artikel pekerja perempuan perspeksit agama
DESCRIPTION
wanitaTRANSCRIPT
0
PARADIGMA PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN PEKERJA DI DUNIA KERJA DAN KESEHATAN REPRODUKSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM, KEBIJAKAN NEGARA DAN REALITAS1
Oleh:
Selamat RIYADI2
ABSTRAK
Ajaran Islam dan kebijakan negara telah menempatkan perempuan secara proporsional untuk memiliki
kesempatan yang sama sehingga dapat mengembangkan diri dalam peran, tugas dan fungsinya, baik untuk
bekerja reproduktif (dalam rumah tangga) maupun bekerja produktif (di luar rumah tangga) serta perwujudan
dari aktualisasi diri mereka. Berbagai persoalan pada pekerja produktif muncul, terutama terkait tuntutan status
pekerjaan dan pemenuhan hak-hak mereka secara layak.
Pada pekerja sektor informal dengan potensi besaran masalah lebih tinggi dan kompleks memerlukan
penanganan khusus dengan pendekatan yang bersifat terintegrasi dan komprehensif serta keagamaan.
Pemberdayaan dan penyediaan fasilitas pelayanan yang dapat menunjang pemenuhan hak-hak pekerja
perempuan oleh stake holder terkait diharapkan bersinergi untuk mengurangi dan mencegah tidak terpenuhinya
hak-hak mereka sesuai ketentuan dengan memegang prinsip keadilan dan kesejahteraan.
Perdebatan tentang pekerja perempuan dalam berbagai aspeknya dan persoalan yang dialami para
pekerja perempuan lebih disebabkan diantaranya oleh konstruk sosial budaya mereka di tengah-tengah
masyarakat serta perbedaan penafsiran dalam agama. Dalam hal ini diperukan kesadaran kolektif untuk
merekonstruksi nilai-nilai luhur sosial budaya mereka agar sesuai dengan ajaran agama dan kebijakan negara
yang didasari oleh suatu keinginan dan tujuan yang mulia serta kepentingan universalitas kemanusaiaan sehingga
kasustik di lapangan bisa dihindari atau dikurangi.
Sangat banyak tulisan yang mengkaji masalah perempuan dalam segala perspektifnya. Hal ini seiring
dengan adanya banyak pusat kajian perempuan dan adanya kementerian/lembaga yang khusus menanganinya.
Walapun demikian, bahasan tentang perempuan pekerja masih sangat layak digali dan dikaji terus karena
persoalan di lapangan tiada henti. Dalam makalah ini akan dibahas tentang berbagai hal terkait pekerja
perempuan, yaitu pandangan tentang kedudukan perempuan dan pekerja perempuan serta paradigma
permasalahannya di dunia kerja khususnya mengenai perlndungan dan pemberian pelayanan kesehatan
reproduksi yang ditinjau perspektif Islam dan kebijakan negara serta pada tataran kasus di lapangan sehingga
dapat diperoleh titik temu, benang merah dan solusinya berkenaan dengan kompleksitas dan problematika
pekerja perempuan khususnya menyangkut perlindungan keamanan, keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan
serta adanya jaminan pelayanan kesehatan reproduksi sesuai standar. Kata Kunci: pekerja perempuan,
kesehatan reproduksi, Islam dan kebijakan
A. Pendahuluan
Permasalahan di bidang ketenagakerjaan atau yang berkaitan erat dengan pekerja3,
seperti pengangguran, aksi unjuk rasa/demo buruh dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
merupakan masalah global yang dapat terjadi di semua negara di belahan dunia. Setiap negara
tentunya memiliki persoalan ketenagakerjaan tersendiri sesuai dengan tingkat kemajuan dan
kondisi bangsa. Berbagai tuntutan oleh kelompok buruh atau serikat pekerja sering terjadi
1Makalah diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Kajian Islam Komprehansif pada Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012. 2Staf di Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga Kementerian Kesehatan, mahasiswa Program Doktoral
Agama dan Kesehatan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kosakata pekerja diartikan secara luas dengan orang yang bekerja
(melakukan suatu pekerjaan/perbuatan, berbuat sesuatu), orang yang menerima upah atas hasil kerjanya; buruh, karyawan,
serta diberikan beberapa frase kata, yaitu pekerja harian, pekerja ilegal, pekerja kasar, pekerja mingguan, pekerja musiman,
pekerja pabrik, pekerja seks komersial dan pekerja terampil. Kita pun sering menjumpai atau bisa menyusun banyak
gabungan kata, kata majemuk yang diawali dengan kata pekerja, seperti pekerja formal pekerja profesional, pekerja tetap,
lepas, pekerja legal, pekerja keras, pekerja anak, pekerja laki-laki, pekerja perempuan dan seterusnya. Pekerja juga diartikan
dengan setiap orang yang dapat bekerja guna menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
untuk masyarakat.
1
yang akar persoalannya adalah sangat mendasar menyangkut upah mereka yang dinilai masih
belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup, pengangkatan dari pekerja kontrak
menjadi pekerja tetap serta tuntutan hak-hak dasar pekerja lainnya.
Begitu kompleksnya persoalan pekerja, bahkan untuk beberapa jenis status atau
sebutan “profesi” pekerja itu sendiri sesungguhnya keberadaan mereka tidak dikehendaki
sehingga menjadi bagian dari masalah, tetapi sampai saat ini belum bisa diatasi sepenuhnya,
antara lain adalah pekerja anak (di bawah umur), pekerja seks komersial, pekerja ilegal baik
di dalam negeri maupun di luar negeri. Dilematis kemanusiaan keberadaan mereka yang
semestinya bisa dihindari manakala negara mampu menyediakan lapangan pekerjaan di dalam
negeri dengan baik. Namun, hal itu tidak mudah karena menyangkut banyak persoalan terkait
di berbagai bidang dan dimensi kehidupan, seperti pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk,
kualitas sumber daya manusia, daya saing, etos kerja, kebijakan pemerintah, pendidikan,
sosial budaya, politik, hukum dan sebagainya.
Pada prinsipnya pekerja atau tenaga kerja merupakan aset yang sangat berharga
sebagai faktor utama dalam meningkatkan produktivitas dan kinerja suatu unit
usaha/perusahaan/instansi tempat kerja yang wajib mendapatkan perlindungan, baik pada
pekerja laki-laki maupun pekerja perempuan. Tetapi, dalam kenyatannya perlindungan
pekerja banyak belum dilakukan secara memadai khususnya pada pekerja non formal atau
sektor informal4 serta pada pekerja perempuan
5.
Pekerja merupakan kata generik yang berlaku untuk berbagai status pekerjaan6 yang
dilakukannya sebagai konsekuensi dari kedudukan seseorang dalam melakukan pekerjaan di
4Pekerja dapat dikelompokkan menjadi pekerja formal dan pekerja informal sesuai dengan kategori tempat
kerjanya, sektor formal atau informal. BPS mendefinisikan sektor informal sebagai Perusahaan Non Direktori (PND) dan
Usaha Rumah Tangga (URT) dengan jumlah tenaga kerja kurang dari 20 orang. Sedangkan menurut Hendri Saparini dan M.
Chatib Basri dari UI, dalam Nofita (2010) menyebutkan ciri-ciri tenaga kerja sektor informal, yaitu 1) tenaga kerja bekerja
pada segala jenis pekerjaan tanpa ada perlindungan negara dan atas usaha tersebut tidak dikenakan pajak, 2) pekerja tidak
menghasilkan pendapatan yang tetap, 3) tempat bekerja tidak terdapat keamanan kerja (job security), 4) tempat bekerja tidak
ada status permanen atas pekerjaan tersebut dan unit usaha atau lembaga yang tidak berbadan hukum. Ciri-ciri kegiatan
informal adalah mudah masuk, artinya setiap orang dapat kapan saja masuk ke jenis usaha informal ini, bersandar pada
sumber daya lokal, biasanya usaha milik keluarga, operasi skala kecil, padat karya, keterampilan diperoleh dari luar sistem
formal sekolah dan tidak diatur dan pasar yang kompetitif, antara lain pedagang kaki lima (PKL), becak, penata parkir,
pengamen dan anak jalanan, pedagang pasar, buruh tani dan lainnya. 5Laporan Independen NGO’s tentang Implementasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (CEDAW) di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1998 – 2007 mencatat isu yang terkait dengan tindakan
diskriminasi terhadap perempuan yang perlu mendapatkan prioritas dintaranya adalah tentang hak pekerja perempuan dan
kesehatan reproduksi perempuan. 6BPS, di dalam Nofita (2010) membedakan status pekerjaan menjadi 7 kategori, yaitu 1) Berusaha sendiri, 2)
Berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tak dibayar, 3) Berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar, 4)
Buruh/Karyawan/Pegawai, 5) Pekerja bebas di pertanian, meliputi pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan,
peternakan, perikanan dan perburuan, termasuk juga jasa pertanian, 6) Pekerja bebas di non pertanian yang meliputi usaha di
sektor pertambangan, industri, listrik, gas dan air, sektor konstruksi/bangunan, sektor perdagangan, sektor angkutan,
pergudangan dan komunikasi, sektor keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan, sektor jasa
kemasyarakatan, sosial dan perorangan, 7) Pekerja tak dibayar, dapat terdiri dari anggota rumah tangga dari orang yang
dibantunya, seperti istri/anak yang membantu suaminya/ayahnya bekerja di sawah; bukan anggota rumah tangga tetapi
keluarga dari orang yang dibantunya, seperti famili yang membantu melayani penjualan di warung; bukan anggota rumah
tangga dan bukan keluarga dari orang yang membantu menganyam topi pada industri rumah tangga tetangganya.
2
suatu unit usaha/kegiatan baik yang berlangsung rutin maupun temporer. Berdasarkan status
pekerjaaan terlihat begitu luasnya cakupan mengenai pekerja, maka di dalam makalah ini
yang dimaksudkan dengan pekerja adalah dalam kategori buruh/karyawan/pegawai, baik di
sektor formal maupun informal.
Dalam makalah ini dibahas tentang beberapa hal terkait dengan pekerja perempuan,
yang mencakup pandangan mengenai kedudukan perempuan dan pekerja perempuan serta
paradigma permasalahannya di dunia kerja khususnya mengenai kesehatan reproduksi dalam
perspektif Islam dan kebijakan negara serta pada tataran realitas.
B. Kedudukan Perempuan dan Pandangan terhadap Perempuan Pekerja
Kesempurnaan Tuhan menciptakan manusia berpasangan dalam gender7 laki-laki dan
perempuan mengandung makna tentang adanya peran, tugas dan kedudukan yang melekat
pada masing-masing dengan melihat perbedaan yang dimiliki. Dalam konteks ini
sesungguhnya tidak ada perbedaan dan perdebatan yang mendasar terkait keduanya termasuk
menyangkut tugas, kedudukan dan peran. Seharusnya ini menjadikan tidak perlunya gerakan
perjuangan untuk mengupayakan kesetaraan dan keadilan gender. Namun, secara historis dan
fenomenologis tidak bisa dihindari sehingga tidak bisa disalahkan kalau sampai saat ini
berkembang adanya kajian-kajian tentang wanita/perempuan secara akademis, masih relevan
dan diperlukannya kementarian yang secara khusus menangani perempuan. Hal ini tidak
terlepas dari realitas adanya fenomena subordinasi dan marjinalisasi perempuan akibat
konstruksi sosial dan budaya berupa tata nilai, sistem nilai, adat istiadat dan perbedaan tafsir
dalam agama. Sebagai konsekuensinya muncul perbedaan pandangan sehingga mengupas
tentang perempuan selalu saja menarik dan tidak akan pernah “kering” dan tidak ada
habisnya.
Adanya ungkapan bahwa wanita adalah tiang negara menunjukkan bahwa kedudukan
perempuan sangatlah strategis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
serta tidak ada perdebatan mendasar mengenai hal tersebut. Terlepas banyaknya kasus
menyangkut perempuan, kita sudah sepatutnya untuk mengkonstruksi seideal mungkin dalam
sudut pandang yang komprehensif.
Al-qur’an telah memberikan pandangan terhadap keberadaan dan kedudukan
perempuan8. Islam sangat memberikan kesempatan kepada perempuan untuk
7Rahayu Relawati dalm bukunya Konsep dan Aplikasi Penelitian Gender menyandingkan istilah gender dengan
istilah seks (jenis kelamin). Istilah seks mengacu kepada perbedaan biologis, sedangkan gender mengacu pada konstruksi
sosial tentang peran, tugas dan kedudukan perempuan dan laki-laki. 8 Nasaruddin Umar, “Perspektif Gender dalam Islam. Jurnal Pemikiran Islam Paramadina”, http://media.isnet.org/
islam/Paramadina/Jurnal/ Jender3.html (diakses April 9, 2012)
3
mengembangkan dirinya sebagai sumber daya manusia di tengah-tengah masyarakat dan telah
secara jelas mengajarkan adanya persamaan antara manusia laki-laki dan perempuan maupun
antar bangsa, suku dan keturunan. Yang membedakan mereka terutama adalah tingkat
ketaqwaannya.9
Islam dengan kitab suci Al-Qur’an dan melalui Rasulullah SAW telah hadir secara
ideal dengan gagasan besar mengajarkan prinsip dasar kemanusiaan, perlindungan hak azasi
manusia dan kesederajatan serta mengajarkan setiap muslim untuk bekerja dan berusaha
memakmurkan dunia, kebebasan mencari rizki sesuai dengan ketentuan dan norma syariat
agama serta perintah mengerjakan amal shaleh yang bermanfaat bagi orang lain. Konsekuensi
dari kewajiban ini adalah bahwa setiap manusia berhak untuk bekerja mendapatkan
pekerjaan10
.
Dalam sejarah Islam tercatat adanya perempuan (muslimah) turut berperan aktif dan
signifikan membangun peradaban, melakukan aktivitas sosial ekonomi, politik dan
pendidikan serta perjuangan untuk kemaslahatan umat. Al-Ghazali dalam bukunya yang
mengupas antara lain tentang bagaimana sikap Islam terhadap perempuan pada zaman modern
dan sejauh mana aktivitas sosial seorang perempuan dibolehkan menurut ijtihad fiqih Islam,
menunjukkan adanya hadits palsu yang mengekang perempuan untuk bersekolah dan keluar
rumah serta tugas amar ma’ruf dan nahi mungkar meliputi kaum laki-laki dan perempuan
dengan derajat yang sama11
.
Perempuan pekerja yang disamakan artinya dengan pekerja perempuan dapat memiliki
makna sesuai dengan definisi pekerja seperti di sebutkan di atas sebagai perempuan yang
bekerja. Bekerja sesungguhnya merupakan perwujudan dari eksistensi dan aktualisasi diri
manusia dalam hidupnya. Manusia, baik laki-laki maupun perempuan diciptakan Allah SWT
untuk melakukan aktivitas pekerjaannya dan merupakan bagian dari amal saleh12
. Selain
9Q.S. Al-Hujuraat [49]:13:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal”. 10Ahmad Nur Fuad, dkk. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam. Malang: LPSHAM Huhammadiyah Jatim,
2010, 24-26. 11Abdullah Abbas, Al-Ghazali Menjawab 100 Soal Keislaman. Diterjemahkan dari Mi’atu Su’al ‘An Al-Islam
Karya Syaikh Muhammad Al-Ghazali. Penerbit Lentera Hati, 2010, 716-725. Lihat Q.S. at-Taubah [9]:71. 12 Q.S. Ali ‘Imran [3]:195:
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya : "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang
beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain...”.
Q.S. An-Nahl [16]:97:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya
akan Kami berikan kepadan`ya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
4
dimaknai sebagai ibadah13
, dengan bekerja maka seseorang akan dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya baik secara jasmani maupun rohani. Islam mengajarkan adanya kewajiban untuk
bekerja sekaligus hak untuk mendapatkan pekerjaan yang dapat berlaku baik laki-laki maupun
perempuan. Manusia dituntut untuk memperjuangkan kebutuhan hidup, seperti sandang,
pangan, papan dan kesehatan.
Perempuan atau ibu bekerja telah ada sejak masa lalu. Pada waktu kecilnya
Muhammad Rasulullah diketahui banyak para ibu bekerja. Misalnya, Halimah As-Sa’diyah
yang bekerja untuk menyusuinya14
. Istri Rasulullah, Siti Khadijah binti Khuwailid dikenal
sebagai pedagang yang sukses dan sangat berperan membantu perjuangannya15
. Melihat
keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal Islam, maka dapat dikatakan Islam
membenarkan perempuan aktif dalam berbagai aktivitas. Perempuan mempunyai hak untuk
bekerja selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama perempuan
membutuhkan pekerjaan tersebut serta selama norma-norma agama dan susila tetap
terpelihara.
Berdasarkan kitab Fiqih, Jamaluddin Muhammad mahmud menyatakan bahwa
perempuan dapat bertindak sebagai pembela dan penuntut dalam berbagai bidang. Dengan
ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, perempuan mempunyai hak untuk bekerja
dan menduduki jabatan tertinggi16
.
Dalam pandangan yang lain, bahwa Islam menempatkan laki-laki menjadi pemimpin
dalam keluarga17
yang berkewajiban memberi nafkah, tetapi peran perempuan sebagai istri
dan ibu bagi anak-anaknya untuk membantu ekonomi keluarga tidak bisa hindari. Bahkan di
zaman modern sekarang ini, banyak terjadi perempuan karier yang bekerja melebihi
penghasilan suami. Secara kodrati, sesungguhnya perempuan mengemban tugas utama
berkenaan dengan tugas-tugas reproduksi (hamil, melahirkan, menyusui, mengasuh anak)18
13Q.S. Al-Jumu’ah [62]:10:
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung”. 14 Manshur Abdul Hakim, “99 Kisah Teladan Sahabat Perempuan Rasulullah” (Penerbit Republika) , http://books.
google. co.id (diakses April 9, 2012) 15 Lembaga Yatim Piatu Ar-Rodiyah, “Kisah Siti Khadijah, Istri Rasulullah SAW”, http://ar-rodiyah.com/article/
74881/kisah siti khadijah istri rasulullah saw.html (diakses April 6, 2012) 16M. Quraish Shihab, “Membumikan Al-Qur’an”,http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/ Perempuan.html
(diakses April 6, 2012) 17Q.S. An Nisaa [4]:34:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas
sebahagian yang lain , dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh,
ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara . Wanita-
wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya , maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya...”. 18Achmad Charris Zubair, “Wanita dalam Transformasi Sosial Budaya: Telaah Peranan Strategis dalam Konteks
Global”, http://filsafat.ugm.ac.id/downloads/artikel/wanita.pdf, 1 (diakses April 9, 2012)
5
atau bekerja reproduktif (hamil, melahirkan, menyusui, pengasuhan, perawatan fisik dan
mental untuk berfungsi dalam struktur masyarakat). Realitas bahwa perempuan bekerja di
sektor publik/kerja produktif merupakan sebuah pilihan karena berbagai alasan. Di Arab
Saudi, misalnya karena faktor ekonomi dan ingin mengimplementasikan ilmunya19
. Menurut
Zubair, alasan keketerdesakan ekonomi, selera pasar dan emosi tidak mangacu pada otonomi
perempuan selaku manusia. Lain halnya karena dorongan ingin mengaktualisasikan potensi
yang dimilikinya, bukan karena tekanan yang lain yang memerlukan kemauan dan
kemampuan kualitas untuk bersaing secara sehat dengan laki-laik.20
Tidak bisa dihindari
bahwa seiring dengan pesatnya industri banyak sekali terserap pekerja perempuan baik di
sektor formal maupun informal. Bahkan beberapa jenis pekerjaan didominanasi pekerja
perempuan karena umumnya mempunyai sifat-sifat seperti; sabar, teliti, mudah diatur/tidak
banyak protes, memiliki keterampilan manual dan seringkali bersedia untuk di gaji lebih
rendah daripada laki-laki.
Di negara-negara yang mayoritas penduduk muslim dengan ekonomi mapan, seperti
Arab Saudi dan Kuwait tuntutan untuk dapat bekerja dan memilih pekerjaan merupakan
masalah utama. Di Arab Saudi, hanya 5% perempuan bekerja dan terbatas pada pekerjaan
zona domestik (seperti pekerjaan keagamaan, pendidikan dan perawatan). Malaysia dianggap
sebagai simbol negara muslim yang berhasil memadukan tradisi dan modernitas dan potret
keberhasilan peran perempuan dalam pembangunan, walaupun masih ada ketidakadilan dalam
pendapatan karena laki-laki yang dituntut untuk bekerja atau mencari nafkah. Data tahun
2009, diperkirakan jumlah perempuan yang aktif dalam perekonomian 38%, dari hanya 7%
tahun 1980 dan 8,5% tahun 1990. Di sektor pendidikan dan profesional bahkan jumlah
perempuan melebihi laki-laki21
.
Permasalahan perempuan yang bekerja di luar rumah tangga (bekerja produksi/sektor
publik) dalam pandangan masyarakat kita yang muslim tidak terlepaskan dari adanya
penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an berwawasan gender yang hampir semua tafsir yang ada
mengalami bias gender dan pengaruh budaya Timur Tengah yang androsentris22
. Begitu juga
di Indonesia, terutama di pedesaan faktor sosial budaya berpengaruh terhadap eksistensi
perempuan. Masih terdapat kecenderungan orang tua secara diskriminatif memprioritaskan
anak laki-laki daripada perempuan melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan yang lebih
19
Farinia Fianto, “Pekerja Perempuan di Dua Negeri Islam” , http://www.rahima.or.id/index.php, 1-2 (diakses April
9, 2012) 20 Achmad Charris Zubair, “Wanita dalam Transformasi Sosial Budaya: Telaah Peranan Strategis dalam Konteks
Global” , http://filsafat.ugm.ac.id/downloads/artikel/wanita.pdf, 2 (diakses April 9, 2012) 21 Farinia Fianto, “Pekerja Perempuan di Dua Negeri Islam” , http://www.rahima.or.id/index.php, 1-4 (diakses
April 9, 2012)
6
tinggi tinggi serta untuk bekerja mencari nafkah, sementara perempuan lebih diarahkan hanya
sebagai ibu rumah tangga.
Di kalangan muslim, terdapat kelompok yang mengkhawatirkan jika perempuan
bekerja yang mengakibatkan perbuatan tidak terpuji karena dimungkinkan adanya hubungan
dan pergaulan antara laki-laki dan perempuan sehingga dapat terjadi fitnah, perselingkuhan
yang merusak kehidupan rumah tangga. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
memberikan pandangan tentang pekerja perempuan, dikatakan bahwa:
“sebenarnya lahan pekerjaan perempuan di rumah atau di bidang pengajaran dan lainnya yang
berhubungan dengan perempuan sudah cukup bagi perempuan tanpa harus memasuki pekerjaan yang menjadi
tugas para laki-laki. Orang-orang yang berakal dari negara-negara barat telah menyeru keharusan untuk
mengembalikan perempuan pada kedudukan yang telah disediakan Allah SWT dan diatur sesuai dengan fisik
dan akalnya”23.
Qardhawi mengkategorikan hukum perempuan bekerja di luar rumah atau melakukan
aktivitas adalah jaiz (dibolehkan) dan dapat sebagai sunah atau bahkan kewajiban (wajib)
karena tuntutan (membutuhkannya), misalnya pada janda yang diceraikan suaminya, dan
untuk karena untuk membantu ekonomi suami atau keluarga24
. Demikian juga dalam literatur
fikih, khususnya fikih Hambali sebagaimana yang ditulis Faqihuddin Abdul Kodir, tidak
ditemukan adanya larangan perempuan bekerja selama ada jaminan keamanan dan
keselamatan, karena bekerja adalah hak setiap orang. Suami tidak berhak melarang istri
bekerja mencari nafkah apabila suami tidak bisa bekerja mencari nafkah karena sakit, miskin
atau yang karena yang lain. Seorang laki-laki yang awalnya mengetahui dan menerima calon
isteri yang bekerja (perempuan karir) dan setelah menikah akan terus bekerja, maka dengan
alasan apapun suami tidak boleh melarang istri untuk bekerja25.
Perkembangan saat ini bisa dilihat ada kecenderungan perempuan pada beragam
tingkat ekonomi lebih memilih mengasuh anak ketimbang mencari rezeki di luar. Hal ini
sesuai hasil survei di Amerika Serikat bahwa dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan
turunnya angka pekerja perempuan. Tidak bisa dipungkiri tugas pokok perempuan sebagai ibu
22Nasaruddin Umar, “Perspektif Gender dalam Islam. Jurnal Pemikiran Islam Paramadina”, http://media.isnet.org
/islam/Paramadina/Jurnal/Jender3.html (diakses Maret, 5 2012) 23Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, “Pandangan Islam terhadap Pekerjaan Seorang Perempuan” ,
Sefrizal/ http://id.shvoong.com/humanities/1845934-pandangan-islam-terhadap-pekerjaan-seorang/ (diakses Maret, 5 2012) 24Yusuf Qardhawi, “Fatwa-fatwa Kontemporer. Apa saja yang Boleh Dikerjakan Wanita?”, http://dir.groups.
yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/296 (diakses April 6, 2012) 25Faqihuddin Abdul Kodir, “Perempuan Bekerja Menurut Islam”, http://jumiartiagus. multiply.com/journal/item/1
(diakses April 6, 2012)
7
dan pengatur rumah tangga dan terkait adanya hukum-hukum masalah kehamilan, kelahiran,
persusuan, pengasuhan dan masalah ‘iddah26
.
Dalam tataran kebijakan negara dan pandangan umum umat Islam pada zaman modern
sekarang ini di Indonesia, sesungguhnya tidak banyak masalah menyangkut kedudukan
perempuan. Hal ini dibuktikan dengan adanya presiden dan wakil presiden seorang
perempuan (Megawati Soekarno Putri) serta menduduki jabatan strategis lainya sebagai
menteri, gubernur, anggota DPR/MPR dan lain sebagainya. Tidak ada perbenturan dalam
konteks dogma agama. Islam memberi jalan kebahagiaan dan martabat yang tinggi bagi
perempuan serta memberi rambu, nilai dan menuntun tatanan moral mana yang pantas dan
tidak pantas. Perempuan memiliki tanggung jawab dalam rumah tangga sebagai konsekuensi
alamiah/fitrah untuk hamil, melahirkan, menyusui dan mengalami haid. Dalam karier pun
terbuka kesempatan luas dan tinggi. Pada konteks ini, perempuan ketika memasuki gerbang
hidup berkeluarga, mereka diberikan adanya kebebasan atau alternatif untuk memilih tetap
berkarir dengan catatan tanggung jawab kehidupan rumah tangga berjalan dengan baik atau
fokus pada tanggung jawab dalam keluarga rkarena kewajiban menafkahi keluarga
sesungguhnya merupakan tanggung jawab laki-laki. Dalam hal kesetaraan gender atau adanya
tuntutan emansipasi wanita oleh sekelompok pihak seringkali “kebablasan” atau melewati
batas-batas kodrati perempuan. Melalui pendekatan keagamaan diharapkan emansipasi yang
berkembang berbasis pada etika moral dan keagamaan dalam rangka mencapai keseimbangan
kehidupan antara keluarga dan karir. Dekonstruksi terhadap tatanan moral dan keagamaan
justru sebaliknya akan membawa kepada rendahnya martabat dan kebahagiaan yang
sebenarnya.
C. Permasalahan pada Perempuan Pekerja di Dunia Kerja dan Kesehatan Reproduksi
Tidak bisa dielakkan bahwa pekerja perempuan memiliki peran ganda, yaitu sebagai
tenaga kerja yang harus dilindungi hak-haknya dan juga berperan sebagai ibu rumah tangga
yang harus dilindungi fungsi reproduksinya. Oleh karena itu, pekerja perempuan perlu
mendapat perlindungan khusus agar fungsi reproduksinya tidak terganggu. Dengan jumlah
yang cukup besar, pekerja perempuan mempunyai hak yang sama tanpa diskriminasi dalam
pekerjaan agar tetap eksis untuk berpartisipasi dalam mengisi pembangunan. Pekerja
perempuan bekerja hampir di semua sektor, baik sebagai tenaga manajerial, profesional,
26Adnan Syafi’i, “Tugas Pokok Wanita Menurut Islam” BKLDK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ,
http://dakwahkampus.com/pemikiran/pergaulan/1564-tugas-pokok-wanita-menurut-islam.html (diakses Maret, 5 2012).
Diuraikan bahwa sebuah penelitian US Cencus Bureau (2005) memperkirakan sekitar 5,6 juta perempuan memilih menjadi
ibu rumah tangga dan tinggal di rumah (naik 22% dari tahun 2004). Dalam buku The Cinderella Complex terdapat fakta
banyak perempuan Amerika lebih senang berperan sebagai ibu rumah tangga dibanding keluar rumah untuk bekerja.
8
teknis, administratif sampai ke buruh maupun menjadi wiraswasta. Masih ada kecenderungan
untuk mempekerjakan perempuan di sektor pertanian dan pelayanan jasa. Sebagian besar
perempuan bekerja di sektor informal yang termasuk underserved population karena populasi
pekerja tidak terlindung oleh hukum maupun dalam mendapatkan pelayanan kesehatan secara
memadai.
Menurut data BPS 2008, populasi pekerja di Indonesia sudah mencapai 166,64 juta
orang. Sekitar 38% pekerja bekerja di sektor informal, dengan persentase terbesar (40,3%)
bekerja di sektor pertanian. Sedangkan jumlah pekerja perempuan sekitar 40%. jumlah
pekerja sektor informal mencapai 69,49% dan diperkirkan 70 % adalah perempuan.
Sedangkan tenaga kerja yang bekerja di luar negeri (BNP2 TKI, 2008) sebanyak 748.825
orang, dengan rincian jumlah TKI formal 296.340 orang (36%) dan TKI Informal 452.485
orang (64%), dengan jumlah TKI Perempuan sekitar 569 ribu (76%), 512 ribu orang (90%)
adalah Pekerja Rumah Tangga (PRT). Permasalahan pekerja perempuan di Indonesia cukup
kompleks, khususnya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Pada tahun 2011 terdapat
sekitar enam juta berada di lebih dari 40 negara dan berasal dari 400 kabupaten/kota di
Indonesia. Sebanyak 65 persen dari jumlah itu merupakan TKI informal yang bekerja sebagai
pembantu rumah tangga27
.
Jumlah TKI di luar negeri diperkirakan akan terus meningkat. Faktor pendorongnya
adalah karena pengangguran (sulit memperoleh pekerjaan di dalam negeri), kebuthan
ekonomi mendesak (meningkatkan taraf hidup lebih layak), masalah keluarga, menanggung
hutang, biaya sekolah anak, beban keluarga yang semakin kompleks. Adapun kasus/isu yang
terjadi, diantaranya pelecehab seksual, pemerkosaan, penipuan, penganiayaan dan
pembunuhan. Kasus-kasus tersebut tidak mengurangi minat bekerja di luar negeri karena
berbagai alasan tersebut di atas. TKI di luar negeri pada prinsipnya sama dengan pekerja
formal dan informal yang harus dilindungi secara hukum dan memperoleh hak-haknya
sebagai pekerja.
Demikian juga di dalam negeri, dengan jumlah mencapai 62% yang bekerja di sektor
informal dan pekerja perempuan sebanyak 40,74 juta (38%), sekitar 25 juta usia reproduksi
yang dalam siklus kehidupannya kemungkinan akan mengalami proses menyusui bayi setelah
bersalin. Kenyataan yang terjadi saat ini, yaitu belum sepenuhnya pekerja memperoleh
pelayanan kesehatan sesuai harapan, terutama pekerja di sektor informal. Sebagai gambaran
baru 20 % pekerja formal dan 1% pekerja sektor informal dilindungi dengan pembiayaan
kesehatan. Kecilnya jumlah pekerja sektor informal yang terlindungi karena terkendala oleh
9
kemampuan finansial pekerja informal untuk membayar iuran dan tidak pahamnya pekerja
informal terhadap program jaminan kesehatan tenaga kerja. Partisipasi perempuan pada
populasi pekerja meningkat terus, baik di sektor pertanian, industri maupun jasa, sehingga
saat ini sudah mencapai sekitar 42% dari populasi pekerja di dunia. Meskipun pekerja
perempuan besar kontribusinya terhadap perekonomian nasional, namun kebutuhan khusus
mereka akan pelayanan kesehatan kerja jarang terpenuhi, WHO 2001. Berdasarkan laporan
BPS tahun 2008, pekerja wanita usia produktif (15-45 tahun) sebanyak 67,49 %28
.
Beberapa masalah terkait pekerja perempuan, diantaranya adalah Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja (TPAK) selalu lebih rendah, banyak bekerja dibawah jam kerja normal (< 35
jam per minggu), tingkat pendidikan rendah, masih banyak ditemui pelanggaran-pelanggaran
normatif di bidang norma kerja perempuan yang dilakukan oleh perusahaan, diantaranya
penerimaan pekerja (lowongan kerja), kesempatan mengikuti, pelatihan dan promosi,
partisipasi dalam pengambilan keputusan, perbedaan upah, perbedaan dalam jaminan sosial
(JPK), perbedaan dalam usia pensiun, PHK bagi pekerja perempuan yang menikah, belum
terlindunginya pekerja perempuan yang bekerja di sektor informal dan yang bekerja di luar
hubungan kerja (PRT, pekerja rumahan, buruh tani dan lain-lain, penegakan hukum belum
berjalan efektif, pengawasan terhadap penerapan Norma Kerja Perempuan belum berjalan
secara optimal29
.
Pekerja perempuan sebagian besar adalah usia reproduksi (15-45 tahun) dengan
persentase tinggi untuk perempuan hamil. Di Amerika Serikat jumlah perempuan yang
bekerja pada waktu kehamilan pertamanya mencapai 64,5%. Umumnya perempuan yang
bekerja mempunyai beban kerja ganda, yaitu terbebani menambah atau menjadi sumber
utama nafkah keluarga, beban mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengurus anak dan
kadang juga orang tuanya. Adanya peran ganda perempuan dalam hubungannya sebagai
suami istri, ibu rumah tangga (bekerja reproduksi) dan sebagai pekerja produktif dalam
realitasnya membawa berbagai persoalan tersendiri terkait dengan pemenuhan hak-hak
reproduksinya (fungsi reproduksi), khususnya dalam pemberian ASI bagi bayinya sesuai
anjuran baik dalam perspektif Islam, kebijakan pemerintah, implementasi di
perusahaan/instansi pemerintah maupun di tingkat pekerjanya30
.
27Jumhur Hidayat, “Bukan Hanya di Jawa, Basis TKI Menyebar”, http://nasional.vivanews.com/news, (diakses
April, 2012) 28Dirjen Bina Gizi dan KIA Kemenkes, “Bahan Sosialisasi ‘Percontohan’ ASI Eksklusif di Tempat Kerja
Dukungan Dana Tugas Pembantuan 2012” , Surabaya, 29 – 31 Maret 2012. 29Kemneg PP dan PA, Kebijakan Tenaga Kerja Perempuan yang Bekerja di Dalam Negeri. Bahan Pertemuan
Konsultasi Kesehatan Kerja. NTB, 7 April 2010.
30Direktur Pengawasan Perlindungan Perempuaan dan Anak Kemenakertrans, “Bahan Seminar Kesehatan
Reproduksi di Tempat Kerja Dalam Rangka Mendukung MDGs 2015” , Semarang, 16 Juni 2011.
10
Menurut Mas’udi di dalam Nur Fuad dkk31
, setidaknya terdapat 3 hak dasar
perempuan berkaitan dengan peran reproduksinya, yaitu 1) Hak perlindungan keselamatan
dan kesehatan, 2) Dukungan yang tepat, tidak hanya selama proses-proses reproduksi, tetapi
juga setelah proses itu sebagai seorang istri dan ibu dari anak-anak, 3) Hak untuk terlibat
dalam proses pengambilan keputusan.
Data tahun 2010 menunjukkan bahwa persentase bayi yang menyusui eksklusif
sampai dengan 6 bulan adalah 15,3%. Inisiasi dini menyusui kurang dari satu jam setelah bayi
lahir adalah 29,3%, tertinggi di Nusa Tenggara Timur 56,2% dan terendah di Maluku 13,0%.
Sebagian besar proses mulai menyusui dilakukan pada kisaran waktu 1-6 jam setelah bayi
lahir tetapi masih ada 11,1% proses mulai disusui dilakukan setelah 48 jam. Persentase bayi
yang menyusui eksklusif sampai dengan 6 bulan adalah 15,3%32
.
Dalam hal pencapaian hak-hak reproduksi perempuan untuk memberikan ASI kepada
bayinya sesuai anjuran, sampai saat ini di Indonesia khususnya menunjukkan bahwa tingkat
kesadaran masyarakat dalam pemberian ASI eksklusif dan ASI kepada bayinya masih rendah.
Terkait masalah tersebut sebenarnya sudah banyak kebijakan negara yang mendukung
program ASI di tempat kerja.
Dalam Laporan Independen NGO’s tentang Implementasi Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) di Indonesia tahun 2007 tercatat
berbagai isu penting dan permasalahan mengenai Kesehatan Reproduksi33
Perempuan dan
Hak Pekerja Perempuan, yaitu:34
1) Jaminan pemeliharaan pelayanan kesehatan bagi
perempuan, 2) Jaminan pelayanan Keluarga Berencana (KB) yang setara bagi laki-laki dan
perempuan, 3) Pelayanan yang layak bagi perempuan selama hamil, persalinan dan sesudah
persalinan dengan cuma-cuma dimana perlu sesuai sesuai dengan kondisi perempuan, 4)
Pemberian gizi yang cukup selama kehamilan dan masa menyusui, 5) Sesuai Undang-undang
No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja perempuan di sektor industri dan jasa
dengan status pegawai tetap memiliki hak cuti melahirkan, namun dalam kenyataannya
31Ahmad Nur Fuad, dkk. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam. Malang: LPSHAM Huhammadiyah Jatim,
2010, 71. 32 Balitbang Kemenkes, Riset Kesehatan Dasar 2010, (Jakarta, 2010) , 4. Inisiasi dini menyusui kurang dari satu
jam setelah bayi lahir adalah 29,3%, tertinggi di Nusa Tenggara Timur 56,2% dan terendah di Maluku 13,0%. Sebagian besar
proses mulai menyusui dilakukan pada kisaran waktu 1-6 jam setelah bayi lahir tetapi masih ada 11,1% proses mulai disusui
dilakukan setelah 48 jam. 33Di tingkat international telah disepakati definisi kesehatan reproduksi sebagai suatu keadaan sejahtera fisik,
mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua halyang berkaitan dengan
sistem reproduksi serta fungsi dan prosesnya. Kesehatan reproduksi telah mendapat perhatian khusus secara global. Dalam
Konferensi International tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and
Development, ICPD) di Kairo Mesir tahun 1994 disepakati perubahan paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan
dan pembangunan dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas/keluarga berencana menjadi pendekatan
yang terfokus pada kesehatan reproduksi serta hak reproduksi. 34 Disarikan dari CEDAW Working Group Initiative (CWGI), Laporan Independen NGO’s tentang Implementasi
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) di Indonesia, Jakarta, 2007, 43-53
11
selama cuti tidak dibayar35
, 6) Pekerja perempuan di perusahaan/pabrik tidak dapat
mengambil cuti haid jika tidak dapat membuktikannya dengan surat dokter, 7) Belum
terpenuhinya hak-haknya sebagai pekerja dan hak-haknya sebagai perempuan, seperti
masalah cuti haid, masalah cuti melahirkan, masalah kehamilan, masalah menyusui, tempat
penitipan anak, mengalami pelecehan seksual dan sebagainya, 8) Sebagian besar perusahaan
hampir tidak memperhatikan masalah-masalah yang spesifik yang dialami pekerja perempuan
berupa jaminan akan terperhatikannya hak-haknya, misalnya soal cuti haid36
, 9) Data kasus
dari Konsorsium Buruh Migran Indonesia (Kopbumi) dan Serikat Buruh Migran Indonesia
(SBMI) tahun 2005, menunjukkan tercatat sedikitnya 19 kasus kematian, 101 kasus
penyiksaan disertai pemerkosaan, 117 kasus hilang kontrak dan 4.100 kasus yang menimpa
buruh migran, seperti deportasi, trafiking, gaji tidak dibayar dan jam kerja yang panjang, 10)
Masalah ketenagakerjaan yang diskriminatif terhadap perempuan banyak dialami pekerja
rumah tangga (PRT)37
.
D. Islam dan Kebijakan Negara dalam Perlindungan terhadap Perempuan Pekerja di
Dunia Kerja dan Kesehatan Reproduksi
Islam membicarakan tentang perempuan dalam berbagai ayat menyangkut berbagai
sisi kehidupan, tentang hak dan kewajiban serta keistimewaan tokoh perempuan dalam
sejarah agama atau kemanusiaan. Beberapa hak yang dimiliki oleh kaum perempuan dalam
pandangan ajaran Islam, diantaranya meliputi bidang politik, memilih pekerjaan dan belajar.38
Disamping hak tersebut, secara kodrati perempuan juga memiliki hak-hak reproduksi khusus
yang tidak dimiliki oleh laki-laki, yaitu hak-hak reproduksi seperti haid, hamil, melahirkan,
menyusui dan nifas. Dengan fungsi perempuan tersebut, Islam mengajarkan kita ini kita untuk
berbakti kepada kedua orang tua, khususnya ibu39
.
35Sebagaimana disampaikan oleh CEDAW Working Group Initiative (2007), alasannya adalah pekerja perempuan
tersebut tidak dapat memperlihatkan akte nikahnya karena pemilik perusahaan mengaitkan dengan UU No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan dimana perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sudah didaftarkan. Namun, hal ini tidak berlaku
bagi pasangan yang menikah di wilayah pedesaan, karena hanya 30% dari pasangan yang resmi menikah di Indonesia
memiliki akte/surat nikah. 36Dalam Undang-undang tentang Ketenagakerjaan secara jelas pekerja perempuan memperoleh hak untuk cuti
sebanyak dua kali dalam sebulan, namun sejumlah kasus hak cuti haid buruh perempuan tidak diberikan. 37Sebagaimana diuraikan oleh CEDAW Working Group Initiative (2007) bahwa umumnya sektor ini dilakukan
oleh perempuan. Permasalahan dalam sektor ini antara lain upah rendah, fasilitas kerja tidak memadai, tidak ada jaminan
sosial, jaminan kesehatan (kesehatan reproduksi) dan jaminan keselamatan kerja, rentan terhadap kekerasan (fisik, psikis,
seksual, ekonomi, sosial), terbatasnya akses informasi, komunikasi, sosialisasi dan berorganisasi dan umumnya tidak ada hari
libur dan cuti. Undang-undang tentang Ketenagakerjaan tidak mencakup pekerja rumah tangga ke dalam sistem perundang-
undangan umum untuk mengatur hubungan ketenagakerjaan. PRT belum diakui sebagai pekerja, melainkan sebagai
“pambantu”. Akibatnya pekerja rumah tangga tidak mempunyai aturan pekerjaan yang jelas, perlindungan hukum dan
jaminan sosial, termasuk jaminan kesehatan reproduksinya. 38M. Quraish Shihab, “Membumikan Al-Qur’an” http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/ Perempuan.html
(diakses April 6, 2012) 39 Q.S. Al-Ahqaf [46]:15:
12
Al-Qur’an juga secara tersirat banyak menginformasikan hak-hak pekerja perempuan.
Beberapa hak khusus pekerja perempuan yang secara tersirat dikomunikasikan dalam ajaran
Islam, diantaranya adalah memakai busana muslimah, gaji yang setara dengan pekerja laki-
laki, mengandung anak, cuti haid, hamil dan nifas, fasilitas tempat penitipan anak, jaminan
keamanan harta, nyawa dan kehormatan40
.
Terkait hak-hak reproduksi perempuan dalam Islam, setidaknya terdapat 12 kategori,
yaitu mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan, jaminan kesejahteraan, mengambil
keputusan, mendapat informasi pendidikan, kebebasan berfikir, hidup, keamanan dan bebas
penganiayaan, mendapat manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan, kerahasiaan pribadi,
memilih bentuk dan merencanakan keluarga, kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam
politik, kesetaraan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi41
.
Indikator pemenuhan hak-hak reproduksi di perusahaan pada pekerja perempuan
mencakup kebijakan, jaminan pembiayaan, fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi,
sarana/prasarana, peralatan dan petugas, proses pelayanan kesehatan reproduksi di tempat
kerja, hasil pelayanan kesehatan reproduksi dan ASI Eksklusif di tempat kerja, perlindungan
kesehatan reproduksi dan inovasi. Pada instansi pemerintah, indikator pemenuhan hak-hak
reproduksi meliputi penyediaan ruangan memerah ASI, petugas konselor/motivator ASI,
kegiatan sosialisasi, pendataan dan peralatan42
.
Apa yang dilaporkan oleh CWGI (2007) seperti permasalahan tersebut di atas
merupakan masukan berharga bagi pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya (stake
holder) untuk menjadi perhatian dalam rangka perbaikan dari sisi regulasi, implementasi dan
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan
susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,
sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo'a: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk
mensyukuri ni'mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal
yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada
Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".
H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah:
قال ثم من؟ قال ابوك, قال ثم من؟قال امك, قال ثم من؟ قال امك, امك: من احق الناس بحسن صحبتى؟ قال, يا رسول هللا:جاء رجل الى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فقال
“Suatu ketika seorang sahabat bertanya; siapakah yang puling berhak menerima kebaktian dirinya. Nabi menjawab.
“ibumu!” kemudian? “ibumu!” kemudian? “ibumu” kemudian? Tanya sahabat untuk keempat kalinya. “Ayahmu”, jawab
Nabi.” 40Muh. Nurhidayat, “Al-Qur’an dan Informasi Hak Khusus Pekerja Perempuan”, http://www.hidayatullah.com/
/06/01/2012/al-qur’an-dan-informasi-hak-khusus-pekerja-wanita.html (diakses April 6, 2012). Ditulis bahwa Pekerja
perempaun memiliki hak yang sama dengan pekerja laki-laki berupa jaminan kebebasan beribadah, jaminan keamanan dan
keselamatan kerja, memperoleh upah/gaji layak, mendapatkan upah lembur, diberi waktu istirahat yang cukup disela-sela
bekerja, menikmati libur pekanan, diberi cuti tahunan, diizinkan berorganisasi/menjadi anggota serikat pekerja, memperoleh
jatah makanan halalan thayyiban, diberi tunjangan sosial dan kesehatan, menikmati tunjangan hari tua, mendapatkan fasilitas
transportasi, diberi fasilitas asrama/mess. 41Wahyuni Shifaturrahmah, “Hak-hak Reproduksi Perempuan dalam perspektif Al-Qur’an”,
http://wahyunishifaturrahmah.wordpress.com/2010/02/16/hak-hak-reproduksi-perempuan-dalam-perspektif-al-quran/
(diakses April, 9 2012) 42 Bersumber dari instrumen yang dikembangkan oleh Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga tahun 2011
dan digunakan dalam penilaian untuk pemberian penghargaan Manggala Karya Bakti Husada bagi perusahaan/instansi
pemerintah yang melaksanakan program kesehatan reproduksi di tempat kerja. Instrumen penilaian dibedakan berdasarkan
kelompok perusahaan dan instansi pemerintah/perkantoran.
13
pengawasannya yang berkaitan dengan tentang ketenagakerjaan, khususnya menyangkut
pekerja perempuan tentang perlindungan di tempat kerja dan jaminan kesehatan. Masalah
tersebut bersifat kasustik yang masih terjadi baik di sektor formal maupun informal umumnya
pada perusahaan menengah ke bawah (UMKM) dan sektor informal yang jumlahnya hampir
70%. Saat ini berbagai masalah sudah direspon oleh pemerintah dengan kebijakan dalam
peraturan perundangan. Misalnya untuk penyediaan ruang ASI di tempat kerja sudah keluar
Peraturan Pemerintah RI No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif serta
adanya pedoman pengelolaan ASI di tempat kerja. Untuk pekerja rumah tangga, bulan Mei
2012 sudah terdapat Draft Final Kebijakan Perlindungan Perempuan Pekerja Rumahan
(Putting-Out System).
Tenaga kerja perempuan meliputi tenaga kerja perempuan formal yang dilindungi
dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tenaga Kerja perempuan informal
yang bekerja di dalam negeri yang hingga saat ini belum ada Undang-Undangnya, seperti
pekerja rumah tangga dan pekerja rumahan/putting out system, serta tenaga kerja Indonesia
perempuan yang bekerja di luar negeri (baik formal maupun informal) dan dilindungi UU No.
39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Adanya
persamaan hak untuk bekerja, mendapat jenis pekerjaan, proses seleksi dan promosi di tempat
kerja; hak untuk menerima upah dan tunjangan yang sama, perlakuan yang sama; serta untuk
perlindungan Kesehatan dan Keselamatan Kerja termasuk perlindungan untuk fungsi
melanjutkan keturunan telah dijamin dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 1984 (Ratifikasi
Konvensi PBB tahun 1979) mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan43
.
Kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan pekerja perempuan mencakup pelayanan
kesehatan umum, pelayanan kesehatan kerja dan pelayanan kesehatan reproduksi. Pelayanan
kesehatan reproduksi diberikan baik pada saat pra hamil, hamil, bersalin, masa nifas maupun
menyusui berupa konseling, gizi pekerja, KB, ANC, pelayanan kesehatan kerja, persalinan di
fasilitas kesehatan oleh tenaga kesehatan, PNC, KB pasca peralinan, ASI eksklusif, alat
kontrasepsi dan kesehatan seksual serta kesehatan sistem reproduksi (pencegahan dan
penanggulangan infeksi saluran reproduksi termasuk HIV/AIDS, pencegahan dan
penanggulangan komplikasi abortus, pencegahan dan penanganan infertilitas)44
.
43Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga, Pedoman Kesehatan Reproduksi, (Jakarta: Kementerian
Kesehatan, 2010) , 4. Dalam buku ini diuraikan mengenai upaya kesehatan reproduksi di tempat kerja Program pelayanan
kesehatan reproduksi di tempat kerja meliputi sebelum konsepsi, saat kehamilan dan pasca melahirkan , 24-25.
44Direktur Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga, “Bahan Seminar Kesehatan Reproduksi di Tempat Kerja Dalam
Rangka Mendukung MDGs 2015” , Semarang, 16 Juni 2011.
14
Dari beberapa hak-hak reproduksi perempuan yang memang sudah di jamin dalam Al-
Qur’an, terdapat hak reproduksi penting terkait dengan upaya kesehatan yang saat ini
mendapat perhatian serius dari pemerintah, salah satunya adalah pemberian ASI pada bayi
secara eksklusif selama 6 bulan dan memberikannya terus sampai dengan bayi berusia 2
tahun.
Dalam pasal 27 Undang-undang Dasar 1945 telah dijamin hak yang sama kepada
setiap negara untuk laki-laki dan perempuan atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Pemerintah juga telah berkomitmen menghapus diskriminasi terhadap
perempuan dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 serta berbagai produk hukum
lainnya yang terkait. Kementerian/lembaga pemerintah yang sangat terkait untuk melindungi
pekerja perempuan di dunia kerja dan kesehatan reproduksi, yaitu Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
Kementerian Kesehatan, BNP2TKI. Selain itu dukungan kementerian/lembaga pemerintah
lain sangat menetukan keberhasilan terhadap perlindungan terhadap pekerja perempuan,
seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, BKKBN, Komnas
HAM, Komnas Perlindungan Anak serta organisasi masyarakat dan keagamaan, LSM-LSM
yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan dan anak, HAM, kesehatan, khususnya
terkait kesehatan reproduksi pada pekerja perempuan. Dalam hal pemberian ASI kepada
bayinya sesuai anjuran yang merupakan bagian dari upaya kesehatan reproduksi,
pemerintah/negara telah melakukan berbagai gerakan dan penyusunan kebijakan untuk
mendukung keberhasilan program ASI, termasuk ASI di tempat kerja45
.
Kebijakan negara begitu kuat dalam mendorong program ASI, termasuk ASI di tempat
kerja, namun hasilnya belum menggembirakan. Untuk mendorong keberhasilan upaya
pemberian ASI Eksklusif untuk mendukung pencapaian MDGs khususnya penurunan angka
45Diantaranya adalah ditandai dengan adanya Gerakan Nasional Peningkatan Penggunaan ASI Eksklusif tahun
1990, Pencanangan Gerakan Masyarakat Peduli ASI pada tahun 2000, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal
83, Pedoman Pemberdayaan Perempuan dalam Peningkatan Pemberian ASI, Peraturan Bersama Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Kesehatan Nomor: 48/Men.PP/XII/2008,
PER.27/MEN/XII/2008, 1177/Menkes/PB/ XII/2008 tentang Peningkatan Pemberian ASI Selama Waktu Kerja di Tempat
Kerja, Undang-undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 pada pasal 128 ayat (1) Pedoman Kesehatan Reproduksi di Tempat
Kerja, peran aktif dalam Pekan ASI Sedunia atau World Breastfeeding Week (WBW) yang diperingati pada tanggal 1 – 7
Agustus setiap tahunnya, ratifikasi Konvensi tentang Hak Anak yang menyatakan bahwa setiap anak menyandang hak untuk
hidup dan kepastian untuk dapat bertahan hidup dan tumbuh kembang secara optimal, keikutsertaan dalam Global Startegy
for Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal penting dalam pemberian makanan bayi
dan anak, yaitu memberikan ASI kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, memberikan hanya ASI saja
atau pemberia ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, memberikan makanan pendamping ASI (MP-
ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan dan meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih,
rekomendasi untuk Inisiasi Menyusu Dini sebagai tindakan yang “live saving (menyelamatkan jiwa)”, Gerakan Nasional
Peningkatan Penggunaan ASI eksklusif yang disusul dengan Pencanangan Gerakan Masyarakat Peduli ASI pada tahun 2000.
15
kematian bayi pada tahun 2012 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah RI No. 33 Tahun
2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif46
.
Ajaran Islam dan kebijakan negara memiliki titik singgung persamaan dalam
mendukung, mendorong dan mengatur tentang perlindungan perempuan dalam dunia kerja
dan kesehatan reproduksi. Berbagai kebijakan negara atau peraturan perundangan yang
melandasi untuk memberikan jaminan perlindungan pekerja perempuan hingga kini terus
berkembang dan berlangsung, seperti kebijakan ASI di tempat kerja, kebijakan perlindungan
perempuan pekerja rumahan (putting-out system).
Dalam prakteknya ajaran Islam dan kebijakan negara dipengaruhi oleh sejauhmana
kesadaran individu dan masyarakat untuk mematuhi setiap perintah, nilai-nilai dan menjauhi
larangan serta menjalankan setiap aturan, norma serta menjalankan perintah dan larangan
produk perundangan sehingga akan terjadi harmonisasi dan sinkronisasi mewujudkan pekerja
perempuan yang bermartabat, selaras dan seimbang antara kepentingan rumah tangga dan
karir sekalipun.
Pada tataran normatif dan pekerja sektor formal baik dalam perspektif Islam dan
kebijakan negara di Indonesia, walaupun masih terdapat perbedaan pendapat dan tingkat
kepuasan yang belum maksimal, sesungguhnya tentang perlindungan perempuan dalam
kesehatan reproduksi dan dunia kerja sudah cukup baik. Namun, pada kelompok pekerja di
sektor informal, realitas pada aspek sosial budaya, kesehatan dan ekonomi berkaitan dengan
reproduksi perempuan dan dunia kerja masih perlu mendapat perhatian dari seluruh pihak-
pihak terkait. Dalam rangka mendapatkan rumusan persoalan krusial dan rekomendasi
solusinya, diperlukan kajian mendalam mengenai permasalahan tentang perlindungan
perempuan pekerja dalam reproduksi dan dunia kerja di Indonesia.
Gambaran permasalahan di atas menunjukkan bahwa pekerja perempuan dalam
realitasnya dihadapkan pada adanya potensi terjadinya pelanggaran terhadap nilai-nilai ajaran
Islam dan kebijakan negara dalam bentuk peraturan perundangan yang menjamin
perlindungan kepada pekerja perempuan. Harus diakui bahwa kebijakan negara dalam
implementasinya belum sepenuhnya dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan, disamping
diakui masih adanya celah banyak kekurangan dan luasnnya sasaran pekerja yang harus
dijangkau khususnya pada pekerja sektor informal dengan jumlah yang besar. Berbagai
inovasi jaminan pembiayaan kesehatan oleh di pusat dan daerah belum optimal untuk upaya
kesehatan reproduksi. Multifaktorial dengan segala dimensi penyebab persoalan dapat
diselesaikan dengan keterpaduan pengembangan dan pembangunan di berbagai bidang
46 Dalam PP No. 33 tahun 2012 Bab V diatur mengenai Program ASI Eksklusif di Tempat Kerja dan Tempat
16
kehidupan, khusunya kesehatan, politik, sosial budaya dan keagamaan, pendidikan, hukum
dan ekonomi secara berkeadilan melalui penguatan dan pemberdayaan perempuan berdarakan
ajaran Islam dan kebijakan negara secara terus menerus. Secara konseptual bisa saja dibuat
formulasi untuk mewujudkan sepotimal mungkin adanya perlindungan terhadap perempuan
pekerja di dunia kerja dan dalam hal kesehatan reproduksi. Namun, pada kenyataannya masih
banyak pekerjaan rumah yang harus diupayakan intervensinya oleh semua pihak. Belum lagi
menyangkut pekerja “bermasalah” seperti terdapat di awal tulisan ini. Paling tidak berbagai
intervensi yang dilakukan dapat menekan dan mungurangi jumlah kasus pelanggaran terhadap
prinsip-prinsip perlindungan terhadap pekerja.
Di tingkat kebijakan negara baik di pusat dan daerah sudah banyak terobosan untuk
peningkatan perbaikan kesejahteraan para pekerja secara gradual melalui peraturan
perundangan yang terkait seperti disebutkan di atas. Adanya kenaikan gaji, upah buruh, UMR
secara berkala mengindikasikan hal tersebut. Berbagai permasalahan kompleks yang masih
muncul terkait pekerja perempuan memang memerlukan penanganan yang terus menerus dan
berkesinambungan yang melibatkan berbagai pihak terkait. Terkait pelayanan kesehatan
reproduksi Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan berbagai kebijakan dalam berbagai
program seperti Jamkesmas, Jampersal, BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) dan juga di
daerah yang pemanfaatannya mencakup juga untuk para pekerja, khususnya pekerja sektor
informal yang tersedia di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit,
puskesmas, praktek bidan dan fasilitas kesehatan lainnya.
E. Penutup
Kedudukan perempuan sudah jelas baik dilihat dalam perspektif Islam maupun
ditinjau dari kebijakan negara berupa peraturan perundangan yang telah menempatkan
perempuan pada posisi bermartabat yang dapat mengembangkan dirinya melakukan peran,
tugas dan fungsinya serta menjaga keseimbangan antara tanggung jawab keluarga dan
pekerjaan di luar rumah tanggga dengan tidak mengabaikan peran dalam rumah tangga dan
menjaga tata nilai soisal budaya keagamaan. Keberadaan pekerja perempuan tidak bisa
dinafikan perannya baik untuk skala luas berperan dalam pembangunan bangsa dan negara
maupun untuk skala status dan kesejahteraan keluaraga melalui bekerja di luar rumah (bekerja
produktif) atau beraktifitas sosial (sosialita) untuk aktualisasi diri. Selain itu, memberi
konsekuensi untuk perlindungan dalam pekerjaan dan pemenuhan hak-haknya sebagai pekerja
maupun kodrat perempuannya, khususnya tentang kesehatan reproduksi. Sejalan dengan
Sarana Umum serta Bab VI mengenai Dukungan Masyarakat.
17
perkembangan zaman di era “cyber” dan serba digital dimungkinkan untuk bekerja produktif
di rumah. Di sisi lain perempuan dimungkinkan untuk memilih hanya mengemban tugas
utama berkenaan dengan tugas-tugas reproduksi atau bekerja reproduktif (hamil, melahirkan,
menyusui, mengasuh anak, perawatan fisik dan mental untuk berfungsi dalam struktur
masyarakat). Tugas ini pun sangat mulia, karena kewajiban untuk menafkahi keluarga
menjadi tanggung jawab laki-laki (suami).
Dalam realitasnya, persoalan yang terkait perempuan pekerja masih banyak kasus
ditemui, termasuk status pekerjaan yang tidak dikehendaki dalam baik kaidah agama maupun
kaidah normatif umum. Oleh karenanya memerlukan penanganan yang terintegratif dan
komprehansif. Pendekatan religiusitas dan peran pemuka agama, tokoh masyarakat dan LSM
sangat diperlukan untuk mencegah dan meminimalisir jumlah status pekerja bermasalah. Pada
pekerja formal, perlindungan terhadap perempuan pekerja dan kesehatan reproduksi relatif
memadai. Namun, pada pekerja infomal diperlukan kebijakan dari pusat dan daerah untuk
memberikan perhatian lebih terkait jaminan perlindungan keamanan, keselamatan dan
kesehatan serta pemenuhan hak-hak pekerja secara layak, baik pekerja di dalam negeri
maupun pekerja di luar negeri khususnya pada pekerja perempuan.
Konsep ajaran Islam dan kebijakan negara memiliki banyak titik singgung persamaan
akan kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja, khususnya pekerja
perempuan dan pemenuhan akan hak-haknya untuk kemaslahatan umat manusia secara
keseluruhan. Universalitas nilai-nilai agama dan norma dalam masyarakat diharapkan
membawa kebersamaan menuju perubahan yang lebih baik dari masalah-masalah yang ada.
Perlu penyadaran kolektif para penguasa dan pengusaha untuk berbagi rizki, membuat
kebijakan dan aturan main yang mengayomi, melindungi para pekerja setidaknya pemenuhan
hak-hak dan jaminan perlindungan kesehatan secara layak dan memadai atau “manusiawi”.
Pendekatan agama dan kemanusiaan sangat diperlukan untuk penyamaan persepsi pada
sebuah tujuan yang mulia dengan selalu menanamkan prinsip-prinsip persamaan hak, keadilan
serta menjunjung tinggi harkat dan martabat sebagai manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali Abdullah Abbas, Menjawab 100 Soal Keislaman. Diterjemahkan dari Mi’atu
Su’al ‘An Al-Islam Karya Syaikh Muhammad Al-Ghazali. Penerbit Lentera Hati,
2010.
Al-qur’an, Software.
CEDAW Working Group Initiative (CWGI). Laporan Independen NGO’s tentang
Implementasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (CEDAW), 2007
18
Depkes, Meneg PP, Diknas, Depsos, BKKBN, UNFPA, WHO. Kebijakan dan Strategi
Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia. Jakarta, 2005.
Depkes RI, UNPF. Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing Bidang Kritis: Perempuan dan
Kesehatan serta Program Tindak Lanjutnya. Jakarta, 2010
Fuad, Ahmad Nur, dkk. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam. Malang: LPSHAM
Muhammadiyah Jatim, 2010, 24-26.
Harjono. Peranan Pengusaha dalam Mendukung Pemberian ASI di Tempat Kerja. Makalah
Seminar Pekan ASI Sedunia: ASI Tak Tergantikan Walaupun Ibu Bekerja. Jakarta,
2011.
http://kipsi.wordpress.com/2009.
http://media.isnet.org/ islam/Paramadina/Jurnal/Jender3.html.
http://ar-rodiyah.com/article/74881/ kisah siti khadijah istri rasulullah saw.html
http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Perempuan.html
http://filsafat.ugm.ac.id/downloads/artikel/wanita.pdf, h. 1-2
http://wahyunishifaturrahmah.wordpress.com/page/14/
http://www.rahima.or.id/index.php, h. 2.
http://filsafat.ugm.ac.id/downloads/artikel/wanita.pdf, h. 1-2
http://www.rahima.or.id/index.php,
http://media .isnet.org /islam/Paramadina/Jurnal/Jender3.html.
http://id.shvoong.com/humanities/1845934-pandangan-islam-terhadap-pekerjaan-seorang/
http://dakwahkampus.com/pemikiran/pergaulan/1564-tugas-pokok-wanita-menurut-
islam.html. http://dir.groups.yahoo.com/group /wanitamuslimah/message/296
http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Perempuan.html
http://www.hidayatullah.com//06/01/2012/al-qur’an-dan-informasi-hak-khusus-pekerja-
wanita.html.
http://kipsi.wordpress.com/2009
http://nofitaistiana.wordpress.com/2010/10/13/
Kemenkes, Balitbang. Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Balitbang Kemenkes, 2010.
Kemenkes, Dit. Bina Kesja dan Olahraga. Pedoman Kesehatan Repruduksi di Tempat Kerja.
Jakarta: Dit. Bina Kesja dan Olahraga Kemenkes, 2011.
Kemenkes, Dit. Bina Kesja dan Olahraga. Pedoman Pengelolaan Air Susu Ibu di Tempat
Kerja. Jakarta: Dit. Bina Kesja dan Olahraga Kemenkes, 2011.
Kemneg PP RI. Pemberdayaan Perempuan dalam Peningkatan Pemberian ASI. Jakarta:
Kemeng PP, 2008.
Kepmenkes RI No. 038/Menkes/SK/I/2007. Pedoman Pelayanan Kesehatan Kerja pada
Puskesmas Kawasan/Sentra Industri, (Jakarta: Dit. Bina Kesehatan Kerja), Cet. III,
2009
LA Best Babies Network. Breastfeeding-Friendly Workplace Policies. 2008.
Menkes RI. Makalah Seminar Kesehatan Reproduksi di Tempat Kerja dalam Mendukung
Pencapaian Tujuan MDGs 2015. Semarang, 2011.
Peraturan Bersama Meneg PP, Menakertrans dan Menkes No. 48/Men.PP/XII/2008,
PER.27/MEN/XII/2008, 1177/Menkes/PB/XII/2008 tentang Peningkatan Pemberian
ASI Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja. Jakarta: Dit. Bina Kesja dan Olahraga
Kemenkes, 2010.
Pusat Bahasa Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Relawati, Rahayu dan Sukesi, Keppy (Pendamping). Konsep dan Aplikasi Penelitian Gender.
Bandung: CV. Muara Indah, 2001
Roesli, Utami. Dampak Pemberian ASI Ibu Bekerja pada Produktivitas Pekerja Perempuan.
Makalah Seminar Pekan ASI Sedunia: ASI Tak Tergantikan Walaupun Ibu Bekerja.
Jakarta, 2011.
19
Ryan, Alan S. and Martinez, Gilbert A. Breast-Feeding and the Working Mother: A Profile.
Pediatrics. American Academy of Pediatrics, 2011.
Surin, Bachtiar. Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an 30 Juz Huruf Arab dan Latin. Bandung: Fa.
Sumatra, 1976.
Sutanto, Mia. Peran AIMI dalam Mendukung Pelaksanaan Pemberian ASI di Tempat Kerja.
Makalah Seminar Pekan ASI Sedunia: ASI Tak Tergantikan Walaupun Ibu Bekerja.
Jakarta, 2011.
Suyes, Kathryn. Breastfeeding in the workplaces: Other employees’attitudes towards services
for lactating mothers. International Breastfeeding Journal. Biomed Central, 2008.
The CDC Guide to Breastfeeding Interventions. Support for Breastfeeding in the Workplace.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekolah Pascasarjana. “Pedoman Transliterasi Arab-Latin:
Digandakan dari Library of Congress Romanization of Arabic.” Di dalam Pedoman
Penulisan Bahasa Indonesia, Transliterasi, dan Pembuatan Notes dalam Karya Ilmiah,
1-10. Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah, 2011.
Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
.