antiinflamasi
TRANSCRIPT
Laporan Resmi
Praktikum Farmakologi Farmasi
ANTIINFLAMASI
Nama : Pahala A R Sinaga
NIM : 071501046
Program : Farmasi S-1 Reguler
Kelompok/ Hari : III / Senin
Asisten : Nur Aira Juwita
Tanggal Percobaan : 11 Mei 2009
Laboratorium Farmakologi Farmasi
Departemen Farmakologi Farmasi
Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
Medan
2009
Lembar Persetujuan dan Nilai Laporan Praktikum
Judul Percobaan : Antiinflamasi
Medan, 18 Mei 2009
Tanggal ACC :
Asisten, Praktikan,
(Nur Aira Juwita) (Pahala A R Sinaga)
Perbaikan :
1. Perbaikan I, Tanggal :
Telah Diperbaiki :
2. Perbaikan II, Tanggal :
Telah Diperbaiki :
3. Perbaikan III, Tanggal :
Telah Diperbaiki :
4. Pergantian Jurnal :
Nilai :
ANTIINFLAMASI
I. PENDAHULUAN
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan
yang disebabkan oleh trauma fisik, Zat kimia yang merusak, atau zat-zat
mikrobiologik. Iflamasi adalah usaha tubuh untuk mengaktivasi tubuh atau .
organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat
perbaikan jaringan. Jika penyembuhan lengkap,proses peradangan biasanya reda.
Namun, kadang kadang inflamasi tidak bisa dicetuskan oleh suatu zat yang tidak
berbahaya seperti tepung sari, atau oleh suatu respon imun, seperti asma atau artistis
rematoid. Pada kasus seperti ini, Reaksi pertahanan tubuh mereka sendiri mungkin
menyebabakan luka-luka jaringan progresif, dan obat-obat anti iflamasi atau
imunosupresi mungkin dipergunakan untuk memodulasi proses peradangan.
Inflamasi dicetuskan oleh pelepasan mediator kimiawi dari jaringan yang rusak dan
migrasi sel. Mediator kimiawi spesifik berpariasi dengan tipe proses peradangan dan
meliputi amin, seperti histamin dan 5- hidroksitritamin , lipid seperti prostagladin,
peptida kecil, seperti bradiki inin dan peptida besar seperti interleukin 1. Penemuan
yang luas diantaranya mediator kimiawi telah menerangkan paradoks yang tampak
bahwa obat-obat anti-inflamasi dapat mempengaruhi kerja mediator utama yang
penting untuk satu tipe inflamasi tetapi tanpa efek pada proses inflamasi yang
penting pada satu tipe inflamasi yang melibatkan mediator target obat (Mycek,
M.J.,2001).
NSAIDs berkhasiat analgetis, antipiretik, serta antiradang dan sering kali
digunakan untuk menghalau gejala rema,seperti A. R., artrosis, dan spondylosis.
Obat ini efektif untuk peradangan lain akibat trauma (pukulan, benturan,
kecelakaan), juga misalnya setelah pembedahan, atau pada memar akibat olahraga.
Obat ini dipakai pula untuk mencegah pembengkakan bbila diminum sedini mungkin
dalam dosis yang cukup tinggi. Selanjutnya, NSAIDs juga digunakan untuk kolik
saluran empedu dan kemih serta keluhan tulang pinggang dan nyeri haid
(dysmenorroe). Akhirnya, NSAIDs juga berguna untuk myeri kanker akibat
metastase tulang. Yang banyak digunakan untuk kasus ini adalah zat-zat dengan efek
samping relative sedikit, yakni ibuprofen, naproksen, dan diklofenak (T.H. Tjay dan
K. Rahardja, 2002).
II. TUJUAN PERCOBAAN
- Untuk mengetahui efek pemberian karagenan pada hewan percobaan
- Untuk mengetahui mekanisme karagenan dalam menimbulkan inflamasi
- Untuk mengetahui efek antiinflamasi dari pemberian indometasin
- Untuk membandingkan efek antiinflamasi indometasin dengan dosis yang
berbeda
- Untuk mengetahui mekanisme terjadinya inflamasi
III. PRINSIP PERCOBAAN
Berdasarkan induksi radang pada kaki hewan percobaan yang dilakukan
melalui penyuntikan karagenan secara intraplantar setelah pemberian obat
indometasin secara oral pada setengah jam sebelum penyuntikan karagenan akan
menimbulkan efek radang berupa udem, di mana radang kaki hewan percobaan
diukur dengan pletismometer yang bekerja berdasarkan hukum Archimedes.
Aktivitas antiinflamasi indometasin ditunjukkan oleh kemampuannya mengurangi
radang yang diinduksi pada hewan tersebut, yang dapat diukur dengan
pletismometer.
IV. TINJAUAN PUSTAKA
Fenomena inflamasi pada tingkat bioselular masih belum dijelaskan secara
rinci. Walaupun demikian banyak hal yang telah diketahui dan disepakati. Fenomena
inflamasi ini meliputi kerusakan mikrovaskular, Meningkatnya permeabilitas kapiler
dam migrasi leukosit kejaringan radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal
adalah kalor, rubor tumor, dolor dan functio laesa. Selama berlangsungnya fenomena
inflamasi banyak mediator kimiawi yang dilepaskan secara lokal antara lain
histamin, 5-hidroksitriptamin(5ht), faktor kemotaktik, bradikinin, leukotrin, dan PG.
Penelitian terakhir menunjukkan autokoid lipid PAF ( platelet activating fat) juga
merupakan mediator inflamasi. Dengan migrasi sel fagosit kedaerah ini, terjadi lisis
membran lisozin dan lepasnya enzim pemecah. Obat mirip aspirin dapat dikatakan
tidak berefek terhadap mediator kimiawi tersebut kecuali PG.
Inflamasi sampai sekarang fenomena ini inflamasi pada tingkat bioselular
masih belum dijelaskan secara rinci. Walaupun demikian banyak hal yang telah
diketahui dan disepakati. Fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan mikrovaskular,
Meningkatnya permeabilitas kapiler dam migrasi leukosit kejaringan radang. Gejala
proses inflamasi yang sudah dikenal adalah kalor, rubor tumor, dolor dan
functioleasa. Selama berlangsungnya fenomena inflamasi banyak mediator kimiawi
yang dilepaskan secara lokal antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin(5ht), faktor
kemotaktik, bradikinin, leulotrin, dan PG. Penelitian terakhir menunjukkan autokoid
lipid PAF ( patelet activating fat) juga merupakan mediator inflamasi. Dengan
migrasi sel fagosit kedaerah ini, terjadi lisis membran lisozin dan lepasnya enzim
pemecah. Obat mirip aspirin dapat dikatakan tidak berefek terhadap mediator
kimiawi tersebut kecuali PG.
Secara in vitro terbukti bahwa prostaglandin E2 (PGE2) dan prostasiklin
(PGI2) dalam jumlah nanogram, menimbulkan eritem vasodilatasi dan peningkatan
aliran darah secara lokal. Histamin dan bradikinin dapat meningkatkan permaibilitas
vaskular, tetapi efek vasodilatasinya tidak besar. Dengan penambahan sedikit PG
efek eksudas hitamin plasma dan bradikinin menjadi lebik jelas. Migrasi leukosit ke
jaringan radang merupakan aspek penting dalam proses inflamasi. PG sendiri tidak
bersifat kemotaktik tetapi produk lain dari asam arakidonat yakni leukotrien B4
merupakan merupakan zat kemotaktik yang sangat paten. Obat mirip aspirin tidak
menghambat sistemhipoksigenase yang menghasilkan leukotrien sehingga
golongamn obat ini tidak menekan migrasi sel. Walaupun demikian dosis tinggi juga
terlihat penghambatan migrasi sel tanpa mempengaruhi enzim liposigenase. Obat
yang menghambat biosintesis PG maupun leukotrin tentu akan lebih paten menekan
proses iflfmasi. (Wilmana, F.P., 1995).
OAINS membentuk kelompok yang berbeda-beda secara kima(kiri0, tetapi
semuanya mempunyai kemampuan untuk menghambat siklooksigenase(COX) dan
inhibisi sintesis prostaglandin yang diakibatkannya sangat berperan untuk efek
terapeutiknya. Sayangnya, inhibisi sintesis prostaglandin dalam mukosa gaster sering
menyebabkan kerusakan gastrointestinal(dispepsia, mual, dan gastiritis). Efek
samping yang paling serius adlah perdarahan gastrointestinal dan perforasi. COX
terdapat pada jaringan sebagai suatu isoform konstitutif (COX-1), tetapi sitokin pada
lokasi inflamasi menstimulasi induksi isoform kedua (COX-2). Inhibisi (COX-2)
diduga bertanggungjawab untuk efek antiinflamasi OAINS, sementara inhibisi COX-
1 bertanggung jawab untuk toksisitas gastointestinal. OAINS yang paling banyak
digunakan adalah yang selektif untuk COX-1, tetapi inhibitor COX-2 selektif telah
diperkenalkan baru-baru ini (Neal, M.J., 2006).
Pasien-pasien ini sering diberi resep OAINS dan sangat banyak tablet
aspirin, parasetamol, dan ibuprofen tambahan yang dibeli bebas untuk terapi sendiri
pada sakit kepala, nyeri gigi, berbagai gangguan muskokletal, dan lain-lain. Obat-
obat ini tidak efektif pada terapi nyeri viseral(misalnya infark miokard, kolik renal,
dan abdomen akut) yang membutuhkan analgesik opioid. Akan tetapi, OAINS efektif
pada nyeri hebat tipe tertentu(misalnya kanker tulang). Aspirin mempunyai aktivitas
antiplatelet yang penting (Neal, M.J., 2006).
Inflamasi adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau
kimiawi yang merusak. Rangsangan ini menyebabkan pembebasan mediator
inflamasi seperti histamin, serotonin, bradikinin, prostaglandin, dan lain lain yang
menimbulkan reaksi radang berupa: panas, nyeri dan bengkak dan gangguan fungsi.
(Syamsul munaf, 1994)
Prostaglandin dan senyawa yang berkaitan diproduksi dalam jumlah kecil dan
semua jaringan. Umumnya bekerja bekerja lokal pada tempat prostaglandin tersebut
disintesis, dan cepat dimetabolisme menjadi produk inaktif pada tempat kerjanya.
Karena itu, prostaglandin tidak bersirkulasi dengan konsentrasi bermakna dalam
darah. Tromboksan, leukotrin, dan asam hidroksiperosieikosatetraenoat merupakan
lipid yang berkaitan disintesis dari prekursor yang sama sebagai prostaglandin
memakai jalan yang berhubungan.
PG hanya berperan pada yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau
iflamasi. Penelitian tellah membukyikan bahwa PG menyebabkan snsti reseptor nyeri
terhadap stimulasi mekasik dan kimiawi ,jadiPG menimbulkan keadaan
hiperalgesia.Kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamin
merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata obat mirip aspirin tidak
mempengaruhi hiperalgesia atau nyeri yang ditimbulkan oleh efek langsung PG. Ini
menunjukkan bahwa sintesis PG yang dihambat oleh golongan obat ini dan bukanya
blokade jantung (Wilmana,F.P., 1995)
Prostaglandin dan metabolismenya yang dihasilkan secara endogen dalam
jaringan bekerja sebagai tanda lokal menyesuaikan respon tipe sel spesifik. Fungsi
dalam tubuh bervariasi secara luas tergantung pada jaringan. Misalnya pelepasan
TXA2 dari trombosit mencetuskan penambahan trombosit baru untuk agregasi
( langkah pertama pada pembentukan gumpalan). Namun pada jaringan lain
peningkatan kadar TXA2 membawa tanda yang berbeda, misalnya otot polos tertentu
senyawa ini menginduksi kontraksi. Prostagladin merupakan salah satu mediator
kimiawi yang dilepasklan pada proses agresi alergi dan inflamasi. (Mycek, M.J.,
2001)
Inflamasi adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau
kimiawi yang merusak. Rangsangan ini menyebabkan pembebasan mediator
inflamasi seperti histamin, serotonin, bradikinin, prostaglandin, dan lain lain yang
menimbiulkan reaksi radang berupa: panas, nyeri dan bengkak dan gangguan fungsi.
(Syamsul munaf,1994)
Inflamasi pada rematoid artistis merupakan reaksi antara antigen, antibodi
dan komlemen yang menyebabkan terentuknya faktor kemoteraktik yang menjadi
penatik leukosit, leukosit ini memfogositasi kompleks antigen-antigen komplemen
dan juga melepaskan enzim-enzim dari lisosom yang menyebabkan kerusakan tulang
rawan dan jaringan lain, Sehingga timbullah inflamasi (Syamsul Munaf, 1994).
Mekanisme kerja obat AINS :
a. Menjaga keutuhan tulang rawan dan jaringan lain dari kerusakan oleh
enzimlisosom (salisilat, fenilbutazon, indometasin dan asam mafenamat)
b. Menstabilkan membran lisosom (salisilat, klorokin)
c. Menghambat migrasi leukosit (indometasin)
d. Menghambat pembentukan prostagladin (salisilat, indometsain). Pada demam
rematik salisilat mengurangi gejala kerusaakan sendi, tetapi kerusakan jantung tidak
dipengaruhinya Bila diberikan per oral, diserap dangan cepat sebagian dari
lambung sebaguian dari usus halus bagian atas. Kadar puncak akan tercapai setelah
pemberian 2 jam. Kecepatan absorpsi ini tergantung pada : kecepatan dissintegrasi
dan dissocusi tablet, PH permukaan mukosa dan waktu penggosongan lambung.
Pada pemberian rektal absorbsinya lambat dan tidak sempurna. Absorpsi melalui
kulit dapat terjadi dengan cepat dan dapat menimbulkan efek sistemik, misalnya
metil salisilat dapat diabsorpsi melalui kulit yang utuh tetapi absorpsi melalui
lambung lambat (Syamsul Munaf, 1994)
Setelah diabsorpsi, slisilat didistribusikan keseluruh tubuh dan cairan
interseluler. Salisilat dapat ditemukan pada cairan sinovial, spinal peritoneal, liur dan
air susu.
Banyak obat anti inflamasi nonsteroid (AINS ) bekerja dengan jalan
menghambat sintesis prostagladin. Jadi pemahaman akan obat AINS memerlukan
pengertian kerja dan biosintesis prostagladin turunan asam lemak tak jenuh
mengandung 20 karbon yang meliputi suatu struktur cincin siklik.
Nyeri dan inflamasi merupakan keluhan utuma penderita penyakit rematik
disamping lainnya. Berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan
keluhan ini antara lain dengan menggunakan medikamentosa. Penggunaan nyeri
medikamentosa pasa penyakit reumatik selain bertujuan untuk menekan rasa nyeri
dan inflamasi bila mungkin juga menghentikan perjalanan reumatik. Hingga saat ini
pada ertritis reumatoid dan goud yang telah da obat yang telah mempengaruhi
perjalanan penyakitnya. Sebagian besar penyakit reumatiknya lainya diobati dengan
akan terbukti obat anti inflamasi non steroid yang telah terbukti dapat menekan rasa
nyeri dan inflamasi tetapi tidak dapat menghentikan perjalanan penyakit.
Nyeri dan inflamasi merupakan tanda bahwa sendi tersebut telah mengalami
gangguan hampir semua gangguan rematik disertai dengan nyeri atau inflamasi.
Perkecualian pada sendi neuropati. Ialah suatu keaadan hilangnya rasa nyeri akibat
keadaan tertentu seperti tebes darsalis atau siringomielia. Rasa ini penting karena
menunjukkan adanya mekanisme proteksi dari badan. Adanya rasa nyeri menunjkkan
bahwa sipenderita harus menggurangi penggunaan yang berlebihan dari sendi
tersebut. Sedangkan adanya inflamasi menunjukkan bahwa sipenderita harus
mengistirahatkan sendi tersebut. Pada sendi neuropatik Dimana sopenderita tidak
nerasai nyeri telah terbukti akan terjadi kerusakan sendi yang lebh cepat, selain itu
gangguan fungsi baru terjadi setelah ada kerusakan mekanikal yang nyata.
Sebaliknya pada artitis jenis lainya gangguan fungsi sudah mulai tampak pada
awalpenyakit bersamaan dengan timbulnya rasa nyeri.
Nyeri pada penyakit rematikterutama disebabkan oleh adanya inflamasi yang
mengakibatkan dilepasnya mediator-mediator kimiawi. Kinin dan mediator kimiawi
lainya dapat merangsang timbulnya rasa nyeri. Prostaglandin berperan dalam
meningkatkan dan memperpanjang rasa nyeri yang disebabkan oleh suatu
rangsangan.
Sejumlah efek samping berkaitan dengan penghambatan sintesa prostaglandin
dan teunma terjadi pada lambung dan usus ginjal dan fungsi trombosit. Frekwensinya
berbeda-beda untuk berbagai obat dan pada umumnya efek-efek ini meningkatkan
besarnya dosis dan lama penggunannya, kecuali efek terhadap trombosit.
Obat dengan masa paruh panjang mengakibatkan resiko gangguan lambung
usus lebih besar daripada obat dengan masa paruh pendek. Obat yang terbanyak
menimbulkan keluhan lambung-usus serius adalah indoetasin, azapropazon dan
piroxicam. Obat dengan jumlah keluhan lebih kurang separohnya adalah ketoprofen,
naproksen, flurbiprofen, sulindac dan diklofenac.
Indometasin merupakan derivat indol lasetat berkasiat amat kuat dapat
disamakan debngan diklofenac tetapi lebih sering menimbulkan efek samping.
Khususnya efek ulcerogen dan pendarahan occult (T.H. Tjay dan K. Rahardja, 2002).
Fiksasi interna merupakan salah satu modalitas terapi dalam penanganan
fraktur. Fiksasi interna dini dan tertunda masih menjadi suatu perdebatan karena
adanya perbedaan komplikasi yang ditimbulkan, terutama yang berhubungan dengan
respons inflamasi sistemik.
Tindakan fiksasi interna dini dan tertunda saat ini masih menjadi sebuah
perdebatan, khususnya mengenai early total care (tindakan dini), damage control
dan delayed total care (tindakan tertunda) pada trauma multiple. Johnson (1985),
melaporkan bahwa fiksasi interna pada major fracture dengan penundaan lebih dari
24 jam menyebabkan peningkatan 5 kali terjadinya komplikasi ARDS (Adult
Respiratory Response Syndrome). Pada isolated femoral fracture, terjadi 10% fat
embolism syndrome jika tindakan fiksasi dilakukan setelah 10 jam dan 0% jika
dikerjakan sebelum 10 jam (Pinney, 1998). Fakta ini disebabkan oleh terjadinya
aktivasi innate immunity (Heitbrink, 2006). Namun, sampai saat ini perbedaan
inflamasi lokal pada saat fiksasi interna dan respons inflamasi sistemik akibat
tindakan fiksasi interna dini dan tertunda pada fraktur belum diketahui. Makrofag
merupakan sel imun utama dijaringan dan pada trauma hebat makrofag sering
mengalami gangguan respons imun berupa gangguan imunita seluler (Franke,2006).
Demikian juga kerusakan jaringan karena pembedahan akan memicu makrofag yang
telah teraktivasi sebelumnya untuk mengekspresikan mediator inflamasi sehingga
mempengaruhi respons inflamasi baik lokal maupun sistemik. Untuk mengurangi
komplikasi pascafiksasi interna, jenis tindakan (cara fiksasi) dan timing (waktu kapan
tindakan dilakukan) dapat dipertimbangkan sebagai cara pencegahan (Astawa, P.;
Bakta, M.; Budha, K., 2008).
Lipoxins
Senyawa grup lipoxins mulai dikenal sejak awal tahun 80an abad lalu. Penemuan
terakhir menunjukkan, AA dalam proses reaksi biokimia di dalam tubuh, pada
tingkat jaringan sel dan sel, pertama melalui senyawa turunannya seperti yang
disebut sebelumnya (leukotriene, prostaglandins) berfungsi menimbulkan
inflamasi, namun di tengah proses terjadinya inflamasi, AA pun dikonversi
melalui serentetan reaksi biokimia menjadi senyawa lipoxins, yang berfungsi
mencegah terjadinya inflamasi berlarut-larut. Dual fungsi AA kini dikenal, pro
dan juga anti-inflamasi, dengan melalui senyawa turunannya (di bawah akan
banyak digunakan istilah mediator, atau chemical mediator, atau juga disebut
lipid mediator (penggunaan kata lipid, dikarenakan turunan dari asam lemak
tidak jenuh), yang dimaksud adalah senyawa-senyawa turunan berfungsi baik pro
maupun anti-inflamasi).
Inflamasi
Inflamasi, dalam bahasa Indonesia sehari-hari, yaitu radang. Kita sering
mendengar misalnya, radang usus, radang otak, radang paru-paru, peradangan,
bengkak memar dan seterusnya. Penggunaan istilah ini telah dikenal secara
tradisi sejak jaman Yunani dan Tiongkok kuno, ribuan tahun yang lalu. Dari
penemuan-penemuan terakhir, para pakar berpendapat bahwa, sebetulnya
inflamasi (atau radang) bukanlah berupa penyakit itu sendiri. Inflamasi
diperlukan oleh tubuh kita, karena proses reaksi biokimia inflamasi di dalam
tubuh ditujukan melawan invasi bakteri dari luar, zat-zat yang negatif bagi sel-
sel, jaringan sel, serta organ-organ, ataupun bila terjadi luka. Dalam hubungan
ini, jenis sel seperti leukocyte, neutrophil, berperan memusnahkan invasor.
Dapat kita gambarkan fungsinya seperti pasukan keamanan dari sesuatu bahaya
yang menyerang keseimbangan tubuh. Terutama neutrophil, berperan sebagai
patrol keamanan tubuh kita, begitu menemukan sesuatu yang asing ditubuh, serta
merta akan memusnahkannya. Dalam proses inflamasi, chemical mediator (juga
disebut lipd mediator karena berasal dari asam lemak AA, DHA dan EPA)
berupa leukotriene dan prostaglandins, turunan dari AA, memegang peranan
penting. Pada waktu yang bersamaan, proses pemusnahan awal terhadap invasor,
neutrophil mengeluarkan chemical mediator yang mana memberikan sinyal
berikutnya merekrut lebih banyak lagi sel neutrophil dan leukocyte untuk turut
beraksi memusnahkan invasor. Proses pemusnahan ini disebut phagocytosis
(kemampuan memakan, menelan). Dalam proses ini neutrophil mengeluarkan
agent, enzyme (reactive oxygen species, hydrolytic enzymes, dan lain-lain), yang
secara umum juga tidak baik bagi tubuh dan dapat merusak sel, jaringan sel.
Pertahanan tubuh telah menyiapkan mekanisme sedemikian rupa, pada tahap
tertentu, aksi selanjutnya dari neutrophil harus dicegah. Pencegahan tersebut
terjadi di mana biosintesa chemical mediator yang pro-inflamasi, leukotrine,
distop, dan beralih ke biosintesa chemical mediator anti-inflamasi jenis lipoxins.
Peralihan atau switch biosintesa dari mediator pro-inflamasi ke anti-
inflamasi
Munculnya prostaglandins dari sel neutrophil juga mengisyaratkan secara
terprogram, nasib biosintesa mediator ini (semacam feedback) sendiri akan
berakhir, dengan meregulasi (down regulation) enzyme 15-LO yang terdapat di
dalam sel neutrophil, kemudian biosintesa beralih ke mediator yang lain, yang
anti-inflamasi. Namun hal lain yang sangat menentukan peralihan ini adalah
kemampuan enzyme 5-LO (5-Lipoxigenase. Penemuan enzyme ini dan satu lagi,
COX, Cyclooxygenase, yang membawa Samuelsson B. dan Bergstrom S.
mendapatkan penghargaan Nobel tahun 1982) mengkonversi secara reaksi
enzymatic dari AA menjadi leukotriene (LTB4), lalu beralih pada tahap
berikutnya ke lipoxins. Dalam hubungan ini exzyme 5-LO juga substrate
dependent (tergantung dari kondisi mikro setempat), di mana enzyme tersebut,
satu dari sekian step proses biosintesa, dapat menggunakan dan mengkonversi
DHA, EPA menjadi grup senyawa resolvins.
Pada tingkat sel, munculnya neutrophil dan terbentuknya nanah (pustule, lihat
gambar bawah) mengisyaratkan peralihan dari mediator pro- ke anti-inflamasi, dan
pembatasan atau pencegahan pengrekrutan neutrophil berikutnya dari pembulu darah
ke lokasi kejadian. Mediator anti-inflamasi, lipoxins, resolvins, dan protectins
memobilisasi sel macrophage (monocyte) yang dapat memakan sel neutrophil, serta
membersihkan Histologi leukosit (Tan, T J, 2008).
Leukosit adalah sel darah Yang mengendung inti, disebut juga sel darah
putih. Didalam darah manusia, normal didapati jumlah leukosit rata-rata 5000-900
sel/mm3, bila jumlahnya lebih dari 12000, keadaan ini disebut leukositosis,
bilakurang dari 5000 disebut leukopenia. Dilihat dalam mikroskop cahaya maka sel
darah putih mempunyai granula spesifik (granulosit), yang dalam keadaan hidup
berupa tetesan setengah cair, dalam sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti yang
bervariasi, Yang tidak mempunyai granula, sitoplasmanya homogen dengan inti
bentuk bulat atau bentuk ginjal. Terdapat dua jenis leukosit agranuler : linfosit sel
kecil, sitoplasma sedikit; monosit sel agak besar mengandung sitoplasma lebih
banyak. Granula. Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humora
organisme terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan
melalui proses diapedesis lekosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos
antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung Jumlah leukosit
per mikroliter darah, pada orang dewasa normal adalah 4000-11000, waktu lahir
15000-25000, dan menjelang hari ke empat turun sampai 12000, pada usia 4 tahun
sesuai jumlah normal. Variasi kuantitatif dalam sel-sel darah putih tergantung pada
usia. waktu lahir, 4 tahun dan pada usia 14 -15 tahun persentase khas dewasa
tercapai. Bila memeriksa variasi Fisiologi dan Patologi sel-sel darah tidak hanya
persentase tetapi juga jumlah absolut masing-masing jenis per unit volume darah
harus diambil (Dr. Zukesti Effendi, 2007).
V. Metode Percobaan
5.1 Alat dan Bahan
5.1.1 Alat
- Timbangan hewan
- Alat suntik 1ml
- Oral sonde
- Stopwatch
- Vial
- Kaca pengamatan
- Spidol permanent
- Plestimometer
5.1.2 Bahan
- Tikus putih
- Suspensi Na-Diklofenat 0,1%
- Karagenan 1%
- Suspensi kosong 1 %
5.2. Prosedur Percobaan
- Tikus ditimbang
- Diberi tanda pada sendi kaki belakang sebelah kiri
- Diukur Vo
- Diberi perlakuan sebagai berikut:
Kontrol : suspensi kosong 1% BB (oral)
Na Diklofenat 2% 15 mg/ kg BB (oral)
Na Diklofenat 2% 20 mg/ kg BB (oral)
Deksametason 0,1 mg/ kg BB (oral)
Deksametason 0,3 mg/ kg BB (oral)
- Setelah 30 menit diberikan 0,1ml karagenan 1 % pada telapak kaki kiri
- Setelah 30 menit volume kaki kiri dikukur dengan alat plestimometer selang
waktu 30 menit selama 2jam
- Hitung % R dan % IR
- Buat grafik % R vs waktu dan % IR vs waktu
5.3 Flow Sheet
ditimbang
diberi tanda pada sendi kaki belakang sebelah kiri
diukur Vo
dihitung dosis untuk suspensi kosong 1% BB
diberikan suspensi kosong sebanyak 2,4 ml secara oral
setelah 30 menit diberikan 0,1 ml karagenan 1% pada telapak kaki
kiri
volume kaki kiri diukur dengan alat pletismometer selang waktu 30
menit selama 2 jam
dihitung % R dan % IR
dibuat grafik % R vs waktu dan % IR vs waktu
ditimbang
diberi tanda pada sendi kaki belakang sebelah kiri
diukur Vo
dihitung dosis untuk Na Diklofenat 2% dosis 15 mg/ kg BB
diberikan indometasin sebanyak 0,23 ml secara oral
setelah 30 menit diberikan 0,1 ml karagenan 1% pada telapak kaki
kiri
setelah 30 menit volume kaki kiri dikukur dengan alat
plestimometer selang waktu 30 menit selama 2 jam
dihitung % R dan % IR
dibuat grafik % R vs waktu dan % IR vs waktu
Tikus I
Hasil
Tikus II
Hasil
ditimbang
diberi tanda pada sendi kaki belakang sebelah kiri
diukur Vo
dihitung dosis untuk Na Diklofenat 2% dosis 20 mg/ kg BB
diberikan indometasin sebanyak 0,1995 ml secara oral
setelah 30 menit diberikan 0,1 ml karagenan 1% pada telapak kaki
kiri
setelah 30 menit volume kaki kiri dikukur dengan alat
plestimometer selang waktu 30 menit selama 2 jam
dihitung % R dan % IR
dibuat grafik % R vs waktu dan % IR vs waktu
ditimbang
diberi tanda pada sendi kaki belakang sebelah kiri
diukur Vo
dihitung dosis untuk Deksametason 0,01% dosis 0,1 mg/ kg BB
diberikan Deksametason sebanyak 0,272 ml secara oral
setelah 30 menit diberikan 0,1 ml karagenan 1% pada telapak kaki
kiri
setelah 30 menit volume kaki kiri dikukur dengan alat
plestimometer selang waktu 30 menit selama 2 jam
dihitung % R dan % IR
dibuat grafik % R vs waktu dan % IR vs waktu
Tikus III
Hasil
Tikus IV
Hasil
ditimbang
diberi tanda pada sendi kaki belakang sebelah kiri
diukur Vo
dihitung dosis untuk Deksametason 0,01% dosis 0,3 mg/ kg BB
diberikan Deksametason sebanyak 0,456 ml secara oral
setelah 30 menit diberikan 0,1 ml karagenan 1% pada telapak kaki
kiri
setelah 30 menit volume kaki kiri dikukur dengan alat
plestimometer selang waktu 30 menit selama 2 jam
dihitung % R dan % IR
dibuat grafik % R vs waktu dan % IR vs waktu
Tikus V
Hasil
VI. PERHITUNGAN, DATA, GRAFIK DAN PEMBAHASAN
6.1 Perhitungan
6.1.1 Perhitungan Dosis
* Tikus I
Berat tikus : 240 gram
Dosis : 1% BB
Jumlah larutan obat yang diberikan = 1% X 240 = 2,4 ml
* Tikus II
Berat tikus : 307 gram
Koinsentrasi obat : 2%
Dosis : 15 mg/Kg BB
Jumlah obat yang diberikan =
15 mg /kgBB1000
X 307 gram = 4,605 mg
Konsentrasi obat dalam 2 % =
2100
X 1000 = 20 mg/ml
Jumlah larutan obat =
4 ,605mg20mg /ml = 0,23 ml
* Tikus III
Berat kelinci : 199,5 gram
Konsentrasi obat : 2 %
Dosis : 20 mg/Kg BB
Jumlah obat yang diberikan =
20 mg /kgBB1000
X 199 ,5 gram = 3,99 mg
Konsentrasi obat dalam 2 % =
2100
X 1000 = 20 mg/ml
Jumlah larutan obat =
3 ,99mg20mg /ml = 0,1995 ml
* Tikus IV
Berat tikus : 147,9 gram
Konsentrasi obat : 0,01 %
Dosis : 0,1 mg/Kg BB
Jumlah obat yang diberikan =
0,1 mg /kgBB1000
X 272 gram = 0,0272mg
Konsentrasi obat dalam 0,01 % =
0 ,01100
X 1000 = 0,1 mg/ml
Jumlah larutan obat =
0 ,0272mg0,1mg /ml = 0,272 ml
* Tikus V
Berat tikus : 152 gram
Konsentrasi obat : 0,01 %
Dosis : 0,3 mg/Kg BB
Jumlah obat yang diberikan =
0,3 mg /kgBB1000
X 152 gram = 0,0456mg
Konsentrasi obat dalam 0,01 % =
0 ,01100
X 1000 = 0,1 mg/ml
Jumlah larutan obat =
0 ,0456mg0,1 mg /ml = 0,456 ml
6.1.2 Perhitungan Radang (Terlampir)
% Radang = (Volume Kelompok Kontrol – Volume Kelompok Obat) x 100%
Volume Kelompok Kontrol
% Inhibisi Radang = (% Radang Kontrol - % Radang Obat) x 100%
% Radang Kontrol
Tikus I (tikus kontrol, yang disuntikkan suspensi kosong)
Vo = 0,02 ml
% IR = 0
* untuk T = 0,5 jam
Vt = 0,04 maka % R = x 100 % = x 100 % = 100 %
* untuk T = 1 jam
Vt = 0,04 maka % R = x 100 % = x 100 % = 100 %
* untuk T = 1,5 jam
Vt = 0,04 maka % R = x 100 % = x 100 % = 100 %
* untuk T = 2 jam
Vt = 0,04 maka % R = x 100 % = x 100 % = 100 %
Tikus II (tikus yang diberi Na Diklofenat [ ] 2 % dosis 15 mg/kgBB)
Vo = 0,04
* untuk T = 0,5 jam
Vt = 0,04 maka % R = x 100 % = x 100 % = 0 %
% IR = x 100 % = 100%
* untuk T = 1 jam
Vt = 0,05 maka % R = x 100 % = x 100 % = 25 %
% IR = x 100 % = 75%
* untuk T = 1,5 jam
Vt = 0,04 maka % R = x 100 % = x 100 % = 0 %
% IR = x 100 % = 100%
* untuk T = 2 jam
Vt = 0,04 maka % R = x 100 % = x 100 % = 0 %
% IR = x 100 % = 100 %
0,04-0,02 0,02
0,02 0,02
100 – 0 100
0,04-0,02 0,02
0,02 0,02
0,04-0,02 0,02
0,02 0,02
0,04-0,02 0,02
0,02 0,02
0,04-0,04 0,04
0 0,04
0,05-0,04 0,04
0,01 0,04
0,04-0,04 0,04
0 0,04
0,04-0,04
0,04
0
0,04
100 – 25 100
100-0 100
100 – 0 100
Tikus III (tikus yang diberi indometasin [] 0,1 % dosis 20 mg/kgBB)
Vo = 0,012
* untuk T = 0,5 jam
Vt = 0,012 maka % R = x 100 % = x 100 % = 0 %
% IR = x 100 % = 100%
* untuk T = 1 jam
Vt = 0,014 maka % R = x 100 % = x 100 % = 16,67 %
% IR = x 100 % = 49,98 %
* untuk T = 1,5 jam
Vt = 0,008 maka % R = x 100 % = x 100 % = 33,33 %
% IR = x 100 % = ∞
* untuk T = 2 jam
Vt = 0,015 maka % R = x 100 % = x 100 % = 25 %
% IR = x 100 % = ∞
* untuk T = 2,5 jam
Vt = 0,014 maka % R = x 100 % = x 100 % = 16,67 %
% IR = x 100 % = 66,67 %
* untuk T = 3 jam
Vt = 0,008 maka % R = x 100 % = x 100 % = 33,33 %
% IR = x 100 % = 50 %
33,33 – 0 33,33
0,012-0,012 0,012
0 0,012
0,014-0,012 0,012
0,002 0,012
0,008-0,012 0,012
0,004 0,012
0,015-0,012
0,012
0,003
0,012
0,008-0,012 0,012
0,004 0,012
33,33 – 16,67 33,33
0 – 33,33 0
0 – 25 0
0,014-0,012
0,012
0,002
0,012
50 – 16,67 50
66,67 – 33,33 66,67
6.3 Grafik Percobaan
Grafik %Radang vs Waktu
0
20
40
60
80
100
0 30 60 90 120 150 180 210 240
Waktu (Menit)
%R
adan
g (%
)
Tikus I (Kontrol) Tikus II
Tikus III Tikus IV
Tikus V
Grafik %Inhibisi Radang vs Waktu
0
20
40
60
80
100
120
0 30 60 90 120 150 180 210 240
Waktu (menit)
%In
hib
isi R
adan
g (%
)
Tikus II Tikus III Tikus IV Tikus V
Tikus I: Pemberian Suspensi Kosong 0,5%Tikus II: Pemberian Na Diklofenak 15mg/kgBBTikus III: Pemberian Na Diklofenak 20mg/kgBB]Tikus IV: Pemberian Na Diklofenak 25mg/kgBBTikus V: PEmberian Na Diklofenak 30mg/kgBB
6.4. Pembahasan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan diperoleh bahwa pada tikus
kontrol yang diberi suspensi kosong dosis 1 % BB, setelah pemberian karagenan
mengalami radang. Hal ini dapat dilihat dengan pertambahan volume kaki belakang
sebelah kiri dari tikus yang diukur dengan alat plestimometer. Terjadinya radang
disebabkan karena karagenan merupakan suatu zat asing (antigen) yang bila masuk
ke dalam tubuh akan merangsang pelepasan mediator radang seperti histamin
sehingga menimbulkan radang akibat antibodi tubuh bereaksi terhadap antigen
tersebut untuk melawan pengaruhnya. Sedangkan pada tikus 2 yang diberikan
suspensi indometasin [ ] 0,1 % dosis 15 mg/kg BB setelah pemberian karagenan
memberikan % radang, tetapi masih lebih kecil daripada tikus kontrol yang diberi
suspensi kosong dosis 1 % BB. Menurut teori, tikus 2 yang diberikan suspensi
indometasin dapat memberikan % radang yang kecil atau bahkan tidak ada karena
indometasin merupakan obat AINS yang lebih efektif menanggulangi peradangan
daripada aspirin atau AINS laninya dan bekerja dengan menghambat siklooksigenase
secara reversibel.(Mycek, M.J., 2001)
Pada grafik % IR (inhibisi radang) vs waktu dapat dilihat bahwa pada tikus 2
yang diberikan suspensi indometasin [ ] 0,1 % dosis 15 mg/kg BB secara oral
memberikan % inhibisi radang yang lebih besar daripada tikus 3 yang diberikan
suspensi indometasin [ ] 0,1 % dosis 20 mg/kg BB. Seharusnya, semakin besar dosis
indometasin yang diberikan, maka % inhibisi radang pada tikus juga makin besar.
Hal ini dapat disebabkan karena keragaman respons penderita/ hewan percobaan
terhadap obat terutama disebabkan oleh adanya perbedaan individual yang besar
dalam faktor-faktor farmakokinetik; kecepatan biotransformasi obat menunjukkan
variasi yang terbesar. Variasi dalam berbagai faktor farmakokinetik dan
farmakodinamik ini berasal dari perbedaan individual dalam kondisi fisiologik,
kondisi patologik, faktor genetik, interaksi obat, dan toleransi.
(Setiawati, A., dan Muchtar, A., 1987)
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
- Efek yang ditimbulkan akibat pemberian karagenan pada hewan percobaan
adalah terjadinya udem, yang terlihat dari bertambahnya volume kaki tikus
setelah diukur dengan alat pletismometer.
- Mekanisme karagenan dalam menimbulkan inflamasi adalah dengan
merangsang lisisnya sel mast dan melepaskan mediator-mediator radang yang
dapat mengakibatkan vasodilatasi sehingga menimbulkan eksudasi dinding
kapiler dan migrasi fagosit ke daerah radang sehingga terjadi pembengkakan
pada daerah tersebut.
- Efek antiinflamasi dari pemberian NA Diklofenak adalah mengurangi udem
pada kaki tikus akibat pemberian karagenan.
- Inflamasi terjadi karena reaksi antara antigen dengan antibodi yang dapat
merangsang pelepasan mediator radang sehingga terjadi vasodilatasi
pembuluh kapiler dan migrasi fagosit ke daerah radang, yang mengakibatkan
hiperemia dan udem pada daerah terjadinya inflamasi.
7.2 Saran
- Sebaiknya diberikan juga obat antiinflamasi golongan nonsteroid yang lain
seperti diflusinal, piroksikam, ibuprofen sehingga dapat dibandingkan efek
antiinflamasinya dengan Na Diklofenak.
- Sebaiknya digunakan juga obat antiinflamasi golongan steroid agar dapat
dibandingkan efek antiinflamasinya dengan obat-obat AINS.
DAFTAR PUSTAKA
Astawa, P.; Bakta, M.; Budha, K. (2008). Makrofag Pengekspresi IL-1β serta
Respons Inflamasi Sistemik pada Fiksasi Interna Dini Fraktur Femur
Tertutup Lebih Rendah Dibandingkan dengan yang Tertunda.
http://www.unud.ac.id/files/cdk/files/022_13TerapiObatCimetidine.pdf/022_13
Effendi, Z., dr. (2007). Peranan Leukosit sebagai Antiinflamasi Alergik dalam
Tubuh.
http://www.digilib.usu.ac.id/files/cdk/files/022_13jurnalinflamasi.pdf/022_13.html
Munaf ST; Syamsul. (1994). Catatan Kuliah Farmakologi Bagian II. Staf Pengajar
Laboratorium Farmakologi-FK UNSRI. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Hal 214.
Mycek,M.J. (1995). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2. Jakarta: Widya
Medika. Hal 404.
Neal, M.J. (2006). Farmakologi Medis At Glance. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit PT
Erlangga. Hal 70-71.
Tan, T.,J. (2008). Mujizat omega-3 terhadap kesehatan (III).http://digilib.litbang.depkes.go.id/ go . php ? id = jkpkbppk – gdl – grey – 2008 -
sa2382173broni -1662 -.
Tjay, T.H. (2002). Obat-Obat Penting. Edisi V. Cetakan II. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia. Hal 308.
Wilmana, P.F. (1995). Analgesik-Antipiretik Analgesik Anti-Inflamasi Nonsteroid
Dan Obat Pirai, dalam Farmakologi dan Terapi. Editor Sulistia G.
Ganiswara. Edisi IV. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UI.
Hal 207-209.
Lampiran Gambar
Tikus
Stopwatch Spuit
Timbangan Elektrik vial Kotak Pengamatan
Spidol Permanen Pletismometer Oral Sonde