askep trauma kepala
DESCRIPTION
askepTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di unit gawat
darurat suatu rumah sakit.”No head injury is so serious that it should be despaired of, nor
so trivial as to be lightly ignored”, menurut Hippocrates bahwa tidak ada cedera kepala
yang perlu dikhawatirkan serius yang bisa kita putus harapan dan tidak ada juga keluhan
yang dapat kita abaikan. Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus trauma
kepala, 52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga
merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan dengan
kematian (CDC, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan oleh National Trauma
Project di Islamic Republic of Iran bahwa diantara semua jenis trauma tertinggi yang
dilaporkan yaitu sebanyak 78,7% trauma kepala dan kematian paling banyak juga
disebabkan oleh trauma kepala (Karbakhsh, Zandi, Rouzrokh, Zarei, 2009).
Rata-rata rawat inap pada lelaki dan wanita akibat terjatuh dengan diagnosa trauma
kepala sebanyak 146,3 per100.000 dan 158,3 per100.000 (Thomas, 2006). Angka
kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan
yaitu sebanyak 26,9 per100.000 dan 1,8 per100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun ke
atas, kematian akibat trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di
Amerika yang mangalami trauma kepala akibat terjatuh (CDC, 2005). Menurut Kraus
(1993), dalam penelitiannya ditemukan bahwa anak remaja hingga dewasa muda
mengalami cedera kepala akibat terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan akibat
kekerasan sedangkan orang yang lebih tua cenderung mengalami trauma kepala
disebabkan oleh terjatuh.
Penyebab utama trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan dan terjatuh
(Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Pejalan kaki yang mengalami tabrakan
kendaraan bermotor merupakan penyebab trauma kepala terhadap pasien anak-anak bila
dibandingkan dengan pasien dewasa (Adeolu, Malomo, Shokunbi, Komolafe dan Abio,
2005). Estimasi sebanyak 1,9 juta hingga 2,3 juta orang menerima perawatan kecederaan
yang tidak fatal akibat kekerasan (Rosenberg, Fenley, 1991).
1 | P a g e
Menurut Akbar (2000), insiden trauma kepala pada tahun 1995 sampai 1998 terdiri
dari tiga tingkat keparahan trauma kepala yaitu trauma kepala ringan sebanyak 60,3%
(2463 kasus), trauma kepala sedang sebanyak 27,3% (1114 kasus) dan trauma kepala
berat sebanyak 12,4% (505 kasus). Kematian akibat trauma kepala mencatatkan
sebanyak 11% berjumlah 448. Bila dilihat prevalensi penderita trauma kepala cukup
besar dan meningkat dari tahun ke tahun, hal ini menjadi perhatian khusus bagi tenaga
kesehatan, khususnya perawat . Supaya lebih meningkatkan pengetahuan tentang trauma
kepala, sehingga bisa memberikan pelayanan yang lebih baik dan maksimal dibidangnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari trauma kepala ?
2. Apa saja klasifikasi dari trauma kepala ?
3. Apa saja etiologi dari trauma kepala ?
4. Bagaimana patofisiologi dari trauma kepala ?
5. Apa saja manifestasi klinis dari trauma kepala ?
6. Komplikasi apa yg dapat terjadi akibat trauma kepala ?
7. Pemeriksaan punujang apa yang dilakukan pada pasien trauma kepala ?
8. Penatalaksanaan apa yang dilakukan pada pasien trauma kepala?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Instruksional Umum
Mahasiswa keperawatan diharapkan mampu untuk mengerti dan memahami
asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami Trauma Kepala dengan
menggunakan pendekatan proses keperawatan.
1.3.2. Tujuan Instruksional Khusus
Diharapkan pada akhir penulisan ini mahasiswa mengetahui gambaran penderita
yang mengalami trauma kepala dengan rumusan seperti berikut :
2 | P a g e
1. Anatomi dan fisiologi kepala
2. Pengertian trauma kepala
3. Etiologi trauma kepala
4. Klasifikasi trauma kepala
5. Patofisiologi trauma kepala
6. Manifestasi klinik trauma kepala
7. Penatalaksanaan trauma kepala
8. Pembuatan dan penerapan asuhan keperawaratan trauma kepala
3 | P a g e
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Anatomi dan Fisiologi
2.1.1 Anatomi Kepala
1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu ; skin atau
kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan
pericranium.
2. Tulang tengkorak
Tulang kepala terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis krani. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.
Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar
otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar
dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat
temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu :
a. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal
dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu
ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-
pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis
superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan
dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan
4 | P a g e
darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus
ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media
yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
b. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang . Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar
yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial,
disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang
terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala.
c. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak
dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
4. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg). Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan
serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus . Lobus frontal berkaitan dengan
fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur
fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses
penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular
yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat
pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi
dan keseimbangan.
5 | P a g e
5. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral
melalui foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju
ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio
arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS
dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS
dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial . Angka rata-rata pada kelompok
populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per
hari..
6. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial
(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial
(berisi fosa kranii posterior).
7. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk
circulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam
dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari
otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis..
2.1.2 Fisiologi Kepala
Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan
secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam
posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4
– 10 mmHg . Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau
memperberat iskemia. Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih
dari 20 mmHg, terutama bila menetap.
Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus
bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan
darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara cepat akan
meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang dinamika TIK.
6 | P a g e
Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan,
konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie .Otak memperoleh suplai darah yang
besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen
dan glukosa yang cukup . Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang
dewasa antara 50-55 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa
lebih besar tergantung pada usainya . ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam
pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. ADO akan meningkat
dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah
normal sampai beberapa hari atau minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan
perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat rirekomendasikan
untuk meningkatkan ADO.
2.2 Definisi
Cedera kepala adalah kekerasan pada kepala yang dapat menyebabkan kerusakan
yang kompleks di kulit kepala, tulang tempurung kepala, selaput otak, dan jaringan otak
itu sendiri. Menurut Brain Injury Assosiation of America cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan
oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Menurut
David A Olson dalam artikelnya cedera kepala didefenisikan sebagai beberapa
perubahan pada mental dan fungsi fisik yang disebabkan oleh suatu benturan keras pada
kepala.
2.3 Etiologi
Mekanisme Terjadinya Kecederaan
Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah seperti translasi
yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala bergerak ke suatu
arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah dengan gerakan
kepala, maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut.
Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-tiba
dan dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-
tiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya
7 | P a g e
mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala. Kecederaan di bagian
muka dikatakan fraktur maksilofasial (Sastrodiningrat, 2009).
Penyebab Trauma Kepala
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala
adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena
disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan
akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala (Langlois,
Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien
trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah
penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000
populasi di Amerika Serikat ( Coronado, Thomas, 2007). Penyebab utama terjadinya
trauma kepala adalah seperti berikut :
a. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan
dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau
kecederaan kepada pengguna jalan raya (IRTAD, 1995).
b. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke
bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun
maupun sesudah sampai ke tanah.
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau
menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan).
2.4 Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi.
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas :
1. Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh
atau pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi
8 | P a g e
yang cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan
kontak pada protuberans tulang tengkorak.
2. Cedera tembus; disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi :
1. Fraktur tengkorak ; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak.
2. Fraktur dapat berupa garis/ linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata)
dan membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat
berupa fraktur tertutup yang secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik
dan fraktur tertutup yang memerlukan perlakuan untuk memperbaiki tulang
tengkorak.
3. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan
subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara
bersamaan.
Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkan menjadi :
Secara umum untuk mendeskripsikan beratnya penderita cedera kepala digunakan
Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian ini dilakukan terhadap respon motorik (1-6),
respon verbal (1-5) dan buka mata (1-4), dengan interval GCS 3-15. Berdasarkan
beratnya cedera kepala dikelompokkam menjadi :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15
2.5 Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses
oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak
walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan
kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg
%, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan
terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
9 | P a g e
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh
darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam
laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100
gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas
atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom
pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium
dan ventrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi.
Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol
otak tidak begitu besar.
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi 2 :
1. Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan
kejadian cedera, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya
menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat
fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang
optimal
2. Cedera kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik.Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan
cedera kepala skunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan/keluaran
penderita.Penyebab cedera kepala skunder antara lain; penyebab sistemik (hipotensi,
hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab
intracranial (tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak
(brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi).
Aspek patologis
Aspek patologis dari cedera kepala antara lain; hematoma epidural
(perdarahan yang terjadi antara tulang tengkorak dan dura mater), perdarahan
10 | P a g e
subdural (perdarahan yang terjadi antara dura mater dan arakhnoidea), higroma
subdural (penimbunan cairan antara dura mater dan arakhnoidea), perdarahan
subarakhnoidal cederatik (perdarahan yangterjadi di dalam ruangan antara
arakhnoidea dan permukaan otak), hematoma serebri (massa darah yang mendesak
jaringan di sekitarnya akibat robekan sebuah arteri), edema otak (tertimbunnya cairan
secara berlebihan didalam jaringan otak), kongesti otak (pembengkakan otak yang
tampak terutama berupa sulsi dan ventrikel yang menyempit), cedera otak fokal
(kontusio, laserasio, hemoragia dan hematoma serebri setempat), lesi nervi kranialis
dan lesi sekunder pada cedera otak.
2.6 Mekanisme Klinis
Gejala :
1. Jika klien sadar ----- sakit kepala hebat
2. Muntah proyektil
3. Papil edema
4. Kesadaran makin menurun
5. Perubahan tipe kesadaran
6. Tekanan darah menurun, bradikardia
7. An isokor
8. Suhu tubuh yang sulit dikendalikan
Tipe / macam Trauma kepala antara lain :
1. Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan otak
dan melukai :
a. Merobek duramater -----LCS merembes
b. Saraf otak
c. Jaringan otak
Gejala fraktur basis :
a. Battle sign
b. Hemotympanum
c. Periorbital echymosis
d. Rhinorrhoe
e. Orthorrhoe
11 | P a g e
f. Brill hematom.
2. Trauma kepala tertutup
a. Komosio
Cidera kepala ringan. Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih
kembali. Hilang kesadaran sementara , kurang dari 10 - 20 menit dan tanpa
kerusakan otak permanen. Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah.
b. Kontosio
Ada memar otak. Perdarahan kecil lokal/difus gangguan lokal yang
mengakibatkan perdarahan.
Gejala :
1. Gangguan kesadaran lebih lama
2. Kelainan neurologik positip, reflek patologik positip, lumpuh, konvulsi
3. Gejala TIK meningkat
4. Amnesia retrograd lebih nyata.
c. Hematom epidural
Perdarahan antara tulang tengkorak dan duramater. Lokasi tersering temporal
dan frontal.
Sumber : pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus. Katagori
talk and die.
Gejala : (manifestasi adanya proses desak ruang).
Penurunan kesadaran ringan saat kejadian ----- periode Lucid (beberapa
menit - beberapa jam) ---- penurunan kesadaran hebat --- koma, deserebrasi,
dekortisasi, pupil an isokor, nyeri kepala hebat, reflek patologik positip.
d. Hematom subdural
Perdarahan antara duramater dan arachnoid. Biasanya pecah vena --- akut,
sub akut, kronis.
Akut : Gejala 24 - 48 jam. Sering berhubungan dengan cidera otak & medulla
oblongata. PTIK meningkat, Sakit kepala, kantuk, reflek melambat, bingung,
reflek pupil lambat.
Sub Akut : Berkembang 7 - 10 hari, kontosio agak berat, adanya gejala TIK
meningkat --- kesadaran menurun.
Kronis : Ringan, 2 minggu - 3 - 4 bulan. Perdarahan kecil-kecil terkumpul
pelan dan meluas. Gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, disfagia.
e. Hematom intrakranial
12 | P a g e
Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih. Selalu diikuti oleh kontosio.
Penyebab : Fraktur depresi, penetrasi peluru, gerakan akselerasi - deselerasi
mendadak.
2.7 Komplikasi
1. Koma
2. Seizure
3. Infeksi
4. Kerusakan saraf, seperti hilangnya kemampuan kognitif, Penyakit Alzheimer dan
Parkinson.
2.8 Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologi,
pemeriksaan tanda-tanda vital juga dilakukan yaitu kesadaran, nadi, tekanan darah,
frekuensi dan jenis pernafasan serta suhu badan Pengukuran tingkat keparahan pada
pasien cedera kepala harus dilakukan yaitu dengan Glasgow Coma Scale (GCS) yang
pertama kali dikenalkan oleh Teasdale dan Jennett pada tahun 1974 yang digunakan
sebagai standar internasional.
Tabel 2.1 Glasgow Coma Scale
Glasgow Coma Scale Nilai
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara
Buka mata bila dirangsang nyeri
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
4
3
2
1
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang
5
4
13 | P a g e
Kata-kata tidak teratur
Suara tidak jelas
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
3
2
1
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi
6
5
4
3
2
1
Nilai GCS = (E+V+M), nilai terbaik = 15 dan nilai terburuk = 3
Pada pemerikasaan neurologis respon pupil, pergerakan mata, pergerakan wajah,
respon sensorik dan pemeriksaan terhadap nervus cranial perlu dilakukan. Pupil pada
penderita cedera kepala didak berdilatasi pada keadaan akut, jadi jika terjadi perubahan
dari pupil dapat dijadikan sebagai tanda awal terjadinya herniasi. Kekuatan dan simetris
dari letak anggota gerak ekstrimitas dapat dijadikan dasar untuk mencari tanda gangguan
otak dan medula spinalis. Respon sensorik dapat dijadikan dasar menentukan tingkat
kesadaran dengan memberikan rangsangan pada kulit penderita CT scan merupakan
study diagnosis pilihan dalam evaluasi penderita cedera kepala CT scan idealnya
dilakukan pada semua cedera otak dengan kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit,
amnesia, sakit kepala hebat, GCS<15>. CT scan dapat memperlihatkan tanda terjadinya
fraktur, perdarahan pada otak (hemoragi), gumpalan darah (hematom), luka memar pada
jaringan otak (kontusio), dan udem pada jaringan otak .Selain itu juga dapat digunakan
foto rongen sinar X, MRI, angiografi dan sken tomografik terkomputerisasi. Pada pasien
cedera kepala berat, penundaan transportasi penderita karena menunggu CT scan sangat
berbahaya karena diagnosis serta terapi yang cepat sangat penting..
2.9 Data statistik
Pengukuran keluaran penderita cedera kepala berdasarkan pengukuran GCS di
Amerika mayoritas (75-80%) penderita cedera kepala adalah cedera kepala ringan,
14 | P a g e
cedera kepala sedang dan berat yang masing-masingnya antara 10% dan 20% . Sebagian
besar penderita dengan cedera otak ringan pulih sempurna, tapi terkadang ada gejala sisa
yang sangat ringan. Perburukan yang tidak terduga pada penderita cedera kepala ringan
lebih kurang 3% yang mengakibatkan disfungsi neurologis yang berat kecuali bila
perubahan kesadaran dapat dideteksi lebih awal. Sekitar 10-20% dari penderita cedera
kepala sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam koma. Pada penderita dengan
cedera kepala berat sering diperburuk dengan cedera skunder. Hipoksia yang disertai
dengan hipotensi pada penderita cedera kepala berat akan menyebabkan mortalitas
mencapai 75%.
Kecacatan akibat cedera kepala tergantung dari tingkat beratnya cedera, lokasi
cedera, umur dan kesehatan penderita. Beberapa kejadian kecacatan tersering yaitu
masalah kesadaran (fikiran, ingatan dan akal sehat), proses sensorik (melihat,
mendengar, meraba, mengecap dan menghidung), berkomunikasi (ekspresi dan
pemahaman) dan tingkah laku atau kesehatan mental (depresi, gelisah/cemas, perubahan
kepribadian, agresif/menyerang, dan keadaan sosial yang tidak normal).
Menentukan keluaran dan prognosis dari cedera kepala sangat sulit .
Terlambatnya penanganan awal/resusitasi, pengangkutan/transport yang tidak adekuat,
dikirim ke rumah sakit yang tidak adekuat, terlambatnya dilakukan tindakan bedah dan
adanya cedera multiple yang lain merupakan faktor-faktor yang memperburuk prognosis
penderita cedera kepala . Untuk keluaran penderita, pengukuran standar yang biasa
digunakan adalah Glasgow Outcome Scale (GOS) yang dikemukakan oleh Jennett dan
Bond (1975).
2.10 Penatalaksanaan
2.10.1 Tindakan dan terapi
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan
untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta
memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala,
Adveanced Cedera Life Support (2004) telah menepatkan standar yang disesuaikan
dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan berat.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara
15 | P a g e
lain : A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E
(exposure/environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada
penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga homeostasis
otak.
Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus
diperhatikan. Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar
dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak
sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah,
atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus
melindungi vertebra servikalis (cervicalspinecontrol), yaitu tidak boleh melakukan
ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat
melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar
melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara
membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan
napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak
adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat
bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang
memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas
belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya
dilakukan intubasi endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran
dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada
tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur
tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya
menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan
cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg
untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan
secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat
teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang
dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi
hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila
ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka
16 | P a g e
Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan
resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan
duajalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat
hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan udem otak
akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam
posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat
menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan
keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah
stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita. Pemeriksaan neurologis
pada penderita cedera kepala meliputi respos buka mata, respon motorik, respon
verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (doll's eye phonomenome, refleks
okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks
kornea.
Tidak semua pederita cedera kepala harus dirawat di rumah sakit. Indikasi
perawatan di rumah sakit antara lain; fasilitas CT scan tidak ada, hasil CT scan
abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilangnya kesadaran, kesadaran menurun,
sakit kepala sedang-berat, intoksikasi alkohol/obat-obatan, kebocoran liquor
(rhinorea-otorea), cedera penyerta yang bermakna, GCS<15>.
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk
memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam
terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol,
steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan.
Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematom intrakranial
>30 ml, midline shift >5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres
dengan kedalaman >1 cm.
2.10.2 Rencana pemulangan
1. Jelaskan tentang kondisi pasien yang memerlukan perawatan dan pengobatan
2. Ajarkan keluarga untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran,
perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara
3. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari
pemberian obat
17 | P a g e
4. Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah,
mempertahankan jalan nafas selama kejang
5. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari
di rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas bermain, dan
latihan ROM bila anak mengalami gangguan mobilitas fisik
6. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman
7. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadwal
8. Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan intrakranial
BAB III
18 | P a g e
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem
persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis
injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang perlu didapati
adalah sebagai berikut :
3.1.1 Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab)
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat,
golongan darah, pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.
3.1.2 Riwayat kesehatan
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit
kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada
saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang.
3.1.3 Riwayat penyakit dahulu dan keluarga
Haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem persarafan maupun
penyakit sistem sistemik lainnya. Demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama
yang mempunyai penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien
atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat
mempengaruhi prognosa klien.
3.1.4 Pemeriksaan Fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15,
disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif,
perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese. Nervus cranialis dapat
terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang otak karena udema otak atau
perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII.
3.1.5 Penatalaksanaan Medis Pada Trauma Kepala
1. Obat-obatan :
Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringanya trauma.
2. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurnagi vasodilatasi.
3. Pengobatan anti edema dnegan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau glukosa
40 % atau gliserol 10 %.
19 | P a g e
4. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidasol.
5. Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.
6. Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami
penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka
hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam
pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari
selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube
(2500 - 3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai ure nitrogennya.
7. Pembedahan
3.1.6 Pemeriksaan Penujang
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui
adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
2. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
4. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
9. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
10. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial
11. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.
20 | P a g e
Penatalaksanaan
Konservatif :
a. Bedrest total
b. Pemberian obat-obatan
c. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
Prioritas Perawatan :
a. Maksimalkan perfusi / fungsi otak
b. Mencegah komplikasi
c. Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal
d. Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga
e. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan
rehabilitasi.
Tujuan :
a. Fungsi otak membaik : defisit neurologis berkurang/tetap
b. Komplikasi tidak terjadi
c. Kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi sendiri atau dibantu orang lain
d. Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan
e. Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh keluarga
sebagai sumber informasi.
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan yang biasanya muncul adalah :
1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak
2. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum
3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan odem otak
4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma)
5. Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada pasien.
6. Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak
adekuatnya sirkulasi perifer
21 | P a g e
3.3 INTERVENSI
1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.
Tujuan : Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.
Kriteria evaluasi :
Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda
hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal.
Rencana tindakan :
a. Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. Pernapasan yang cepat dari
pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat
meningkatkan tekanan Pa Co2 dan menyebabkan asidosis respiratorik.
b. Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam
pemberian tidal volume.
c. Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih
panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi
terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas.
d. Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat
mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan meningkatkan
resiko infeksi.
e. Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat
menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan
penyebaran udara yang tidak adekuat.
f. Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu membarikan
ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator.
2. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum
Tujuan : Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi
Kriteria Evaluasi :
Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi alarm karena
peninggian suara mesin, sianosis tidak ada.
Rencana tindakan :
a. Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi dapat
disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah
terhadap tube.
22 | P a g e
b. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan yang
simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan
tidak adanya penumpukan sputum.
c. Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum
banyak. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk
mencegah hipoksia.
d. Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk semua
bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum.
3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan Odem otak
Tujuan : Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi motorik.
Kriteria hasil :
Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial.
Rencana tindakan :
a. Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode GCS.
b. Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit
c. Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan
d. Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan pengukuran
urin dan hindari konstipasi yang berkepanjangan. Dapat mencetuskan respon
otomatik peningkatan intracranial
e. Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang.
f. Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien
g. Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar (kolaborasi).
3.4 Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sesuai dengan yang telah
direncanakan, mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi.
3.5 Evaluasi
Merupakan hasil perkembangan ibu dengan berpedoman kepada hasil dan
tujuan yang hendak dicapai.
23 | P a g e
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Tengkorak sebagai pelindung jaringan otak mempunyai daya elastisistas untuk
membatasi trauma kepala bila terbentur benda tumpul.
2. Adanya fenomena yang meningkat setiap tahunnya untuk angka kejadian trauma
kepala.
3. Trauma kepala terdiri dari trauma kulit kepala, tulang kranial dan otak. Klasifikasi
cedera kepala meliputi trauma kepala tertutup dan trauma kepala terbuka yang
diakibatkan oleh mekanisme cedera yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera
perlambatan (deselerasi).
4. Cedera kepala primer pada trauma kepala menyebabkan edema serebral, laserasi
atau hemorragi. Sedangkan cedera kepala sekunder pada trauma kepala
menyebabkan berkurangnya kemampuan autoregulasi pang pada akhirnya
menyebabkan terjadinya hiperemia (peningkatan volume darah dan PTIK). Selain
itu juga dapat menyebabkan terjadinya cedera fokal serta cedera otak menyebar
yang berkaitan dengan kerusakan otak menyeluruh. Komplikasi dari trauma
kepala adalah hemorragi, infeksi, odema dan herniasi. Penatalaksanaan pada
pasien dengan trauma kepala adalah dilakukan observasi dalam 24 jam, tirah
baring, jika pasien muntah harus dipuasakan terlebih dahulu dan kolaborasi untuk
pemberian program terapi serta tindakan pembedahan.
4.2 Saran
1. Untuk mahasiswa diharapkan supaya lebih bekerja sama dalam pembuatan
makalah asuhan keperawatan Trauma Kapitis.
2. Mahasiswa diharapkan supaya lebih aktif meningkatkan ilmu pengetahuan dan
keterampilan dalam bidang keperawatan khususnya Asuhan Keperawatan Trauma
Kapitis.
3. Untuk dosen supaya lebih banyak lagi memberikan pengetahuan tentang Gawat
Darurat.
24 | P a g e
DAFTAR KEPUSTAKAAN
American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam: Advanced
Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia, penerjemah.
Edisi 7. Komisi trauma IKABI, 2004; 168-193.
Bedong MA. Cedera Jaringan Otak : Pengenalan dan Kemungkinan Penetalaksanaannya. Mei
2001 [31 Agustus 2007]; Diunduh
dari : http://www.tempo.ci.id/medica/arsip/052001/sek-1.htm
Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Elsevier Saunders, 2006; 685-
97.
Hartanto, Hurawati.2009. Kamus Saku Mosby. Jakarta. EGC
Mc Khann GM, Copass MK, Winn HR. Prehospital Care of the Head-Injuried Patient.
Dalam : Textbooks of Neurotrauma. Mc Graw Hill. 103-112
Rappaport WA, Brannan S. Head injury. Dalam: Surgery. Mosby Elsevier, 2005; 216-18.
Singh J. Head Trauma. 25 September 2006 [20 September 2007]; Topic 929: [11 screens].
Diunduh dari:http://www.emedicine.com/ped/topic929.htm
Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto H, Listiawati
E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi Klinik Untuk
Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006; 740-59.
Stein SC. Classification of the Head Injury. Dalam: Textbook of Neurotrauma. Mc. Graw-
Hill. 31-38.
Santosa, Budi. 2005-2006. Diagnosa Keperawatan NANDA. Jakarta : Prima Medikal.
Rahariyani, Loetfia Dwi. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Trauma kepala,Jakarta: EGC
Wijanarka A, Dwiphrahasto. Implementasi Clinical Governance: Pengembangan Indikator
Klinik Cedera Kepala di Instalasi Gawat Darurat. Desember 2005 [4 September
2007] volume 8; [8 screens]
25 | P a g e