artikel gkm.doc
TRANSCRIPT
Indonesian Nutrition Update
Gizi merupakan salah satu faktor penentu kualitas sumber daya manusia suatu bangsa.
Gizi diperlukan untuk membentuk manusia menjadi sehat, cerdas, kuat, dan tangguh. Dalam hal
ini pemenuhan terhadap gizi yang baik harus tetap menjadi mind-stream pembangunan
nasional (wiku, 2007). Keadaan gizi masyarakat yang buruk akan menghambat tercapainya
tujuan pembangunan. Masalah gizi merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang
belum pemah tuntas ditanggulangi di dunia. Indonesia merupakan salah satu dari l13 negara
yang sedang berkembang, yang masih mempunyai masalah umum yaitu keadaan gizi
masyarakat.
Rasanya sudah umum diketahui bahwa penyebab masalah gizi adalah multifaktor, yang
utamanya melibatkan faktor pendidikan, ekonomi, keamanan, pengendalian pertumbuhan
penduduk, perbaikan sanitasi, keadilan social bagi perempuan dan anak-anak, kebijakan dan
praktik yang benar terhadap lingkungan dan produktivitas pertanian. (Aritonang, 2006)
Beberapa factor yang menyebabkan rendahnya gizi di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Permasalahan ekonomi, masalah kemiskinanan di Indonesia sangat mempengaruhi
tingkat gizi di Indonesia. Penghasilan yang kurang dan tingginya harga bahan pangan
membuat masyarakat miskin hanya sanggup untuk memenuhi kebutuhan akan pangan
pokok sebagai sumber energi dan menerapkan prinsip makan asal kenyang. Hal ini
menyebabkan mereka kurang memperhatikan nutrisi dan nilai gizi yang terkandung
dalam bahan makanan yang mereka konsumsi.
b. Bencana Alam, Banjir; tanah longsor; tsunami; letusan gunung berapi dan bencana
alam lain akan menghambat pemenuhan gizi di Indonesia. Bencana alam berpotensi
menghalang proses distribusi bahan makanan sehingga bahan pangan yang ada tidak
terdistribusi dengan baik. Sehingga bencana alam sangat menentukan status gizi di
Indonesia, mengingat Indonesia merupakan wilayah yang sangat rawan bencana.
c. Korupsi, Korupsi merupakan akar dari semua permasalahan di negeri ini. Tidak
terkecuali kasus kekurangan gizi di Indonesia. Keterkaitan korupsi dengan masalah
kekurangan gizi dapat ditinjau dari banyaknya anggaran yang disiapkan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat, namun faktanya pembagian dana tersebut tidak
tepat sasaran dengan bukti permasalahan yang tidak segera selesai.
d. Budaya Instanisasi, yang merupakan budaya tidak produktif. Budaya ini telah
merambah ke negara kita yang mempengaruhi pola konsumsi masyarakat. Masyarakat
lebih menyukai membeli produk-produk instan seperti fast food dan junk food yang
memiliki kadar gizi relatif rendah.
e. Presepsi masyarakat tentang gizi, Salah satu penyebab lain dari kasus gizi buruk di
Indonesia adalah presepsi masyarakat mengenai pentingnya kecukupan gizi. Anggapan
tentang gizi yang menyebutkan bahwa gizi adalah suatu barang kebutuhan yang
mahal. Padahal anggapan itu tidak selamanya benar.
f. Kurangnya sosialisasi program peningkatan kesejahteraan. Kurangnya sosialisasi
program dari pemerintah juga dapat menentukan status gizi di Indonesia. Sebagus
apapun program yang ditawarkan, jika sosialisasinya gagal sangat percuma. Untuk
program-program peningkatan kesejahteraan, misalnya bantuan langsung tunai (BLT)
yang diberikan kepada masyarakat berkategori miskin hendaknya merata dengan
sosialisasi yang baik.
g. Kebijakan pemerintah terkait pengadaan bahan pangan. Kebijakan yang ditetapkan
oleh pemerintah terkait pengadaan bahan pangan tentu mempunyai andil yang cukup
besar terhadap keberadaan bahan pangan yang akan dikonsumsi oleh masyarakat
berikut harganya. Pemerintah berwewenang mengambil kebijakan untuk impor atau
ekspor bahan pangan. Namun impor bahan pangan yang tidak dikendalikan, dapat
memperparah keterpurukan ekonomi Indonesia, karena hal tersebut dapat
membunuh sektor pertanian yang seharusnya menjadi andalan bangsa ini.
Permasalahan gizi di Indonesia saat ini antara lain kurangnya gizi, kurang energy protein
(KEP) disebabkan oleh kekurangn makan sumber energy secara umum dan kekurangan sumber
protein, masalah anemia gizi di Indonesia terutama yang berkaitan dengan kekurangan zat besi
(AGB), Kekurangan iodium terutama terjadi di daerah pengunungan dimana tanah kurang
mengandung iodium, dan kurangnya vitamin A (KVA).
Program dari pemerintah untuk menanggulangi Kekurangan Energi Protein (KEP) antara
lain upaya pelacakan kasus melalui penimbangan bulanan di Posyandu, rujukan kasus KEP
dengan komplikasi penyakit di RSU, pemberian ASI Eksklusif untuk bayi usia 0-6 bulan,
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pemulihan bagi balita gizi buruk dengan lama pemberian
3 bulan, memberikan makanan Pendamping ASI (MP-ASI) bagi balita keluarga miskin usia 6-12
bulan, pemberdayaan masyarakat menuju Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi), integrasi kegiatan
lintas sektoral dengan program penanggulangan kemiskinan dan ketahanan pangan.
Pemerintah sudah membuat program untuk menanggulangi Kekurangan Energi Protein (KEP),
namun sampai saat ini penanganan yang diberikan, hanya mampu mengurangi sedikit
kasus gizi buruk pada balita.
Peningkatan konsumsi vitamin A untuk penanggulangan kekurangan vitamin A, upaya
pemerintah yaitu melalui pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi secara berkala (Depkes RI
1993), fortifikasi bahan makanan dengan vitamin A, penyuluhan gizi. Walaupun telah dilakukan
berbagai strategi penanggulangan vitamin A ternyata masih ada laporan tentang kekurangan
vitamin A. Hal ini disebabkan sifat vitamin A yang rusak bila diperlakukan tidak sesuai dengan
prosedur, adanya penyakit lain yang menyebabkan kekurangan vitamin A dan pola pemakaian
vitamin A di masyarakat yang masih kurang.
Untuk mengatasi masalah anemia gizi besi upaya yang telah dilakukan pemerintah adalah
melalui suplementasi zat besi, yaitu Program Penggulangan Anemia Gizi Besi Pada Remaja Putri
(PPAGB). Didalam siklus hidup manusia, remaja wanita (10-19 tahun) merupakan salah satu
kelompok yang rawan menderita anemia. Prevalensi anemia di Indonesia masih cukup tinggi,
yang ditunjukkan oleh laporan Depkes (2005) yaitu pada remaja wanita 26,50%, wanita usia
subur (WUS) 26,9%, ibu hamil 40,1% dan anak balita 47,0%. Sebanyak 10-25 % remaja wanita
yang tinggal di pedesaan Indonesia sudah pernah menikah atau mengalami kehamilan (Depkes
2003). Pada ibu hamil, anemia dapat menyebabkan kematian ibu, bayi, atau berat bayi lahir
rendah. Oleh karena itu, sasaran program perbaikan gizi pada kelompok remaja wanita
dianggap strategis didalam upaya memutus simpul siklus masalah gizi. Namun pada evaluasi
akhir program tidak selalu berhasil didalam menurunkan prevalensi anemia.
Gangguan Akibat Kekurangan Yodium atau biasa disingkat GAKY merupakan masalah yang
sudah terjadi di Indonesia sejak lama. Salah satu program pemerintah dalam mengatasi GAKY
adalah Penggunaan Garam Beryodium. Garam Beryodium telah dicanangkan dalam RAN KPP
GAKY-21 dengan strategi diantaranya dimulai dari meningkatkan produksi garam rakyat,
mempercepat pemenuhan pasokan garam beryodium, dan meningkatkan pemantauan kualitas
garam beryodium di pasaran. Selain itu pemerintah juga melakukan promosi pentingnya
penggunaan garam yodium. Namun, Persentase rumah tangga yang mengkonsumsi garam
dengan kadar yodium yang memenuhi syarat hanya 62,3 % jauh dibawah sasaran (90%)
(Riskesdas, 2007). Kendala utama rendahnya pencapaian konsumsi garam beryodium, karena
kurangnya perhatian Pemerintah Daerah yang ditengarai diantaranya penegakan hukum lemah
pada Peraturan Daerah yang mengatur produksi dan peredaran garam beryodium. Dalam
penelitian Semba et al 2008 menyatakan faktor yang mempengaruhi penggunaan garam adalah
rendahnya pendidikan ibu dan kurangnya informasi mengenai kegunaan garam beryodium. Di
lain sisi faktor ekonomi menjadi salah satu hal yang berpengaruh terhadap penggunaan garam,
dimana harga garam yodium yang lebih mahal 2-3 kali lipat dibandingkan garam non-yodium
serta pemalsuan garam yodium.
Program program yang telah dicanangkan oleh pemerintah tidak seleruhnya dapat
terpacai dengan dengan baik, dan tingkat keberhasilan sangat kecil. Penyebabnya yaitu
kurangnya sosialisasi dari pemerintah juga kurang sadarnya masyarakat terhadap pentingnya
pola konsumsi yang sehat untuk untuk memenuhi kebutuhan gizi. Dalam menangani masalah
gizi di Indonesia selain pemerintah yang harus tepat dalam memberikan kebijakan dan
membuat program untuk menekan peningkatan gizi buruk di Indonesia, masyarakat sendiri juga
harus sadar akan pentingnya hidup sehat dan pola konsumsi yang tepat. Kesadaran dari
masyarakat dapat dimulai dari keluarga yaitu, pengetahuan ibu tentang gizi, pola asuh ibu dan
anak, pemantauan pertumbuhan anak dan penggunaan garam beryodium. Untuk peran
masyarakat dan sector yaitu seperti mengaktifkan Posyandu, pelayanan kesehatan dasar,
melakukan penyuluhan dan konseling, dan pemberian suplementasi gizi. Sedangkan untuk
pemerintah harus lebih tegas dalam menjalankan program.
Himbauan kepada pemerintah dari Ketua Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi yaitu
memberikan perlindungan terhadap kesehatan ibu, termasuk di dalamnya kecukupan asupan
nutrisi serta faktor lain yang dapat mengakibatkan terganggunya kehamilan. Meninjau kembali
regulasi yang berkaitan cuti hamil dan menyusui untuk kemudian menyusun regulasi baru yang
dapat menjamin ibu untuk dapat hamil dan menyusui selama enam bulan secara ekslusif tanpa
disertai rasa takut kehilangan pekerjaan bagi mereka yang bekerja. Pemenuhan hak-hak ibu
yang berkaitan dengan peningkatan pengetahuan (edukasi) gizi seimbang secara terus menerus
melalui revitalisasi peran Posyandu. ). Memperbaiki sistem surveillance gizi untuk menemukan
kasus secara tepat dan melaporkan secara transparan untuk memastikan tercakupnya seluruh
ibu hamil dan anak di bawah dua tahun yang mengalami masalah gizi. Melakukan intervensi gizi
sesuai derajat berat ringannya malnutrisi dengan pendekatan berdasar kearifan lokal untuk
menjamin kontinuitas intervensi (murah, mudah, mujarab). Mengurangi pemilihan intervensi
yang bersifat instan dengan dampak perbaikan yang hanya dirasakan dalam jangka waktu
pendek (seperti donasi makanan tanpa diikuti proses pemberdayaan pangan). Meningkatkan
kedaulatan dan ketahanan gizi dan pangan. Menyusun sistem pembiayaan program kesehatan
khususnya gizi yang tidak berorientasi proyek untuk menjamin kontinuitas program.
Memberdayakan ibu sebagai faktor penentu dalam 1000 hari pertama gizi. Memperkuat
kerjasama lintas sektor, mengingat masalah gizi bukan sesuatu yang berdiri sendiri.
Dari strategi yang telah direkomendasikan diharapkan pemerintah lebih memperhatikan
dan lebih tegas dalam menjalankan kebijakan. Sosialisai tentang ilmu pengetahuan gizi dan
pentingnya hidup sehat terutama kepada para ibu sebagai pengatur pola makan dalam rumah
tangga lebih ditekankan. Serta masyarakat sendiri harus ikut serta untuk mensukseskan
program pemerintah agar Indonesia bebas dari gizi buruk.
Daftar Pustaka
Aritonang, Irianto dan Priharsiwi Endah. 2006. Busung Lapar. Tangerang: PT. Agromedia
Pustaka.
Depkes RI .1993. Pedoman Pemberian Kapsul Vitamin A Dosis Tinggi. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
Kerangka Kebijakan Gerakan Sadar Gizi dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan
(1000HPK). Republik Indonesia. 2012. akses 15 Maret 2014:
kgm.bappenas.go.id/document/datadokumen/40_DataDokumen.pdf.
Semba, R dan François Delange. 2008. Iodine Deficiency Disorders in Nutrition and Health in
Developing Countries 2nd ed. (eds) Richard D. Semba dan Martin w. Bloem. Humana press.
USA page 507-523.
Wiku, adisasmito. 2007. System kesehatan. Jakarta : Pt. Raja grafindo.