antropologi sastra
TRANSCRIPT
-
8/14/2019 ANTROPOLOGI SASTRA
1/8
ANTROPOLOGI SASTRA
http://www.loker4uang.com
www.ilmuseksislam.com/?id=nunu
Salah satu factor yang mendorong perkembangan antropologi sastra adalah
hakikat manusia sebagaimana dikemukakan oleh Ernst Cassirer (1956: 44)
manusia sebagai animal symbolicum, yang sekaligus menolak hakikat manusia
sebagai semata-mata animal rationale. Menurut Cassirer, yang kemudian juga
dimanfaatkan salam sosiologi interaksi simbolik Meadean (Riter dan Douglas,
2004: 272), system symbol mendahului system berpikir, sebab pada dasarnya
pikiran pun dinyatakan melalui symbol. Dalam teori kontemporer, dominasi
pikiran pun mesti didekonstruksi, sehingga system symbol, termasuk symbol suku
primitif dapat dimanfaatkan dan diartikan. Di satu pihak, symbol tidak seragam,
cirri-ciri yang memungkinkan system komusikasi dapat berkembang secara tak
terbatas. Di pihak lain, sesuai dengan pendapat E. Bloch (Sastrapratedja, 1982:
ix), manusia adalah entitas histories, keberadaannya ditentukan oleh sejumlah
factor yang saling mempengaruhi, yaitu: a) hubungan manusia dengan alam
sekitar, b) hubungan manusia dengan manusia yang lain, c) hubungan manusia
dengan struktur dan istitusi soaial, d) hubungan manusia dengan kebudayaan pada
ruang dan waktu tertentu, e) manusia dan hubungan timbal balik antara teori dan
praktik, dan f) manusia dan kesadaran religius atau para-religius.
Secara definitive, antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra
dengan relevansi manusia (anthropos). Dengan melihat pembagian antropologi
-
8/14/2019 ANTROPOLOGI SASTRA
2/8
menjadi dua macam, yaitu antropologi fisik dan antropologi cultural, maka
antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi cultural,
dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia, seperti: bahasa, religi, mitos,
sejarah, hokum, adat-istiadat, dan karya seni, khususnya karya sastra. Dalam
kaitannya dengan tiga macam bentuk kebudayan yang dihasilkan oleh manusia,
yaitu: kompleks ide, kompleks aktivitas, dan kompleks benda-benda, maka
antropologi sastra memudatkan perhatian pada kompleks ide.
Studi antropologi mulai berkembang awal abad ke-20 pada saat negara-
negara kolonial, khususnya Inggris menaruh perhatian terhadap bangsa non-
Eropah dalam rangka mengetahui sifat-sifat bangsa-bangsa yang dijajah. Dalam
hal ini antropologi sastra ada kaitannya dengan studi orientalis. Atas dasar
pertimbangan bahwa system cultural suatu bangsa tersimpan di dalam bahasa,
maka jelas karya sastra merupakan sumber yang sangat penting.
Dalam ruang lingkup regional dan nasional, jelas antropologi sastra perlu
dibina dan dikembangkan. Polemik kebudayaan tahun 1930-an yang dipicu oleh
pikiran-pikiran Sutan Takdir Alisjahbana, tidak semata-mata berorientasi ke
Barat, sebagaimana ditanggapi oleh kritikus dan budayawan yang lain.
Sebaliknya, polemik kebudayaan bermaksud untuk menemukan pola-pola yang
dapat digunakan untuk mengembangkan pola-pola kebudayaan nasional, dasar-
dasar berpikir yang dapat digunakan untuk mengembangkan model-model
kesenian berikutnya, khususnya kesusastraan.
Berdasarkan pada sebuah pengistilahan bahwa karya sastra itu adalah
imajinasi. Tetapi perlu diketahui justru dalam daya imajinasi itulah nilai-nilai
-
8/14/2019 ANTROPOLOGI SASTRA
3/8
antropologis dipermain-mainkan. Selebihnya, disitulah letak lokus penelitian
antropologi sastra.
Antropologi sastra merupakan pendekatan interdisiplin yang paling baru
dalam ilmu sastra. Sepanjang pengetahuan penulis sampai saat ini pendekatan
antropologi sastra belum merupakan mata kuliah khusus. Isu mengenai
antropologi sastra pertama kali muncul tahun 1977 (payatos, 1988: xi-xv) melalui
kongres Folklore and Literary Anthropology yang berlangsung di Calcutta.
Seperti telah disinggung di depan, lahirnya model pendekatan antropologi sastra
dipicu oleh tiga sebab utama, yaitu: a) baik sastra maupun antropologi
menganggap bahasa sebagai objek penting, dan b) kedua disiplin
mempermasalahkan relevansi manusia budaya, dan c) kedua disiplin juga
mempermasalahkan tradisi lisan, khususnya cerita rakyat dan mitos. Aspek yang
kedua sering menimbulkan masalah dalam membedakan batas-batas penelitian
diantara antropologi dan sastra.
Sosiologi sastra, psikologi sastra, dan antropologi sastra, sebagai ilmu
social humaniora jelas mempermasalahkan manusia dalam masyarakat, sekaligus
memberikan intensitas pada sastra dan teori sastra. Perbedaannya, sosiologi sastra
mempermasalahkan masyarakat, psikologi sastra pada aspek-aspek kejiwaan,
antropologi sastra pada kebudayaan.
Antropologi sastra memberikan perhatian pada manusia sebagai agen
cultural, system keekrabatan, system mitos, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya.
Antropologi sastra cenderung memusatkan perhatiannya pada masyarakat kuno,
sedangkan sosiologi sastra cenderung memusatkan perhatiannya pada masyarakat
-
8/14/2019 ANTROPOLOGI SASTRA
4/8
modern, masyarakat kompleks. Karya sastra dengan masalah mitos, bahasa
dengan kata-kata arkhais menarik dianalisis dari segi antropologi sastra,
sedangkan karya sastra dengan masyarakat kompleks menarik dari segi sosiologi
sastra.
Antropologi sastra pada dasarnya sudah terkandung dalam penelitian-
penelitian yang dilakukan oleh Levi-Strauss dalam kaitannya dengan mitos. Levi-
Strauss juga memanfaatkan konsep oposisi biner, tabu, dan incestdalam rangka
membangun teori mengenai kekeluargaan. Berbagai analisisnya terhadap
antropologi yang didasarkan atas model linguistik jelas menandai hubungan yang
tak terpisahkan antara bahasa, sastra, dan budaya.
Salah satu aspek kebudayaan yang menarik minat para pemerhati
antropologi sastra adalah citra arketipe dan atau citra primordial. Secara histories,
cirri-ciri arketipe masuk dalam analisis karya sastra melalui dua jalur. Pertama,
seperti telah disinggung di atas, melalui psikologi analitik Jung, kedua melalui
antropologi Frazer. Tradisi pertama menelusuri jejak-jejak psikologis, tipologi
pengalaman yang tampil secara berulang-ulang, sebagai ketaksadaran rasial,
seperti mitos, mimpi, fantasi, dan agama, termasuk karya sastra. Tradisi yang
kedua, menelusuri pola-pola elemental mitos dan ritual yang pada umumnya
terkandung dalam legenda dan seremoni. Dalam karya sastra, gejala ini tampak
melalui deskripsi pola-pola naratif, tipologi tokoh-tokoh.
Relevansi kritik arketive terutama berfungsi sebagai energi kreativitas.
Sebagai kualitas ketaksadaran, citra arketipe tidak mesti dianggap sebagai gejala
yang statis. Benar, citra arketipe merupakan pemahaman apriori, tetapi
-
8/14/2019 ANTROPOLOGI SASTRA
5/8
manifestasinya baik sebagai representasi mimpi dan fantasi, kreasi dan imajinasi,
maupun sebagai cerita rakyat dan fiksi modern, secara keseluruhan
dienergisasikan oleh ketaksadaran, berfungsi dalam proses produksi dan
kreativitas.
Citra arketipe dengan demikian melibatkan tiga disiplin yang berbeda,
sejarah, psikologi, dan antropologi. Atas dasar struktur histories, dengan
mempertimbangkan otoritas ras, suku, keluarga, dan kelompok-kelompok social
lainnya, arketipe tampil sebagai salah satu kecenderungan dasar manusia untuk
mempertahankan kualitas survivalnya. Atas dasar struktur psikologisnya, dengan
mempertimbangkan evolusi struktur biologis, khususnya otoritas genetika,
arketipe tampil sebagai salah satu kecenderungan manusia untuk mempertahankan
jejak masa lampau, khususnya insting. Jelas citra arketipe juga memiliki kaitan
erat dengan antropologi social, termasuk ketaksadaran Levi-Strauss.
Sejarah, psikologi, dan antropologi masing-masing dapat diakses dalam
citra arketipe. Analisis pandangan dunia, khususnya menurut visi Goldmannian,
misalnya, memerlukan pemahaman total terhadap ketiga disiplin tersebut. Pada
gilirannya, disiplin sosiologi, psikologi, dan antropologi sastra dimungkinkan
untuk mempermasalahkan objek yang sama, sebagai mulitidisiplin. Seperti
disinggung di atas, karya sastra mempunyai kebebasan dalam memasukkan
hampir keseluruhan aspek kebudayaan manusia. Sastrawan adalah kreator kata-
kata, membangun dunia dalam kata. Sastrawan mampu membebaskan substansi
kata-kata dan kalimat ke dalam citra kata-kata dan kalimat sehingga secara terus
menerus tercipta dunia yang baru seolah-olah dilihat untuk pertama kali.
-
8/14/2019 ANTROPOLOGI SASTRA
6/8
Sastrawan memiliki kebebasan sesuai dengan hokum-hukum imajinatif fiksional,
mencampuradukkan duniafibula ke dalam sjuzet.
Penelusuran terhadap tema, pandangan dunia, motif dan konsep-konsep
tertentu dalam karya sastra, seperti konsep Faust dan Arjuna yang mendasari
perbedaan antara jiwa Barat dan Timur sebagaimana diintroduksi oleh Sanusi
Pane, diduga mengandung aspek-aspek penelitian antropologi sastra. Puisi-puisi
kongret Sutardji Calzoum Bachri, cerita-cerita pendek magis Danarto juga diduga
memiliki dimensi-dimensi antropologis yang kaya. Mitos Nyi Roro Kidul apabila
dibicarakan atas dasar kepercayaan masyarakat terhadap penguasa Laut Kidul
merupakan studi antropologis, sedangkan apabila dibicarakan dalam kaitannya
dengan dampak social masyarakat akan menjadi sosiologi sastra. Tingkatan
bahasa dalam bahasa Bali dibicarakan melalui studi antropologis dalam kaitannya
dengan kelas-kelas social sebagai pendukungnya. Demikian juga akan menjadi
studi psikologis apabila dikaitkan dengan dampak psikologis pemakainya. Perlu
diberikan catatan bahwa pembicaraan yang dimaksudkan dilakukan melalui
struktur karya sastra, antropologi sebagai karya seni sehingga karya sastra
merupakan unsure primer, bukan sekunder. Oleh karena antropologi sastra
menyangkut masalah kebudayaan, maka selain melalui penokohan, dapat juga
dideteksi melalui latar, seperti latar masyarakat Dayak, Tengger, Irian Jaya, Sunda
dan sebagainya. Sama seperti sosiologi sastra dan psikologi sastra, antropologi
sastra pun berfungsi untuk memperkenalkan kekayaan khasanah cultural bangsa
sehingga masing-masing kebudayaan menjadi milik bagi yang lain.
-
8/14/2019 ANTROPOLOGI SASTRA
7/8
Lahirnya studi multicultural, postruktualisme pada umumnya mendorong
intensitas studi interdisiplin. Aspek-aspek kebudayaan sama sekali tidak bias
dipahami terpisah dari gejala yang lain. Sastra adalah bagian integral kebudayaa,
menceritakan berbagai aspek kehidupan dengan cara imajinatif kreatif, sekaligus
masuk akal. Seperti disinggung di atas, antropologi sastra mempermasalahkan
karya sastra dalam hubungannya dengan manusia sebagai penghasil kebudayaan.
Manusia yang dimaksudkan adalah manusia di dalam karya, khususnya sebagai
tokoh-tokoh.dalam hubungan inilah karya sastra merupakan studi multicultural
sebab melalui karya sastra dapat dipahami keberagaman manusia dengan
kebudayaannya. Sastra Indonesia modern, sejak balai pustaka hingga sekarang
jelas telah menceritakan keberadaan berbagai suku, ras agama, dan adat-istiadat.
Dengan membaca karya sastra dapat dipahami kebudayaan Sunda, Jawa, Bali, dan
sebagainya. Kebudayaan Jawa jelas tidak homogen, melainkan menampilkan
berbagai macam kebudayaan dengan ruang lingkup yang lebih kecil, demikian
seterusnya.
Sama seperti sosiologi sastra, analisis yang berkaitan dengan antropologi
sastra yang dimaksudkan adalah karya sastra itu sendiri, dengan memanfaatkan
teori dan data antropologi. Sebuah puisi yang menggunakan kata-kata arkhais,
seperti Cerita Buat Dien Tamaela (Chairil Anwar), tidak secara langsung dilepas
dan dihubungkan dengan cirri-ciri kebudayaan tertentu, sebab cara ini semata-
mata menempatkan karya sastra sebagai unsure sekunder. Kata-kata arkhais telah
menjadi karya sastra, sebagai roh, sebagai antropologi, bukan sastra. Kata-kata
-
8/14/2019 ANTROPOLOGI SASTRA
8/8
arkhais dibicarakan dalam sastra itu sendiri yang justru nantinya akan
mengevokasi keseluruhan bentuk dan isi karya.
Dengan adanya intensitas pada manusia dalam kebudayaan tertentu,
antropologi sastra memiliki relevansi dengan sastra warna local, jenis karya yang
selama ini belum banyak menarik minat, khususnya sebagai sastra kreatif.
Antropologi sastra, selain memiliki kaitan dengan penelitian postcolonial, jelas
memiliki relevansi dengan pstruralisme itu sendiri, dengan cara mengangkat
khasanah karya sastra regional. Pada saat mencipta, baik secara langsung maupun
tidak langsung, baik sebagai kualitas bentuk maupun isi, pengarang menampilkan
unsure-unsur tertentu khazanah cultural yang dihayati, sebagai unsure-unsur
ketaksadaran antropologis.
Baik Freud maupun Levi-Strauss (Ino Rossi, 1974: 19) menganggap
bahwa struktur ketaksadaran lebih penting dibandingkan dengan kesadaran itu
sendiri. Secara praktis antropologi sastra diharapkan dapat membantu
memperkenalkan khazasanah sastra yang terpencil dan terisolasi, yang secara
tidak langsung berarti telah membantu pemahaman Bhineka Tunggal Ika.