arkanul iman
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agama menurut Islam adalah apa yang diturunkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an
dan Sunnah yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk bagi
kemaslahatan umat baik itu urusan dunia maupun akhirat. Beragama Islam adalah suatu
bentuk keyakinan manusia terhadap berbagai hal yang diajarkan dalam Al-Qur’an. Beragama
Islam berarti meyakini sepenuhnya terhadap pokok-pokok ajaran dan keyakinan agama
Islam. Tidak ada manusia yang mengaku beragama Islam tanpa meyakini hal-hal yang telah
ditetapkan dalam agama Islam.
Dalam agama Islam terdapat pilar-pilar keimanan yang dikenal dengan rukun iman.
Rukun iman terdiri dari enam pilar yang merupakan keyakinan umat Islam terhadap hal-hal
yang hanya dapat diyakini secara transedental atau sebuah kepercayaan terhadap hal-hal di
luar nalar manusia. Rukun Iman terdiri dari iman kepada Allah SWT, iman terhadap
malaikat-malaikat Allah, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada Rasul-Rasul Allah
SWT, iman kepada hari kiamat, iman kepada qada’ dan qadar.
Keenam pilar iman umat Islam tersebut merupakan sesuatu hal yang wajib diyakini
oleh setiap umat Muslim. Jika salah satu rukun iman tersebut tidak diyakini maka gugurlah
keimanannya. Meyakini keenam rukun iman merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat
dihindarkan oleh setiap umat Muslim.
Penulis akan mengkaji berbagai hal yang menyangkut keenam pilar keimanan yang
harus dimiliki oleh setiap Muslim, baik berupa dalil maupun pengaruh keimanan tersebut
terhadap kehidupan seorang Muslim. Diharapkan kajian ini akan menambah pemahaman baik
penulis maupun membaca mengenai pentingnya rukun iman dalam kehidupan manusia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka berikut ini merupakan rumusan masalah yang akan dikaji dalam makalah ini, yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan rukun Iman?
2. Apakah arti iman kepada Allah?
1
3. Apakah arti iman kepada malaikat?
4. Apakah arti iman kepada kitab-kitab Allah?
5. Apakah arti iman kepada Rasul-Rasul Allah?
6. Apakah arti iman kepada hari kiamat?
7. Apakah arti iman kepada qada’ dan qadar?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penyusunan makalah Arkanul Iman ini adalah:
1. Memahami maksud rukun Iman.
2. Mengetahui kedudukan rukun Iman dalam agama Islam.
3. Memahami makna rukun iman terhadap kehidupan seorang muslim.
1.4 Metode dan Teknik Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode deskriptif
analitik, yaitu dengan mengungkapkan masalah-masalah yang dikaji dan kemudian dianalisis
berdasarkan teori-teori yang tersedia dan pengetahuan penulis. Adapun teknik penulisan yang
digunakan adalah kajian kepustakaan terhadap berbagai sumber literatur.
1.5 Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut yaitu bab I berisi
pendahuluan, tentang latar belakang masalah, rumusan dan tujuan, penulisan, metode dan
teknik penulisan serta sistematika penulisan; bab II berisi pembahasan materi, yang berisi
tentang pengertian, dalil-dalil dan materi rukun Iman; bab III berisi penutup, berisi
kesimpulan dan saran serta lampiran berisi pertanyaan dan jawaban hasil diskusi dengan para
mahasiswa kelas A angkatan 2011 Farmasi UNPAD.
2
BAB IIPEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Iman secara bahasa berarti at-tashdiiq (pembenaran), sebagaimana firman
Allah ta’ala :
�ن� ل �مؤ�م�ن� ب �ت� ن� أ و�م�ا
“Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya/membenarkan kepada kami” [QS. Yuusuf : 17]
Dikarenakan ia merupakan lafadh syar’iy, maka tidak cukup hanya diartikan dari segi
bahasa saja, akan tetapi harus dikembalikan pada pengertian nash-nash syar’iy. Maka, kita
dapati Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyebutkan beberapa penjelasan
penting tentang perbedaan antara tashdiiq dan iman.
Beliau rahimahullah berkata :
“Bahwasannya iman itu tidak bersinonim dengan at-tashdiiq dalam makna. Karena setiap
orang menyampaikan khabar penglihatan langsung ataupun tidak langsung (ghaib), dapat
dikatakan kepadanya secara bahasa : ‘shadaqta’ (engkau benar), sebagaimana dapat juga
dikatakan : ‘kadzabta (engkau dusta). Barangsiapa yang mengatakan : ‘langit itu di atas
kami’, maka dapat dikatakan kepadanya : ‘shadaqa’ (ia benar), sebagaimana juga dapat
dikatakan : ‘kadzaba’ (ia dusta/tidak benar). Adapun lafadh iman tidaklah digunakan kecuali
dalam penerimaan khabar dari yang ghaib (tidak terlihat secara tidak langsung). Tidak
didapatkan dalam pembicaraan ada orang yang menyampaikan khabar dengan
penglihatannya langsung : ‘matahari telah terbit dan tenggelam’; kemudian
dikatakan :‘aamannaahu’ sebagaimana dapat dikatakan : shadaqnaahu’….. Sesungguhnya
kata iman berasal dari kata al-amnu. Kata tersebut dipergunakan dalam khabar yang
dipercayai oleh orang yang meyampaikan khabar, seperti permasalahan ghaib. Oleh
karenanya, tidak didapatkan dalam Al-Qur’an dan yang lainnya lafadh aamana lahu (aku
mempercayainya), kecuali dalam pengertian ini” [Al-Iimaan oleh Ibnu Taimiyyah, hal. 276-
277]
Beliau rahimahullah juga berkata :
كل أن اللغة في المعلوم من فإنه التصديق، كلفظ بالتكذيب يقابل لم اللغة في اإليمان لفظ أن
: : : كذبناه، أو له آمنا مخبر لكل يقال وال كذبناه، أو صدقناه ويقال كذبت، أو صدقت له يقال مخبر
: . : مؤمن هو يقال الكفر لفظ اإليمان مقابلة في المعروف بل له، مكذب أو له مؤمن أنت يقال وال
كافر أو
3
“Bahwasannya lafadh al-iman secara bahasa tidaklah dipertentangkan dengan lafadh at-
takdziib, sebagaimana lafadh at-tashdiiq. Telah diketahui dalam bahasa setiap orang
menyampaikan khabar dapat dikatakan kepadanya : shadaqta (engkau benar)
ataupunkadzabta (engkau dusta). Oleh karenannya, dapat pula
dikatakan : shadaqnaahu (kami mempercayainya) atau kadzabnaahu (kami
mendustakannya). Namun tidak dikatakan kepada setiap orang yang menyampaikan
khabar : aamannaa lahu (kami beriman kepadanya) atau kadzabnaahu (kami
mendustakannya). Tidak pula dikatakan : anta mu’minun lahu (engkau mengimaninya)
atau anta mukadzdzibun lahu (engkau mendustakannya). Namun yang diketahui sebagai
kebalikan al-imaan adalah lafadh al-kufr (kafir), sehingga (yang seharusnya)
dikatakan : huwa mu’minun au kufrun (ia orang yang beriman atau kafir)”.
Definisi Iman secara istilah syari’iy yaitu:
1. Al-Imaam Ismaa’iil bin Muhammad At-Taimiy rahimahullah berkata :
ة والظاهر الباطنة الطاعات جميع عن عبارة الشرع في اإليمان
“Iman dalam pengertian syar’iy adalah satu perkataan yang mencakup makna semua
ketaatan lahir dan batin” [Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah, 1/403].
2. Imaam Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
“Para ahli fiqh dan hadits telah sepakat bahwasannya iman itu perkataan dan perbuatan.
Dan tidaklah ada perbuatan kecuali dengan niat” [At-Tamhiid, 9/238].
3. Al-Imaam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
“Hakekat iman terdiri dari perkataan dan perbuatan. Perkataan ada dua : perkataan hati,
yaitu i’tiqaad; dan perkataan lisan, yaitu perkataan tentang kalimat Islam (mengikrarkan
syahadat –Abul-Jauzaa’). Perbuatan juga ada dua : perbuatan hati, yaitu niat dan keikhlasannya;
dan perbuatan anggota badan. Apabila hilang keempat hal tersebut, akan hilang iman
dengan kesempurnaannya. Dan apabila hilang pembenaran (tashdiiq) dalam hati, tidak
akan bermanfaat tiga hal yang lainnya” [Ash-Shalaah wa Hukmu Taarikihaa, hal. 35].
4. Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan. Yang mereka
maksudkan dengan perkataan adalah perkataan lisan dengan adanya pengikraran, dan
perkataan hati dengan i’tiqaad. Adapun yang mereka maksudkan dengan perbuatan
adalah perbuatan hati yaitu niat dan ikhlash, serta perbuatan anggota tubuh dengan
melakukan berbagai kewajiban dan meninggalkan berbagai keharaman.
5. Al-Imaam Abu ‘Ubaid Al-Qaasim bin Sallaam dalam kitab Al-Iimaan berkata :
4
: : اإليمان إحداهما فقالت فرقتين األمر هذا في افترقوا بالدين والعناية العلم أهل أن
: اإليمان بل األخرى الفرقة وقالت الجوارح وعمل األلسنة وشهادة بالقلوب لله باإلخالص
اإليمان وليسمن وبر، تقوى هي فإنما األعمال فأما واأللسنة، .بالقلوب
جعلت التي الطائفة يصدقان والسنة الكتاب فوجدنا الطائفتين، اختالف في نظرنا وإذا
األخرى قالت ما وينفيان جميعا والعمل والقول بالنية .اإليمان
“Bahwasannya para ulama dan orang-orang yang mempunyai perhatian terhadap agama
dalam permasalahan ini terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok di antara mereka
berkata : Iman itu adalah ikhlash kepada Allah dengan hati, syahadat yang diucapkan oleh
lisan, dan perbuatan dengan anggota badan. Kelompok kedua berkata : Iman itu adalah
dengan hati dan lisan saja. Adapun perbuatan hanyalah ketaqwaan dan kebaikan, bukan
termasuk bagian dari iman. Dan jika kita memperhatikan perbedaan antara dua kelompok
tersebut, kita akan mendapati Al-Qur’an dan As-Sunnah membenarkan kelompok
(pertama) yang menjadikan iman dengan adanya niat, perkataan, dan perbuatan; yang
bersamaan dengan itu menafikkan (kebenaran) apa yang dikatakan kelompok kedua” [Al-
Iimaan, hal. 53].
Dengan begitu dapat disimpulkan adanya perbedaan pendapat tentang pengertian iman.
Oleh karena itu, iman menuntut adanya perkataan dan perbuatan. Iman tidak cukup hanya
dengan keberadaan satu di antara keduanya tanpa yang lain. Karena kata iman hanyalah ada
pada orang yang membenarkan seluruh syari’at yang Allah turunkan kepada
Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam, dengan niat, iqraar (pengakuan), dan perbuatan. Orang
yang membenarkan (dalam hati) namun tidak mengikrarkan melalui lisannya dan tidak
mengamalkan ketaatan melalui anggota badannya yang ia diperintahkan dengannya, maka
tidak berhak dinamakan beriman. Begitu juga, barangsiapa yang mengikrarkan dengan
lisannya dan mengerjakan dengan anggota badannya, namun ia tidak membenarkan hal itu
dalam hatinya; maka tidak berhak pula dinamakan beriman. Al-Imaam Sahl bin ‘Abdillah At-
Tustuuriy rahimahullah ketika ditanya tentang iman, ia berkata :
. نية، بال وعمال قوال كان وإذا كفر فهو عمل، بال قوال كان إذا اإليمان ألن وسنة، ونية وعمل قول
. بدعة فهو سنة، بال ونية وعمال قوال كان وإذا نفاق فهو
“(Iman itu adalah) perkataan, perbuatan, niat, dan sunnah. Karena seandainya iman hanyalah
perkataan tanpa perbuatan, maka ia adalah kekufuran. Seandainya ia hanyalah perkataan dan
perbuatan namun tanpa niat, maka ia adalah kemunafikan. Dan seandainya ia hanyalah
perkataan, perbuatan, dan niat, namun tanpa sunnah, maka ia adalah kebid’ahan” [majmuu’
Al-Fataawaa, 7/171].
5
2.2 Arti Iman kepada Allah SWT
Iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan memperbuat
dengan anggota badan (beramal). Dengan demikian iman kepada Allah berarti meyakini
dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT itu ada, Allah Maha Esa. Keyakinan itu diucapkan
dalam kalimat :
الله إال الإله أن أشهد
“Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah”
Sebagai perwujudan dari keyakinan dan ucapan itu, harus diikuti dengan perbuatan,
yakni menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya.
Rukun Iman yang pertama adalah iman kepada Allah SWT yang merupakan dasar dari
seluruh ajaran Islam. Orang yang akan memeluk agama Islam terlebih dahulu harus
mengucapkan kalimat syahadat. Pada hakekatnya kepercayaan kepada Allah SWT sudah
dimiliki manusia sejak ia lahir. Bahkan manusia telah menyatakan keimanannya kepada
Allah SWT sejak ia berada di alam arwah. Firman Allah SWT :
بلى قالوا بربكم الست انفسهم على وأشهدهم ذريتهم ظهورهم من أدم بني من ربك اخذ وإذ
شهدنا
“Dan ingatlah, ketika TuhanMu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku
ini Tuhanmu?” Mereka menjawab : “Betul Engkau Tuhan kami, kami bersaksi.” (QS. Al-
A’raf : 172)
Jauh sebelum datangnya agama Islam, orang-orang jahiliyah juga sudah mengenal
Allah SWT. Mereka mengerti bahwa yang menciptakan alam semesta dan yang harus
disembah adalah dzat yang Maha Pencipta, yakni Allah SWT. Sebagaimana diungkapkan di
dalam Al-Qur’an :
العليم العزيز خلقهن ليقولن واألرض السموت خلق من سألتهم ولئن
“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menciptakan langit dan
bumi?”, niscaya mereka akan menjawab : “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa
lagi Maha Mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf : 9)
Manusia memiliki kecenderungan untuk berlindung kepada sesuatu Yang Maha
Kuasa. Yang Maha Kuasa itu adalah dzat yang mengatur alam semesta ini. Dzat yang
mengatur alam semesta ini sudah pasti berada di atas segalanya. Akal sehat tidak akan
menerima jika alam semesta yang sangat luas dan teramat rumit ini diatur oleh dzat yang
kemampuannya terbatas. Sekalipun manusia sekarang ini sudah dapat menciptakan teknologi
6
yang sangat canggih, namun manusia tidak dapat mengatur alam raya ini. Dengan
kecanggihan teknologinya, manusia tidak akan dapat menghentikan barang sedetik pun bumi
untuk berputar.
Dzat Allah adalah sesuatu yang ghaib. Akal manusia tidak mungkin dapat
memikirkan dzat Allah. Oleh sebab itu mengenai adanya Allah SWT, kita harus yakin dan
puas dengan apa yang telah dijelaskan Allah SWT melalui firman-firman-Nya dan bukti-
bukti berupa adanya alam semesta ini.
Ketika Rasulullah SAW mendapat kabar tentang adanya sekelompok orang yang
berusaha memikirkan dan mencari hakekat dari dzat Allah, maka beliau melarang mereka
untuk melakukan hal itu. Rasulullah SAW bersabda :
فى تفكروا وسلم عليه الله صلى النبي وقال عزوجل الله فى تفكروا قوما عباسأن ابن عن
( الشيخ ( ابو رواه الله ذات فى تفكروا وال الله خلق
“Dari Ibnu Abbas RA, diceritakan bahwa ada suatu kaum yang memikirkan tentang (hakekat)
dzat Allah Azza Wajalla, maka Nabi SAW bersabda : “Pikirkanlah tentang ciptaan Allah dan
janganlah kamu memikirkan (hakekat) dzat Allah.” (HR. Abu Asy-Syaikh)
Sebagai perwujudan dari keyakinan akan adanya Allah, Tuhan Yang Maha Esa adalah
pengabdian kita kepada Nya. Pengabdian kita kepada Allah adalah pengabdian dalam bentuk
peribadatan, kepatuhan, dan ketaatan secara mutlak. Tidak menghambakan diri kepada selain
Allah, dan tidak pula mempersekutukan Nya dengan sesuatu yang lain. Itulah keimanan yang
sesungguhnya. Jika sudah demikian Insya Allah hidup kita akan tentram. Apabila hati dan
jiwa sudah tentram, maka seseorang akan berani dan tabah dalam menghadapi liku-liku
kehidupan ini. Segala nikmat dan kesenangan selalu disyukurinya. Sebaliknya setiap musibah
dan kesusahan selalu diterimanya dengan sabar.
Dasar Beriman Kepada Allah
a. Kecenderungan dan pengakuan hati
b. Wahyu Allah atau Al-Qur’an
c. Petunjuk Rasulullah atau Hadits
Setiap manusia secara fitrah, ada kecenderungan hatinya untuk percaya kepada
kekuatan ghaib yang bersifat Maha Kuasa. Tetapi dengan rasa kecenderungan hati secara
fitrah itu tidak cukup. Pengakuan hati merupakan dasar iman. Namun dengan pengakuan hati
tidak akan ada artinya, tanpa ucapan lisan dan pengalaman anggota tubuh. Sebab antara
pengakuan hati, pengucapan lisan, dan pengalaman anggota tubuh merupakan satu kesatuan
7
yang tak dapat dipisahkan. Untuk mencapai keimanan yang benar tidak hanya berdasarkan
fitrah pengakuan hati nurani saja, tetapi harus dipadukan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari seluruh iman yang tergabung dalam
rukun iman. Karena iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari keimanan yang lain,
maka keimanan kepada Allah SWT harus tertanam dengan benar kepada diri seseorang.
Sebab jika iman kepada Allah SWT tidak tertanam dengan benar, maka ketidak-benaran ini
akan berlanjut kepada keimanan yang lain, seperti iman kepada malaikat-malaikat Nya, kitab-
kitab Nya, rasul-rasul Nya, hari kiamat, serta qadha dan qadar Nya. Dan pada akhirnya akan
merusak ibadah seseorang secara keseluruhan. Di masyarakat tidak jarang kita jumpai cara-
cara beribadah seorang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, padahal orang tersebut
mengaku beragama Islam.
Ditinjau dari segi yang umum dan yang khusus ada dua cara beriman kepada Allah
SWT :
a. Bersifat Ijmali
Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat ijmali maksudnya adalah, bahwa kita
mepercayai Allah SWT secara umum atau secara garis besar. Al-Qur’an sebagai suber ajaran
pokok Islam telah memberikan pedoman kepada kita dalam mengenal Allah SWT.
Diterangkan, bahwa Allah adalah dzat yang Maha Esa, Maha Suci. Dia Maha Pencipta, Maha
Mendengar, Maha Kuasa, dan Maha Sempurna.
b. Bersifat Tafshili
Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat tafsili, maksudnya adalah mempercayai Allah
secara rinci. Kita wajib percaya dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT memiliki sifat-sifat
yang berbeda dengan sifat-sifat makhluk Nya. Sebagai bukti adalah adanya “Asmaul Husna”
yang kita dianjurkan untuk berdoa dengan Asmaul Husna serta menghafal dan juga meresapi
dalam hati dengan menghayati makna yang terkandung di dalamnya.
2.3 Iman kepada Malaikat-Malaikat Allah
Iman kepada Malaikat merupakan salah satu landasan agama Islam.
AllahTa`ala berfirman yang artinya: “Rasul telah beriman kepada al-Quran yang diturunkan
kepadanya dari Tuhannya, demikian juga orang-orang yang beriman. Semuanya beriman
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya….” (QS. Al-
Baqarah: 285) Rasulullah ketika ditanya oleh Jibril `alaihis salam tentang iman, beliau
menjawab: “(Iman yaitu) Engkau beriman dengan Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-
8
Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan beriman dengan takdir yang baik dan buruk.”
(Muttafaq `alaih)
Syaikh DR. Muhammad bin `Abdul Wahhab al-`Aqiil mengatakan, “Dalil-dalil dari
al-Qur`an, as-Sunnah, dan ijma` (kesepakatan) kaum muslimin (tentang malaikat)
menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
Malaikat merupakan salah satu makhluk di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah.
Allah menciptakan mereka untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana Allah
menciptakan jin dan manusia juga untuk beribadah kepada-Nya semata.
Mereka adalah makhluk yang hidup, berakal, dan dapat berbicara.
Malaikat hidup di alam yang berbeda dengan alam jin dan manusia. Mereka hidup di
alam yang mulia lagi suci, yang Allah memilih tempat tersebut di dunia karena
kedekatannya, dan untuk melaksanakan perintah-Nya, baik perintah yang yang
bersifat kauniyyah, maupun syar`iyyah.
Allah Ta`ala menciptakan malaikat dari cahaya. Hal tersebut sebagaimana terdapat
dalam hadits dari Ummul Mu`minin `Aisyah radhiyallah `anha, dia mengatakan bahwasanya
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Malaikat diciptakan dari cahaya.” (HR.
Muslim.
Wujud para malaikat telah dijabarkan di dalam Al Qur'an ada yang memiliki sayap
sebanyak 2, 3 dan 4. surah Faathir 35:1 yang berbunyi:
“ Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat
sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai
sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada
ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu. (Faathir 35:1) ”
Kemudian dalam beberapa hadits dikatakan bahwa Jibril memiliki 600 sayap, Israfil
memiliki 1200 sayap, dimana satu sayapnya menyamai 600 sayap Jibril dan yang terakhir
dikatakan bahwa Hamalat al-'Arsy memiliki 2400 sayap dimana satu sayapnya menyamai
1200 sayap Israfil.
Wujud malaikat mustahil dapat dilihat dengan mata telanjang, karena mata manusia
tercipta dari unsur dasar tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk[29] tidak akan
mampu melihat wujud dari malaikat yang asalnya terdiri dari cahaya, hanya Nabi
9
Muhammad SAW yang mampu melihat wujud asli malaikat bahkan sampai dua kali. Yaitu
wujud asli malikat Jibril .
Mereka tidak bertambah tua ataupun bertambah muda, keadaan mereka sekarang
sama persis ketika mereka diciptakan. Dalam ajaran Islam, ibadah manusia dan jin lebih
disukai oleh Allah dibandingkan ibadah para malaikat, karena manusia dan jin bisa
menentukan pilihannya sendiri berbeda dengan malaikat yang tidak memiliki pilihan lain.
Malaikat mengemban tugas-tugas tertentu dalam mengelola alam semesta. Mereka dapat
melintasi alam semesta secepat kilat atau bahkan lebih cepat lagi. Mereka tidak berjenis lelaki
atau perempuan dan tidak berkeluarga.
Sifat-sifat malaikat yang diyakini oleh umat Islam adalah sebagai berikut:
1. Selalu bertasbih siang dan malam tidak pernah berhenti
2. Suci dari sifat-sifat manusia dan jin, seperti hawa nafsu, lapar, sakit, makan, tidur,
bercanda, berdebat, dan lainnya.
3. Selalu takut dan taat kepada Allah.
4. Tidak pernah maksiat dan selalu mengamalkan apa saja yang diperintahkan-Nya.
5. Mempunyai sifat malu.
6. Bisa terganggu dengan bau tidak sedap, anjing dan patung.
7. Tidak makan dan minum.
8. Mampu mengubah wujudnya.
9. Memiliki kekuatan dan kecepatan cahaya.
Malaikat tidak pernah lelah dalam melaksanakan apa-apa yang diperintahkan kepada mereka.
Menurut syariat Islam ada beberapa tempat dimana para malaikat tidak akan mendatangi
tempat (rumah) tersebut dan ada pendapat lain yang mengatakan adanya pengecualian
terhadap malaikat-malaikat tertentu yang tetap akan mengunjungi tempat-tempat tersebut.
Pendapat ini telah disampaikan oleh Ibnu Wadhdhah, Imam Al-Khaththabi, dan yang lainnya.
Tempat atau rumah yang tidak dimasuki oleh malaikat itu di antara lain adalah:
1. Tempat yang di dalamnya terdapat anjing, (kecuali anjing untuk kepentingan
penjagaan keamanan, pertanian dan berburu);
2. Tempat yang terdapat patung (gambar);
3. Tempat yang di dalamnya ada seseorang muslim yang mengancungkan
dengan senjata terhadap saudaranya sesama muslim;
10
4. Tempat yang memiliki bau tidak sedap atau menyengat.
Kesemuanya itu berdasarkan dalil dari hadits shahih yang dicatatat oleh para Imam, di
antaranya adalah Ahmad, Hambali, Bukhari, Tirmidzy, Muslim dan lainnya. Tidak sedikit
nash hadits yang menyatakan bahwa malaikat rahmat tidak akan memasuki rumah yang di
dalamnya terdapat anjing dan pahala pemilik anjing akan susut atau berkurang.
Malaikat Jibril pun enggan untuk masuk ke rumah Muhammad sewaktu ia berjanji
ingin datang ke rumahnya, dikarenakan ada seekor anak anjing di bawah tempat
tidur. Malaikat Rahmat pun tidak akan mendampingi suatu kaum yang terdiri atas orang-
orang yang berteman dengan (memelihara) anjing.
Iman kepada malaikat menjadikan manusia berhati-hati dalam tindak-tanduknya
karena mereka yakin ada dan akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Iman
kepada malaikat mempunyai pengaruh positif dan manfaat yang besar bagi kehidupan
seseorang, antara lain sebagai berikut :
1. Semakin meyakini kebesaran, kekuatan dan kemahakuasaan Allah SWT.
2. Bersyukur kepada-Nya, karena telah menciptakan para malaikat untuk membantu
kehidupan dan kepentingan manusia dan jin.
3. Menumbuhkan cinta kepada amal shalih, karena mengetahui ibadah para malaikat.
4. Merasa takut berbuat maksiat karena meyakini berbagai tugas malaikat seperti mencatat
perbuatannya, mencabut nyawa, dan menyiksa di neraka.
5. Cinta kepada malaikat karena kedekatan ibadahnya kepada Allah SWT.
2.4 Iman kepada Kitab-Kitab Allah
Meyakini kitab-kitab Allah SWT Maksudnya adalah, meyakini dengan sebenarnya
bahwa Allah memiliki kitab-kitab yang diturunkan-Nya kepada para nabi dan rasul-Nya,
yang benar-benar merupakan Kalam (firman, ucapan)-Nya. Ia adalah cahaya dan petunjuk.
Apa yang dikandungnya adalah benar.
Lafadz dan makna al-Kitab bukanlah berasal dari Rasulullah. Juga tidak muncul atas
pemikiran dan kehendak beliau. Fungsi Rasulullah dalam hal ini adalah merupakan
penyampai kalam Ilahi itu dengan kebenaran dan amanah yang sempurna. Kemudian beliau
ditugasi untuk memberikan penjelasan tentang isinya yang masih global dan menafsirkan
firman-firman yang perlu diberi penafsiran melalui ilmu yang dianugerahkan oleh Allah
11
SWT. Ummat manusia tidak mungkin mampu mengambil manfaat dalam bentuknya yang
sempurna dari isi al-Kitab itu dan karena itu pulalah mereka membutuhkan seorang “maha
guru” yang bisa menanamkan ilmu yang terdapat dalam al-Kitab itu dalam jiwa mereka.
Tidak ada yang mengetahui jumlahnya selain Allah. Wajib beriman secara
ijmal, kecuali yang telah disebutkan namanya oleh Allah, maka wajib baginya mengimaninya
secara tafshil, yaitu Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur’an.
Allah menyatakan bahwa orang mukmin harus meyakini adanya kitab-kitab suci yang
turun sebelum Al Qur’an seperti disebutkan dalam firman Allah berikut ini.
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya
dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya”. (QS An Nisa : 136)
Selain wajib mengimani bahwa Al-Qur’an diturunkan dari sisi Allah, wajib pula
mengimani bahwa Allah telah mengucapkannya sebagaimana Dia telah mengucapkan seluruh
kitab lain yang diturunkan. Wajib pula melaksanakan berbagai perintah dan kewajiban serta
menjauhi berbagai larangan yang terdapat di dalamnya. Al-Qur’an merupakan tolok ukur
kebenaran kitab-kitab terdahulu. Hanya Al-Qur’anlah yang dijaga oleh Allah dari pergantian
dan perubahan. Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan, dan bukan makhluk, yang
berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya.
Seorang Muslim harus memutuskan kaitan dirinya dengan semua kitab itu dan hanya
menyambungkan tali ketaatannya semata-mata kepada al-Qur’an. Karena :
1. Sebagian besar dari kitab suci itu sudah tidak lagi kita dapati di dunia ini, sedangkan yang
masih bisa ditemukan kondisinya sudah tidak terpelihara lagi seperti aslinya
2. Kitab-kita yang ada di dunia sekarang ini – kecuali al-Qur’an – ajaran-ajarannya secara
jelas memperlihatkan bahwa kitab-kitab itu berlaku untuk masa-masa tertentu dan pada
bagian dunia tertentu pula
3. Tidak ada satu pun di antara kitab-kitab itu – selain al-Qur’an – yang mengandung
kebenaran dalam semua aspek ajarannya atau memuat penjelasan yang gamblang yang
seluruhnya mampu mengemukakan petunjuk bagi semua aspek kehidupan.
Iman kepada kitab Allah bagi manusia dapat memberikan keyakinan yang kuat akan
kebenaran jalan yang ditempuhnya, karena jalan yang harus ditempuh manusia telah
diberitahukan Allah dalam kitab suci. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk melihat
masa depan yang akan ditempuhnya setelah kehidupan untuk melihat masa depan yang akan
12
ditempuhnya setelah hidup berakhir, maka dengan pemberitahuan kitab suci manusia dapat
mengatur hidupnya menyesuaikan dengan rencana Allah, sehingga manusia mempunyai masa
depan yang jelas.
Menjadikan manusia tidak kesulitan, atau agar kehidupan manusia menjadi aman,
tenteram, damai, sejahtera, selamat dunia dan akhirat serta mendapat ridha Allah dalam
menjalani kehidupan. Sebagaiman firman Allah dalam surat Thaha sebagai berikut.
Artinya: “Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah”. (Q.S
Thaha: 2)
Untuk mencegah dan mengatasi perselisihan diantara sesama manusia yang disebabkan
perselisihan pendapat dan merasa bangga terhadap apa yang dimilkinya masing-masing,
meskipun berbeda pendapat tetap diperbolehkan. Seperti disebutkan dalam firman Allah
berikut.
Artinya: “Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau
tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi
keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu.” (Q.S. Yunus: 19)
2.5 Iman kepada Rasul-Rasul Allah
Iman kepada Rasul Allah termasuk rukun iman yang keempat dari enam rukun yang
wajib diimani oleh setiap umat Islam. Yang dimaksud iman kepada para rasul ialah meyakini
dengan sepenuh hati bahwa para rasul adalah orang-orang yang telah dipilih oleh Allah swt.
untuk menerima wahyu dariNya untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia agar
dijadikan pedoman hidup demi memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Menurut Imam Baidhawi, Rasul adalah orang yang diutus Allah swt. dengan syari’at
yang baru untuk menyeru manusia kepadaNya. Sedangkan nabi adalah orang yang diutus
Allah swt. untuk menetapkan (menjalankan) syari’at rasul-rasul sebelumnya. Sebagai contoh
bahwa nabi Musa adalah nabi sekaligus rasul. Tetapi nabi Harun hanyalah nabi, sebab ia
tidak diberikan syari’at yang baru. Ia hanya melanjutkan atau membantu menyebarkan
syari’at yang dibawa nabi Musa AS.
Mengenai identitas rasul dapat dibaca dalam Q.S. Al Anbiya ayat 7 dan Al-Mukmin
ayat 78 yang artinya: “ Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad)
melainkan beberapa orang laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah
olehmu kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tiada mengetahui.” (Q.S. al Anbiya: 7)
13
"Dan sesungguhnya telah kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara
mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada pula yang tidak Kami
ceritakan kepadamu. Tidak dapat bagi seorang Rasul membawa suatu mukjizat, melainkan
dengan seizin Allah; maka apabila telah datang perintah dari Allah, diputuskan (semua
perkara) dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil."
(Q.S. Al-Mukmin : 78)
Dalam ayat di atas dijelaskan, bahwa rasul-rasul yang pernah diutus oleh Allah swt.
adalah mereka dari golongan laki-laki, tidak pernah ada rasul berjenis kelamin perempuan,
dan jumlah rasul yang diutus sebelum Nabi Muhammad saw. sebenarnya sangat banyak. Di
antara para rasul itu ada yang diceritakan kisahnya di dalam Al-Quran dan ada yang tidak.
ل : : س bلر� ا �فcا �ل ا و�ن� ر و�ع�ش� dع�ة� ب �ر� و�ا �ل�ف� ا �ة م�ائ ق�ال� ؟ �اء� �ي �ب �ن �ال ا ع�دhة �م� ك الله� و�ل� س ر� �ا ي ق�ال� ذ�ر �ى ب� أ ع�ن�
( ح�م�د ( � أ و�اه ر� ا cر� غ�ف�ي ج�مjا ر� ع�ش� ة� و�خ�م�س� �ة� م�ائ �ة �ث �ال ث �ك� ذ�ال م�ن�
"Dari Abu Dzar ia berkata: Saya bertanya, wahai Rasulullah : berapa jumlah para nabi?
Beliau menjawab: Jumlah para Nabi sebanyak 124.000 orang dan di antara mereka yang
termasuk rasul sebanyak 315 orang suatu jumlah yang besar." (H.R. Ahmad)
Berdasarkan hadis di atas jumlah nabi dan rasul ada 124.000 orang, diantaranya ada 315
orang yang diangkat Allah swt. menjadi rasul. Diantara 315 orang nabi dan rasul itu, ada 25
orang yang nama dan sejarahnya tercantum dalam Al Quran dan mereka inilah yang wajib
kita ketahui
Tugas pokok para rasul Allah ialah menyampaikan wahyu yang mereka terima dari
Allah swt. kepada umatnya. Tugas ini sungguh sangat berat, tidak jarang mereka
mendapatkan tantangan, penghinaan, bahkan siksaan dari umat manusia. Karena begitu berat
tugas mereka, maka Allah swt. memberikan keistimewaan yang luar biasa yaitu berupa
mukjizat.
Mukjizat ialah suatu keadaan atau kejadian luar biasa yang dimiliki para nabi atau
rasul atas izin Allah swt. untuk membuktikan kebenaran kenabian dan kerasulannya, dan
sebagai senjata untuk menghadapi musuh-musuh yang menentang atau tidak mau menerima
ajaran yang dibawakannya.
Adapun tugas para nabi dan rasul adalah sebagai berikut:
1. Mengajarkan aqidah tauhid, yaitu menanamkan keyakinan kepada umat manusia bahwa:
a. Allah adalah Dzat Yang Maha Kuasa dan satu-satunya dzat yang harus disembah
14
(tauhid ubudiyah).
b. Allah adalah maha pencipta, pencipta alam semesta dan segala isinya serta mengurusi,
mengawasi dan mengaturnya dengan sendirinya (tauhid rububiyah)
c. Allah adalah dzat yang pantas dijadikan Tuhan, sembahan manusia (tauhid uluhiyah)
d. Allah mempunyai sifat-sifat yang berbeda dengan makhluqNya (tauhid sifatiyah)
2. Mengajarkan kepada umat manusia bagaimana cara menyembah atau beribadah kepada
Allah swt.
Ibadah kepada Allah swt. sudah dicontohkan dengan pasti oleh para rasul, tidak boleh
dibikin-bikin atau direkayasa. Ibadah dalam hal ini adalah ibadah mahdhah seperti salat,
puasa dan sebagainya. Menambah-nambah, merekayasa atau menyimpang dari apa yang telah
dicontohkan oleh rasul termasuk kategori “bid’ah,” dan bid’ah adalah kesesatan.
3. Menjelaskan hukum-hukum dan batasan-batasan bagi umatnya, mana hal-hal yang dilarang
dan mana yang harus dikerjakan menurut perintah Allah swt.
4. Memberikan contoh kepada umatnya bagaimana cara menghiasi diri dengan sifat-sifat
yang utama seperti berkata benar, dapat dipercaya, menepati janji, sopan kepada sesama,
santun kepada yang lemah, dan sebagainya.
5. Menyampaikan kepada umatnya tentang berita-berita gaib sesuai dengan ketentuan yang
digariskan Allah swt.
6. Memberikan kabar gembira bagi siapa saja di antara umatnya yang patuh dan taat kepada
perintah Allah swt. dan rasulNya bahwa mereka akan mendapatkan balasan surga, sebagai
puncak kenikmatan yang luar biasa. Sebaliknya mereka membawa kabar derita bagi umat
manusia yang berbuat zalim (aniaya) baik terhadap Allah swt, terhadap manusia atau
terhadap makhluq lain, bahwa mereka akan dibalas dengan neraka, suatu puncak penderitaan
yang tak terhingga.(Q.S. al Bayyinah: 6-8)
Tugas-tugas rasul di atas, ditegaskan secara singkat oleh nabi Muhammad saw.dalam
sabdanya sebagai berikut:
�ق� : : خ�ال� �أل ا �ح� ص�ال �مmم� �ت
أل �ت ع�ث ب hم�ا �ن إ م ص الله� و�ل س ر� ق�ال� ق�ال� �ه ع�ن الله ض�ي� ر� ة� �ر� ي هر� �ى �ب ا ع�ن�
( �ب�ل ن ح� بن ح�م�د� أ و�اه (ر�
Dari Abi Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda: Sesungguhnya aku diutus
15
untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia. (H.R. Ahmad bin Hanbal)
Di antara tanda-tanda orang yang beriman kepada rasul-rasul Allah adalah sebagai
berikut:
1. Teguh keimanannya kepada Allah swt
Semakin kuat keimanan seseorang kepada para rasul Allah, maka akan semakin kuat
pula keimanannya kepada Allah swt. Ketaatan kepada para rasul adalah bukti keimanan
kepada Allah swt. Seseorang tidak bisa dikatakan beriman kepada Allah swt. tanpa disertai
keimanan kepada rasulNya. Banyak ayat al Quran yang menyuruh taat kepada Allah swt.
disertai ketaatan kepada para rasulNya, antara lain dalam surah An Nisa ayat 59, Ali Imran
ayat 32, Muhammad ayat 33 dan sebagainya.
Dua kalimat syahadat sebagai rukun Islam pertama adalah pernyataan seorang muslim
untuk tidak memisahkan antara keimanan kepada Allah swt. di satu sisi, dan keimanan
kepada Rasulullah di sisi lainnya. Dalam bahasa lain, beriman kepada para rasul Allah
dengan melaksanakan segala sunah-sunahnya dan menghindari apa yang dilarangnya adalah
dalam rangka ketaatan kepada Allah swt.
2. Meyakini kebenaran yang dibawa para rasul
Kebenaran yang dibawa para rasul tidak lain adalah wahyu Allah baik yang berupa
Al-Quran maupun hadis-hadisnya. Meyakini kebenaran wahyu Allah adalah masalah yang
sangat prinsip bagi siapapun yang mencari jalan keselamatan, karena wahyu Allah sebagai
sumber petunjuk bagi manusia.
Seseorang akan bisa meyakini kebenaran wahyu Allah, jika terlebih dahulu dia beriman
kepada rasul Allah sebagai pembawa wahyu tersebut. Mustahil ada orang yang langsung bisa
menerima suatu kebenaran yang dibawa oleh orang lain, padahal dia tidak yakin bahkan tidak
mengenal terhadap sipembawa kebenaran tersebut.
Allah menjelaskan dalam surah Al Baqarah ayat 285 yang artinya sebagai berikut:
“Rasul telah beriman kepada Al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian
pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.”(Q.S. Al Baqarah 285)
Bagi tiap-tiap orang yang beriman wajib meyakini kebenaran yang dibawa oleh para
rasul, kemudian mengamalkan atau menepati kebenaran tersebut. Bagi umat Nabi
Muhammad saw. tentulah kebenaran atau ajaran yang diamalkannya ialah yang dibawa oleh
16
Nabi Muhammad saw.
3. Tidak membeda-bedakan antara rasul yang satu dengan yang lain
Dengan beriman kepada rasul-rasul Allah otomatis berarti tidak membeda-bedakan
antara rasul yang satu dengan rasul yang lain. Artinya seorang mukmin dituntut untuk
meyakini kepada semua rasul yang pernah diutus oleh Allah swt. Tidak akan terlintas
sedikitpun dalam hatinya untuk merendahkan salahsatu dari rasul-rasul Allah atau beriman
kepada sebagian rasul dan kufur kepada sebagian yang lain. Sikap seorang mukmin adalah
seperti yang digambarkan oleh Allah swt. dalam surah Al Baqarah ayat 285: yang artinya
sebagai berikut:
"...Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-
rasulNya." Dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat." (Mereka berdo'a):
"Ampunilah kami ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali." (Q.S. Al-
Baqarah : 285)
4. Menjadikan para rasul sebagai uswah hasanah
Para rasul yang ditetapkan oleh Allah swt. untuk memimpin umatnya adalah orang-
orang pilihan di antara mereka. Sebelum menerima wahyu dari Allah swt, mereka adalah
orang-orang yang terpandang di lingkungan umatnya, sehingga selalu menjadi acuan perilaku
atau suri tauladan bagi orang-orang di lingkungannya.Apalagi setelah menerima wahyu,
keteladanan mereka tidak diragukan lagi, karena mereka selalu mendapat bimbingan dari
Allah swt.
Dalam surah Al Ahzab ayat 21 Allah swt. menegaskan sebagai berikut:
“Sungguh pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik bagi kamu,” (Q.S. Al Ahzab
ayat 21).
Sebab itu, apa yang diucapkan atau yang dikerjakan rasulullah harus dicontoh atau diikuti,
dan sebaliknya apa –apa yang dilarangnya harus dihindarkan.
(Q.S. Al Hasyr ayat 7).
Selain itu, keharusan kita meneladani rasul-rasul Allah karena alasan-alasan sebagai
berikut:
a. Semua rasul-rasul dima’shum oleh Allah swt. Artinya mereka selalu dipelihara dan dijaga
17
oleh Allah swt. untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan keji atau dosa. Selaku manusia
sebenarnya bisa jadi mereka berbuat kesalahan, tetapi langsung oleh Allah swt. ditegur atau
diluruskan.( Sebagai contoh coba anda baca asbabunnuzul surah ‘Abasa).
b. Semua rasul Allah mempunyai sifat-sifat terpuji yang merupakan tanda kesempurnaan
pribadi mereka. Sifat-sifat terpuji tersebut adalah sebagai berikut:
1). Shiddiq (benar). Mereka selalu berkata benar, dimana, kapan dan dalam keadaan
bagaimanapun mereka tidak akan berdusta (kadzib).
2). Amanah, yaitu dapat dipercaya, jujur, tidak mungkin khianat.
3). Tabligh, artinya mereka senantiasa konsekwen menyampaikan kebenaran (wahyu) kepada
umatnya. Tidak mungkin mereka menyembunyikan kebenaran yang diterimanya dari Allah
swt. (kitman), meskipun mereka harus menghadapai resiko yang besar.
4). Fathanah, artinya semua rasul-rasul adalah manusia-manusia yang cerdas yang dipilih
Allah swt. Tidak mungkin mereka bodoh atau idiot (baladah).
c. Khusus nabi Muhammad saw. sebagai pemimpin para rasul (sayyidul mursalin) mendapat
sanjungan dan pujian yang luar biasa dari Allah swt. disebabkan karena akhlaknya
sebagaimana tersebut dalam surah Al Qalam ayat 4 yang artinya “Dan sesungguhnya kamu
(Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung “ (Q.S. Al Qalam: 4)
5. Meyakini rasul-rasul Allah sebagai rahmat bagi alam semesta
Setiap rasul yang diutus oleh Allah swt. pasti membawa rahmat bagi umatnya. Artinya
kedatangan rasul dengan membawa wahyu Allah adalah bukti kasih sayang (rahmat) Allah
terhadap manusia. Rahmat itu akan betul-betul bisa diraih oleh manusia (umatnya) manakala
mereka langsung merespon terhadap tugas rasul tersebut. Di dalam Al-Quran dikatakan
bahwa diutusnya Nabi Muhammad saw. ke dunia merupakan rahmat (kesejahteraan) hidup di
dunia dan akhirat."Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk
menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta." (Q.S. Al-Anbiya : 107)
6. Meyakini Nabi Muhammad saw. sebagai Nabi dan Rasul terakhir
Nabi Muhammad saw. adalah nabi dan rasul terakhir yang diutus oleh Allah swt. ke muka
bumi ini. Tidak akan ada lagi nabi atau rasul sesudah beliau saw. Hal ini merupakan
keyakinan umat Islam yang sangat prinsip dan telah disepakati oleh seluruh ulama
mutaqaddimin dan mutaakh-khirin yang didasarkan kepada dalil-dalil naqli yang qath’i
(pasti) dan dalil-dalil “aqli yang logis antara lain sebagai berikut:
18
a..Q.S. Al Ahzab ayat 40 yang artinya: “ Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari
seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah rasulullah dan penutup para nabi. Dan
adalah Allah maha mengetahui terhadap segala sesuatu. (Q.S. Al Ahzab: 40)
Dalam ayat ini Allah menyatakan secara jelas bahwa Muhammad adalah khatamannabiyin
(penutup para nabi).
b. Dalam hadis Mutawatir yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dari Anas
bin Malik sebagai berikut:
( �ب�ل ( ن ح� بن �ح�م�د ا و�اه ر� �ع�د�ى ب c و�ال س ر� � و�ال hي� �ب ن � ف�ال �ق�ض�ت� ان ق�د� وhة� bب و�الن �ة� ال س� mالر hن� ا
Sesungguhnya risalah kenabian itu telah habis. Maka tidak ada nabi dan rasul sesudahku.
( H.R. Ahmad bin Hambal)
c. Dalam hadis shahih riwayat Imam Bukhari, Ahmad Ibnu Hibban dari Abi Hurairah sebagai
berikut:
�ة� او�ي ز� م�ن� �ة� �ن �ب ل م�و�ض�ع� hال� إ �ه ج�م�ل� و�أ �ه ن �ح�س� ف�ا cاء� �ن ب ا cد�ار �ى �ن ب جل� ر� �ل� �م�ث ك �ل�ي ق�ب م�ن� �اء� �ي �ب ن
� األ� �ل و�م�ث �ل�ي م�ث
�ا : �ن ف�أ ق�ال� ؟ �ة �ن hب الل ه�ذ�ه� و�ض�ع�ت� hه�ال ون� �قول و�ي �ه ل ون� ب �ع�ج� و�ي �ه� ب �طوفون� ي hاس الن ف�ج�ع�ل� �اه و�اي ز� م�ن�
( خ�ار�ى ( �ب ال و�اه ر� �اء� �ي �ب ن� األ �م ات خ� �ا ن
� و�أ �ة �ن hب الل
Sesungguhnya perumpamaan diriku dengan nabi-nabi sebelumku adalah sama dengan
seseorang yang membuat sebuah rumah; Diperindah dan diperbagusnya (serta diselesaikan
segala sesuatunya) kecuali tempat (yang dipersiapkan) untuk sebuah batu bata di sudut rumah
itu. Orang-orang yang mengelilingi rumah itu mengaguminya, tetapi bertanya: “Mengapa
engkau belum memasang batu bata itu ?” Nabipun berkata: “ Sayalah batu bata (terakhir)
sebagai penyempurna itu, dan sayalah penutup para nabi.” (H.R. Bukhari)
d. Dalam hadits Shahih Bukhari Muslim dari Abi Hurairah r.a. dinyatakan sebagai berikut:
و�اه ( ر� الله� و�ل� س ر� hه �ن ا ع�م �ز� ي bهم� ل ك �ن� �ي �ث �ال ث م�ن� dب� ق�ر�ي و�ن� �ذhاب ك و�ن� ال ر�ج� �ع�ث� �ب ي hى ح�ت اع�ة hالس �قو�م ت � ال
( ة �ر� ي هر� �ى �ب ا ع�ن� ل�م و�مس� خ�ار�ى �ب ال
Artinya:
Tidak akan terjadi kiamat kecuali akan keluar (muncul) tukang-tukang bohong (para penipu)
kira-kira 30 orang. Semuanya mengaku dirinya sebagai rasul Allah.
(H.R. Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah).
19
e. Q.S. Al-Maidah ayat 3 yang artinya: “Pada hari ini Kusempurnakan untuk kamu agama
kamu, dan telah kucukupkan nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam menjadi agama buat
kamu.”
Ayat di atas adalah wahyu Allah swt. yang terakhir diturunkan kepada nabi Muhammad saw.
Dalam ayat ini Allah swt. Menyatakan bahwa Islam sebagai agama yang diridhaiNya dan
bersumberkan dari wahyuNya telah sempurna. Artinya tidak perlu lagi ada tambahan atau
pengurangan yang menggambarkan ketidaksempurnaannya.
f. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik
( م�ال�ك ( و�اه ر� �ه� و�ل س ر� hة� ن و�س الله� �اب� �ت ك �دcا �ب ا bو�ا �ض�ل ت �ن� ل �ه�م�ا ب م� �ت ك hم�س� ت �ن� ا م�ا �ن� ي �م�ر� ا م� �ك ف�ي �ت ك �ر� ت
Artinya:
“Dua hal telah aku tinggalkan pada kalian, jika kalian berpegang teguh kepada keduanya,
maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya. Dua perkara itu ialah Al Quran dan Sunah
Nabi.” (H.R. Imam Malik)
Hadits di atas menjelaskan bahwa cukuplah bagi umat Islam untuk menjadikan Al-Quran dan
sunnah nabi saja sebagai pedoman hidupnya. Selama mereka tetap konsisten dengan
keduanya sampai kapanpun dan dimanapun tidak akan tersesat. Sebab Al-Quran merupakan
kitab terlengkap yang mampu memberikan solusi kepada seluruh aspek kehidupan manusia
sebagaimana dinyatakan Allah dalam firmannya: “Tidaklah kami alpakan sesuatupun di
dalam Al Kitab (Al Quran), kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpun. (Q.S. Al An’am:
38). Demikian pula Nabi Muhammad saw.seluruh kehidupannya baik ucapan, perbuatan
ataupun ketetapannya merupakan rujukan bagi kita.
Dengan demikian, jika ada lagi nabi setelah nabi Muhammad saw. berarti wahyu Allah akan
turun lagi dan akan ada lagi serentetan hadis dari nabi atau rasul yang baru tersebut. Ini
berarti menunjukkan ketidak sempurnaan ajaran Allah swt, ketidak validan Al Quran, dan
ketidak lengkapan atau kelemahan sunah nabi. Hal ini sangat mustahil dan sangat
bertentangan dengan pernyataan Allah swt. dalam Q.S. Al Maidah ayat 3 dan hadis nabi di
atas. Sungguh ini merupakan pelecehan terhadap Allah, Al-Quran dan nabi Muhammad Saw.
Naudzubillah min dzalika. Pantaslah kita simak pernyataan Syaikh Jamaluddin Muhammad
Al Anshari dalam bukunya “ Lisanul Arab” sebagai berikut:
“Merujuk kepada Al Quran dan hadis mutawatir di atas, kalau ada orang yang mengatakan
20
masih akan ada nabi setelah nabi Muhammad saw. atau ada orang yang mengaku menjadi
nabi atau rasul maka mereka telah sesat dan kafir.”
7. Mencintai Nabi Muhammad saw.
Mencintai nabi Muhammad saw. adalah suatu keniscayaan dan menduduki peringkat yang
paling tinggi, tentu setelah kecintaan kepada Allah swt, dibandingkan dengan kecintaan
kepada selain beliau. Seseorang belum dikatakan sungguh-sungguh mencintai Rasulullah
saw. jika ia masih menomorduakan kecintaan kepada beliau di bawah kecintaan kepada
selain beliau. Mari kita renungkan firman Allah swt. dalam Q.S. At-Taubah ayat 24 yang
artinya sebagai berikut:
“ Katakanlah , “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri dan kaum
keluarga kalian ; juga harta kekayaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, dan rumah-
rumah tempat tinggal yang kalian sukai adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan
RasulNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan (azab)-Nya.” Allah tidak
memberikan petunjuk kepada orang-orang fasiq.” (Q.S. At-Taubah ayat 24)
Kecintaan kepada Allah swt. dan Rasul-Nya juga merupakan parameter keimanan seseorang.
Lebih dari itu, manisnya iman akan dirasakan seorang muslim jika dia telah menjadikan
Allah swt. dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada ragam kecintaannya kepada sekelilingnya.
Rasulullah saw. telah bersabda:
: hح�ب ي �ن� و�ا و�اهم�ا س� م�مhا �ه� �ي �ل ا hح�ب� ا ه و�ل س و�ر� الله و�ن� �ك ي �ن� ا �م�ان� �ي اإل �و�ة� ح�ال و�ج�د� �ه� ف�ي �ان� ك م�ن� dة� �ث �ال ث
ف�ى �ق�ى ل ي �ن� ا ه �ر� �ك ي �م�ا ك �ه م�ن الله �ق�ذ�ه �ن ا �ذ� ا �ع�د� ب ف�ر� �ك ال ف��ى �عو�د� ي �ن� ا ه� �ر� �ك ي �ن� ا و� h لله� �ال ا bه ب ح� ي � ال ء� �م�ر� ال
( �ن�س ( ا ع�ن� ل�م و�مس� خ�ار�ى �ب ال و�اه ر� hار� الن
Ada tiga perkara, siapa yang memilikinya, ia telah menemukan manisnya iman: 1) orang
yang mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih daripada yang lainnya; 2) orang yang mencintai
seseorang hanya karena Allah; 3) orang yang tidak suka kembali kepada kekufuran
sebagaimana ia tidak suka dilemparkan ke dalam api neraka.
(H.R. Muttafaq alaih )
Dalam kitab Min Muqawwimat an- Nafsiyah al –Islamiyah arti cinta seorang hamba kepada
Allah dan Rasul-Nya adalah mentaati dan mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya.” Al
Baidhawi berkata, :” Cinta adalah keinginan untuk taat.”Al-Zujaj juga berkata: “Cinta
manusia kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mentaati keduanya serta meridhai segala
perintah Allah dan segala ajaran yang dibawa Rasullah saw.”
Kecintaan kita kepada Rasulullah saw. mengharuskan kita untuk menyelaraskan semua hal
21
yang terkait dengan pribadi maupun sosial kita.
Bukti-bukti cinta kepada Rasul harus meneladani seluruh aspek kehidupan Rasulullah,
misalnya:
1. Dalam ibadahnya; diwujudkan dalam bentuk ketundukan dalam menjalankan dan
memelihara salat sesuai dengan tuntunan beliau. Beliau bersabda:
ص�لmى ا �ى مو�ن �ت �ي ا ر� �م�ا ك bو�ا ص�ل
Salatlah kalian sebagaimana aku salat. (H.R. Bukhari)
2. Dalam tatacara berpakaian yang menutup aurat, sopan, bersih dan indah, makan makanan
yang halal, bersih dan bergizi, makan tidak sampai kenyang, tidak makan kecuali setelah
dalam keadaan lapar.
3. Dalam berkeluarga, misalnya sebagai seorang suami yang harus melindungi, mencintai dan
menyayangi keluarganya. Beliau bersabda:
( ائ� : ( vس� الن و�اه ر� �ة� الصhال ف�ى �ى �ن ع�ي ة hرق و�جع�ل�ت� اء mس� و�الن �ب �لطmي ا dث� �ال ث م� �اك �ي دن م�ن� hل�ي� ا mب� حب
Telah ditanamkan padaku di dunia ini tiga perkara: rasa cinta kepada wanita, wewangian,
serta dijadikan mataku sejuk terhadap salat. (H.R. an-Nasai)
4. Sebagai pemimpin umat, Beliau lebih mendahulukan kepentingan umatnya daripada
kepentingan pribadinya; Beliau bukan tipe manusia individualistik yang hanya memikirkan
dirinya sendiri.
5. Sebagai anggota masyarakat, Beliau bukan manusia yang suka berdiam diri di rumah
seraya memisahkan diri dengan masyarakat sekitar, tetapi selalu berinteraksi dengan semua
lapisan masyarakat dan sering mengunjungi rumah-rumah para sahabatnya.
Nilai-nilai yang harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari:
1. Istiqamah dalam menjalankan syari’at agama
2. Tabah dan sabar dalam menghadapi musibah
3. Selalu optimis dan tidak pernah putus asa
4. Peduli terhadap kaum dhu’afa
5. Selalu melaksanakan ibadah-ibadah sunah
6. Tidak membeda-bedakan para Rasul-rasul Allah
7. Meyakini isi kitab-kitab yang dibawa oleh para Rasul
8. Meyakini para Rasul memiliki sifat-sifat terpuji
9. Menjadikan Rasul sebagai suri tauladan
22
2.6 Iman kepada Hari Kiamat
Beriman kepada hari akhir atau hari kiamat adalah keyakinan akan datangnya hari
akhir sebagai ujung perjalanan umat manusia. Keimanan tersebut akan melahirkan sikap
optimis, yakni bahwa tidak akan ada yang sia-sia dalam kehidupan manusia, karena
semuanya akan dipertanggungjawabkan amal ibadah dan balasannya. Manusia tidak akan
kecewa apabila di dunia ia tidak memperolah balasan dari amal perbuatannya, karena ia yakin
di hari akhir ia akan memperoleh balasan apa yang ia perbuat di dunia ini. Apabila seorang
muslim yakin akan hari akhir, maka ia akan terhindar dari sikap malas dan suka melamun,
melainkan ia akan terus berproses dan mencari makna kehidupan.
Keyakinan terhadap hari akhir merupakan hal yang sangat penting dalam rangkaian
kesatuan rukun iman lainnya, sebab tanpa mempercayai hari akhirat sama halnya dengan
orang yang tidak mempercayai agama Islam, itu merupakan hari yang tidak diragukan lagi.
Firman Allah SWT:
“Segala sesuatu yang ada di jagat raya ini akan binasa. Hanya Tuhanmu yang
memiliki kebesaran dan kemuliaan akan abadi” (Q.S. 55:26-27).
Pengaruh iman terhadap hari akhir adalah melahirkan sikap optimis, yakni bahwa tidak akan
ada yang sia-sia dalam kehidupan manusia, karena semuanya akan dipertanggungjawabkan
amal ibadah dan balasannya. Pengaruh lainnya adalah mendorong manusia untuk melakukan
perbuatan yang lebih baik setiap harinya.
2.7 Iman kepada Qada’ dan Qadar
Iman mempunyai arti yaitu keyakinan yang diyakini didalam hati, diucapkan dengan
lisan, dan dilaksanakan dengan amal perbuatan. Menurut bahasa Qadha memiliki beberapa
pengertian yaitu hukum, ketetapan,perintah, kehendak, pemberitahuan, penciptaan. Menurut
istilah Islam, yang dimaksud dengan qadha adalah ketetapan Allah sejak zaman Azali sesuai
dengan iradah-Nya tentang segala sesuatu yang berkenan dengan makhluk. Kata Azali
memiliki arti yaitu ketetapan yang sudah ada sebelum keberadaan atau kelahiran suatu
mahluk .
Sedangkan qadar berasal dari kata qaddara, yuqaddiru, taqdiiran yang berarti penentuan.
Adapun menurut Islam qadar bererti perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah terhadap
semua makhluk dalam kadar dan berbentuk tertentu sesuai dengan iradah-Nya. Iman kepada
23
qada dan qadar (takdir) artinya percaya bahwa tiap-tiap yang telah, sedang, dan akan terjadi
terhadap diri kita semata-mata merupakan ketentuan Allah yang telah ditetapkan
sebelumnya.Hukum beriman kepada qada dan qadar adalah Fardhu'ain.
Firman Allah mengenai qada dan qadar terdapat dalam surat Al Ahzab ayat 36, yang
mempunyai arti yaitu :
" Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mumin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mumin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
Selain itu, Allah juga berfirman dalam surat Al Qamar ayat 49, yakni :
Arti : Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.
Beriman kepada qada dan qadar berarti mengimani rukun-rukunnya.Iman kepada qada
dan qadar memiliki empat rukun, antara lain yaitu :
1. Ilmu Allah SWT
Beriman kepada qada dan qadar berarti harus beriman kepada Ilmu Allah yang
merupakan deretan sifat-sifat-Nya sejak azali. Allah mengetahui segala sesuatu. Tidak ada
makhluk sekecil apa pun di langit dan di bumi ini yang tidak Dia ketahui. Dia mengetahui
seluruh makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan. Dia juga mengetahui kondisi dan hal-hal
yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi di masa yang akan datang.
2. Penulisan Takdir
Sebagai mukmin, kita harus percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi, baik di masa
lampau, masa kini, maupun masa yang akan datang, semuanya telah dicatat dalam Lauh
Mahfuzh dan tidak ada sesuatu pun yang terlupakan oleh-Nya.
3. Masyi’atullah (Kehendak Allah) dan Qudrat (Kekuasaan Allah)
Seorang mukmin yang telah mengimani qada dan qadar harus mengimani masyi`ah
(kehendak Allah) dan kekuasaan-Nya yang menyeluruh. Apapun yang Dia kehendaki pasti
24
terjadi meskipun manusia tidak menginginkannya. Begitu pula sebaliknya, apa pun yang
tidak dikehendaki pasti tidak akan terjadi meskipun manusia memohon dan menghendakinya.
Hal ini bukan dikarenakan Allah tidak mampu melainkan karena Allah tidak
menghendakinya.
4. Penciptaan Allah
Ketika beriman terhadap qada dan qadar, seorang mukmin harus mengimani bahwa
Allah-lah pencipta segala sesuatu, tidak ada Khaliq selain-Nya dan tidak ada Rabb semesta
alam ini selain Dia.
Kewajiban dalam beriman kepada qada’ dan qadar yaitu diriwayatkan bahwa suatu hari
Rasulullah SAW didatangi oleh seorang laki-laki yang berpakaian serba putih , rambutnya
sangat hitam. Lelaki itu bertanya tentang Islam, Iman dan Ihsan. Tentang keimanan
Rasulullah menjawab yang artinya: Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaekat-
malaekat-Nya, kitab-kitab-Nya,rasul-rasulnya, hari akhir dan beriman pula kepada
qadar(takdir) yang baik ataupun yang buruk. Lelaki tersebut berkata” Tuan benar”. (H.R.
Muslim)
Lelaki itu adalah Malaekat Jibril yang sengaja datang untuk memberikan pelajaran
agama kepada umat Nabi Muhammad SAW. Jawaban Rasulullah yang dibenarkan oleh
Malaekat Jibril itu berisi rukun iman. Salah satunya dari rukun iman itu adalah iman kepada
qadha dan qadar. Dengan demikian , bahwa mempercayai qadha dan qadar itu merupakan
hati kita. Kita harus yakin dengan sepenuh hati bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri
kita, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan adalah atas kehendak
Allah.
Sebagai orang beriman, kita harus rela menerima segala ketentuan Allah atas diri kita.
Di dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman yang artinya: ” Siapa yang tidak ridha dengan
qadha-Ku dan qadar-Ku dan tidak sabar terhadap bencana-Ku yang aku timpakan atasnya,
maka hendaklah mencari Tuhan selain Aku. (H.R.Tabrani)
Takdir Allah merupakan iradah (kehendak) Allah. Oleh sebab itu takdir tidak selalu
sesuai dengan keinginan kita. Tatkala takdir atas diri kita sesuai dengan keinginan kita,
hendaklah kita beresyukur karena hal itu merupakan nikmat yang diberikan Allah kepada
25
kita. Ketika takdir yang kita alami tidak menyenangkan atau merupakan musibah, maka
hendaklah kita terima dengan sabar dan ikhlas. Kita harus yakin, bahwa di balik musibah itu
ada hikmah yang terkadang kita belum mengetahuinya. Allah Maha Mengetahui atas apa
yang diperbuatnya.
Iman kepada qadha dan qadar artinya percaya dan yakin dengan sepenuh hati bahwa
Allah SWT telah menentukan tentang segala sesuatu bagi makhluknya. Berkaitan dengan
qadha dan qadar, Rasulullah SAW bersabda yang artinya sebagai berikut yaitu:
”Sesungguhnya seseorang itu diciptakan dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk
nuthfah, 40 hari menjadi segumpal darah, 40 hari menjadi segumpal daging, kemudian Allah
mengutus malaekat untuk meniupkan ruh ke dalamnya dan menuliskan empat ketentuan,
yaitu tentang rezekinya, ajalnya, amal perbuatannya, dan (jalan hidupny) sengsara atau
bahagia.” (HR.Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud).
Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa nasib manusia telah ditentukan Allah
sejak sebelum ia dilahirkan. Walaupun setiap manusia telah ditentukan nasibnya, tidak berarti
bahwa manusia hanya tinggal diam menunggu nasib tanpa berusaha dan ikhtiar. Manusia
tetap berkewajiban untuk berusaha, sebab keberhasilan tidak datang dengan sendirinya.
hubungan antara qadha dan qadar dengan ikhtiar, para ulama berpendapat bahwa takdir
itu ada dua macam :
1.Taqdir mu’allaq adalah taqdir Allah swt yang masih dapat diusahakan kejadianya oleh
manusia.Sebagai contoh dalam kehidupan ini, kita sering melihat dan mengalami
sunnahtullah, hukum Allah yang berlaku di bumi ini,yaitu hukum sebab akibat yang bersifat
tetap yang merupakan qada dan qadar sesuai kehendak swt.Seperti, bumi brputar pada
porosnya 24 jam sehari.matahari terbit disebelah timur dan teggelam disebelah barat dan
banyak lagi contoh lainnya,kalau kita mau memikirkannya. Contoh seorang siswa bercita-cita
ingin menjadi insinyur pertanian. Untuk mencapai cita-citanya itu ia belajar dengan tekun.
Akhirnya apa yang ia cita-citakan menjadi kenyataan. Ia menjadi insinyur pertanian.dalam
hal ini allah swt berfirman yang artinya yaitu:
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah
26
keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada
yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. ( Q.S
Ar-Ra’d ayat 11)
2. Taqdir Mubram ialah taqdir yang pasti terjadi dan tidak dpat dielakkan kejadiannya.
dapat kita beri contoh nasib manusia, lahir, kematian, jodoh dan rizkinya,terjadinya kiamat
dan sebagainya. Qada’qadar Allah swt yang berhubungan dengan nasib manusia adalah rasia
Allah swt.hanya Allah swt yang mengetahuinya. Manusia diperintahkan mengetahui
qada’dan qadarnya melalui usaha dan ikhtiar. Kapan manusia lahir, bagaimana ststusnya
sosialnya, bagaimana rizkinya ,siapa jalan hidup manusia seperti itu sudah ditetapkan sejak
zaman azali yaitu masa sebelum terjadinya sesuatu atau massa yang tidak bermulaan.tidak
seorang pun yang mengetahui itu.
Beriman kepada qada dan qadar mengandung hikmah yang besar bagi pelakunya, antara lain :
a. Melatih diri untuk senantiasa bersyukur dan bersabar.
b. Menjauhkan diri dari sifat sombong dan putus asa.
c. Memupuk sikap optimis dan giat bekerja.
d. Menenangkan jiwa.
e. Sumber motivasi untuk meraih kemajuan.
f. Meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.
g. Menumbuhkan kesadaran bahwa alam semesta dan segala isinya berjalan sesuai dengan
ketentuan Allah.
h. Menumbuhkan sikap dan perilaku terpuji menghilangkan perilaku tercela.
27
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a. Rukun Iman dapat diartikan sebagai pilar keyakinan, yakni pilar-pilar keyakinan seorang
muslim, dalam hal ini terdapat enam pilar keyakinan atau rukun iman dalam ajaran Islam,
yaitu: Iman kepada Allah, Iman kepada Malaikat-malaikat Allah, Iman kepada Kitab-kitab
Allah, Iman kepada Rasul-rasul Allah, Iman kepada hari Kiamat, Iman kepada Qada dan
Qadar,
b. Iman kepada Allah serta iman kepada sifat-sifatnya akan mempengaruhi perilaku seorang
muslim, sebab keyakinan yang ada dalam dirinya akan dibuktikan pada dampak perilakunya.
Jika seseorang telah beriman bahwa Allah itu ada, Maha Melihat dan Maha Mendengar,
maka dalam perilakunya akan senantiasa berhati-hati dan waspada, ia tidak akan merasa
sendirian, kendati tidak ada seorang manusiapun di sekitarnya.
c. Keyakinan terhadap adanya malaikat akan berpengaruh terhadap perilaku manusia. Jika
kita yakin ada malaikat yang mencatat semua amal baik dan buruk kita, maka seorang
muslim akan senantiasa berhati-hati dalam setiap perbuatannya karena ia akan menyadari
bahwa semua perilakunya tersebut akan dicatat oleh malaikat.
d. Iman kepada kitab Allah bagi manusia dapat memberikan keyakinan yang kuat akan
kebenaran jalan yang ditempuhnya, karena jalan yang harus ditempuh manusia telah
diberitahukan Allah dalam kitab suci.
e. Iman kepada rasul merupakan kebutuhan manusia, karena dengan adanya rasul maka
manusia dapat melihat contoh-contoh perilaku dan teladan terbaik yang sesuai dengan apa
yang diharapkan Allah.
f. Beriman kepada hari akhir atau hari kiamat adalah keyakinan akan datangnya hari akhir
sebagai ujung perjalanan umat manusia. Keimanan tersebut akan melahirkan sikap optimis,
yakni bahwa tidak akan ada yang sia-sia dalam kehidupan manusia, karena semuanya akan
dipertanggungjawabkan amal ibadah dan balasannya.
28
g. Beriman kepada takdir akan melahirkan sikap optimis, tidak mudah kecewa dan putus
asa, sebab yang menimpanya ia yakini sebagai ketentuan yang telah Allah takdirkan
kepadanya dan Allah akan memberikan yang terbaik kepada seorang muslim, sesuai dengan
sifatnya yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
3.2 Saran
Penulis menyarankan agar kita sebagai umat muslim untuk terus meningkatkan keimanan kita terhadap Allah SWT agar hidup kita baik di dunia maupun di akhirat dapat terus mendapat ridha Allah SWT.
29
s
Muhammad Nur. 1987. Muhtarul Hadis. Surabaya: Pt. Bina Ilmu.
Syed Mahmudunnasir. 1994. Islam, Konsepsi dan Sejarahnya. Bandung: Rosdakarya.
Tim Arafah, 2006, Pendidikan Agama Islam 3, Semarang : Aneka Ilmu.
30
LAMPIRAN
PERTANYAAN BESERTA JAWABAN
1. Bagaimana sikap kita sebagai umat muslim terhadap kitab-kitab terdahulu dan kitab-kitab
yang berbentuk lembaran-lembaran?
Jawab: Kitab suci yang wajib diketahui dan diyakini ada 4, yaitu:
1. Kitab Suci Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa Alaihissalam.
2. Kitab Suci Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud Alaihissalam.
3. Kitab Suci Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa Alaihissalam
4. Kitab Suci Al Quran yang diturunkan kepada Baginda Rasulullah saw.
Semua kitab suci itu dari Allah dan isinya semuanya benar, tidak boleh ada sedikitpun
keraguan terhadapnya. Hanya kitab taurat dan injil yang ada ditangan penganut-penganutnya
sekarang ini yang tidak lagi menurut yang aslinya, sudah banyak diubah oleh pendeta-
pendetanya dulu, sehingga tidak dapat lagi dipercaya isinya, demikian keyakinan ummat
Islam. Kita mengimani setiap kitab yang diturunkan kepada para rasul. Jika kita tidak
mengetahuinya, maka kewajiban kita adalah beriman secara global
2. Apakah cukup untuk mengenal Allah dengan mengenali dirinya sesuai dengan firman
Rasulullah : “Barangsiapa mengenali dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya” ?
Jawab: Sebagian meditator atau ahli sufi menggunakan pendekatan filsafat ini dalam mencari
Tuhan, yaitu tahapan mengenal diri dari segi wilayah-wilayah alam pada dirinya, misalnya
mengenali hatinya dan suasananya, pikiran, perasaannya, dan lain-lain sehingga dia bisa
membedakan dari mana intuisi itu muncul, ... apakah dari fikirannya, dari perasaannya, atau
dari luar dirinya. Setelah itu bertambah dengan mengenal alam semesta dan kejadian-kejadian
yang ada di alam semesta sehingga bertambah iman kepada Allah
3. Apa arti signifikan dari qada dan qadar? Lalu, takdir dan nasib apakah masuk kepeada
qada dan qadar?
31
Jawab: Qadha adalah ketentuan, hukum atau rencana Allah sejak zaman azali. Qadar adalah
kenyataan dari ketentuan atau hukum Allah. Jadi hubungan antara qadha qadar ibarat rencana
dan perbuatan. Orang kadang-kadang menggunakan istilah qadha dan qadar dengan satu
istilah, yaitu Qadar atau takdir. Jika ada orang terkena musibah, lalu orang tersebut
mengatakan, ”sudah takdir”, maksudnya qadha dan qadar. takdir itu ada dua macam :
a.Takdir mua’llaq: yaitu takdir yang erat kaitannya dengan ikhtiar manusia. Contoh
seorang siswa bercita-cita ingin menjadi insinyur pertanian. Untuk mencapai cita-citanya itu
ia belajar dengan tekun. Akhirnya apa yang ia cita-citakan menjadi kenyataan. Ia menjadi
insinyur pertanian.
b.Takdir mubram; yaitu takdir yang terjadi pada diri manusia dan tidak dapat
diusahakan atau tidak dapat di tawar-tawar lagi oleh manusia. Contoh. Ada orang yang
dilahirkan dengan mata sipit , atau dilahirkan dengan kulit hitam sedangkan ibu dan bapaknya
kulit putih dan sebagainya.
Nasib itu sendiri termasuk ke dalam takdir mu’allaq karena nasib masih dapat diubah selama
orang tersebut masih mau berusaha untuk merubah nasibnya.
4. Jodoh adalah salah satu yang sudah ditetapkan oleh Allah, lalu bagaimana dengan
seseorang yang meninggal sebelum bertemu dengan jodohnya?
Jawab: Jodoh, termasuk rezeki seseorang. Jadi memang sudah ditentukan oleh Allah
semenjak manusia belum diciptakan, dan sudah ditulis di Lauh Mahfuzh. Dalam hal ini, kita
tidak diperintahkan untuk memikirkan tentang takdir tersebut, tapi hanya diperintahkan untuk
berusaha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Beramallah, masing-masing akan
dimudahkan melakukan apa telah dituliskan baginya.” (Riwayat Muslim).
Sebenarnya, berusaha atau tidak berusaha, jodoh sudah ditetapkan. Tapi masalahnya bukan
itu. Bahwa kita tetaplah dianggap berbuat keliru, bila kita tidak berusaha. Yang dituntut oleh
Allah dari kita adalah upaya, ikhtiar dan niat baik. Jodoh tetap Allah yang menentukan. Jadi
soal jodoh, rezeki dan takdir kita tidak berhak mengurusnya, tapi kita hanya diperintahkan
untuk berusaha. Dengan upaya yang benar dan niat yang bersih itulah, kita akan diberi
pahala. Hasilnya, Allah yang menentukan.
32
5. Maksud dari sebuah hadits qudsi Allah berfirman yang artinya :” Siapa yang tidak ridha
dengan qadha-Ku dan qadar-Ku dan tidak sabar terhadap bencana-Ku yang aku timpakan
atasnya, maka hendaklah mencari Tuhan selain Aku. (H.R.Tabrani) apa?
Jawab: Takdir Allah merupakan iradah (kehendak) Allah. Oleh sebab itu takdir tidak selalu
sesuai dengan keinginan kita. Tatkala takdir atas diri kita sesuai dengan keinginan kita,
hendaklah kita beresyukur karena hal itu merupakan nikmat yang diberikan Allah kepada
kita. Ketika takdir yang kita alami tidak menyenangkan atau merupakan musibah, maka
hendaklah kita terima dengan sabar dan ikhlas. Kita harus yakin, bahwa di balik musibah itu
ada hikmah yang terkadang kita belum mengetahuinya. Allah Maha Mengetahui atas apa
yang diperbuatnya.
33