askep trauma kepala

39
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Trauma kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di unit gawat darurat suatu rumah sakit.”No head injury is so serious that it should be despaired of, nor so trivial as to be lightly ignored”, menurut Hippocrates bahwa tidak ada cedera kepala yang perlu dikhawatirkan serius yang bisa kita putus harapan dan tidak ada juga keluhan yang dapat kita abaikan. Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala, 52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan dengan kematian (CDC, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan oleh National Trauma Project di Islamic Republic of Iran bahwa diantara semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu sebanyak 78,7% trauma kepala dan kematian paling banyak juga disebabkan oleh trauma kepala (Karbakhsh, Zandi, Rouzrokh, Zarei, 2009). Rata-rata rawat inap pada lelaki dan wanita akibat terjatuh dengan diagnosa trauma kepala sebanyak 146,3 per100.000 dan 158,3 per100.000 (Thomas, 2006). Angka kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan yaitu sebanyak 26,9 1 | Page

Upload: dennie-setyawan-eka-putra

Post on 29-Dec-2015

304 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

askep

TRANSCRIPT

Page 1: Askep Trauma Kepala

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di unit gawat

darurat suatu rumah sakit.”No head injury is so serious that it should be despaired of, nor

so trivial as to be lightly ignored”, menurut Hippocrates bahwa tidak ada cedera kepala

yang perlu dikhawatirkan serius yang bisa kita putus harapan dan tidak ada juga keluhan

yang dapat kita abaikan. Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus trauma

kepala, 52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga

merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan dengan

kematian (CDC, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan oleh National Trauma

Project di Islamic Republic of Iran bahwa diantara semua jenis trauma tertinggi yang

dilaporkan yaitu sebanyak 78,7% trauma kepala dan kematian paling banyak juga

disebabkan oleh trauma kepala (Karbakhsh, Zandi, Rouzrokh, Zarei, 2009).

Rata-rata rawat inap pada lelaki dan wanita akibat terjatuh dengan diagnosa trauma

kepala sebanyak 146,3 per100.000 dan 158,3 per100.000 (Thomas, 2006). Angka

kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan

yaitu sebanyak 26,9 per100.000 dan 1,8 per100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun ke

atas, kematian akibat trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di

Amerika yang mangalami trauma kepala akibat terjatuh (CDC, 2005). Menurut Kraus

(1993), dalam penelitiannya ditemukan bahwa anak remaja hingga dewasa muda

mengalami cedera kepala akibat terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan akibat

kekerasan sedangkan orang yang lebih tua cenderung mengalami trauma kepala

disebabkan oleh terjatuh.

Penyebab utama trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan dan terjatuh

(Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Pejalan kaki yang mengalami tabrakan

kendaraan bermotor merupakan penyebab trauma kepala terhadap pasien anak-anak bila

dibandingkan dengan pasien dewasa (Adeolu, Malomo, Shokunbi, Komolafe dan Abio,

2005). Estimasi sebanyak 1,9 juta hingga 2,3 juta orang menerima perawatan kecederaan

yang tidak fatal akibat kekerasan (Rosenberg, Fenley, 1991).

1 | P a g e

Page 2: Askep Trauma Kepala

Menurut Akbar (2000), insiden trauma kepala pada tahun 1995 sampai 1998 terdiri

dari tiga tingkat keparahan trauma kepala yaitu trauma kepala ringan sebanyak 60,3%

(2463 kasus), trauma kepala sedang sebanyak 27,3% (1114 kasus) dan trauma kepala

berat sebanyak 12,4% (505 kasus). Kematian akibat trauma kepala mencatatkan

sebanyak 11% berjumlah 448. Bila dilihat prevalensi penderita trauma kepala cukup

besar dan meningkat dari tahun ke tahun,  hal ini menjadi perhatian khusus bagi tenaga

kesehatan, khususnya perawat . Supaya lebih meningkatkan pengetahuan tentang trauma

kepala, sehingga bisa memberikan pelayanan yang lebih baik dan maksimal dibidangnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari trauma kepala ?

2. Apa saja klasifikasi dari trauma kepala ?

3. Apa saja etiologi dari trauma kepala ?

4. Bagaimana patofisiologi dari trauma kepala ?

5. Apa saja manifestasi klinis dari trauma kepala ?

6. Komplikasi apa yg dapat terjadi akibat trauma kepala ?

7. Pemeriksaan punujang apa yang dilakukan pada pasien trauma kepala ?

8. Penatalaksanaan apa yang dilakukan pada pasien trauma kepala?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Instruksional Umum

Mahasiswa keperawatan diharapkan mampu untuk mengerti dan memahami

asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami Trauma Kepala dengan

menggunakan pendekatan proses keperawatan.

1.3.2. Tujuan Instruksional Khusus

Diharapkan pada akhir penulisan ini mahasiswa mengetahui gambaran penderita

yang mengalami trauma kepala dengan rumusan seperti berikut :

2 | P a g e

Page 3: Askep Trauma Kepala

1. Anatomi dan fisiologi kepala

2. Pengertian trauma kepala

3. Etiologi trauma kepala

4. Klasifikasi trauma kepala

5. Patofisiologi trauma kepala

6. Manifestasi klinik trauma kepala

7. Penatalaksanaan trauma kepala

8. Pembuatan dan penerapan asuhan keperawaratan trauma kepala

3 | P a g e

Page 4: Askep Trauma Kepala

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi dan Fisiologi

2.1.1 Anatomi Kepala

1. Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu ; skin atau

kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea

aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan

pericranium.

2. Tulang tengkorak

Tulang kepala terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis krani. Tulang

tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.

Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot

temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar

otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar

dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat

temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.

3. Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3

lapisan yaitu :

a. Dura mater

Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal

dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas

jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.

Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu

ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid,

dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-

pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis

superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan

dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan

4 | P a g e

Page 5: Askep Trauma Kepala

darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus

ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.

Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari

kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat

menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan

epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media

yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).

b. Selaput Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang . Selaput

arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar

yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial,

disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang

terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya

disebabkan akibat cedera kepala.

c. Pia mater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah

membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan

masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak

dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam

substansi otak juga diliputi oleh pia mater.

4. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa

sekitar 14 kg). Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan)

terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan

rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan

serebellum.

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus . Lobus frontal berkaitan dengan

fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal

berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur

fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses

penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular

yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat

pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi

dan keseimbangan.

5 | P a g e

Page 6: Askep Trauma Kepala

5. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan

kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral

melalui foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju

ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio

arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS

dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS

dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial . Angka rata-rata pada kelompok

populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per

hari..

6. Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial

(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial

(berisi fosa kranii posterior).

7. Perdarahan Otak

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.

Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk

circulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam

dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari

otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis..

2.1.2 Fisiologi Kepala

Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan

secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam

posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4

– 10 mmHg . Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau

memperberat iskemia. Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih

dari 20 mmHg, terutama bila menetap.

Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus

bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan

darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara cepat akan

meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang dinamika TIK.

6 | P a g e

Page 7: Askep Trauma Kepala

Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan,

konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie .Otak memperoleh suplai darah yang

besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen

dan glukosa yang cukup . Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang

dewasa antara 50-55 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa

lebih besar tergantung pada usainya . ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam

pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. ADO akan meningkat

dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah

normal sampai beberapa hari atau minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan

perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat rirekomendasikan

untuk meningkatkan ADO.

2.2 Definisi

Cedera kepala adalah kekerasan pada kepala yang dapat menyebabkan kerusakan

yang kompleks di kulit kepala, tulang tempurung kepala, selaput otak, dan jaringan otak

itu sendiri. Menurut Brain Injury Assosiation of America cedera kepala adalah suatu

kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan

oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran

yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Menurut

David A Olson dalam artikelnya cedera kepala didefenisikan sebagai beberapa

perubahan pada mental dan fungsi fisik yang disebabkan oleh suatu benturan keras pada

kepala.

2.3 Etiologi

Mekanisme Terjadinya Kecederaan

Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah seperti translasi

yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala bergerak ke suatu

arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah dengan gerakan

kepala, maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut.

Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-tiba

dan dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-

tiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya

7 | P a g e

Page 8: Askep Trauma Kepala

mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala. Kecederaan di bagian

muka dikatakan fraktur maksilofasial (Sastrodiningrat, 2009).

Penyebab Trauma Kepala

Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala

adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena

disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan

akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala (Langlois,

Rutland-Brown, Thomas, 2006).

Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien

trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah

penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000

populasi di Amerika Serikat ( Coronado, Thomas, 2007). Penyebab utama terjadinya

trauma kepala adalah seperti berikut :

a. Kecelakaan Lalu Lintas

Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan

dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau

kecederaan kepada pengguna jalan raya (IRTAD, 1995).

b. Jatuh

Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke

bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun

maupun sesudah sampai ke tanah.

c. Kekerasan

Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan

seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau

menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan).

2.4 Klasifikasi

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3

deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi.

Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas :

1. Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh

atau pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi

8 | P a g e

Page 9: Askep Trauma Kepala

yang cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan

kontak pada protuberans tulang tengkorak.

2. Cedera tembus; disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi :

1. Fraktur tengkorak ; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak.

2. Fraktur dapat berupa garis/ linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata)

dan membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat

berupa fraktur tertutup yang secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik

dan fraktur tertutup yang memerlukan perlakuan untuk memperbaiki tulang

tengkorak.

3. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan

subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara

bersamaan.

Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkan menjadi :

Secara umum untuk mendeskripsikan beratnya penderita cedera kepala digunakan

Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian ini dilakukan terhadap respon motorik (1-6),

respon verbal (1-5) dan buka mata (1-4), dengan interval GCS 3-15. Berdasarkan

beratnya cedera kepala dikelompokkam menjadi  :

1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat

2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13

3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15

2.5 Patofisiologi

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat

terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses

oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak

walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan

kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg

%, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh

kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan

terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.

9 | P a g e

Page 10: Askep Trauma Kepala

Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan

oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh

darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam

laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.

Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100

gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.

Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas

atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom

pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium

dan ventrikel, takikardia.

Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana

penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi.

Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol

otak tidak begitu besar.

Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi 2 :

1. Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan

kejadian cedera, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya

menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat

fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang

optimal

2. Cedera kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih

merupakan fenomena metabolik.Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan

cedera kepala skunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan/keluaran

penderita.Penyebab cedera kepala skunder antara lain; penyebab sistemik (hipotensi,

hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab

intracranial (tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak

(brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi).

Aspek patologis

Aspek patologis dari cedera kepala antara lain; hematoma epidural

(perdarahan yang terjadi antara tulang tengkorak dan dura mater), perdarahan

10 | P a g e

Page 11: Askep Trauma Kepala

subdural (perdarahan yang terjadi antara dura mater dan arakhnoidea), higroma

subdural (penimbunan cairan antara dura mater dan arakhnoidea), perdarahan

subarakhnoidal cederatik (perdarahan yangterjadi di dalam ruangan antara

arakhnoidea dan permukaan otak), hematoma serebri (massa darah yang mendesak

jaringan di sekitarnya akibat robekan sebuah arteri), edema otak (tertimbunnya cairan

secara berlebihan didalam jaringan otak), kongesti otak (pembengkakan otak yang

tampak terutama berupa sulsi dan ventrikel yang menyempit), cedera otak fokal

(kontusio, laserasio, hemoragia dan hematoma serebri setempat), lesi nervi kranialis

dan lesi sekunder pada cedera otak.

2.6 Mekanisme Klinis

Gejala :

1. Jika klien sadar ----- sakit kepala hebat

2. Muntah proyektil

3. Papil edema

4. Kesadaran makin menurun

5. Perubahan tipe kesadaran

6. Tekanan darah menurun, bradikardia

7. An isokor

8. Suhu tubuh yang sulit dikendalikan

Tipe / macam Trauma kepala antara lain :

1. Trauma kepala terbuka

Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan otak

dan melukai :

a. Merobek duramater -----LCS merembes

b. Saraf otak

c. Jaringan otak

Gejala fraktur basis :

a. Battle sign

b. Hemotympanum

c. Periorbital echymosis

d. Rhinorrhoe

e. Orthorrhoe

11 | P a g e

Page 12: Askep Trauma Kepala

f. Brill hematom.

2. Trauma kepala tertutup

a. Komosio

Cidera kepala ringan. Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih

kembali. Hilang kesadaran sementara , kurang dari 10 - 20 menit dan tanpa

kerusakan otak permanen. Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah.

b. Kontosio

Ada memar otak. Perdarahan kecil lokal/difus gangguan lokal yang

mengakibatkan perdarahan.

Gejala :

1. Gangguan kesadaran lebih lama

2. Kelainan neurologik positip, reflek patologik positip, lumpuh, konvulsi

3. Gejala TIK meningkat

4. Amnesia retrograd lebih nyata.

c. Hematom epidural

Perdarahan antara tulang tengkorak dan duramater. Lokasi tersering temporal

dan frontal.

Sumber : pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus. Katagori

talk and die.

Gejala : (manifestasi adanya  proses desak ruang).

Penurunan  kesadaran ringan saat kejadian ----- periode Lucid (beberapa

menit - beberapa jam) ---- penurunan kesadaran hebat --- koma, deserebrasi,

dekortisasi, pupil an isokor, nyeri kepala hebat, reflek patologik positip.

d. Hematom subdural

Perdarahan antara duramater dan arachnoid. Biasanya pecah vena --- akut,

sub akut, kronis.

Akut : Gejala 24 - 48 jam. Sering berhubungan dengan cidera otak & medulla

oblongata. PTIK meningkat, Sakit kepala, kantuk, reflek melambat, bingung,

reflek pupil lambat.

Sub Akut : Berkembang 7 - 10 hari, kontosio agak berat, adanya gejala TIK

meningkat --- kesadaran menurun.

Kronis : Ringan, 2 minggu - 3 - 4 bulan. Perdarahan kecil-kecil terkumpul

pelan dan meluas. Gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, disfagia.

e. Hematom intrakranial

12 | P a g e

Page 13: Askep Trauma Kepala

Perdarahan intraserebral  ± 25 cc atau lebih. Selalu diikuti oleh kontosio.

Penyebab : Fraktur depresi, penetrasi peluru, gerakan akselerasi - deselerasi

mendadak.

2.7 Komplikasi

1. Koma

2. Seizure

3. Infeksi

4. Kerusakan saraf, seperti hilangnya kemampuan kognitif, Penyakit Alzheimer dan

Parkinson.

2.8 Pemeriksaan klinis

Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi anamnesis,

pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologi,

pemeriksaan tanda-tanda vital juga dilakukan yaitu kesadaran, nadi, tekanan darah,

frekuensi dan jenis pernafasan serta suhu badan Pengukuran tingkat keparahan pada

pasien cedera kepala harus dilakukan yaitu dengan Glasgow Coma Scale (GCS) yang

pertama kali dikenalkan oleh Teasdale dan Jennett pada tahun 1974 yang digunakan

sebagai standar internasional.

Tabel 2.1 Glasgow Coma Scale

Glasgow Coma Scale Nilai

Respon membuka mata (E)

Buka mata spontan

Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara

Buka mata bila dirangsang nyeri

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

4

3

2

1

Respon verbal (V)

Komunikasi verbal baik, jawaban tepat

Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang

5

4

13 | P a g e

Page 14: Askep Trauma Kepala

Kata-kata tidak teratur

Suara tidak jelas

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

3

2

1

Respon motorik (M)

Mengikuti perintah

Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan

Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal

Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

6

5

4

3

2

1

Nilai GCS = (E+V+M), nilai terbaik = 15 dan nilai terburuk = 3

Pada pemerikasaan neurologis respon pupil, pergerakan mata, pergerakan wajah,

respon sensorik dan pemeriksaan terhadap nervus cranial perlu dilakukan. Pupil pada

penderita cedera kepala didak berdilatasi pada keadaan akut, jadi jika terjadi perubahan

dari pupil dapat dijadikan sebagai tanda awal terjadinya herniasi. Kekuatan dan simetris

dari letak anggota gerak ekstrimitas dapat dijadikan dasar untuk mencari tanda gangguan

otak dan medula spinalis. Respon sensorik dapat dijadikan dasar menentukan tingkat

kesadaran dengan memberikan rangsangan pada kulit penderita CT scan merupakan

study diagnosis pilihan dalam evaluasi penderita cedera kepala CT scan idealnya

dilakukan pada semua cedera otak dengan kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit,

amnesia, sakit kepala hebat, GCS<15>. CT scan dapat memperlihatkan tanda terjadinya

fraktur, perdarahan pada otak (hemoragi), gumpalan darah (hematom), luka memar pada

jaringan otak (kontusio), dan udem pada jaringan otak .Selain itu juga dapat digunakan

foto rongen sinar X, MRI, angiografi dan sken tomografik terkomputerisasi. Pada pasien

cedera kepala berat, penundaan transportasi penderita karena menunggu CT scan sangat

berbahaya karena diagnosis serta terapi yang cepat sangat penting..

2.9 Data statistik

Pengukuran keluaran penderita cedera kepala berdasarkan pengukuran GCS di

Amerika mayoritas (75-80%) penderita cedera kepala adalah cedera kepala ringan,

14 | P a g e

Page 15: Askep Trauma Kepala

cedera kepala sedang dan berat yang masing-masingnya antara 10% dan 20% . Sebagian

besar penderita dengan cedera otak ringan pulih sempurna, tapi terkadang ada gejala sisa

yang sangat ringan. Perburukan yang tidak terduga pada penderita cedera kepala ringan

lebih kurang 3% yang mengakibatkan disfungsi neurologis yang berat kecuali bila

perubahan kesadaran dapat dideteksi lebih awal. Sekitar 10-20% dari penderita cedera

kepala sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam koma. Pada penderita dengan

cedera kepala berat sering diperburuk dengan cedera skunder. Hipoksia yang disertai

dengan hipotensi pada penderita cedera kepala berat akan menyebabkan mortalitas

mencapai 75%.

Kecacatan akibat cedera kepala tergantung dari tingkat beratnya cedera, lokasi

cedera, umur dan kesehatan penderita. Beberapa kejadian kecacatan tersering yaitu

masalah kesadaran (fikiran, ingatan dan akal sehat), proses sensorik (melihat,

mendengar, meraba, mengecap dan menghidung), berkomunikasi (ekspresi dan

pemahaman) dan tingkah laku atau kesehatan mental (depresi, gelisah/cemas, perubahan

kepribadian, agresif/menyerang, dan keadaan sosial yang tidak normal).

Menentukan keluaran dan prognosis dari cedera kepala sangat sulit .

Terlambatnya penanganan awal/resusitasi, pengangkutan/transport yang tidak adekuat,

dikirim ke rumah sakit yang tidak adekuat, terlambatnya dilakukan tindakan bedah dan

adanya cedera multiple yang lain merupakan faktor-faktor yang memperburuk prognosis

penderita cedera kepala . Untuk keluaran penderita, pengukuran standar yang biasa

digunakan adalah Glasgow Outcome Scale (GOS) yang dikemukakan oleh Jennett dan

Bond (1975).

2.10 Penatalaksanaan

2.10.1 Tindakan dan terapi

Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan

untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta

memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu

penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala,

Adveanced Cedera Life Support (2004) telah menepatkan standar yang disesuaikan

dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan berat.

Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei

sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara

15 | P a g e

Page 16: Askep Trauma Kepala

lain : A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E

(exposure/environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada

penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer

sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga homeostasis

otak.

Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus

diperhatikan. Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar

dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak

sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah,

atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus

melindungi vertebra servikalis (cervicalspinecontrol),  yaitu tidak boleh melakukan

ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat

melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar

melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara

membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan

napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak

adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat

bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang

memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas

belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya

dilakukan intubasi endotrakheal.

Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran

dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada

tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur

tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya

menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan

cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg

untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan

secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat

teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang

dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi

hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila

ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka

16 | P a g e

Page 17: Askep Trauma Kepala

Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan

resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan

duajalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat

hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan udem otak

akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam

posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat

menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial

Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan

keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah

stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita. Pemeriksaan neurologis

pada penderita cedera kepala meliputi respos buka mata, respon motorik, respon

verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (doll's eye phonomenome, refleks

okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks

kornea.

Tidak semua pederita cedera kepala harus dirawat di rumah sakit. Indikasi

perawatan di rumah sakit antara lain; fasilitas CT scan tidak ada, hasil CT scan

abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilangnya kesadaran, kesadaran menurun,

sakit kepala sedang-berat, intoksikasi alkohol/obat-obatan, kebocoran liquor

(rhinorea-otorea), cedera penyerta yang bermakna, GCS<15>.

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk

memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam

terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol,

steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan.

Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematom intrakranial

>30 ml, midline shift >5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres

dengan kedalaman >1 cm.

2.10.2  Rencana pemulangan

1. Jelaskan tentang kondisi pasien yang memerlukan perawatan dan pengobatan

2. Ajarkan keluarga untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran,

perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara

3. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari

pemberian obat

17 | P a g e

Page 18: Askep Trauma Kepala

4. Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah,

mempertahankan jalan nafas selama kejang

5. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari

di rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas bermain, dan

latihan ROM bila anak mengalami gangguan mobilitas fisik

6. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman

7. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadwal

8. Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan intrakranial

BAB III

18 | P a g e

Page 19: Askep Trauma Kepala

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN

Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem

persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis

injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang perlu didapati

adalah sebagai berikut :

3.1.1 Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab)

Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat,

golongan darah, pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.

3.1.2 Riwayat kesehatan

Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit

kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada

saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang.

3.1.3 Riwayat penyakit dahulu dan keluarga

Haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem persarafan maupun

penyakit sistem sistemik lainnya. Demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama

yang mempunyai penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien

atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat

mempengaruhi prognosa klien.

3.1.4 Pemeriksaan Fisik

Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15,

disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif,

perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese. Nervus cranialis dapat

terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang otak karena udema otak atau

perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII.

3.1.5 Penatalaksanaan Medis Pada Trauma Kepala

1. Obat-obatan :

Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai

dengan berat ringanya trauma.

2. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurnagi vasodilatasi.

3. Pengobatan anti edema dnegan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau glukosa

40 % atau gliserol 10 %.

19 | P a g e

Page 20: Askep Trauma Kepala

4. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi

anaerob diberikan metronidasol.

5. Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat

diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam

pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan makanan

lunak.

6. Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami

penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka

hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam

pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari

selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube

(2500 - 3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai ure nitrogennya.

7. Pembedahan

3.1.6 Pemeriksaan Penujang

1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,

determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui

adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.

2. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

3. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :

perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.

4. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis

5. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur

garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.

6. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil

7. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas  metabolisme otak

8. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan

subarachnoid.

9. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah  pernapasan (oksigenisasi)

jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial

10. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat

peningkatan tekanan intrkranial

11. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan

penurunan kesadaran.

20 | P a g e

Page 21: Askep Trauma Kepala

Penatalaksanaan

Konservatif :

a. Bedrest total

b. Pemberian obat-obatan

c. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)

Prioritas Perawatan :

a. Maksimalkan perfusi / fungsi otak

b. Mencegah komplikasi

c. Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal

d. Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga

e. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan

rehabilitasi.

Tujuan :

a. Fungsi otak membaik : defisit neurologis berkurang/tetap

b. Komplikasi tidak terjadi

c. Kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi sendiri atau dibantu orang lain

d. Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan

e. Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh keluarga

sebagai sumber informasi.   

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa Keperawatan yang biasanya muncul adalah :

1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak

2. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum

3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan odem otak

4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma)

5. Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada pasien.

6. Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak

adekuatnya sirkulasi perifer

21 | P a g e

Page 22: Askep Trauma Kepala

3.3 INTERVENSI

1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.

Tujuan : Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.

Kriteria evaluasi :

Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda

hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal.

Rencana tindakan :

a. Hitung pernapasan pasien dalam satu menit.  Pernapasan yang cepat dari

pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat

meningkatkan tekanan Pa Co2 dan menyebabkan asidosis respiratorik.

b. Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam

pemberian tidal volume.

c. Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih

panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi

terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas.

d. Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat

mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan meningkatkan

resiko infeksi.

e. Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat

menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan

penyebaran udara yang tidak adekuat.

f. Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu membarikan

ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator.

2. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum

Tujuan : Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi

Kriteria Evaluasi :

Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi alarm karena

peninggian suara mesin, sianosis tidak ada.

Rencana tindakan :

a. Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi dapat

disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah

terhadap tube.

22 | P a g e

Page 23: Askep Trauma Kepala

b. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan yang

simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan

tidak adanya penumpukan sputum.

c. Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum

banyak. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk

mencegah hipoksia.

d. Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk semua

bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum.

3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan Odem otak

Tujuan : Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi motorik.

Kriteria hasil :

Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial.

Rencana tindakan :

a. Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode GCS.

b. Monitor tanda-tanda  vital tiap 30 menit

c. Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan

d. Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan pengukuran

urin dan    hindari konstipasi yang berkepanjangan. Dapat mencetuskan respon

otomatik peningkatan intracranial

e. Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang.    

f. Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien

g. Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar (kolaborasi).

3.4 Implementasi

Implementasi merupakan tindakan yang sesuai dengan yang telah

direncanakan, mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi.

3.5 Evaluasi

Merupakan hasil perkembangan ibu dengan berpedoman kepada hasil dan

tujuan yang hendak dicapai.

23 | P a g e

Page 24: Askep Trauma Kepala

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Tengkorak sebagai pelindung jaringan otak mempunyai daya elastisistas untuk

membatasi trauma kepala bila terbentur benda tumpul.

2. Adanya fenomena yang meningkat setiap tahunnya untuk angka kejadian trauma

kepala.

3. Trauma kepala terdiri dari trauma kulit kepala, tulang kranial dan otak. Klasifikasi

cedera kepala meliputi trauma kepala tertutup dan trauma kepala terbuka yang

diakibatkan oleh mekanisme cedera yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera

perlambatan (deselerasi).

4. Cedera kepala primer pada trauma kepala menyebabkan edema serebral, laserasi

atau hemorragi. Sedangkan cedera kepala sekunder pada trauma kepala

menyebabkan berkurangnya kemampuan autoregulasi pang pada akhirnya

menyebabkan terjadinya hiperemia (peningkatan volume darah dan PTIK). Selain

itu juga dapat menyebabkan terjadinya cedera fokal serta cedera otak menyebar

yang berkaitan dengan kerusakan otak menyeluruh. Komplikasi dari trauma

kepala adalah hemorragi, infeksi, odema dan herniasi. Penatalaksanaan pada

pasien dengan trauma kepala adalah dilakukan observasi dalam 24 jam, tirah

baring, jika pasien muntah harus dipuasakan terlebih dahulu dan kolaborasi untuk

pemberian program terapi serta tindakan pembedahan.

4.2 Saran

1. Untuk mahasiswa diharapkan supaya lebih  bekerja sama dalam pembuatan

makalah asuhan keperawatan Trauma Kapitis.

2. Mahasiswa diharapkan supaya lebih aktif meningkatkan ilmu pengetahuan dan

keterampilan dalam bidang keperawatan khususnya Asuhan Keperawatan Trauma

Kapitis.

3. Untuk dosen supaya lebih banyak lagi memberikan pengetahuan tentang Gawat

Darurat.

24 | P a g e

Page 25: Askep Trauma Kepala

DAFTAR KEPUSTAKAAN

American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam: Advanced

Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia, penerjemah.

Edisi 7. Komisi trauma IKABI, 2004; 168-193.

Bedong MA. Cedera Jaringan Otak : Pengenalan dan Kemungkinan Penetalaksanaannya. Mei

2001 [31 Agustus 2007]; Diunduh

dari : http://www.tempo.ci.id/medica/arsip/052001/sek-1.htm

Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Elsevier Saunders, 2006; 685-

97.

Hartanto, Hurawati.2009. Kamus Saku Mosby. Jakarta. EGC

Mc Khann GM, Copass MK, Winn HR. Prehospital Care of the Head-Injuried Patient.

Dalam : Textbooks of Neurotrauma. Mc Graw Hill. 103-112

Rappaport WA, Brannan S. Head injury. Dalam: Surgery. Mosby Elsevier, 2005; 216-18.

Singh J. Head Trauma. 25 September 2006 [20 September 2007]; Topic 929: [11 screens].

Diunduh dari:http://www.emedicine.com/ped/topic929.htm

Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto H, Listiawati

E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi Klinik Untuk

Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006; 740-59.

Stein SC. Classification of the Head Injury. Dalam: Textbook of Neurotrauma. Mc. Graw-

Hill. 31-38.

Santosa, Budi. 2005-2006. Diagnosa Keperawatan NANDA. Jakarta : Prima  Medikal.

Rahariyani, Loetfia Dwi. 2008. Asuhan Keperawatan  Klien Trauma kepala,Jakarta: EGC

Wijanarka A, Dwiphrahasto. Implementasi Clinical Governance: Pengembangan Indikator

Klinik Cedera Kepala di Instalasi Gawat Darurat. Desember 2005 [4 September

2007] volume 8; [8 screens]

25 | P a g e