askep spondilitis ankilosis
DESCRIPTION
huhkjhTRANSCRIPT
ASKEP SPONDILITIS ANKILOSIS
BAB I
PENDAHULUAN
1 . LATAR BELAKANG
Spondilitis ankilosis (SA) merupakan penyakit inflamasi kronik, bersifat sistemik,
ditandai dengan kekakuan progresif, dan terutama menyerang sendi tulang belakang (vertebra)
dengan penyebab yang tidak diketahui. Penyakit ini dapat melibatkan sendi-sendi perifer,
sinovia, dan rawan sendi, serta terjadi osifikasi tendon dan ligamen yang akan mengakibatkan
fibrosis dan ankilosis tulang. Terserangnya sendi sakroiliaka merupakan tanda khas penyakit ini.
Ankilosis vertebra biasanya terjadi pada stadium lanjut dan jarang terjadi pada penderita yang
gejalanya ringan. Nama lain SA adalahMarie Strumpell disease atau Bechterew's disease1-2.
Penyakit ini termasuk jarang dan insidensnya sebanding dengan artritis rematoid. Sekitar
20% donor darah dengan HLA-B27 menderita kelainan sakroilitis. Manifestasi biasanya dimulai
pada masa remaja dan jarang di atas 40 tahun, lebih banyak pada pria daripada wanita (5 : 1).
Angka kekerapan bervariasi antara 1,0--4,7%.3-7. Dalam makalah ini, akan dibahas penanganan
spondilitis ankilosis.
Spondilitis TB adalah peradangan granulonatosa yang bersifat kronis, destruktif oleh
mikrobakterium TB. TB tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari focus ditempat
lain dalam tubuh. Percivall (1973) adalah penulis pertama tentang penyakit ini dan menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulnag belakang yang terjadi,
sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott. (Rasjad, 1998).
Spondilitis TB disebut juga penyakit Pott bila disertai paraplegi atau defisit neurologis.
Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra Th 8-L3 dan paling jarang pada vertebra
C2. Spondilitis TB biasanya mengenai korpus vertebra, sehingga jarang menyerang arkus
vertebra (Mansjoer, 2000).
Penyakit Pott adalah osteomielitis tuberculosis yang mengenai tulang belakang. (Brooker. 2001)
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa merupakan
peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif yang disebabkan oleh mikobakterium
tuberkulosa.
Tuberkulosis yang muncul pada tulang belakang merupakan tuberkulosis sekunder yang
biasanya berasal dari tuberkulosis ginjal. Berdasarkan statistik, spondilitis tuberkulosis atau
Pott’s disease paling sering ditemukan pada vertebra torakalis segmen posterior dan vertebra
lumbalis segmen anterior (T8-L3), coxae dan lutut serta paling jarang pada vertebra C1-2.
(1,2,3,4)
Tuberkulosis pada vertebra ini sering terlambat dideteksi karena hanya terasa nyeri
punggung/pinggang yang ringan. Pasien baru memeriksakan penyakitnya bila sudah timbul abses
ataupun kifosis
2 . TUJUAN PENULISAN
Mahasiswa Dapat Memahami Konsep Penyakit Spondilitis Ankilosa & Spondilitis TB
Mahasiswa Dapat Mengerti Tentang Konsep Asuhan Keperawatan Pada Klien Spondilitis
Ankilosa & Spondilitis TB
Mahasiswa Dapat Mengaplikasikan Konsep Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Muskuloskeletal: Spondilitis Ankilosa & Spondilitis TB
BAB II
TINJAUAN TEORI
I . KONSEP MEDIS
I.1 Spondilitis Ankylosing
A . Defenisi
Spondilitis ankilosis adalah suatu penyakit peradangan kronik progresif yang terutama
menyerang sendi sakroiliaka dan sendi-sendi tulang belakang. Dengan semakin berkembangnya
penyakit pada tulang belakang, maka jaringan lunak paravertebra dan sendi kostovertebralis
mungkin terserang juga (Price & Wilson, 1985), Sedangkan depkes (1995) mendefenisikan
spondilitas sebagai suatu peradangan kronis yang menimbulkan kekakuan dan biasanya
gangguan bersifat progresif pada sendi sakro iliaka dan sendi panggul, sendi-sendi sinovial pada
spinal dan jaringan-jaringan lunak di spinal.
B. Etiologi
Etiologi Patogenesis pada SA tidak begitu dipahami, tetapi SA merupakan penyakit yang
diperantari olehsistem imun, dibuktikan dengan adnya peningkatan IgA dan berhubungan erat
dengan HLA B27.Secara imunologi terdapat interaksi antara class I HLA molecule B27 dan
Limfosit T. Tumor necrosis factor (TNF-) teridentifikasi sebagai pengatur sitokin.
Kecenderungan terjadinya SA dipercayai sebagai penyakit yang diturunkan secara genetik, dan
mayoritas (hampir 90%) penderita SA lahir dengan suatu gen yang disebut dengan HLA B27.
Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan adanya HLA B27 gene marker
yang dapat menjelaskan adanya hubungan HLA B27 dengan SA. Adanya gen HLA B27 ini
hanya menunjukan adanya kecenderungan yang meningkat terhadap terjadinya SA ini meskipun
ada faktor lain yang mempengaruhi seperti lingkungan.Akhir-akhir ini, dua gen lain telah
teridentifikasi berhubungan dengan SA, yaitu ARTS1 dan Il23R yangmempunyai peran dalam
mempengaruhi fungsi imunitas.
C. Patofisiologi
Spondilitis ankilosis menyerang tulang rawan dan fibrokartilago sendi pada tulang
belakang dan ligamen – ligamen para vertebral. Apabila diskusvertebral \is juga terinvasi oleh
jaringan vaskular dan fibrosa maka akan timbul kalsifikasi sendi- sendi dan struktur
artikular .Kalsifikasi yang terjadi pada jaringan lunak akan menjembatani satu tulang vertebra
dengan vertebra lainnya.Jaringan sinovial disekitar sendi yang terserang akan
meradang .Penyakit jantung juga dapat timbul bersamaan dengan penyakit ini.
D. Insidensi
Penyakit ini termasuk jarang dan insidensnya sebanding dengan artritis rematoid. Sekitar
20% donor darah menderita kelainan sakroilitis. Manifestasi biasanya dimulai pada masa remaja
dan jarang di atas 40 tahun, lebih banyak pada pria daripada wanita (5 : 1). Angka kekerapan
bervariasi antara 1,0--4,7%.
E. Manifestasi Klinik
1. Gejala utama SA adalah adanya sakroilitis. Perlangsungannya secara gradual dengan nyeri
hilang timbul pada pinggang bawah dan menyebar ke bawah pada daerah paha
2. Gejala klinik SA dapat dibagi dalam manifestasi skeletal dan ekstraskeletal.
a. Manifestasi skeletal berupa artritis aksis, artritis sendi panggul dan bahu, artritis perifer,
entensopati, osteoporosis, dan fraktur vertebra. Keluhan yang umum dan karakteristik awal
penyakit ialah nyeri pinggang dan sering menjalar ke paha. Nyeri biasanya menetap lebih dari 3
bulan, disertai dengan kaku pinggang pada pagi hari, dan membaik dengan aktivitas fisik atau
bila dikompres air panas. Nyeri pinggang biasanya tumpul dan sukar ditentukan lokasinya, dapat
unilateral atau bilateral. Nyeri bilateral biasanya menetap, beberapa bulan kemudian daerah
pinggang bawah menjadi kaku dan nyeri. Nyeri ini lebih terasa seperti nyeri bokong dan
bertambah hebat bila batuk, bersin, atau pinggang mendadak terpuntir. Inaktivitas lama akan
menambah gejala nyeri dan kaku. Keluhan nyeri dan kaku pinggang merupakan keluhan dari
75% kasus di klinik. Nyeri tulang juksta-artikular dapat menjadi keluhan utama, misalnya entesis
yang dapat menyebabkan nyeri di sambungan kostosternal, prosesus spinosus, krista iliaka,
trokanter mayor, tuberositas tibia atau tumit. Keluhan lain dapat berasal dari sendi kostovertebra
dan manubriosternal yang menyebabkan keluhan nyeri dada, sering disalahdiagnosiskan sebagai
angina.
b. Manifestasi ekstraskeletal berupa iritis akut, fibrosis paru, dan amiloidosis. Manifestasi di luar
tulang terjadi pada mata, jantung, paru, dan sindroma kauda ekuina. Manifestasi di luar tulang
yang paling sering adalah uveitis anterior akut, biasanya unilateral, dan ditemukan 25--30% pada
penderita SA dengan gejala nyeri, lakrimasi, fotofobia, dan penglihatan kabur. Manifestasi pada
jantung dapat berupa aorta insufisiensi, dilatasi pangkal aorta, jantung membesar, dan gangguan
konduksi. Pada paru dapat terjadi fibrosis, umumnya setelah 20 tahun menderita SA, dengan
lokasi pada bagian atas, biasanya bilateral, dan tampak bercak-bercak linier pada pemeriksaan
radiologis, menyerupai tuberkulosis
3. Keluhan konstitusional biasanya sangat ringan, seperti anoreksia, kelemahan, penurunan berat
badan, dan panas ringan yang biasanya terjadi pada awal penyakit.
F. Pemeriksaan Fisik
Pada stadium awal dapat ditemukan tanda sakroilitis yang ditandai dengan nyeri tekan pada
sendi sakroiliaka. Stadium berikutnya, rasa nyeri dapat hilang karena peradangan diganti dengan
fibrosis dan atau dengan ankilosis. Pada stadium lanjut ditemukan keterbatasan gerak vertebra ke
semua arah yang dapat dinilai dengan gerak laterofleksi, hiperekstensi, anterofleksi, dan rotasi.
Uji Schober sangat berguna untuk menilai keterbatasan sendi. Pemeriksa harus memperhatikan:
1. Spasme otot-otot paravertebra dan hilangnya lordosis vertebra.
2. Menurunnya mobilitas spinal ke arah anterior dan lateral.
3. Pinggang bagian bawah sukar dibengkokkan bila membungkuk
4. Berkurangnyaekspansidada
5. Nyeri di daerah prosesus spinosus torakolumbal, persendian sakroiliaka dan daerah sternum,
klavikula, krista iliaka, atau tumit.
Uji Scober dilakukan dengan posisi berdiri tegak, kemudian dibuat tanda titik pada kulit di atas
prosesus spinosus vertebra lumbal lima, kurang lebih setinggi spina iliaka posterior superior, dan
titik kedua 10 cm di atas titik pertama. Penderita diminta membungkukkan punggungnya tanpa
menekuk lutut. Normalnya, jarak kedua titik akan bertambah 5 cm atau lebih. Apabila kurang
dari 15 cm menunjukkan adanya keterbatasan gerak. Pemeriksaan ekspansi rongga dada
dilakukan dengan cara mengambil selisih jarak antara inspirasi dan ekspirasi maksimal, diukur
pada sela iga4. Normalnya, selisih ini 6—10cm.
G. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada uji diagnostik yang patognomonik. Peninggian laju endap darah ditemukan pada 75%
kasus, tetapi hubungannya dengan keaktifan penyakit kurang kuat. Serum C reactive
protein (CRP) lebih baik digunakan sebagai petanda keaktifan penyakit. Kadang-kadang,
ditemukan peninggian IgA. Faktor rematoid dan ANA selalu negatif. Cairan sendi memberikan
gambaran sama pada inflamasi. Anemia normositik-normositer ringan ditemukan pada 15%
kasus. Pemeriksaan HLA - B27 dapat digunakan sebagai pembantu diagnosis.
H. Pemeriksaan Radiologi
Kelainan radiologis yang khas pada SA dapat dilihat pada sendi aksial, terutama pada sendi
sakroiliaka, diskovertebral, apofisial, kostovertebral, dan kostotransversal. Perubahan pada sendi
S2 bersifat bilateral dan simetrik, dimulai dengan kaburnya gambaran tulang subkonral, diikuti
erosi yang memberi gambaran mirip pinggir perangko pos. Kemudian, terjadi penyempitan celah
sendi akibat adanya jembatan interoseus dan osilikasi. Setelah beberapa tahun, terjadi ankilosis
yang komplit. Beratnya proses sakroilitis terdiri dari 5 tingkatan berdasarkan radiologis, yaitu
tingkat 0 (normal), tingkat 1 (tepi sendi menjadi kabur), tingkat 2 (tingkat 1 ditambah adanya
sclerosis periartikuler, jembatan sebagian tulang atau pseudo widening, tingkat 3 (tingkat 2
ditambah adanya erosi dan jembatan tulang), serta tingkat 4 (ankilosa yang lengkap). Akan
terlihat gambaran squaring (segi empat sama sisi) pada kolumna vertebra dan osifikasi bertahap
lapisan superfisial anulus fibrosus yang akan mengakibatkan timbulnya jembatan di antara badan
vertebra yang disebut sindesmofit. Apabila jembatan ini sampai pada vertebra servikal, akan
membentuk bamboo spine. Keterlibatan sendi panggul memperlihatkan adanya penyempitan
celah sendi yang konsentris, ketidakteraturan subkhondral, serta formasi osteofit pada tepi luar
permukaan sendi, baik pada asetabulum maupun femoral. Akhirnya, terjadi ankilosis tulang dan
pada sendi bahu memperlihatkan penyempitan celah sendi dengan erosi.
I. Diagnosis
Agak sulit menegakkan diagnosis dini SA sebelum timbulnya deformitas yang ireversibel.
Diagnosis SA dapat ditegakkan berdasarkan Kriteria New York 1984 yang dimodifikasi
Kriteria klinis:
1. Keterbatasan gerak vertebra lumbal terhadap bidang frontal dan sagital.
2. Nyeri pinggang bawah lebih dari 3 bulan, menjadi baik dengan latihan dan tidak hilang dengan
istirahat.
3. Penurunan ekspansi dada.
Kriteria radiologis:
1. Sakroilitis bilateral tingkat
2. Sakroilitisunilateraltingkat.
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan minimal 1 kriteria radiologis ditambah 1 kriteriaklinis
Pemeriksaan B27 tidak hanya berguna sebagai penunjang diagnosis, tetapi juga bermanfaat
dalam diagnostik awal sebelum timbulnya kelainan radiologis. Beberapa studi menunjukkan
kelompok B27 dengan gejala khas SA tanpa kelainan radiologis (sakroilitis) sebagian besar
memperlihatkan kelainan radilogis setelah beberapa tahun kemudian.
J. Perawatan :
1. Menghilangkan nyeri
2. Mengurangi inflamasi
3. Latihan fisik untuk perbaikan kekuatan otot, dan memelihara postur tubuh. Latihan fisik
penting dilakukan karena penyakit ini cenderung terjadi kelainan berupa fleksi spinal yang
progresif. Oleh karena itu, otot-otot ekstensor spinal harus diperkuat.
a. Penderita dianjurkan tidur terlentang menggunakan kasur yang agak keras dengan sebuah
bantal tipis. Menggunakan bantal yang tebal atau beberapa bantal sebaiknya dihindari. Pada pagi
hari, mandi air hangat, diikuti latihan fisik untuk penguatan otot-otot belakang (sesuai dengan
petunjuk dokter atau dokter fisioterapi). Hal ini sebaiknya dilakukan di rumah secara teratur.
Tidur tengkurap selama beberapa menit dilakukan beberapa kali dalam sehari merupakan
tindakan yang bermanfaat dalam menjaga pergerakan ekstensi spinal.
b. Berenang merupakan latihan fisik yang terbaik selama otot-otot masih boleh menahan dalam
keadaan ekstensi. Fusi spinal merupakan komplikasi dari spondilitis. Karena itu, postur harus
dipertahankan dan menghindari terjadinya kontraktur dalam posisi fleksi dari bahu dan lutut.
Penderita dianjurkan setiap saat tegak, seolah-olah tumit, bokong, pundak, bahu, dan belakang
kepala selalu bersandar pada dinding.
c. Manuver lain yang perlu dilakukan adalah bernapas dalam dan gerakan fleksi lumbal yang
isometrik. Posisi postur tubuh harus diperhatikan setiap saat. Kursi dengan sandaran yang keras
dianjurkan, tetapi diutamakan lebih banyak berjalan dari pada duduk.
K. Pengobatan
Pengobatan dengan obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS) untuk mengurangi nyeri,
mengurangi inflamasi, dan memperbaiki kualitas hidup penderita. Indometasin 75--150 mg
perhari (Areumakin, Benocid, Dialorir, Confortid) memegang rekor terbaik. Apabila penderita
tidak mampu mentolerir efek samping seperti gangguan lambung atau gangguan SSP berupa
sakit kepala dan pusing, maka AINS yang lain dapat dicoba.
Penderita yang tidak responsif dengan indometasin atau AINS yang baru lainnya dapat dicoba
dengan fenilbutazon 100-300 mg perhari. Tingginya insidens agranulositosis atau anemia
aplastik akibat efek samping obat ini dibandingkan dengan AINS yang lain perlu disampaikan
pada penderita. Jumlah eritrosit dan lekosit harus selalu dimonitor.
Preparat emas dan penisilamin telah digunakan pada penderita dengan poliatritis perifer.
Publikasi studi klinik terakhir dari sulfasalazin 2--3 gr perhari (Sulcolon tab. 500 mg)
menunjukkan adanya perbaikan, baik nyeri maupun kelainan spinal.
Bila keluhan sangat mengganggu dalam kegiatan sehari-hari dapat dipertimbangkan untuk
dilakukan artroplasti atau koreksi deformitas spinal. Tindakan ini sangat berguna untuk
mengurangi keluhan akibat deformitas tersebut.
L. Prognosis
Prognosis dari SA sangat bervariasi dan susah diprediksi. Secara umum, penderita lebih
cenderung dengan pergerakan yang normal daripada timbulnya restriksi berat. Keterlibatan
ekstraspinal yang progresif merupakan determinan penting dalam menentukan prognosis.
Beberapa survei epidemiologis menunjukkan bahwa apabila penyakitnya ringan, berkurangnya
pergerakan spinal yang ringan, dan berlangsung dalam 10 tahun pertama maka perkembangan
penyakitnya tidak akan memberat. Keterlibatan sendi-sendi perifer yang berat menunjukkan
prognosis buruk. Sebagian besar penderita dengan SA memperlihatkan keluhan serta
perlangsungan yang ringan dan dapat dikontrol sehingga dapat menjalankan tugas dan kehidupan
sosial dengan baik.
Secara umum, wanita lebih ringan dan jarang progresif serta lebih banyak
memperlihatkan keterlibatan sendi-sendi perifer. Sebaliknya, bamboo spine lebih sering terlihat
pada pria. Terdapat dua gambaran yang secara langsung berpengaruh terhadap morbiditas,
mortalitas, dan prognosis. Keduanya dianggap sebagai akibat dari trauma, baik yang tidak
disadari maupun trauma berat. Awalnya, terjadi lesi destruksi pada salah satu diskovertebra,
biasa terjadi pada segmen spinal yang bisa dilokalisir, dan ditandai dengan nyeri akut atau
berkurangnya tinggi badan yang mendadak. Skintigrafi dan tomografi tulang memperlihatkan
kelainan, baik elemen anterior maupun posterior. Imobilisasi yang tepat dan diperpanjang dapat
memberikan penyembuhan pada sebagian besar kasus. Komplikasi kedua yang menyusul trauma
berat maupun yang ringan berupa fraktur yang dapat menyebabkan koropresi komplit atau
inkomplit.
I.2 Spondilitis Tuberculosis
A. Defenisi
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi granulomatosis
di sebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycubacterium tuberculosa yang mengenai tulang
vertebra (Abdurrahman, et al 1994; 144 )
Spondilitis TB adalah peradangan granulonatosa yang bersifat kronis, destruktif oleh
mikrobakterium TB. TB tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari focus ditempat
lain dalam tubuh. Percivall (1973) adalah penulis pertama tentang penyakit ini dan menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulnag belakang yang terjadi,
sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott. (Rasjad, 1998).
Spondilitis TB disebut juga penyakit Pott bila disertai paraplegi atau defisit neurologis.
Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra Th 8-L3 dan paling jarang pada vertebra
C2. Spondilitis TB biasanya mengenai korpus vertebra, sehingga jarang menyerang arkus
vertebra (Mansjoer, 2000).
Penyakit Pott adalah osteomielitis tuberculosis yang mengenai tulang belakang. (Brooker. 2001)
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa
merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif yang disebabkan oleh
mikobakterium tuberkulosa.
Tuberkulosis yang muncul pada tulang belakang merupakan tuberkulosis sekunder yang
biasanya berasal dari tuberkulosis ginjal. Berdasarkan statistik, spondilitis tuberkulosis atau
Pott’s disease paling sering ditemukan pada vertebra torakalis segmen posterior dan vertebra
lumbalis segmen anterior (T8-L3), coxae dan lutut serta paling jarang pada vertebra C1-2.
(1,2,3,4)
Tuberkulosis pada vertebra ini sering terlambat dideteksi karena hanya terasa nyeri
punggung/pinggang yang ringan. Pasien baru memeriksakan penyakitnya bila sudah timbul abses
ataupun kifosis.
B.Etiologi
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat
lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human
dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Kuman ini berbentuk
batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu
disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam
jaringan tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama selama beberapa tahun. (Rasjad. 1998)
C.Manifestasi Klinis
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala tuberkulosis
pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu
sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada anak-
anak sering disertai dengan menangis pada malam hari. (Rasjad. 1998)
Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut,kemudian
diikuti dengan paraparesis yang lambat laun makin memberat, spastisitas, klonus,, hiper-refleksia
dan refleks Babinski bilateral. Pada stadium awal ini belum ditemukan deformitas tulang
vertebra, demikian pula belum terdapat nyeri ketok pada vertebra yang bersangkutan. Nyeri
spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal, dan komplikasi neurologis merupakan tanda
terjadinya destruksi yang lebih lanjut. Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50%
kasus,termasuk akibat penekanan medulla spinalis yang menyebabkan paraplegia, paraparesis,
ataupun nyeri radix saraf. Tanda yang biasa ditemukan di antaranya adalah adanya kifosis
(gibbus), bengkak pada daerah paravertebra, dan tanda-tanda defisit neurologis seperti yang
sudah disebutkan di atas. (Harsono,2003)
Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di daerah belakang kepala,
gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses retrofaring. Harus diingat pada
mulanya penekanan mulai dari bagian anterior sehingga gejala klinis yang muncul terutama
gangguan motorik. Gangguan sensorik pada stadium awal jarang dijumpai kecuali bila bagian
posterior tulang juga terlibat. (Harsono,2003)
D.Patofisiologi
Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang sifatnya sekunder dari
TBC tempat lain di tubuh. Penyebarannya secara hematogen, di duga terjadinya penyakit
tersebut sering karena penyebaran hematogen dari infeksi traktus urinarius melalui leksus
Batson. Infeksi TBC vertebra di tandai dengan proses destruksi tulang progresif tetapi lambat di
bagian depan (anterior vertebral body).Penyebaran dari jaringan yang mengalami pengejuan
akan menghalangi proses pembentukan tulang sehingga berbentuk "tuberculos squestra". Sedang
jaringan granulasi TBC akan penetrasi ke korteks dan terbentuk abses para vertebral yang dapat
menjalar ke atas / bawah lewat ligamentum longitudinal anterior dan posterior. Sedang diskus
Intervertebralis oleh karena avaskular lebih resisten tetapi akan mengalami dehidrasi dan terjadi
penyempitan oleh karenadirusak jaringan granulasi TBC. Kerusakan progresif bagian anterior
vertebra akan menimbulkan kiposis.
Pathways
E.Komplikasi
Komplikasi dari spondilitis tuberkulosis yang paling serius adalah Pott’s paraplegia yang
apabila muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun sequester,
atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis dan bila muncul pada stadium lanjut
disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing)
di atas kanalis spinalis.
Mielografi dan MRI sangatlah bermanfaat untuk membedakan penyebab paraplegi ini. Paraplegi
yang disebabkan oleh tekanan ekstradural oleh pus ataupun sequester membutuhkan tindakan
operatif dengan cara dekompresi medulla spinalis dan saraf.
Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah ruptur dari abses paravertebra torakal ke dalam
pleura sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis, sedangkan pada vertebra lumbal maka
nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold abscess.
F. Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap :leukositosis, LED meningkat
2) Uji mantoux (+) TB
3) Uji kultur : biakan batkeri
4) Biopsi, jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional
5) Pemeriksaan hispatologis : dapat ditemukan tuberkel
B. Pemeriksaan Radiologis
a) Foto toraks / X – ray
b) Pemeriksaan foto dengan zat kontras
c) Foto polos vertebra
d) Pemeriksaan mielografi
e) CT scan atau CT dengan mielografi
f) MRI
G.Penatalaksanaan Medis
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera
mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia.
Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut :
1. Pemberian obat antituberkulosis
2. Dekompresi medulla spinalis
3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)
Pengobatan terdiri atas :
1. Terapi konservatif berupa:
Tirah baring (bed rest)
Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak vertebra
Memperbaiki keadaan umum penderita
Pengobatan antituberkulosa
Standar pengobatan di indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah :
- Kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA(-)/rontgen (+), diberikan dalam 2 tahap
Tahap 1 : Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg dan Pirazinamid 1.500 mg. Obat
ini diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
Tahap 2: Rifampisin 450 mg, INH 600 mg, diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 4
bulan (54 kali).
- Kategori 2
Untuk penderita BTA(+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan, termasuk penderita
dengan BTA (+) yang kambuh/gagal yang diberikan dalam 2 tahap yaitu :
· Tahap I diberikan Streptomisin 750 mg , INH 300 mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid
1500mg dan Etambutol 750 mg. Obat ini diberikan setiap hari , Streptomisin injeksi hanya 2
bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
· Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol 1250 mg. Obat diberikan 3
kali seminggu (intermitten) selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita bertambah baik, laju
endap darah menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang serta
gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra.
2. Terapi operatif
Indikasi operasi yaitu:
• Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat.
Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa
diberikan obat tuberkulostatik.
• Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan sekaligus
debrideman serta bone graft
• Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan CT dan
MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medulla spinalis.
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita tuberkulosis
tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang peranan penting dalam beberapa hal,
yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.
Abses Dingin (Cold Abses)
Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat terjadi resorbsi
spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah. Ada
tiga cara menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:
a. Debrideman fokal
b. Kosto-transveresektomi
c. Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:
a. Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata
b. Laminektomi
c. Kosto-transveresektomi
d. Operasi radikal
e. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang
Operasi kifosis
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat,. Kifosis mempunyai tendensi untuk
bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior atau
melalui operasi radikal.
Operasi PSSW
Operasi PSSW adalah operasi fraktur tulang belakang dan pengobatan tbc tulang belakang yang
disebut total treatment (1989).
Metode ini mengobati tbc tulang belakang berdasarkan masalah dan bukan hanya sebagai infeksi
tbc yang dapat dilakukan oleh semua dokter. Tujuannya, penyembuhan TBC tulang belakang
dengan tulang belakang yang stabil, tidak ada rasa nyeri, tanpa deformitas yang menyolok dan
dengan kembalinya fungsi tulang belakang, penderita dapat kembali ke dalam masyarakat,
kembali pada pekerjaan dan keluarganya.
H.Dampak Masalah
a) Terhadap Individu.
Sebagai orang sakit, khusus klien spondilitis tuberkolosa akan mengalami suatau perubahan, baik
itu bio, psiko sosial dan spiritual yang akan selalu menimbulkan dampak yang di karenakan baik
itu oleh proses penyakit ataupun pengobatan dan perawatan oleh karena adanya perubahan
tersebut akan mempengaruhi pola - pola fungsi kesehatan antara lain :
1. Pola nutrisi dan metabolisme.
Akibat proses penyakitnya klien merasakan tubuhnya menjadi lemah dan anoreksia, sedangkan
kebutuhan metabolisme tubuh semakin meningkat sehingga klien akan mengalami gangguan
pada status nutrisinya.
2. Pola aktifitas.
Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik nyeri pada punggung menyebabkan klien
membatasi aktifitas fisik dan berkurangnya kemampuan dalam melaksanakan aktifitas fisik
tersebut.
3. Pola persepsi dan konsep diri.
Klien dengan Spondilitis teberkulosa seringkali merasa malu terhadap bentuk tubuhnya dan
kadang - kadang mengisolasi diri.
b) Dampak terhadap keluarga.
Dalam sebuah keluarga, jika salah satu anggota keluarga sakit, maka yang lain akan merasakan
akibatnya yang akan mempengaruhi atau merubah segala kondisi aktivitas rutin dalam keluarga
itu.
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
II.I Pada Spondilitis Ankylosing
I. Pengkajian
a. Nyeri / ketidaknyamanan
Nyeri pinggang bawah lebih dari 3 bulan, menjadi baik dengan latihan dan tidak hilang dengan
istirahat. Nyeri pinggang biasanya tumpul dan sukar ditentukan lokasinya, dapat unilateral atau
bilateral. Nyeri bilateral biasanya menetap, beberapa bulan kemudian daerah pinggang bawah
menjadi kaku dan nyeri. Nyeri ini lebih terasa seperti nyeri bokong dan bertambah hebat bila
batuk, bersin, atau pinggang mendadak terpuntir. Inaktivitas lama akan menambah gejala nyeri
dan kaku
b. Aktivitas / istrahat
· Spasme otot-otot paravertebra dan hilangnya lordosis vertebra,Menurunnya mobilitas spinal ke
arah anterior dan lateral,Pinggang bagian bawah sukar dibengkokkan bila membungkuk.Pada
stadium lanjut ditemukan keterbatasan gerak vertebra ke semua arah yang dapat dinilai dengan
gerak laterofleksi, hiperekstensi, anterofleksi, dan rotasi.
· Pasien nampak berhati – hati dalam beraktifitas ,punggung selalu dijaga untuk tidak bergerak
2.Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
2. Gangguan Mobilitas fisik b/d nyeri,kekakuan (ankilosis), spasme otot
3.Kurang pengetahuan berhubungan dengan tekhnik mekanika tubuh melindungi punggung
3.Intervensi Keperawatan
1. Diagnosa Keperawatan : Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
Intervensi Keperawatan :
Tindakan Mandiri Perawat :
a.Bimbing pasien menjelaskan ketidaknyamanannnya mis, lokasi,beratnya,durasi,sifat,
penjalaran nyeri, penjelasan mengenai bagaimana nyeri dengan tindakan tertentu mis membuka
pintu garasi
R/ Membantu menentukan pilihan intervensi dan memberikan dasar untuk perbandingan dan
evaluasi terhadap terapi
b. Pertahankan tirah baring dan mengubah posisi yang ditentukan untuk memperbaiki fleksi
lumbal dengan cara meletakkan pasien pada posisi semifowler dengan tulang spinal ,lutut dan
pinggang dalam keadaan fleksi , posisi terlentang dengan atau tanpa meninggikan kepala 10 – 30
derajat atau pada posisi lateral.
R/ Tirah baring dalam posisi yang nyaman memungkinkan pasien untuk menurunkan spasme
otot, menurunkan penekanan pada bagian tubuh tertentu dan memfasilitasi terjadinya tonjolan
diskus dan reduksi
c. Batasi aktivitas selama fase akut sesuai kebutuhan
R/ menurunkan gaya ravitasi dan gerak yang dapat menghilangkan spasme otot dan menurunkan
edema dan tekanan pada struktur sekitar diskus intervertebralis yang terkena.
d. Gunakan logroll ( papan ,penopang ) dalam jangka waktu yag terbatas
R/ Mengurangi fleksi, perputaran, desakan pada daerah belakang tubuh sehingga nyeri dan
spasme otot dapat berkurang.
e. Ajarkan pernafasan diafragma dan relaksasi
f. Alihkan perhatian pasien dari nyeri pada aktifitas lain mis nonton TV,membaca, bercakap –
cakap dll )
g. Ajarkan imajinasi berbibimbing dimana pasien yang telah relaks belajar memusatkan diri pada
kejadian yang menyenangkan .
Kolaborasi medis
1. Berikan tempat tidur ortopedik
R/ memberikan sokongan dan menurunkan sokongan dan menurunkan fleksi spinal sehingga
dapat menurunkan spasme.
2. Pemberian obat anti radang non – steroid ( NSAID) seperti Indometasin, Analgesik seperti
asetaminofen dan relaksan otot
R/ Indometasin memiliki kemampuan menghambat prostaglandin yang tinggi dan waktu paruh
yang lama .
3. Konsultasikan ahli tarapi fisik
R/ Program latihan/ peregangan yang spesifik dapat menghilangkan spasme otot dan menguatkan
otot – otot punggung,ekstensor,atot abdomen,otot quadrisep untuk menigkatkan sokongan
terhadap daerah lumbal.
2. Diagnosa Keperawatan : Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dngan nyeri,kekakuan
(ankilosis), spasme otot
Intervensi Keperawatan :
a. Pantau mobilitas fisik melalaui pengkajian kontinyu ,(bagaimana pasien bergerak dan berdiri).
b. Bantu pasien dalam melakukan ambulasi progresif , perubahan posisi harus dilakukan dengan
perlahan dan dilakukan dengan bantuan bila perlu
R/ Keterbatasan aktivitas bergantung pada kondisi yang khusus tetapi biasanya berkembang
dengan lambat ssuai toleransi .
c. Dorong pasien mematuhi program latihan sesuai yang ditetapkan , pada kebanyakan proram
latihan dianjurkan pasien melakukan latihan 2 kali sehari yang bertujuan untuk memperkuat otot
abdominal dan batang tubuh, mengurangi lordosis,meningkatkan kelenturan dan mengurangi
ketegangan pada punggung.
R/ Latihan yang salah justru dapat memperberat keadaan/menambah spasme otot.
3. Diagnosa Keperawatan : Kurang pengetahuan berhubungan dengan tekhnik mekanika tubuh
melindungi punggung
Intervensi Keperawatan :
a. Jelaskan kembali proses penyakit dan prognosis serta mekanika tubuh yang baik untuk
memperbaiki posisi tubuh.
R/ Pengetahuan dasar yang memadai memungkinkan pasien untuk membuat pilihan yang tepat,
dapat meningkatkan kerjasama pasien mengenai program pengobatan .
b. Berikan informasi tentang berbagai hal dan instruksikan pasien untuk melakukan perubahan ”
makanika tubuh ” dengan melakukan latihan , termasuk informasi mengenai mekanika tubuh
untuk berdiri, duduk,berbaring dan mengangkat barang yang benar.
R/ Menurunkan resiko terjadinya trauma berulang dari leher / punggung dengan menggunakan
otot – otot bokong.
c. Penderita dianjurkan setiap saat tegak, seolah-olah tumit, bokong, pundak, bahu, dan belakang
kepala selalu bersandar pada dinding.
R/ Posisi yang benar dapat mempertahankan postur dan menghindari terjadinya kontraktur dalam
posisi fleksi dari bahu dan lutut.
I.2 Pada Spondilitis Tuberculosis
A. Pengkajian
A. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Spondilitis
Proses keperawatan adalah suatu sistem dalam merencanakan pelayanan asuhan keperawatan dan
juga sebagai alat dalam melaksanakan praktek keperawatan yang terdiri dari lima tahap yang
meliputi : pengkajian, penentuan diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan
evaluasi. ( Lismidar, 1990 : IX ).
1. Pengkajian.
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan. Pengkajian di lakukan
dengan cermat untuk mengenal masalah klien, agar dapat memeri arah kepada tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat tergantung pada kecermatan dan ketelitian
dalam tahap pengkajian. Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan yaitu : pengumpulan data,
pengelompokan data, perumusan diagnosa keperawatan. ( Lismidar 1990 : 1)
a. Pengumpulan data.
Secara tehnis pengumpulan data di lakukan melalui anamnesa baik pada klien, keluarga maupun
orang terdekat dengan klien. Pemeriksaan fisik di lakukan dengan cara , inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi.
1) Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan, agama,
suku bangsa, pendidikan, alamat, tanggal/jam MRS dan diagnosa medis.
2) Riwayat penyakit sekarang.
Keluhan utama pada klien Spodilitis tuberkulosa terdapat nyeri pada punggung bagian bawah,
sehingga mendorong klien berobat kerumah sakit. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang
mengelilingi dada atau perut. Nyeri dirasakan meningkat pada malam hari dan bertambah berat
terutama pada saat pergerakan tulang belakang. Selain adanya keluhan utama tersebut klien bisa
mengeluh, nafsu makan menurun, badan terasa lemah, sumer-sumer (Jawa) , keringat dingin dan
penurunan berat badan.
3) Riwayat penyakit dahulu
Tentang terjadinya penyakit Spondilitis tuberkulosa biasany pada klien di dahului dengan adanya
riwayat pernah menderita penyakit tuberkulosis paru. ( R. Sjamsu hidajat, 1997 : 20).
4) Riwayat kesehatan keluarga.
Pada klien dengan penyakit Spondilitis tuberkulosa salah satu penyebab timbulnya adalah klien
pernah atau masih kontak dengan penderita lain yang menderita penyakit tuberkulosis atau pada
lingkungan keluarga ada yang menderita penyakit menular tersebut.
5) Riwayat psikososial
Klien akan merasa cemas terhadap penyakit yang di derita, sehingga kan kelihatan sedih, dengan
kurangnya pengetahuan tentang penyakit, pengobatan dan perawatan terhadapnya maka
penderita akan merasa takut dan bertambah cemas sehingga emosinya akan tidak stabil dan
mempengaruhi sosialisai penderita.
6) Pola - pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.
Adanya tindakan medis serta perawatan di rumah sakit akan mempengaruhi persepsi klien
tentang kebiasaan merawat diri , yang dikarenakan tidak semua klien mengerti benar perjalanan
penyakitnya.Sehingga menimbulkan salah persepsi dalam pemeliharaan kesehatan. Dan juga
kemungkinan terdapatnya riwayat tentang keadaan perumahan, gizi dan tingkat ekonomi klien
yang mempengaruhi keadaan kesehatan klien.
b. Pola nutrisi dan metabolisme.
Akibat dari proses penyakitnya klien merasakan tubuhnya menjadi lemah dan amnesia.
Sedangkan kebutuhan metabolisme tubuh semakin meningkat, sehingga klien akan mengalami
gangguan pada status nutrisinya. ( Abdurahman, et al 1994 : 144)
c. Pola eliminasi.
Klien akan mengalami perubahan dalam cara eliminasi yang semula bisa ke kamar mandi, karena
lemah dan nyeri pada punggung serta dengan adanya penata laksanaan perawatan imobilisasi,
sehingga kalau mau BAB dan BAK harus ditempat tidur dengan suatu alat. Dengan adanya
perubahan tersebut klien tidak terbiasa sehingga akan mengganggu proses aliminasi.
d. Pola aktivitas.
Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik dan nyeri pada punggung serta penatalaksanaan
perawatan imobilisasi akan menyebabkan klien membatasi aktivitas fisik dan berkurangnya
kemampuan dalam melaksanakan aktivitas fisik tersebut.
e. Pola tidur dan istirahat.
Adanya nyeri pada punggung dan perubahan lingkungan atau dampak hospitalisasi akan
menyebabkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan tidur dan istirahat.
f. Pola hubungan dan peran.
Sejak sakit dan masuk rumah sakit klien mengalami perubahan peran atau tidak mampu
menjalani peran sebagai mana mestinya, baik itu peran dalam keluarga ataupun masyarakat. Hal
tersebut berdampak terganggunya hubungan interpersonal.
g. Pola persepsi dan konsep diri.
Klien dengan Spondilitis tuberkulosa seringkali merasa malu terhadap bentuk tubuhnya dan
kadang - kadang mengisolasi diri.
h. Pola sensori dan kognitif.
Fungsi panca indera klien tidak mengalami gangguan terkecuali bila terjadi komplikasi
paraplegi.
i. Pola reproduksi seksual.
Kebutuhan seksual klien dalam hal melakukan hubungan badan akan terganggu untuk sementara
waktu, karena di rumah sakit. Tetapi dalam hal curahan kasih sayang dan perhatian dari
pasangan hidupnya melalui cara merawat sehari - hari tidak terganggu atau dapat dilaksanakan.
j. Pola penaggulangan stres.
Dalam penanggulangan stres bagi klien yang belum mengerti penyakitnya , akan mengalami
stres. Untuk mengatasi rasa cemas yang menimbulkan rasa stres, klien akan bertanya - tanya
tentang penyakitnya untuk mengurangi stres.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan.
Pada klien yang dalam kehidupan sehari - hari selalu taat menjalankan ibadah, maka semasa dia
sakit ia akan menjalankan ibadah pula sesuai dengan kemampuannya. Dalam hal ini ibadah bagi
mereka di jalankan pula sebagai penaggulangan stres dengan percaya pada tuhannya.
7) Pemeriksaan fisik.
a. Inspeksi.
Pada klien dengan Spondilitis tuberkulosa kelihatan lemah, pucat, dan pada tulang belakang
terlihat bentuk kiposis.
b. Palpasi.
Sesuai dengan yang terlihat pada inspeksi keadaan tulang belakang terdapat adanya gibus pada
area tulang yang mengalami infeksi.
c. Perkusi.
Pada tulang belakang yang mengalami infeksi terdapat nyeri ketok.
d. Auskultasi
Pada pemeriksaan auskultasi keadaan paru tidak di temukan kelainan.
(Abdurahman, et al 1994 : 145 ).
8) Hasil pemeriksaan medik dan laboratorium.
a. Radiologi
- Terlihat gambaran distruksi vertebra terutama bagian anterior, sangat jarang menyerang area
posterior.
- Terdapat penyempitan diskus.
- Gambaran abses para vertebral ( fusi form ).
b. Laboratorium
- Laju endap darah meningkat
c. Tes tuberkulin.
- Reaksi tuberkulin biasanya positif
b. Analisa.
Setelah data di kumpulkan kemudian dikelompokkan menurut data subjektif yaitu data yang
didapat dari pasien sendiri dalm hal komukasi atau data verbal dan objektiv yaitu data yang
didapat dari pengamatan, observasi, pengukuran dan hasil pemeriksaan radiologi maupun
laboratorium. Dari hasil analisa data dapat disimpulkan masalah yang di alami oleh klien. ( Mi Ja
Kim,et al 1994 ).
c. Diagnosa Keperawatan.
Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan dari masalah klien yang nyata ataupun
potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan, yang pemecahannya dapat dilakukan dalam
batas wewenang perawat untuk melakukannya. ( Tim Departemen Kesehatan RI, 1991 : 17 ).
Diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien Spondilitis tuberkulosa adalah:
a. Gangguan mobilitas fisik
b. Gangguan rasa nyaman ; nyeri sendi dan otot.
c. Perubahan konsep diri : Body image.
d. Kurang pengetahuan tentang perawatan di rumah.
( Susan Martin Tucker, 1998 : 445 )
d. Perencanaan Keperawatan.
Perencanaan keperawatan adalah menyusun rencana tindakan keperawatan yang akan di
laksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan yang telah di
tentukan dengan tujuan terpenuhinya kebutuhan klien
( Tim Departemen Kesehatan RI, 1991 :20 ).
Adapun perencanaan masalah yang penulis susun sebagai berikut :
a. Diagnosa Perawatan I
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal dan nyeri.
1. Tujuan
Klien dapat melakukan mobilisasi secara optimal.
2. Kriteria hasil
a) Klien dapat ikut serta dalam program latihan
b) Mencari bantuan sesuai kebutuhan
c) Mempertahankan koordinasi dan mobilitas sesuai tingkat optimal.
3. Rencana tindakan
a) Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan kerusakan.
b) Bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri sesuai toleransi.
c) Memelihara bentuk spinal yaitu dengan cara :
1) mattress
2) Bed Board ( tempat tidur dengan alas kayu, atau kasur busa yang keras yang tidak
menimbulkan lekukan saat klien tidur.
d) mempertahankan postur tubuh yang baik dan latihan pernapasan ;
1) Latihan ekstensi batang tubuh baik posisi berdiri ( bersandar pada tembok ) maupun posisi
menelungkup dengan cara mengangkat ekstremitas atas dan kepala serta ekstremitas bawah
secara bersamaan.
2) Menelungkup sebanyak 3 – 4 kali sehari selama 15 – 30 menit.
3) Latihan pernapasan yang akan dapat meningkatkan kapasitas pernapasan.
e) monitor tanda –tanda vital setiap 4 jam.
f) Pantau kulit dan membran mukosa terhadap iritasi, kemerahan atau lecet – lecet.
g) Perbanyak masukan cairan sampai 2500 ml/hari bila tidak ada kontra indikasi.
h) Berikan anti inflamasi sesuai program dokter. Observasi terhadap efek samping : bisa tak
nyaman pada lambung atau diare.
4. Rasional
a) Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
b) Untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan.
c) Mempertahankan posisi tulang belakang tetap rata.
d) Di lakukan untuk menegakkan postur dan menguatkan otot – otot paraspinal.
e) Untuk mendeteksi perubahan pada klien.
f) Deteksi diri dari kemungkinan komplikasi imobilisasi.
g) Cairan membantu menjaga faeces tetap lunak.
h) Obat anti inflamasi adalah suatu obat untuk mengurangi peradangan dan dapat menimbulkan
efek samping.
b. Diagnosa Keperawatan II
Gangguan rasa nyaman : nyeri sendi dan otot sehubungan dengan adanya peradangan sendi.
1) Tujuan
a. Rasa nyaman terpenuhi
b. Nyeri berkurang / hilang
2) Kriteria hasil
a. klien melaporkan penurunan nyeri
b. menunjukkan perilaku yang lebih relaks
c. memperagakan keterampilan reduksi nyeri yang dipelajari dengan peningkatan keberhasilan.
3) Rencana tindakan
a. Kaji lokasi, intensitas dan tipe nyeri; observasi terhadap kemajuan nyeri ke daerah yang baru.
b. Berikan analgesik sesuai terapi dokter dan kaji efektivitasnya terhadap nyeri.
c. Gunakan brace punggung atau korset bila di rencanakan demikian.
d. Berikan dorongan untuk mengubah posisi ringan dan sering untuk meningkatkan rasa nyaman.
e. Ajarkan dan bantu dalam teknik alternatif penatalaksanaan nyeri.
4) Rasional.
a. Nyeri adalah pengalaman subjek yang hanya dapat di gambarkan oleh klien sendiri.
b. Analgesik adalah obat untuk mengurangi rasa nyeri dan bagaimana reaksinya terhadap nyeri
klien.
c. Korset untuk mempertahankan posisi punggung.
d. Dengan ganti – ganti posisi agar otot – otot tidak terus spasme dan tegang sehingga otot
menjadi lemas dan nyeri berkurang.
e. Metode alternatif seperti relaksasi kadang lebih cepat menghilangkan nyeri atau dengan
mengalihkan perhatian klien sehingga nyeri berkurang.
c. Diagnosa Keperawatan III
Gangguan citra tubuh sehubungan dengan gangguan struktur tubuh.
1) Tujuan
Klien dapa mengekspresikan perasaannya dan dapat menggunakan koping yang adaptif.
2) Kriteria hasil
Klien dapat mengungkapkan perasaan / perhatian dan menggunakan keterampilan koping yang
positif dalam mengatasi perubahan citra.
3) Rencana tindakan
a. Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan. Perawat harus mendengarkan
dengan penuh perhatian.
b. Bersama – sama klien mencari alternatif koping yang positif.
c. Kembangkan komunikasi dan bina hubungan antara klien keluarga dan teman serta berikan
aktivitas rekreasi dan permainan guna mengatasi perubahan body image.
4) Rasional
a. meningkatkan harga diri klien dan membina hubungan saling percaya dan dengan ungkapan
perasaan dapat membantu penerimaan diri.
b. Dukungan perawat pada klien dapat meningkatkan rasa percaya diri klien.
c. Memberikan semangat bagi klien agar dapat memandang dirinya secara positif dan tidak
merasa rendah diri.
d. Diagnosa Keperawatan IV
Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurangnya informasi tentang penatalaksanaan
perawatan di rumah.
1) Tujuan
Klien dan keluarga dapat memahami cara perawatan di rumah.
2) Kriteria hasil
a. Klien dapat memperagakan pemasangan dan perawatan brace atau korset
b. Mengekspresikan pengertian tentang jadwal pengobatan
c. Klien mengungkapkan pengertian tentang proses penyakit, rencana pengobatan, dan gejala
kemajuan penyakit.
3) Rencana tindaka
a. Diskusikan tentang pengobatan : nama, jadwal, tujuan, dosis dan efek sampingnya.
b. Peragakan pemasangan dan perawatan brace atau korset.
c. Perbanyak diet nutrisi dan masukan cairan yang adekuat.
d. Tekankan pentingnya lingkungan yang aman untuk mencegah fraktur.
e. Diskusikan tanda dan gejala kemajuan penyakit, peningkatan nyeri dan mobilitas.
f. Tingkatkan kunjungan tindak lanjut dengan dokter.
e. Pelaksanaan
Yaitu perawat melaksanakan rencana asuhan keperawatan. Instruksi keperawatan di
implementasikan untuk membantu klien memenuhi kriteria hasil.
Komponen tahap Implementasi:
a. tindakan keperawatan mandiri
b. tindakan keperawatan kolaboratif
c. dokumentasi tindakan keperawatan dan respon klien terhadap asuhan keperawatan.( Carol
vestal Allen, 1998 : 105 )
f. Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan hasil – hasil yang di amati dengan kriteria hasil yang dibuat pada
tahap perencanaan komponen tahap evaluasi.
a. pencapaian kriteria hasil
b. ke efektipan tahap – tahap proses keperawatan
c. revisi atau terminasi rencana asuhan keperawatan.
Adapun kriteria hasil yang di harapkan pada klien Spondilitis tuberkulosa adalah:
1. Adanya peningkatan kegiatan sehari –hari ( ADL) tanpa menimbulkan gangguan rasa
nyaman .
2. Tidak terjadinya deformitas spinal lebih lanjut.
3. Nyeri dapat teratasi
4. Tidak terjadi komplikasi.
5. Memahami cara perawatan dirumah
BAB III
PENUTUP
A . KESIMPULAN
Spondilitis ankilosis merupakan penyakit rematik inflamasi sistemik kronik yang
terutama menyerang sendi sakroiliaka. Gejala klinik berupa manifestasi skletal dan ekstraskletal,
biasanya dimulai pada masa remaja, dan jarang di atas 40 tahun, lebih banyak pada pria daripada
wanita (5 : 1). Latihan fisik secara teratur untuk menjaga postur tubuh, mengurangi deformitas,
dan memelihara ekspansi dada. Latihan fisik terbaik ialah berenang. Pengobatan dengan obat anti
inflamasi untuk mengontrol nyeri dan proses radang. Indometasin 75--150 mg/hari merupakan
pilihan pertama dan dapat dicoba menggunakan AINS lain bila tidak berhasil. Penggunaan
sufasalazin 2--3 gram perhari memberikan hasil yang memuaskan. Pembedahan seperti
artroplasti kokse atau koreksi deformitas spinal dapat dipertimbangkan bila keluhan sangat
terganggu.
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi granulomatosis
di sebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycubacterium tuberculosa yang mengenai tulang
vertebra (Abdurrahman, et al 1994; 144 )
Spondilitis TB adalah peradangan granulonatosa yang bersifat kronis, destruktif oleh
mikrobakterium TB. TB tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari focus ditempat
lain dalam tubuh. Percivall (1973) adalah penulis pertama tentang penyakit ini dan menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulnag belakang yang terjadi,
sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott. (Rasjad, 1998).
B . SARAN
1. Dengan adanya makalah ini semoga dapat menjadi pedoman dalam memberikan pelayanan
kesehatan.
2. Semoga dengan adanya makalah ini dapat di gunakan sebagai media dalam pelayanan
kesehatan
Diposkan 21st May 2014 oleh kasaga nurse