aps

41
I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak hal yang dapat menyebabkan gagalnya suatu kehamilan sehingga terjadi suatu keguguran atau gagal mencapai suatu maturitas atau janin dilahirkan sementara belum dapat bertahan hidup di luar kandungan. Di Amerika dicatat kejadian keguguran berulang mengenai 500.000 wanita pertahun atau 1 % dari wanita hamil. Pada umumnya sebanyak 25 % dari seluruh kehamilan pertama akan berakhir dengan keguguran. Jika seorang wanita mengalami keguguran untuk yang pertama kalinya terutama pada kehamilan, maka 90 % pada kehamilan <8 minggu disebabkan oleh kelainan kromosom, dan jika mengalami keguguran berulang kali maka penyebabnya 7 % kelainan kromosom, 10-15 % karena kelainan anatomi, 15 % karena kelainan hormonal ( progesterone, estrogen, diabetes atau penyakit tiroid ), 6% tidak dapat dijelaskan dan sebagian besar yaitu 55-62 % disebabkan karena kelainan pembekuan

Upload: artha-putu

Post on 30-Nov-2015

25 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Aps

I.PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Banyak hal yang dapat menyebabkan gagalnya suatu kehamilan sehingga terjadi

suatu keguguran atau gagal mencapai suatu maturitas atau janin dilahirkan sementara

belum dapat bertahan hidup di luar kandungan. Di Amerika dicatat kejadian

keguguran berulang mengenai 500.000 wanita pertahun atau 1 % dari wanita hamil.

Pada umumnya sebanyak 25 % dari seluruh kehamilan pertama akan berakhir dengan

keguguran. Jika seorang wanita mengalami keguguran untuk yang pertama kalinya

terutama pada kehamilan, maka 90 % pada kehamilan <8 minggu disebabkan oleh

kelainan kromosom, dan jika mengalami keguguran berulang kali maka penyebabnya

7 % kelainan kromosom, 10-15 % karena kelainan anatomi, 15 % karena kelainan

hormonal ( progesterone, estrogen, diabetes atau penyakit tiroid ), 6% tidak dapat

dijelaskan dan sebagian besar yaitu 55-62 % disebabkan karena kelainan pembekuan

darah atau defek trombosit yang menyebabkan thrombosis dan infark pembuluh darah

plasenta. Dari penyebab terbesar ini yaitu masalah prokoagulan didapat kelainan oleh

sindroma antifosfolipid (SAF) sebesar 67 %, sticky platelet syndrome sebesar 21 %,

defisiensi activator plasminogen sebesar 9% dan penyebab yang lainnya masing-

masing dibawah 7%. Data ini menunjukkan bahwa sindroma antifosfolipid

memegang peranan yang paling besar sebagai penyebab kegagalan suatu kehamilan.

Sumber lain mencatat bahwa 15-40% wanita yang mengalami keguguran berulang

mempunyai antibodi antikardiolipin atau lupus antikoagulan.

Page 2: Aps

Sindrom antibodi antifosfolipid ( Antiphospholipid syndrome =APS) adalah

gangguan yang ditandai antibodi multiple yang berbeda yang timbul bersama antibodi

antifosfolipid dengan trombosis arteri dan vena. APS dikenal juga sebagai sindrom

Hughes. Trombosis telah diketahui secara luas sebagai salah satu penyebab

morbiditas dan mortalitas kehamilan. Di Indonesia, tombosis berperan dalam

tingginya angka kematian ibu. APS adalah penyebab utama trombosis dalam

kehamilan yang bertanggung jawab atas morbiditas dan mortalitas janin serta ibu

seperti preeklampsia, pertumbuhan janin terhambat, kematian janin dalam rahim,

persalinan preterm dan bahkan gangguan proses implantasi mudigah ke dalam

endometrium.

Perhatian pada SAF ini bermula pada tahun 1952 dan segera setelah itu diketahui

adanya antikoagulan lupus tidak seperti namanya malah berhubungan dengan

kejadian thrombosis bukannya perdarahan. Dari penelitian berikutnya didapatkan

suatu hal yang sangat penting dengan thrombosis dan tromboemboli system vena dan

arteri, keguguran berulang dan trombositopenia.

Pada tahun 1957, ditemukan hubungan antara abortus berulang dan APS yang dikenal

sekarang dengan Lupus Antikoagulan. Tahun 1983, Dr. Graham Hughes

membuktikan adanya hubungan antara antibodi antifosfolipid dengan trombosis arteri

dan vena.

Frekuensi pada populasi umum tidak diketahui, namun antibodi-antibodi APS dapat

ditemukan 50 % pada penderita SLE dan sekitar 1 – 5 % pada populasi orang

sehat. Pada penelitian lain frekuensi ACA cenderung meningkat pada orang tua.

Pada literatur yang terbaru didapatkan APS pada penderita SLE 34 – 42 %. Pada

penelitian 100 pasien dengan trombosis vena dan tidak menderita riwayat SLE, 24 %

memiliki ACA dan 4 % mempunyai LA.

Page 3: Aps

I.2 Tujuan

Untuk mengetahui etiologi, epidemiologi, patofisiologi dan penatalaksanaan pasien

dengan Anti phosfolipid syndrom (APS).

Page 4: Aps

II.TINJAUAN PUSTAKA

Sindroma antifosfolipid dalam bidang obstetri

Sindroma antifosfolipid merupakan suatu defek yang sebagian besar bersifat didapat

bukan bawaan yang terdiri dari 2 sindroma klinikyang berhubungan erat tapi jelas

berbeda yang sindroma thrombosis antikoagulan lupus dan sindroma thrombosis

antibody antikardiolipin. Sekalipun keduanya serupa tetapi terdapat perbedaan yang

jelas dalam hal klinis, laboratorium, perbedaan biokimia terutama mengenai

prevalensi, penyebab, kemungkinan mekanisme, presentasi klinis dan

penanganannya. Antibodi antifosfolipid dalam sindroma ini dapat dideteksi dengan

reaktifitasnya terhadap fosfolipid anion ( atau kompleks protein-fosfolipid) dalam

pemeriksaan dengan immunoassays dengan inhibisinya terhadap reaksi koagulasi

yang bergantung pada fosfolipid yang dikenal sebagai efek lupus antikoagulan.

Sindroma antibody antikardiolipin 5 kali lebih sering terjadi dibandingkan dengan

sindroma antikoagulan lupus. Sindroma antikoagulan lupus sekalipun kadang-kadang

berhubungna juga dengan penyakit arteri, lebih sering dihubungkan dengan

thrombosis vena. Antibodi antifosfolipid ini mengenai pembuluh darah dari semua

ukuran.

Sindroma antifosfolipid sebenarnya bermanifestasi dalam berbagai macamgejala

klinis seperti keadaan hiperkoagulasi, trombositopenia, keguguran berulang, dementia

yang muncul lebih dini, stroke, perubahan optic, penyakit Addison dan ruam kulit.

Page 5: Aps

Sindroma antifosfolipid terdiri dari dua golongan yaitu primer dan sekunder. Yang

primer sifatnya genetic dan tidak mempunyai dasar kelainan medis seperti pada

penderita keganasan, immune thrombocytopenia purpura, leukemia, infeksi seperti

sifilis, tuberkulosa, dan AIDS dan pada pasien yang mengkonsumsi obat-obatan

seperti : klorpromazin, dilantin, fansidar , hidralazin, kinidin, kinin fenotiazin, kokain,

prokainamid, fenitoin dan alfa interferon.

Epidemiologi

Pada suatu penelitian pada donor darah ditemukan bahwa sebanyak 8% orang sehat

tanpa kelainan apapun mengandung antifosfolipid dalam titer rendah dan paling

umum terjadi pada wanita muda, yang disebut bentuk primer. Bentuk lain terjadi bila

ada kelainan yang mendasari, seperti sebanyak 30-50 % pasien dengan SLE

mempunyai antibody antifosfolipid dan sampai dengan 30 % pasien dengan HIV juga

akan berkembang mempunyai antibody tersebut meskipun biasanya tidak

menyebabkan thrombosis. Penelitian pada pasien yang mengalami abortus spontan

berulang, ditemukan antibody antifosfolipid ini sebanyak 15% sedangkan penelitian

lain mendapatkan angka 21 %. Borreli et al menemukan bahwa 60 % pasien dengan

keguguran habitualis yang tak dapat dijelaskan menderita sindroma antifosfolipid.

Lockwood dkk (1989) mempelajari 737 wanita hamil yang normal tanpa riwayat

keguguran berulang dan mendapati bahwa 0,27 % diantaranya mempunyai

antikoagulan lupus dan 2,2% mempunyai antibody antikardiolipin IgG atau IgM yang

meningkat. Harris dan Spinato mempelajari 1449 wanita yang dapat hamil berturut-

turut dan mendapati 1,8 % nya yang mempunyai antibody antikardiolipin IgG dan 4,3

% nya untuk antikardiolipin IgM. Pada wanita-wanita yang mempunyai antibody

antifosfolipid , 80 % diantaranya pernah mengalami keguguran paling sedikit 1 kali

keguguran. Jika dihubungkan dengan penyebab fertilitas saja maka sindroma

antifosfolipid ini mempunyai andil sebesar 30 %.

Page 6: Aps

Welsch dan Branch menemukan bahwa bila ditemukan antibody antikardiolipin Ig M

tanpa IG G atau antikoagulan lupus maka signifikansinya secara klinis

diragukan,sebaliknya IgG merupakan penentu hasilakhir suatu kehamilan. Bila pada

seorang wanita ditemukan antibody antikardiolipin sebesar 40 unit GPL atau kurang

maka kejadian kematian janin sebesar dibawah 20% sedangkan bila ditemukan > 80

unit GPL akan mengalami kematian janin pada kehamilan berikutnya jika tidak di

terapi. Wanita yang mempunyai antibody antikardiolipin mempunyai kemungkinan

untuk mengalami kegagalan kehamilan sebesar 50-70 n% dan jika diberi terapi

antikoagulan dapat meningkatkan kemungkinan keberhasilan sampai hamil aterm

sampai 80%.

Tabel 1. Frekuensi antibody antifosfolipid pada pasien dengan kegagalan kehamilan

berulang dan pada control

Peneliti Antikoagulan lupus Antikardiolipin

IgG

Total

RPL(%) Control(%

)

RPL(%) Kontrol(%

)

RPL (%) Kontrol(%

)

Petri 4/44(9) 0/40(0) 5/44(11) 1/40(2) 7/44(16) 1/40(2)

Berbui** 7/40(14) 0/141(0) 4/49(8) 0/141(0) 7/49(14) 0/141(0)

Parazzini** 16/220(7

)

0/193(0) 11/99(11

)

4/157(3) 10/99(10

)

4/157(3)

Parke 4/81(5) 4/88(5) 6/81(7) 0/88(0) 8/81(10) 4/88(5)

Out*** 5/102(50

)

- 8/102(8) 2/102(2) 11/102(1

1)

-

Median% (7) (0) (8) (2) (11) (2,5)

RPL = Recurrent Pregnancy Loss** = dengan kegagalan kehamilan berturut-turut, penyebab lain disingkirkan*** = dengan 3 kegagalan kehamilan berturut-turut pada Trimester I atau paling sedikit kematian janin yang tak dapat dijelaskan setelah usia gestasi >12 minggu

Page 7: Aps

b. Patogenesis sindroma antifosfolipid

A. Imunopatogenesis SAF

Hingga saat ini terdapat hipotesis yang menjelaskan peran langsung

autoantibody dalam pathogenesis sindroma antifosfolipid, yaitu:

a. Antibodi pada SAF merupakan target protein plasma atau

komponen membrane permukaan sel yang terpapar langsung

dengan antibody dalam sirkulasi darah

b. Antigen tersebut terlibat dalam reaksi hemostatik dantrombotik

pada permukaan sel endotel vaskuler, trombosit dan komponen sel

darah lain.

c. Transfer immunoglobulin secara pasif pada binatang percobaan

dapat menyebabkan terjadinya SAF

d. Adanya antibody antifosfolipid berhubungan dengan serangan

pertama thrombosis

e. Manifestasi klinik yang terjadi pada SAF berhubungan dengan

kadar antibody antifosfolipid

Antibodi antifosfolipid dapat menimbulkan hambatan reaksi

antikoagulan dan fibrinolisis, sehingga dapat menyebabkan

hiperkoagulabilitas dan thrombosis.Mekanisme kejadian tersebut

hingga saat ini masih belum jelas dan diduga melalui :

a) Penghambatan produksi prostasiklin melalui peningkatan

pembentukan antifosfolipase-A2

b) Penghambatan jalur protein C melalui peningkatan resistensi

protein C sehingga terjadi defisiensi protein C; penghambatan

ini dapat pula terjadi disebabkan oleh peningkatan

autoantibody antitrombodulin, antiprotein C antitrombin atau

penghambatan degradasi factor koagulasi Va.

Page 8: Aps

c) Penghambatan aktivasi antikoagulan β2-GPI akan

menyebabkan hambatan produksi serotonin oleh aktifasi

trmbosit ADP-induced, menghambat aktifitas protrombinase,

serta menghambat pembentukan factor X oleh sel trombosit.

d) Perangsangan aktivitas antikoagulan β2 –GPI akan

menyebabkan hambatan produksi serotonin oleh aktifasi

trombosit ADP-induced, menghambat aktifitas protrombinase,

serta menghambat pembentukan factor X oleh sel trombosit

e) Mempengaruhi membrane fosfolipid sel trombosit yang

menyebabkan aktivasi trombosit.

f) Mempengaruhi aktivasi prekalikrein dalam pembentukan

kalikrein

g) Mempengaruhi pengeluaran activator plasminogen sel

endothelial

h) Peningkatan homosistein pada kadar ACA dan CLA tinggi

dapat merusak sel endothelial dan memacu proses thrombosis.

Berbeda dengan terjadinya proses agregasi trombosit lainnya, antibosi antikardiolipin

dapat secara langsung menimbulkan reaksi trombosit tanpa adanya kerusakan

permukaan sel endotel yang diduga terjadi melalui peningkatan sensitifitas sel

trombosit sehingga antibody AFL dapat melekat pada membrane permukaan

fosfolipid atau melalui peningkatan produksi tromboksan dan factor perangsangan

( activating factor) dari sel trombosit.

Perubahan Plasenta pada SAF

Dalalm klasifikasi sindroma antifosfolipid, morbiditas obstetric disebabkan secara

langsung dan tidak langsung oleh aktivitas antibody AFL dan pembentukan

thrombosis pada pembuluh plasenta. Walaupun pada saat ini belum dapat ditemukan

gambaran histopatologik spesifik pada embrio atau janin yang mengalami kematian

akibat antibody AFL, pengamatan perubahan plasenta pada kematian janin akibat

Page 9: Aps

antibody SAF menunjukkan adanya vaskulopati arteri spirales, infark plasenta, atau

kombinasi keduanya. Perubahan plasenta pada penderita sindroma AFS tersebut akan

mengakibatkan insufisiensi plasenta yang akan diikuti dengan keadaan hipoksia yang

akan menyebabkan kematian janin.

Dasar pathogenesis perubahan pada plasenta dapat berupa:

a. Secara imunohistokimia, antifosfolipid IgG akan menyebabkan

berkurangnya jumlah annexin V pada permukaan apical villi

khoriales dari plasenta dengan pertumbuhan janin terhambat

sehingga terjadio penurunan antikoagulan yang akan merangsang

terjadinya thrombosis sehingga terjadi gangguan fungsi

uteroplasenter.

b. Terbentuknya thrombosis dapat menutup lumen pembuluh

uteroplasenter sebagian atau seluruhnya; ditemukan pula

peningkatan deposit fibrin atau fibrinoid pada permukaan trofoblas

villi membentuk kalsifikasi plasenta. Kejadian oklusi total/parsial

dan kalsifikasi ini dapat menghambat aliran darah uteroplasenter

gangguan fungsi nutrisi dan respirasi dengan akibat pertumbuhan

janin terhambat, gawat janin hingga kematian janin.

c. Gambaran histopatologik kerusakan pembuluh plasenta dan villi

dapat berupa hematoma retroplasenter, peningkatan jumlah simpil

sinsitia, nekrosis sel trofoblas, serta hipovaskularisasi villi

merupakan gambaran kelainan pada sindroma antifosfolipid

dengan penyulit preeclampsia.

d. Pada plasenta dengan kematian janin intrauterine dengan antibody

antifosfolipid ditemukan penurunan membran vaskulo-sinsitial,

fibrosis pada daerah infark disertai gambaran hipovaskuler villi

dan thrombosis serta pertambahan jumlah simpul sinsitial yang

dihubungkan dengan proses hipoksia kronik.

Page 10: Aps

e. Pada daerah avaskuler atau hipovaskuler villi plasenta dapat

dijumpai penebalan stroma yang disertai dengan endovaskulitik

hemoragik; antibodi antifosfolipid intraplasenta menyebabkan

peningkatan konsentrasi laminin dan kolagen tipe –IV yang

membentuk membran stroma villi, meskipun tanpa disertai

perubahan konsentrasi molekul pelekat sel (cell Adhesion

Molecule/CAM, baik platelet endothelial CAM/PECAM,

intercellular CAM-1/ICAM-1, maupun vascular CAM-1/VCAM-

1)

f. Kerusakan jaringan plasenta yang luas akibat peningkatan antibodi

antifosfolipid dan meyebabkan perubahan rasio tromboksan –

prostasiklin dan memicu aktivitas siklooksogenase -2 (COX-2)

pada sel endotel. Sehingga menimbulkan peningkatan proses

agregasi trombosit, penampilan gejala preeclampsia dan memicu

proses persalinan preterm.

Diagnosis Sindrom Antifosfolipid Pada Kehamilan

Pada suatu pertemuan Internasional di Sapporo Jepang pada tahun 1998 telah

diputuskan berdasarkan consensus bahwa definisi sindroma antifosfolipid adalah

suatu kelainan dimana ditemukannya gejala thrombosis vaskuler dan atau morbiditas

obstetric yang disertai adanya antikardiolipin dan atau antikoagulan lupus. Hasil

consensus menyatakan sindroma antifosfolipid dianggap terjadi apabila terdapat

paling sedikit 1 kriteria klinik dan 1 kriteria laboratorium.

A. Diagnosa klinis

Dalam bidang obstetrik sindroma antifosfolipid dapat menimbulkan

gejala klini baik terhadap ibu maupun terhadap janin, seperti:

1. Keguguran berulang

Pada SAF sering ditemukan kematian janin pada kehamilan 10-12

minggu. Dua penelitian pada wanita hamil dengan antibody

Page 11: Aps

antifosfolipid positif mendapati bahwa angka kejadian keguguran

berulang lebih tinggi dari yang negatif. Dibandingkan angka

kejadian abortus meningkat 2,6 kali.

2. Preeklampsia

Kejadian preeclampsia meningkat 6 kali danjuga menyebabkan

preeclampsia dibawah usia gestasi 20 minggu. Angka kejadian

preeclampsia tidak berkurang walaupun diberikan pengobatan

dengan kortikosteroid dan aspirin dosis rendah atau heparin dan

aspirin dosis rendah. Welsch melaporkan kejadian preeclampsia

sebesar 48% dan pregnancy induced hypertension (PIH) sebesar

40%.

3. Vaskulopati desidua

4. Kejadian thrombosis berulang. Infark yang menyebabkan

insufisiensi plasenta menyebabkan pertumbuhan janin terhambat,

fetal distressdan kematian janina dalam kandungan. Angka

pertumbuhan janin terhambat meningkat 6 kali disbanding pasien

normal atau sebesar 30 %.

5. Kelahiran premature

Kelahiran premature umum terjadi pada pasien dengan sindroma

antifosfolipid mendekati 1/3 pasien yang diterapi.

6. Gangguan hematologi seperti anemia hemolitik dan

trombositopenia.

Trombositopenia terjadi 30 % dari semua kasus sindroma

antifosfolipid

7. Pada masa nifas dapat timbul demam, infiltrate pulmonum,efusi

pleura

Page 12: Aps

Diagnosa laboratorium

Pemeriksaan laboratorium pada SAF ditujukan untuk mendeteksi adanya

antikardiolipin dan antikoagulan lupus. Prevelansi kedua antibody ini berkisar antara

6-73 % pada penderita APS sekunder dengan SLE tergantung tes yang dipakai.

B.1 Antikoagulan Lupus

Antikoagulan lupus pertama kali di dapatkan pada penderita lupus eritematosus

sistemik. Antibodi ini merupakan suatu immunoglobulin ( IgG atau IgM ) yang

mempengaruhi beberapa langkah pembekuan tergantung fosfolipid. Nama ini

sebetulnya kurang tepat, karena antikoagulan lupus tidak hanya ditemukan pada

penderita lupus eritematous sistemik saja. Antikardiolipin koagulan lupus merupakan

anggota keluarga antibody fosfolipid ( APA ), yang mencakup juga antikardiolipin

dan antibody terhadap fosfolipid bermuatan negative atau netral lainnya.

Usaha-usaha untuk mendapatkan standar diagnosisi antikoagulan lupus telah banyak

dilakukan, namun sampai saat ini belum ada satu metodepun yang mampu

mendeteksi seluruh antikoagulan lupus. Oleh karenanya dianjurkan pemakaian satu

seri pemeriksaan penyaring dan konfirmasi.

Triplet merekomendasikan criteria minimal untuk menentukan adanya antikoagulan

lupus, sebagai berikut :

1. Memastikan adanya pemanjangan test-test pembekuan yang

tergantung fosfolipid ( tes penyaring )

2. Buktikan bahwa kelainan disebabkan oleh ingibitor, bukan oleh

defisiensi ( test pencampuran )

3. Memastikan inhibitor tergantung dengan fosfolipid ( tes

konfirmasi)

Page 13: Aps

Test Penyaring

Suatu aspek penting pada diagnosis antikoagulan lupus adalah mempersiapkan

plasma rendah trombosit melelui:sentrifugasi, filtrasi atau dengan menambahkan

kloroform. Sensitifitas beberapa test penyaring brbanding terbalik dengan jumlah

trombosit dalam plasma.

Prosedur penyaring yang paling banyak digunakan untuk deteksi antikoagulan lupus

adalah APTT, KCT dRVTT dan PCT. Berbeda dengan test-test lainnya, PCT

menggunakan plasma segar, dimana jumlah trombosit tidak mempengaruhi

sensitifitas terhadap antikoagulan lupus. Jika test pertama mendapatkan nilai normal,

kita harus memeriksa setidaknya satu test penyaring lainnya.

Activated Partial Thromboplastin Time

Pemeriksaan ini bertujuan untuk menguji pembekuan darah melalui jalur intrinsic dan

jalur bersama, merupakan prosedur penyaring yang paling banyak digunakan.

Prinsip pemeriksaan adalah mengukur lamanya terbentuk bekuan bila ke dalam

plasma ditambahkan reagen APTT pada suhu 37 C. Nilai normal berkisar antara 20-

40 detik, haasil dikatakan memanjang bila mendapatkan perbandingan APTT plasma

penderita dan plasma control melebihi 1,3.

Kaolin Clotting Time

Merupakan modifikasi dari APTT. Cara ini sangat sensitive terhadap sisa trombosit.

MC Hugh menyatakan bahwa KCT merupakan cara yang paling sensitive

untukmendeteksi adanya antikoagulan lupus pada penderita dengan thrombosis atau

trombositopenia. Sampai saaat ini hasil test belum dapat dibaca secara otomatis

karena opasitasnya tidak sesuai dengan pembaca foto optic dan analyzer joagulasi.

Keterbatasan lainnya adalah ketidak mampuan test ini sebagai prosedur konfirmasi.

Page 14: Aps

Dilute Russel Viver Venom Time

Pemeriksaan ditujukan untuk melihat kelainan factor V dan factor X. Test ini

dilakukan dengan menambahkan sejumlah reagen pada plasma rendah trombosit.

Lamanya terbentuk bekuan diukur setelah penambahan larutan ion kalsium satu menit

setelahnya. Hasilnya dikatakan memanjang bila lamanya terbentuk bekuan > 2 SD

diatas nilai normal.

Cara ini dipakai sebagaiprosedur penyaring dan konfirmasi dengan hasil yang sama

baiknya. Hasil test ini dipengaruhi sejumlah factor, seperti fosfolipid, komponen

russel viver venom dan pembacaannya yang belum otomatis.

Tisssue Thromboplastin Inhibition Test

Test ini mengevaluasi reaksi pembekuan yang melibatkan factor VII a dan X a. Test

dikatakan memanjang bila perbandingan waktu pembekuan penderita dengan

populasi normal melebihi 1,3

Tectarin Clotting Time

Cara ini pada awalnya hanya digunakan sebagai prosedur konfirmasi. Test ini

tergangtung dengan adanya ion kalsium dan factor V.

Indentifikasi Inhibitor

Kelaianan yang didapat pada test penyaring harus dibuktikan sebagai inhibitor.

Heparin yang dapat memperpanjang waktu pembekuan harus disingkirkan dahulu

sebelum dilakuakn pencampuran plasma pasien dan plasma normal. Penggunaan

Thrombin time atau bahan yang dapat menetralisir heparin dapat mengindentifikasi

heparin secara tepat.

Sejumlah variable yang dapat mempengaruhi cara ini mencakup pemilihan plasma

normal, dan plasma pasien, waktu inkubasi dan control yang tepat.Penggunaan

campuran plasma pasien dengan plasma normal dengan perbandingan 4 : 1

Page 15: Aps

memberikan hasil yang sangat sensitive jika pada prosedur penyaring hanya didapat

perpanjangan minimal.

Kegagalan untuk mengkoreksi perpanjangan waktu padaprosedur penyaring, jika

plasma pasien dicampur denganplasmanormal menujukan adanya inhibitor.

Prosedur Konfirmasi

Adanya inhibitor pada prosedur terdahulu harus dibuktikan ketergantungannya pada

fosfolipid. Manifestasi klinis berupa pendarahan cenderung dihubungkan dengan

inhibitor yang spesifik, sedangkan antikoagulan lupus lebih banyak dihubungkan

dengan thrombosis. Secara laboratories,ketergantungan ini dapat diperlihatkan

dengan test-test yang menonjolkan pengaruh inhibitor dengan pengurangan jumlah

fosfolipid atau dengan test yang menetralisasi pengaruh inhibitor dengan memakai

fosfolipid yang tinggi.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan adanya antikoagulan lupus bila dijumpai :

1. Perpanjangan test-test pembekuan yang tergantung fosfolipid, seperti

APTT, KCT, dAPTT, atau dRVTT.

2. Waktu pembekuan tetap memanjang meskipun dicampur dengan plasma

normal.

3. Aksentuasi efek inhibitor jika fosfolipid dikurangi atau netralisasi efek

inhibitor jika fosfolipid ditingkatkan.

B.2 Antibodi Antikardiopilin

Antibodi Antikardiopilin dapat dideteksi dalam serum maupun plasma, mulanya

antibody ini dianggap sama dengan antikoagulan lupus. Keberhasilan pemisahan

ACA dan LA pada plasma yang sama menunjukkan bahwa kedua antibody tersebut

berbedasatu dengan lainnya.

Penderita dengan Antibodi Antikardiopilin yang positif sering menunjukkan hasil

positif pada test VDRL. Hasil positif dimungkinkan karena reagen VDRL

mengandung kardiolipin disamping kolesterol dan lesitin.1

Page 16: Aps

Untuk memudahkan penentuan adanya antibody antifosfolipid, dianjurkan melalukan

pemeriksaan antibodo antikardiopilin dan antikoagualan lupus secara bersamaan.

Pada pemeriksaan antibody antikardiopilin. Perlu ditentukan isotope-nya ( Ig G, Ig

M, Ig A ). Alasan penentuan isotipe pada antibody antikardiopilin adalah penemuan

beberapa studi bahwa isotope Ig G adalah predictor utama terjadinya thrombosis dan

kehilangan kehamilan.

Aktifitas antibody antikardiopilin dinyatakan dalam satuan GPL unit/ml dan MPL

unit/ml. Hasil dikatakan positif bila kadar ACA > 2 SD diatas nilai rata-rata Ig G atau

Ig M orang sehat, positif ringan bila kadar GPL 5-15 unit dan MPL 3-6 unit,

sedangkan bila kadar GPL 15-80 unit atau MPL 6-50 unit, positif kuat bila kadar

GPL > 80 unit dan MPL> 50 unit.

Keuntungan metode ini antara lain : dapat digunakannya serum yang beku pemakaian

volume serum yang kecil, kemampuan untuk menentukan titer antobodi, mampu

menentukan isotope serta hasilnya tidak dipengaruhi oleh pengobatan antikoagulan.

Perbedaan hasil mungkin disebabkan oleh pemakaian sera antikardiopilin yang

berbeda,perbedaan bahan serum ( segar atau beku ),perbedaan temperature, lamanya

waktu inkubasi, perbedaan isotope atau terdapatnya bahan-bahan non anion.

Kejadian vasopatik atau vaso-oklusif dapat terjadi pada setiap system organ, maka

padan anamnesis sangat penting untuk mendapatkan riwayat penyakit pasien dan

kemungkinan manifestasi pada organ yang spesifik, Penyakit ini memiliki spectrum

klinis yang luas, mulai dari asimptomatik secara klinis dan indolen sarmpai yang

perjalanan penyakit progresif secara cepat.

Mata.penglihatan kabur atau ganda

Kardioresepsi.Nyeri dada, menjalar ke lengan; napas pendek

Gastrointestinal.Nyeri perut,kembung,muntah.

Pembuluh darah perifer.Nyeri pembengkakan tingaki,kladukasio,ulseri

jari,dan nyeri jari tangan.

Muskuluskeletal.Nyeri tulang, nyeri sendi.

Page 17: Aps

Kulit.Purpura/ petekie,ruam livedo retikularis temporer atau menetap, jari-jari

tangan/kaki kehitaman atau terlihat pucat.

Neurologi dan psikiatri.Pingsan,kejang,nyerikepala,parastesi, paralis,

ascending weakness, tremor, gerakan abnormal, hilangnya memori,masalah

dalam pendidikan( sulit mengerti, berkosentrasi yang dibaca dan dihitung

Endokrin.Rasa lemah,fatique,artralagi,nyeri abdomen.

Urogenital.Hematuri, edema perifer

Riwayat kehamilan.Keguguran berulang,kelahiran premature, pertumbuhan

janin terlambat.

Riwayat keluarga.

Riwayat pengobatan

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda yang sesuai dengan organ yang terkena

dan dapat melibatkan system organ apapun.

§ Pembuluh darah perifer

Palapasi tulang atau sendi:nyeri tekan( infark tulang)

Nyeri saat sendi di gerakan, tanpa artritis( nekrosis avaskular

Pembengkakan tungkai( trombosis vena dalam

Penurunan pengisian kapiler, denyut nadi, dan perfusi( trombosis

arterial/vasopasm)

Ganggren(trombosis arteri/infark)

§ Paru: Respiratory disteress,takipnea(emboli pulmuner,hipertensi pulmuner)

§ Ginjal

Hipertensi( tormbosis arteri renalis,lesi pembuluh darah intrarenal)

Hematuria(tormbosis vena renalis

§ Jantung

Murmur pada aktup aorta atau mitral

Page 18: Aps

Nyeri dada,diaforesis(infark miokard)

§ Gastrointestinal:

Nyeri tekan pada abdomen kuadran kanan atas, hepatomegali.

Nyeri tekan abdomen.

Endokrin:kelemahan otot,kekuan progresif pada otot-otot pelvis dan paha

dengan konfraktur fleksisyang berhubungan dengan insufiensi adrenal.

§ Mata

Oklusi arteri retina

Trombosis vena retina

§ Manifestasi kulit

Livedo retikularis

Lesi purpura

Tromboflebitis superfisia

Vasospasme

Splinter hemorrhages peringgual atau subungual

Infark perifer

Memar]

§ Kelainan sisitem saraf perifer

- Strok

- TIA

- Parestesia,polineuritis.

- Paralisis,hiperrefleksi,rasa lemah.

- Kelainan pergerakan tremor khoreiform

- Kelainan yang menyerupai sklerosis multiple

- Kehilangan memori jangka pendek

- Pemeriksaan adarah perifer lengkap

- LDH,bilirubin,haptoglobin

- Tes coombs direk

- Analisi urine dipstik untuk hemoglobin

Page 19: Aps

- Antibodi antiplatelet.

§ Defisiensi sistem Koagulasi:

- Protein C

- Protein S

- Antitrombin III

- Antibodi protein koagulasi,seperti antivbodi anti fsktor II.

§ Polimorfisme genetik:

- Mutasi faktor V Leiden

- Mutasi gen protrombin 20210A

- Mutasi Methylene tetrahydrofolate reductase (MTHFR)

Pemeriksaan Radiologis

§ Untuk kejadian trombotik

- Ultrasonografi (USG) Dopppler

- Venografi

- Ventilation/perfusion scan

§ Untuk kejadian trombotik arterial

- Computerized tomography(CT)

- Magnetic resonance imagint (MRI)

- Arteriografi

- USG Doppler

§ Untuk kelainan jantung

- Ekokardiografi dua dimensi

- Ekokardiografi transensofagel

- Angiografi dengan karaterisasi

Penatalaksanaan Sindroma Antifosfolipid Pada Kehamilan

Page 20: Aps

Mengingat begitu banyaknya komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh sindroma

antifosfolipid sebelum, selama kehamilan bahkan sesudah melakirkan baik masalah

morbiditas bahkan mortalitas, maka pasien dengansindroma antifosfolipid ini perlu

mendapatkan penanganan khusus. Pasien dengan masalah infertilitas pasti sengat

mengharapkan kehamilan yang sudah terjadi kali ini dapat berlangsung sampai

dilahirkan bayi sehat.

Idealnya seorang wanita dengan sindroma antifosfolipid harus mendapatkan

bimbingan dan pemeriksaan sebelum kehamilannya.11,12 Riwayat obstetric harus

didata secara jelas. Pemeriksaan antibody antifosfolipid dianggap perlu diperiksa jika

sudah terjadi jika sudah terjadi keguguran berulang 2 atau 3 kali berturut-turut pada

trimester pertama kehamilan atau terjadi kematian janin dalam kandungan pada

trimester ke – II atau ke – III, karena keguguran spontan pada trimester pertama

kehamilan dianggap umum pada populasi normal.13 Dokter harus dapat menjelaskan

kemungkinan apa saja yang dapat terjadi pada ibu dan janin seperti resiko terjadinya

thrombosis atau stroke, keguguran preeclampsia, pertumbuhan janin terhambat dan

kelahiran premature.13 Di saat ini juga dokter akan menjelaskna rencana pengobatan

terhadap ibu.12 Sehubungan bahwa kehamilan dengan sindroma antifosfolipid

merupakan kehamilan resiko tinggi maka perlu juga pengawasan dari berbagai

disiplin ilmu seperti perinatologi/neonataologi,obstetric, rematologi dan internis.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk penatalaksanaan penderita sindrom

antibody antofosfolipid selama dan sesudah kehamilan adalah sebagai berikut :

A. Pemeriksaan Laboratorium

Pada kehamilan awal, semua pasien harus diperiksa untuk menemukan

jika ada kelainan seperti anemia, trombositopenia dan penyakit lainnya

yang menyertai seperti urinalisa, kreatinin serum,klirens kreatinin urine 24

jam dan kadar protein total.12 Jika diagnose antifosfolipid sudah

ditegakkan maka tidak diperlukan lagi pemeriksaan serial kadar antibody

antifosfolipid karena tidak bermakna.12,14 Pada pasien yang mendapat

Page 21: Aps

terapi heparin perlu dimonitor efek antitrombotik yang diharapkan yaitu

mempertahankan PTT 1,2 – 1,5 kali standar.12

B. Kunjungan Antenatal dan Pemeriksaan Kesejahteraan Janin

Pada trimester pertama dan kedua, pasien harus memeriksa kehamilannya

( ANC ) setiap dua minggi dan kemudian tiap minggu pada trimester

ketiga12. Tujuan kunjungan antenatal yang lebih sering ini adalah untuk

segera menemukan tanda pertumbuhan janin terhambat yaitu bila didapati

tinggi fundus uteri lebih kecil dari yang diharapkan.

Pemeriksaan ultrasonografi dianjurkan setiap 4-6 minggu mulai dari usia

kehamilan 18-20 minggu. Jika penderita tidak mempunyai komplikasi lain

maka pemeriksaan ultrasonografi boleh dimulai pada usia gestasi 30-32

minggu.12

Tekhnik ultrasonografi yang maju menggunakan velosimetri Doppler

yang dapat melihat rasio sistolik arus umbilicus ( SDAU ). Jika didapati

SDAU meninggi berarti sudah terjadi resistensi vaskuler plasenta, terlebih

jika didapati arus diastolic rendah atau tidak ada bahkan berbalik maka

kemungkinan terjadinya kematian janin intra uterine menjadi sangat tinggi

dan sebelum ini terjadi maka kehamilana tersebut indikasi kuat untuk di

terminasi.9,11

Pasien juga dipesan untuk segera melapor jika terjadi gejala thrombosis,

tromboemboli, transient ischemis attack atau amaurosis fugas. Karena itu

pasien perlu diajarkan gejala setiap keadaan tersebut.

C. Pengobatan Medikamentosa

Menurut Michele petri pasien hamil dengan antibody antikardiopilin dan

antikoagulan lupus yang tidak mempunyai riwayat kegagalan kehamilan,

tidak memerlukan terapi. Jika kadar antibody antifosfolipidnya tinggi

dapat diberikan aspirin dosis rendah setiap hari.15,16

Pada umumnya terapi yang diberikan adalah pada saat prekonsepsi yaitu

aspirin dosis rendah tetap sebesar 81 mf/hari. Terapi aspirin inin dimulai

segera setelah terjadinya keguguran berulang, thrombosis atau pasien

Page 22: Aps

mengharapkan untuk hamil berikutnya.16,17 Segera setelah terjadinya

konsepsi atau jika denyut jantung sudah terseteksi dengan USG17 mulai

diberikan heparin pocine ( UFH ) subkutan dengan dosis rendah tetap

sebesar 5000 unit setiap 12 jam sampai mendapat nilai PTT 1,2-1,5 nilai

stansar atau INR diatas 2,6.13,14,16,17 Semua pengobatan dihentikan kalau

terjadi keguguran atau kehamilan mencapai usia 34 minggu.17 Pernah

dilaporkan efek antikoagulan yang persisten pada saat persalinan yang

berakhir sampai 28 jam.13

Pada pemberian heparin jangka panjang ( > 1 bulan ), pasien diberikan

suplementasi 1500-2000 gram kalsium karbonat untuk mengurangi efek

osteoporotic, vitamin D (dalam vitamin prenatal) , olahraga ringan 1 jam

perhari seperti berjalan, jogging atau aerobic ringan.

D. Masa Nifas dan setelahnya.

Setelah melahirkan pemberian antikoagulan oral dianjurkan dimulai lagi

1-2 minggu post partum sementara suatu penilitian lain menganngap

pemberian heparin perlu diberikan terus sampai 1 bulan post partum saja.

Heparin aman diberikan pada ibu menyusui karena tidak disekresikan

pada ASI sementara warfarin juga tidak menginduksi efek antikoagulan

pada bayi yang menyusui. Pasien juga diajarkan gaya hidup sehat dengan

mempertahankan berat badan ideal, kadar kolesterol rendah, aktivitas

fisik, tekanan darah terkontrol dan tidak merokok.13

Menurut penelitian Roseve dan Brewer, pasien yang diterapi warfarin

memberikan hasil yang lebih baik dari terapi aspirin atau tidak diterapi

atau thrombosis tidak akan berulang jika International Normalized Ratio

( INR ) mempertahankan diatas 2,6. Derksen dkk melakukan studi

retrospektif dan mendapatkan data bahwa pasien yang mendapat terapi

antikoagulan 8 tahun memiliki kemungkinan 100 % untuk rekuren

sementara jika terapi dihentikan maka 50 % akan terjadi lagi pada 2 tahun

dan 78 % akan terjadi lagi pada 8 tahun. Dari studi retrospektif oleh

Page 23: Aps

Kamastha dkk dari group Hughes dicatat dari 147 pasien SAF, sebanyak

69% nya mengalami thrombosis ulang baik arteri maupun vena dan waktu

rata-rata terjadinya adalah 12 bulan. Jika diterapi warfarin secara intensif (

INR > 3 ) dengan atau tanpa aspirin dosis rendah untuk prevensi adalah

lebih efektif dibandingkan dengan warfarin dosis rendah.

Suatu penelitian menganggap pemberian heparin perlu tetap diberikan

sampai 1 bulan post partum. Dallas/ Fort Worth Metroflex. Mengajukan

suatu protocol untuk recurrent miscarriage syndrome yang berhubungan

dengan efek trombosit atau protein darah. Dari 149 pasien yang mengikuti

protocol ini 98 % berhasil mencapai persalinan aterm normal. Protokol

tersebut adalah sebagai berikut :

Pengobatan selama kehamilan

Aspirin : 81 mg perhari, dimulai pada saat kehamilan dimulai

Porscine heparin :5000 unit subkutan setiap 12 jam segera setelah

kehamilan ( diberikan bersama aspirin setelah kehamilan aterm )

Kalsium : 500 mg per oral perhari

Vitamin Prenatal

Tablet besi : 1 tablet per hari

Asam folat : 1 mg peroral per hari

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap/ jumlah trombosit dan kadar hepar

setiap minggu untuk 4 minggu bertutut-turut dilanjutkan 1 kali

perbulan sampai kehamilan aterm

Pemeriksaan ultrasonografi teratur sampai aterm

Catatan gerak janin setiap hari setelah kehamilan 28 minggu

Pemeriksaan biofisik janin dan pemeriksaan arus darah umbilicus

dengan Doppler saat kehamilan 32.34.36 dan 38 minggu

Terminasi kehamilan bila tidak ada komplikasi dapat dilakukan pada

kehamilan 37 minggu atau bila ada komplikasi dapat diterminasi pada

kehamilan 34minggu atau kurang.26

Page 24: Aps

III.KESIMPULAN

Page 25: Aps

1. Penyebab terbanyak kegagalan kehamilan berulang adalah gangguan

prokoahulasi darah dimana yang paling tinggi insidensinya adalah oleh

sindroma antifosfolipid. Diagnosis SAF ditegakkan apabila terdapat minimal

1 kriteria klinis dan 1 kriteria laboratories. Pada wanita hamil dengan SAF

sebaiknya diberikan pengobatan kombinasi aspirin dosis rendah dan heparin.

2. Terminasi kehamilan bila tidak ada komplikasi dapat dilakukan pada

kehamilan 37 minggu atau bila ada komplikasi dapat diterminasi pada

kehamilan 34minggu atau kurang.

DAFTAR PUSTAKA

Page 26: Aps

1. Antiphospholipid antibody syndrome. Available from:

http://www.med.uiuc.edu/hematology/PtAPS.htm. Acessed, 10/9/2004.

2. Atmakusuma Dj. Pathophysiology of trombosis and anti-phospholipid

syndrome (APS). Dalam : Simposium thrombosis in pregnancy. Jakarta :

2001

3. Bick RL. Recurrent miscarriage syndrome and infertility caused by blood

coagulation protein or platelet defects. Hem Clin N Am 2000;13(5)

4. Cunninghan FG, Gant NF, Levono KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom

KD. Connective tissue disorders. In : Williams obstetrics. 21th New York :

Mc Graw Hill; 2001.p. 1383-94.

5. Carsons S, Belilos E. Antiphospholipid syndrome. Availalable from :

http://www.emedicine.com/med/topic2923.htm.

6. Giles WB, Vascular Doppler Techniques in Antepartum and Intrapartum

Fetal Assesment. Obstet Gynevol Clin 1999; 26(4): 595-603

7. TambunanKL, Anthipospolipid Syndrome. Makalah lengkap symposium

pada KOGI X, Bali 2000;1-10

8. Symsuri AK, Konferensi Kerja PERALUMNI V Palembang 2003; 75-82

9. Rantam, Fedik A. 2003. Metode Imunologi. Surabaya. Universitas

Airlangga

10. Sudoyo, Aru W. 2009. Imu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing

11. Witjaksono, J. Patofisiologi sindroma antifosfolipid dalam kehamilan :

dasar patogenesis dan prinsip pengobatan. Dibawakan pada Pertemuan

Ilmiah Tahunan (PIT) POGI XIV, Bandung ; 2004.

12. Putra IGND, Suwiyoga K. Abortus berulang pada sindrom antifosfilipid

antibodi. SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana. Denpasar : 2000.

13. Wibowo N. Pathogenesis of anti-phospholipid syndrome in pregnancy.

Dalam : Simposium thrombosis in pregnancy. Jakarta : 2001.

Page 27: Aps

14. Nowicki S, Loksmith G. Antiphospholipid antibody syndrome and

pregnancy.Availalable from http://www.emedicine.com/med/topic3258.htm

Accessed, 10/9/2004.

15. Witjaksono J, Atmakusuma Dj, Surjana EJ, Tambunan KL.

Penatalaksanaan kehamilan dengan Sindroma APS. Disampaikan pada

simposium thrombosis in pregnancy. Palembang:2001.

16. Boda Z, Laszlo P, Pfliegler G, Tornai I, Rejto L, Schlammadinger A.

Thrombophilia, anticoagulant therapy and pregnancy. Dalam : Boda Z,

Laszlo P, Pfliegler G, Tornai I, Rejto L, Schlammadinger A. Orvosi

hertilap. Markusovszki : Springer, 1998, 139 (52). p.3113-6.

.