asetosal

15
PEMBAHASAN Pada praktikum kali ini bertujuan untuk mengetahui cara menganalisis bahan baku asetosal agar sesuai dengan persyaratan bahan baku obat dan mengetahui kadar cemaran logam berat dalam bahan baku asetosal. Analisis terhadap bahan baku asetosal perlu dilakukan karena untuk mengetahui kelayakan bahan baku yang didapat sebelum diolah lenih lanjut menjadi suatu sediaan. Parameter kelayakan yang digunakan untuk menganalisi bahan baku asetosal ini berdasarkan dari Farmakope Indonesia. Untuk menguji bahan baku diperlukan uji pendahuluan, dan uji secara kualitatif dan kuantitatif. Pertama-tama yang dilakukan adalah melakukan uji pendahuluan yang terdiri dari uji organoleptis untuk melihat dari warna, bentuk, bau dan rasa dari sampel, uji pH, dan uji kelarutan. Dari hasil uji organoleptis yang dilakukan, menunjukan sampel berbentuk Hablur putih, seperti jarum atau lempengan tersusun, tidak berbau atau berbau lemah, stabil di udara kering. Hasil uji organoleptis ini sesuai dengan yang dituliskan di dalam Farmakope Indonesia. Kemudian dilakukan uji pH dengan menggunakan pH universal untuk melihat apakah sampel bersifat asam atau basa. Hasilnya didapatkan hasil dengan pH 3. Hasil ini menunjukan bahwa sampel yang didapat bersifat asam karena di dalam asetosal terdapat gugus fungsi asam karboksilat yang bersifat

Upload: kharisma-ganda

Post on 30-Oct-2014

298 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: asetosal

PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini bertujuan untuk mengetahui cara menganalisis

bahan baku asetosal agar sesuai dengan persyaratan bahan baku obat dan

mengetahui kadar cemaran logam berat dalam bahan baku asetosal. Analisis

terhadap bahan baku asetosal perlu dilakukan karena untuk mengetahui kelayakan

bahan baku yang didapat sebelum diolah lenih lanjut menjadi suatu sediaan.

Parameter kelayakan yang digunakan untuk menganalisi bahan baku asetosal ini

berdasarkan dari Farmakope Indonesia. Untuk menguji bahan baku diperlukan uji

pendahuluan, dan uji secara kualitatif dan kuantitatif.

Pertama-tama yang dilakukan adalah melakukan uji pendahuluan yang

terdiri dari uji organoleptis untuk melihat dari warna, bentuk, bau dan rasa dari

sampel, uji pH, dan uji kelarutan. Dari hasil uji organoleptis yang dilakukan,

menunjukan sampel berbentuk Hablur putih, seperti jarum atau lempengan

tersusun, tidak berbau atau berbau lemah, stabil di udara kering. Hasil uji

organoleptis ini sesuai dengan yang dituliskan di dalam Farmakope Indonesia.

Kemudian dilakukan uji pH dengan menggunakan pH universal untuk melihat

apakah sampel bersifat asam atau basa. Hasilnya didapatkan hasil dengan pH 3.

Hasil ini menunjukan bahwa sampel yang didapat bersifat asam karena di dalam

asetosal terdapat gugus fungsi asam karboksilat yang bersifat asam. Uji

selanjutnya adalah uji kelarutan, uji ini dilakukan dengan cara melarutkan 1 gram

sampel ke dalam pelarut yang tertera didalam monografi yakni 10 ml etanol dan

30 ml kloroform, sementara uji kelarutan untuk pelarut eter tidak dilakukan

karena tidaknya eter, dan untuk pelarut lainnya tidak dilakukan karena dibutuhkan

volume pelarut yang sangat banyak. Volume tersebut berdasarkan tabel standar

kelarutan yang tertera pada Farmakope Indonesia, dibawah ini :

Istilah kelarutanJumlah bag.pelarut yang diperlukan untuk

melarutkan 1 bag.zat

Sangat mudah larut

Mudah larut

Kurang dari 1

1 sampai 10

Page 2: asetosal

Larut

Agak sukar larut

Sukar larut

Sangat sukar larut

Praktis tidak larut

10 sampai 30

30 sampai 100

100 sampai 1000

1000 sampai 10000

Lebih dari 10000

Dari tabel diatas dapat diperoleh hasil bahwa sampel mempunyai kelarutan

yang sesuai dengan standar yang ada di Farmakope Indonesia, yaitu mudah larut

dalam etanol, dan larut dalam kloroform.

Selanjutnya adalah Uji Kualitatif untuk memastikan identitas dari sampel,

apakah benar sampel tersebut adalah asetosal. Identifikasi yang pertama dilakukan

dengan cara uji titik leleh, dimana alat yang digunakan adalah pipa kapiler dan

melting point apparatus. Titik leleh sendiri adalah suhu dimana fase cair dan fase

padat dalam keadaan setimbang dimana tekanan luar sama dengan 1 atm. Uji titik

leleh dapat digunakan untuk menentukan kemurnian suatu senyawa, dimana

senyawa – senyawa murni suhunya hampir tetap selama meleleh atau disebut juga

mempunyai titik leleh yang tajam, dengan interval suhu yang sempit (maksimal 1°

C), sedangkan untuk senyawa yang sama tetapi tidak murni akan meleleh pada

interval suhu yang lebar (di atas 1° C). Prosedur untuk uji titik leleh ini adalah

sampel dimampatkan dalam pipa kapiler dengan cara diketuk-ketukan dalam pipa

panjang hingga sampel mampat dan tinggi batas dalam pipa kapiler mencapai 1

cm. Setelah mampat, pipa kapiler berisi sampel dimasukkan dalam alat melting

point apparatus dan dilihat jarak leleh. Sementara jarak leleh sendiri didapatkan

dari suhu dimana sampel mulai terlihat meleleh hingga sampel meleleh sempurna

yang ditandai dengan berubah menjadi cairan bening. Dan nilai titik leleh yang

diperoleh yakni 141-150,3˚ C, hasil ini jauh berbeda dari yang tertera dalam

Farmakope Indonesia Edisi III yang dimana disebutkan jarak leleh dari asetosal

adalah 141-144 ˚ C. Hal ini dapat disebabkan karena adanya pengotor pada

sampel sehingga jarak leburnya menjadi cukup jauh, selain itu juga dapat

disebabkan kurang mampatnya sampel dalam pipa kapiler sehingga terdapat

Page 3: asetosal

rongga udara yang dapat yang membuat sampel tidak meleleh di saat yang

bersamaan sehingga pada akhirnya meningkatkan suhu saat sampel meleleh

sempurna. Pengotoran yang menyebabkan peningkatan titik leleh ini mungkin

sekali suatu bahan berbentuk resin yang tidak diidentifikasi atau senyawa lain

yang mempunyai titik leleh lebih rendah atau lebih tinggi dari senyawa utamanya.

Uji Kualitatif yang selanjutnya adalah dengan melakukan reaski warna

untuk memastikan identitas dari sampel, apakah benar sampel tersebut adalah

asetosal. Uji reaksi warna dilakukan dengan cara melarutkan sampel dalam air

lalu dipanaskan selama beberapa menit kemudian didinginkan. Tujuan dilakukan

pemanasan adalah untuk menghidrolisis asetosal menjadi asam salisilat dan asam

asetat seperti reaksi dibawah ini :

Kemudian tambahkan 1-2 tetes FeCl3 sehingga akan terbentuk warna

merah ungu. Warna merah ungu ini terjadi karena adanya reaksi antara FeCl3

dengan asam salisilat yang terbentuk dari hasil hidrolisis aspirin dengan reaksi di

bawah ini :

Page 4: asetosal

Asetosal merupakan ester fenolik dari asam salisilat sehingga tidak dapat

bereaksi dengan Fe3+. Gugus ester tersebut harus dipecah melalui hidrolisis

terlebih dahulu dengan ion hidroksida yang diperoleh dari air sehingga terbentuk

salisilat dianion selanjutnya dengan penambahan besi (III) klorida maka akan

terbentuk kompleks besi-salisilat yang berwarna ungu pekat. Warna ungu pekat

yang terbentuk merupakan identifikasi yang spesifik terhadap asetosal.

Kemudian dilakukan identifikasi kedua dengan menggunakan

spektrometer IR. Spektrometer IR ini berguna untuk menganalisis gugus-gugus

fungsi yang terdapat pada zat. Analisis identifikasi gugus fungsi dilakukan dengan

mengidentifikasi karakteristik spektrum ikatan tertentu, mialnya spektrum IR

ikatan C=O terletak pada 1700 cm-1, bentuknya runcing (tajam) atau dikatakan

spektrum kuat. Spektrum vibrasi –OH terletak sekitar 3500 cm-1, pada umumnya

berikatan hidrogen sehingga melebar. Spektrumnya tidak tajam. Bila ada ikatan

C=O dan gugus –OH maka dimungkinkan senyawa adalah asam.

Teknik yang digunakan adalah teknik KBr pellet, dimana padatan sampel

digerus dalam mortal kecil bersama padatan dengan kristal KBr kering. Pertama-

tama yang dilakukan adalah membuat blanko KBr dengan menimbang dan

menggerus KBr sebanyak 250 mg. Penggerusan ini dilakukan untuk mengecilkan

ukuran partikel hingga kurang lebih 1-2 µm. Setelah selesai digerus, dibuatlah

pellet KBr dengan alat hidrolik. Pellet dibuat dengan cara mengisi cetakan dengan

rata dan kompresikan oleh alat penekan hidrolik dengan tekanan lebih kurang 60

Kn selama 5 menit. Hubungkan pula dengan pompa vakum untuk membuang sisa

CO2 atau keberadaan udara pada KBr yang dapat mempengaruhi hasil. Pada saat

mengeluarkan pelet dari cetakan dan memasukkannya ke dalam spektrofotometer

IR harus menggunakan pinset untuk menghindari kontaminasi. Selanjutnya pelet

dianalisis menggunakan spektrometer IR untuk mendapatkan spektrum blanko.

Kemudian dilakukan analisis terhadap sampel. Ditimbang 5 mg sampel yang

sudah dikeringkan dan 250 mg KBr. Sampel perlu dikeringkan dalam oven selama

3-4 jam untuk menghilangkan air yang terkandung dalam sampel. Sampel tidak

boleh mengandung air karena akan menghasilkan spektrum yang menggganggu

Page 5: asetosal

hasil pembacaan analisis. Setelah sampel dan KBr selesai digerus, kemudian pelet

dicetak. Pellet dibuat dengan cara mengisi cetakan dengan rata dan kompresikan

oleh alat penekan hidrolik dengan tekanan lebih kurang 60 Kn selama 5 menit.

Hubungkan pula dengan pompa vakum untuk membuang sisa CO2 atau

keberadaan udara pada KBr yang dapat mempengaruhi hasil. Setelah itu cakram

diletakkan pada spektrofotometer menggunakan pinset agar tidak terkontaminasi.

Pellet cuplikan tipis tersebut kemudian dinetralkan di tempat sel spektrofotometer

IR dengan lubang mengarah ke dalam radiasi.

Setelah semua spektra terbentuk, spektra tersebut dianalisis dan

dicocokkan dengan data dari literatur. Setiap gugus fungsi (ikatan) di dalam suatu

molekul mempunyai tingkatan energi vibrasi dan rotasi yang berbeda, oleh karena

itu, gugus fungsi ditentukan dari nilai bilangan gelombang yang terserap oleh

ikatan tersebut. Nilai bilangan gelombang yang terserap ditentukan dari puncak

yang mengidentifikasikan adanya % Transmittan yang bernilai kecil (Absorbansi

bernilai cukup besar). Berikut ini adalah hasil spectrum dari sampel dan standar

asetosal.

Page 6: asetosal

-CH3

Berdasarkan spectrum hasil spektrofotometri IR, terdapat beberapa puncak

yang menunjukkan gugus fungsi yang terdapat dalam asetosal. Pada puncak yang

berada di daerah sekitar 1375 cm-1 dengan intensitas sedang diduga merupakan

gugus –CH3. Kemudian pada daerah 1500-1600 cm-1 dengan intensitas rendah-

sedang diduga merupakan ikatan C=C pada cincin benzene. Untuk gugus C=O

terdapat pada 2 puncak dengan intensitas kuat di daerah 1660-1820 cm-1. Untuk

ester sendiri ditunjukkan pada daerah 1720-1750 cm-1dengan intensitas kuat.

Sedangkan untuk gugus –OH yang mengindikasikan asam karboksilat berada di

daerah 2400-3400 cm-1 dengan intensitas yang kuat dan pita yang lebar.

Dari hasil spektrofotometri IR yang dilakukan, didapatkan hasil

kemurnian sampel sebesar 84,988 %, yang berarti kemurnian sampel jauh

dibawah standar kemurnian bahan baku yang ditetapkan oleh Farmakope

Indonesia, yaitu antara 99,5 % - 100,5%. Ketidakmurnian sampel pada

Page 7: asetosal

spektrofotometri IR ini dapat disebabkan oleh masih adanya zat pengotor,

termasuk air pada sampel karena sampel sempat terpapar udara pada saat

penimbangan dan pengerjaan sebelum analisis.

Yang terakhir adalah uji kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui

kadar dari bahan baku asetosal untuk menjamin kualitas bahan baku sediaaan

obat. Penjaminan kualitas bahan baku obat dengan melakukan penetapan kadar

asetosal dari bahan baku sangat penting untuk mendukung efek farmakologi yang

optimal dari obat .Uji kuantitatif yang dilakukan untuk menentukan kadar asetosal

dalam sampel adalah dengan analisis titrimetri, yaitu metode titrasi balik. Dalam

analisis titrimetri dilakukan dengan mengukur volume,sejumlah zat yang

dianalisis yang direaksikan dengan larutan baku (standar) yang konsentrasinya

telah diketahui secara teliti dan reaksinya berlangsung secara kuantitatif. Metode

titrasi dipilih karena memiliki ketelitian yang baik, serta alat dan pengerjaannya

yang sederhana. Titrasi balik ini dilakukan dengan penambahan larutan reagen

berlebihan yang diketahui jumlahnya ke dalam sampel sehingga menyebabkan

reaksi selesai dan menentukan kelebihan larutan reagen yang tidak diperlukan

oleh sampel dengan cara menitrasi kelebihan larutan reagen dengan larutan titran

yang sesuai.

Hal yang pertama dilakukan dalam prosedur penetapan kadar dengan

metode titrasi balik adalah pembuatan larutan NaOH 0,5 N dan H2SO4 0,5 N.

Larutan NaOH 0,5 N dibuat dengan menyiapkan aquadest bebas CO2 dengan

memanaskan aquades hingga mendidih, lalu melarutkan 3 gram NaOH pelet ke

dalam aquadest bebas CO2 sambil terus dipanaskan hingga larut. Untuk NaoH

yang digunakan harus dalam bentuk pellet, bukan pengenceran dari larutan Naoh

yang sudah ada karena konsentrasinya tidak akan pas 0,5 N karena NaOH bersifat

higroskopis. Sementara untuk pembuatan larutan H2SO4 0,5 N, perlu dilakukan

pengenceran karena H2SO4 yang berada di laboratorium adalah H2SO4 pekat

dengan konsentrasi 36 N. Pengenceran dilakukan dengan menggunakan rumus :

V 1 x N1=V 2 x N2

Page 8: asetosal

Sehingga untuk mendapatkan larutan 100 mL H2SO4 0,5 N, diperlukan 1,4 mL

H2SO4 pekat.

Setelah larutan NaOH 0,5 N dan H2SO4 0,5 N selesai dibuat, proses titrasi

balik dapat dimulai. Pertama, ditimbang 1,5 gram sampel lalu dilarutkan dengan

50 mL NaOH 0,5 N di dalam beaker glass. Kemudian didihkan campuran secara

perlahan selama 10 menit untuk mempercepat terjadinya reaksi antara NaOH

dengan asetosal. Setelah dipanaskan, ke dalam larutan ditambahkan indicator

fenolftalein sebanyak 1-2 tetes. Indicator digunakan untuk mendeteksi titik akhir

dari titrasi. Setelah ditambahkan fenolftalein Fenolftalein sendiri akan

memberikan warna jika berada di pH 8,4-10,4. Karena pada larutan sampel yang

telah ditambahkan NaOH terdapat kelebihan NaOH yang tidak bereaksi dengan

sampel, larutannya pun berwarna ungu. Selanjutnya kelebihan NaOH dalam

larutan sampel dititrasi dengan menggunakan H2SO4 0,5 N.

Pada awal titrasi perubahan nilai Ph berlangsung lambat sampai

menjelang titik ekivalen.Pada saat nilai ekivalen inilah nilai ph akan meningkat

secara drastis sehingga untuk mengamati titik akhir titrasi digunakan indikator.

Titik ekivalen adalah titik dimana bahan yang dianalisis telah bereaksi dengan

senyawa baku secara kuantitatf sedangkan titik akhr titrasi adalah titik dimana

titrasi berakhir ditandai dengan perubahan warna larutan. Perubahan warna ini

dapat lebih mudah diamati dengan bantuan indikator. Indikator adalah suatu asam

atau basa lemah yang berubah warna diantara bentuk terionisasi dan tidak

terionisasi. Indikator yang digunakan adalah fenoftalien, dimana fenolftalein ini

telah ditambahkan pada sampel yang ditambahkan larutan NaOH 0,5 N berlebih.

Fenoftalien dipilih karena titik akhir titrasi balik ini akan berada pada pH asam,

dimana perubahan warna yang terjadi adalah dari berwarna ungu sampai tidak

bewarna. Kurva titrasi dengan fenoftalein adalah sebagai berikut:

Page 9: asetosal

Dari hasil pengamatan volume titran (H2SO4 0,5 N) yang digunakan adalah 16,9

mL. Hal ini berarti volume NaOH 0,5 N yang bereaksi dengan sampel adalah 33,1

mL, kemudian dihitung kadarnya dengan persamaan kesetaraan yang dicantumkan

dalam Farmakope Indonesia Edisi IV dimana :

1 mL natrium hidroksida 0,5 N setara dengan 45,04 mg C9H8O4

sehingga, dari kesetaraan di atas diperoleh nilai kadar asetosal sebesar 99,39 %.

Dari hasil ini dapat dinyatakan bahwa sampel asetosal tidak memenuhi

persyaratan Farmakope Indonesia, dimana syarat kadar asetosal berada pada 99,5

% – 100,5 %. Hal ini dapat terjadi karena bahan asetosal yang digunakan

mungkin telah terkontaminasi zat lain selama penyimpanan.

Dalam praktikum kali ini, seharusnya juga dilakukan uji batas logam berat

yang terkandung di dalam sampel bahan baku. Uji batas logam berat adalah uji

yang dimaksudkan untuk mengetahui bahwa cemaran logam yang direaksikan

dengan ion sulfida menghasilkan warna pada kondisi penetapan dan tidak

melebihi batas logam berat yang tertera pada monografi, dinyatakan dalam %

(bobot) timbal dalam zat uji. Untuk pengujian batas logam berat menurut

Farmakope Indonesia edisi IV dilakukan dengan cara melarutkan 2 gram asetosal

ke dalam 25 ml aseton dan ditambahkan 1 ml air dan 10 ml hidrogen sulfide,

Page 10: asetosal

dimana kompleks warna yang terbentuk tidak lebih gelap dari pembanding yang

dibuat dari dari 25 ml aseton P, 2 ml larutan baku timbal dan 10 ml hidrogen

sulfida. Nilai batas logam yang dipersyaratkan dalam monografi asetosal di

Farmakope Indonesia adalah tidak lebih dari 10 bpj. Namun,dalam penelitian kali

ini tidak dilakukan pengujian batas logam berat karena tidak adanya alat dan

bahan yang menunjang untuk uji tersebut.

KESIMPULAN

1. Praktikan dapat mengetahui cara menganalisis bahan baku asetosal agar

sesuai dengan persyaratan bahan baku obat

2. Metode analisis asetosal yang dilakukan yaitu dengan menggunakan Uji

pendahuluan yang meliputi pemeriksaaan organoleptis, uji kelarutan, dan

uji Ph; sementara Uji kualitatif yang dilakukan yaitu dengan pengujian

melting point dengan rentang suhu 141-150,3° C dan spektrofotometri IR

dengan hasil kemurnian sebesar 84,988 %; Uji kuantitatif meliputi : Titrasi

balik dengan kadar 99,39 %. Dari hasil praktikum dapat dikatakan bahwa

sampel bahan baku yang didapat tidak memenuhi syarat yang ditetapkan

oleh Farmakope Indonesia, yaitu sebesar 99,5% - 100,5%

.

Page 11: asetosal