artikel filsafat bahasa
TRANSCRIPT
-
8/4/2019 artikel Filsafat bahasa
1/9
Filsafat bahasa
Filsafat bahasa adalah ilmu gabungan antara linguistik dan filsafat. Ilmu ini menyelidiki
kodrat dan kedudukan bahasa sebagai kegiatan manusia serta dasar-dasar konseptual dan
teoretis linguistik. Filsafat bahasa dibagi menjadi filsafat bahasa ideal dan filsafat bahasasehari-hari.
Filsafat bahasa ialah teori tentang bahasa yang berhasil dikemukakan oleh para filsuf,
sementara mereka itu dalam perjalanan memahami pengetahuan konseptual. Filsafat bahasa
ialah usaha para filsuf memahami conceptual knowledge melalui pemahaman terhadap
bahasa.
Dalam rangka mencari pemahaman ini, para filsuf telah juga mencoba mendalami hal-hal
lain, misalnya fisika, matematika, seni, sejarah, dan lain-lain. Cara bagaimana pengetahuan
itu diekspresikan dan dikomunikasikan di dalam bahasa, di dalam fisika, matematika dan
lain-lain itu diyakini oleh para filsuf berhubungan erat dengan hakikat pengetahuan ataudengan pengetahuan konseptual itu sendiri. Jadi, dengan meneliti berbagai cabang ilmu itu,
termasuk bahasa, para filsuf berharap dapat membuat filsafat tentang pengetahuan manusia
pada umumnya.
Letak perbedaan antara filsafat bahasa dengan linguistik adalah linguistik bertujuan
mendapatkan kejelasan tentang bahasa. Linguistik mencari hakikat bahasa. Jadi, para sarjana
bahasa menganggap bahwa kejelasan tentang hakikat bahasa itulah tujuan akhir kegiatannya,
sedangkan filsafat bahasa mencari hakikat ilmu pengetahuan atau hakikat pengetahuan
konseptual. Dalam usahanya mencari hakikat pengetahuan konseptual itu, para filsuf
mempelajari bahasa bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai objek sementara agar
pada akhirnya dapat diperoleh kejelasan tentang hakikat pengetahuan konseptual itu.
Perhatian Para Filosof terhadap bahasa
Masalah kebahasaan yang sering dibahas oleh para filsuf biasanya berkisar pada hubungan
antara simbol dan arti. Pembahasan mereka agak sukar untuk disistematikakan. Secara garis
besar, pemikiran itu dapat digambarkan sebagai berikut :
Metafisika
Metafisika ialah bagian filsafat yang berusaha memformulasikan fakta yang paling umum
dan paling luas, termasuk penyebutan kategori-kategori yang paling pokok atas
pengelompokan hal dan benda dan gambaran saling hubungan mereka. Di dalam metafisika
ini, maka dapatlah filsuf-filsuf seperti Plato dan Aristoteles mencoba memahami bahasa.
Sebagai misal, dalam bukunya RepublikPlato berkata, Manakah sejumlah orang menyebut
kata yang sama, kita berasumsi bahwa mereka itu juga memikirkan ide yang sama. Jadi
kalau orang-orang menggunakan kata yang sama seperti rumah dan pohon, maka Plato
beranggapan bahwa di dalam masyarakat memang ada kesatuan ide seperti rumah danpohon
http://id.wikipedia.org/wiki/Linguistikhttp://id.wikipedia.org/wiki/Linguistikhttp://id.wikipedia.org/wiki/Filsafathttp://id.wikipedia.org/wiki/Filsafathttp://id.wikipedia.org/wiki/Bahasahttp://id.wikipedia.org/wiki/Bahasahttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Filsafat_bahasa_ideal&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Filsafat_bahasa_ideal&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Filsafat_bahasa_sehari-hari&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Filsafat_bahasa_sehari-hari&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Filsafat_bahasa_sehari-hari&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Filsafat_bahasa_sehari-hari&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Filsafat_bahasa_sehari-hari&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Filsafat_bahasa_ideal&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasahttp://id.wikipedia.org/wiki/Filsafathttp://id.wikipedia.org/wiki/Linguistik -
8/4/2019 artikel Filsafat bahasa
2/9
itu. Kalau tidak begitu, maka tidak mungkinlah beberapa orang yang berlainan menggunakan
kata-kata yang sama itu.
Di dalam buku Metaphysics, Aristoteles menulis ... Kita boleh bertanya apakah kata-kata
seperti berjalan, duduk, sehat itu ada. Bukankah yang ada itu ialah pekerjaan berjalan,
duduk, atau sakit. Kegiatan itu dianggap lebih nyata karena ada sesuatu yang pasti yangmendasarinya, yaitu benda atau orang.... Dalam hal ini, Aristoteles mulai dengan kenyataan
bahwa orang tidak menggunakan kata kerja kecuali berhubungan dengan subjek yang dalam
hidupnya memang menjalankan pekerjaan-pekerjaan seperti berjalan, duduk, dan sakit. Dari
kenyataan ini, Aristoteles berkesimpulan bahwa benda itu mempunyai keberadaan yang lebih
bebas dari kata kerja, benda itu lebih pokok daripada kegiatan.
Pada akhir abad 19, seorang Filsuf Jerman, Meinong, berkata bahwa setiap tutur yang
bermakna di dalam kalimat tentulah mempunyai referent(acuan). Kalau tidak, maka tutur itu
tidak akan bermakna, sehingga tentulah istilah itu ada benda acuannya. Kalau benda acuan itu
tidak dapat dilihat di sekitar kita, maka tentulah benda itu ada dengan cara keberadaan yang
lain.
Pada abad dua puluh ini, ada aliran filsafat yang disebut logica atomism. Tokoh-tokohnya
yang terkenal antara lain ialah Bertrand Russel dan Ludwig Wittgenstein. Berkenaan dengan
hal ini, Russel berkata antara lain : ...di dalam simbolisme yang benar dan logis, antara fakta
dan simbol yang melambangi fakta itu tentulah terdapat struktur yang beridentitas jelas.Kekompleksitasan simbol tentu menyerupai kekompleksitasan fakta yang dilambanginya.
Dalam hal ini, Russel mengisyaratkan bagaimana sebaiknya bahasa itu. Bahasa yang benar
dan logis seharusnya dapat melambangi secara jelas apa saja yang ada di dalam alam sekitar
kita.
Logika
Ada cabang filsafat lain yang menaruh perhatian pada bahasa. Cabang itu sering disebut
logika. Logika ialah studi tentang inference (kesimpulan-kesimpulan). Logika berusaha
menciptakan suatu kriteria guna memisahkan inferensi yang sahih dari yang tidak sahih.
Karena penalaran itu terjadi dengan bahasa, maka analisis inferensi itu tergantung kepada
analisis statement-statement yang berbentuk premis dan konklusi. Studi tentang logika
membukakan kenyataan bahwa sahih dan tidaknya informasi itu tergantung kepada wujud
statement yang mengandung premis dan konklusi. Adapun yang dimaksud dengan wujud
ialah jenis istilah yang terkandung di dalam statement dan juga cara bagaimana istilah itudisusun menjadi statement.
Epistemologi
Epistemologi atau teori ilmu pengetahuan menaruh perhatian kepada bahasa dalam beberapa
aspek, terutama dalam masalah pengetahuan a priori, yakni pengetahuan yang dianggap
sudah diketahui tanpa didasarkan pada pengalaman yang sudah dialami secara nyata. Sebagai
misal ialah pengetahuan manusia dalam hal matematika. Pengetahuan matematika ini
memusingkan para filsuf. Bagaimana kita tahu bahwa 7 ditambah 8 selalu ada 15? Salah satu
jawabnya bahwa makna masing-masing istilah yang terpakai di dalam perhitungan
matematika itu memang sudah kita anggap benar, tanpa pemeriksaan lebih lanjut. Hal inilahyang mendatangkan tanda tanya pada diri para filsuf. Bagaimana istilah itu dapat mempunyai
-
8/4/2019 artikel Filsafat bahasa
3/9
makna dan bagaimana statement itu juga dapat mempunyai makna dengan hanya
mendasarkan bahwa istilah yang terpakai itu punya makna.
Reformasi Bahasa
Para filsuf juga tertarik untuk memperbaiki bahasa. Bahasa seharusnya diperbaiki karenakegiatan keilmuan para filsuf boleh dikatakan tergantung kepada pemakaian bahasa. Di lain
pihak, telah banyak keluhan dari sarjana di berbagai bidang bahwa bahasa yang mereka pakai
mengandung banyak kelemahan.
Keluhan para filsuf terhadap kelemahan bahasa terwujud dalam beberapa bentuk. Sebagai
misal, Plotinus dan Bergson menganggap bahwa bahasa itu tidak cocok untuk dipakai sebagai
dasar formulasi kebenaran yang fundamental. Menurut pendapat mereka, orang akan dapat
memahami kebenaran hanya kalau mereka itu menyatu dengan kenyataan dan tanpa bahasa.
Paling-paling bahasa hanya mampu menggambarkan kebenaran itu dengan gambaran yang
bengkok.
Jadi, dalam hal ini, ada dua pandangan yang berbeda terhadap bahasa ini. Pertama,
pandangan yang mengatakan bahwa bahasa itu masih dapat berfungsi untuk menjadi sarana
pengantar filsafat. Akan tetapi, dalam pengalaman pemakaian ini tidak baik, karena si
pemakai sendirilah yang salah. Si pemakai menyimpang dari cara pemakaian bahasa yang
baik dan yang benar, tanpa memberikan makna apa-apa terhadap penyimpangan yang mereka
lakukan. Dalam kelompok ini terdapatlah misalnya orang-orang seperti Locke dan Ludwig
Wittgenstein. Locke tidak menyukai jargon scholastik. Wittgenstein berkata bahwa
kebanyakan masalah yang timbul dalam pembicaraan filsafat berasal dari kenyataan bahwa
para filsuf menggunakan terminologi (istilah) secara menyimpang, berlainan dengan makna
yang sebenarnya.
Orang-orang dari kelompok kedua berpendapat bahwa bahasa yang kita pakai sehari-hari ini
memang kurang kuat, kurang cermat, kurang memenuhi syarat, kurang sesuai untuk dipakai
sebagai sarana pengantar filsafat. Bahasa kita itu samar, tidak eksplisit (tidak lugas),
mengandung keraguan (ambigu), kurang mandiri atau suka tergantung pada konteks (context
dependent) dan sering menimbulkan salah paham. Di dalam kelompok ini terdapatlah orang-
orang seperti Leibniz, Russel, dan Carnap yang menginginkan timbulnya suatu bahasa buatan
manusia yang lebih sesuai untuk filsafat. Bahasa buatan manusia itu perlu diusahakan agar
kelemahan-kelemahan yang ada di dalam bahasa alamiah dapat dikoreksi.
Aturan-aturan terpokok suatu bahasa
Bahasa yang digunakan dalam uraian kefilsafatan terdiri dari seperangkat istilah dan
seperangkat pernyataan yang dibentuk dari istilah-istilah tertentu ditambah dengan istilah-
istilah lain dalam maknanya yang lazim, yang diambilkan dari bahasa yang digunakan oleh
sang filsuf (misalnya bahasa Inggris). Suatu bahasa yang lengkap terdiri dari seprangkat
istilah dan tiga perangkat aturan.
Perangkat aturan pertama bersifat semantik. Aturan-aturan ini menerangkan hubungan antara
ungkapan-ungkapan bahasa dengan hal-hal yang ditunjukkan. Aturan-aturan tersebut dapat
dibagi lebih lanjut sebagai berikut :
-
8/4/2019 artikel Filsafat bahasa
4/9
Aturan-aturan pembentukan. Aturan-aturan ini menerangkan kapankah seperangkattanda menunjukkan suatu pertanyaan. Misalnya, ada aturan : Bila ada ungkapan yang
terdiri dari suatu kata benda, kata kerja adalah, dan suatu kata sifat, maka hasilnya
akan berupa suatu pernyataan.
Aturan-aturan yang melukiskan apakah yang ditunjuk oleh macam-macam tanda
tertentu. Aturan-aturan ini mengatakan bahwa kata-kata benda menunjukkan orang,tempat, atau barang, dan bahwa sebutan menunjukkan ciri-ciri.
Aturan-aturan yang melukiskan bilamanakah suatu pernyataan dikatakan mengandung
kebenaran. Aturan-aturan ini dapat memberikan batasan pengertian mengenai
hubungan kebenaran. Misalnya, pernyataan sederhana seperti Saya merasa dingin,
dikatakan benar jika, dan hanya jika, saya sungguh-sungguh merasa dingin.
Perangkat aturan kedua bersifatpragmatis. Aturan-aturan ini menerangkan latar istilah-istilah
atau pernyataan-pernyataan yang bersifat kejiwaan, emosional, geografik, dan sebagainya.
Misalnya nama Tuhan senantiasa dipakai dengan perasaan hormat.
Perangkat aturan ketiga bersifat sintaksis. Aturan-aturan ini menerangkan cara-caramenyimpulkan ungkapan-ungkapan berdasarkan ungkapan-ungkapan yang lain dengan jalan
perubahan bentuk. Misalnya, jika (1) p dan (2) p meliputi q, maka (3) dapatlah
disimpulkan q. Yang tersangkut dalam hal ini ialah aturan-aturan logika, definisi bukti, dan
sebagainya.
Standarisasi (Pembakuaan)
1. Arti standarisasi
Bahasa standar (baku) timbul ketika beberapa masyarakat yang terpisah merasa adakeperluan untuk saling berhubungan. Bahasa baku atau dialek baku ialah bahasa atau dialek
yang dipilih oleh anggota berbagai masyarakat untuk saling berkomunikasi. Bahasa standar
ialah bahasa yang dianggap betul oleh masyarakat pemakainya. Bentuk dan pemakaian
bahasa baku ini menjadi model percontohan bagi seluruh rakyat.
Di samping menyesuaikan diri kepada orang yang diajak bercakap, seseorang penutur bahasa
biasanya akan mencoba menyesuaikan diri dengan bentuk dan pemakaian bahasa yang
terpakai secara luas di masyarakat. Dalam praktek penggunaan bahasa, tarik-menarik antara
bahasa standar dengan bahasa yang digunakan secara akrab ini berjalan terus-menerus.
2. Fungsi standarisasi
Pertama-tama, bahasa baku berfungsi sebagai semacam lingua franca di dalam masyarakat
yang menggunakan bermacam-macam dialek. Dengan bahasa standar ini, orang dari berbagai
daerah dapat saling berhubungan dengan baik. Sebagai misal, orang dari Temburung dapat
berkomunikasi dengan baik dengan orang dari Seria. Orang dari Aceh dapat saling
berhubungan dengan orang dari Bali, Manado, atau dari Irian Jaya.
Karena orang dari masyarakat lain itu biasanya belum dikenal secara akrab, maka
sebaiknyalah bahasa yang dipakai itu bersifat sopan. Jadi, kalau dialek memancarkan nuansa
arti akrab, maka bahasa baku memancarkan nuansa arti sopan santun. Jadi, di samping
berfungsi sebagai lingua franca di dalam masyarakat dari berbagai macam dialek, bahasa
-
8/4/2019 artikel Filsafat bahasa
5/9
baku juga berfungsi sebagai pengantar kesopan-santunan. Bahasa baku harus dapat dipakai
untuk menyampaikan hal-hal dalam suasana yang santun.
Selanjutnya, bahasa baku juga berfungsi untuk mengendalikan laju perubahan dialek-dialek
yang tumbuh. Bahasa baku yang mempunyai martabat yang tinggi, disenangi oleh
masyarakat pemakainya, biasanya dapat memperlambat lajunya perubahan yang dialami olehdialek-dialek.
3. Bentuk standarisasi
Ragam bahasa yang santun biasanya jelas dan lengkap. Ucapannya harus jelas. Komponen
wacananya lengkap dan logis, dan tidak berputar-putar. Karena tuntutan kejelasan inilah,
maka biasanya bahasa baku itu bersifat kaya (elaborated) dan mempunyai aturan tata bahasa
yang ketat. Aturan sintaksis, aturan morfologi, aturan fonologi, dan aturan semantiknya stabil
dan ketat. Bentuk dan aturan yang ada tidak boleh digunakan semau-maunya dan tidak boleh
mudah berubah. Di samping itu, pola kalimatnya, pola morfo-sintatiknya, pola fonologinya,
dan juga perbendaharaan katanya kaya. Dalam hal ini, bahasa baku berbeda dengan dialek-dialek yang tidak standar, karena dialek yang tidak standar itu relatif miskin (restriced) dan
kondisifikasinya longgar. Apapun boleh dikatakan, asal si lawan bicara tahu maksud kita.
4. Tempat standarisasi
Bahasa yang terpakai di pusat kebudayaan biasanya terpilih menjadi bahasa standar ini. Pusat
kerajaan biasanya menggunakan bahasa standar. Mungkin saja di pusat kebudayaan inilah
yang amat memerlukan bahasa yang sopan dan yang dapat dipakai untuk mengantarkan
segala pesan secara jelas. Di pusat kerajaan berbagai orang dari berbagai masyarakat bertemu
membicarakan berbagai masalah. Pembicaraan itupun biasanya dijalankan dalam suasana
resmi dan penuh dengan rasa sopan santun.
Itulah sebabnya, maka sekarang ini ragam bahasa yang dipakai di pusat negeri biasanya
terpakai sebagai ragam bahasa baku. Ibukota negara seperti Jakarta, London, Bangkok,
Bandar Seri Begawan, dan lain-lain menjadi tempat di mana bahasa baku berkembang. Di
Jawa, untuk bahasa Jawa, bahasa yang dipakai di pusat kesultanan di Yogyakarta dan
Surakarta pun menjadi bahasa standar.
Fungsi Bahasa
Pada kenyataannya, fungsi yang harus disandang oleh bahasa tidak hanya satu macam.
Karena hal inilah maka sukar bagi para filosof untuk mematoki bahasa sebagai alat
komunikasi yang akurat, satu simbol melambangi satu makna, satu makna dilambangi satu
simbol.
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa fungsi bahasa beserta variasi-variasinya antara lain
ialah sebagai berikut :
1. Register sebagai Penyampai Maksud
-
8/4/2019 artikel Filsafat bahasa
6/9
Dikatakan bahwa bahasa ialah alat untuk berkomunikasi. Berkomunikasi pada dasarnya ialah
menyampaikan maksud. Maksud itu ada bermacam-macam, ada yang bersifat instinctive dan
ada juga yang sangat bersifat manusiawi. Yang bersifat instinctive ialah komunikasi seperti
yang dijalankan hewan, yang biasanya bersifat emotive (berseru, mengelu, menyatakan rasa
lega, meneriakkan perintah atau larangan). Yang bersifat manusiawi ialah komunikasi yang
berbentuk bertanya, menjawab, memberitahu, menanggapi.
2. Ragam sebagai Penyampai Rasa Santun
Masyarakat yang hanya mempunyai satu bahasa menggunakan ragam tutur untuk
membedakan situasi yang resmi, tak resmi, indah, dan sakral. Dalam keadaan santai, ragam
informal dipakai. Dalam suasana resmi, ragam formal dipakai. Dalam situasi yang indah
romantis, ragam susastra digunakan. Dalam situasi sakral, ragam sakral dipakai.
Ragam formal sering berbentuk sama dengan apa yang dinamakan bahasa baku atau ragam
bahasa standar. Ragam informal kadang-kadang terdiri dari dialek bahasa yang sama, tetapi
yang bukan baku. Kadang-kadang juga, ragam informal itu terdiri dari penyantaian bahasastandar itu. Kata-katanya sering tidak diucapkan secara penuh, aturan tata kalimatnya sering
tidak ketat, kata-kata yang teknis sering diganti dengan kata-kata yang umum saja.
(Poedjosoedarmo, 1978).
Kepekaan anggota masyarakat dalam menggunakan masing-masing variasi ini mencerminkan
kepekaan masyarakat terhadap aturan sopan santunnya. Ragam tutur yang wujudnya
ditentukan oleh peristiwa percakapan, sebaliknya mengatur anggota masyarakat agar
memperhatikan pemakaian ragam itu dan memperhatikan berbagai peristiwa tutur yang
berbeda-beda. Memperhatikan cara penggunaan ragam tutur menjadikan anggota masyarakat
peka terhadap adanya situasi bicara yang berbeda-beda. Dengan kata lain, adanya ragam tutur
ini masyarakat dibuat peka dan dipaksa untuk menaati aturan sopan santun. Masyarakat tidak
boleh menggunakan ragam tutur semaunya sendiri dalam bercakap di berbagai situasi dan
peristiwa percakapan.
3. Tingkat Tutur sebagai Penyampai Rasa Hormat
Di dalam masyarakat, orang yang satu harus berhubungan dengan orang yang lain. Orang lain
ini barangkali ayahnya sendiri, adiknya, tetangganya, teman sekelasnya, kenalan baru, atau
orang lain yang kebetulan berpapasan di jalan. Di dalam relasi ini, orang dituntut menentukan
sikapnya, yaitu akan menganggap lawan tutur sebagai orang yang perlu dihormati atau tidak.
Orang lain itu perlu dipastikan dalam jaringan hubungannya dengan si penutur. Kalau diaadalah orang yang seharusnya kita hormati, maka harus kita hormatilah dia. Kalau orang itu
tidak kita hormati, maka akan marahlah dia, atau akan marahlah orang lain kepada kita.
Bahasa biasanya mempunyai cara-cara untuk menyatakan rasa hormat atau tidak hormat
kepada orang lain. Ada masyarakat yang menganggap sudah cukup untuk menyampaikan
rasa hormat itu dengan cara berelasi yang berjarak, tetapi ada masyarakat lain yang
menyatakan relasi hormat itu dengan kode bahasa yang khusus. Yang pertama bertutur
bahasa secara biasa, sedangkan yang kedua memerlukan istilah honorific (hormat) untuk
menyampaikan perasaan hormat itu.
-
8/4/2019 artikel Filsafat bahasa
7/9
4. Idiolek sebagai Penanda Identitas Diri
Setiap pribadi, karena keadaan fisik dan kejiwaan bahasa yang unik, bahasa mempunyai
idioleknya sendiri-sendiri. Walaupun aturan sintaksis, morfologi, dan fonologi itu seragam,
tetapi setiap orang mempunyai gaya bicaranya masing-masing. Setiap orang mempunyai
kecenderungannya sendiri-sendiri di dalam memilih dan menggunakan berbagai caramengucapkan bunyi. Setiap orang mempunyai keanehan-keanehannya sendiri di dalam cara
membentuk kata dan kalimat, cara menaati sopan santun bahasa dan memilih ragam dan
tingkat tutur, cara mengacu kepada orang yang dipercakapkannya, cara mengorganisasi
wacananya, cara menyalurkan isi kejiwaannya. Tentu saja setiap pribadi itu sangat
dipengaruhi oleh idiolek-idiolek lain yang menjadi idolanya. Idiolek itu mencoba meniru
idiolek-idiolek yang lain. Akan tetapi, bagaimana pun dia itu ialah pribadi yang unik
sehingga pada akhirnya idiolek itu pun berwujud lain dari yang lainnya. Mungkin kelainan itu
terletak misalnya hanya pada warna suara dan salah satu kebiasaan ucapan bunyi /r/ nya, atau
cara menghubungkan kalimat pengandaian, atau di dalam mengatur cara menyampaikan
permintaan. Atau, perbedaan antara individu itu mungkin menyangkut perbedaan dalam
kebiasaan memakai beberapa segi kebahasaan sekaligus. Bagaimanapun, di dalamkenyataannya, setiap pribadi di muka bumi ini biasanya mempunyai cara bertutur yang
sedikit berlain-lainan antara yang satu dengan yang lainnya.
Kalau hal ini dibalik, dapatlah dikatakan bahwa idiolek yang berlain-lainan itu sebetulnya
dimiliki oleh pribadi yang berlain-lainan pula. Dengan kata lain, idiolek yang berlain-lainan
itu dapatlah dipakai untuk mengidentifikasi pribadi orang yang berlain-lainan pula. Dengan
kata lain, sesuatu variasi bahasa itu dapat dipakai untuk menjadi tandanya seseorang individu.
Kalau individu itu sabar, maka akan tercerminlah kesabaran itu di dalam idioleknya. Kalau
individu itu peramah, maka akan tercerminlah keramahan itu di dalam idioleknya. Kalau
individu seorang yang pemberani, maka akan tercermin di dalam cara bicaranyalah sifat
keberanian itu, dst.
5. Dialek dan Rasa Solidaritas
Kalau identitas seseorang individu ditandai oleh idiolek, maka identitas kelompok anggota
masyarakat tertentu ditandai oleh dialek. Dalam masyarakat bilingual atau multilingual,
kelompok itu bahkan ditandai oleh bahasa.
Bahasa atau dialek memang dapat dipakai untuk menandakan dari mana seseorang berasal.
Segi apanyakah yang dapat dipakai sebagai tanda itu? Segi cara mengucapkan bunyi-bunyi
konsonan atau vokal atau intonasi kalimatnya. Mungkin juga perbedaan dalam bentuk kataserta istilah yang terpakai. Ada juga perbedaan dalam idiom atau ungkapan-ungkapan
tertentu. Atau perbedaan dalam strategi bercakap secara keseluruhannya. Kecuali sebagai
penanda asal-usul seseorang, dialek atau bahasa juga dapat dipakai untuk mendapatkan rasa
solidaritas, rasa senasib dan sepenanggungan oleh para penggunanya di hadapan orang dari
kelompok masyarakat lain. Sebagai contoh, kalau sewaktu di negeri lain kita berjumpa orang
dari daerah kita, rasanya seperti berjumpa dengan saudara sendiri, walaupun sebetulnya orang
lain itu belum pernah kita lihat sebelumnya. Di Jakarta, pegawai-pegawai di pusat
pemerintahan biasanya merasa senang melayani orang yang datang dari daerah seasal.
Mereka senang melayani orang yang bercakap dengan dialek atau bahasa yang sama
dengannya. Mengapa begitu? Karena dirasanya orang-orang itu seperti keluarganya sendiri.
-
8/4/2019 artikel Filsafat bahasa
8/9
Mengapa dialek atau bahasa yang sama dapat menimbulkan rasa solidaritas? Sebabnya ialah
karena dialek atau bahasa yang sama itu adalah milik penutur bersama. Bukan saja milik
mereka bersama, tetapi hasil kreasi mereka bersama. Anggota masyarakat bukan saja secara
bersama menggunakan dialek atau bahasa itu, melainkan juga menghasilkan inovasi-inovasi
secara bersama dan melupakan hal yang tak perlu secara bersama. Siapakah yang menjadikan
dialek itu berbeda dengan dialek yang lain kalau bukan seluruh anggota masyarakat dalamkawasan dialek atau bahasa itu. Dialek itu timbul dan tenggelam karena ulah bersama seluruh
anggota kelompok masyarakat, dan gunanya memang hanya dinikmati oleh seluruh anggota
kelompok masyarakat itu. Dari satu segi, dialek atau bahasa dapat dipersamakan dengan anak
kandung, dan anggota masyarakat sebagai suami-isteri. Dialek atau bahasa itu ialah hasil
karya orang-orang yang menjadi anggota kelompok masyarakat. Maka dari itu, dialek atau
bahasa itu dapat menjadi pengikat rasa solidaritas orang-orang dalam kelompok itu. Rasa
solidaritas ini tampak kuat pada waktu kelompok itu menghadapi orang luar.
6. Standarisasi sebagai Penopang Rasa Kemandirian
Berhubungan erat dengan fungsinya sebagai pemupuk rasa solidaritas, bahasa juga dapatdipakai sebagai alat penunjang rasa kemandirian bangsa. Suatu bangsa biasanya mempunyai
bahasa sendiri untuk mengekspresikan dirinya tanpa didikte oleh bangsa lain. Bahasa yang
tersendiri ini diperlakukan, karena bangsa itu biasanya memiliki segi-segi kehidupan yang
khusus, yang tak dimiliki oleh bangsa lain. Bangsa itu mungkin mempunyai sistem
pemerintahannya sendiri; mungkin mempunyai adat-istiadat yang berbeda dengan bangsa lain
yang mana pun; mungkin mempunyai agama dan kehidupan kesenian yang khas; mungkin
mempunyai cara-cara menyelesaikan perkara secara lain, dst. Kesemuanya itu ada lambang-
lambangnya sendiri. Karena inilah, maka biasanya bahasa yang dimilikinya lain dari bahasa
yang lainnya.
Rasa kemandirian ini biasanya ditentukan oleh pemilikan bahasa yang mempunyai
standarnya sendiri. Kalau si bangsa itu mempunyai bahasa yang bermartabat tinggi di
negerinya sendiri, maka bangsa itu biasanya juga merasa menjadi tuan di negerinya sendiri.
Tetapi, kalau bahasa yang dipakainya itu hanyalah dialek dari bahasa lain, maka bangsa itu
sering merasa tergantung pada bangsa yang memiliki bahasa yang ada standarnya itu. Bangsa
itu kurang berdikari dalam berbagai segi kehidupannya. Bangsa itu kurang dapat
membanggakan pencapaiannya sendiri.
Sebetulnya, yang terpenting di dalam rasa kemandirian ini ialah adanya kebebasan bangsa itu
di dalam menentukan standar bahasa itu, sistem tulisnya, tata kalimatnya, idiom-idiomnya,
nilai-nilai kesopanan serta keindahan di dalam bahasa itu, dan selanjutnya dapat memakaibahasa itu secara natural untuk mengekspresikan diri dan menciptakan apa saja yang ingin
mereka ciptakan tanpa berkiblat pada bangsa yang mana pun.
Jadi, bahasa itu mungkin seasal dengan bahasa yang dimiliki oleh bangsa lain. Akan tetapi,
asal saja bangsa itu bebas di dalam menentukan segala-galanya, maka bahasa yang
dimilikinya itu pun sudah mencukupi sebagai alat untuk menopang rasa kebebasannya. Akan
tetapi, sebaliknya, kalau aturan gramatika dari bahasa itu ditentukan oleh bangsa lain, karena
bahasa itu memang asalnya ialah milik bangsa lain itu, maka rasa kebebasan itu pun tidak
ada. Kalau aturan dan nilai-nilai ditentukan oleh bangsa lain, maka rasa mandiri dengan
sendirinya tidak ada.
7. Genre sebagai Pengaman Kejiwaan
-
8/4/2019 artikel Filsafat bahasa
9/9
Melalui variasi bentuknya yang sesuai dengan warna perasaan yang ada pada seseorang
individu, bahasa juga dapat dipakai sebagai penyalur tekanan jiwa. Dalam hidupnya,
seseorang individu sering dirundung perasaan yang berat, pikiran yang mendalam, serta
keinginan mengerjakan sesuatu yang keras. Kalau saja hal-hal yang merundung itu dapat
diekspresikan, kadang-kadang orang lalu merasa lega. Tekanan perasaan dan yang lainnya
pun menjadi berkurang. Tetapi sebaliknya, kalau hal itu tidak dikatakan kepada orang lain,kalau hanya ditahan saja di dalam diri sendiri, letupan emosi yang keras pun dapat timbul.
Segi apakah yang menjadi penyalur tekanan pikiran dan perasaan itu? Segi ekspresinya.
Manakala bahasa itu dapat dituturkan sesuai dengan pikiran atau perasaannya, maka tuturan
itu pun telah melaksanakan fungsinya sebagai penyalur perasaan dan pikiran itu.
8. Bahasa sebagai Cermin Kebudayaan
Ada pepatah bahasa Melayu yang berbunyi bahasa menunjukkan bangsa. Maksudnya antara
lain ialah bahwa kesopanan yang terkandung di dalam bahasa itu sering mencerminkan
tingginya peradaban suatu bangsa, atau tingginya martabat seseorang.
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa ada beberapa hal dari bahasa itu yang dapat dipakai
untuk menandai maju dan mundurnya kebudayaan suatu bangsa. Perbendaharaan unsur
fonologi dan morfosintaksis kiranya tak dapat dipakai sebagai cermin kemajuan kebudayaan
itu. Tetapi perbendaharaan kata dan idiom jelas mencerminkan ide dan pengalaman-
pengalaman yang pernah dan sedang dihayati oleh suatu bangsa. Di samping perbendaharaan
kata, berbagai variasi tutur seperti ragam, dialek, tingkat tutur, register khusus, genre dan tata
format yang ada di dalam bahasa itu pun dengan baik mencerminkan apa yang dialami oleh
bangsa di dalam berbagai segi kehidupannya.
Ragam tutur mencerminkan adat sopan santun bangsa sehubungan dengan sikap-sikapnya
terhadap berbagai peristiwa dan situasi bicara. Dialek mencerminkan kelompok-kelompok
masyarakat yang membentuk bangsa itu. Tingkat tutur mencerminkan adat sopan santun
sehubungan dengan berbagai status sosial yang dimiliki oleh anggota masyarakatnya.
Register khusus mencerminkan materi yang biasanya dipercakapkan oleh bangsa itu dan juga
maksud dan kehendak yang biasanya dikomunikasikan dan dihayati oleh bangsa. Format cara
bertutur mencerminkan berbagai sarana tutur yang dimiliki oleh bangsa. Selanjutnya, genre
mencerminkan berbagai emosi yang biasanya terpancar dari diri para penuturnya.
Dengan mengamati bahasa yang digunakan oleh masyarakat, biasanya dapatlah kita
gambarkan seberapa perkembangan peradaban masyarakat pemilik bangsa itu.
Referensi
Harimurti Kridalaksana (2008). Kamus Linguistik (edisi ke-Edisi Keempat). Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.ISBN 978-979-22-3570-8.
Alih bahasa : Soejono Soemargono,Louis O. Kattsoff,. (2004). Pengantar filsafat.
Tiara Wacana. Yogya. ISBN: 979-8120-01-9.
Poedjosoedarmo, S. (2001). Filsafat bahasa. Muhammadiyah University Press.
Surakarta. ISBN : 979-636-024-1.
http://id.wikipedia.org/wiki/Istimewa:Sumber_buku/9789792235708http://id.wikipedia.org/wiki/Istimewa:Sumber_buku/9789792235708http://id.wikipedia.org/wiki/Istimewa:Sumber_buku/9789792235708http://id.wikipedia.org/wiki/Istimewa:Sumber_buku/9789792235708