artikel menarik

26
Kemarin (30 Oktober 2013), saya menyempatkan diri membaca sebuah artikel dari sebuah blog milik rekan saya yang baik hati (yang mudah-mudahan Alloh memelihara cinta kami dalam kemuliaan Islam) terkait sebuah kisah nyata seorang pemuda salafi dan seorang ahli ilmu. Cerita tersebut sangat menarik untuk saya mengingat beberapa bulan sebelumnya, saya mengikuti sebuah kajian di Masjid Kampus UGM yang juga sangat berkaitan dengan hal yang dibahas dalam artikel tersebut yakni : Ilmu yang tidak bermanfaat. Beberapa hari kemudian, saya lalu memutuskan untuk melakukan sebuah tindakan yang agak gila. Saya menyebutkannya demikian karena saya yakin tidak ada satupun dari rekanan saya di kampus yang cukup berani melakukan tindakan ini. Apa yang saya lakukan ? hehe. Sederhana. Saya hanya membuat status facebook tentang rangkuman kajian yang salah satunya berkaitan dengan ilmu yang tidak bermanfaat. Status tersebut kurang lebih bertuliskan begini Ilmu itu dibagi menjadi tiga jenis, yaitu (1) Ilmu yang haram untuk dipelajari , seperti misalnya ilmu sihir, perdukunan, santet, hipnotis, sulap, dan sejenisnya (2) Ilmu yang tidak memberikan kebermanfaatan melainkan sedikit, seperti ilmu yang banyak kita dapatkan di di kampus atau bangku kuliah dan (3) Ilmu yang bermanfaat dan wajib untuk dipelajari yakni ilmu yang akan menghantarkan kita hidup berbahagia di akhirat” Status tersebut lalu saya tag ke beberapa rekan saya di Facebook. Dan sebagian besar diantaranya adalah dosen-dosen saya di Fakultas, Jurusan dan Prodi (Program Studi-red). Tujuannya ketika itu adalah, agar bisa saling mengingatkan kepada sesama muslim (dalam hal ini tentu saja seluruh dosen yang saya tag adalah muslim , dan kebanyakan saya kenal cukup/agak dekat).

Upload: islah-muttaqin

Post on 16-Jan-2016

227 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

gfhy

TRANSCRIPT

Page 1: Artikel Menarik

Kemarin (30 Oktober 2013), saya menyempatkan diri membaca sebuah artikel dari sebuah blog milik rekan saya yang baik hati (yang mudah-mudahan Alloh memelihara cinta kami dalam kemuliaan Islam) terkait sebuah kisah nyata seorang pemuda salafi dan seorang ahli ilmu. Cerita tersebut sangat menarik untuk saya mengingat beberapa bulan sebelumnya, saya mengikuti sebuah kajian di Masjid Kampus UGM yang juga sangat berkaitan dengan hal yang dibahas dalam artikel tersebut yakni : Ilmu yang tidak bermanfaat.

Beberapa hari kemudian, saya lalu memutuskan untuk melakukan sebuah tindakan yang agak gila. Saya menyebutkannya demikian karena saya yakin tidak ada satupun dari rekanan saya di kampus yang cukup berani melakukan tindakan ini. Apa yang saya lakukan ? hehe. Sederhana. Saya hanya membuat status facebook tentang rangkuman kajian yang salah satunya berkaitan dengan ilmu yang tidak bermanfaat. Status tersebut kurang lebih bertuliskan begini

“Ilmu itu dibagi menjadi tiga jenis, yaitu (1) Ilmu yang haram untuk dipelajari , seperti misalnya ilmu sihir, perdukunan, santet, hipnotis, sulap, dan sejenisnya (2) Ilmu yang tidak memberikan kebermanfaatan melainkan sedikit, seperti ilmu yang banyak kita

dapatkan di di kampus atau bangku kuliah dan (3) Ilmu yang bermanfaat dan wajib untuk dipelajari yakni ilmu yang akan menghantarkan kita hidup berbahagia di akhirat”

Status tersebut lalu saya tag ke beberapa rekan saya di Facebook. Dan sebagian besar diantaranya adalah dosen-dosen saya di Fakultas, Jurusan dan Prodi (Program Studi-red). Tujuannya ketika itu adalah, agar bisa saling mengingatkan kepada sesama muslim (dalam hal ini tentu saja seluruh dosen yang saya tag  adalah muslim , dan kebanyakan saya kenal cukup/agak dekat).

Tanggapan akhirnya mengalir. Juga dari beberapa dosen yang kala itu saya tag. Setidaknya dari 6 dosen, 2 diantaranya memberikan tanggapan kepada saya. 1 melalui fasilitas “comment” tepat di bawah status yang saya buat. Dan 1 dosen lagi menyampaikan tanggapannya di hadapan semua rekan-rekan saya di kelas, secara langsung, hehehe.

Namun setelah berdiskusi dengan kedua dosen saya tersebut, saya berani mengambil kesimpulan yang sederhana : apa yang saya lakukan ketika itu sudah tepat, yakni saling mengingatkan dan semoga Alloh membukakan pintu hidayah dan taufiq untuk mereka.

Ilmu

Page 2: Artikel Menarik

Bicara tentang ilmu, tentu saja saya bukan ahlinya mengingat saya baru sebatas seorang pembelajar (meminjam kata-kata salah seorang rekan saya), bukan seorang ahli. Namun satu hal yang pasti dari ilmu dari yang saya pahami selama ini : Ilmu haruslah bermanfaat. Akan tetapi berbicara tentang kebermanfaatan, maka tentu saja maknanya masih sangat luas. Dan pun, jika kita berpikir tanpa batasan, maka semua ilmu tentunya akan memiliki nilai manfaat, terlepas dari apakah ia benar, atau salah. Karena itu, untuk memudahkan, mari kita samakan indikator kebermanfaatan suatu ilmu dengan menggunakan sebuah takaran yang pasti, yakni : bermanfaat untuk akhirat. Kenapa akhirat ? karena akhirat adalah tujuan perjalanan manusia-manusia yang masih bernyawa hari ini, kemarin, dan nanti. Sebagai sebuah perbandingan, dalam Surah Al-Hajj ayat 47 dijelaskan bahwa 1 hari di akhirat sama dengan 1000 tahun menurut perhitungan manusia di muka bumi. Dan akhirat sifatnya kekal. Maka sudah sepantasnya kita mendahulukan kebermanfaatan untuk akhirat ketimbang kebermanfaatan untuk dunia.

Ilmu yang Haram

Ilmu yang haram dipelajari sudah sangat banyak beredar di tengah-tengah kita. Dan tentu saja dikemas dengan cara yang menarik. Hipnotis misalnya, atau sulap ? bahkan di beberapa masjid di sekitaran kampus UGM, termasuk Masjid Kampus UGM sendiri, sering sekali ditemukan poster yang berisi ajakan untuk mempelajari ilmu-ilmu seperti itu. Termasuk pula ilmu yang haram diantaranya adalah sihir, perdukunan, santet, pelet dan sejenisnya. Lalu jika kemudian ditanya, apakah bermanfaat ? Bisa jadi-bisa jadi. Bisa jadi bermanfaat walaupun sekupnya sangat kecil. Namun apakah bermanfaat untuk akhirat ? Alih-alih, ia justru bisa saja mengkekalkan kita di neraka. Sebagai catatan, mempelajari ilmu sihir dan sejenisnya adalah suatu bentuk kekufuran (sebuah dosa yang menempati urutan pertama dalam urutan dosa-dosa besar) yang tidak akan diampuni jika tidak bertaubat secara khusus. Maka tentu saja ilmu yang haram harus dihindari. Jika toh ada manfaatnya, maka keburukannya jauh lebih banyak dan sangat mengerikan.

Ilmu yang Tidak Bermanfaat Melainkan Hanya Sedikit

Termasuk diantaranya adalah ilmu-ilmu dunia yang banyak kita pelajari dewasa ini. ciri khas ilmu-ilmu yang demikian adalah akan sangat mudah membuat kita tersibukkan oleh perkara dunia dan melupakan perkara akhirat. Akibatnya hati menjadi keras. Sebagian diantara kita bisa saja berdalih : hidup di dunia kan harus 50:50. Fifty-fifty kalau bahasa kerennya. Namun apakah benar demikian ?

Ketika panggilan adzan berkumandang, adakah kita bersegera menyambutnya atau masih sibuk mengerjakan tugas misalnya proposal atau laporan praktikum misalnya ?

Berapa banyak jurnal dan buku-buku berkaitan dengan ilmu dunia itu yang telah kita baca dan berapa kali kita sudah mengkhatamkan Al-Qur’an ? atau berapa juz yang sudah kita baca hari ini ?

Kalau toh masih mau keukeuh mengatakan fifty-fifty, maka jika kita bekerja untuk dunia 5 jam sehari, maka kita harus bekerja untuk akhirat 5 jam sehari. Adakah kita sanggup?

Pada akhirnya, pada status saya kala itu, dosen yang sangat saya hormati karena kepandaian beliau dalam menyampaikan materi di kelas akhirnya berkata dalam komentarnya

Page 3: Artikel Menarik

“tidak perlulah dilakukan pendikotomian ilmu dunia dan ilmu akhirat. Pun, akhirnya ilmu yang diajarkan kepada para mahasiswa akan menjadi amal jariyah yang akan

bermanfaat kelak nanti di akhirat”

Ada beberapa catatan yang saya tandai ketika itu, yakni

 Penggunaan kata “amal jariyah” yang digunakan oleh beliau saya tengarai maksudnya adalah “ilmu yang bermanfaat” yang merupakan salah satu dari 3 jenis pahala yang akan terus mengalir meskipun sang fulan sudah meninggal dunia (Yakni sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak-anak sholeh yang mendoakan kedua orangtuanya). Kesalahan penyebutan tersebut dalam benak saya kala itu sudah menunjukkan “kurangnya ilmu” syariat yang dipahami.

Membagikan ilmu yang bermanfaat, tentu saja merupakan ibadah. Akan tetapi perlu sama-sama kita ketahui bahwa syarat diterimanya ibadah setidaknya ada tiga, yakni (1) Aqidah yang benar/lurus (2) Niat yang Ikhlas karena Alloh, dan yang ke (3) adalah ber-ittiba’ (meneladani) kepada apa yang dicontohkan oleh Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika tidak memenuhi salah satu saja dari ketiga syarat tersebut, maka ibadah yang kita lakukan hanya akan berakhir sia-sia. Lalu apakah kita sudah memiliki aqidah yang lurus ? sudahkah kita ikhlas dan bagaimana caranya agar ikhlas melakukan ibadah semata-mata karena Alloh ta’ala ? lalu bagaimana caranya, atau ilmunya agar kita bisa beribadah seperti apa yang Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan ? itulah yang kemudian menyebabkan kita wajib mengutamakan mempelajari jenis ilmu yang ketiga.

Ilmu yang Wajib dipelajari : Ilmu Syariat

Dalam sebuah kajian yang diadakan di Masjid Pogung Raya pada sebuah petang di hari Rabu,tiba-tiba Ustadz Afifi Abdul Waduud bertanya kepada jama’ah

“Bagaimana cara kita mengetahui derajat suatu ilmu??”

Hampir semua jamaah ikhwan petang itu terdiam. Hingga kemudian beliau menunjuk salah seorang pemuda berkacamata bingkai hitam (sungguh bukan saya, walau sama-sama berkacatama bingkai hitam) untuk menjawab pertanyaannya. Sang ikhwan berkacamata lalu menjawab

“dengan melihat objek yang dipelajari”

Ustadz Afifi lalu membenarkan jawaban laki-laki itu. Ia lalu melanjutkan dengan berkata bahwa maka dari itu tidak ada ilmu yang lebih utama daripada mempelajari Alloh. Mempelajari asma’ dan sifat Alloh. Karena sungguh tidak ada yang lebih utama, tidak ada yang lebih mulia, tidak ada yang lebih baik dan tinggi derajatnya selain Alloh tabaaroka wa ta’ala. Cara mengenal Alloh adalah sesuai dengan apa yang Alloh tunjukkan yakni dengan agama. Namun mempelajari ilmu agama tentu saja tidak bisa dilakukan begitu saja tanpa mempelajarinya seperti apa yang diajarkan oleh sang pembawa bendera risalah dari langit “Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa Khalifah Utsman Bin ‘Affan selalu menangis ketika melalui perkuburan yang dengan tangisannya itu, maka basahlah jenggotnya. Ia kemudian ditanya perihal tangisannya yang kemudian ia jawab

Page 4: Artikel Menarik

“Ini adalah tempat yang sangat menentukan akhir dari seorang manusia. Jika ia selamat di sini (alam kubur), maka selamatlah ia di akhirat. Jika ia celaka, maka celakalah ia di

akhirat”.

Dan masih ingatkah kita bahwa di alam kubur nanti kita hanya akan ditanya 3 hal ; Siapa Rabbmu ? Apa agamamu ? Siapa Nabimu ?

Dan tentu saja untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak bisa dilakukan dengan metode menghapal, atau latihan seperti yang biasa kita lakukan dalam menjawab soal-soal ujian ketika mencari ilmu dunia. Lalu sudah sejauh mana persiapan kita ??

Simpulan

Tentu saja saya tidak mengatakan bahwa kita harus meninggalkan ilmu-ilmu yang bersifat duniawi seperti misalnya ilmu-ilmu yang sedang saya dan engkau pelajari hari ini, atau yang sedang sama-sama kita tekuni hari ini. Saya hanya menekankan bahwa ilmu agama/syariat adalah ilmu yang terpenting dari segala yang terpenting. Salah seorang sahabat kami pernah berkata “apabila kamu dihadapkan pada pilihan-pilihan, maka ambillah yang akan lebih mendekatkamu kepada Alloh”. Maka utamakanlah ia, yakni Ilmu yang akan menghantarkanmu dengan damai kepada-Nya di Surga.

Dari Sahabat Mu’awiyah Bin Abi Sufyan Radiallahu ‘anhu, Rasululloh shallalhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Apabila Alloh menghendaki seluruh kebaikan kepada seorang hamba, maka Dia akan menjadikannya faqih (paham) akan ilmu agama” [Hadist ini diriwayatkan oleh Bukhari

dan Muslim]

Page 5: Artikel Menarik

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat mengikuti sebuah kegiatan yang diadakan oleh salah satu institusi yang ada di Kampus. Dalam kegiatan tersebut, saya sebenarnya bukanlah bagian dari peserta, ataupun panitia. Saya hanyalah sebagian di antara partisipan yang berkeinginan agar acara tersebut berjalan lancar.

Sasaran kegiatan tersebut adalah mahasiswa baru 2013, atau yang di kampus ini lebih populer dengan sebutan GAMADA atau Gadjah Mada Muda entah siapa yang mempopulerkannya, namun istilah itu sudah cukup populer sejak tahun 2012.

Tidak acara, tidak pula tentang GAMADA yang akan saya bahas kali ini, melainkan sesuatu yang sempat terjadi selama berlangsungnya acara.

Secara umum, pelaksanaan acara berlangsung lancar, dan saya tidak pula terlalu terbebani dengan kegiatan tersebut yang sebenarnya berpanitia sedikit. Keadaan ini membuat saya masih sempat beristirahat sambil biasanya mengutak-atik ponsel atau yang lainnya. namun di kesempatan itu, mata dan hati saya lebih tertarik untuk menjumput sebuah mushaf berwarna merah muda yang tergeletak bebas di atas meja.

Warnanya cerah dan tentu saja menggelitik jemari saya untuk menyentuhnya. Ohya, sebelumnya perlu saya jelaskan bahwa saya punya hobi memperhatikan mushaf milik orang lain untuk menganalisis beberapa hal, seperti misalnya interaksi seseorang tersebut dengan

Page 6: Artikel Menarik

Al-Qur’an, bacaan terakhir yang sedang dia baca, bagian yang sedang dihafalkan, dan beberapa hal lainnya. Meskipun hingga saat ini saya tidak begitu mengerti manfaatnya.

Ada sebuah hal yang menarik ketika mushaf itu pertama kali saya buka. Yakni sebuah tulisan pada halaman belakang Mushaf Al-Qur’an yang menjelaskan kapan Mushaf Al-Qur’an yang berbau harum itu pertama kali beralih tangan menjadi milik seseorang yang kini berada di tengah-tengah kami. Tulisan itu kurang lebih seperti ini

01 Oktober 2006

“Akhirnya, saya bisa membeli Qur’an ini dengan uang THR. Semoga ini bisa bermanfaat untuk saya dan orang lain. Amieen. . . . . . . .

Lalu tepat di bawahnya ada beberapa tandatangan yang seolah menjadi bukti bahwa mushaf tersebut miliknya.

Saya tersenyum. Agak lama

Setidaknya ada satu hal yang menarik yang terlintas di benak saya kala itu. Mushaf itu lebih dahulu bertuan dari milik saya. Mushaf bersampul cokelat milik saya sendiri bertanggal 12 November 2009. Hadiah ulangtahun (ketika itu masih suka merayakan ultah) dari salah seorang wanita yang paling saya cintai, Ummu Maryam, Kakak perempuan saya. Sedangkan mushaf yang ketika itu ada di genggaman tangan saya bahkan 3 tahun 1 bulan lebih tua dari mushaf yang saya miliki. Namun, ia masih berbau harum dan nampak lebih terawat meskipun kemudian saya menemukan beberapa bekas lem perekat.

Seketika itu juga saya menjadi terinspirasi oleh sebuah hal yang mungkin suatu hari nanti akan sangat bermanfaat untuk saya, juga untuk anda, yakni taktik bagaimana cara agar anak, putra putri kita mencintai Al-Qur’an.

Pertama, tentu saja kita terlebih dahulu harus mengenalkan Alloh kepada mereka. Salah satu tanda jatuh cinta adalah, kita suka mendengar perkataan orang yang kita cintai. Maka dari itu, jika seseorang mencintai Alloh dan benar dengan kecintaannya,

Page 7: Artikel Menarik

maka ia akan sangat suka mendengarkan Al-Qur’an (Ibnul Qayyim AlJauziyyah). Memperkenalkan Alloh kepada Putra-Putri kita adalah langkah pertama yang dapat kita tempuh untuk membuatnya mencintai Al-Quran. Dengan membuatnya mencintai Alloh, maka dengan sendirinya akan muncul dorongan untuk mengetahui kata-kata dankalimat-kalimat dari Zat yang dicintainya.

Setelah ia mengenal Alloh, maka perkenalkan mereka dengan Al-Qur’an. Misalnya dengan memperdengarkan Al-Qur’an dengan murottal-murottal pilihan, perlihatkan wujud Al-Qur’an (Mushaf), dan pelan-pelan ajarkan ia membacanya. Rangkai cara memperkenalkan Al-Qur’an dengan cara yang menyenangkan seperti memulaikan dengan memperkenalkan huruf-huruf hijaiyah dan mewarnai huruf-huruf hijaiyah yang dibuat berukuran besar.

Susun jam belajar mereka dengan lebih mengedepankan dan mengutamakan mempelajari Al-Qur’an, terutama di awal-awal mereka sudah berakal, dan bisa berbicara. Dan yang lebih penting adalah tanamkan dalam-dalam di hati mereka bahwa Al-Qur’an adalah hal yang paling pertama harus mereka kuasai sebelum mempelajari ilmu lainnya.

Ketika mereka sudah mampu membaca Al-Qur’an, jangan berikan mereka Mushaf, namun pinjamkanlah mereka. Namun tekankan bahwa Al-Qur’an adalah sangat penting untuk dimiliki. Dengan cara ini, mereka akan mengerti bahwa mereka harus segera memiliki Al-Qur’an dan dengan segera mereka akan berusaha untuk memilikinya.

Di sisi lain, didik mereka pentingnya menabung dan menyisihkan uang, sembari terus menekankan pentingnya memiliki Al-Qur’an.

Dengan sendirinya di benak mereka akan tumbuh kepentingan untuk membeli mushaf Al-Qur’an. Jika rencana ini dijaga dan diterapkan dengan baik, maka mereka akan berinisiatif menyisihkan uang untuk membeli mushaf untuk diri mereka sendiri.

Hal yang menjadi nilai esensial dari trik di atas sebenarnya adalah agar seorang anak memiliki usaha dan upaya yang besar hanya demi agar memiliki sebuah Mushaf Al-Qur’an. Dengan jumlah uang yang terbatas, dari hasil tabungan yang dikumpulkan hari demi hari, atau misalnya dari THR untuk anak-anak yang jumlahnya tidak seberapa, akan meninggalkan bekas yang sangat besar ketika tabungan itu kemudian berubah wujudnya menjadi sebuah Al-Qur’an. Hingga ketika kemudian Mushaf itu telah mampu terbeli, akan muncul rasa cinta dan rasa sayang yang luar biasa terhadap mushaf yang didapatkan dengan susah payah tersebut. Mereka akan lebih rajin membacanya, lebih mau dan mampu merawatnya, lebih berhati-hati dalam meletakkannya, dan bahkan tidak mudah meminjankannya kepada orang lain.

Sebenarnya kesan yang besar ini tidak mesti menggunakan cara di atas. Kita bisa memberikan Mushaf sebagai hadiah. Akan tetapi pemberian hadiah tersebut hendaknya menyesuaikan dengan momentum yang spesial kepada sang anak. Misalnya : Jika mereka bisa khatam Al-Qur’an sekali selama Ramadhan, akan dihadiahi satu Mushaf yang istimewa. Kesan yang mendalam juga bisa ditingkatkan apabila yang memberikan merupakan orang yang spesial, misalnya Ibu yang sangat dicintai.

Sebagai sebuah catatan, di rumah saya terdapat banyak sekali mushaf sehingga saya tidak memiliki kesadaran untuk memiliki satu mushaf milik sendiri hingga duduk di bangku SMA, mengingat banyaknya mushaf yang tersusun di dalam lemari. Pada tahun-tahun terakhir, saya akhirnya membeli sebuah mushaf dengan uang hasil kerja sampingan. Namun tidak ada kesan yang istimewa di dalamnya membuat saya sangat jarang membaca menggunakan mushaf tersebut dan lebih sering menggunakan mushaf lainnya. Baru kemudian pada minggu

Page 8: Artikel Menarik

ke dua bulan November 2009, saya dihadiahi sebuah mushaf yang kata pemberinya kala itu : Agar kamu bisa rajin baca Qur’an. Pemberinya adalah salah satu wanita yang paling saya cintai, dan diberikan pada momentum yang tepat. Maka serta merta tumbuh sebuah cinta yang luar biasa pada mushaf tersebut.

Mushaf itu kini masih ada dan selalu saya bawa ke manapun saya pergi; di dalam masjid, di rumah, di kos, di dalam kelas, di tengah lapangan, hotel, stasiun, terminal, shelter, bandara, di atas pesawat, bus, kereta, angkot, kapal, di dalam hutan, di tepi pantai, di tepi sungai, parkiran, entah di mana lagi.

Terimakasih untuk Mbak ku, wanita spesial yang telah berbaik hati menghadiahkan saya mushaf cokelat yang berbau harum. Selamat menuggu kelahiran bayi mungil ke dua.

Juga piala kaca baik hati, yang mengizinkan saya membaca Surah Al-Mulk, Al-Qolam, dan Al-Haqqoh dari Mushafnya.

Mudah-mudahan Alloh mempertemukan kalian berdua di surga.

Page 9: Artikel Menarik

Hukum Musik

Kontroversi tentang musik seakan tak pernah berakhir. Baik yang pro maupun kontra masing-masing menggunakan dalil. Namun bagaimana para sahabat, tabi’in, dan ulama salaf memandang serta mendudukkan perkara ini? Sudah saatnya kita mengakhiri kontroversi ini dengan merujuk kepada mereka.

Musik dan nyanyian, merupakan suatu media yang dijadikan sebagai alat penghibur oleh hampir setiap kalangan di zaman kita sekarang ini. Hampir tidak kita dapati satu ruang pun yang kosong dari musik dan nyanyian. Baik di rumah, di kantor, di warung dan toko-toko, di bus, angkutan kota ataupun mobil pribadi, di tempat-tempat umum, serta rumah sakit. Bahkan di sebagian tempat yang dikenal sebagai sebaik-baik tempat di muka bumi, yaitu masjid, juga tak luput dari pengaruh musik.Merebaknya musik dan lagu ini disebabkan banyak dari kaum muslimin tidak mengerti dan tidak mengetahui hukumnya dalam pandangan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang mubah, halal, bahkan menjadi konsumsi setiap kali mereka membutuhkannya. Jika ada yang menasihati mereka dan mengatakan bahwa musik itu hukumnya haram, serta merta diapun dituduh dengan berbagai macam tuduhan: sesat, agama baru, ekstrem, dan segudang tuduhan lainnya.Namun bukan berarti, tatkala seseorang mendapat kecaman dari berbagai pihak karena menyuarakan kebenaran, lantas menjadikan dia bungkam. Kebenaran harus disuarakan, kebatilan harus ditampakkan. Rasulullah  bersabda:

� �ع�ن� ال �م�ن �م� ي ح�د�ك� �ة� أ �ب �اس� ه�ي �ن� الن �ق�ول� أ �ذ�ا ح�ق� في ي آه� إ و� ر�

� ه�د�ه� أ و� ش�� م�ع�ه� أ س�

“Janganlah rasa segan salah seorang kalian kepada manusia, menghalanginya untuk mengucapkan kebenaran jika melihatnya, menyaksikannya, atau mendengarnya.” (HR. Ahmad, 3/50, At-Tirmidzi, no. 2191, Ibnu Majah no. 4007. Dishahihkan oleh Al-Albani t dalam Silsilah Ash-Shahihah, 1/322)Terlebih lagi, jika permasalahan yang sebenarnya dalam timbangan Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah perkara yang telah jelas. Hanya saja semakin terkaburkan karena ada orang yang dianggap sebagai tokoh Islam berpendapat bahwa hal itu boleh-boleh saja, serta menganggapnya halal untuk dikonsumsi kaum muslimin. Di antara mereka, adalah Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya Al-Halal wal Haram, Muhammad Abu Zahrah, Muhammad Al-Ghazali Al-Mishri, dan yang lainnya dari kalangan rasionalis. Mereka menjadikan kesalahan Ibnu Hazm t sebagai tameng untuk membenarkan penyimpangan tersebut.Oleh karenanya, berikut ini kami akan menjelaskan tentang hukum musik, lagu dan nasyid, berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah n, serta perkataan para ulama salaf.Definisi MusikMusik dalam bahasa Arab disebut ma’azif, yang berasal dari kata ‘azafa yang berarti berpaling. Kalau dikatakan: Si fulan berazaf dari sesuatu, maknanya adalah berpaling dari

Page 10: Artikel Menarik

sesuatu. Jika dikatakan laki-laki yang ‘azuf dari yang melalaikan, artinya yang berpaling darinya. Bila dikatakan laki-laki yang ‘azuf dari para wanita artinya adalah yang tidak senang kepada mereka.Ma’azif adalah jamak dari mi’zaf ( ف+ ) dan disebut juga ‘azfun ,(م�ع�ز� ف+ Mi’zaf adalah .(ع�ز�sejenis alat musik yang dipakai oleh penduduk Yaman dan selainnya, terbuat dari kayu dan dijadikan sebagai alat musik. Al-‘Azif adalah orang yang bermain dengannya.Al-Laits t berkata: “Al-ma’azif adalah alat-alat musik yang dipukul.” Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Al-ma’azif adalah alat-alat musik.” Al-Qurthubi  t meriwayatkan dari Al-Jauhari bahwa al-ma’azif adalah nyanyian. Yang terdapat dalam Shihah-nya bahwa yang dimaksud adalah alat-alat musik. Ada pula yang mengatakan maknanya adalah  suara-suara yang melalaikan. Ad-Dimyathi berkata: “Al-ma’azif adalah genderang dan yang lainnya berupa sesuatu yang dipukul.” (lihat Tahdzib Al-Lughah, 2/86, Mukhtarush Shihah, hal. 181, Fathul Bari, 10/57)Al-Imam Adz-Dzahabi t berkata: “Al-ma’azif adalah nama bagi setiap alat musik yang dimainkan, seperti seruling, gitar, dan klarinet (sejenis seruling), serta simba.” (Siyar A’lam An-Nubala`, 21/158)Ibnul Qayyim t berkata bahwa al-ma’azif adalah seluruh jenis alat musik, dan tidak ada perselisihan ahli bahasa dalam hal ini. (Ighatsatul Lahafan, 1/260-261)Mengenal Macam-Macam Alat MusikAlat-alat musik banyak macamnya. Namun dapat kita klasifikasi alat-alat tersebut ke dalam empat kelompok:Pertama: Alat-alat musik yang diketuk atau dipukul (perkusi).Yaitu jenis alat musik yang mengeluarkan suara saat digoncangkan, atau dipukul dengan alat tabuh tertentu, (misal: semacam palu pada gamelan, ed.), tongkat (stik), tangan kosong, atau dengan menggesekkan sebagiannya kepada sebagian lainnya, serta yang lainnya. Alat musik jenis ini memiliki beragam bentuk, di antaranya seperti: gendang, kubah (gendang yang mirip seperti jam pasir), drum, mariba, dan yang lainnya.Kedua: Alat musik yang ditiup.Yaitu alat yang dapat mengeluarkan suara dengan cara ditiup padanya atau pada sebagiannya, baik peniupan tersebut pada lubang, selembar bulu, atau yang lainnya. Termasuk jenis ini adalah alat yang mengeluarkan bunyi yang berirama dengan memainkan jari-jemari pada bagian lubangnya. Jenis ini juga beraneka ragam, di antaranya seperti qanun dan qitsar (sejenis seruling).Ketiga: Alat musik yang dipetik.Yaitu alat musik yang menimbulkan suara dengan adanya gerakan berulang atau bergetar (resonansi), atau yang semisalnya. Lalu mengeluarkan bunyi saat dawai/senar dipetik dengan kekuatan tertentu menggunakan jari-jemari. Terjadi juga perbedaan irama yang muncul tergantung kerasnya petikan, dan cepat atau lambatnya gerakan/getaran yang terjadi. Di antaranya seperti gitar, kecapi, dan yang lainnya.Keempat: Alat musik otomatis.Yaitu alat musik yang mengeluarkan bunyi musik dan irama dari jenis alat elektronik tertentu, baik dengan cara langsung mengeluarkan irama, atau dengan cara merekam dan menyimpannya dalam program yang telah tersedia, dalam bentuk kaset, CD, atau yang semisalnya. (Lihat risalah Hukmu ‘Azfil Musiqa wa Sama’iha, oleh Dr. Sa’d bin Mathar Al-‘Utaibi)Dalil-Dalil tentang Haramnya Musik dan LaguDalil dari Al-Qur`an Al-Karim1. Firman Allah :

Page 11: Artikel Menarik

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Luqman: 6)Ayat Allah l ini telah ditafsirkan oleh para ulama salaf bahwa yang dimaksud adalah nyanyian dan yang semisalnya. Di antara yang menafsirkan ayat dengan tafsir ini adalah:

Abdullah bin ‘Abbas c, beliau mengatakan tentang ayat ini: “Ayat ini turun berkenaan tentang nyanyian dan yang semisalnya.” (Diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (no. 1265), Ibnu Abi Syaibah (6/310), Ibnu Jarir dalam tafsirnya (21/40), Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi, Al-Baihaqi (10/221, 223), dan dishahihkan Al-Albani dalam kitabnya Tahrim Alat Ath-Tharb (hal. 142-143)).

Abdullah bin Mas’ud z, tatkala beliau ditanya tentang ayat ini, beliau menjawab: “Itu adalah nyanyian, demi Allah yang tiada Ilah yang haq disembah kecuali Dia.” Beliau mengulangi ucapannya tiga kali. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, Ibnu Abi Syaibah, Al-Hakim (2/411), dan yang lainnya. Al-Hakim mengatakan: “Sanadnya shahih,” dan disetujui Adz-Dzahabi. Juga dishahihkan oleh Al-Albani, lihat kitab Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 143)

 ‘Ikrimah t. Syu’aib bin Yasar berkata: “Aku bertanya kepada ‘Ikrimah tentang makna (lahwul hadits) dalam ayat tersebut. Maka beliau menjawab: ‘Nyanyian’.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Tarikh-nya (2/2/217), Ibnu Jarir dalam tafsirnya, dan yang lainnya. Dihasankan Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 143).

Mujahid bin Jabr t. Beliau mengucapkan seperti apa yang dikatakan oleh ‘Ikrimah. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 1167, 1179, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abid Dunya dari beberapa jalan yang sebagiannya shahih). Dan dalam riwayat Ibnu Jarir yang lain, dari jalan Ibnu Juraij, dari Mujahid, tatkala beliau menjelaskan makna al-lahwu dalam ayat tersebut, beliau berkata: “Genderang.” (Al-Albani berkata: Perawi-perawinya tepercaya, maka riwayat ini shahih jika Ibnu Juraij mendengarnya dari Mujahid. Lihat At-Tahrim hal. 144)

 Al-Hasan Al-Bashri t, beliau mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan tentang nyanyian dan seruling.” As-Suyuthi t menyebutkan atsar ini dalam Ad-Durrul Mantsur (5/159) dan menyandarkannya kepada riwayat Ibnu Abi Hatim. Al-Albani berkata: “Aku belum menemukan sanadnya sehingga aku bisa melihatnya.” (At-Tahrim hal. 144)

Oleh karena itu, berkata Al-Wahidi dalam tafsirnya Al-Wasith (3/441): “Kebanyakan ahli tafsir menyebutkan bahwa makna lahwul hadits adalah nyanyian. Ahli ma’ani berkata: ‘Termasuk dalam hal ini adalah semua orang yang memilih hal yang melalaikan, nyanyian, seruling, musik, dan mendahulukannya daripada Al-Qur`an.”2. Firman Allah :“Maka apakah kalian merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kalian menertawakan dan tidak menangis? Sedangkan kalian ber-sumud?” (An-Najm: 59-61)Para ulama menafsirkan “kalian bersumud” maknanya adalah bernyanyi. Termasuk yang menyebutkan tafsir ini adalah:

 Ibnu Abbas c. Beliau berkata: “Maknanya adalah nyanyian. Dahulu jika mereka mendengar Al-Qur`an, maka mereka bernyanyi dan bermain-main. Dan ini adalah

Page 12: Artikel Menarik

bahasa penduduk Yaman (dalam riwayat lain: bahasa penduduk Himyar).” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya (27/82), Al-Baihaqi (10/223). Al-Haitsami berkata: “Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan sanadnya shahih.” (Majma’ Az-Zawa`id, 7/116)

‘Ikrimah t. Beliau juga berkata: “Yang dimaksud adalah nyanyian, menurut bahasa Himyar.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Syaibah, 6/121)

Ada pula yang menafsirkan ayat ini dengan makna berpaling, lalai, dan yang semisalnya. Ibnul Qayyim t berkata: “Ini tidaklah bertentangan dengan makna ayat sebagaimana telah disebutkan, bahwa yang dimaksud sumud adalah lalai dan lupa dari sesuatu. Al-Mubarrid mengatakan: ‘Yaitu tersibukkan dari sesuatu bersama mereka.’ Ibnul ‘Anbar mengatakan: ‘As-Samid artinya orang yang lalai, orang yang lupa, orang yang sombong, dan orang yang berdiri.’ Ibnu ‘Abbas c berkata tentang ayat ini: ‘Yaitu kalian menyombongkan diri.’ Adh-Dhahhak berkata: ‘Sombong dan congkak.’ Mujahid berkata: ‘Marah dan berpaling.’ Yang lainnya berkata: ‘Lalai, luput, dan berpaling.’ Maka, nyanyian telah mengumpulkan semua itu dan mengantarkan kepadanya.” (Ighatsatul Lahafan, 1/258)3. Firman Allah kepada Iblis:“Dan hasudlah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (Al-Isra`: 64)Telah diriwayatkan dari sebagian ahli tafsir bahwa yang dimaksud “menghasung siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu” adalah melalaikan mereka dengan nyanyian. Di antara yang menyebutkan hal tersebut adalah:

 Mujahid t. Beliau berkata tentang makna “dengan suaramu”: “Yaitu melalaikannya dengan nyanyian.” (Tafsir Ath-Thabari)

Sebagian ahli tafsir ada yang menafsirkannya dengan makna ajakan untuk bermaksiat kepada Allah k. Ibnu Jarir berkata: “Pendapat yang paling benar dalam hal ini adalah bahwa Allah l telah mengatakan kepada Iblis: ‘Dan hasunglah dari keturunan Adam siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu,’ dan Dia tidak mengkhususkan dengan suara tertentu. Sehingga setiap suara yang dapat menjadi pendorong kepadanya, kepada amalannya dan taat kepadanya, serta menyelisihi ajakan kepada ketaatan kepada Allah l, maka termasuk dalam makna suara yang Allah l maksudkan dalam firman-Nya.” (Tafsir Ath-Thabari)Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata tatkala menjelaskan ayat ini: “Sekelompok ulama salaf telah menafsirkannya dengan makna ‘suara nyanyian’. Hal itu mencakup suara nyanyian tersebut dan berbagai jenis suara lainnya yang menghalangi pelakunya untuk menjauh dari jalan Allah k.” (Majmu’ Fatawa, 11/641-642)Ibnul Qayyim t berkata: “Satu hal yang telah dimaklumi bahwa nyanyian merupakan pendorong terbesar untuk melakukan kemaksiatan.” (Ighatsatul Lahafan, 1/255)Dalil-dalil dari As-Sunnah1. Hadits Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari z bahwa Rasulullah n bersabda:

�ن� �ون �ك �ي م�ت�ي م�ن� ل� ق�و�ام+ أ

� 5ون� أ ل �ح� ت �س� ر� ي �ح� �ح�ر�ير� ال �خ�م�ر� و�ال ، و�ال �م�ع�از�ف� �ن� و�ال �ز�ل �ن �ي ق�و�ام+ و�ل� �ل�ى أ �ب� إ @ ج�ن �م ع�ل

وح� �ر� �ه�م� ي �ي ار�ح�ة@ ع�ل �س� �ه�م� ب �يه�م� ل ت� �أ �ع�ن�ي ي �ف�ق�ير� ي ة@ ال �ح�اج� �وا ل �ق�ول ع�: ف�ي ج� �ا ار� �ن �ي �ل �ه�م� غ�دHا؛ إ Jت �ي �ب �ض�ع� الله� ف�ي و�ي

�م� �ع�ل خ� ال �م�س� د�ةH آخ�ر�ين� و�ي �از�ير� ق�ر� ن �ل�ى و�خ� � إ �و�م �ام�ة� ي �ق�ي ال“Akan muncul di kalangan umatku, kaum-kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik. Dan akan ada kaum yang menuju puncak gunung kembali bersama ternak mereka, lalu ada orang miskin yang datang kepada mereka meminta satu kebutuhan, lalu

Page 13: Artikel Menarik

mereka mengatakan: ‘Kembalilah kepada kami besok.’ Lalu Allah k membinasakan mereka di malam hari dan menghancurkan bukit tersebut. Dan Allah mengubah yang lainnya menjadi kera-kera dan babi-babi, hingga hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari, 10/5590)Hadits ini adalah hadits yang shahih. Apa yang Al-Bukhari sebutkan dalam sanad hadits tersebut: “Hisyam bin Ammar berkata…”1 tidaklah memudaratkan kesahihan hadits tersebut. Sebab Al-Imam Al-Bukhari t tidak dikenal sebagai seorang mudallis (yang menggelapkan hadits), sehingga hadits ini dihukumi bersambung sanadnya.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “(Tentang) alat-alat (musik) yang melalaikan, telah shahih apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari t dalam Shahih-nya secara ta’liq dengan bentuk pasti (jazm), yang masuk dalam syaratnya.” (Al-Istiqamah, 1/294, Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 39. Lihat pula pembahasan lengkap tentang sanad hadits ini dalam Silsilah Ash-Shahihah, Al-Albani, 1/91)Asy-Syaikh Al-Albani t berkata setelah menyebutkan panjang lebar tentang keshahihan hadits ini dan membantah pendapat yang berusaha melemahkannya: “Maka barangsiapa –setelah penjelasan ini– melemahkan hadits ini, maka dia adalah orang yang sombong dan penentang. Dia termasuk dalam sabda Nabi n:

�د�خ�ل� ال� �ة� ي ن �ج� �ان� م�ن� ال �ه� ف�ي ك �ب �ق�ال� ق�ل ة@ م�ث �ر@ م�ن� ذ�ر� �ب ك“Tidak masuk ke dalam surga, orang yang dalam hatinya ada kesombongan walaupun seberat semut.” (HR. Muslim) [At-Tahrim, hal. 39]Makna hadits ini adalah akan muncul dari kalangan umat ini yang menganggap halal hal-hal tersebut, padahal itu adalah perkara yang haram. Al-‘Allamah ‘Ali Al-Qari berkata: “Maknanya adalah mereka menganggap perkara-perkara ini sebagai sesuatu yang halal dengan mendatangkan berbagai syubhat dan dalil-dalil yang lemah.” (Mirqatul Mafatih, 5/106)2. Hadits Anas bin Malik z, bahwa Rasulullah n bersabda:

�ان� �ان� ص�و�ت �ع�ون �ا ف�ي م�ل �ي ة� الد5ن خ�ر� م�ار+: و�اآل� �د� م�ز� ن �ع�م�ة@، ع� �ة+ ن ن �د� و�ر� ن �ة@ ع� م�ص�يب“Dua suara yang terlaknat di dunia dan akhirat: seruling ketika mendapat nikmat, dan suara (jeritan) ketika musibah.” (HR. Al-Bazzar dalam Musnad-nya, 1/377/755, Adh-Dhiya` Al-Maqdisi dalam Al-Mukhtarah, 6/188/2200, dan dishahihkan oleh Al-Albani berdasarkan penguat-penguat yang ada. Lihat Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 52)Juga dikuatkan dengan riwayat Jabir bin Abdullah c, dari Abdurrahman bin ‘Auf z, dia berkata: Rasulullah n bersabda:

�م�ا �ن �ت� إ �ه�ي �و�ح� ع�ن� ن �ن� ع�ن� الن �ي �ن� ص�و�ت ح�م�ق�ي� �ن� أ ي �د� ص�و�ت@: ف�اج�ر� ن �غ�م�ة� ع� �ه�و@ ن �ع�ب@ ل ام�ير� و�ل ، و�م�ز� �ط�ان@ ي ش�

�د� و�ص�و�ت@ ن �ة@ ع� قJ و�ج�وه@ خ�م�ش� م�ص�يب �وب@ و�ش� �ة� ج�ي ن �ط�ان@ و�ر� ي ش�“Aku hanya dilarang dari meratap, dari dua suara yang bodoh dan fajir: Suara ketika dendangan yang melalaikan dan permainan, seruling-seruling setan, dan suara ketika musibah, mencakar wajah, merobek baju dan suara setan.” (HR. Al-Hakim, 4/40, Al-Baihaqi, 4/69, dan yang lainnya. Juga diriwayatkan At-Tirmidzi secara ringkas, no. 1005)An-Nawawi t berkata tentang makna ‘suara setan’: “Yang dimaksud adalah nyanyian dan seruling.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4/75)3. Hadits Abdullah bin ‘Abbas c, dia berkata: Rasulullah n telah bersabda:

�ن� م� الله� إ �ي� ح�ر� و� -ع�ل� م� أ Jر�ح �خ�م�ر� ر� ال �س� �م�ي �ة� و�ال �وب �ك �ل5: ق�ال�. و�ال ك�ر@ و�ك ام+ م�س� ح�ر�

“Sesungguhnya Allah k telah mengharamkan atasku –atau– diharamkan khamr, judi, dan al-kubah. Dan setiap yang memabukkan itu haram.” (HR. Abu Dawud no. 3696, Ahmad, 1/274, Al-Baihaqi, 10/221, Abu Ya’la dalam Musnad-nya no. 2729, dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan Al-Albani, lihat At-Tahrim hal. 56).Kata al-kubah telah ditafsirkan oleh perawi hadits ini yang bernama ‘Ali bin Badzimah, bahwa yang dimaksud adalah gendang. (lihat riwayat Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, no. 12598)4. Hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash c, bahwasanya Rasulullah n bersabda:

Page 14: Artikel Menarik

�ن� م� و�ج�ل� ع�ز� الله� إ �خ�م�ر� ح�ر� ر� ال �س� �م�ي �ة� و�ال �وب �ك اء�، و�ال �ر� �ي �غ�ب �ل5 و�ال ك�ر@ و�ك ام+ م�س� ح�ر�“Sesungguhnya Allah k mengharamkan khamr, judi, al-kubah (gendang), dan al-ghubaira` (khamr yang terbuat dari bahan jagung), dan setiap yang memabukkan itu haram.” (HR. Abu Dawud no. 3685, Ahmad, 2/158, Al-Baihaqi, 10/221-222, dan yang lainnya. Hadits ini dihasankan Al-Albani dalam Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 58)Atsar dari Ulama Salaf

Abdullah bin Mas’ud z berkata: �اء� �غ�ن �ت� ال �ب �ن Jف�اق� ي �ق�ل�ب� ف�ي الن ال “Nyanyian itu menimbulkan kemunafikan dalam hati.” (Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi, 4/2, Al-Baihaqi dari jalannya, 10/223, dan Syu’abul Iman, 4/5098-5099. Dishahihkan Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 10. Diriwayatkan juga secara marfu’, namun sanadnya lemah)

Ishaq bin Thabba` t berkata: Aku bertanya kepada Malik bin Anas t tentang sebagian penduduk Madinah yang membolehkan nyanyian. Maka beliau mejawab: “Sesungguhnya menurut kami, orang-orang yang melakukannya adalah orang yang fasiq.” (Diriwayatkan Abu Bakr Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf: 32, dan Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 244, dengan sanad yang shahih) Beliau juga ditanya: “Orang yang memukul genderang dan berseruling, lalu dia mendengarnya dan merasakan kenikmatan, baik di jalan atau di majelis?” Beliau menjawab: “Hendaklah dia berdiri (meninggalkan majelis) jika ia merasa enak dengannya, kecuali jika ia duduk karena ada satu kebutuhan, atau dia tidak bisa berdiri. Adapun kalau di jalan, maka hendaklah dia mundur atau maju (hingga tidak mendengarnya).” (Al-Jami’, Al-Qairawani, 262)

Al-Imam Al-Auza’i t berkata: ‘Umar bin Abdil ‘Aziz t menulis sebuah surat kepada ‘Umar bin Walid yang isinya: “… Dan engkau yang menyebarkan alat musik dan seruling, (itu) adalah perbuatan bid’ah dalam Islam.” (Diriwayatkan An-Nasa`i, 2/178, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 5/270. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 120)

‘Amr bin Syarahil Asy-Sya’bi t berkata: “Sesungguhnya nyanyian itu menimbulkan kemunafikan dalam hati, seperti air yang menumbuhkan tanaman. Dan sesungguhnya berdzikir menumbuhkan iman seperti air yang menumbuhkan tanaman.” (Diriwayatkan Ibnu Nashr dalam Ta’zhim Qadr Ash-Shalah, 2/636. Dihasankan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim, hal. 148) Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abid Dunya (45), dari Al-Qasim bin Salman, dari Asy-Sya’bi, dia berkata: “Semoga Allah k melaknat biduan dan biduanita.” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 13)

Ibrahim bin Al-Mundzir t –seorang tsiqah (tepercaya) yang berasal dari Madinah, salah seorang guru Al-Imam Al-Bukhari t– ditanya: “Apakah engkau membolehkan nyanyian?” Beliau menjawab: “Aku berlindung kepada Allah k. Tidak ada yang melakukannya menurut kami kecuali orang-orang fasiq.” (Diriwayatkan Al-Khallal dengan sanad yang shahih, lihat At-Tahrim hal. 100)

Ibnul Jauzi t berkata: “Para tokoh dari murid-murid Al-Imam Asy-Syafi’i t mengingkari nyanyian. Para pendahulu mereka, tidak diketahui ada perselisihan di antara mereka. Sementara para pembesar orang-orang belakangan, juga mengingkari hal tersebut. Di antara mereka adalah Abuth Thayyib Ath-Thabari, yang memiliki kitab yang dikarang khusus tentang tercela dan terlarangnya nyanyian. Lalu beliau berkata: “Ini adalah ucapan para ulama Syafi’iyyah dan orang yang taat di antara mereka. Sesungguhnya yang memberi keringanan dalam hal tersebut dari mereka adalah orang-orang yang sedikit ilmunya serta didominasi oleh hawa nafsunya. Para fuqaha dari sahabat kami (para pengikut mazhab Hambali) menyatakan: ‘Tidak

Page 15: Artikel Menarik

diterima persaksian seorang biduan dan para penari.’ Wallahul muwaffiq.” (Talbis Iblis, hal. 283-284)

Ibnu Abdil Barr t berkata: “Termasuk hasil usaha yang disepakati keharamannya adalah riba, upah para pelacur, sogokan (suap), mengambil upah atas meratapi (mayit), nyanyian, perdukunan, mengaku mengetahui perkara gaib dan berita langit, hasil seruling dan segala permainan batil.” (Al-Kafi hal. 191)

Ath-Thabari t berkata: “Telah sepakat para ulama di berbagai negeri tentang dibenci dan terlarangnya nyanyian.” (Tafsir Al-Qurthubi, 14/56)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Mazhab empat imam menyatakan bahwa alat-alat musik semuanya haram.” Lalu beliau menyebutkan hadits riwayat Al-Bukhari t di atas. (Majmu’ Fatawa, 11/576)

Masih banyak lagi pernyataan para ulama yang menjelaskan tentang haramnya musik beserta nyanyian. Semoga apa yang kami sebutkan ini sudah cukup menjelaskan perkara ini.Wallahu a’lam.

Page 16: Artikel Menarik

Cinta Itu Egois

Sebenarnya saya sudah tidak terlalu berhasrat untuk menuliskan hal ini. Hanya saja akhir-akhir ini kepadatan jadwal membuat saya tidak sempat berpikir untuk mengisi halaman-halaman dalam blog saya, hingga kemudian saya kembali teringat pada sebuah cerita yang disampaikan oleh rekan tetangga kos saya yang seorang sarjana kedokteran, namun lebih memilih (dan bahagia) dengan menjadi seorang linguist.

Di sebuah petang,  saya tengah duduk-duduk di selusur kos saya di wilayah Sendowo (sebelah selatan RS Sardjito UGM) sambil menatap langit yang tengah cerah, tanpa awan, sehingga bintang-bintang terlihat cukup jelas. Tetangga saya yang baru pulang dari pekerjaannya di kota lalu menghampiri saya. Mungkin sudah menjadi kebiasaan di mana kami berdiskusi tentang apa saja, hingga kemudian ia melihat raut wajah yang tidak biasa di wajah saya. Ia lalu menyapa dan menanyakan kabar, yang saya balas dengan pertanyaan yang sama.

Saya lalu bercerita kepadanya, bahwa beberapa hari yang lalu saya sempat bersentuhan dengan teori cinta, dan bertemu dengan salah seorang rekan (laki-laki) dari fakultas Teknik UGM. Rekan saya dari fakultas tetangga itu bertanya demikian

“Alfa, kamu sudah memikirkan bagaimana pendidikan untuk anakmu nanti ?”

Saya lalu menjawab “Ya, tentu saja. saya ingin mendidik anak saya dengan tangan saya sendiri, bersama dengan ibu dari anak-anak saya. Karena itu saya telah memilih jalan ini (entrepreneur) karena berharap bisa memberikan waktu yang luang untuk pendidikan yang terbaik untuk anak saya kelak. Terlebih ibunya nanti. Saya sendiri berharap, (bacaan) ngaji istri saya kelak lebih baik daripad ngaji saya. Karena saya ingin anak saya nantinya belajar mengaji dan ilmu agama langsung dari saya dan ibunya. Bukan di TPA, he he he he. Lalu bagaimana dengan dirimu ?”

Teman saya lalu menjawab dengan argumennya sendiri. Namun tidak berbeda jauh dengan apa yang saya sampaikan. Kurang lebih, caranya mendidik akan sedikit banyak mengadpsi apa yang dilakukan orang tua rekan saya tersebut terhadapnya, dan memang ia terlihat sangat terdidik.

Saya lalu bertanya balik padanya

Page 17: Artikel Menarik

“Kamu, lebih memilih menikah dengan orang yang kamu cintai, atau yang mencintaimu ?”

Cukup lama ia berpikir, hingga kemudian ia menjawab

“Yang mencintaiku !”

“Kenapa ?”

Sejujurnya saya lupa seperti apa jawaban yang diutarakannya. Namun kurang lebih saya setuju dengan alasan yang diutarakan. Ia lalu bertanya balik. Dan sayapun menjawab

“tentu saja saya memilih yang mencintai saya. Bukan apa-apa. Saya khawatir apabila menikah dengan orang yang saya cintai, namun tidak mencintai saya, saya akan memnjadi laki-laki yang diperbudak olehnya (istri), sehingga yang terjadi bukan kebahagiaan melainkan sebaliknya. Namun apabila saya menikah dengan orang yang mencintai saya, maka mungkin cinta saya belum tumbuh, namun saya berani menjamin saya akan memberikan kasih sayang yang dibutuhkan dan diinginkannya”

Rekan saya tersenyum. Begitupun dengan saya. Namun tiba-tiba sebuah suara dari salah seorang rekan yang lain memecah keheningan

“duuh, aku jadi bingung, nanti mau menikah dengan orang yang aku cintai atau yang mencintaiku yaah….!”

Sontak kami berdua tertawa. Saya lupa ternyata tepat di sebelah saya, rekan saya yang lain (rekan saya ini pernah saya ceritakan dalam artikel yang lain) menyimak pembicaraan kami sejak awal. Dia wanita.

Saya menceritakan kejadian tersebut kepada tetangga saya. Ia lalu tersenyum hingga kemudian ia bercerita tentang suatu hal. Terlepas dari dongeng atau fakta, saya mendengarkannya saja

Dahulu kala, terdapat sepasang suami istri yang sangat kaya. Mungkin mereka adalah raja dan ratu. Suatu hari mereka bersemedi di sebuah ruangan yang berdekatan. Mereka lalu merenungkan dalam-dalam hidup mereka. Lalu tiba saatnya mereka merenungkan tentang cinta. Setelah selesai, mereka kemudian saling bertanya satu sama lain dengan pertanyaan yang sama.

“Siapa yang paling kau cintai?”

Mereka berdua, tanpa diduga menjawab jawaban yang sama pula

“Diriku sendiri”.

Saya bingung. Apa maksud dari cerita tersebut. Rekan saya lalu dengan baik hati menceritakan maksud dari cerita yang baru saja dibawakannya.

Terkadang kita tidak menyadari bahwa cinta yang muncul di hati kita menjadikan kita sangat egois. Ketika kita mencintai seseorang, kita menjelma menjasi sesuatu yang sangat egois, di mana kita begitu menginginkan orang yang kita cintai menjadi milik kita, mengetahui apa

Page 18: Artikel Menarik

agenda dan kegiatannya, mendapatkan perhatian darinya, mendapat balasan sms atau telpon darinya, dan sebagainya. Dalam keadaan demikian, sebenarnya siapa yang dicintai ? tentu saja diri sendiri. Dalam keadaan seperti yang diceritakan di atas, kita ingin memilikinya, mendapatkan perhatian darinya, mengetahui agenda dan kegiatannya, sms dan telepon untuk kita, bukankah sebenarnya hanya untuk menyenangkan kita ? memperluas ego kita dengan menjadikan kehidupannya adalah bagian dari kehidupan kita, tanpa mempertimbangkan apakah ia juga menjadi bahagia ? artinya cinta terkadang membuat kita lupa untuk membiarkan cinta itu mengalir begitu saja, dan lupa membuat cinta yang kita cintai menikmati kebahagiannya sehingga kita hanya sibuk membahagiakan hidup kita, diri kita yang memperluas ego kita.

Saya lalu terdiam. Lalu menunduk. Membayangkan sosok yang mungkin suatu hari akan saya cintai dengan cinta yang memuliakannya, yang ketika aku menyatakannya, aku berjanji akan membawanya ke surga. dan Tersenyum.