asmaini. aisyah sang...ii aisyah sang juara penulis: asmaini isbn : 978-602-50957-4-0 editor :...
TRANSCRIPT
-
i
Aisyah Sang Juara
Asmaini
Kantor Bahasa Bengkulu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
-
ii
Aisyah Sang Juara Penulis: Asmaini ISBN : 978-602-50957-4-0 Editor : Halimi Hadibrata, M.Pd. Penyunting : Hellen Astria, S.Pd. Desain Sampul dan Tata Letak: Wakzaz dan Asma Karimah Penerbit : Kantor Bahasa Bengkulu Redaksi : Jalan Kapuas 4 Nomor 9 Padang Harapan, Bengkulu 38225 Telepon 0736 5612999, Faksimile 0736 5612999 Email: [email protected] Cetakan pertama, November 2017 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit
-
iii
Kata Pengantar Kementerian Pendidikan Nasional melalui Badan Penelitian
dan Pengembangan Pusat Kurikulum (2010) telah memberi arahan mengenai pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang terdiri atas delapan belas nilai pendidikan karakter, di antaranya religius, jujur, toleran, disiplin, dan kerja keras. Nilai-nilai pendidikan itu merupakan nilai kehidupan mengenai hak dan kewajiban sesuai kedudukan dan peran anak. Setiap anak Indonesia berkedudukan dan berperan sebagai individu, anggota keluarga, dan anggota masyarakat, serta warga negara dan warga dunia.
Semua nilai itu perlu ditanamkan sedini mungkin, kepada anak-anak Indonesia khususnya kepada anak SD/MI. Salah satu cara menanamkan nilai-nilai tersebut, yaitu melalui buku bahan bacaan anak. Karena itu, diperlukan upaya penyediaan bahan bacaan yang mengandung nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa tersebut.
Masyarakat Provinsi Bengkulu memiliki berbagai macam nilai kearifan lokal yang dapat membentuk karakter baik anak-anak sekolah dasar melalui buku bahan bacaan. Buku bahan bacaan, seperti buku cerita yang ada di tangan pembaca ini dapat menjadi sumber pengetahuan tentang pendidikan moral, sejarah, kebudayaan, adat-istiadat, dan alam lingkungan. Selain itu, dan dapat menjadi sumber inspirasi dan motivasi terbentuknya sikap dan kepribadian anak, serta terbentuknya dasar-dasar keterampilan yang berguna bagi kehidupan anak di masa yang akan datang. Sayang sekali, bahan bacaan seperti itu masih
-
iv
terhitung langka. Karena itu, Kantor Bahasa Bengkulu menyelenggarakan sayembara penulisan buku bahan bacaan anak SD/MI se-Provinsi Bengkulu 2017 dengan tema sikap hidup dalam keluarga dan lingkungan sekitar.
Buku cerita yang sekarang berada di tangan Anda ini merupakan salah satu buku bahan bacaan anak SD/MI, hasil dari sayembara tersebut. Isi cerita dan cara penceritaan tentu saja sudah disesuaikan dengan sasran pembaca dan tema tersebut di atas.
Latar cerita pun tentang khasanah manusia, alam, dan budaya masyarakat Provinsi Bengkulu. Bahasa Indonesia yang digunakan sebagai bahasa penceritaan sesuai dengan sasaran pembaca, agar dapat dinikmati oleh kalangan yang lebih luas, baik masyarakat Bengkulu maupun di luar Bengkulu. Dari buku cerita ini diharapkan dapat diambil pelajaran, pengetahuan, sikap, dan keterampilan hidup yang berguna bagi generasi pelapis perjuangan bangsa untuk membentuk karakter unggul sebagai individu, anggota keluarga dan masyarakat, serta warga Negara dan warga dunia yang baik.
Selamat membaca. Karyono, S.Pd., M.Hum. Kepala Kantor Bahasa Bengkulu
-
v
Daftar Isi
Kata Pengantar ................................... iii
Daftar Isi ............................................ v
Lemari Kaca ....................................... 1
Tegar ........................................ 11
Lomba Mendongeng ....................... 25
Putus Asa ............................................. 31
Bertemu Annisa ........................... 36
Meraih Mimpi .......................... 47
-
i
-
1
Lemari Kaca
“Aisyah...!” Panggil Ibu dari dapur. “Kamu sudah
sarapan? Kalau belum, sarapan dulu.”
“Sebentar Bu”, kata Aisyah dari ruang keluarga.
“Pasti lagi berdiri di depan lemari kaca, Bu”, kata kak
Faris, abangnya Aisyah.
“Jangan berpikir begitu nak, coba kamu lihat apa
yang dikerjakan adikmu”, kata Ibu dengan bijak.
“Baik Bu”, timpal kak Faris.
“Sholat subuh sudah. Mandi sudah. Buku untuk
sekolah sudah disiapkan. Merapikan tempat tidur sudah...”
“Sarapan belum”, potong kak Faris.
“Ah Kakak! Bikin Aisyah kaget.”
-
2
“Ayo adik cantik. Kita sarapan dulu. Nanti dilanjutkan
lagi pekerjaannya”, kata kak Faris sambil menggandeng
tangan Aisyah menuju ruang makan.
“Dik, mengapa sih kamu suka memandang lemari
kaca?”, kata kak Faris.
”Dijawab nggak, ya?”, kata Aisyah dengan kocak.
“Dijawablah ya”, sambung kak Faris.
“Mau tau sedikit, apa mau tau banyak?”, kata Aisyah
dengan centilnya.
“Kok jawabannya seperti itu sama Kakak”, kata kak
Faris.
”Enggak Kak. Aisyah kan cuma bercanda. Bolehkan?”,
jawab Aisyah sambil membenarkan kacamata minusnya.
“Kak, Aisyah ingin seperti kakak. Punya piala juga.
Semua kakak-kakak Aisyah ada pialanya. Juara ini, juara
itu. Hanya Aisyah yang belum meletakkan piala di lemari
itu”, kata Aisyah.
-
3
“Kamu pingin, Dik?”, tanya kak Faris.
Aisyah mengangguk.
“Kita persilahkan dulu ada iklan yang mau lewat...
Ayo silakan”, kata kak Faris sambil menirukan gaya
presenter yang ada di televisi.
“Ah... Kakak! Aisyah kan serius”, jawab Aisyah.
Kak Faris mulai bercerita tentang pengalamannya
mengikuti perlombaan sehingga ia dapat piala.
“Jadi Dik, kita tidak boleh putus asa. Semangat dan
semangat. Terus belajar dengan sungguh-sungguh dan
jangan lupa berdoa. Aisyah bisa tanya sama kak Faisal, kak
Farid, dan kak Rahmat. Senior kita”, kata kak Faris.
“Ayah, bolehkah Aisyah membuka pintu lemari itu?”
“Untuk apa sayang?”, kata Ayah sembari mendekat.
“Selama ini Aisyah cuma melihat lemari itu, tanpa
bisa membukanya. Aisyah ingin melihat punya siapa piala-
piala itu. Cuma itu maunya?”, tanya Ayah.
-
4
Aisyah belum sempat menjawab.
“Boleh saja kamu melihatnya”, kata Ayah sambil
membukakan pintu lemari. “Agar kamu nggak penasaran
lagi, lihatlah!”, sambung Ayah.
“Masya Allah banyak isinya ya, Yah”, kata Aisyah.
“Juara 1 lomba Catur Sekota Bengkulu”, kata Aisyah.
“Oh, itu punya Faisal”, jawab Ayah.
Faisal adalah kakak Aisyah nomor dua.
“Juara 1 Olimpide Matematika seprovinsi Bengkulu”,
kata Aisyah sambil memegang piala.
“Ah itu pialanya Farid”, jawab ayah.
Farid adalah kakak Aisyah nomor tiga.
“Juara 2 Taekwondo Tingkat nasional...”.
Belum selesai Aisyah membaca, langsung ayah bicara.
“Punya Rahmat”, kata ayah.
Rahmat kakaknya Aisyah nomor satu.
-
5
“Kalau yang ini, Yah?”, ujar Aisyah sambil memegang
piala lalu diperlihatkannya pada ayah.
“Itu kan punya Faris”, kata ayah.
“Jadi kak Faris pintar pidato? Kok nggak bilang
Aisyah. Seandainya Aisyah tahu, tentu Aisyah sudah belajar
dari kak Faris. Nggak usah buka youtube atau latihan sama
teman”, cerocos Aisyah
Faris kakak Aisyah nomor empat. Aisyah lima
bersaudara. Ayahnya seorang dosen di Universitas Kota
Bengkulu. Sedangkan Ibunya guru Sekolah Dasar di
Yayasan Al Fida kota Bengkulu.
“Bolehkan Aisyah bertanya tentang sesuatu, Ayah?”,
tanya Aisyah di suatu hari.
“Boleh Nak. Bukankah bertanya itu tidak bayar? ha...
ha... ha...”, kata Ayah dengan kocak.
“Mengapa Ayah membuat lemari kaca ini?”, tanya
Aisyah.
-
6
“Mau tau jawabannya? Tarik nafas dalam-dalam lalu
keluarkan”, seloroh Ayah.
“Aaa... Ayah”, kata Aisyah.
Ayah mulai bicara. ”Sejak dari Taman Kanak-kanak
sampai sekarang, kakak-kakakmu sering ikut lomba”.
“Lomba apa saja mereka ikuti?”, timpal Aisyah.
“Seperti mewarnai, baca puisi, pidato, da’i cilik,
olimpide matematika dan lain-lain. Karena pialanya banyak
dan sering berdebu. Ayah berpikir, bagaimana kalau
dibuatkan tempat untuk piala-piala itu. Akhirnya ayah
memesan lemari kaca di toko meubel. Nah, Aisyah bisa lihat,
kan? Piala-piala itu bisa dilihat dan tidak berdebu”, ayah
menjelaskan.
“Tapi Ayah, Aisyah mau punya piala seperti kakak”,
kata Aisyah dengan manja.
“Bisa saja Nak, dengan berlatih lebih giat”, jawab
ayah dengan bijak.
-
7
“Bagaimana Ayah caranya? Aisyah balik bertanya.
“Dengan bersungguh-sungguh”, jawab ayah. “Maksudnya
apa?”, tanya Aisyah.
“Maksudnya berusaha sekuat tenaga ‘tuk meraih apa
yang kita inginkan. Bukan melihat apa yang akan kita dapat.
Misalnya kita mau ikut lomba kalau ada pialanya”, kata
ayah.
“Tapi Yah, setiap orang mau ikut lomba pasti mau
dapat hadiah atau piala”, kata Aisyah.
“Memang betul Nak, hadiah atau piala bukan tujuan
utama. Kita sudah memberi tampilan yang terbaik itu sudah
luar biasa”, nasihat Ayah.
Aisyah terdiam seperti memikirkan sesuatu.
“ Apa yang engkau pikirkan, Nak?”, tanya ayah.
“Tidak ada Ayah”, jawab Aisyah sekenanya.
“ Bolehkah Ayah menebak apa yang kamu pikirkan?”,
sahut ayah.
-
8
Eeee... silakan Ayah”, jawab Aisyah.
“Kamu seperti ayah ketika masih kecil. Kalau mau
sesuatu berusaha mendapatkannya. Sikap seperti ini adalah
perilaku positif. Berarti tidak gampang menyerah dan putus
asa. Sah-sah saja kita bersikap seperti itu. Dalam agama
kita juga dianjurkan bahwa kita tidak boleh putus asa atau
menyerah. Kita harus berusaha, walaupun hasilnya nanti
tidak sama yang kita inginkan. Ayah tidak pernah
mengharuskan anak-anak Ayah untuk mendapatkan piala.
Berbuatlah dulu yang baik, nanti prestasi itu sendiri yang
akan mengejar kita”, kata ayah.
Untuk yang kesekian kali Aisyah terdiam mendengar
penjelasan ayah. Ayah terkadang seperti guru, bagi Aisyah,
bisa juga seperti teman, dan seperti seorang pelatih.
Memang Ayah tidak pernah membebani anak-
anaknya untuk menjadi yang terbaik. Kata ayah,
memberikan sesuatu yang terbaik itu yang utama. Baiklah
-
9
ayah, Aisyah sayang pada Ayah. Mohon selalu beri nasihat
untuk Aisyah. Biar Aisyah dapat memberikan yang terbaik
untuk ayah, Kata Aisyah dalam hati.
Tiba-tiba ibu muncul dari arah dapur. “Ada apa
ini,sepertinya sudah terjadi diskusi yang panjang”, kata ibu
sambil melirik ke arah ayah dan Aisyah.
“Ibu bisa aja”, kata Aisyah.
“Iya nih Ibu, emangnya Ayah dan Aisyah kerja
kelompok”, timpal ayah.
“Tidak masalah yang jelas kerja kelompoknya bisa
menyelesaikan masalah“. Sahut ibu sambil main mata ke
ayah.
“Ini rahasia Ayah dan Aisyah”, kata ayah.
“Duh... sekarang sudah pakai rahasia segala, nanti
Ibu mau buat rahasia juga sama si pupus“, goda ibu kepada
Aisyah.
-
10
“Ibu bisa aja. Pupus kan kucing kesayangan Aisyah.
Tentunya Aisyah dan pupus yang boleh ada rahasia. Kalau
Ibu dengan Ayah yang berahasia. Bukan dengan pupus”,
kata Aisyah dengan manja.
“Iya anak pintar, sekarang tolong bantu Ibu ya
merapikan piala-piala yang di dalam lemari kaca”, pinta ibu
sambil mengelus kepala Aisyah.
”Iya bu”, jawab Aisyah sambil berlalu.
“Hati-hati nak”, sahut Ibu.
-
11
Tegar
“Ayah... , Aisyah sudah bilang bahwa dia mau
mengikuti lomba membaca puisi pekan depan?”, tanya Ibu
lembut.
“Ya sudah bu. Malahan Ayah perhatikan sudah
beberapa kali Aisyah latihan sendiri di depan cermin”,
jawab ayah.
“Ayah sudah beritahu Faris?, Aisyah mau ikut lomba
baca puisi”, tanya ibu lagi.
“Belum”, kata ayah.
“Tolong bilang ke Faris ya Yah”, sambung Ibu.
“Emangnya kenapa kalau Faris diberitahu”, kata
ayah.“
-
12
Sudah gaharu, cendana pula,sudah tahu, bertanya
pula”, sahut ibu dengan pantun.
Ayah tertawa, kalau sudah dijawab dengan pantun,
ayah pasti nyerah. Ayah tau betul Ibu pandai dalam
berpantun. Mungkin karena Ibu dari suku melayu. Orang
melayu mempunyai warisan budaya, salah satunya pantun.
“Pasti Ayah mau jawab dengan rima kan!”
“Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tau”,
canda ibu.
“Kok Ibu tau”, sahut ayah.
“Ya iyalah Ayah... gitu loh”, sambung ibu.
”Yah, kalau pantun dijawab dengan pantun. Jangan
dengan rima, nanti kurang nyambung” tambah ibu lagi.
“Habisnya hanya itu yang Ayah tau”, jawab ayah
sambil tersenyum.
“Kamu sudah bantu Aisyah untuk latihan
puisi?”tanya ayah pada Faris.
-
13
“Sudah Yah”, sahut Faris.
“Bagaimana?”, tambah Ayah.
“Bagaimana apa Yah”, tanya Faris sambil senyum-
senyum.
Ayah tau banget, Faris memang begitu. Sekilas kalau
dilihat dia anak yang biasa-biasa saja. Tapi kalau sudah
kenal dengan Faris. Baru kita tau bahwa dia anak yang luar
biasa.
“Ayah percaya, kamu sudah melatih Aisyah beberapa
hari ini”, kata Ayah.
“Iya Yah”, sambung Faris.
“Ada kendala?”, tanya ayah lagi.
“Eee... ada sedikit”, jawab Faris.
“Apa?”, sambung ayah.
“Di ekspresi”, ekspresi Aisyah belum muncul ketika
membaca puisi”, jelas Faris.
-
14
“Tidak masalah, kalau dilatih ekspresi akan muncul
dengan sendirinya. Untuk pemula seperti Aisyah, diajarkan
perlahan-perlahan saja. Sambil kita beri motivasi. Dia mau
dan berani tampil di depan umum itu sudah hebat”, jelas
ayah.
Faris mengangguk tanda mengerti. Inilah yang dia
suka dari Ayah selalu memberi dukungan dan kepercayaan
kepada anak-anaknya. Ayah..., semoga dukungan dan
kepercayaan itu selalu kau berikan kepada kami anak-
anakmu. Kata Faris dalam hati.
“Aisyah... ingat ya pesan Kakak, baca puisinya
dengan tenang. Anggap saja penonton itu batu. Eh... salah.
Anggap saja penonton itu teman bermainmu, oke”, sahut
Faris
“Iya kak”, jawab Aisyah.
“Oh iya, dengan penghayatan dan ekspresi!” sahut
kak Faris
-
15
“Apa kak? dengan ketakutan?”, canda Aisyah.
“Mulai nih ngajak humor, nggak tau hujan badai.
Orang serius diajak main-main”, bisik kak Faris pada
Aisyah.
Aisyah mengerutkan kening.
“Kan cuma bercanda”, timpal Aisyah.
“Siap ya Dik”, sambung kak Faris sambil
mengacungkan jempol kanannya.
“Oke bos...”, sahut Aisyah.
Perlombaan pun dimulai. Aisyah mendapat nomor
urut 13. Satu demi satu peserta maju. Tepuk tangan
penonton riuh reda. Perlombaan ini dalam rangka
Menyambut Hari Kartini, di sekolah Aisyah yaitu SDIT
IQRA’ 2 Kota Bengkulu.
Peserta lomba dibagi dua kelompok yaitu kelompok
kelas rendah, yaitu kelas I,II,dan III. Sedangkan kelas
atas, kelas IV,V,dan VI.
-
16
Aisyah masuk ke dalam kelompok kelas atas. Yaitu
kelas V. Kini tiba giliran Aisyah sang periang. Dengan
pembawaan tenang Aisyah mulai membacakan puisi.
Aisyah pulang dengan wajah setengah merajuk.
Melihat sikap Aisyah yang seperti itu, Ibu langsung
memeluk anak perempuannya. Dihapusnya air mata yang
keluar dari bola mata yang indah milik Aisyah.
Jilbab putih yang dikenakan Aisyah basah. Aisyah
bicara dengan tersendat-sendat. Namun Ibu belum
mengerti apa permasalahan Aisyah. Ibu tidak menyela
sedikit pun apa yang Aisyah ucapkan. Ibu dengan sabar
menunggu waktu yang tepat untuk bicara. Lama ia
mendekap Aisyah. Sembari tangannya mengusap-usap
kepala anaknya. Perlahan-lahan pelukkan Ibu terlepas.
Hanya jemarinya yang masih menggengam tangan Aisyah.
“Sebentar sayang Ibu ke belakang”, kata bu.
Ibu kembali dengan membawa segelas air putih.
-
17
“Bismillah”, kata Ibu. Sambil memberikan gelas itu ke
Aisyah.
“Minumlah nak, biar rasa lelahmu berkurang”,
sambung ibu.
“Coba cerita ke Ibu, apa yang terjadi di sekolah.
Mungkin Ibu bisa bantu sedikit menyelesaikan masalahmu.
Ibu tidak akan marah padamu. ”sambung ibu dengan
lembut.
Aisyah masih terguguh. Kemudian ia diam sambil
menarik nafas. Dengan mata berkaca-kaca Aisyah bercerita.
“Oh... begitu masalahnya. Jangan bersedih sayang
tidak menang lomba bukan berarti kita tidak bisa. Namun
masih banyak kesempatan yang lain”. sahut ibu sambil
tersenyum.
Rasa sesak di dada Aisyah pun berkurang. Begitu
sejuk ucapan ibu. Ia tidak jadi merajuk. Rencananya ia mau
-
18
menyendiri bersama kesedihan. Ternyata Ibu lebih pintar
mencairkan suasana sedih menjadi normal kembali.
“Terima kasih Ibu. Aisyah sayang Ibu,” sambung
Aisyah.
Esoknya Aisyah berangkat ke sekolah seperti biasa.
Ia tak lupa mencium tangan ayah dan ibu. Aisyah
melangkahkan kaki menuju sekolah dengan hati riang.
Dalam perjalanan ke sekolah, biasanya Aisyah
mendendangkan lagu Bunda, miliknya Mely Goeslow. Belum
habis lirik lagunya. Sepeda motornya telah berhenti di
depan gerbang sekolah.
“Dik sudah sampai, belajar yang rajin ya”Kata kak
Rahmat.
Aisyah sedikit terkejut. “Iya kak, terima kasih”,
sahut Aisyah sambil menyalami kak Rahmat. Kakak Aisyah
yang satu ini, tidak sekocak kak Faris. Bawaanya serius,
lebih berwibawa dan bicara seperlunya aja. Namun Kak
-
19
Rahmat pandai membaca Al Qur’an. Suaranya merdu, dia
yang setiap malam mengajari adik-adiknya mengaji.
Tugasnya mengantar Aisyah ke sekolah, Sebelum
berangkat kuliah.
Kalau menemani belajar itu jatahnya kak Farid,
orangnya pendiam tapi pintar. Oh ya, yang suka membantu
Ayah adalah kak Faisal. Kak Faisal seperti superhero.
Mengapa Aisyah bilangan begitu, karena beberapa kali
Aisyah ditolong oleh kak Faisal. Waktu itu Aisyah lagi
memanjat pohon jambu. Lalu keinjak dahan yang rapuh.
Aisyah terjatuh dan langsung ditangkap oleh kak Faisal.
Alhamdulillah Aisyah tidak terjatuh ke tanah. Ada lagi,
ketika Aisyah membantu Ibu mengepel teras rumah. Aisyah
terpeleset mau jatuh, langsung dipegang oleh kak Faisal.
Ngomong-ngomong ada satu lagi Kakak Aisyah yang
ganteng dan imut. Itu loh, kak Faris. Orangnya periang,
ramah, banyak teman, dan suka bantu Ibu. Aisyah suka
-
20
curhat dengan kak Faris, tentang apa saja. Apalagi tentang
pupus.
Kak... kak Faris, sini!, panggil Aisyah.
Ada apa dik? Perlu bantuan?”, sambung kak Faris
sambil mendekati Aisyah.
“Aisyah sudah daftar beberapa lomba Kak”, kata
Aisyah.
“Lomba apa saja?”, tanya kak Faris.
“Lomba pidato, lomba baca puisi, dan lomba
mendongeng”, jawab Aisyah.
“Nggak kebanyakan, Dik?”,tanya kak Faris.
“Nggak kak, kan beda-beda waktunya. Lomba pidato
itu pada pertengahan Agustus di Universitas Bengkulu,
lomba baca puisi akhir Agustus yang menyelenggarakan
Kantor Bahasa provinsi, sedangkan lomba mendongeng awal
September di Perpustakaan kota Bengkulu. semuanya di
tahun 2017 Kak”, jelas Aisyah dengan riang.
-
21
“Yang nanya siapa?”, sahut kak Faris.
“Ah... Kakak”, kata Aisyah.
“Kamu tidak kelelahan nantinya?”, Kak Faris balik
bertanya. “Sebab harus latihan terus. Mana mau
mengerjakan tugas sekolah. Kalau saran Kakak Adik cantik,
pikir-pikir dulu. Kalau mau juga pilih saja lomba yang Adik
bisa”, sambung kak Faris sambil tersenyum.
“Iya kak, tapi Kakak mau bantu melatih Aisyah
kan?”, sahut Aisyah.
“Ya tentu Dik, siapa yang tega lihat adiknya dalam
kesusahan”, jawab kak Faris.
Satu persatu lomba sudah Aisyah ikuti. Hasilnya telah
Aisyah ketahui. Memang dia perlu banyak latihan.
Tampilannya di atas panggung belum maksimal.
Tetapi Aisyah tak merajuk seperti pertama dia ikut
lomba. Dia sedih belum juara. Namun dengan sentuhan
lembut Ibu dan semangat dari kakak-kakak dia bisa tegar.
-
22
“Kak...”, panggil Aisyah, di pagi Minggu.
Yang dipanggil Kakak menoleh, “Ada apa Dik”, sahut
kak Farid. Kakak yang satu ini namanya Farid. Ia kuliah di
Universitas Bengkulu tingkat dua, Fakultas Keguruaan dan
Ilmu pendidikan.
“Kira-kira kalau orang seperti kak Farid jurusannya
apa ya, ya tentu mm (dibaca emem). Apa itu? Matematika.
Jadi Kak Farid jurusannya matematika.”
Aisyah tau fakultas, terus jurusan itu dari kak Farid.
Menurut Aisyah, kak Faris jarang bicara. Tapi sekali bicara
pasti ilmu yang kita dapatkan.
“Kok bengong Dik”, Tegur kak Farid.
“Nggak Kak“, sahut Aisyah.
“Bagaimana dengan lomba kemaren?”, tanya kak
Farid.
“Belum Kak“, jawab Aisyah.
“Belum apa?”, Farid balik bertanya.
-
23
“Belum menang”, sambung Aisyah.
“Lomba tidak harus menang”, karena masih banyak
kesempatan untuk menang”, ujar kak Farid.
“Maksudnya apa?”, tanya Aisyah.
“Maksudnya bila belum berhasil, masih ada
kesempatan yang lain untuk menang”, jelas kak Farid.
“Kamu tau dengan Ibnu Sina atau Avicenna, ilmuwan
Muslim. Kalau Thomas Alva Edison?”potong kak Farid.
“Pernah dengar nama itu kak”, jawab Aisyah.
Kak Farid mulai bercerita. “Ibnu Sina terkenal
seorang ilmuwan yang menguasai ilmu kedokteran, filsafat,
dan sastra. Menarikknya Ibnu Sina, setiap ia mendapat
kesulitan dalam bidang ilmu yang ia tekuni, ia sholat dua
rakaat dan memohon kepada Allah agar permasalahannya
terselesaikan. Begitu pula dengan Thomas Alva Edison,
yang selalu gagal dalam percobaannya membuat lampu
pijar. Setelah percobaan
-
24
ke 9.998 gagal. Baru berhasil yang ke 9.999. Kita ambil
pelajaran dari cerita ini. Bahwa kita tidak boleh putus asa.
Selalu mencoba dan mencoba bila ingin berhasil.
Aisyah terperangah mendengar cerita kak Farid.
“Subhanallah ya kak, terima kasih atas nasihatnya. “Aisyah
semakin sadar bahwa ia tidak boleh putus asa dan tidak
bersedih bila belum juara.
-
25
Lomba Mendongeng
Pagi Minggu begitu cerah, Jalan raya tampak sepi.
Terdengar samar tawa dan canda dari rumah Pak Mulia
Utomo. Rumah berwarna kuning gading itu, beralamatkan di
jalan Merawan Kiri Sawah lebar kota Bengkulu. Rumah itu
memiliki pekarangan yang luas. Ada beberapa pohon besar
yang tumbuh di depan rumah. Salah satu di antaranya ada
pohon mangga. Pohon inilah tempat Aisyah menyalurkan
hobinya, yaitu memanjat. Biasanya setelah pulang sekolah
Aisyah langsung menuju pohon itu. Sekedar duduk-duduk di
bawah pohon atau bermain lompat tali. Apa lagi kalau
mangga berbuah. Aisyah betah di atas pohon mangga.
-
26
Namun, pagi itu tidak secerah wajah Aisyah. Sudah
dua hari tidak sekolah. Kata dokter, Aisyah perlu banyak
istirahat, karena ia sakit typus.
Walaupun sakit, diam-diam Aisyah latihan
mendongeng di depan cermin kamarnya. Waktu ia sedang
latihan, pernah kepergok oleh Ibu.
“Aisyah sayang, ingat pesan dokter”, sahut ibu.
“Ya bu”, jawab Aisyah.
Mengingat lomba mendongeng tinggal satu pekan
lagi. Aisyah berharap dapat ikut lomba mendongeng. Ia
berdoa semoga dirinya lekas sembuh.
Ibu, Ayah, dan Kakak-Kakaknya tau. Betapa inginnya
Aisyah ikut lomba itu. Bila diurungkan, pasti Aisyah akan
bersedih. Kakak-Kakaknya berfikir keras. Bagaimana
mencari jalan keluar dari persoalan ini. Pada akhirnya
mereka mengikhlaskan Aisyah ikut lomba. Mereka percaya
Aisyah adalah anak yang tetap bersemangat.
-
27
Hari yang ditunggu tiba. Kalau melihat dari wajahnya
Aisyah sudah pulih dari sakitnya. Kak Rahmat masih setia
untuk mengantar Aisyah pergi ke tempat lomba.
Peserta lomba pada antre untuk mengambil nomor
undian. Di antara peserta ada Aisyah yang menggunakan
jilbab biru muda.Tampak serasi dengan warna kulitnya yang
kuning langsat.
Guru pembimbing Aisyah sudah lebih dulu hadir.
“Assalamu’alaikum Aisyah”, sapa bu guru Zahra.
“Wassalamu’alaikum bu”, jawab Aisyah.
“Sudah sehat betul”, tanya bu Zahra.
“Insya Allah bu”, sahut Aisyah.
“Semoga tetap semangat ya”, sambung bu Zahra.
Panitia lomba memberi pengarahan. “Peserta yang
ikut mendongeng silahkan menempati kursi di panggung
utama. “Aisyah dan bu Zahra menuju panggung utama.
-
28
Panggung itu begitu elok. Taman hias tertata rapi di
depan panggung. Ada bunga beraneka warna. Di tengah
panggung ada air pancur yang berbentuk bunga raflesia. Di
langit-langit tenda panggung bergantungan balon-balon
hias.
Pas untuk photo-photo usai lomba nanti. Ucap Aisyah
dalam hati.
Lomba mendongeng pun dimulai. Para juru telah siap.
Pembawa acara memanggil peserta. “Nomor urut 01,
dipersilahkan.“
Dalam lomba ini nama peserta dan asal sekolah tidak
disebut, cukup nomor urutnya saja.
Tepuk tangan dari penonton bersahutan. Sungguh
ramai. Lomba ini diselengarakan oleh Kantor Perpustakaan
Kota Bengkulu. Secara tidak sengaja Aisyah melihat sosok
orang yang ia kenal. Spontan Aisyah berkata. “Itukan Ibu
dan Kak Faisal. “Ibu dan kak Faisal tersenyum melihat
-
29
Aisyah. Sebenarnya mereka mau buat kejutan untuk Aisyah.
Sudah beberapa lomba yang diikuti Aisyah, Ibu berhalangan
hadir.
Ibu juga mengkhawatirkan kondisi kesehatan Aisyah.
Karena waktu di rumah tadi dia sempat meringgis
kesakitan. Waktu ditanya katanya tidak apa-apa. Ibu
berdoa, semoga Aisyah bisa tampil dengan baik.
Kata-kata itu masih tergiang ditelinga Ibu. “Aisyah
ingin seperti Kakak bu. Walau Aisyah anak perempuan,
Aisyah insya Allah bisa. “Semoga kamu bisa nak. “Bisik ibu
dalam hati.
“Peserta dengan nomor urut 10, dipersilahkan”,kata
pemandu acara. Aisyah pun maju, masih dengan senyuman
yang manis. Ia membuka dengan salam, memberi hormat
dengan juri dan penonton. Mulailah Aisyah mendongeng.
Ada yang aneh pada Aisyah. Ya wajahnya pucat
sekali, Matanya sayu. Tiba-tiba tubuhnya tidak seimbang
-
30
dan.... Spontan Ibu dan kak Farid berlari ke atas panggung.
Kak Farid langsung menyambar Aisyah. Ibu menjerit.
“Aisyaaah... ”Air mata Ibu tak dapat dibendung. Ibu
memeluk Aisyah. “Astagfirullahal’adzhim. “Kata Ibu
berkali-kali. Aisyah pingsan dan langsung dilarikan ke
rumah sakit.
Setelah sadar dan berkonsultasi dengan dokter.
Akhirnya Aisyah boleh dibawa pulang.
Aisyah diam, ia malu dengan kejadian di lomba
mendongeng kemarin.
Semua tampak serius mendengar cerita Ibu. Aisyah
sedang istirahat di kamar. Sebenarnya mereka sudah
mengkhawatirkan kondisi kesehatan Aisyah.
”Tidak ada yang perlu disesali atau menyalahkan.
Kita ambil pelajaran dari kejadian tadi”,Kata Ayah.
-
31
Putus Asa
Alhamdulillah Aisyah sudah sehat sekarang. Bisa
bersekolah lagi. Aisyah akan mengejar ketertinggalan
pelajaran selama ia sakit.
“Aisyah“, sapa Yuni. Aisyah menoleh ke arah sumber
suara.
”Oh kamu Yun“, jawab Aisyah. Yuni adalah teman
sekelas Aisyah. Yuni dan teman-teman sering belajar
kelompok di rumah Aisyah.
“Kalau tidak ada kamu, rasanya kurang seru“, kata
Yuni.
“Yang benar”, sahut Aisyah.
“Ya Aisyah kita jadi sepi, sebab nggak ada lagi yang
suka cerita dan lucu seperti kamu“, sahut Fira.
-
32
Semenjak kejadian lomba mendongeng itu. Aisyah
sekarang suka menyendiri. Tidak terdengar lagi
senandungnya di atas sepeda motor. Biasanya setiap pulang
sekolah mencari kak Faris. Sekarang sepi. Kata kak Faris,
pengagumnya lagi ingin sendiri.
Makan malam, biasanya penuh tawa dan canda.
sekarang diam-diam saja. “Semuanya sudah berubah. “ujar
kak Faris.
“Siapa yang berubah?”, tanya kak Faisal.
“Kita-kita nggak berubah, Hanya tuan putri Aisyah
saja yang berubah”, sahut kak Faris.
“Mungkin dia masih bersedih atas kejadian seminggu
yang lalu. Siapa yang punya ide?”, sambung kak Faris.
Semua terdiam. Untuk mencari jalan keluar permasalahan
ini.
Kak Rahmat tampak sedang berpikir, karena ia
merasa bertanggungjawab sebagai Kakak tertua. Lain
-
33
halnya dengan kak Farid, dia lebih tenang, walaupun
mungkin sedang mencari jawaban atas persoalan ini. Kak
Faisal juga ikut memikirkan, yang lebih heboh lagi kak Faris.
Dia mengitari ruang makan, tangannya sesekali bersedekap
seperti orang kedinginan. Ayah dan Ibu sedari tadi hanya
mengamati keempat putranya. Semua ikut mencari jalan
keluar.
Spontan kak Faris teriak. “ Aha....“, semua
memandang kak Faris. Menunggu apa yang mau diucapkan.
“Batal”, lanjut kak Faris.
“Belum lagi cerita, sudah dibatalkan maksudnya
apa?”celetuk kak Rahmat. Semua mata tertuju pada kak
Rahmat. Tumben Kakak yang berkaca mata itu, angkat
bicara. Biasanya dia lebih memilih diam.
Sudah dua minggu, sikap Aisyah belum juga berubah.
Ayah dan Ibu sudah berusaha untuk menyelesaikan
-
34
persoalan ini. Sampai-sampai bu guru Zahra dan bu guru
Nadia berkunjung ke rumah hanya untuk menghibur Aisyah.
Setiap hari Aisyah ke sekolah. Ia bergaul seperti
biasa dengan teman-temannya. Tapi, dia tidak seperiang
yang dulu. Sekarang banyak diamnya, daripada bicara.
Sampai kapan masalah ini akan selesai.
Pagi ini Ayah akan ke sekolah untuk mengambil
raport Aisyah. “Mudah-mudahan permasalahannya tidak
berimbas ke nilai akademiknya. “Kata Ayah dalam hati. Apa
yang dikhawatirkan Ayah,ternyata benar. Dari peringkat 3
besar, menjadi peringkat 12. Ayah melihat raport Aisyah
dengan senyuman.
“Ayah tidak mempermasalahkan nilai raport Aisyah.
Namun karena persoalan ini, ada yang dirugikan. Ayah tau
batas kemampuan akademik Aisyah”, kata ayah kepada
Aisyah. Aisyah diam. Seolah-olah ia tidak mau tau tentang
-
35
nilai raportnya.”Baiklah nak, Ayah akan bantu sekuat
tenaga permasalahan yang engkau hadapi”, sahut Ayah.
Sebenarnya Aisyah masih terpukul dengan kejadian di
lomba itu. Semua tidak tau, kalau Aisyah menangis
terseduh-seduh di sudut kamar. Dada bergemuruh kencang.
Ia tak mau lagi ikut lomba apa saja. Aisyah putus asa.
-
36
Bertemu Annisa
Liburan semester kali ini, Ayah dan Ibu mengajak
Aisyah ke rumah paman Prasetyo. Paman Prasetyo, lebih
akrab dipanggil paman Pras. Ia adalah adik kandung Ayah.
Keluarga besarnya tinggal di Bengkulu Utara. Sekalian
menjengguk nenek dan kakek. Sudah lama Ayah tidak
pulang kampung. Liburan ini merupakan kesempatan Ayah
untuk bertemu keluarganya. Sedangkan keluarga Ibu,
semuanya tinggal di kota Bengkulu. Mereka merupakan
penduduk asli Bengkulu. Kalau Ayah, aslinya berasal dari
suku Jawa.
Akhirnya mereka sampai ke rumah paman. Setelah
melewati perjalanan yang cukup melelahkan, karena Ayah
sendiri yang mengemudikan mobil kijang berwarna hijau itu.
-
37
Kakak-Kakak Aisyah tidak bisa ikut karena masih ada tugas
kuliah yang harus dikerjakan. Hanya kak Faris yang
berbeda. Kak Faris berkemah ke Bukit Kaba bersama
temannya SMAnya sesama anggota pramuka.
“Sebelum kita ke rumah kakek dan nenek, nanti kita
mampir sebentar ke rumah Paman Pras dulu ya”, kata ayah.
“Ya Ayah“, jawab Aisyah.
“Ayah sudah lama tidak bertemu Paman Pras.
Semenjak dia pindah ke Papua. Kemudian kembali lagi ke
Bengkulu Utara. Kira-kira berapa tahun ya bu?”, sahut
ayah.
“Lebih kurang 10 tahun Yah”, jawab Ibu.
“Dulu anaknya masih kecil-kecil, sekarang sudah
besar-besar ya bu”, sambung ayah lagi.
Ayah ke Papua waktu paman sakit keras. Sesudah itu
komunikasi antara ayah dan paman hanya lewat telepon
saja.
-
38
Kedatangan Ayah, Ibu dan Aisyah, sudah ditunggu-
tunggu oleh paman sekeluarga. “Assalamu’alaikum”, sapa
ayah
“Wassalamu’alaikum. Mari silahkan”, sahut paman.
”Ini Aisyah yang lucu itu kan”. sambung paman.
“Ya paman”, jawab Aisyah malu-malu.
“Sekarang sudah kelas berapa?”, tanya paman
kembali. “Kelas lima”, jawab Aisyah. Tawa dan canda
mereka, terdengar jelas. Kerinduan Ayah terhadap
keluarganya terobati.
Dari balik pintu kamar muncullah seorang anak
perempuan. “Sini sayang”, panggil paman. ”Anak itu
mendekat dengan gerakkan tangan meraba-raba. Aisyah tak
berkedip memandangnya. Sekilas dilihatnya, anak itu tidak
ada masalah. Diperhatikannya dalam-dalam. Ternyata anak
itu tidak dapat melihat. Paman mulai membuka
pembicaraan. “Perkenalkan namanya Annisa Qonita.
-
39
“Annisa pun tersenyum. Walau matanya tidak melihat, ia
tetap mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan
Aisyah. Aisyah menyambut uluran tangan Annisa, sambil
berkata. “Aisyah Putri Mulia.“
“Oh ini yang sebaya dengan Annisa”, potong paman.
“ Ya Paman”, kata Ayah.
“Annisa ini anaknya cepat akrab dengan orang”, jelas
paman. “Ia punya hobi bernyanyi. Sering ikut lomba juga”,
tambah paman. Annisa tersenyum malu.
“Yang lain mana Paman?”, tanya Ayah. “Indra ke
rumah teman. Zidan ke ladang. Sebentar lagi mereka
pulang.
Annisa seumur dengan Aisyah hanya beda bulan
saja. Aisyah lahir di bulan Oktober, sedangkan Annisa lahir
di bulan September.
“Bagaimana kabar keponakan paman yang lain?”,
pasti sekarang sudah pada kuliah“, tanya paman.
-
40
“Ya lah Paman, sudah lama kita tidak bertemu.
Rahmat sekarang kuliah sudah tingkat 3, Farid tingkat 2,
Faisal tingkat 1, sedangkan Faris sekarang sudah kelas 2
SMA“, jawab ayah.
“Subhanallah ya mas, sudah besar-besar dan butuh
banyak biaya”, kata paman kepada Ayah.
Sorenya, Aisyah dan keluarga pergi ke rumah kakek
dan nenek. Kakek dan nenek tinggal tidak jauh dari rumah
paman. Kalau menggunakan kendaraan sekitar 10 menit
sudah sampai. Betapa bahagianya kakek dan nenek, ketika
bertemu Aisyah, Ayah, dan Ibu.
Rumah nenek sungguh asri, banyak pohon di
pekarangan rumahnya. Udara segar masih dapat kita
rasakan. Suara kicauan burung bersahut-sahutan. Terasa
nuansa desanya amat kental.
Kakek dan Ayah sedang berbincang-bincang di teras
depan. Ibu membantu nenek di dapur. Sementara Aisyah
-
41
masih asyik berkeliling di halaman rumah nenek. Kadang-
kadang ia mencabut rumput liar yang tumbuh dalam pot
bunga. Kemudian, mengejar burung yang terbang rendah di
sela-sela dahan pohon jambu biji. Lalu ia mencoba
menangkap kupu-kupu yang terbang ke sana dan kemari.
Kalau lah tidak ingat sekolah, rasanya Aisyah mau tinggal
bersama nenek dan kakek.
Aisyah masih terkesan dengan Annisa, anak paman
Pras. Walaupun tidak dapat melihat, ia tetap sekolah di
sekolah berkebutuhan khusus. “Aku jadi penasaran dengan
Annisa, ujar Aisyah dalam hati.
Sudah dua hari Aisyah dan keluarga menginap di
rumah kakek dan nenek. Kakek dan nenek tampak bahagia.
Hasil kebun di bawa ke rumahnya. Ada jagung, ubi jalar,
kelapa muda, buah pepaya, dan jambu biji.
“Kakek, siapa yang menanam semua hasil kebun ini?”,
tanya Aisyah.
-
42
“Kakek dibantu oleh tetangga kakek, nanti hasilnya
dibagi tiga. Dua bagian untuk kakek, satu bagian untuk
tetangga kakek”, jawab kakek.
Di desa rasa kekeluargaannya masih tinggi. Kalau ada
apa-apa tetangga cepat membantu. Baik itu ditimpa
musibah atau acara syukuran.
Sore itu Ayah, Ibu dan Aisyah berpamitan pada kakek
dan nenek. Kakek berpesan bila ada kesempatan
kunjungilah mereka.
Kami pun menuju ke rumah paman. Di rumah paman,
bibi sudah menyiapkan berbagai masakan. Kami
dipersilahkan makan.
“Annisa mana paman?”, tanya Aisyah.
”Ada di dalam kamar”, jawab paman.
“Bolehkah Aisyah ke kamar Annisa?”, tanya Aisyah
kepada paman.
“Silahkan nak!”, jawab paman.
-
43
“Assalamu’alaikum. Boleh saya masuk”, sahut Aisyah.
“Wa’alaikumsalam. Silahkan”, jawab Annisa.
“Kamu sedang apa?”, tanya Aisyah. “Aku sedang
mendengarkan lagu daerah”,jawab Annisa.
“Untuk apa?”, tanya Aisyah. “Mau ikut lomba
menyanyi lagu daerah di kecamatan. “Jawab Annisa.
“Kamu belajar sendiri?”, tanya Aisyah lagi.
“Ya, sebab mau belajar sama siapa?”,jawab Annisa.
Esoknya, Aisyah melihat Annisa latihan nyanyi lagi. Ia
begitu serius mendengar lagu dari telpon genggamnya. Bila
salah dalam bernyanyi diulanginya lagi. Begitu tekunnya
Annisa berlatih.
“Annisa... ”, panggil Aisyah, pada pagi itu.
“ Ada apa?”, jawab Annisa
“Bolehkah saya bertanya sesuatu“, sambung Aisyah.
Sebenarnya Aisyah memberanikan diri saja untuk bertanya.
Walaupun sepupu, Ia belum begitu akrab.
-
44
“Kamu sudah sering ikut lomba apa saja?”, tanya
Aisyah. “Banyak Aisyah, seperti lomba menyanyi sudah 6
kali saya ikut. Ini yang ke-7. Sudah biasa tidak menang.
Sekedar mau mencari pengalaman. Namanya juga
perlombaan pasti ada kalah dan menang....”, sahut Annisa.
”
"Aku bisa seperti ini karena Ayah dan Ibu. Mereka
selalu membantu dan memberi semangat padaku”, tambah
Annisa.
“Dulu aku suka menyendiri, karena aku tidak seperti
anak yang lain. Mereka bisa melihat, bermain bersama,
belajar bersama. Sementara aku seperti ini”, sahut Annisa.
Kata Ayah, “kita harus bersyukur kepada Allah. Allah
ciptakan kita seperti ini karena Allah sayang pada kita.
Jangan bersedih, Ayah dan Ibu bangga punya anak seperti
Annisa. “Aisyah terdiam. “Betapa bijaknya kata-kata
Annisa. “Dia begitu percaya diri, tanpa melihat kekurangan
-
45
yang dimilikinya. Semangatnya patut di contoh. Wajar saja
paman Pras sangat perhatian dan sayang pada Annisa.
Tidak terasa adzan dzuhur berkumandang. Mereka
sholat dzuhur bersama. Usai sholat mereka berdua
membantu menyiapkan makan siang. Kebersamaan
membuat mereka bertambah akrab.
Tidak terasa, sudah 5 hari di rumah paman. Besok
Ayah, Ibu, dan Aisyah pulang ke Bengkulu. Aisyah
memberikan jilbabnya kepada Annisa. Kata Aisyah, “ini
tanda persahabatan kita.
“Terima kasih Aisyah”, ucap Annisa.
“Saya tunggu kamu di liburan kenaikan kelas nanti”,
ucap Annisa sambil tersenyum.
“Assalamu’alaikum”, kata Aisyah. Kemudian Ayah,
Ibu, dan Aisyah menuju mobil. Aisyah membalikkan badan.
“kapan-kapan ke Bengkulu ya. “Aisyah pun melambaikan
tangannya.
-
46
“Sungguh berkesan liburan ini. Ayah bahagia bu, bisa
bersilaturahim dengan orang tua dan keluarga Ayah. Kata
Ayah. “Ingat bu misi kita, Yayang (panggilan sayang
Aisyah) sedang tidur ya bu. “Bisik Ayah. Ibu menoleh ke jok
bagian belakang. Lalu menghadap lagi ke depan. “Iya yah.
“Kata Ibu.
“Paman Pras sebelumnya sudah diberitahukan ya
Yah”, kata Ibu lagi.
“Tentu Bu”, sahut ayah.
-
47
Meraih Mimpi
Sepulang dari Bengkulu Utara, Aisyah tampak
bahagia. Senyumnya masih terbawa sampai ke rumah.
Kakak-Kakaknya heran. Apa yang terjadi dengan Aisyah?
Namun mereka belum berani bertanya kepada Ayah dan
Ibu, karena mereka baru tiba di rumah.
Seperti biasa pagi itu, kak Rahmat menghantar
Aisyah ke sekolah. Samar-samar kak Rahmat mendengar
senandung lagu Bunda, yang dinyanyikan oleh adiknya.
Alhamdulillah sudah ceria kembali. Kata Kak Rahmat dalam
hati.
Setahun kemudian.
“Assalamu’alaikum. “Ucap Aisyah sambil mengetuk
pintu depan. Aisyah baru pulang dari sekolah. Dari dalam
-
48
terdengar suara Ibu menjawab salam.
“Wa’alaikummussalam”, jawab ibu sambil membukakan
pintu.
“Sendirian saja nak? Kak Rahmatnya mana?”, tanya
Ibu.
“Ke kampus lagi bu. “, jawab Aisyah.
“Bu, kak Faris sudah pulang?”,tanya Aisyah.
“Belum, sepertinya sebentar lagi.”, jawab ibu sambil
memperbaiki jilbabnya yang kurang rapi.
“Terima kasih bu”, sahut Aisyah. Ia pun berlalu ke
kamar.
“Kapan dik lombanya?”tanya kak Faris.
“Dua Minggu lagi kak”, jawab Aisyah.
“Sudah hafal pidatonya?”, tanya kak Faris.
“Insya Allah sudah kak. Tolong Aisyah ya kak!”Bujuk
Aisyah.
“Ia”, jawab kak Faris.
-
49
Hari yang dinanti telah tiba. Aisyah datang lebih
awal. Ibu ikut mendampingi Aisyah. Insya Allah Aisyah
sudah siap tampil.
Tibalah giliran Aisyah yang tampil dalam lomba
pidato itu. “Kita Panggil Nomor urut 15 atas nama Aisyah
Putri Mulia, dipersilakan. ”Kata Pemandu acara. Aisyah
berjalan menuju panggung. Tepuk tangan riuh dari
penonton. Aisyah mulai berpidato.
“Para peserta mohon tidak pulang dulu. Karena
pengumuman pemenang akan diumumkan setelah selesai
lomba ini. “Kata pemandu acara.
Juara dua dan juara tiga sudah di atas panggung. Kini
tiba giliran juara 1 yang diumumkan.
Juara pertama dengan nomor urut... huk... huk.
“Pemandu acara terbatuk. Suasana jadi tegang. Aisyah
pasrah dan memeluk Ibunya. Walau belum menang ia akan
bersabar.
-
50
“Baiklah akan kami ulangi lagi, juara pertama dengan
nomor urut 15, atas nama Aisyah Putri Mulia. Kata
pemandu acara. Aisyah langsung sujud syukur, sekali lagi ia
memeluk Ibu. Tak terasa air mata mengalir membasahi pipi
Aisyah.
Beberapa bulan kemudian, Ada lomba pidato lagi.
Aisyah menjadi utusan sekolah. “Semoga kebaikan
menyertaimu nak. “Bisik Ibu.
Ternyata benar, dua kali berturut-turut Aisyah
meraih juara pidato untuk tingkat kota dan provinsi. Aisyah
selalu ingat pesan Ayah mengikuti lomba bukan karena ingin
mendapat piala, pengalaman itu lebih berharga.
“Terima kasih Ayah, Ibu, dan Kakak-Kakak tercinta.. Aisyah
sayang... semuanya”, sahut Aisyah dengan senyum
sumringah.
-
v
Alhamdulillahhirobbilalamin