asmaini. aisyah sang...ii aisyah sang juara penulis: asmaini isbn : 978-602-50957-4-0 editor :...

57
i Aisyah Sang Juara Asmaini Kantor Bahasa Bengkulu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Upload: others

Post on 03-Feb-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • i

    Aisyah Sang Juara

    Asmaini

    Kantor Bahasa Bengkulu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

  • ii

    Aisyah Sang Juara Penulis: Asmaini ISBN : 978-602-50957-4-0 Editor : Halimi Hadibrata, M.Pd. Penyunting : Hellen Astria, S.Pd. Desain Sampul dan Tata Letak: Wakzaz dan Asma Karimah Penerbit : Kantor Bahasa Bengkulu Redaksi : Jalan Kapuas 4 Nomor 9 Padang Harapan, Bengkulu 38225 Telepon 0736 5612999, Faksimile 0736 5612999 Email: [email protected] Cetakan pertama, November 2017 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit

  • iii

    Kata Pengantar Kementerian Pendidikan Nasional melalui Badan Penelitian

    dan Pengembangan Pusat Kurikulum (2010) telah memberi arahan mengenai pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang terdiri atas delapan belas nilai pendidikan karakter, di antaranya religius, jujur, toleran, disiplin, dan kerja keras. Nilai-nilai pendidikan itu merupakan nilai kehidupan mengenai hak dan kewajiban sesuai kedudukan dan peran anak. Setiap anak Indonesia berkedudukan dan berperan sebagai individu, anggota keluarga, dan anggota masyarakat, serta warga negara dan warga dunia.

    Semua nilai itu perlu ditanamkan sedini mungkin, kepada anak-anak Indonesia khususnya kepada anak SD/MI. Salah satu cara menanamkan nilai-nilai tersebut, yaitu melalui buku bahan bacaan anak. Karena itu, diperlukan upaya penyediaan bahan bacaan yang mengandung nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa tersebut.

    Masyarakat Provinsi Bengkulu memiliki berbagai macam nilai kearifan lokal yang dapat membentuk karakter baik anak-anak sekolah dasar melalui buku bahan bacaan. Buku bahan bacaan, seperti buku cerita yang ada di tangan pembaca ini dapat menjadi sumber pengetahuan tentang pendidikan moral, sejarah, kebudayaan, adat-istiadat, dan alam lingkungan. Selain itu, dan dapat menjadi sumber inspirasi dan motivasi terbentuknya sikap dan kepribadian anak, serta terbentuknya dasar-dasar keterampilan yang berguna bagi kehidupan anak di masa yang akan datang. Sayang sekali, bahan bacaan seperti itu masih

  • iv

    terhitung langka. Karena itu, Kantor Bahasa Bengkulu menyelenggarakan sayembara penulisan buku bahan bacaan anak SD/MI se-Provinsi Bengkulu 2017 dengan tema sikap hidup dalam keluarga dan lingkungan sekitar.

    Buku cerita yang sekarang berada di tangan Anda ini merupakan salah satu buku bahan bacaan anak SD/MI, hasil dari sayembara tersebut. Isi cerita dan cara penceritaan tentu saja sudah disesuaikan dengan sasran pembaca dan tema tersebut di atas.

    Latar cerita pun tentang khasanah manusia, alam, dan budaya masyarakat Provinsi Bengkulu. Bahasa Indonesia yang digunakan sebagai bahasa penceritaan sesuai dengan sasaran pembaca, agar dapat dinikmati oleh kalangan yang lebih luas, baik masyarakat Bengkulu maupun di luar Bengkulu. Dari buku cerita ini diharapkan dapat diambil pelajaran, pengetahuan, sikap, dan keterampilan hidup yang berguna bagi generasi pelapis perjuangan bangsa untuk membentuk karakter unggul sebagai individu, anggota keluarga dan masyarakat, serta warga Negara dan warga dunia yang baik.

    Selamat membaca. Karyono, S.Pd., M.Hum. Kepala Kantor Bahasa Bengkulu

  • v

    Daftar Isi

    Kata Pengantar ................................... iii

    Daftar Isi ............................................ v

    Lemari Kaca ....................................... 1

    Tegar ........................................ 11

    Lomba Mendongeng ....................... 25

    Putus Asa ............................................. 31

    Bertemu Annisa ........................... 36

    Meraih Mimpi .......................... 47

  • i

  • 1

    Lemari Kaca

    “Aisyah...!” Panggil Ibu dari dapur. “Kamu sudah

    sarapan? Kalau belum, sarapan dulu.”

    “Sebentar Bu”, kata Aisyah dari ruang keluarga.

    “Pasti lagi berdiri di depan lemari kaca, Bu”, kata kak

    Faris, abangnya Aisyah.

    “Jangan berpikir begitu nak, coba kamu lihat apa

    yang dikerjakan adikmu”, kata Ibu dengan bijak.

    “Baik Bu”, timpal kak Faris.

    “Sholat subuh sudah. Mandi sudah. Buku untuk

    sekolah sudah disiapkan. Merapikan tempat tidur sudah...”

    “Sarapan belum”, potong kak Faris.

    “Ah Kakak! Bikin Aisyah kaget.”

  • 2

    “Ayo adik cantik. Kita sarapan dulu. Nanti dilanjutkan

    lagi pekerjaannya”, kata kak Faris sambil menggandeng

    tangan Aisyah menuju ruang makan.

    “Dik, mengapa sih kamu suka memandang lemari

    kaca?”, kata kak Faris.

    ”Dijawab nggak, ya?”, kata Aisyah dengan kocak.

    “Dijawablah ya”, sambung kak Faris.

    “Mau tau sedikit, apa mau tau banyak?”, kata Aisyah

    dengan centilnya.

    “Kok jawabannya seperti itu sama Kakak”, kata kak

    Faris.

    ”Enggak Kak. Aisyah kan cuma bercanda. Bolehkan?”,

    jawab Aisyah sambil membenarkan kacamata minusnya.

    “Kak, Aisyah ingin seperti kakak. Punya piala juga.

    Semua kakak-kakak Aisyah ada pialanya. Juara ini, juara

    itu. Hanya Aisyah yang belum meletakkan piala di lemari

    itu”, kata Aisyah.

  • 3

    “Kamu pingin, Dik?”, tanya kak Faris.

    Aisyah mengangguk.

    “Kita persilahkan dulu ada iklan yang mau lewat...

    Ayo silakan”, kata kak Faris sambil menirukan gaya

    presenter yang ada di televisi.

    “Ah... Kakak! Aisyah kan serius”, jawab Aisyah.

    Kak Faris mulai bercerita tentang pengalamannya

    mengikuti perlombaan sehingga ia dapat piala.

    “Jadi Dik, kita tidak boleh putus asa. Semangat dan

    semangat. Terus belajar dengan sungguh-sungguh dan

    jangan lupa berdoa. Aisyah bisa tanya sama kak Faisal, kak

    Farid, dan kak Rahmat. Senior kita”, kata kak Faris.

    “Ayah, bolehkah Aisyah membuka pintu lemari itu?”

    “Untuk apa sayang?”, kata Ayah sembari mendekat.

    “Selama ini Aisyah cuma melihat lemari itu, tanpa

    bisa membukanya. Aisyah ingin melihat punya siapa piala-

    piala itu. Cuma itu maunya?”, tanya Ayah.

  • 4

    Aisyah belum sempat menjawab.

    “Boleh saja kamu melihatnya”, kata Ayah sambil

    membukakan pintu lemari. “Agar kamu nggak penasaran

    lagi, lihatlah!”, sambung Ayah.

    “Masya Allah banyak isinya ya, Yah”, kata Aisyah.

    “Juara 1 lomba Catur Sekota Bengkulu”, kata Aisyah.

    “Oh, itu punya Faisal”, jawab Ayah.

    Faisal adalah kakak Aisyah nomor dua.

    “Juara 1 Olimpide Matematika seprovinsi Bengkulu”,

    kata Aisyah sambil memegang piala.

    “Ah itu pialanya Farid”, jawab ayah.

    Farid adalah kakak Aisyah nomor tiga.

    “Juara 2 Taekwondo Tingkat nasional...”.

    Belum selesai Aisyah membaca, langsung ayah bicara.

    “Punya Rahmat”, kata ayah.

    Rahmat kakaknya Aisyah nomor satu.

  • 5

    “Kalau yang ini, Yah?”, ujar Aisyah sambil memegang

    piala lalu diperlihatkannya pada ayah.

    “Itu kan punya Faris”, kata ayah.

    “Jadi kak Faris pintar pidato? Kok nggak bilang

    Aisyah. Seandainya Aisyah tahu, tentu Aisyah sudah belajar

    dari kak Faris. Nggak usah buka youtube atau latihan sama

    teman”, cerocos Aisyah

    Faris kakak Aisyah nomor empat. Aisyah lima

    bersaudara. Ayahnya seorang dosen di Universitas Kota

    Bengkulu. Sedangkan Ibunya guru Sekolah Dasar di

    Yayasan Al Fida kota Bengkulu.

    “Bolehkan Aisyah bertanya tentang sesuatu, Ayah?”,

    tanya Aisyah di suatu hari.

    “Boleh Nak. Bukankah bertanya itu tidak bayar? ha...

    ha... ha...”, kata Ayah dengan kocak.

    “Mengapa Ayah membuat lemari kaca ini?”, tanya

    Aisyah.

  • 6

    “Mau tau jawabannya? Tarik nafas dalam-dalam lalu

    keluarkan”, seloroh Ayah.

    “Aaa... Ayah”, kata Aisyah.

    Ayah mulai bicara. ”Sejak dari Taman Kanak-kanak

    sampai sekarang, kakak-kakakmu sering ikut lomba”.

    “Lomba apa saja mereka ikuti?”, timpal Aisyah.

    “Seperti mewarnai, baca puisi, pidato, da’i cilik,

    olimpide matematika dan lain-lain. Karena pialanya banyak

    dan sering berdebu. Ayah berpikir, bagaimana kalau

    dibuatkan tempat untuk piala-piala itu. Akhirnya ayah

    memesan lemari kaca di toko meubel. Nah, Aisyah bisa lihat,

    kan? Piala-piala itu bisa dilihat dan tidak berdebu”, ayah

    menjelaskan.

    “Tapi Ayah, Aisyah mau punya piala seperti kakak”,

    kata Aisyah dengan manja.

    “Bisa saja Nak, dengan berlatih lebih giat”, jawab

    ayah dengan bijak.

  • 7

    “Bagaimana Ayah caranya? Aisyah balik bertanya.

    “Dengan bersungguh-sungguh”, jawab ayah. “Maksudnya

    apa?”, tanya Aisyah.

    “Maksudnya berusaha sekuat tenaga ‘tuk meraih apa

    yang kita inginkan. Bukan melihat apa yang akan kita dapat.

    Misalnya kita mau ikut lomba kalau ada pialanya”, kata

    ayah.

    “Tapi Yah, setiap orang mau ikut lomba pasti mau

    dapat hadiah atau piala”, kata Aisyah.

    “Memang betul Nak, hadiah atau piala bukan tujuan

    utama. Kita sudah memberi tampilan yang terbaik itu sudah

    luar biasa”, nasihat Ayah.

    Aisyah terdiam seperti memikirkan sesuatu.

    “ Apa yang engkau pikirkan, Nak?”, tanya ayah.

    “Tidak ada Ayah”, jawab Aisyah sekenanya.

    “ Bolehkah Ayah menebak apa yang kamu pikirkan?”,

    sahut ayah.

  • 8

    Eeee... silakan Ayah”, jawab Aisyah.

    “Kamu seperti ayah ketika masih kecil. Kalau mau

    sesuatu berusaha mendapatkannya. Sikap seperti ini adalah

    perilaku positif. Berarti tidak gampang menyerah dan putus

    asa. Sah-sah saja kita bersikap seperti itu. Dalam agama

    kita juga dianjurkan bahwa kita tidak boleh putus asa atau

    menyerah. Kita harus berusaha, walaupun hasilnya nanti

    tidak sama yang kita inginkan. Ayah tidak pernah

    mengharuskan anak-anak Ayah untuk mendapatkan piala.

    Berbuatlah dulu yang baik, nanti prestasi itu sendiri yang

    akan mengejar kita”, kata ayah.

    Untuk yang kesekian kali Aisyah terdiam mendengar

    penjelasan ayah. Ayah terkadang seperti guru, bagi Aisyah,

    bisa juga seperti teman, dan seperti seorang pelatih.

    Memang Ayah tidak pernah membebani anak-

    anaknya untuk menjadi yang terbaik. Kata ayah,

    memberikan sesuatu yang terbaik itu yang utama. Baiklah

  • 9

    ayah, Aisyah sayang pada Ayah. Mohon selalu beri nasihat

    untuk Aisyah. Biar Aisyah dapat memberikan yang terbaik

    untuk ayah, Kata Aisyah dalam hati.

    Tiba-tiba ibu muncul dari arah dapur. “Ada apa

    ini,sepertinya sudah terjadi diskusi yang panjang”, kata ibu

    sambil melirik ke arah ayah dan Aisyah.

    “Ibu bisa aja”, kata Aisyah.

    “Iya nih Ibu, emangnya Ayah dan Aisyah kerja

    kelompok”, timpal ayah.

    “Tidak masalah yang jelas kerja kelompoknya bisa

    menyelesaikan masalah“. Sahut ibu sambil main mata ke

    ayah.

    “Ini rahasia Ayah dan Aisyah”, kata ayah.

    “Duh... sekarang sudah pakai rahasia segala, nanti

    Ibu mau buat rahasia juga sama si pupus“, goda ibu kepada

    Aisyah.

  • 10

    “Ibu bisa aja. Pupus kan kucing kesayangan Aisyah.

    Tentunya Aisyah dan pupus yang boleh ada rahasia. Kalau

    Ibu dengan Ayah yang berahasia. Bukan dengan pupus”,

    kata Aisyah dengan manja.

    “Iya anak pintar, sekarang tolong bantu Ibu ya

    merapikan piala-piala yang di dalam lemari kaca”, pinta ibu

    sambil mengelus kepala Aisyah.

    ”Iya bu”, jawab Aisyah sambil berlalu.

    “Hati-hati nak”, sahut Ibu.

  • 11

    Tegar

    “Ayah... , Aisyah sudah bilang bahwa dia mau

    mengikuti lomba membaca puisi pekan depan?”, tanya Ibu

    lembut.

    “Ya sudah bu. Malahan Ayah perhatikan sudah

    beberapa kali Aisyah latihan sendiri di depan cermin”,

    jawab ayah.

    “Ayah sudah beritahu Faris?, Aisyah mau ikut lomba

    baca puisi”, tanya ibu lagi.

    “Belum”, kata ayah.

    “Tolong bilang ke Faris ya Yah”, sambung Ibu.

    “Emangnya kenapa kalau Faris diberitahu”, kata

    ayah.“

  • 12

    Sudah gaharu, cendana pula,sudah tahu, bertanya

    pula”, sahut ibu dengan pantun.

    Ayah tertawa, kalau sudah dijawab dengan pantun,

    ayah pasti nyerah. Ayah tau betul Ibu pandai dalam

    berpantun. Mungkin karena Ibu dari suku melayu. Orang

    melayu mempunyai warisan budaya, salah satunya pantun.

    “Pasti Ayah mau jawab dengan rima kan!”

    “Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tau”,

    canda ibu.

    “Kok Ibu tau”, sahut ayah.

    “Ya iyalah Ayah... gitu loh”, sambung ibu.

    ”Yah, kalau pantun dijawab dengan pantun. Jangan

    dengan rima, nanti kurang nyambung” tambah ibu lagi.

    “Habisnya hanya itu yang Ayah tau”, jawab ayah

    sambil tersenyum.

    “Kamu sudah bantu Aisyah untuk latihan

    puisi?”tanya ayah pada Faris.

  • 13

    “Sudah Yah”, sahut Faris.

    “Bagaimana?”, tambah Ayah.

    “Bagaimana apa Yah”, tanya Faris sambil senyum-

    senyum.

    Ayah tau banget, Faris memang begitu. Sekilas kalau

    dilihat dia anak yang biasa-biasa saja. Tapi kalau sudah

    kenal dengan Faris. Baru kita tau bahwa dia anak yang luar

    biasa.

    “Ayah percaya, kamu sudah melatih Aisyah beberapa

    hari ini”, kata Ayah.

    “Iya Yah”, sambung Faris.

    “Ada kendala?”, tanya ayah lagi.

    “Eee... ada sedikit”, jawab Faris.

    “Apa?”, sambung ayah.

    “Di ekspresi”, ekspresi Aisyah belum muncul ketika

    membaca puisi”, jelas Faris.

  • 14

    “Tidak masalah, kalau dilatih ekspresi akan muncul

    dengan sendirinya. Untuk pemula seperti Aisyah, diajarkan

    perlahan-perlahan saja. Sambil kita beri motivasi. Dia mau

    dan berani tampil di depan umum itu sudah hebat”, jelas

    ayah.

    Faris mengangguk tanda mengerti. Inilah yang dia

    suka dari Ayah selalu memberi dukungan dan kepercayaan

    kepada anak-anaknya. Ayah..., semoga dukungan dan

    kepercayaan itu selalu kau berikan kepada kami anak-

    anakmu. Kata Faris dalam hati.

    “Aisyah... ingat ya pesan Kakak, baca puisinya

    dengan tenang. Anggap saja penonton itu batu. Eh... salah.

    Anggap saja penonton itu teman bermainmu, oke”, sahut

    Faris

    “Iya kak”, jawab Aisyah.

    “Oh iya, dengan penghayatan dan ekspresi!” sahut

    kak Faris

  • 15

    “Apa kak? dengan ketakutan?”, canda Aisyah.

    “Mulai nih ngajak humor, nggak tau hujan badai.

    Orang serius diajak main-main”, bisik kak Faris pada

    Aisyah.

    Aisyah mengerutkan kening.

    “Kan cuma bercanda”, timpal Aisyah.

    “Siap ya Dik”, sambung kak Faris sambil

    mengacungkan jempol kanannya.

    “Oke bos...”, sahut Aisyah.

    Perlombaan pun dimulai. Aisyah mendapat nomor

    urut 13. Satu demi satu peserta maju. Tepuk tangan

    penonton riuh reda. Perlombaan ini dalam rangka

    Menyambut Hari Kartini, di sekolah Aisyah yaitu SDIT

    IQRA’ 2 Kota Bengkulu.

    Peserta lomba dibagi dua kelompok yaitu kelompok

    kelas rendah, yaitu kelas I,II,dan III. Sedangkan kelas

    atas, kelas IV,V,dan VI.

  • 16

    Aisyah masuk ke dalam kelompok kelas atas. Yaitu

    kelas V. Kini tiba giliran Aisyah sang periang. Dengan

    pembawaan tenang Aisyah mulai membacakan puisi.

    Aisyah pulang dengan wajah setengah merajuk.

    Melihat sikap Aisyah yang seperti itu, Ibu langsung

    memeluk anak perempuannya. Dihapusnya air mata yang

    keluar dari bola mata yang indah milik Aisyah.

    Jilbab putih yang dikenakan Aisyah basah. Aisyah

    bicara dengan tersendat-sendat. Namun Ibu belum

    mengerti apa permasalahan Aisyah. Ibu tidak menyela

    sedikit pun apa yang Aisyah ucapkan. Ibu dengan sabar

    menunggu waktu yang tepat untuk bicara. Lama ia

    mendekap Aisyah. Sembari tangannya mengusap-usap

    kepala anaknya. Perlahan-lahan pelukkan Ibu terlepas.

    Hanya jemarinya yang masih menggengam tangan Aisyah.

    “Sebentar sayang Ibu ke belakang”, kata bu.

    Ibu kembali dengan membawa segelas air putih.

  • 17

    “Bismillah”, kata Ibu. Sambil memberikan gelas itu ke

    Aisyah.

    “Minumlah nak, biar rasa lelahmu berkurang”,

    sambung ibu.

    “Coba cerita ke Ibu, apa yang terjadi di sekolah.

    Mungkin Ibu bisa bantu sedikit menyelesaikan masalahmu.

    Ibu tidak akan marah padamu. ”sambung ibu dengan

    lembut.

    Aisyah masih terguguh. Kemudian ia diam sambil

    menarik nafas. Dengan mata berkaca-kaca Aisyah bercerita.

    “Oh... begitu masalahnya. Jangan bersedih sayang

    tidak menang lomba bukan berarti kita tidak bisa. Namun

    masih banyak kesempatan yang lain”. sahut ibu sambil

    tersenyum.

    Rasa sesak di dada Aisyah pun berkurang. Begitu

    sejuk ucapan ibu. Ia tidak jadi merajuk. Rencananya ia mau

  • 18

    menyendiri bersama kesedihan. Ternyata Ibu lebih pintar

    mencairkan suasana sedih menjadi normal kembali.

    “Terima kasih Ibu. Aisyah sayang Ibu,” sambung

    Aisyah.

    Esoknya Aisyah berangkat ke sekolah seperti biasa.

    Ia tak lupa mencium tangan ayah dan ibu. Aisyah

    melangkahkan kaki menuju sekolah dengan hati riang.

    Dalam perjalanan ke sekolah, biasanya Aisyah

    mendendangkan lagu Bunda, miliknya Mely Goeslow. Belum

    habis lirik lagunya. Sepeda motornya telah berhenti di

    depan gerbang sekolah.

    “Dik sudah sampai, belajar yang rajin ya”Kata kak

    Rahmat.

    Aisyah sedikit terkejut. “Iya kak, terima kasih”,

    sahut Aisyah sambil menyalami kak Rahmat. Kakak Aisyah

    yang satu ini, tidak sekocak kak Faris. Bawaanya serius,

    lebih berwibawa dan bicara seperlunya aja. Namun Kak

  • 19

    Rahmat pandai membaca Al Qur’an. Suaranya merdu, dia

    yang setiap malam mengajari adik-adiknya mengaji.

    Tugasnya mengantar Aisyah ke sekolah, Sebelum

    berangkat kuliah.

    Kalau menemani belajar itu jatahnya kak Farid,

    orangnya pendiam tapi pintar. Oh ya, yang suka membantu

    Ayah adalah kak Faisal. Kak Faisal seperti superhero.

    Mengapa Aisyah bilangan begitu, karena beberapa kali

    Aisyah ditolong oleh kak Faisal. Waktu itu Aisyah lagi

    memanjat pohon jambu. Lalu keinjak dahan yang rapuh.

    Aisyah terjatuh dan langsung ditangkap oleh kak Faisal.

    Alhamdulillah Aisyah tidak terjatuh ke tanah. Ada lagi,

    ketika Aisyah membantu Ibu mengepel teras rumah. Aisyah

    terpeleset mau jatuh, langsung dipegang oleh kak Faisal.

    Ngomong-ngomong ada satu lagi Kakak Aisyah yang

    ganteng dan imut. Itu loh, kak Faris. Orangnya periang,

    ramah, banyak teman, dan suka bantu Ibu. Aisyah suka

  • 20

    curhat dengan kak Faris, tentang apa saja. Apalagi tentang

    pupus.

    Kak... kak Faris, sini!, panggil Aisyah.

    Ada apa dik? Perlu bantuan?”, sambung kak Faris

    sambil mendekati Aisyah.

    “Aisyah sudah daftar beberapa lomba Kak”, kata

    Aisyah.

    “Lomba apa saja?”, tanya kak Faris.

    “Lomba pidato, lomba baca puisi, dan lomba

    mendongeng”, jawab Aisyah.

    “Nggak kebanyakan, Dik?”,tanya kak Faris.

    “Nggak kak, kan beda-beda waktunya. Lomba pidato

    itu pada pertengahan Agustus di Universitas Bengkulu,

    lomba baca puisi akhir Agustus yang menyelenggarakan

    Kantor Bahasa provinsi, sedangkan lomba mendongeng awal

    September di Perpustakaan kota Bengkulu. semuanya di

    tahun 2017 Kak”, jelas Aisyah dengan riang.

  • 21

    “Yang nanya siapa?”, sahut kak Faris.

    “Ah... Kakak”, kata Aisyah.

    “Kamu tidak kelelahan nantinya?”, Kak Faris balik

    bertanya. “Sebab harus latihan terus. Mana mau

    mengerjakan tugas sekolah. Kalau saran Kakak Adik cantik,

    pikir-pikir dulu. Kalau mau juga pilih saja lomba yang Adik

    bisa”, sambung kak Faris sambil tersenyum.

    “Iya kak, tapi Kakak mau bantu melatih Aisyah

    kan?”, sahut Aisyah.

    “Ya tentu Dik, siapa yang tega lihat adiknya dalam

    kesusahan”, jawab kak Faris.

    Satu persatu lomba sudah Aisyah ikuti. Hasilnya telah

    Aisyah ketahui. Memang dia perlu banyak latihan.

    Tampilannya di atas panggung belum maksimal.

    Tetapi Aisyah tak merajuk seperti pertama dia ikut

    lomba. Dia sedih belum juara. Namun dengan sentuhan

    lembut Ibu dan semangat dari kakak-kakak dia bisa tegar.

  • 22

    “Kak...”, panggil Aisyah, di pagi Minggu.

    Yang dipanggil Kakak menoleh, “Ada apa Dik”, sahut

    kak Farid. Kakak yang satu ini namanya Farid. Ia kuliah di

    Universitas Bengkulu tingkat dua, Fakultas Keguruaan dan

    Ilmu pendidikan.

    “Kira-kira kalau orang seperti kak Farid jurusannya

    apa ya, ya tentu mm (dibaca emem). Apa itu? Matematika.

    Jadi Kak Farid jurusannya matematika.”

    Aisyah tau fakultas, terus jurusan itu dari kak Farid.

    Menurut Aisyah, kak Faris jarang bicara. Tapi sekali bicara

    pasti ilmu yang kita dapatkan.

    “Kok bengong Dik”, Tegur kak Farid.

    “Nggak Kak“, sahut Aisyah.

    “Bagaimana dengan lomba kemaren?”, tanya kak

    Farid.

    “Belum Kak“, jawab Aisyah.

    “Belum apa?”, Farid balik bertanya.

  • 23

    “Belum menang”, sambung Aisyah.

    “Lomba tidak harus menang”, karena masih banyak

    kesempatan untuk menang”, ujar kak Farid.

    “Maksudnya apa?”, tanya Aisyah.

    “Maksudnya bila belum berhasil, masih ada

    kesempatan yang lain untuk menang”, jelas kak Farid.

    “Kamu tau dengan Ibnu Sina atau Avicenna, ilmuwan

    Muslim. Kalau Thomas Alva Edison?”potong kak Farid.

    “Pernah dengar nama itu kak”, jawab Aisyah.

    Kak Farid mulai bercerita. “Ibnu Sina terkenal

    seorang ilmuwan yang menguasai ilmu kedokteran, filsafat,

    dan sastra. Menarikknya Ibnu Sina, setiap ia mendapat

    kesulitan dalam bidang ilmu yang ia tekuni, ia sholat dua

    rakaat dan memohon kepada Allah agar permasalahannya

    terselesaikan. Begitu pula dengan Thomas Alva Edison,

    yang selalu gagal dalam percobaannya membuat lampu

    pijar. Setelah percobaan

  • 24

    ke 9.998 gagal. Baru berhasil yang ke 9.999. Kita ambil

    pelajaran dari cerita ini. Bahwa kita tidak boleh putus asa.

    Selalu mencoba dan mencoba bila ingin berhasil.

    Aisyah terperangah mendengar cerita kak Farid.

    “Subhanallah ya kak, terima kasih atas nasihatnya. “Aisyah

    semakin sadar bahwa ia tidak boleh putus asa dan tidak

    bersedih bila belum juara.

  • 25

    Lomba Mendongeng

    Pagi Minggu begitu cerah, Jalan raya tampak sepi.

    Terdengar samar tawa dan canda dari rumah Pak Mulia

    Utomo. Rumah berwarna kuning gading itu, beralamatkan di

    jalan Merawan Kiri Sawah lebar kota Bengkulu. Rumah itu

    memiliki pekarangan yang luas. Ada beberapa pohon besar

    yang tumbuh di depan rumah. Salah satu di antaranya ada

    pohon mangga. Pohon inilah tempat Aisyah menyalurkan

    hobinya, yaitu memanjat. Biasanya setelah pulang sekolah

    Aisyah langsung menuju pohon itu. Sekedar duduk-duduk di

    bawah pohon atau bermain lompat tali. Apa lagi kalau

    mangga berbuah. Aisyah betah di atas pohon mangga.

  • 26

    Namun, pagi itu tidak secerah wajah Aisyah. Sudah

    dua hari tidak sekolah. Kata dokter, Aisyah perlu banyak

    istirahat, karena ia sakit typus.

    Walaupun sakit, diam-diam Aisyah latihan

    mendongeng di depan cermin kamarnya. Waktu ia sedang

    latihan, pernah kepergok oleh Ibu.

    “Aisyah sayang, ingat pesan dokter”, sahut ibu.

    “Ya bu”, jawab Aisyah.

    Mengingat lomba mendongeng tinggal satu pekan

    lagi. Aisyah berharap dapat ikut lomba mendongeng. Ia

    berdoa semoga dirinya lekas sembuh.

    Ibu, Ayah, dan Kakak-Kakaknya tau. Betapa inginnya

    Aisyah ikut lomba itu. Bila diurungkan, pasti Aisyah akan

    bersedih. Kakak-Kakaknya berfikir keras. Bagaimana

    mencari jalan keluar dari persoalan ini. Pada akhirnya

    mereka mengikhlaskan Aisyah ikut lomba. Mereka percaya

    Aisyah adalah anak yang tetap bersemangat.

  • 27

    Hari yang ditunggu tiba. Kalau melihat dari wajahnya

    Aisyah sudah pulih dari sakitnya. Kak Rahmat masih setia

    untuk mengantar Aisyah pergi ke tempat lomba.

    Peserta lomba pada antre untuk mengambil nomor

    undian. Di antara peserta ada Aisyah yang menggunakan

    jilbab biru muda.Tampak serasi dengan warna kulitnya yang

    kuning langsat.

    Guru pembimbing Aisyah sudah lebih dulu hadir.

    “Assalamu’alaikum Aisyah”, sapa bu guru Zahra.

    “Wassalamu’alaikum bu”, jawab Aisyah.

    “Sudah sehat betul”, tanya bu Zahra.

    “Insya Allah bu”, sahut Aisyah.

    “Semoga tetap semangat ya”, sambung bu Zahra.

    Panitia lomba memberi pengarahan. “Peserta yang

    ikut mendongeng silahkan menempati kursi di panggung

    utama. “Aisyah dan bu Zahra menuju panggung utama.

  • 28

    Panggung itu begitu elok. Taman hias tertata rapi di

    depan panggung. Ada bunga beraneka warna. Di tengah

    panggung ada air pancur yang berbentuk bunga raflesia. Di

    langit-langit tenda panggung bergantungan balon-balon

    hias.

    Pas untuk photo-photo usai lomba nanti. Ucap Aisyah

    dalam hati.

    Lomba mendongeng pun dimulai. Para juru telah siap.

    Pembawa acara memanggil peserta. “Nomor urut 01,

    dipersilahkan.“

    Dalam lomba ini nama peserta dan asal sekolah tidak

    disebut, cukup nomor urutnya saja.

    Tepuk tangan dari penonton bersahutan. Sungguh

    ramai. Lomba ini diselengarakan oleh Kantor Perpustakaan

    Kota Bengkulu. Secara tidak sengaja Aisyah melihat sosok

    orang yang ia kenal. Spontan Aisyah berkata. “Itukan Ibu

    dan Kak Faisal. “Ibu dan kak Faisal tersenyum melihat

  • 29

    Aisyah. Sebenarnya mereka mau buat kejutan untuk Aisyah.

    Sudah beberapa lomba yang diikuti Aisyah, Ibu berhalangan

    hadir.

    Ibu juga mengkhawatirkan kondisi kesehatan Aisyah.

    Karena waktu di rumah tadi dia sempat meringgis

    kesakitan. Waktu ditanya katanya tidak apa-apa. Ibu

    berdoa, semoga Aisyah bisa tampil dengan baik.

    Kata-kata itu masih tergiang ditelinga Ibu. “Aisyah

    ingin seperti Kakak bu. Walau Aisyah anak perempuan,

    Aisyah insya Allah bisa. “Semoga kamu bisa nak. “Bisik ibu

    dalam hati.

    “Peserta dengan nomor urut 10, dipersilahkan”,kata

    pemandu acara. Aisyah pun maju, masih dengan senyuman

    yang manis. Ia membuka dengan salam, memberi hormat

    dengan juri dan penonton. Mulailah Aisyah mendongeng.

    Ada yang aneh pada Aisyah. Ya wajahnya pucat

    sekali, Matanya sayu. Tiba-tiba tubuhnya tidak seimbang

  • 30

    dan.... Spontan Ibu dan kak Farid berlari ke atas panggung.

    Kak Farid langsung menyambar Aisyah. Ibu menjerit.

    “Aisyaaah... ”Air mata Ibu tak dapat dibendung. Ibu

    memeluk Aisyah. “Astagfirullahal’adzhim. “Kata Ibu

    berkali-kali. Aisyah pingsan dan langsung dilarikan ke

    rumah sakit.

    Setelah sadar dan berkonsultasi dengan dokter.

    Akhirnya Aisyah boleh dibawa pulang.

    Aisyah diam, ia malu dengan kejadian di lomba

    mendongeng kemarin.

    Semua tampak serius mendengar cerita Ibu. Aisyah

    sedang istirahat di kamar. Sebenarnya mereka sudah

    mengkhawatirkan kondisi kesehatan Aisyah.

    ”Tidak ada yang perlu disesali atau menyalahkan.

    Kita ambil pelajaran dari kejadian tadi”,Kata Ayah.

  • 31

    Putus Asa

    Alhamdulillah Aisyah sudah sehat sekarang. Bisa

    bersekolah lagi. Aisyah akan mengejar ketertinggalan

    pelajaran selama ia sakit.

    “Aisyah“, sapa Yuni. Aisyah menoleh ke arah sumber

    suara.

    ”Oh kamu Yun“, jawab Aisyah. Yuni adalah teman

    sekelas Aisyah. Yuni dan teman-teman sering belajar

    kelompok di rumah Aisyah.

    “Kalau tidak ada kamu, rasanya kurang seru“, kata

    Yuni.

    “Yang benar”, sahut Aisyah.

    “Ya Aisyah kita jadi sepi, sebab nggak ada lagi yang

    suka cerita dan lucu seperti kamu“, sahut Fira.

  • 32

    Semenjak kejadian lomba mendongeng itu. Aisyah

    sekarang suka menyendiri. Tidak terdengar lagi

    senandungnya di atas sepeda motor. Biasanya setiap pulang

    sekolah mencari kak Faris. Sekarang sepi. Kata kak Faris,

    pengagumnya lagi ingin sendiri.

    Makan malam, biasanya penuh tawa dan canda.

    sekarang diam-diam saja. “Semuanya sudah berubah. “ujar

    kak Faris.

    “Siapa yang berubah?”, tanya kak Faisal.

    “Kita-kita nggak berubah, Hanya tuan putri Aisyah

    saja yang berubah”, sahut kak Faris.

    “Mungkin dia masih bersedih atas kejadian seminggu

    yang lalu. Siapa yang punya ide?”, sambung kak Faris.

    Semua terdiam. Untuk mencari jalan keluar permasalahan

    ini.

    Kak Rahmat tampak sedang berpikir, karena ia

    merasa bertanggungjawab sebagai Kakak tertua. Lain

  • 33

    halnya dengan kak Farid, dia lebih tenang, walaupun

    mungkin sedang mencari jawaban atas persoalan ini. Kak

    Faisal juga ikut memikirkan, yang lebih heboh lagi kak Faris.

    Dia mengitari ruang makan, tangannya sesekali bersedekap

    seperti orang kedinginan. Ayah dan Ibu sedari tadi hanya

    mengamati keempat putranya. Semua ikut mencari jalan

    keluar.

    Spontan kak Faris teriak. “ Aha....“, semua

    memandang kak Faris. Menunggu apa yang mau diucapkan.

    “Batal”, lanjut kak Faris.

    “Belum lagi cerita, sudah dibatalkan maksudnya

    apa?”celetuk kak Rahmat. Semua mata tertuju pada kak

    Rahmat. Tumben Kakak yang berkaca mata itu, angkat

    bicara. Biasanya dia lebih memilih diam.

    Sudah dua minggu, sikap Aisyah belum juga berubah.

    Ayah dan Ibu sudah berusaha untuk menyelesaikan

  • 34

    persoalan ini. Sampai-sampai bu guru Zahra dan bu guru

    Nadia berkunjung ke rumah hanya untuk menghibur Aisyah.

    Setiap hari Aisyah ke sekolah. Ia bergaul seperti

    biasa dengan teman-temannya. Tapi, dia tidak seperiang

    yang dulu. Sekarang banyak diamnya, daripada bicara.

    Sampai kapan masalah ini akan selesai.

    Pagi ini Ayah akan ke sekolah untuk mengambil

    raport Aisyah. “Mudah-mudahan permasalahannya tidak

    berimbas ke nilai akademiknya. “Kata Ayah dalam hati. Apa

    yang dikhawatirkan Ayah,ternyata benar. Dari peringkat 3

    besar, menjadi peringkat 12. Ayah melihat raport Aisyah

    dengan senyuman.

    “Ayah tidak mempermasalahkan nilai raport Aisyah.

    Namun karena persoalan ini, ada yang dirugikan. Ayah tau

    batas kemampuan akademik Aisyah”, kata ayah kepada

    Aisyah. Aisyah diam. Seolah-olah ia tidak mau tau tentang

  • 35

    nilai raportnya.”Baiklah nak, Ayah akan bantu sekuat

    tenaga permasalahan yang engkau hadapi”, sahut Ayah.

    Sebenarnya Aisyah masih terpukul dengan kejadian di

    lomba itu. Semua tidak tau, kalau Aisyah menangis

    terseduh-seduh di sudut kamar. Dada bergemuruh kencang.

    Ia tak mau lagi ikut lomba apa saja. Aisyah putus asa.

  • 36

    Bertemu Annisa

    Liburan semester kali ini, Ayah dan Ibu mengajak

    Aisyah ke rumah paman Prasetyo. Paman Prasetyo, lebih

    akrab dipanggil paman Pras. Ia adalah adik kandung Ayah.

    Keluarga besarnya tinggal di Bengkulu Utara. Sekalian

    menjengguk nenek dan kakek. Sudah lama Ayah tidak

    pulang kampung. Liburan ini merupakan kesempatan Ayah

    untuk bertemu keluarganya. Sedangkan keluarga Ibu,

    semuanya tinggal di kota Bengkulu. Mereka merupakan

    penduduk asli Bengkulu. Kalau Ayah, aslinya berasal dari

    suku Jawa.

    Akhirnya mereka sampai ke rumah paman. Setelah

    melewati perjalanan yang cukup melelahkan, karena Ayah

    sendiri yang mengemudikan mobil kijang berwarna hijau itu.

  • 37

    Kakak-Kakak Aisyah tidak bisa ikut karena masih ada tugas

    kuliah yang harus dikerjakan. Hanya kak Faris yang

    berbeda. Kak Faris berkemah ke Bukit Kaba bersama

    temannya SMAnya sesama anggota pramuka.

    “Sebelum kita ke rumah kakek dan nenek, nanti kita

    mampir sebentar ke rumah Paman Pras dulu ya”, kata ayah.

    “Ya Ayah“, jawab Aisyah.

    “Ayah sudah lama tidak bertemu Paman Pras.

    Semenjak dia pindah ke Papua. Kemudian kembali lagi ke

    Bengkulu Utara. Kira-kira berapa tahun ya bu?”, sahut

    ayah.

    “Lebih kurang 10 tahun Yah”, jawab Ibu.

    “Dulu anaknya masih kecil-kecil, sekarang sudah

    besar-besar ya bu”, sambung ayah lagi.

    Ayah ke Papua waktu paman sakit keras. Sesudah itu

    komunikasi antara ayah dan paman hanya lewat telepon

    saja.

  • 38

    Kedatangan Ayah, Ibu dan Aisyah, sudah ditunggu-

    tunggu oleh paman sekeluarga. “Assalamu’alaikum”, sapa

    ayah

    “Wassalamu’alaikum. Mari silahkan”, sahut paman.

    ”Ini Aisyah yang lucu itu kan”. sambung paman.

    “Ya paman”, jawab Aisyah malu-malu.

    “Sekarang sudah kelas berapa?”, tanya paman

    kembali. “Kelas lima”, jawab Aisyah. Tawa dan canda

    mereka, terdengar jelas. Kerinduan Ayah terhadap

    keluarganya terobati.

    Dari balik pintu kamar muncullah seorang anak

    perempuan. “Sini sayang”, panggil paman. ”Anak itu

    mendekat dengan gerakkan tangan meraba-raba. Aisyah tak

    berkedip memandangnya. Sekilas dilihatnya, anak itu tidak

    ada masalah. Diperhatikannya dalam-dalam. Ternyata anak

    itu tidak dapat melihat. Paman mulai membuka

    pembicaraan. “Perkenalkan namanya Annisa Qonita.

  • 39

    “Annisa pun tersenyum. Walau matanya tidak melihat, ia

    tetap mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan

    Aisyah. Aisyah menyambut uluran tangan Annisa, sambil

    berkata. “Aisyah Putri Mulia.“

    “Oh ini yang sebaya dengan Annisa”, potong paman.

    “ Ya Paman”, kata Ayah.

    “Annisa ini anaknya cepat akrab dengan orang”, jelas

    paman. “Ia punya hobi bernyanyi. Sering ikut lomba juga”,

    tambah paman. Annisa tersenyum malu.

    “Yang lain mana Paman?”, tanya Ayah. “Indra ke

    rumah teman. Zidan ke ladang. Sebentar lagi mereka

    pulang.

    Annisa seumur dengan Aisyah hanya beda bulan

    saja. Aisyah lahir di bulan Oktober, sedangkan Annisa lahir

    di bulan September.

    “Bagaimana kabar keponakan paman yang lain?”,

    pasti sekarang sudah pada kuliah“, tanya paman.

  • 40

    “Ya lah Paman, sudah lama kita tidak bertemu.

    Rahmat sekarang kuliah sudah tingkat 3, Farid tingkat 2,

    Faisal tingkat 1, sedangkan Faris sekarang sudah kelas 2

    SMA“, jawab ayah.

    “Subhanallah ya mas, sudah besar-besar dan butuh

    banyak biaya”, kata paman kepada Ayah.

    Sorenya, Aisyah dan keluarga pergi ke rumah kakek

    dan nenek. Kakek dan nenek tinggal tidak jauh dari rumah

    paman. Kalau menggunakan kendaraan sekitar 10 menit

    sudah sampai. Betapa bahagianya kakek dan nenek, ketika

    bertemu Aisyah, Ayah, dan Ibu.

    Rumah nenek sungguh asri, banyak pohon di

    pekarangan rumahnya. Udara segar masih dapat kita

    rasakan. Suara kicauan burung bersahut-sahutan. Terasa

    nuansa desanya amat kental.

    Kakek dan Ayah sedang berbincang-bincang di teras

    depan. Ibu membantu nenek di dapur. Sementara Aisyah

  • 41

    masih asyik berkeliling di halaman rumah nenek. Kadang-

    kadang ia mencabut rumput liar yang tumbuh dalam pot

    bunga. Kemudian, mengejar burung yang terbang rendah di

    sela-sela dahan pohon jambu biji. Lalu ia mencoba

    menangkap kupu-kupu yang terbang ke sana dan kemari.

    Kalau lah tidak ingat sekolah, rasanya Aisyah mau tinggal

    bersama nenek dan kakek.

    Aisyah masih terkesan dengan Annisa, anak paman

    Pras. Walaupun tidak dapat melihat, ia tetap sekolah di

    sekolah berkebutuhan khusus. “Aku jadi penasaran dengan

    Annisa, ujar Aisyah dalam hati.

    Sudah dua hari Aisyah dan keluarga menginap di

    rumah kakek dan nenek. Kakek dan nenek tampak bahagia.

    Hasil kebun di bawa ke rumahnya. Ada jagung, ubi jalar,

    kelapa muda, buah pepaya, dan jambu biji.

    “Kakek, siapa yang menanam semua hasil kebun ini?”,

    tanya Aisyah.

  • 42

    “Kakek dibantu oleh tetangga kakek, nanti hasilnya

    dibagi tiga. Dua bagian untuk kakek, satu bagian untuk

    tetangga kakek”, jawab kakek.

    Di desa rasa kekeluargaannya masih tinggi. Kalau ada

    apa-apa tetangga cepat membantu. Baik itu ditimpa

    musibah atau acara syukuran.

    Sore itu Ayah, Ibu dan Aisyah berpamitan pada kakek

    dan nenek. Kakek berpesan bila ada kesempatan

    kunjungilah mereka.

    Kami pun menuju ke rumah paman. Di rumah paman,

    bibi sudah menyiapkan berbagai masakan. Kami

    dipersilahkan makan.

    “Annisa mana paman?”, tanya Aisyah.

    ”Ada di dalam kamar”, jawab paman.

    “Bolehkah Aisyah ke kamar Annisa?”, tanya Aisyah

    kepada paman.

    “Silahkan nak!”, jawab paman.

  • 43

    “Assalamu’alaikum. Boleh saya masuk”, sahut Aisyah.

    “Wa’alaikumsalam. Silahkan”, jawab Annisa.

    “Kamu sedang apa?”, tanya Aisyah. “Aku sedang

    mendengarkan lagu daerah”,jawab Annisa.

    “Untuk apa?”, tanya Aisyah. “Mau ikut lomba

    menyanyi lagu daerah di kecamatan. “Jawab Annisa.

    “Kamu belajar sendiri?”, tanya Aisyah lagi.

    “Ya, sebab mau belajar sama siapa?”,jawab Annisa.

    Esoknya, Aisyah melihat Annisa latihan nyanyi lagi. Ia

    begitu serius mendengar lagu dari telpon genggamnya. Bila

    salah dalam bernyanyi diulanginya lagi. Begitu tekunnya

    Annisa berlatih.

    “Annisa... ”, panggil Aisyah, pada pagi itu.

    “ Ada apa?”, jawab Annisa

    “Bolehkah saya bertanya sesuatu“, sambung Aisyah.

    Sebenarnya Aisyah memberanikan diri saja untuk bertanya.

    Walaupun sepupu, Ia belum begitu akrab.

  • 44

    “Kamu sudah sering ikut lomba apa saja?”, tanya

    Aisyah. “Banyak Aisyah, seperti lomba menyanyi sudah 6

    kali saya ikut. Ini yang ke-7. Sudah biasa tidak menang.

    Sekedar mau mencari pengalaman. Namanya juga

    perlombaan pasti ada kalah dan menang....”, sahut Annisa.

    "Aku bisa seperti ini karena Ayah dan Ibu. Mereka

    selalu membantu dan memberi semangat padaku”, tambah

    Annisa.

    “Dulu aku suka menyendiri, karena aku tidak seperti

    anak yang lain. Mereka bisa melihat, bermain bersama,

    belajar bersama. Sementara aku seperti ini”, sahut Annisa.

    Kata Ayah, “kita harus bersyukur kepada Allah. Allah

    ciptakan kita seperti ini karena Allah sayang pada kita.

    Jangan bersedih, Ayah dan Ibu bangga punya anak seperti

    Annisa. “Aisyah terdiam. “Betapa bijaknya kata-kata

    Annisa. “Dia begitu percaya diri, tanpa melihat kekurangan

  • 45

    yang dimilikinya. Semangatnya patut di contoh. Wajar saja

    paman Pras sangat perhatian dan sayang pada Annisa.

    Tidak terasa adzan dzuhur berkumandang. Mereka

    sholat dzuhur bersama. Usai sholat mereka berdua

    membantu menyiapkan makan siang. Kebersamaan

    membuat mereka bertambah akrab.

    Tidak terasa, sudah 5 hari di rumah paman. Besok

    Ayah, Ibu, dan Aisyah pulang ke Bengkulu. Aisyah

    memberikan jilbabnya kepada Annisa. Kata Aisyah, “ini

    tanda persahabatan kita.

    “Terima kasih Aisyah”, ucap Annisa.

    “Saya tunggu kamu di liburan kenaikan kelas nanti”,

    ucap Annisa sambil tersenyum.

    “Assalamu’alaikum”, kata Aisyah. Kemudian Ayah,

    Ibu, dan Aisyah menuju mobil. Aisyah membalikkan badan.

    “kapan-kapan ke Bengkulu ya. “Aisyah pun melambaikan

    tangannya.

  • 46

    “Sungguh berkesan liburan ini. Ayah bahagia bu, bisa

    bersilaturahim dengan orang tua dan keluarga Ayah. Kata

    Ayah. “Ingat bu misi kita, Yayang (panggilan sayang

    Aisyah) sedang tidur ya bu. “Bisik Ayah. Ibu menoleh ke jok

    bagian belakang. Lalu menghadap lagi ke depan. “Iya yah.

    “Kata Ibu.

    “Paman Pras sebelumnya sudah diberitahukan ya

    Yah”, kata Ibu lagi.

    “Tentu Bu”, sahut ayah.

  • 47

    Meraih Mimpi

    Sepulang dari Bengkulu Utara, Aisyah tampak

    bahagia. Senyumnya masih terbawa sampai ke rumah.

    Kakak-Kakaknya heran. Apa yang terjadi dengan Aisyah?

    Namun mereka belum berani bertanya kepada Ayah dan

    Ibu, karena mereka baru tiba di rumah.

    Seperti biasa pagi itu, kak Rahmat menghantar

    Aisyah ke sekolah. Samar-samar kak Rahmat mendengar

    senandung lagu Bunda, yang dinyanyikan oleh adiknya.

    Alhamdulillah sudah ceria kembali. Kata Kak Rahmat dalam

    hati.

    Setahun kemudian.

    “Assalamu’alaikum. “Ucap Aisyah sambil mengetuk

    pintu depan. Aisyah baru pulang dari sekolah. Dari dalam

  • 48

    terdengar suara Ibu menjawab salam.

    “Wa’alaikummussalam”, jawab ibu sambil membukakan

    pintu.

    “Sendirian saja nak? Kak Rahmatnya mana?”, tanya

    Ibu.

    “Ke kampus lagi bu. “, jawab Aisyah.

    “Bu, kak Faris sudah pulang?”,tanya Aisyah.

    “Belum, sepertinya sebentar lagi.”, jawab ibu sambil

    memperbaiki jilbabnya yang kurang rapi.

    “Terima kasih bu”, sahut Aisyah. Ia pun berlalu ke

    kamar.

    “Kapan dik lombanya?”tanya kak Faris.

    “Dua Minggu lagi kak”, jawab Aisyah.

    “Sudah hafal pidatonya?”, tanya kak Faris.

    “Insya Allah sudah kak. Tolong Aisyah ya kak!”Bujuk

    Aisyah.

    “Ia”, jawab kak Faris.

  • 49

    Hari yang dinanti telah tiba. Aisyah datang lebih

    awal. Ibu ikut mendampingi Aisyah. Insya Allah Aisyah

    sudah siap tampil.

    Tibalah giliran Aisyah yang tampil dalam lomba

    pidato itu. “Kita Panggil Nomor urut 15 atas nama Aisyah

    Putri Mulia, dipersilakan. ”Kata Pemandu acara. Aisyah

    berjalan menuju panggung. Tepuk tangan riuh dari

    penonton. Aisyah mulai berpidato.

    “Para peserta mohon tidak pulang dulu. Karena

    pengumuman pemenang akan diumumkan setelah selesai

    lomba ini. “Kata pemandu acara.

    Juara dua dan juara tiga sudah di atas panggung. Kini

    tiba giliran juara 1 yang diumumkan.

    Juara pertama dengan nomor urut... huk... huk.

    “Pemandu acara terbatuk. Suasana jadi tegang. Aisyah

    pasrah dan memeluk Ibunya. Walau belum menang ia akan

    bersabar.

  • 50

    “Baiklah akan kami ulangi lagi, juara pertama dengan

    nomor urut 15, atas nama Aisyah Putri Mulia. Kata

    pemandu acara. Aisyah langsung sujud syukur, sekali lagi ia

    memeluk Ibu. Tak terasa air mata mengalir membasahi pipi

    Aisyah.

    Beberapa bulan kemudian, Ada lomba pidato lagi.

    Aisyah menjadi utusan sekolah. “Semoga kebaikan

    menyertaimu nak. “Bisik Ibu.

    Ternyata benar, dua kali berturut-turut Aisyah

    meraih juara pidato untuk tingkat kota dan provinsi. Aisyah

    selalu ingat pesan Ayah mengikuti lomba bukan karena ingin

    mendapat piala, pengalaman itu lebih berharga.

    “Terima kasih Ayah, Ibu, dan Kakak-Kakak tercinta.. Aisyah

    sayang... semuanya”, sahut Aisyah dengan senyum

    sumringah.

  • v

    Alhamdulillahhirobbilalamin