaksi penjualan barang berupa hasil panen dari tanaman yang

berupa aset biologis. Kondisi yang disebut dengan penjualan barang dalam bentuk hasil

panen adalah apabila telah memenuhi kulaifikasi sebagai berikut (PSAK No.23, 2010:

6):

1. Entitas telah memindahkan resiko dan manfaat kepemilikan barang secara signifikan

kepada pembeli.

2. Entitas tidak lagi melanjutkan pengelolaan yang biasanya terkait dengan kepemilikan

atas barang ataupun melakukan pengendalian efektif atas barang yang dijual.

3. Jumlah pendapatan dapat diukur dengan andal.

4. Kemungkinan besar manfaat ekonomi yang terkait dengan transaksi tersebut akan

mengalir ke entitas.

5. Biaya yang terjadi atau akan terjadi sehubungan dengan transaksi penjualan tersebut

dapat diukur secara andal.

Page 18: Asset bio

17

Pengukuran mengenai nilai pendapatan atas barang yang dijual oleh entitas

berupa persediaan hasil panen dari aset biologis. Biaya atas pendapatan ini dilakukan

dengan mengukur nilai persediaan yang menjadi harga pokok penjualan atau beban

pokok penjualannya.

PSAK No. 48 Revisi 2009 tentang Penurunan Nilai Aset

PSAK No. 48 Revisi 2009 merupakan standar akuntansi keuangan yang

diadopsi dari IAS No. 36 tentang Penurunan Nilai Aset atau Impairment of Assets. Di

dalam PSAK ini penurunan nilai aset yang tergolong dalam aset biologis merupakan

salah satu bagian dari ruang lingkupnya. Tujuan dari diterbitkan PSAK No.48 Revisi

2009 ini adalah untuk menetapkan prosedur agar aset yang dicatat tidak melebihi jumlah

terpulihkannya atau dikenal dengan istilah impairment (PSAK No.48, 2009:1). Jumlah

aset terpulihkan bisa dilihat dari nilai apabila aset tersebut dijual atau digunakan, mana

yang lebih tinggi.

Pembahasan mengenai standar akuntansi yang mengatur mengenai penurunan

nilai aset ini dibutuhkan dalam tulisan karena terkait dengan aset biologis, ternyata aset

ini sangat rentan mengalami penurunan nilai dalam berbagai tahapan perkembangan

vegetatifnya. Penurunan nilai aset biologis biasanya dikarenakan ada sebagian bentuk

aset biologis yang cacat atau rusak sehingga tidak bisa lagi digunakan dalam

operasional bisnis entitas dan otomatis mengurangi keseluruhan nilai tercatat dari aset

biologis, baik dalam akun tanaman belum menghasilkan (TBM), tanaman menghasilkan

(TM), maupun persediaan hasil panennya.

Entitas harus menilai adanya indikasi atas penurunan nilai asetnya. Salah satu

indikasi yang bisa digunakan sebagai acuan adalah terdapat bukti mengenai keusangan

atau kerusakan fisik aset (PSAK No.48, 2009:8). Di dalam praktik pengelolaan

perkebunan, secara regular dilakukan pemeriksaan atas semua aset biologisnya dan di

setiap panen selalu dilakukan penyortiran atas hasil panen yang rusak. Kegiatan ini akan

mampu mendeteksi indikasi keusangan atau kerusakan fisik aset sebagai bentuk

penurunan nilai aset tersebut.

Kerugian yang dialami entitas atas penurunan nilai asetnya diakui sebagai rugi

penurunan nilai. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam PSAK No.48 (2009: 23), yaitu:

“Jika, dan hanya jika, nilai terpulihkan aset lebih kecil dari nilai tercatatnya, maka nilai

tercatat aset diturunkan menjadi sebesar nilai terpulihkan. Penurunan tersebut adalah

Page 19: Asset bio

18

rugi penurunan nilai. Rugi penurunan nilai aset yang tidak direvaluasi diakui dalam

laporan laba rugi.”

Apabila suatu aset mengalami penurunan nilai, maka penyusutan yang

dibebankan atas aset tersebut harus juga mengalami penyesuaian. Seperti yang

diungkapkan dalam standar ini bahwa setelah pengakuan rugi penurunan nilai, beban

penyusutan (amortisasi) aset disesuaikan di periode mendatang untuk mengalokasikan

nilai tercatat aset revisian, setelah dikurangi nilai sisa (jika ada), secara sistematis

selama sisa umur manfaatnya (PSAK No.48, 2009: 23-24).

Penyajian Aset Biologis dalam Laporan Keuangan Industri Perkebunan

Komponen utama aset biologis dalam industri perkebunan adalah tanaman

perkebunan. Keberadaan tanaman perkebunan yang mengalami proses transformasi

biologis menyebabkan penyajian atas aset ini di laporan keuangan terbagi dalam banyak

klasifikasi pos akun. Secara garis besar, keberadaan aset biologis ini dapat dimasukkan

dalam klasifikasi akun persediaan dan aset tidak lancar. Adanya konsep biaya historis

dan fair value juga memberikan pengaruh yang mendasar pada penyajian nilai nominal

aset biologis pada laporan keuangan. Berikut ini akan dijelaskan mengenai masing-

masing penyajian aset biologis baik dengan konsep biaya historis maupun konsep fair

value.

Penyajian dengan Konsep Biaya Historis

Penyajian aset biologis, berupa tanaman perkebunan, dikelompokkan dalam

akun persediaan dan akun aset tidak lancar. Akun persediaan akan menampung tanaman

perkebunan yang telah siap dijual menurut jenis usaha entitas. Akun aset tidak lancar

akan menampung tanaman perkebunan milik entitas yang belum bisa dijual karena

masih mengalami proses pertumbuhan.

Penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Martini (2012), persediaan dalam

industri perkebunan disajikan sebesar biaya perolehan atau nilai realisasi bersih, mana

yang lebih rendah. Persediaan dalam industri perkebunan meliputi:

1. Barang jadi yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal entitas.

Barang jadi yang tersedia untuk dijual ini disajikan sebesar biaya perolehan

atau nilai realisasi bersih, mana yang lebih rendah. Terdiri dari :

Page 20: Asset bio

19

a) Hasil produksi perkebunan. Merupakan hasil panen atau hasil produksi dari

perkebunan misalnya: buah-buahan, getah karet, sayuran, tanaman pangan dan

bunga.

b) Tanaman untuk dijual. Misalnya: pohon buah-buahan, bonsai dan sebagainya.

2. Tanaman semusim yang belum menghasilkan

Tanaman semusim yang belum menghasilkan disajikan sebesar biaya yang

dikeluarkan untuk pembibitan atau pembelian bibit dan penanaman tanaman semusim

sampai tanaman tersebut siap panen. Pengklasifikasian sebagai persediaan tidak

memperhatikan jangka waktu dari saat tanam sampai panen lebih atau kurang dari satu

tahun. Tanaman semusim diperlakukan seperti halnya barang setengah jadi (work in

process) sampai dipanen.

3. Barang atau material yang digunakan secara langsung dalam proses produksi,

meliputi:

a) Bibit tanaman

Bagi entitas penjual bibit, bibit tanaman merupakan persediaan, sedangkan

bagi entitas perkebunan bibit merupakan persediaan sepanjang belum digunakan sendiri

oleh entitas untuk menghasilkan secara komersial. Jika sudah digunakan oleh entitas

sendiri untuk menghasilkan secara komersial, bibit merupakan tanaman belum

menghasilkan dalam aktiva tidak lancar (aset tidak lancar).

b) Persediaan bahan pembantu

Bahan pembantu merupakan bahan baku atau barang yang diperlukan dalam

proses transformasi untuk menghasilkan barang jadi tetapi hubungannya dalam proses

tidak langsung, misalnya: pestisida, pupuk, dan sebagainya.

c) Persediaan lain

Merupakan barang yang diperlukan dalam proses produksi entitas seperti solar,

suku cadang, dan sebagainya.

d) Barang dalam perjalanan

Barang dalam perjalanan merupakan barang atau material yang merupakan

milik entitas dan disajikan sebagai bagian dari persediaan.

Klasifikasi yang selanjutnya adalah tanaman perkebunan yang disajikan

sebagai aset tidak lancar entitas. Di lingkungan industri perkebunan, aset tidak lancar

berupa aset biologis ini sering juga disebut dengan akun tanaman produksi. Tanaman

Page 21: Asset bio

20

produksi disajikan dalam laporan posisi keuangan entitas sebagai tanaman perkebunan

yang merupakan bagian dari kelompok aset tidak lancar (Pedoman Akuntansi

Perkebunan BUMN, 2011). Akun tanaman perkebunan ini merupakan tanaman

menghasilkan yang memiliki umur ekonomis panjang. Akun ini terdiri dari:

1. Tanaman belum menghasilkan

Akun ini mengakomodasi penyajian tanaman yang belum menghasilkan dan

nantinya dapat dipanen lebih dari satu kali. Dengan menggunakan konsep biaya historis,

maka akun tanaman belum menghasilkan disajikan sebesar harga perolehan. Komponen

dari harga perolehan ini antara lain adalah biaya pembibitan, persiapan lahan,

penanaman, pemupukan, pemeliharaan, alokasi biaya tidak langsung berdasarkan luas

hektar yang dikapitalisasi, termasuk juga kapitalisasi biaya pinjaman dan rugi selisih

kurs yang timbul dari pinjaman yang digunakan untuk mendanai tanaman belum

menghasilkan selama periode-periode tertentu.

Akun tanaman belum menghasilkan dicatat sebagai aset tidak lancar namun

tidak disusutkan karena tanaman dalam akun ini belum dapat memberikan manfaat

(pendapatan) bagi entitas. Tanaman belum menghasilkan akan direklasifikasi menjadi

tanaman menghasilkan pada saat tanaman sudah dianggap bisa menghasilkan manfaat

bagi entitas. Jangka waktu tanaman ini berkembang hingga masuk dalam tahap dapat

menghasilkan ditentukan berdasarkan pertumbuhan vegetative dan taksiran manajemen.

2. Tanaman telah menghasilkan.

Akun tanaman telah menghasilkan berisi tanaman perkebunan yang merupakan

tanaman keras dan dapat dipanen lebih dari satu kali serta telah menghasilkan secara

komersial. Tanaman dalam akun ini dicatat sebesar biaya perolehan saat reklasifikasi

dari akun tanaman belum menghasilkan dilakukan. Biaya perolehan ini mencakup

semua biaya yang telah dikeluarkan entitas sampai dengan tanaman tersebut dapat

menghasilkan secara komersial. Entitas harus melakukan penyusutan menggunakan

metode garis lurus untuk akun ini.

Penyajian dengan Konsep Fair Value

Aktivitas pengelolaan tanaman perkebunan sebagai salah satu kegiatan bisnis

utama pada entitas perkebunan merupakan aktivitas yang membutuhkan waktu relatif

lama. Selama aset ini mengalami transformasi biologis sampai dengan saatnya tanaman

tersebut mampu memberikan manfaat komersial bagi entitas, entitas tidak akan

Page 22: Asset bio

21

mendapatkan aliran kas masuk yang berasal dari penjualan produk utama entitas.

Sehingga dalam tahun-tahun transformasi biologis ini entitas tidak dapat melaporkan

adanya pendapatan dalam laporan keuangannya.

Kondisi ini merupakan kelemahan dari penggunaan konsep biaya historis.

Manajemen dan para pengguna laporan keuangan tidak dapat menganalisis kemampuan

entitas dalam memanfaatkan peluang dan atau menghindari resiko merugikan bagi

entitas. Berdasarkan hal ini, maka ada konsep baru terkait dengan penyajian aset

biologis dalam entitas perkebunan, yaitu konsep fair value.

Entitas diperbolehkan mengukur aset tidak lancarnya dengan menggunakan

revaluation model jika penyajian menggunakan konsep fair value. Penggunaan

revaluation model ini akan mencatat aset tersebut dalam nilai wajarnya. Sama dengan

konsep sebelumnya, penyajian dengan fair value tetap mengklasifikasikan aset biologis

entitas perkebunan menjadi dua kelompok besar yaitu persediaan dan aset tidak lancar

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Martini (2012), produk hasil

pertanian adalah hasil panen aktiva (aset) biologis entitas. Produk hasil pertanian ini

dalam industri perkebunan sama dengan produk hasil perkebunan yang digolongkan

sebagai persediaan. Sesuai dengan yang diterangkan dalam IAS 41, produk hasil

pertanian (persediaan) yang dipanen dari aset biologis entitas harus diukur pada saat

panen sebesar nilai wajar dikurangi dengan biaya pada saat penjualan.

Untuk kelompok akun aset tidak lancar, juga dibagi menjadi akun tanaman

belum menghasilkan dan tanaman telah menghasilkan. Menurut IAS 41, aset biologis

yang masuk dalam kelompok aset tidak lancar ini harus diukur pada saat pengakuan

awal dan pada setiap tanggal neraca sebesar nilai wajarnya dan dikurangi dengan

estimasi biaya pada saat penjualannya. Jika pada saat pengakuan awal, entitas tidak

dapat menentukan nilai wajarnya dengan andal, maka aset biologis ini diukur

berdasarkan biaya perolehannya dikurangi dengan akumulasi depresiasi dan akumulasi

kerugian penurunan nilai. Namun, ketika entitas telah dapat mengetahui nilai wajar dari

aset biologis ini dengan andal, maka aset ini harus diukur pada nilai wajarnya dikurangi

dengan estimasi biaya saat penjualan.

Berbeda dengan penggunaan konsep biaya historis, pada konsep fair value ini,

tidak ada akun akumulasi penyusutan dalam penyajian tanaman perkebunan yang telah

menghasilkan. Entitas wajib melakukan pengukuran kembali (revaluation) atas tanaman

Page 23: Asset bio

22

perkebunan yang telah menghasilkan sesuai dengan nilai wajarnya dan dikurangi

dengan estimasi biaya saat penjualan, jika entitas menggunakan metode ini. Jika ada

selisih dalam tahap pengukuran kembali ini, bisa berupa kerugian atau keuntungan,

entitas wajib memasukkannya dalam item laporan laba rugi periode berjalan.

Apabila entitas menggunakan konsep fair value dalam mengukur dan

menyajikan aset biologisnya, maka entitas harus menyajikan daftar rekonsiliasi

perubahan atas nilai tercatat pada tanaman perkebunan di antara awal dan akhir periode

berjalan. Daftar rekonsiliasi ini berisi mengenai ringkasan: penurunan akibat penjualan,

penurunan akibat panen, kenaikan yang diakibatkan penggabungan usaha, selisih kurs

bersih akibat translasi laporan keuangan entitas asing, dan berbagai sumber perubahan

lainnya.

Pengukuran menggunakan konsep fair value ini menjawab kelemahan

penyajian aset biologis jika menggunakan konsep biaya historis. Dengan konsep ini,

entitas tetap dapat mengetahui laba atau rugi bersih yang dialaminya pada periode-

periode selama proses transformasi biologis pada tanaman perkebunan sampai tanaman

tersebut dapat menghasilkan manfaat ekonomis bagi entitas.

Penyajian dengan Standar Akuntansi Keuangan ETAP

Entitas atau entitas mempunyai beragam skala usaha. Ada entitas yang masih

belum berskala entitas publik namun ada juga entitas yang sudah berskala publik.

Perbedaan skala bisnis ini berpengaruh pada penerapan standar akuntansi keuangan

yang menjadi dasar pelaporan keuangannya. Di Indonesia, entitas atau entitas skala

kecil dan menengah, utamanya yang belum menjadi entitas publik, menggunakan

Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntanbilitas Publik yang kemudian

disingkat menjadi SAK ETAP.

Dalam tulisan ini ditampilkan mengenai penyajian dengan SAK ETAP karena

berhubungan dengan kemungkinan kondisi entitas bisnis yang bergerak di bidang

industri agrikultur ada yang sudah go public dan ada yang masih sifatnya privat.

Ditambah lagi, pemerintah masih memberikan alternatif penerapan metode dan standar

akuntansi pada perusahaan yang tidak memiliki akuntabilitas publik untuk memilih

menerapkan SAK ETAP atau IFRS.

Pada dasarnya, persyaratan untuk pengakuan dan pengukuran aset, kewajiban,

penghasilan dan beban dalam SAK ETAP didasarkan pada prinsip pervasif dari

Page 24: Asset bio

23

Kerangka Dasar Penyajian dan Pengukuran Laporan Keuangan. Menurut SAK ETAP

(2009:11), dasar pengukuran yang umum adalah biaya historis dan nilai wajar.

SAK ETAP tidak mempunyai suatu standar yang baku dan khusus terkait

dengan penyajian atas aset biologis suatu entitas. Kelompok akun aset biologis

dimasukkan dalam kelompok aset tetap yang secara umum dijelaskan pada SAK ETAP

Bab 15. Berdasarkan standar yang tertulis di SAK ETAP (2009:68) diterangkan bahwa,

1. Entitas harus mengakui biaya perolehan aset tetap sebagai aset tetap jika:

kemungkinan bahwa manfaat ekonomi yang terkait dengan pos tersebut akan

mengalir dari atau ke dalam entitas dan pos tersebut mempunyai nilai atau biaya

yang dapat diukur dengan andal. Pada saat pengakuan awal, aset tetap harus diukur

sebesar biaya perolehan. Biaya perolehan aset meliputi: harga beli, biaya-biaya yang

dapat diatribusikan langsung untuk membawa aset ke lokasi dan kondisi yang

diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan maksud manajemen, estimasi

awal biaya pembongkaran aset, biaya pemindahan aset dan biaya restorasi lokasi.

Biaya perolehan aset tetap adalah setara harga tunainya pada tanggal pengakuan.

2. Penilaian kembali atau revaluasi aset tetap pada umumnya tidak diperkenankan

karena SAK ETAP menganut penilaian aset berdasarkan biaya perolehan atau harga

pertukaran. Penyimpangan dari ketentuan ini mungkin dilakukan berdasarkan

ketentuan pemerintah. Dalam hal ini laporan keuangan harus menjelaskan mengenai

penyimpangan dari konsep biaya perolehan di dalam penyajian aset tetap serta

pengaruh dari penyimpangan tersebut terhadap gambaran keuangan entitas. Selisih

antara nilai revaluasi dengan nilai tercatat aset tetap diakui dalam ekuitas dengan

nama “Surplus Revaluasi Aset Tetap”.

3. Penyusutan dimulai ketika suatu aset tersedia untuk digunakan, misalnya aset berada

di lokasi dan kondisi yang diperlukan sehingga mampu beroperasi sebagaimana

maksud manajemen. Penyusutan dihentikan ketika aset dihentikan pengakuannya.

Penyusutan tidak dihentikan ketika aset tidak digunakan atau dihentikan penggunaan

aktifnya, kecuali aset tersebut telah disusutkan secara penuh. Namun, dalam metode

penyusutan berdasar penggunaan (usage method of depreciation), beban penyusutan

menjadi nol ketika tidak ada produksi.

Page 25: Asset bio

24

DAFTAR PUSTAKA

BAPEPAM. 2002. Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten

atau Perusahaan Publik Industri Perkebunan. Surat Edaran Bapepam.

www.bapepam.go.id/.

Ikatan Akuntan Indonesia. 1995. PSAK No. 32 Akuntansi Kehutanan. Jakarta.

Ikatan Akuntan Indonesia. 2011. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No.16 Revisi

2011 Aset Tetap. Jakarta.

Ikatan Akuntan Indonesia. 2010. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No.23 Revisi

2010 Pendapatan. Jakarta.

Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No.48 Revisi

2009 Penurunan Nilai Aset. Jakarta.

Ikatan Akuntan Indonesia. 2008. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No.14 Revisi

2008 Persediaan. Jakarta.

International Accounting Standard Committee. 2008. International Accounting

Standard 41 Agriculture.

Kieso, Donald E, Jerry J Weygandt, Terry D Warfield. 2010. Intermediate Accounting,

Thirteenth Edition, International Student Version. New York: John Willey &

Sons Inc.

PriceWaterhouseCoopers. 2009. A Practical Guide to Accounting for Agricultural

Assets. www.pwc.com diakses pada 13 November 2012.

PT. Perkebunan Nusantara I-XIV, Ikatan Akuntan Indonesia. 2011. Pedoman Akuntansi

Perkebunan BUMN. Jakarta.

Ridwan, Achmad. 2011. Perlakuan Akuntansi Aset Biologis PT. Perkebunan Nusantara

XIV Makasar (Persero). Skripsi. Makassar: Fakultas Ekonomi Universitas

Hasanuddin.

Sari, Kartika Rachma, Rita Martini. 2011. Historical Cost vs Fair Value Accounting

atas Pengakuan dan Penilaian Tanaman Perkebunan. Artikel. Jurnal Eksistansi

Politeknik Negeri Sriwijaya Jurusan Akuntansi Volume 3 Tahun 2011 (362-370).

www.pdii.lipi.go.id diakses pada 10 Agustus 2012.

Page 26: Asset bio

25

Yoo Kim-Tai, Almas Heshmati, Jihyoun Park. 2010. Decelerating Agricultural Society:

Theoretical and Historical Perspectives. Artikel. Technological Foresting and

Social Change An International Journal (479-499). www.sciencedirect.com

diakses pada 07 September 2012.