& temperatur tanah (ts) temperatur udara (ta)...
TRANSCRIPT
J J A S O N D J F M A M J J A S O N
-10
0
10
20
30
40
Tem
per
atu
re ( ℃
)
J J A S O N D J F M A M J J A S O N
-10
0
10
20
30
40
Tem
per
atu
re ( ℃
)
Max Tw
Min Tw
Max Tw
Min Tw
11.9 C゚ 17.8 C゚
2005 2006 20062005
Ta
Tw
TaTw
Kochi 3 Kochi 8
No: 46 / Tahun XXIV Juli 2011 ISSN 0251-5168
PUSAT PENELITIAN LIMNOLOGI-LIPI
Kochi
Tokyo
Mie
Aichi
Nagano
N
Japan
Ta
Ts Tw
Temperatur air (Tw) Temperatur udara (Ta)
& Temperatur tanah (Ts)
J J A S O N D J F M A M J J A S O N
-10
0
10
20
30
40
Tem
per
ature
( ℃)
J J A S O N D J F M A M J J A S O N
-10
0
10
20
30
40
Tem
per
ature
( ℃)
Max Tw
Min Tw
Max Tw
Min Tw
11.9 C゚ 17.8 C゚
2005 2006 20062005
Ta
Tw
TaTw
Kochi 3 Kochi 8
DARI REDAKSI
Edisi Warta Limnologi pada nomor 46 ini memuat tentang Peran Pusat
Penelitian Limnologi LIPI Dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan kelompok-
kelompok kajian Limnologi yang perlu dilakukan di masa akan datang sebagai
artikel utama. Artikel ini disajikan oleh salah satu pendiri Puslit Limnologi LIPI dan
Peneliti Senior, Dede Irving Hartoto, PhD. Artikel yang tak kalah menarik adalah
mengenal Pangkilang Ikan Endemik Penghuni Danau Purba. Selanjutnya disajikan
cara menghitung Volume Sel Fitoplankton, Pengukuran Temperatur Air di DAS
bagian Hulu Wilayah Jepang. Salah satu indikasi perubahan iklim terlihat dari
adanya pemanasan global yang berakibat pada berubahnya arah dan kecepatan
angin serta berdampak pada bergesernya musim yang diulas pada artikel
Indikator Perubahan Iklim Global ditinjau dari Curah Hujan Ekstrim. Pada edisi kali
ini dan seterusnya ditampilkan halaman baru yaitu Sekilas Warta yang menyajikan
sekilas kegiatan pegawai Puslit Limnologi LIPI.
Artikel tersebut diharapkan dapat menambah wawasan dan referensi bagi
pembaca sekalian. Akhir kata, redaksi mengucapkan selamat membaca dan terima
kasih atas partisipasi peneliti yang telah berkenan mengirim artikel pada edisi
Warta Limnologi kali ini.
Dewan Redaksi
Dari Redaksi
Artikel Utama : Peran Pusat
Penelitian Limnologi LIPI Dalam
Mencerdaskan Kehidupan Bangsa :
Sebuah Otokritik dari Dimensi
Modal Sosial (Dede Irving Hartoto
PhD) …...……………………........ 1
Pangkilang Ikan Endemik Penghuni
Danau Purba (Syahroma Husni Nasution) ……………………….. 6
Volume Sel Fitoplankton (Tjandra Chrismadha) .…………………….. 9
Indikator Perubahan Iklim Global Ditinjau Dari Curah Hujan Ekstrim
(Unggul Handoko) ……….....……... 11
Pengukuran Temperatur Air Di Das Bagian Hulu Wilayah Jepang (Luki
Subehi) ……………......................13
Sekilas Warta ………………….15
WL
Dewan Redaksi:
(Surat Keputusan Kepala LIPI No. 499 /E/2009)
Syahroma Husni Nasution M. Suhaemi Syawal
Hadiid Agita Rustini Yovita Lambang Isti
Alamat Redaksi:
Puslit Limnologi-LIPI Cibinong Science Center
Jl. Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong 16911-Bogor Jawa Barat-Indonesia
Telp. 021-8757071/ Fax. 021-8757076 E-mail: [email protected]
Penerbit: Puslit Limnologi-LIPI
WARTA LIMNOLOGI : Warta Limnologi, ISSN 0251-5168, terbit 4 (empat) bulan sekali, memuat makalah yang
bersifat ilmiah semi populer, ulasan atau komentar,
ringkasan hasil penelitian mutakhir, informasi tentang penelitian, buku, majalah, seminar, pelatihan, yang
telah/akan dilakukan baik didalam lingkungan P2L
maupun diluar P2L, nasional dan internasional.
MAKALAH : Makalah diketik dengan Microsoft Word,
Times News Roman, Fonts 12, ukuran kertas A4, tepi
kiri dan atas 4 cm, kanan dan bawah 3 cm, dengan jarak 1 spasi, dalam bahasa Indonesia sesuai dengan
EYD. Untuk makalah ilmiah semi populer, minimum 1,5
halaman dan maksimum 3 halaman. Untuk ringkasan maksimum 1,5 halaman.
DAFTAR ISI
Keterangan Gambar/Cover :
Gambar : Syahroma Husni Nasution, Tjandra Chrismadha
dan Luki Subehi
Disain Cover : M. S. Syawal
Layout : M. S. Syawal
1
Warta Limnologi – No. 46/Tahun XXIV Juli 2011
Peran Pusat Penelitian Limnologi LIPI Dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa :
Sebuah Otokritik dari Dimensi Modal Sosial
Dede Irving Hartoto, PhD Email: [email protected]; [email protected]
Sejarah Kelembagaan P2L-LIPI
Pada tahun 1986 dengan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1986 lahirlah PUSAT PENELITIAN
DAN PENGEMBANGAN LIMNOLOGI, sebuah lembaga penelitian di bawah LIPI untuk melakukan
kajian-kajian ilmiah tentang seluruh aspek pada sistem perairan darat Indonesia dengan pendekatan
multidisiplin keilmuan secara terintegrasi untuk pengelolaan dan pendayagunaannya. Namanya
kemudian berubah menjadi PUSAT PENELITIAN LIMNOLOGI-LIPI (P2L-LIPI) dan para pimpinannya
telah berganti berkali-kali, tetapi ada pertanyaan besar apakah sejauh ini P2L-LIPI sebagai institusi
riset berskala nasional ini sudah menjalankan fungsi keilmuannya dalam mencerdaskan kehidupan
dan meningkatkan kesejahteraan bangsa seperti yang diamanatkan oleh pembukaan UUD 1945?
Sebagai lembaga pemerintah, tugas P2L-LIPI seperti yang tersurat dalam Keputusan Kepala
LIPI Nomor 1151/M/2001 adalah melaksanakan penelitian dan penyiapan kebijakan, penyusunan
pedoman, pemberian bimbingan teknis, penyusunan rencana dan program, pelaksanaan penelitian
bidang limnologi, serta evaluasi dan penyusunan laporan. Bila dirujuk pada web site P2L-LIPI, institusi
ini mempunyai visi menjadi pusat rujukan (new frontiers, policy, goods and services) di bidang
limnologi dalam upaya melestarikan, memperbaiki serta memanfaatkan sumber daya perairan darat
untuk meningkatkan kemakmuran bangsa Indonesia melalui pengembangan kompetensi inti yang
berlandaskan etika keilmuan. Visi yang sangat indah dalam kata-kata ini kemudian dilengkapi dengan
misi yang tak kalah cantiknya yaitu:
a. Mengembangkan P2L LIPI menjadi lembaga yang efisien dan efektif berdasarkan
konsep-konsep pengelolaan kelembagaan yang baik (good institutional governance),
b. Menguasai konsep-konsep (sistem dan proses) limnologis, untuk mengatasi persoalan
sistem biotik perairan, sistem kualitas air, hidrodinamika perairan, kebijakan
pengelolaan perairan serta konservasi biota asli Indonesia,
c. Memperkuat jaringan dan kerjasama penelitian dalam dan luar negeri, serta
pemasyarakatan IPTEK dengan mengoptimalkan kinerja jasa dan informasi,
d. Berperan aktif dalam meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya menjaga
keseimbangan ekosistem dalam mendayagunakan dan mengelola sumberdaya
perairan darat yang berpotensi menimbulkan konflik.
Pada proses pengembangannya dan tuntutan masyarakat untuk dicerdaskan, sekitar tahun
2005 berdirilah bangunan Stasiun Limnologi dan Alih Teknologi-LIPI yang terletak ditepi Danau
Maninjau (A=9737.5 Ha), Sumatera Barat. Berdasarkan SK Kepala LIPI No. 659/M/2011 tanggal 12
Juli 2011, stasiun ini sebagai sarana penelitian, pegembangan ilmu limnologi dan pemberdayaan
masyarakat di sekitarnya dalam pengelolaa danau yang dikelola oleh Puslit Limnologi-LIPI.
Sebenarnya secara geografis, posisi stasiun ini sangat strategis ditengah persaingan dalam kontribusi
untuk bangsa dengan institusi pengkajian ilmiah serumpun dengan P2L-LIPI yang sudah ada di Pulau
Sumatera, yang berasal dari Kementerian Kelautan Perikanan dan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Jadi sebenarnya posisi geografis SLAT-LIPI di Maninjau harus dimanfaatkan dengan baik
agar tidak tersisihkan dalam proses kontribusi sains untuk pengelolaan perairan darat di Sumatera.
Kepemimpinan dan manajemen modal pembangunan P2L-LIPI
Disadari sepenuhnya bahwa misi dan visi suatu organisasi adalah ekspresi yang menyatakan
roh dari keberadaan suatu institusi, apalagi untuk suatu institusi berskala nasional dalam bidang
limnologi seperti P2L-LIPI. Kenyataan menunjukkan bahwa selain adanya sistem yang efektif,
penjabaran misi dan visi organisasi sangat tergantung pada kemampuan kepemimpinan pada sistem
2
Warta Limnologi – No. 46/Tahun XXIV Juli 2011
manajemen organisasi yang bersangkutan. Kejernihan dan ketulusan niat, ketajaman analisis dan
kemampuan membangun sinergi dari seluruh modal yang ada untuk berkontribusi dalam
pembangunan melalui disiplin keilmuan limnologi mempunyai posisi yang strategis. Sistem
manajemen P2L-LIPI pada tahun 2009 telah merumuskan tujuan satu-satunya pusat penelitian di
Indonesia yang mengkhususkan diri dalam bidang perairan darat yaitu memelihara kelestarian
sumberdaya perairan darat untuk kesejahteraan masyarakat melalui pemahaman proses-proses kunci
yang menentukan daya dukung perairan darat sehingga perairan dapat dimanfaatkan secara
berkelanjutan.
Sasaran-sasaran yang ditetapkan agar dapat dicapai dalam kurun waktu lima tahun yaitu:
a. Terkumpulnya data dasar limnologi,
b. Diketahuinya status perairan darat,
c. Terpahaminya proses-proses lingkungan perairan darat melalui pemodelan,
d. Tersedianya rekomendasi mengenai pengelolaan perairan darat,
e. Tersedianya teknologi peningkatan produktivitas perairan darat,
f. Tersedia konsep teknologi pengolahan air,
g. Terbentuknya jaringan informasi sumberdaya perairan darat,
h. Tersedianya sarana dan prasarana pendukung kompetensi inti di bidang limnologi
serta terlaksananya ketatausahaan Puslit Limnologi-LIPI,
i. Terbangunnya pendidikan dan penyadaran masyarakat terhadap perairan darat.
Logisnya, perlu dilakukan proses evaluasi yang jujur dan bebas kepentingan pencitraan untuk menilai
apakah sasaran-sasaran tersebut di atas sudah benar-benar tercapai. Evaluasi yang berimbang
selayaknya dilakukan oleh kelompok independen dengan memfokuskan aspek rasio nilai input terhadap nilai output dari suatu institusi. Tak boleh dilupakan untuk dikaji apakah sains limnologi
sebagai kajian hubungan timbal balik antara komponen biotik dan abiotik di perairan daratan
Indonesia sudah berkembang semakin baik dengan adanya P2L-LIPI. Dengan perkataan lain kita
selayaknya bertanya apakah kontribusi P2L-LIPI untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia
selama 25 tahun ini sudah sebanding dengan biaya yang dikeluarkan bangsa ini untuk mendukung
keberadaan institusi ini?
Untuk mencapai cita-cita berkehidupan bangsa yang bebas, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, semua modal
pembangunan bangsa Indonesia harus disinergikan. Modal untuk pembangunan Indonesia yang
terkait bidang limnologi meliputi paling tidak enam modal yaitu (1) modal sumber daya alam, (2)
modal ilmu pengetahuan dan teknologi, (3) modal kelembagaan, (4) modal sumber daya manusia,
(5) modal finansial dan (6) modal sosial. Kelemahan dalam mensinergikan modal-modal tersebut,
seperti halnya sektor-sektor pembangunan lainnya di Indonesia, khususnya pengembangan modal
sosial di P2L-LIPI sangat terasa kesenjangannya, sehingga pencapaian visi yang diangankan seakan
semakin jauh.
Modal sosial dapat didefinisikan sebagai nilai-nilai informal yang berkaitan dengan
kerjasama dalam masyarakat untuk mencapai kualitas hidup atau karya yang lebih baik (Hasbulah,
2006). Nilai-nilai informal tersebut adalah sikap saling percaya (trust), keimbalbalikan (reciprocity), keikhlasan (altruism) dan yang tertinggi cinta (love). Ada dua tipe besar modal sosial yaitu modal
sosial yang sifatnya mengikat (bonding social capital) dan yang sifatnya menjembatani (bridging social capital). Sayangnya, yang menonjol tumbuh di P2L adalah modal sosial yang sangat mengikat,
khususnya pada unsur-unsur manajerial P2L dan kelompok-kelompok penelitian tertentu. Ciri-ciri
modal sosial yang mengikat antara lain adalah sifatnya yang eksklusif ( inward looking terhadap kepentingannya masing-masing), dijalankan sebagai bagian dari tata perilaku yang sangat kaku
(misalnya belum mengarah pada efisiensi penggunaan waktu kerja dan sistem manajemen yang tidak
membuka peluang seluasnya bagi semua pemangku amanah untuk berkontribusi pada tugas pokok
P2L-LIPI) dan perilaku moral (misalnya sistem administrasi yang sifatnya serba birokratis dan kurang
mendukung fungsi-fungsi kerisetan, pembiaran secara nyata tak terpeliharanya peralatan riset, masih
adanya ketidaksesuaian dalam komunikasi formal, dsbnya). Manajemen sinergi modal sumberdaya
manusia dalam bingkai pengembangan modal sosial terlihat belum serasi. Bila dianalogkan dengan
sistem organisasi TNI-AD, seharusnya di P2L-LIPI tercipta sinergi serasi antara kelompok pasukan
tempur (peneliti dan perekayasa), kelompok pasukan bantuan tempur (teknisi litkayasa dan
3
Warta Limnologi – No. 46/Tahun XXIV Juli 2011
pustakawan) dan kelompok pasukan bantuan administrasi (arsiparis, kesekretariatan, satpam dan staf
tata usaha lainnya). Semua mereka sama-sama Prajurit TNI-AD (untuk P2L-LIPI sama-sama PNS) dan
seyogyanya mereka bekerja sama untuk berkontribusi terhadap pencapaian visi melalui penerapan
misi-misi organisasi. Modal sosial yang sifatnya mengikat pada tingkat moderat memang merupakan
landasan untuk mengembangkan modal sosial yang sifatnya saling menjembatani. Ukuran
kematangan organisasi yang sudah matang adalah dari kemampuannya mengembangkan modal
sosial yang menjembatani.
Tidak adil bila dikatakan bahwa sejauh ini dalam pengembangan P2L sama sekali tidak
terbentuk modal sosial yang menjembatani. Fasilitasi proses pengembangan Asia Pacific Centre for Ecohidrology (APCE) oleh P2L-LIPI adalah salah satu contoh keberhasilan pengembangan modal sosial
yang menjembatani. Mungkin sejauh ini sudah terlalu banyak dana, tenaga dan fokus perhatian
pimpinan P2L-LIPI untuk proses fasilitasi gagasan ini. Yang perlu diperjelas adalah apa kontribusi
tujuan dan manfaat APCE bagi proses pencerdasan kehidupan bangsa Indonesia. Tergelitik untuk
bertanya, apakah ada mandat nasional instistusional yang terkorbankan, bila konsep
pengembangan dua institusi serumpun terbenam dalam alur pikir para pimpinan P2L-LIPI?.
Pengembangan APCE secara regional mungkin lebih menarik dan merupakan “niche” yang lebih
menjanjikan di masa datang untuk kepastian posisi dan karir. Apapun situasi dan motivasinya
pengembangan jejaring kerjasama-kerjasama nasional atau internasional dengan institusi klien, institusi riset serumpun dan masyarakat tetap harus dilakukan. Pengembangan jejaring kerjasama
yang seharusnya dilandasi semangat saling memberi dan bukan sekadar memanfaatkan kesempatan
dari sisi material, finansial atau karir, adalah sesuatu yang dicita-citakan dapat terwujud dalam tempo
yang sesingkat-singkatnya.
Learned from the past, looking to the future
Saat ini sudah semakin banyak peneliti dan perekayasa berusia muda yang bekerja di P2L-
LIPI. Mereka ini sebenarnya berpotensi untuk kapabel, sudah berpendidikan tinggi dan mungkin
secara genetis memang pintar. Ini adalah sumber daya manusia yang sangat berharga yang harus
disinergikan dengan modal-modal pembangunan lainnya agar lebih berkontribusi secara nyata bagi
bangsa sesuai keahliannya masing-masing. Di sisi lain, perkembangan disiplin limnologi sebagai sains
dan ilmu-ilmu yang terkait mengisyaratkan perlunya perluasan cakupan kegiatan litbang yang
beberapa contohnya disajikan pada Tabel 1. Tentu saja apa yang disajikan pada Tabel 1 belum
mewakil aspirasi semua pemangku amanah bidang limnologi di Indonesia, tetapi setidaknya ini
adalah suatu kontribusi pemikiran untuk pengembangan limnologi dan P2L-LIPI. Pada akhirnya,
setelah berlalu 25 tahun dari berdirinya P2L-LIPI, untuk mengukur kinerja pengembangan P2L-LIPI
dalam proses pencerdasan kehidupan bangsa, maka perlu disepakati bersama oleh semua pemangku
amanah, kriteria evaluasi mana yang akan dipakai untuk menilai kinerja dan capaian institusi ini di
masa depan. Wallahualam.
Tabel 1. Kelompok-kelompok kajian limnologi yang mungkin perlu dilakukan dimasa
datang
No. Kelompok kajian Topik-topik riset tentatif
1. Ekologi sistem sungai dan drift Riset–riset terkait dinamika dan fungsi debris berkayu;
dispersal nimfa serangga akuatik; pola drift spasial dan
temporal; dsb.
2. Planktonologi Virioplankton; plankton riverin dan perifiton; pengaruh
berbagai karbon organik pada komunitas plankton; dsb.
3. Makrofita akuatik yang menjadi
dasar proses rehabilitasi habitat.
Alokasi biomasa terkait perubahan habitat; fungsi
riparian sungai sebagai sumber benih makrofita akuatik;
4. Mikrobiologi akuatik Hubungan kelimpahan bakteri dengan karbon organic;
mineralisasi biogenik besi; produksi bakterioplankton di
ekosistem paparan banjir (floodplain); inventarisasi
keanekaragaman hayati mikrobial berbasis biologi
molekuler; rekayasa genetik organisme budidaya akuatik
sehingga tahan penyakit viral; dsb.
4
Warta Limnologi – No. 46/Tahun XXIV Juli 2011
5. Ekologi detritus akuatik Kontrol hidrologis bahan organik terlarut; efek
makrokonsumer pada detritivora; dekomposisi serasah
makrofita akuatik dan vegetasi riparian; dsb.
6 Biogeokimia sistem perairan
daratan
Degradasi anoksik debris organic; hubungan kelimpahan
bakteri dengan bahan organik partikulat; pelepasan zat
hara pada habitat litoral dan profundal; biogeokimia
senyawa humat akuatik; peran asam humat sebagai
agen detoksifikasi; bioakumulasi senyawa toksik; dsb.
7. Kajian integritas dan konektivitas
ekologis sistem perairan daratan
Pendefinisian pada tataran operasional tentang integritas
dan konektivitas ekologis; sistem pengindeksan
integritas sistem aquatic; riset konektivitas longitudinal,
lateral, vertikal dan temporal sistem akuatik; aliran
hirodrologis penghilangan zat hara berlebih; dsbnya
8. Societal services of inland waters Tautan skala ekologis dan kerangka kelembagaan dalam
manajemen perairan daratan; valuasi ekonomi sumber
daya perairan daratan; jasa kemasyarakatan yang
diberikan biota akuatik dan drift dari debris tumbuhan;
pengembangan skenario bisnis kerakyatan berbasis
perairan daratan; dsbnya.
9. Ekoturisme perairan daratan Kajian pengembangan ekoturisme yang berbeda dengan
turisme masal di alam; skenario pengembangan bisnis
ekoturisme sebagai insentif ekonomi kegiatan konservasi
perairan daratan; kajian fenologi di sistem perairan
daratan sebagai dasar pengembangan penjadwalan
bisnis ekoturisme; dsb.
10. Rekayasa ekologis sistem akuiatik Pengembangan konsep penyeimbangan antara human values dengan environmental values, environmental flows dan environmental weeds; riset terkait pengelolaan
sistem riparian; teknologi aerasi hipolimnion, teknologi
pemindahan sedimen; dsb.
11. Ekotoksikologi
Riset-riset terkait dampak limbah perkebunan dan
pengolahan kelapa sawit terhadap sistem perairan
daratan; pencemaran karena pertambangan illegal; dsb.
12. Ekologi fungsional sistem perairan
daratan
Riset-riset yang terkait hubungan keragaman jenis
dengan berfungsinya sistem akuatik; pengaruh water borne metal pada osmoregulasi makroinvertebrata
akuatik; pengaruh of flooding dan timing pada
perombakan bahan organik; model dinamik neraca
energy; dsb.
13. Kesehatan lingkungan perairan
daratan
Pengembangan konsep sistem perairan daratan yang
“sehat’ dan yang “sakit”; pengembangan indeks dan
indikator kesehatan lingkungan akuatik; dsb.
14. Pengembangan sistem kawasan
dan perangkat manajemen
konservasi perairan daratan
Riset–riset yang terkait kebijakan dan pengembangan
perangkat manajemen sistem Taman Nasional Perairan
Daratan, Suaka Alam Perairan Daratan, Taman Wisata
Perairan Daratan dan Suaka Perikanan Perairan Daratan
(PP 60 Tahun 2007); pendefinisian no disturb zone;
implementasi konsep metapopulasi dalam tindakan
konservasi perairan daratan; dinamika neraca massa
dalam kawasan konservasi; dampak tepi area proteksi
perairan daratan; protokol penetapan prioritas
konservasi; teknik optimalisasi konservasi
keanekaragaman genetik biota akuatik; riset terkait
konsep penetapan 1/7 luas perairan sebagai no disturb zone untuk langkah proteksi dalam sistem konservasi;
kajian konsep-konsep perumusan kebijakan
5
Warta Limnologi – No. 46/Tahun XXIV Juli 2011
pemanfaatan, proteksi, mitigasi dan rehabilitasi dalam
sistem konservasi perairan daratan nasional; dsb.
15. Ekologi paparan banjir (Floodplain ecology)
Riset-riset terkait deskripsi integritas ekologis habitat
paparan banjir, proses simultan terjadinya denitrifikasi
dan nitrifikasi; fotoproduksi dari senyawa karbon
inorganic terlarut; fluktuasi tinggi muka air sebagai
driver proses invasi; kekeringan dan resiliensi
komunitas akuatik; dsb.
16. Geomorfologi sistem akuatik Klasifikasi sistem sungai dan danau berdasarkan
kondisi Indonesia; dinamika geomorfologis sistem
danau dan sungai Indonesia; proses geomorfologis
untuk manajemen perairan daratan, morfodinamika
sungai dan danau Indonesia; paleolimnologi
sedimen danau Indonesia; dsbnya.
17. Advances Ichthyology Riset-riset terkait pencirian spawning dan rearing sites; kemoekologi ikan dan kaitannya dengan habitat; model
modul habitat sebagi peramal kesesuaian habitat;
kelimpahan ikan sebagai fungsi struktur spasial dan
kelimpahan pakan; penggunaan alometri dan ukuran
ikan sebagai estimator rasio P/B; alterasi enzim
metabolik pada ikan yang terdedah pencemar; dsb.
18. Ekologi avertebrata bentik Disformasi organ pada makroavertebrata akuatik sebagai
indikator polusi kronis; struktur dan profil tepian sebagai
penentu komunitas makroavertebrata akuatik; faktor
penentu kekayaan spesies makroavertebrata lotik;
serangga dewasa akuatik sebagai kontributor sistem
riparian, peran ekologis dari shredders; dsb.
19. Ekologi landskap perairan daratan Keragaman landskap riverin; fauna lanskap riverin yang
dinamik,; integrasi ekologi landskap dan jejaring
makanan; keseimbangan antara kebutuhan akan energi
hidro dan in stream flow requirement, dsb.
Warta Limnologi
Dewan Redaksi Majalah Warta Limnologi mengundang Bapak/ Ibu untuk dapat mengirimkan makalahnya sesuai dengan ketentuan dibawah ini. Insya Allah terbitan perdana Tahun 2009 akan dilaksanakan pada bulan Desember 2009. WARTA LIMNOLOGI : Warta Limnologi, ISSN 0251-
5168, terbit 4 (empat) bulan sekali, memuat makalah yang bersifat ilmiah semi populer, ulasan atau
komentar, ringkasan hasil penelitian mutakhir, informasi tentang penelitian, buku, majalah, seminar, pelatihan, yang telah/akan dilakukan baik didalam lingkungan P2L maupun diluar P2L, nasional dan internasional.
MAKALAH : Makalah diketik dengan Microsoft Word,
Times News Roman, Fonts 12, ukuran kertas A4, tepi kiri dan atas 4 cm, kanan dan bawah 3 cm, dengan jarak 1 spasi, dalam bahasa Indonesia sesuai dengan EYD. Untuk makalah ilmiah semi populer, minimum 1,5 halaman dan maksimum 3 halaman. Untuk ringkasan maksimum 1,5 halaman.
ALAMAT REDAKSI : Puslit Limnologi-LIPI Cibinong Science Center Jl. Raya Jakarta Bogor KM 46 Telp.021-8757071 Fax: 021-8757076 Cibinong – Bogor 16911 E-mail: [email protected]
TIM REDAKSI :
Susunan Dewan Redaksi Majalah
Warta Limnologi berdasarkan SK
Ketua LIPI Nomor : 499/E/2009
Pemimpin Redaksi :
Dr. Ir. Syahroma Husni, M.Si
Sekretaris:
Yovita Lambang Isti, S.S
Anggota:
1. M. Suhaemi Syawal, S.Si
2. Hadiid Agita Rustini, S.Si
WL
- 6 -
Warta Limnologi – No. 46/TahunXXIV Juli 2011
(Syahroma Husni Nasution, Puslit Limnologi-LIPI) [email protected]
ekhasan ekosistem perairan umum di Sulawesi tidak
terlepas dari peristiwa sejarah yang menyebabkan
pergerakan pulau-pulau di Indonesia pada zaman pra sejarah. Pada Zaman
dahulu, Pulau Sulawesi adalah pulau terbesar di kawasan yang disebut
Kawasan Wallacea dan secara geologis paling rumit karena menjadi tempat hidup bagi fauna campuran Oriental (Asia) dan
Australia serta menjadi arena evolusi berbagai jenis fauna endemik (Coates et
al. 2000). Sejarah Sulawesi dimulai kira-kira
200 juta tahun yang lalu ketika dinosaurus hidup di bumi dan Gondwana land mulai
terpecah-pecah. Pecahan daratan yang luas, terpecah lagi dan didorong ke berbagai arah oleh lempeng di
bawahnya dan terjadi pertemuan sementara antara Asia dan Australia
yang memungkinkan berpindahnya flora dan fauna. Salah satu pecahan ini
mencakup daratan yang kelak membentuk Sulawesi Barat, Sumatera dan lempeng bagian Kalimantan. Peristiwa ini
menyebabkan membeloknya bagian Sulawesi dan semenanjung Utara berputar
hampir 90o ke posisinya sekarang (Kinnaird, 1997). Sementara itu
semenanjung Barat Daya berputar berlawanan dengan arah jarum jam
sebesar 35o yang secara bersamaan membuka Teluk Bone (Whitten et al. 1987). Pemisahan dan pergeseran pulau
menyebabkan perbedaan keanekaraga-man hayati di beberapa pulau.
Di Pulau Sulawesi terdapat danau purba. Danau purba adalah danau yang
telah berusia lebih dari seratus ribu tahun, dan jumlahnya hanya sekitar 20
danau di dunia. Sedangkan danau purba yang usianya lebih dari satu juta tahun hanya berjumlah 10 buah,
termasuk diantaranya Danau Matano,
Mahalona dan Towuti. Danau purba yang terdapat di
Kompleks Malili yaitu Danau Matano, Danau Mahalona, dan danau Towuti
adalah satu-satunya danau purba di dunia yang terhubung satu sama lain (Gambar 1). Ada dua buah danau lagi yang masih
terhubung dengan ketiga danau lainnya adalah Danau Masapi dan Danau
Wawontoa yang disebut juga Danau Lantoa. Danau Matano, Towuti dan
Mahalona adalah danau cascade, dimana Danau Matano terletak di bagian hulu,
Danau Mahalona di bagian tengah serta Danau Towuti di bagian hilir.
Kondisi alamnya yang unik
menyebabkan ketiga danau purba ini memiliki dan menyimpan keanekaragaman
hayati yang unik pula dengan berbagai jenis organisme di dalamnya yang bersifat
endemik. Sebagian besar hewan air yang terdapat di danau-danau tersebut
distribusinya terbatas pada satu atau beberapa danau saja dan tidak ditemukan di danau lainnya (Kottelat,
1991). Ketiga danau ini telah ditetapkan sebagai Kawasan Taman Wisata Alam
berdasarkan keputusan Mentan No. 274/Kpts/Um/1979.
Yang menarik adalah spesies endemik di ketiga danau purba tersebut
masing-masing unik dan berbeda. Kandungan kimia dalam air, karakter tanah merah yang kaya akan zat besi,
diperkirakan berperan penting menyebabkan spesies lain diluar spesies
endemik sulit bertahan hidup di danau purba ini.
Keanekaragaman ikan air tawar di Indonesia adalah yang tertinggi kedua
setelah Brazil, sebanyak 1300 jenis (World Bank, 1998). Keanekaragaman ikan di Indonesia saat ini menghadapi
ancaman dari berbagai aktivitas manusia yang dapat menyebabkan
menurunnya keanekara-gaman ikan-ikan tersebut. Dari 87 jenis ikan Indonesia
yang terancam punah, diketahui 66 spesies (75%) diantaranya adalah ikan
air tawar (Froese and Pauly, 2004). Sebagian besar (68%) dari ikan air
K
PANGKILANG IKAN ENDEMIK
PENGHUNI DANAU PURBA
- 7 -
Warta Limnologi – No. 46/TahunXXIV Juli 2011
tawar yang terancam punah ini adalah
ikan endemik (Kottelat et al., 1993).
Gambar 1. Danau purba di daerah Kompleks
Malili, Sulawesi Selatan (Wirjoatmodjo et al. 2003).
Danau purba yang terdapat di
Kompleks Malili memiliki biodiversity terkaya di Kawasan Sulawesi. Karena
banyaknya keanekaragaman biota akuatik yang ada di dalam danau, maka
tidak mengherankan jika kawasan tersebut menjadi “laboratorium” bagi
para peneliti Indonesia maupun peneliti asing dalam beberapa tahun terakhir.
Selain memiliki sumberdaya ikan
endemik yang berpotensi ekonomi, danau ini juga dimanfaatkan untuk PLTA,
perikanan tangkap, navigasi, ekowisata dan sumber air untuk kebutuhan
domestik. Kondisi ini menunjukkan bahwa danau ini memiliki fungsi penting untuk
mendukung kehidupan masyarakat di sekitarnya, sehingga perlu dikelola agar danau tersebut bisa dimanfaatkan secara
berkelanjutan. Masyarakat di sekitar Danau Towuti memanfaatkan sumber
daya ikan untuk dikonsumsi dalam bentuk kering/asin maupun sebagai ikan hias
dan bahan pakan hewan (Nasution, 2006).
Ikan penghuni danau purba ada beberapa jenis. Ikan Pangkilang merupakan sebutan di Danau Towuti,
sedangkan di Danau Matano disebut ikan Opudi. Pangkilang penghuni danau
purba ini termasuk ke dalam famili
Telmatherinidae. Beberapa jenis ikan yang termasuk ikan Pangkilang danau
purba disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 2.
Tabel 1. Jenis ikan yang termasuk ikan Pangkilang yang dijumpai di danau purba
Keterangan: + = ditemukan; - = tidak ditemukan; VU= vulnerable
(rawan punah); D2= data deficient & Mat = Matano; Tow = Towuti; Mah = Mahalona; Lam = Lamtoa; Mas = Masapi
Sumber: Wirjoatmodjo et al. (2003), Kottelat et al. (1993) & Nasution (2004
& 2008)
Gambar 2. Beberapa jenis ikan yang termasuk Pangkilang penghuni danau purba Difoto oleh: Soeroto (2004) & Nasution (2004)
Beberapa penelitian yang telah
dilakukan di salah satu danau purba (Danau Towuti) dari tahun 1991 hingga
2011 dapat dilihat pada Tabel 2. Dari tabel tersebut, terlihat bahwa penelitian yang dilakukan semakin beragam, mulai
dari aspek ekobiologi ikan hingga perumusan dan penerapan kriteria
zonasi kawasan konservasi biota endemik.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan di perairan Danau Towuti
No.
Danau Status
IUCN (2003)
Jenis ikan Mat Tow Mah Lan Mas
1 Telmatherina
celebensis
- + + + + VU, D2
2 T. bonti - + + - - VU, D2
3 T. antoniae + - - - - VU, D2 4 T. prognatha + - - - - VU, D2
5 T. opudi + - - - - VU, D2
6 T. sarasinorum + - - - - VU, D2
7 T. obscura + - - - - VU, D2 8 T. abendanoni + - - - - VU, D2
9 T. wahyui + - - - - VU, D2
10 Telmatherina sp. + - - - - VU, D2
11 Tominanga aurea
- + + - - VU, D2
12 T. sanguicauda - + + - - VU, D2
Telmatherina celebensis Tominanga sanguicauda
T.
bonti
T. sarasinorum T. antoniae Kuning T. antoniae
Biru
Telmatherina celebensis
T. bonti T. antoniae Biru
- 8 -
Warta Limnologi – No. 46/TahunXXIV Juli 2011
dapat diterapkan pada danau purba
lainnnya yang mencakup sumberdaya hayati yang menyangkut perikanan dan
habitat, pemanfaatan sumberdaya perikanan, pola pengelolaan dan
pelestarian sumberdaya perikanan
DAFTAR PUSTAKA Coates, B.J., K.D. Bishop, and D. Gardner. 2000.
Panduan Lapangan Burung-burung di
Kawasan Wallacea. Bird Life International-
Indonesian Programme and Dove
Publication Pty. Bogor. 101 p.
Froese, R. and D. Nauly. 2004. Fishbase. Worl Wide Web electronic publication. www.fishbase.org, version (06/2004).
Kinnaird, M.F. 1997. Sulawesi Utara: Sebuah Panduan Sejarah Alam. Dirjen PHPA,LIPI, Yayasan Pengembangan Wallacea, dan GEF Biodiversity Collections Project. 125 hal.
Kottelat, M. 1991. Sailfin silversides (Pisces :Telmatherinidae) of Lake Matano, Sulawesi, Indonesia, with description of six new species. Ichthyol. Explorer. Freshwaters 1:321-344.
Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari, dan S.Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Published by Periplus Edition (HK) Ltd. in collaboration with the Environmental Management Development in Indonesia (EMDI) Project, Ministry of State for Population and Environment, Republic of Indonesia, Jakarta. 293 p.
Nasution, S.H. 2004. Conservation of endemic fish species Telmatherina celebensis in Lake Towuti, South Celebes. Proceedings of the International Workshop on Human Dimension of Tropical Peatland Under Global Environmental Changes. Iswandi, H.C.
(aspek perundang-undangan, kelemba-
gaan, penataan ruang, zonasi perikanan dan alternatif teknologi pemacuan stok
perikanan yang sesuai).
Tabel 2. Beberapa penelitian yang telah
dilakukan di salah satu danau purba (DanauTowuti) dari tahun 1991-2011
Widjaja, S.Guhardja, Segah, T. Iwakuma, and M.Osaki (Eds.). Bogor, Indonesia, December 8-9, 2004. p 35-42.
Nasution,S.H. 2006. Pangkilang (Telmatherinidae) ornamental fish: An economic alternative for people around Lake Towuti. Proceedings International Symposium. The Ecology and Limnology of the Malili Lakes on March, 2006 in Bogor-Indonesia. Supported by: PT. INCO Tbk. and Research Center for Limnology, (LIPI).p39-46.
Nasution, S.H. 2008. Distribusi Spasial dan Temporal Ikan Endemik Bonti-bonti (Paratherina striata) di D. Towuti, Sulawesi Selatan. Jurnal Biologi Indonesia, IV(1):91-104.
Wirjoatmodjo, S., Sulistiono, M.F. Rahardjo, I.S. Suwelo, R.K. Hadiaty. 2003. Ecological distribution of endemic fish species in Lakes Poso and Malili Complex, Sulawesi Island. Founded by the Asean Regional Center for Biodiversity Conservation and the European Comission. Bogor. 30 p.
Whitten, A.J., M. Mustafa, and G.S. Henderson. 2002. The Ecology of Sulawesi. Vol IV. First Periplus Edition. Published by Periplus (HK) Ltd. 754 p.
World Bank. 1998. Integrating freshwater biodiversity conservation with development. Some emerging lessons. Natural habitats and ecosystems management series, Paper No. 61. 24 p.
Tahun Peneliti Topik Penelitian Aspek Ekobiologi dan Konservasi
1991 Kottelat, M Telmatherinidae Deskripsi
1992 Okino, et al. Studi Limnologi Kualitas air 1993 Kottelat, M. et al. Beberapa jenis ikan endemik Biodiversitas, deskripsi 1994,2004,2008 Sulastri; Nasution Limnoteknologi Sifat fisik kimiawi D. Matano, Towuti dan Mahalona 1996 Haryani, G.S Beberapa jenis ikan endemik Reproduksi (histologis)
1998 2003
Hartoto, D.I dan Awalina Wirjoatmodjo, S. et al.
Kualitas air danau Ikan endemik
Fisika-kimia air Distribusi ekologi
2003 Sumassetiyadi, A.S T.antoniae Aspek reproduksi
2003 Nasution, S.H dan Sulistiono T.celebensis Kematangan gonad 2003 Furkon, A T. celebensis Kebiasaan makan 2004 Soeroto, B. et al. Beberapa jenis ikan endemik Biodiversitas, reproduksi
2004 Nasution, S.H T. celebensis Ekobiologi
2004 Sulistiono, et al. T. celebensis Domestikasi
2004 Indiarto, Y dan
Nasution, S.H
T. celebensis Hubungan antara makrofita air dengan kelimpahan
ikan
2004 Nasution, S.H. et al. T. celebensis Variasi morfologi
2005a Nasution, S.H T. celebensis Karakteristik reproduksi
2006 Hafner et al. Studi Limnologi Limnologi danau Komplek Malili
- 9 -
Warta Limnologi – No. 46/TahunXXIV Juli 2011
(Tjandra Chrismadha, Puslit Limnologi-LIPI) email [email protected]
itoplankton merupakan kelompok biota
perairan yang memiliki peran penting
dalam kesetimbangan ekosistem perairan darat. Sebagai organisme yang berfotosintesis, fitoplankton
berfungsi sebagai produsen primer yang sangat
menentukan produktivitas
perairan secara keseluruhan.
Oleh karena itu
upaya pengelo-laan sumber
daya perairan yang berkelanjutan memerlukan evaluasi
kondisi kelimpahan dan tingkat produktivitas kelompok biota produsen
ini secara lebih akurat. Upaya-upaya pengukuran tingkat produktivitas fitoplankton banyak dilakukan dengan
menggunakan parameter kandungan klorofil serta kelimpahan sel, meskipun
kedua pararemeter ini masih dianggap belum dapat sepenuhnya mewakili
kondisi yang sebenarnya. Seperti telah diketahui, kandungan
klorofil sel-sel fitoplankton sangat bervariasi, dipengaruhi oleh berbagai faktor tumbuh, seperti ketersediaan unsur
hara, cahaya, fase tumbuh, dan sebagainya. Hal ini menyebabkan
penggunaan parameter klorofil untuk mengukur tingkat produktivitas primer
perairan mempunyai tingkat deviasi yang besar. Demikian juga penggunaan
parameter kelimpahan sel, karena ukuran sel-sel fitoplankton sangat bervariasi, dimana jenis-jenis yang
berukulan kecil pada umumnya lebih cepat tumbuh, maka hasil pengukurannya
dapat memberikan interpretasi yang keliru terhadap status tingkat
produktivitas perairan. Salah satu
parameter yang dianggap lebih akurat untuk merepresentasikan biomassa
fitoplankton adalah jumlah volume sel-selnya, meskipun berbagai variasi akibat
kondisi tumbuh masih ditemukan serta teknik pengukuran yang lebih sulit, khususnya pada beberapa jenis yang
mempunyai bentuk tidak teratur. Namun permasalahan ini dapat diatasi dengan
menyediakan informasi acuan yang dapat merepresentasikan ukuran sel-sel
fitoplankton sehingga dapat menjadi informasi pelengkap data kelimpahan
sel-sel fitoplankton. Untuk mengukur volume sel-sel
fitoplankton yang dapat mewakili jenis-
jenis yang tumbuh di kawasan tropis, telah dilakukan penelitian di
Laboratorium Planktonologi Puslit Limnologi-LIPI. Jenis-jenis fitoplankton
yang diukur berasal dari perairan Situ Cibuntu-Cibinong yang ditumbuhkan
pada kolom air tergenang dan diperkaya unfur fosfornya. Prinsip cara pengukuran fitoplankton dengan
membuat garis acuan yang terukur pada lapang pandang mikroskop sebagai
dasar mengukur panjang sel fitoplankton. Garis acuan yang dipilih diambil dari
kotak haemocytometer, dengan pertimbangan alat tersebut memiliki
ukuran yang standar. Garis acuan difoto dan dipetakan pada lembar data Microsoft Exel, dimana ukuran kotak 5x5
piksel mewakili area 2,5x2,5 mm2. Bila diperlukan dibuat garis pembagi
dengan ukuran 0,5 mm. Foto-foto sel fitoplankton selanjutnya diplotkan pada
lembar data tersebut dan diukur dimensinya dari berbagai sisi yang
representatif. Penghitungan volume sel secara matematis disesuaikan dengan bentuk sel. Pemenggalan sel menjadi
beberapa segmen pengukuran dilakukan pada jenis fitoplankton yang mempunyai
dimensi kompleks. Pengukuran dilakukan masing-masing pada 30 sel agar hasil
yang diperoleh mewakili populasi jenis yang diukur. Volume berbagai jenis
fitoplankton yang diperoleh disajikan pada Tabel 1.
F
VOLUME SEL
FITOPLANKTON
Foto sel-sel diatom di atas
kotak hitung haemocytometer
- 10 -
Warta Limnologi – No. 46/TahunXXIV Juli 2011
Tabel 1. Volume berbagai jenis
fitoplankton Nama Spesies Rata-Rata
Volume (mm3) Simpangan
Baku Nama Spesies Rata-Rata Volume
(mm3) Simpangan
Baku
Bacillariophyceae Chlorophyceae Achantes sp. 256,982 0,909 Cladophora sp. 4088,574 155,248 Amphora pediculus 44,984 0,674 Coelastrum sp. 131,981 5,135 Cymbela affinis 27,697 1,834 Cosmarium contractum 151,633 6,865 Cymbela turgidula 24,163 1,113 Cosmarium phaseolus 285,268 4,285 Diatoma tenue var. Elongatum
368,397 7,298 Cosmarium sp. 218,75 6,250
Encyonema mimata 54,192 10,831 Cosmarium quadrifarium
434,425 8,935
Eunotia lunaris 15,628 0,184 Errerella bornhemiensis 472,898 10,987 Fragilaria sp. 173,853 14,48 Geminella interupta 1797,431 26,384 Melosira aequalis 13910,648 199,773 Gloeocystis ampla 1488,275 235,622 Melosira granulata 11705,873 282,839 Scenedesmus
acuminatus 22,635 0,696
Navicula cuspidata 50,66 1,333 Scenedesmus bijuga 25,248 0,409 Navicula oppugnata 33,78 0,847 Scenedesmus
dimorphus 24,365 0,74
Navicula falaisiensis 28,519 0,686 Scenedesmus quadricauda
24,671 0,368
Navicula hasta 30,568 0,648 Staurodesmus sp. 36,998 10,468 Navicula radiosa 29,102 0,235 Sphaerocystis sp. 165,836 5,002 Navicula thynchocephala
27,896 0,981 Ulotrix cylindricum 14200,194 589,78
Oscilatoria sp. 2689,96 70,68 Ulotrix sp. 14192,159 313,462 Staurosirella ansata 101,997 0,457 Myxophyceae Synedra rumpans 337,097 4,892 Anabaena sp. 993,613 3,46 Synedra ulna var aequalis
337,463 2,802 Chroococcus sp. 12,471 0,538
Chlorophyceae Coelosphaerium sp. 44,954 5,791 Ankistrodesmus falcatus
17,965 1,091 Cylindrospermopsis raciborskii
22,245 1,278
Asterococcus superbus 113,827 1,957 Merismopedia elegans 122,39 3,911 Chlorella sp. 13,158 0,234 Merismopedia glauca 116,785 3,281
Jumlah jenis yang terukur sebanyak 48
jenis mewakili tiga grup fitoplankton.
Meskipun masih belum lengkap, informasi
dimensi sel fitoplankton ini diharapkan
dapat melengkapi instrumen evaluasi
ekologis fitoplankton yang telah banyak
digunakan, yaitu kelimpahan sel, indeks
diversitas dan indeks dominansi serta
konsentrasi klorofil-a. Informasi dimensi
sel dapat lebih meningkatkan kinerja
evaluasi kuantitatif status produktivitas
komunitas fitoplankton dan selanjutnya
memberikan acuan yang lebih akurat
untuk prediksi potensi sumber daya
perairan secara keseluruhan.
Upaya lebih lanjut masih diperlukan
untuk melengkapi data yang diperoleh agar secara komprehensif dapat mewakili komunitas fitoplankton,
khususnya di perairan tropis Indonesia.
- 11 -
Warta Limnologi – No. 46/TahunXXIV Juli 2011
(Unggul Handoko, Puslit Limnologi LIPI)
erubahan iklim global telah terlihat nyata di berbagai permukaan bumi.
Dampak dari proses ini telah kita rasakan dalam berbagai
bentuk. Salah satu indikasi dari perubahan iklim ini terlihat dari adanya
pemanasan global yang berakibat pada berubahnya arah dan kecepatan angin
serta berdampak pada bergesernya musim. Masa tanam sulit ditentukan karena adanya banjir pasang yang
lebih intensif melanda pantai di Jakarta Utara ataupun dikota-kota pantai
lainnya. Pemanasan global juga berakibat pada naiknya muka air laut
yang berdampak pada hilangnya ratusan/ribuan pulau kecil di Indonesia
(Santoso, 2009). Studi deteksi dan sifat perubahan
iklim global semakin meningkat dari
tahun ke tahun. Studi dari deteksi dan sifat dari perubahan iklim global pada
umumnya menitikberatkan pada kejadian curah hujan dan suhu udara
ekstrim (Frich et al. 2002). Curah hujan ekstrim adalah kondisi curah hujan yang
cukup tinggi atau rendah dari rata-rata kondisi normalnya. Secara garis besar, curah hujan ekstrim dapat dibedakan
menjadi curah hujan ekstrim basah dan curah hujan ekstrim kering. Curah hujan
ekstrim basah biasanya terjadi pada bulan-bulan basah (DJF= Desember,
Januari dan Februari) dan curah hujan ekstrim kering biasanya terjadi pada
bulan-bulan kering (JJA = Juni, Juli dan Agustus). Curah hujan ekstrim pada bulan basah yang cukup tinggi dapat
menyebabkan banjir, sedangkan curah hujan ekstrim pada bulan kering dapat
menimbulkan kekeringan (Virsa, 2005). Begitu pentingnya informasi curah
hujan ekstrim untuk antisipasi bencana alam banjir dan kekeringan sebagai
dampak perubahan iklim global, maka
perlu suatu informasi yang menunjukkan keadaan curah hujan ekstrim yang
terjadi di suatu wilayah. Berhubung data-data sekunder curah hujan
biasanya masih tersedia dalam skala waktu harian dan dalam satuan mm/hari, maka perlu pengolahan lebih
lanjut untuk menunjukkan seberapa besar keekstriman curah hujan tersebut. Untuk
mengetahui keekstriman curah hujan di suatu daerah, berikut ini adalah
indikator-indikator yang dapat digunakan sebagai penilaian (Frich et al.
2002): 1. R10, yaitu jumlah hari dengan curah
hujan ≥ 10 mm/hari, satuan yang
digunakan untuk indikator ini adalah hari.
2. R5d, yaitu maksimum dari total curah hujan selama lima hari yang
berurutan, satuan yang digunakan adalah mili meter (mm).
3. CDD (Consecutive Dry Days), yaitu jumlah maksimum hari kering yang berurutan. Hari kering adalah hari
dimana curah hujan yang terjadi pada saat itu < 1mm. Satuan yang
digunakan untuk indikator ini adalah hari.
4. SDII (Simple Daily Intensity Index), yaitu perbandingan antara curah
hujan dalam setahun dengan jumlah hari hujan dalam setahun. Hari hujan didefinisikan sebagai hari dengan
curah hujan ≥ 1 mm/hari. Maksimum CDD dapat digunakan
sebagai indikator ekstrim kering untuk saat-saat kering, misalnya dalam kurun
waktu minimal 30 tahun, sementara jumlah hari dengan curah hujan ≥ 10 mm
(R10) dan SDII dapat digunakan sebagai indikator ekstrim basah dalam kurun waktu yang telah ditentukan (lebih dari
30 tahun). R5d terbesar dalam setahun menunjukkan kejadian curah hujan paling
ekstrim dalam tahun yang bersangkutan dan merupakan indikator curah hujan
yang berpotensi menyebabkan banjir. Indikator-indikator di atas dapat
digunakan untuk menganalisis adanya perubahan iklim global, maka dilakukan
P
INDIKATOR PERUBAHAN IKLIM
GLOBAL DITINJAU DARI CURAH
HUJAN EKSTRIM
- 12 -
Warta Limnologi – No. 46/TahunXXIV Juli 2011
analisis trend. Analisis trend pada setiap
indikator tersebut akan menunjukkan karakteristik curah hujan di daerah yang
menjadi objek kajian penelitian. Penelitan yang dilakukan oleh
Kostopoulau dan Jones (2005) di Eastern Mediteranian menunjukkan bahwa adanya trend yang positif ke arah
curah hujan yang semakin intensif dan jumlah curah hujan yang lebih banyak
dari tahun 1958 hingga 2000. Untuk trend maksimum CDD, juga menunjukkan
trend yang positif. Studi tersebut menunjukkan bahwa dari tahun 1958
hingga 2000 di Eastern Mediteranian, baik ekstrim basah maupun ekstrim kering sama-sama menunjukkan trend
yang positif.
Daftar Pustaka: Frich, P , L.V. Alexander, P.Della-Marta,
B. Gleason, M. Haylock, A.M.G. Kein Tank, and T. Peterson. 2002.
Observed Coherent Changes In Climatic Extremes During The Second Half Of The Twentieth Century.
Journal Climate Research, Vol. 19: 193-212.
Kostopoulou, E and P.D. Jones. 2005.
Assessment of climate extremes in the Eastern Mediterranean.
Meteorology and Atmospheric Physics Journal, 89: 69-85. (http://
www.springerlink.com/content/r74174t32177164v/ , diakses tanggal 28 Januari 2010.
Santoso, Sigit. 2009. Perubahan Iklim Global: Pentingnya Data Geografi,
http://santosa.wordpress.com/2009/02/24/perubahan-iklim-global-
pentingnya-data-geografi/, diakses tanggal 17 Maret 2010.
Virsa, J. 2005. Kejadian Curah Hujan Ekstrim Di Sumatra (Palembang, Jambi dan Lampung), Prosiding
Seminar Nasional Universitas Gadjah Mada Yogjakarta, http://
www.dirgantaralapan.or.id/moklim/publikasi/2005/KEJADIAN%20CUR
AH%20HUJAN%20EKSTRIM%20DI%20SUMATRA.pdf, diakses tanggal
15 Maret 2010.
- 13 -
Warta Limnologi – No. 46/TahunXXIV Juli 2011
Kochi
Tokyo
Mie
Aichi
Nagano
N
Japan
(Luki Subehi, Puslit Limnologi-LIPI)
erubahan dan fluktuasi temperatur air sungai sangat penting bagi ke-
berlangsungan hidup ikan, serangga, vegetasi dan organisme lainnya
(Eaton and Scheller, 1996; Bogan et al. 2003 dan Dunham et al. 2003). Fluktuasi
temperatur air mempengaruhi sifat-sifat fisika, kimia dan biologi suatu perairan
sehingga memberikan dampak pada komposisi suatu spesies. Oleh karena itu, karakteristik temperatur air di DAS bagian
hulu penting untuk diketahui dalam rangka pengelolaan kualitas air (Sridhar et al.
2004 dan Danehy et al. 2005). Hal ini terkait juga dengan perubahan iklim yang
mempengaruhi temperatur (Fukushima et al. 2000 dan Subehi et al. 2010).
Gambar 1 Lokasi penelitan (modifikasi Subehi et al. 2009)
Untuk lebih detail, dilakukan juga pengukuran temperatur tanah di DAS
Kochi 3 dan Kochi 8, Provinsi Kochi,
Jepang Selatan. Luas DAS Kochi 3 adalah
4,9 ha, dengan jenis hutan berupa pohon berdaun lebar (broadleaf), sedangkan
DAS Kochi 8 dengan luas 0,6 ha dengan jenis hutan pohon cemara Jepang (hinoki
atau Japanese cypress). Pengukuran temperatur air (Tw),
udara (Ta) dan tanah (Ts) dilakukan pada
interval 30 menit dengan menggunakan logger (StowAway Tidbit, Onset Computer
Corporation, USA) (Gambar 2). Logger ini
dapat mengukur temperatur dari -20℃
hingga 50℃ dengan akurasi ± 0,4℃.
Pengukuran temperatur udara (Ta) dilakukan pada 1 m di atas permukaan
tanah, sedangkan pengukuran temperatur tanah (Ts) dilakukan pada
tiga titik kedalaman (10 cm, 50 cm dan 70 cm di bawah permukaan tanah) dan
pada lokasi yang sama dengan titik pengukuran Ta di pinggir sungai (Gambar 3a).
Pengukuran debit pada alat pharsal flume diukur dari bulan Juni 2005 hingga
November 2006 menggunakan sensor temperatur dan tinggi muka air berupa
logger dengan kisaran pengukuran antara
-30℃ hingga 70℃ dengan akurasi 3℃
serta tinggi muka air dengan akurasi 1 mm
(TruTrack WT-HR, Intech Instrumen Ltd, Selandia Baru). Sensor ini dipasang pada
pharsal flume yang diletakkan di alur sungai (Gambar 3b).
Data temperatur udara untuk lima
wilayah penelitian diperoleh dari stasiun meteorologi terdekat, AMeDAS
(Automated Meterological Data Acquisition System). Koreksi untuk data temperatur
udara dilakukan berdasarkan perbedaan ketinggian antara titik lokasi penelitian
dengan lokasi stasiun AMeDAS. Analisis korelasi data harian temperatur udara antara AMeDAS dengan pengukuran
lapangan di dua titik sampling (Kochi 3 dan Kochi 8) menunjukkan data AMeDAS
cukup valid (R2=0,967) dan bisa digunakan untuk kelima wilayah penelitian
(Subehiet al. 2009). Debit air diperoleh dari perhitungan persamaan berdasarkan
ukuran dari parshall flume dan tinggi muka air yang diamati (Herschy, 1985).
P
PENGUKURAN TEMPERATUR AIR
DI DAS BAGIAN HULU WILAYAH
JEPANG
- 14 -
Warta Limnologi – No. 46/TahunXXIV Juli 2011
Ta
Ts Tw
Temperatur air (Tw) Temperatur udara (Ta)
& Temperatur tanah (Ts)
J J A S O N D J F M A M J J A S O N
-10
0
10
20
30
40
Tem
pera
ture
(℃
)
J J A S O N D J F M A M J J A S O N
-10
0
10
20
30
40
Tem
pera
ture
(℃
)
Max Tw
Min Tw
Max Tw
Min Tw
11.9 C゚ 17.8 C゚
2005 2006 20062005
Ta
Tw
TaTw
Kochi 3 Kochi 8
Gambar 2. Alat sensor untuk mengukur temperatur
Gambar 3 Kondisi pengukuran temperatur di lapangan
Pada umumnya, Ta dan Tw memiliki
hubungan yang kuat (Subehi and Fakhrudin, 2011). Hasil penelitian memperlihatkan perbedaan temperatur
harian antara udara dan air di Kochi 3 lebih besar daripada di Kochi 8 (Gambar
4). Fenomena ini mengindikasikan bahwa aliran air bawah permukaan/subsurface
flow lebih banyak terjadi di Kochi 3 dibandingkan Kochi 8.
Kondisi vegetasi understory di hutan Hinoki dan berdaun lebar mempengaruhi tingkat infiltrasi. Pada DAS bad
managed hinoki, vegetasi understory berkurang karena kondisi cahaya
rendah, dan permukaan hutan menjadi gundul, mengakibatkan terjadinya aliran
permukaan/surface flow (Onda et al. 2005). Pada broadleaf dengan kondisi
vegetasi understory yang baik, proporsi
Gambar 4. Perbedaan karakteristik temperatur air dan udara di Kochi 3 dan Kochi 8 (modifikasi Subehi et al. 2009)
dari curah hujan akan menginfiltrasi ke
dalam tanah, menyebabkan adanya aliran bawah permukaan (subsurface
flow) dan naiknya level muka air tanah. Hal ini ditunjukkan dari fluktuasi Ts yang
besar pada lapisan bawah permukaan.
Daftar Pustaka Bogan, T., Stefan, H.G., Mohseni, O. 2003. Stream
Temperature- Equilibrium Temperature Relationship. Water Resources Research (39):1245-1257.
Danehy, R.J., Colson, C.G., Parrett, K.B., Duke, S.D. 2005. Patterns and Sources of Thermal Heterogeneity in Small Mountain Streams within A Forested Setting. Forest Ecology and Management (208):287-302.
Dunham, J., Schroeter, R., Rieman, B. 2003. Influence of Maximum Water Temperature on Occurrence of Lahontan Cutthroat Trout within Streams. North American Journal of Fisheries Management (23):1042-1049.
Eaton, G.J., Scheller, R.M. 1996. Effects of Climate Warming on Fish Thermal Habitat in Stream of The United States. Limnology and Oceanography (41): 1109-1115.
Fukushima, T., Ozaki, N., Kaminishi, H., Harasawa, H., Matsushige, K. 2000. Forecasting The Changes in Lake Water Quality in Response to Climate Changes, Using Past Relationships between Meteorological Conditions and Water Quality. Hydrological Processes (14):593-604.
Herschy, R.W. 1985. Stream Measurements, Stream Flow Measurements. Elsevier; London.
Onda, Y., Tsujimura, M., Nonoda, T., Takenaka, C. 2005. Methods for Measuring Infilitration Rate in Forest Floor in Hinoki Plantations. Journal of Japan Society of Hydrology and Water Resources (18): 688-694 (in Japanese).
Sridhar, V., Sansone, A.L., LaMarche, J., Dubin, T., Lettenmaier, D.P. 2004. Prediction of Stream Temperature in Forested Watersheds. Journal of the American Water Resources Association (40):197-213.
Subehi, L., Fakhrudin, M. 2011. Preliminary Study of the Changes in Water Temperature at Pond Cibuntu. Journal of Ecology and the Natural Environment (3):72-77.
Subehi, L., Fukushima, T., Onda, Y., Mizugaki, S., Gomi, T., Kosugi, K., Hiramatsu, S., Kitahara, H., Kuraji, K., Terajima, T. 2010. Analysis of Stream Water Temperature Changes during Rainfall Events in Forested Watersheds. Limnology (11):115-124.
Subehi, L., Fukushima, T., Onda, Y., Mizugaki, S., Gomi, T., Terajima, T., Kosugi, K., Hiramatsu, S., Kitahara, H., Kuraji, K., Ozaki, N. 2009. Influences of Forested Watershed Conditions on Fluctuations in Stream Water Temperature with Special Reference to Watershed Area and Forest Type. Limnology (10):33-45.
- 15 -
Warta Limnologi – No. 46/TahunXXIV Juli 2011
Syahroma Husni Nasution
telah mengikuti Seminar Nasional
Geomatika, Pengelolaan Sumberdaya
dan Penanggulangan Bencana Alam:
Peluang dan Tantangan Informasi Geospasial
yang diselenggarakan oleh Balai
Penelitian Geomatika BAKOSURTANAL
pada tanggal 5-6 April 2011 di Cibinong.
Kebutuhan akan data geospasial pada
saat ini semakin mengemuka di
masyarakat. Kebutuhan Indonesia akan
data spasial ini semakin nyata dirasakan
ketika terjadi peristiwa kebencanaan yang
kerap kali menimpa bagian wilayah
Indonesia. Geospasial adalah sifat
keruangan yang menunjukkan posisi atau
lokasi suatu objek atau kejadian yang
berada di bawah, pada atau di atas
permukaan bumi dengan posisi
keberadaannya mengacu pada sistem
koordinat nasional. Data Geospasial
adalah data yang mengidentifikasi lokasi
geografis dan/atau karakteristik objek
alam dan/atau buatan manusia yang
berada di bawah, pada, atau di atas
permukaan bumi. Informasi Geospasial
adalah data geospasial yang sudah
diolah sehingga dapat digunakan sebagai
alat bantu dalam perumusan kebijakan,
pengambilan keputusan dan pelaksanaan
kegiatan yang berhubungan dengan
keruangan.
Sektor pembangunan yang
memerlukan Informasi Geospasial:
a. Sektor Pertanian: kesesuaian lahan,
manajemen panen, monitoring
penyakit tanaman dan perumusan
kebijakan ketahanan pangan.
b. Sektor Kehutanan: perumusan
kebijaksanaan hutan, penegasan
batas hutan, kawasan hutan,
pemantauan kebakaran hutan dan
konservasi/reboisasi.
c. Sektor Perikanan: identifikasi wilayah
potensi ikan, pola arus air laut,
konsentrasi zooplankton dan sebaran
infrastruktur perikanan.
d. Sektor Pertambangan: keperluan
eksplorasi (peta geologi, topografi,
geofisik), manajemen eksploitasi
minyak/gas bumi dan mineral.
e. Sektor Pemerintahan: memerlukan
informasi geospasial lainnya untuk
menunjang tugasnya yang bersifat
rutin maupun pembangunan seperti
peta dasar nasional, pertahanan, tata
ruang, lingkungan hidup dan
penegasan batas wilayah darat/laut.
f. Sektor Swasta: sektor swasta semakin
luas memanfaatkan informasi
geospasial dalam bisnisnya yang tidak
terbatas pada sektor primer, tetapi di
sektor jasa dan manufaktur, misalnya
menentukan rute pengangkutan
barang dan menentukan lokasi
bank/agent/distributor.
Dengan berbagai manfaat Informasi
Geospasial diberbagai sektor, maka
telah disahkan UU No. 4 Tahun
2011 tentang Informasi Geospasial
oleh Presiden RI pada tanggal 12
April 2011.
Sekilas Warta
- 16 -
Warta Limnologi – No. 46/TahunXXIV Juli 2011
Djamhuriyah S. Said.
Ikan Hias Marosatherina ladigesi dan
Rasbora argyrotaenia masuk TMII.
Hari ulang tahun Taman Mini Indonesia
Indah (TMII) ke 35 April 2010 kali ini
mengangkat topik Biodiversiti Flora Fauna
Indonesia. Sehubungan dengan itu Dunia
Air Tawar (DAT)-TMII sebagai salah satu
anjungan yang sangat berperan dalam
urusan fauna (Ikan Air Tawar) mengambil
peran besar dan bekerjasama dengan
PIHI (Perhimpunan Ikan Hias Indonesia).
PIHI telah mengenal Pusat Penelitian
Limnologi-LIPI sebagai salah satu instansi
di lingkungan LIPI yang sangat perhatian
terhadap ikan hias (khususnya ikan hias air
tawar asli Indonesia).
Sehubungan dengan itu PIHI bekerjasama
dengan DAT-TMII, juga didukung oleh
Kementrian Kelautan dan Perikanan
(KKP)/Ditjend. Konservasi Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil menggelar suatu acara
Semi Loka Pengelolaan Biodiversiti dan
Sumber Daya Ikan tanggal 21 April 2010.
Pada acara tersebut Kepala Pusat
Penelitian Limnologi-LIPI (Dr. Ir. Gadis Sri
Haryani) diminta sebagai pembicara
utama dengan judul Pemetaan Wilayah
Penyebaran Plasma Nutfah Ikan Hias
Endemik Indonesia Berdasarkan Garis
Wallace.
Dalam menyongsong ultah ini juga, Puslit
Limnologi-LIPI diminta oleh DAT-TMII untuk
dapat berperan aktif menyumbangkan
ikan hasil penelitiannya. Dipilih ikan
Marosatherina ladigesi dan Rasbora
argyrotaenia. Ikan hias pelangi (M.
ladigesi) atau dengan nama umum Celebes
Rainbow merupakan jenis ikan yang
menjadi lambang organisasi PIHI,
sedangkan ikan R. argyrotaenia dengan
nama umum Silver Rasbora telah sulit
ditemukan di Jawa Barat.
Acara penyerahan kedua jenis ikan
tersebut dilakukan oleh Deputi Ilmu
Pengetahuan Kebumian-LIPI (Prof. Dr. Hery
Harjono) kepada Direktur Operasional
TMII pada hari Minggu tanggal 25 April
2010 di depan para pejabat KKP, PIHI,
TMII, pejabat lainnya dan para undangan.
Triyanto dan Fajar Setiawan.
Pendidikan dan Pelatihan Survei
Hidrografi. Pelatihan diselenggarakan
oleh Badan Kordinasi Survei dan
Pemetaan Nasioanl pada 25-29 April
2011. Pelatihan yang dilakukan terdiri
dari kegiatan pembelajaran di kelas dan
kegiatan praktek lapangan. Materi
pelatihan yang diberikan meliputi:
1. Sistem Kordinat
2. Proyeksi Peta
3. Penentuan Posisi dengan GPS
4. Survei Hidrografi I
5. Surevei Hidrogarfi II
6. Pengetahuan Alat
7. Praktek Lapangan
8. Pengolahan Data, dan
9. Penyajian Data
Pelatihan Survei Hidrografi bertujuan
untuk memberikan pengetahuan dan
ketrampilan kepada para peserta untuk
dapat melaksanakan kegiatan survei
hidrografi dalam beberapa keperluan
seperti pembuatan peta batimetri,
penentuan garis pantai, pengukuran
pasang surut dan kegiatan survei
hidrografi lainnya. Pelatihan survei
hidrografi ini adalah yang pertama
dilakukan dan merupakan pelatihan
- 17 -
Warta Limnologi – No. 46/TahunXXIV Juli 2011
tahap dasar yang akan disempurnakan
dengan pelatihan lanjutan yang masih
dalah proses perencanaan.
Sebagai bagian dari kegiatan pelatihan
telah dilakukan Praktek Lapangan
berupa Survei Lapangan dan Pengolahan
Data. Pada Survei Lapangan dilakukan
survey ke teluk Jakarta (Pantai Marina-
Ancol). Kegiatan yang dilakukan meliputi
pemeruman, pengukuran garis pantai,
pemantauan pasang surut dan
pengamatan data SVP. Peralatan yang
digunakan adalah Echosounder
singlebeam, Recheiver GPS, Rambu Pasut,
Kamera dan alat tulis.
1. Pemeruman adalah kegiatan
pengukuran kedalaman perairan
dengan menggunakan alat bantu
akustik. Metode pemeruman yang
dilakukan pada survei ini,
menggunakan metode singlebeam.
Dari hasil survei akan diperoleh
kedalaman dasar laut hasil survei,
posisi [latitude, longitude] dari titik
yang dibidik saat survei. Data survei
tersebut masih harus dikoreksikan
dengan data lain, diantaranya
koreksi data pasut agar kedalaman
yang diperoleh benar-benar
dihitung dari Chart Datum (CD),
koreksi data Draft Transducer dan
SV (Sound Velocity) untuk
memperoleh kedalaman yang bebas
dari kesalahan sistematis.
2. Pemantauan Pasut dan Data SVP
Pengamatan Pasut dilakukan
dengan melakukan pencatatan
manual terhadap rambu pasut yang
di pasang di lokasi pengamatan
pasut. Interval pencatatan pasut
yaitu 30 menit. Dari data hasil
pengamatan dapat dihitung koreksi
kedalaman terhadap Chart datum.
Data SVP (Sound Velocity Proffiler)
diperoleh dari data pangamatan
SVP yang digunakan (1540 m/s)
dan dibandingkan dengan default
sound velocity gelombang akustik
(1500 m/s), sebagai data koreksi.
3. Pengukuran Garis Pantai
Pengukuran garis pantai dilakukan
dengan melakukan penyisiran di
sepanjang tepi pantai, dengan
melakukan marking pada Mean
Highest Water Level dan pertemuan
antara darat dan laut.
4. Proses pengolahan data
Proses pengolahan data merupakan
bagian akhir dari survei hidrografi,
dengan menyajikan informasi berupa
peta kontur kedalaman. Perangkat
lunak yang digunakan dalam proses
pengelohan data antara lain adalah
microsoft exel untuk keperluan editing
data dan, surfer 8 untuk visualisasi
hasil survei.