askep anak atresia ani
TRANSCRIPT
Istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu “a” yang berarti tidak ada dan
trepsis yang berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia adalah
suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal.
Atresia ani adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai
lubang keluar (Walley,1996). Ada juga yang menyebutkan bahwa atresia ani adalah
tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus
secara abnormal (Suriadi,2001). Sumber lain menyebutkan atresia ani adalah kondisi
dimana rectal terjadi gangguan pemisahan kloaka selama pertumbuhan dalam
kandungan.
Jadi menurut kesimpulan penulis, atresia ani adalah kelainan congenital anus
dimana anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi
gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan.
Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi
kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan
perineum.
2. Etiologi
Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber
mengatakan kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi, dan
pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaananus umumnya
tidak ada kelainan rectum, sfingter, dan otot dasar panggul. Namun demikian pada
agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak memadai. Menurut peneletian beberapa
ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia
ani. Orang tua yang mempunyai gen carrier penyakit ini mempunyai peluang sekitar
25% untuk diturunkan pada anaknya saat kehamilan. 30% anak yang mempunyai
sindrom genetic, kelainan kromosom atau kelainan congenital lain juga beresiko
untuk menderita atresia ani. Sedangkan kelainan bawaan rectum terjadi karena
gangguan pemisahan kloaka menjadi rectum dan sinus urogenital sehingga biasanya
disertai dengan gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkannya.
Faktor predisposisi
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat
lahir seperti :
1. Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi abnormalitas pada vertebral, anal, jantung,
trachea, esofahus, ginjal dan kelenjar limfe).
2. Kelainan sistem pencernaan.
3. Kelainan sistem pekemihan.
4. Kelainan tulang belakang.
3. Klasifikasi
Secara fungsional, pasien atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar
yaitu :
1. Yang tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis dicapai
melalui saluran fistula eksterna.
Kelompok ini terutma melibatkan bayi perempuan dengan fistula rectovagina atau
rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan bantuan
dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adequate sementara waktu.
2. Yang tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalam keluar
tinja.
Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan dekompresi
spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera. Pasien bisa
diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :
1. Anomali rendah
Rectum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborectalis, terdapat
sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal
dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius.
2. Anomali intermediet
Rectum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis; lesung anal dan
sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.
3. Anomali tinggi
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini
biasanya berhungan dengan fistuls genitourinarius – retrouretral (pria) atau
rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit
perineum lebih daai1 cm.
Sedangkan menurut klasifikasi Wingspread (1984), atresia ani dibagi 2
golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki – laki golongan I
dibagi menjadi 4 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rectum, perineum datar
dan fistel tidak ada. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium
eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara
praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter
terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra karena fistel tertutup kateter.
Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka fistel ke vesikaurinaria. Bila
evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi segera. Pada atresia
rectum tindakannya sama pada perempuan ; harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak
ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan
kolostomi.
Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu
kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rectum dan fistel tidak
ada. Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi
tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara
fistel terdapat divulva. Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya
minum susu. Evakuasi mulai etrhambat saat penderita mulai makan makanan padat.
Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat
kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan
cerna. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan
kolostomi.Pada atresia rectum, anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok
dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium
sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram.
Jika udara > 1 cm dari kulit perlu segera dilakukan kolostomi.
Golongan II pada laki – laki dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum,
membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. Fistel perineum sama dengan pada
wanita ; lubangnya terdapat anterior dari letak anus normal. Pada membran anal
biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada
sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan
perempuan, tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara <>
Sedangkan golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus dan fistel tidak ada. Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitive. Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara <>
4. Patofisiologi
Anus dan rectum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari
bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitoury dan struktur
anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi
atresia anal karena tidak ada kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7
dan 10 mingggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan
dalam agenesis sacral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus
besar yang keluar anus menyebabkan fecal tidak dapat dikeluarkan sehungga intestinal
mengalami obstrksi.
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya
mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rectal, adanya membran anal dan
fistula eksternal pada perineum (Suriadi,2001). Gejala lain yang nampak diketahui adalah jika
bayi tidak dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan intestinal, pembesaran
abdomen, pembuluh darah di kulir abdomen akan terlihat menonjol (Adele,1996)
Bayi muntah – muntah pada usia 24 – 48 jam setelah lahir juga merupakan salah
satu manifestasi klinis atresia ani. Cairan muntahan akan dapat berwarna hijau karena cairan
empedu atau juga berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium.
7. Pemeriksaan Penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai
berikut :
2. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
3. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk
mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.
4. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system
pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa
tumor.
d. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
e. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
f. Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang
atau jari.
g. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan
dengan traktus urinarius.
8. Penatalaksaan1. Penatalaksanaan Medis
1. Malformasi anorektal dieksplorasi melalui tindakan bedah yang disebut diseksi
posterosagital atau plastik anorektal posterosagital.
2. Colostomi sementara
2. Penatalaksanaan Keperawatan
2.1 Pengkajian
Diperlukan pengkajian yang cermat dan teliti untuk mengetahui masalah
pasien dengan tepat, sebab pengkajian merupakan awal dari proses keperawatan.
Dan keberhasilan proses keperawatan tergantung dari pengkajian. Konsep teori
yang difunakan penulis adalah model konseptual keperawatan dari Gordon.
Menurut Gordon data dapat dikelompokkan menjadi 11 konsep yang meliputi :
1. Persepsi Kesehatan – Pola Manajemen Kesehatan
Mengkaji kemampuan pasien dan keluarga melanjutkan perawatan
di rumah.
2. Pola nutrisi – Metabolik
Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umu terjadi pada pasien
dengan atresia ani post kolostomi. Keinginan pasien untuk makan mungkin
terganggu oleh mual dan munta dampak dari anestesi.
3. Pola Eliminasi
Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan paru
maka tubuh dibersihkan dari bahan - bahan yang melebihi kebutuhan dan
dari produk buangan. Oleh karena pada atresia ani tidak terdapatnya lubang
pada anus, sehingga pasien akan mengalami kesulitan dalam defekasi
(Whaley & Wong,1996).
4. Pola Aktivitas dan Latihan
Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk menhindari
kelemahan otot.
5. Pola Persepsi Kognitif
Menjelaskan tentang fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman,
daya ingatan masa lalu dan ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.
6. Pola Tidur dan Istirahat
Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena nyeri
pada luka inisisi.
7. Konsep Diri dan Persepsi Diri
Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body image,
body comfort. Terjadi perilaku distraksi, gelisah, penolakan karena dampak
luka jahitan operasi (Doenges,1993).
8. Peran dan Pola Hubungan
Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan
sesudah sakit. Perubahan pola biasa dalam tanggungjawab atau perubahan
kapasitas fisik untuk melaksanakan peran (Doenges,1993).
9. Pola Reproduktif dan Sexual
Pola ini bertujuan menjelaskan fungsi sosial sebagi alat reproduksi
(Doenges,1993).
10. Pola Pertahanan Diri, Stress dan Toleransi
Adanya faktor stress lama, efek hospitalisasi, masalah keuangan,
rumah (Doenges,1993).
11. Pola Keyakinan dan Nilai
Untuk menerangkan sikap, keyakinan klien dalam melaksanakan
agama yang dipeluk dan konsekuensinya dalam keseharian. Dengan ini
diharapkan perawat dalam memberikan motivasi dan pendekatan terhadap
klien dalam upaya pelaksanaan ibadah (Mediana,1998).
2. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus
tampak merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi,
termometer yang dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi
terdengan hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja
dalam urin dan vagina (Whaley & Wong,1996).
2. Diagnosa Keperawatan
Data yang diperoleh perlu dianalisa terlebih dahulu sebelum mengemukkan
diagnosa keperawatan, sehingga dapat diperoleh diagnosa keperawatan yang
spesifik. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien atresia ani
yaitu:
a. Inkontinen bowel (tidak efektif fungsi eksretorik berhubungan dengan tidak
lengkapnya pembentukan anus (Suriadi,2001).
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
(Doenges,1993).
c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi (Doenges,1993).
d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan (Doenges,1993).
5. Kecemasan keluarga berhungan dengan prosedur pembedahan dan kondisi bayi
(Suriadi,2001).
6. Gangguan citra diri berhubungan dengan adanya kolostomi (Doenges,1993).
7. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma saraf jaringan (Doenges,1993).
8. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan penumpuksan secket berlebih (Doenges,1993).
9. Kurangnya pengetahuan keluarga berhungan dengan kebutuhan perawatan di rumah (Whaley
& Wong,1996).
2. Intervensi Keperawatan
Fokus intervensi keperawatan pada atresia ani adalah sebagai berikut :
1. Inkontinen bowel (tidak efektif fungsi eksretorik) berhubungan dengan tidak lengkapnya pembentukan anus (Suriadi,2001).
Tujuan yang diharapkan yaitu terjadi peningkatan fungsi usus,
dengan kriteria hasil : pasien akan menunjukkan konsistensi tinja lembek,
terbentuknya tinja,tidak ada nyeri saat defekasi, tidak terjadi perdarahan.
Intervensi :
1. Dilatasikan anal sesuai program.
2. Pertahankan puasa dan berikan terapi hidrasi IV sampai fungsi
usus normal.
2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi (Doenges,1996).
Tujuan yang diharapkan adalah tidak terjadi gangguan integritas
kulit, dengan kriteria hasil : penyembuhan luka tepat waktu, tidak terjadi
kerusakan di daerah sekitar anoplasti.
Intervensi :
1. Kaji area stoma.
2. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian lembut dan longgar pada area stoma.
3. Sebelum terpasang colostomy bag ukur dulu sesuai dengan stoma.
4. Yakinkan lubang bagian belakang kantong berperekat lebih besar sekitar 1/8 dari ukuran
stoma.
5. Selidiki apakah ada keluhan gatal sekitar stoma.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan (Doenges,1993).
Tujuan yang diharapkan adalah tidak terjadi infeksi, dengan kriteria
hasil : tidak ada tanda – tanda infeksi, TTV normal, lekosit normal.
Intervensi :
1. Pertahankan teknik septik dan aseptik secaa ketat pada prosedur medis atau
perawatan.
2. Amati lokasi invasif terhadap tanda-tanda infeksi.
3. Pantau suhu tubuh, jumlah sel darah putih.
4. Pantau dan batasi pengunjung , beri isolasi jika memungkinkan.
5. Beri antibiotik sesuai advis dokter.
d. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukkan
sekret berlebih (Doenges,1993).
Tujuan yang diharapkan adalah mempertahakan efektif jalan nafas,
mengeluarkan sekret tanpa bantuan dengan kriteria hasil : bunyi nafas
bersih, menunjukkan perilaku perbaikan jalan nafas misalnya, batuk
efektif dan mengeluarkan sekret.
Intervensi :
1. Kaji fungsi pernafasan, contoh : bunyi nafas, kecepatan, irama dan
kedalaman dan penggunaan otot tambahan.
2. Catat kemampuan untuk mengeluarkan dahak atau batuk efektif, catat
karakter, jumlah spuntum, adanya hemaptoe.
3. Berikan posisi semi fowler dan Bantu pasien untuk batuk efektif dan
latihan nafas dalam.
4. Bersihkan secret dari mulut dan trakea, penghisapan sesuai keperluan.
5. Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali kontra
indikasi.
6. Kolaborasi pemberian mukolitik dan bronkodilator.
e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia (Doenges,1993).
Tujuan yang diharapkan adalah kebutuhan nurtisi tubuh tercukupi,
dengan kriteria hasil : menunjukkan peningkatan BB, nilai laboratorium
normal, bebas tanda mal nutrisi.
Intervensi :
1. Pantau masukan/ pengeluaran makanan / cairan.
2. Kaji kesukaan makanan anak.
3. Beri makan sedikit tapi sering.
4. Pantau berat badan secara periodik.
5. Libatkan orang tua, misal membawa makanan dari rumah, membujuk anak untuk
makan.
6. Beri perawatan mulut sebelum makan.
7. Berikan isirahat yang adekuat.
8. Pemberian nutrisi secara parenteral, untuk mempertahankan kebutuhan kalori sesuai
program diit.
6. Kecemasan keluarga berhungan dengan prosedur pembedahan dan kondisi bayi.(Suriadi,2001;159)
Tujuan yang diharapkan adalah memberi support emosional pada
keluarga, dengan kriteria hasil : keluarga akan mengekspresikan
perasaan dan pemahaman terhadap kebutuhan intervensi perawatan dan
pengobatan.
Intervensi :
1. Ajarkan untuk mengekspresikan perasaan.
2. Berikan informasi tentang kondisi, pembedahan dan perawatan di rumah.
3. Ajarkan keluarga untuk berpartisipasi dalam perawatan pasien.
4. Berikan pujian pada keluarga saat memberikan perawatan pada pasien.
5. Jelaskan kebutuhan terapi IV, NGT, pengukuran tanda – tanda vital dan pengkajian.
6. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma saraf jaringan (Doenges,1996).
Tujuan yang diharapkan adalah pasien akan melaporkan nyeri hilang
atau terkontrol, pasien akan tampak rileks, dengan kriteria hasil :
ekspresi wajah pasien relaks, TTV normal.
Intervensi :
1. Tanyakan pada pasien tentang nyeri.
2. Catat kemungkinan penyebab nyeri.
3. Anjurkan pemakaian obat dengan benar untuk mengontrol nyeri.
4. Ajarkan dan anjurkan tehnik relaksasi.
6. Resiko tinggi terhadap konstipasi berhubungan dengan ketidakadekuatan masukan diit (Doenges,1993).
Tujuan yang diharapkan adalah pola eliminasi sesuai kebutuhan, dengan
kriteria hasil : BAB 1x/hari, feses lunak, tidak ada rasa nyeri saat
defekasi.
Intervensi :
1. Auskultasi bising usus.
2. Observasi pola diit dan itake cairan
6. Gangguan citra diri berhubungan dengan adanya kolostomi (Doenges,1996).
Tujuan yang diharapkan adalah pasien mau menerima kondisi dirinya
sekarang, dengan kriteria hasil : pasien mentatakan menerima
perubahan ke dalam konsep diri tanpa harga diri rendah, menunjukkan
penerimaan dengan merawat stoma tersebut, menyatakan perasaannya
tentang stoma.
Intervensi :
1. Kaji persepsi pasien tentang stoma.
2. Motivasi pasien untuk megungkapkan perasaannya.
3. Kaji ulang tentang alasan pembedahan.
4. Observasi perilaku pasien.
5. Berikan kesempatan pada pasien untuk merawat stomanya.
6. Hindari menyinggung perasaan pasien atau pertahankan hubungan positif.
6. Kurangnya pengetahuan keluarga berhungan dengan kebutuhan perawatan di rumah (Walley & Wong,1996).
Tujuan yang diharapkan adalah pasien dan keluarga memahami
perawatan di rumah, dengan kriteria hasil keluarga menunjukkan
kemampuan untuk memberikan perawata untuk bayi di rumah.
Intervensi :
1. Ajarkan perawatan kolostomi dan partisipasi dalam perawatan sampai mereka dapat
melakukan perawatan.
2. Ajarkan untuk mengenal tanda – tanda dan gejala yang perlu dilaporkan perawat.
3. Ajarkan bagaimana memberikan pengamanan pada bayi dan melakukan dilatasi pada
anal secara tepat.
4. Ajarkan cara perawatan luka yang tepat.
5. Latih pasien untuk kebiasaan defekasi.
6. Ajarkan pasien dan keluarga untuk memodifikasi diit (misalnya serat)
2.5 Implementasi Keperawatan
Seperti tahap lainnya dalam proses keperawatan fase pelaksanaan
terdiri dari : validasi rencana keperawatan, dokumentasi rencana
keperawatan dan melakukan tindakan keperawatan.
1. Validasi rencana keperawatan
Suatu tindakan untuk memberikan kebenaran. Tujuan validasi data
adalah menekan serendah mungkin terjadinya kesalahpahaman, salah
persepsi. Karena adanya potensi manusia berbuat salah dalam proses
penilaian.
2. Dokumentasi rencana keperawatan
Agar rencana perawatan dapat berarti bagi semua pihak, maka harus
mempunyai landasan kuat, dan bermanfaat secara optimal. Perawat
hendaknya mengadakan pertemuan dengan tim kesehatan lain untuk
membahas data, masalah, tujuan serta rencana tindakan.
3. Tindakan keperawatan
Meskipun perawat sudah mengembangkan suatu rencana keperawatan
yang maksimal, kadang timbul situasi yang bertentangan dengan
tindakan yang direncanakan, maka kemampuan perawat diuji untuk
memodifikasi alat maupun situasi.
6. Evaluasi
Evaluasi adalah suatu kegiatan yang terus menerus dengan melibatkan
klien, perawat dan anggota tim kesehatan lainnya. Dalam hal ini diperlukan
pengetahuan keehatan dan strategi evaluasi. Tujuan dari evaluasi adalah
menilai apakah tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak.
ASUHAN KEPERAWATAN ATRESIA ANIASUHAN KEPERAWATAN ATRESIA ANI
A. Pengertian
Atresia Ani / Atresia Rekti adalah ketiadaan atau tertutupnya rectal secara congenital (Dorland, 1998).
Suatu perineum tanpa apertura anal diuraikan sebagai inperforata. Ladd dan Gross (1966) membagi anus
inperforatadalam 4 golongan, yaitu:
1. Stenosis rectum yang lebih rendah atau pada anus
2. Membran anus menetap
3. Anus inperforata dan ujung rectum yang buntu terletak pada bermacam-macam jarak dari peritoneum
4. Lubang anus yang terpisah dengan ujung rectum yang buntu
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula, pada bayi wanita yang sering ditemukan fisula rektovaginal
(bayi buang air besar lewat vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektobrinarius. Sedang pada bayi
laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir dikandung kemih atau uretra serta jarang
rektoperineal.
Sponsored Link B. Pathofisiologi
C. Ganbaran Klinik
Pada sebagian besar anomati ini neonatus ditemukan dengan obstruksi usus. Tanda berikut
merupakan indikasi beberapa abnormalitas:
1. Tidak adanya apertura anal
2. Mekonium yang keluar dari suatu orifisium abnormal
3. Muntah dengan abdomen yang kembung
4. Kesukaran defekasi, misalnya dikeluarkannya feses mirip seperti stenosis
Untuk mengetahui kelainan ini secara dini, pada semua bayi baru lahir harus dilakukan colok anus dengan
menggunakan termometer yang dimasukkan sampai sepanjang 2 cm ke dalam anus. Atau dapatjuga dengan
jari kelingking yang memakai sarung tangan. Jika terdapat kelainan, maka termometer atau jari
tidak dapat masuk. Bila anus terlihat normal dan penyumbatan terdapat lebih tinggi dari perineum. Gejala
akan timbul dalam 24-48 jam setelah lahir berupa perut kembung, muntah berwarna hijau.
artikel disini :http://blog.ilmukeperawatan.com
D. Pemeriksaan Penunjang
1. X-ray, ini menunjukkan adanya gas dalam usus
2. Pewarnaan radiopak dimasukkan kedalam traktus urinarius, misalnya suatu sistouretrogram mikturasi akan
memperlihatkan hubungan rektourinarius dan kelainan urinarius
3. Pemeriksaan urin, perlu dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat mekonium
E. Penatalaksanaan
? Medik:
1. Eksisi membran anal
2. Fistula, yaitu dengan melakukan kolostomi sememtara dan setelah umur 3 bulan dilakukan koreksi sekaligus
? Keperawatan
Kepada orang tua perlu diberitahukan mengenai kelainan pada anaknya dan keadaan tersebut dapat diperbaiki
dengan jalan operasi. Operasi akan dilakukan 2 tahap yaitu tahap pertama hanya dibuatkan anus buatan dan
setelah umur 3 bulan dilakukan operasi tahapan ke 2, selain itu perlu diberitahukan perawatan anus
buatan dalam menjaga kebersihan untuk mencegah infeksi. Serta memperhatikankesehatan bayi.
F. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan eliminasi BAK b.d Dysuria
2. Gangguan rasa nyaman b.d vistel rektovaginal, Dysuria
3. Resti infeksi b.d feses masuk ke uretra, mikroorganisme masuk saluran kemih
4. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan b.d mual, muntah, anoreksia
5. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d trauma jaringan post operasi
6. Resti infeksi b.d perawatan tidak adekuat, trauma jaringan post operasi
7. Resti kerusakan integritas kulit b.d perubahan pola defekasi, pengeluaran tidak terkontrol
G. Path Ways
G. Intervensi
DP Tujuan Intervensi
Gangguan eliminasi BAK b.d vistel rektovaginal, Dysuria
Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d vistel rektovaginal, Dysuria
Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan b.d mual, muntah, anoreksia
Nyeri b.d trauma jaringan post operasi (Kolostomi)
Resti kerusakan integritas kulit b.d perubahan pola defekasi, pengeluaran tidak terkontrol
Tidak terjadi perubahan pola eliminasi BAK setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan KH:
? Pasien dapat BAK dengan normal
? idak ada perubahan pada jumlah urine
Pasien merasa nyaman setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam dengan KH:
? Nyeri berkurang
? Pasien merasa tenang
Tidak terjadi kekurangan nutrisi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam dengan KH :
? Pasien tidak mengalami penurunan berat badan
? Turgor pasien baik
? Pasien tidak mual, muntah
? Nafsu makan bertambah
Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 24 jam pertama dengan KH:
? Nyeri berkurang
? Pasien merasa tenang
? Tidak ada perubahan tanda vital
Tidak terjadi kerusakan integritas kulit setalah dilakukan tindakan keperawatan 24 jam pertama dengan KH:
? Mempertahankan integritas kulit
? Tidak terdapat tanda-tanda kerusakan integritas kulit
? Mengindentifisikasi faktor resiko individu • Kaji pola eliminasi BAK pasien
• Awasi pemasukan dan pengeluaran serta karakteristik urine
• Selidiki keluhan kandung kemih penuh
• Awasi/observasi hasil laborat
• Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi
• kaji tingkat nyeri yang dirasakan pasien
• Ajarkan teknik relaksasi distraksi
• Berikan posisi yang nyaman pada pasien
• Jelaskan penyebab nyeri dan awasi perubahan kejadian
• Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi
• Kaji KU pasien
• Timbang berat badan pasien
• Catat frekuensi mual, muntah pasien
• Catat masukan nutrisi pasien
• Beri motivasi pasien untuk meningkatkan asupan nutrisi
• Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pengaturan menu
• Kaji tingkat nyeri yang dirasakan pasien
• Berikan penjelasan pada pasien tentang nyeri yang terjadi
• Berikan tindakan kenyamanan, yakinkan pada pasien bahwa perubahan posisi tidak menciderai stoma
• Ajarkan teknik relaksasi, distraksi
• Bantu melakukan latihan rentang gerak
• Awasi adanya kekakuan otot abdominal
• Kolaborasi pemberian analgetik
• Lihat stoma/area kulit peristomal pada setiap penggantian kantong
• Ukur stoma secara periodik misalnya tia perubahan kantong
• Berikan perlindungan kulit yang efektif
• Kosongkan irigasi dan kebersihan dengan rutin
• Awasi adanya rasa gatal disekitar stoma
• Kolaborasi dengan ahli terapi.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth. (1996). Text book of Medical-Surgical Nursing. EGC. Jakarta.
Doengoes Merillynn. (1999) (Rencana Asuhan Keperawatan). Nursing care plans. Guidelines for planing and
documenting patient care. Alih bahasa : I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati. EGC. Jakarta.
Dorland. (1998). Kamus Saku Kedokteran Dorlana. Alih Bahasa: Dyah Nuswantari Ed. 25. Jakarta: EGC
Prince A Sylvia. (1995). (patofisiologi). Clinical Concept. Alih bahasa : Peter Anugrah EGC. Jakarta.
Long, Barbara. C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Terjemahan: Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan. USA:
CV Mosby
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Diversi pada penyakit hirschsprung, atresia ani, masih merupakan masalah yang
cukup serius di Indonesia. Seperti, contoh penyakit atresia ani yang merupakan tidak
terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian entoderm sehingga
mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak berhubungan langsung dengan
rectum (Purwanto, 2001). Salah satu penatalaksanaan atresia ani ini adalah dilakukan
kolostomi. Kata kolostomi mungkin tidak asing lagi seiring dengan banyak pasien yang
dibuatkan kolostomi ditubuhnya. Banyak hal yang menyebabkan keputusan seorang
dokter bedah untuk melakukan kolostomi bagi pasienya, salah satunya adalah adanya
sumbatan dibagian distal saluran cerna baik karena tumor atau hal lainnya. Kolostomi
bisa memberikan kesempatan pada pasien untuk hidup dan beraktivitas layaknya
manusia normal. Sehingga, kualitas hidupnya bisa lebih baik. Mungkin yang akan jadi
masalah adalah bagaimana perawatan kolostomi tersebut dilakukan (Koncek, 2008).
Dalam, merawat pasien kolostomi membutuhkan ketelitian kebersihan dan
kesiapan yang baik karena jika tidak maka akan menimbulkan komplikasi infeksi yang
mengakibatkan penyembuhan menjadi lama bahkan bertambah parah (Bets, 2002).
Disini orang tua si anak sangat berperan aktif dalam melakukan perawatan kolostomi.
Bagaimana tekhnik penggantian dan pemasangan kantong kolostomi, tekhnik
perawatan stoma, ataupun waktu penggantian kantong kolostomi. Kontaminasi feses
Universitas Sumatera Utaramerupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab terjadinya infeksi pada luka
sekitar stoma. Oleh karena itu pemantauan yang terus menerus sangat diperlukan dan
tindakan segera mengganti balutan luka dan mengganti kantong kolostomi sangat
bermakna untuk mencegah infeksi.
Angka kejadian penyakit atresia ani pada tahun 1990-1994 di RSUP dr. M.
Jamil, Padang diperoleh 36 kasus , 25 (69.4 %) bayi laki-laki dan 11 (30,6%) bayi
perempuan. Dan, pada saat peneliti studi pendahuluan di ruang bedah anak RSUP H.
Adam Malik Medan diperoleh data bahwa, pada bulan Januari 2010 sampai bulan
Maret 2010 terdapat 13 anak yang mengalami tindakan pembedahan kolostomi.
Perempuan lebih banyak mengalami tindakan ini dibanding laki-laki. Perempuan
berjumlah 8 anak, dan selebihnya laki-laki berjumlah 5 anak. Peneliti juga memperoleh
data bahwa pada bulan Maret 2010, 3 orang tua dari anak yang mengalami tindakan
kolostomi mengeluh tentang perawatan kolostomi yang benar. Karena selama ini
mereka hanya melakukan perawatan kolostomi tidak berdasarkan prosedur yang baik.
Tidak memikirkan apa efek samping yang dapat terjadi, bagaimana cara membuka
kantung kolostomi dengan baik, membersihkan stoma, tidak tahu apa yang harus
dilakukan jika kantung kolostomi sudah penuh dan tidak tahu kapan kantung kolostomi
itu harus diganti. Hal ini juga diperlukan penanganan keperawatan dalam pemberian
pelatihan perawatan kolostomi. Data yang saya peroleh dari perawat yang bekerja di
ruang bedah anak RSUP H. Adam Malik Medan hanya 3 dari 11 perawat yang bekerja
di RB2 anak yang mengajarkan perawatan kolostomi kepada orang tua yang memiliki
anak dengan kolostomi permanen.
Universitas Sumatera UtaraBerdasarkan kondisi di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti ” Efektifitas
Pelatihan Perawatan Kolostomi Terhadap Perilaku Orang Tua yang Memiliki Anak
dengan Kolostomi”.
2. Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan
dalam penelitian ini yaitu, bagaimana efektifitas pelatihan perawatan kolostomi pada
orang tua yang memiliki anak dengan kolostomi di ruang bedah anak RSUP H. Adam
Malik Medan.
3. Tujuan Penelitian
3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas
pelatihan perawatan kolostomi terhadap perilaku orang tua yang memiliki
anak dengan kolostomi di ruang bedah anak RSUP H. Adam Malik Medan.
3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk:
2.1. Mengidentifikasi pengetahuan orang tua sebelum dilakukan
pelatihan perawatan kolostomi di ruang bedah anak RSUP H.
Adam Malik Medan.
Universitas Sumatera Utara2.2. Mengidentifikasi sikap orang tua sebelum dilakukan pelatihan
perawatan kolostomi di ruang bedah anak RSUP H. Adam Malik
Medan.
2.3. Mengidentifikasi tindakan orang tua sebelum dilakukan pelatihan
perawatan kolostomi di ruang bedah anak RSUP H. Adam Malik
Medan.
2.4. Pengaruh pelatihan perawatan kolostomi terhadap pengetahuan
orang tua sebelum dan sesudah dilakukan pelatihan perawatan
kolostomi di ruang bedah anak RSUP H. Adam Malik Medan.
2.5. Pengaruh pelatihan perawatan kolostomi terhadap sikap orang
tua sebelum dan sesudah dilakukan pelatihan perawatan
kolostomi di ruang bedah anak RSUP H. Adam Malik Medan.
2.6. Pengaruh pelatihan perawatan kolostomi terhadap tindakan orang
tua sebelum dan sesudah dilakukan pelatihan perawatan
kolostomi di ruang bedah anak RSUP H. Adam Malik Medan.
4. Manfaat Penelitian
1. Bagi Orang Tua
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi bagi
orang tua tentang pentingnya pengetahuan dan sikap dalam melakukan perawatan
kolostomi.
Universitas Sumatera Utara2. Bagi Pelayanan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan intervensi kepada perawat yang bekerja di
lingkungan rumah sakit dalam memberikan pelatihan perawatan kolostomi pada orang
tua untuk merubah perilaku orang tua dalam melakukan perawatan kolostomi.
3. Bagi Peneliti
Mendapatkan pengalaman langsung dalam melakukan penelitian dan
memperkaya pengetahuan sebagai peran perawat peneliti dan memanfaatkan hasil
penelitian untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan anak.