antibiotika

31
1 I. Definisi dan Epidemiologi Resistensi Antibiotika serta Nama Program 1.1 Antibiotika dan Resistensi Antibiotika pertama kali ditemukan oleh Paul Ehlrich pada tahun1910, samp saat ini antibiotik masih menjadi obat andalan dalam penanganan kasus-kas penyakit infeksi. Pemakaiannya selama dekade terakhir mengalami peningk yang luar biasa, hal ini tidak hanya terjadi di !ndonesia tetap masalah di negara maju seperti Amerika "erikat. #he $enter for %isease $o and Pre&ention in '"A menyebutkan terdapat 0 juta peresepan antibiotik y tidak diperlukan (unnescecery prescribing ) dari 10 juta peresepan setiap tahun (Akalin,*00*). +enurut +enteri esehatan Endang ahayu "edyaningsih, seki 9* masyarakat di !ndonesia tidak menggunakan antibiotika secara tepat. digunakansecaratepat, antibiotik memberikan manfaat yang tidakperlu diragukan lagi. /amun bila dipakai atau diresepkan secara tidak tepat (ir prescribing ) dapat menimbulkan kerugian yang luas dari segi kesehatan, ekono bahkan untuk generasi mendatang. +unculnya kuman-kuman patogen yang kebal terhadap satu (antimicrobacterial resistance) atau beberapa jenis antibiotika tertentu drug resistance) sangat menyulitkan proses pengobatan. Pemakaian antibio lini pertama yang sudah tidak bermanfaat harus diganti dengan obat-obatan kedua atau bahkan lini ketiga. al ini jelas akan merugikan pas antibiotika lini kedua maupun lini ketiga masih sangatmahal harganya. "ayangnya, tidak tertutup kemungkinan juga terjadi kekebalan kuman terhad antibiotika lini kedua dan ketiga. %isisi lain, banyak penyakit merebak karena pengaruh komunitas, baik berupa epidemi yang berdiri sendi masyarakat (independent epidemic) maupun sebagai sumber utama penularan d rumah sakit (nosocomial infection). Apabila resistensi terhadap pengobata berlanjut tersebar luas, dunia yang sangat telah maju dan canggih ini aka ke masa-masa kegelapan kedokteran seperti sebelum ditemukannya antibiotik (AP'A, *011).

Upload: apriamalia

Post on 03-Nov-2015

21 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

resistensi AB

TRANSCRIPT

31

I. Definisi dan Epidemiologi Resistensi Antibiotika serta Nama Program1.1 Antibiotika dan ResistensiAntibiotika pertama kali ditemukan oleh Paul Ehlrich pada tahun1910, sampai saat ini antibiotik masih menjadi obat andalan dalam penanganan kasus-kasus penyakit infeksi. Pemakaiannya selama 5 dekade terakhir mengalami peningkatan yang luar biasa, hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga menjadi masalah di negara maju seperti Amerika Serikat. The Center for Disease Control and Prevention in USA menyebutkan terdapat 50 juta peresepan antibiotik yang tidak diperlukan (unnescecery prescribing) dari 150 juta peresepan setiap tahun (Akalin,2002). Menurut Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, sekitar 92% masyarakat di Indonesia tidak menggunakan antibiotika secara tepat. Ketika digunakan secara tepat, antibiotik memberikan manfaat yang tidak perlu diragukan lagi. Namun bila dipakai atau diresepkan secara tidak tepat (irrational prescribing) dapat menimbulkan kerugian yang luas dari segi kesehatan, ekonomi bahkan untuk generasi mendatang.Munculnya kuman-kuman patogen yang kebal terhadap satu (antimicrobacterial resistance) atau beberapa jenis antibiotika tertentu (multiple drug resistance) sangat menyulitkan proses pengobatan. Pemakaian antibiotika lini pertama yang sudah tidak bermanfaat harus diganti dengan obat-obatan lini kedua atau bahkan lini ketiga. Hal ini jelas akan merugikan pasien, karena antibiotika lini kedua maupun lini ketiga masih sangat mahal harganya. Sayangnya, tidak tertutup kemungkinan juga terjadi kekebalan kuman terhadap antibiotika lini kedua dan ketiga. Disisi lain, banyak penyakit infeksi yang merebak karena pengaruh komunitas, baik berupa epidemi yang berdiri sendiri di masyarakat (independent epidemic) maupun sebagai sumber utama penularan di rumah sakit (nosocomial infection). Apabila resistensi terhadap pengobatan terus berlanjut tersebar luas, dunia yang sangat telah maju dan canggih ini akan kembali ke masa-masa kegelapan kedokteran seperti sebelum ditemukannya antibiotika (APUA, 2011).Hal-hal diatas telah menjadi permasalahan kesehatan di seluruh dunia. Hingga akhirnya pada peringatan Hari Kesehatan Internasional tahun 2011, WHO menetapkan tema Antimicrobacterial Resistance and its Global Spread. Sejalan dengan tema WHO, Indonesia mengangkat tema Gunakan Antibiotik Secara Tepat untuk Mencegah Kekebalan Kuman. Resistensi kuman terhadap antibiotika berkembang jauh lebih cepat daripada penelitian dan penemuan antibiotika baru. Saat ini sedang digalakkan kampanye dan sosialisasi pengobatan secara rasional yang meliputi pengobatan tepat, dosis tepat, lama penggunaan yang tepat serta biaya yang tepat. No action today, no cure tomorrow.Antimikroba adalah obat yang digunakan untuk memberantas infeksi mikroba pada manusia. Sedang antibiotika adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme (khususnya dihasilkan oleh fungi) atau dihasilkan secara sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan bakteri dan organisme lain (Munaf, 1994). Secara garis besar antimikroba dibagi menjadi dua jenis yaitu yang membunuh kuman (bakterisid) dan yang hanya menghambat pertumbuhan kuman (bakteriostatik). Antibiotik yang termasuk golongan bakterisid antara lain penisilin, sefalosporin, aminoglikosida (dosis besar), kotrimoksazol, rifampisin, isoniazid dan lain-lain. Sedangkan antibiotik yang memiliki sifat bakteriostatik, dimana penggunaanya tergantung status imunologi pasien, antara lain sulfonamida, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, trimetropim, linkomisin, klindamisin, asam paraaminosalisilat, dan lain-lain (Laurence & Bennet,1987).Pembagian bakteriostatik dan bakterisid ini tidak absolut, tergantung dari konsentrasi obat, spesies bakteri dan fase perkembangannya. Manfaat dari pembagian ini berguna dalam hal pemilihan antibiotika, pada pasien dengan status imunologi yang rendah (imunosuppressed) misalnya penderita HIV-AIDS, pada pasien pembawa kuman (carrier), pada pasien dengan kondisi sangat lemah (debilitated) misalnya pada pasien-pasien end-stage, maka harus dipilih antibiotika bakterisid. Terdapat pembagian lain dalam klasifikasi antibiotika, yaitu berdasar cara kerja maupun spektrum kerjanya. Penggunaan pembagian ini secara klinis masih kurang bermanfaat. Dalam prakteknya, klasifikasi yang paling sering dipakai klinisi adalah berdasar susunan senyawa kimia. Lebih sering dipakai karena sifatnya yang praktis, nama obat yang dipakai langsung terkait dengan golongan senyawa kimia masing-masing. Antibiotika yang dibagi berdasar senyawa kimianya antara lain golongan penicillin, cephalosporin, amfenikol, aminoglikosida, tetrasiklin, makrolida, linkosamid, polipeptida, dan antimikobakterium (Kucers, Use of Antibiotic).Di samping antibiotika yang telah disebutkan di atas, akhir-akhir ini juga mulai diperkenalkan jenis-jenis baru dari golongan beta laktam misalnya kelompok monosiklik beta laktam yakni aztreonam, yang terutama aktif terhadap kuman Gram negatif, termasuk Pseudomonas. Juga antibiotika karbapenem (misalnya imipenem) yang dikatakan tahan terhadap penisilinase dan aktif terhadap kuman-kuman Gram positif dan Gram negatif. Antibiotika dapat ditemukan dalam berbagai sediaan, dan penggunaanya dapat melalui jalur topical, oral, maupun intravena. Banyaknya jenis pembagian, klasifikasi, pola kepekaan kuman, dan penemuan antibiotika baru seringkali menyulitkan klinisi dalam menentukan pilihan antibiotika yang tepat ketika menangani suatu kasus penyakit. Hal ini juga merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya resistensi.Tidak mengherankan jika bakteri dapat dengan mudah beradaptasi dengan paparan antibiotika, mengingat keberadaan dan perkembanganya telah dimulai sejak kurang lebih 3,8 milyar tahun yang lalu. Resistensi pasti diawali adanya paparan antibiotika, dan meskipun hanya ada satu atau dua bakteri yang mampu bertahan hidup, mereka punya peluang untuk menciptakan satu galur baru yang resisten. Sayangnya, satu galur baru yang resisten ini bisa menyebar dari satu orang ke orang lain, memperbesar potensinya dalam proporsi epidemik. Penyebaran ini dipermudah oleh lemahnya control infeksi dan penggunaan antibiotika yang luas (Peterson, 2005).Resistensi didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri dengan pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis normal yang seharusnya atau kadar hambat minimalnya. Sedangkan multiple drugs resistance didefinisikan sebagai resistensi terhadap dua atau lebih obat maupun klasifikasi obat. Sedangkan cross resistance adalah resistensi suatu obat yang diikuti dengan obat lain yang belum pernah dipaparkan (Tripathi, 2003). Resistensi terjadi ketika bakteri berubah dalam satu atau lain hal yang menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia atau bahan lainnya yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi. Bakteri yang mampu bertahan hidup dan berkembang biak, menimbulkan lebih banyak bahaya. Kepekaan bakteri terhadap kuman ditentukan oleh kadar hambat minimal yang dapat menghentikan perkembangan bakteri (Bari, 2008).

1.2 Program Depkes RI untuk Resistensi Antibiotika di IndonesiaDi seluruh dunia telah diupayakan berbagai cara untuk menanggulangi terjadinya peningkatan resistensi antimikroba, baik oleh perorangan, institusi, negara, maupun kerjasama antar institusi atau negara. Beberapa rekomendasi berupa metode yang telah divalidasi (validated method) untuk mengendalikan resistensi antimikroba secara efisien dan baku di RS, adalah dengan cara: melaksanakan surveilans resistensi antimikroba; melaksanakan surveilans penggunaan antibiotik; melaksanakan surveilans infeksi nosokomial; mengkaji kualitas penggunaan antibiotik; mengkaji kualitas pengendalian infeksi; meningkatkan kualitas penggunaan antibiotik; meningkatkan kualitas pengendalian infeksi.Tujuan program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) yaitu peningkatan mutu layanan rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya melalui PPI yang meliputi: Manajemen risiko, Clinical governance, dan K3; melindungi nakes dan masyarakat dari penularan penyakit menular (Emerging Infectious Diseases) dan menurunkan angka penularan HAIs (Hospital Acquired Infections). Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) merupakan gerakan pengendalian resistensi antimikroba secara terpadu dan paripurna di unit pelayanan kesehatan. Implementasi PPRA di rumah sakit akan berjalan dengan baik apabila mendapat dukungan penuh dari Pimpinan Rumah Sakit yaitu ditetapkan kebijakan PPRA di rumah sakit, program dan kegiatan PPRA, fasilitas dan sarana untuk menunjang PPRA, serta dukungan finansial. Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (Antibiotik) tersebut juga merupakan masalah yang terkait dengan isu Keselamatan Pasien di RS. Peningkatan resistensi antimikroba terjadi karena proses seleksi (selection) dan penyebaran (spread). Proses seleksi dapat dicegah dengan cara meningkatkan penggunaan antimikroba secara bijaksana (prudent use), sedangkan proses penyebaran dapat dicegah dengan cara meningkatkan pencegahan infeksi secara benar.

II. Definisi dan Gejala Klinis Resistensi AntibiotikaPenggunaan antibiotik yang tidak tepat bisa menyebabkan resistensi. Jika tidak dikendalikan, akan menjadi pandemi resistensi antibiotik. Guru Besar Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), Iwan Dwi Prahasto mengatakan, resistensi lebih cepat dibandingkan kecepatan pengembangan antibiotik yang akan menjadikan pandemi. Sejak tahun 2007, tidak ada satu jenis antibiotik pun yang dikembangkan. Pada tahun 2000 hingga 2007 hanya didapatkan dua jenis antibiotik. Sayangnya, antibiotik ini tidak mengganti antibiotik yang sudah ada sebelumnya.Iwan mengatakan, jika antibiotik yang lain sudah resisten, pengganti antibiotik ini akan resisten. Pengembangan antibiotik lambat karena penelitian ini dianggap tidak menarik. Para peneliti lebih memilih mengembangkan obat kardiovaskuler yang dapat dijual dengan harga sangat tinggi. Sedang antibiotik kebanyakan hanya bisa digunakan untuk penyakit infeksi yang sebagian besar terjadi di negara-negara berkembang dan miskin. Hingga harga obat ini tidak akan mahal. Dia menambahkan, sekitar 40-62% antibiotik untuk penyakit yang sebenarnya tidak membutuhkan antibiotik. Berdasarkan data di negara berkembang menunjukkan 40 persen anak-anak dengan diare akut mendapatkan oralit dan antibiotik. Padahal, untuk kasus ini antibiotik semestinya tidak perlu diberikan.Menurut hasil penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-Study) terbukti dari 2.494 individu di masyarakat, sebanyak 43% bakteriE coliresisten terhadap berbagai jenis antibiotika seperti ampisilin (34%). Hasil penelitian 781 pasien yang dirawat di rumah sakit didapatkan 81% E coliresisten terhadap berbagai jenis antibiotik seperti ampisilin (73%). "Untuk itu masyarakat diharapkan menggunakan antibiotik secara tepat." Bahkan, sekitar 47-68% antibiotik dicampur dengan obat lain dalam bentuk puyer. Kondisi ini, masih ditemukan pada pelayanan kesehatan primer seperti Puskesmas, dokter praktik swasta dan klinik.Tidak semua spesies mikroba/bakteri dapat menimbulkan penyakit akibat resistensi antibiotika. Spesies mikroba/bakteri yang berdampak buruk pada kesehatan manusia dan dapat menimbulkan penyakit akibat resistensi antibiotika, yaitu: (1) Kuman Gram-positive (Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, Mycobacterium tuberculosis complex, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus epidermidis, Enterococcus faecalis, Enterococcus faecium, Streptococcus agalactiae, (2) kuman Gram-negative (Escherichia coli, Campylobacter jejuni, Neisseria gonorrhoeae, Pseudomonas aeruginosa, Haemophylus influenzae, Helicobacter pylori dan spesies lain dari Enterobacteriaceae seperti Klebsiella, Enterobacter, Salmonella, Shigella, Serratia, Citrobacter. Mekanisme Resistensia. Modifikasi antibiotikInaktivasi enzimSalah satu mekanisme resistensi yang paling umum, terjadi pada saat organisme secara spontan memproduksi enzim yang yang mendegradasi antibiotik. Banyak strain dari Staphylococcus aureus memproduksi enzim ekstraselular, -laktamase, yang membuka cincin -laktam penisilin, sehingga menginaktivasinya. Banyak organisme lain mampu mengekspresikan enzim yang mendegradasi penisilin dan sefalosporin. Di antara organisme tersebut termasuk Escherichia coli, Haemophylus influenzae, dan Pseudomonas spp. Seringkali gen yang mengkode enzim-enzim ini dapat ditemukan pada elemen genetik yang bergrak/mobile (transposon) dan dapat ditransmisikan di antara organisme dari spesies yang berbeda. Penyebaran jenis yang berbeda dari -laktamase dengan spektrum yang diperluas (extended-spectrum -laktamase, ESBL) seperti CTXm dan AmpC di antara Enterobacteriaceae, menghasilkan resistensi penisilin dan sefalosporin berspektrum luas terhadap organisme penyebab infeksi yang didapat di rumah sakit. Penyebaran ke komunitas sangat mungkin terjadi.

Penambahan enzimBakteri dapat mengekspresikan enzim yang dapat menambahkan suatu gugus kimia ke dalam antibiotik, sehingga menghambat aktivitas antibiotik tersebut. Bakteri menjadi resisten terhadap aminoglikosida dengan mengekspresikan enzim yang menginaktivasi antibiotik dengan menambahkan gugus aestil, amino, atau adenosin ke dalam molekul antibiotik. Anggota yang berbeda dari aminoglikosida memiliki kerentanan yang berbeda terhadap modifikasi ini, amikasin merupakan yang paling tidak rentan. Enzim resistensi aminoglikosida dimiliki oleh organisme Gram-positive seperti Staphylococcus aureus, dan organisme Gram-negative, seperti Pseudomonas spp.

b. Impermeabilitas Beberapa bakteri secara alami resisten terhadap antibiotik karena envelope selnya impermeabel terhadap antibiotik tertentu. Organisme Gram-negative terutama Pseudomonas spp., bersifat impermeabel terhadap beberapa antibiotik -laktam. Aminoglikosida memasuki bakteri dengan mekanisme transpor yang bergantung pada oksigen dan karena itu memiliki sedikit efek dalam melawan organisme anaerob.c. Mekanisme efluks Bakteri, contohnya E. coli, dapat menjadi resisten terhadap tetrasiklin dengan adanya protein membran dalam yang secara aktif memompa antibiotik keluar dari sel. Streptococcus dapat menjadi resisten terhadap makrolida dengan menggunakan pompa efluks.

d. Jalur alternatif Mekanisme lain yang sering ditemukan adalah bakteri membuat suatu jalur alternatif untuk menghindari blokade metabolisme akibat antibiotik. Staphylococcus aureus menjadi resisten terhadap metisilin atau flukloksasilin jika mendapat gen mecA. Gen ini mengkode protein pengikat penisilin alternatif (alternative penicillin-binding protein, PBP2) yang tidak dihambat oleh metisilin. Walaupun komposisi dinding selnya berubah, organisme ini masih dapat bermultiplikasi. Perubahan yang serupa dari protein pengikat penisilin pada Streptococcus pneumoniae bertanggung jawab atas resistensi organisme ini.e. Perubahan lokasi targetRifampisin bekerja dengan menghambat subunit dari RNA polimerase. Resistensi terjadi saat gen RNA polimerase mengalami perubahan akibat mutasi titk, insersi, atau delesi. RNA polimerase yang baru tidak dihambat oleh rifampisin sehingga muncul resistensi.

Gambar 2.1 Resistensi antibiotika oleh mutasi genetik akibat perubahan pada:a. kode ikatan protein; b. ribosom; c. struktur membran; d. inaktivasi enzim

III. Distribusi Resistensi Antibiotika Menurut Umur, Jenis Kelamin dan Daerah PenyebaranStaphylococcus aureus merupakan flora normal manusia yang dapat bersifat patogen dan memiliki kemampuan untuk menyebabkan infeksi pada kondisi yang kurang baik. Staphylococcus aureus bersifat komensal di mana-mana dan berkolonisasi di kulit dan mukosa manusia. Walaupun S. aureus dapat berkolonisasi di banyak bagian dari tubuh manusia, bagian depan dari hidung (anterior nares) adalah tempat yang paling berpeluang besar untuk ditemukannya S. aureus (27%). Mekanisme yang paling penting dalam nasal carriage S. aureus bersifat mutifaktorial, salah satunya dipengaruhi oleh faktor demografi (usia, jenis kelamin dan etnis). Pernyataan ini juga didukung oleh fakta bahwa jumlah karier S. aureus bervariasi di antara perbedaan kelompok etnis, dengan nilai yang tinggi pada orang berkulit putih dan pada laki-laki dan juga tergantung pada umur. Berdasarkan NHANES (National Health and Nutrition Examination Survey) 2001-2002 ditemukan prevalensi dari nasal carriage S. aureus di Amerika Serikat sebesar 32,40%. Studi longitudinal menunjukkan bahwa sekitar 20% dari populasi orang dewasa merupakan karier S. aureus yang persisten, 30% merupakan karier intermiten dan 20% merupakan non karier. Anak-anak dan remaja di bawah 20 tahun mempunyai angka karier persisten lebih tinggi dibandingkan dengan orang dewasa. Karier S. aureus yang persisten ditemukan sebanyak 10% pada anak-anak berumur 0-9 tahun dan 24 % anak-anak berumur 10-19 tahun. Di kota Semarang, angka karier pada populasi mahasiswa mencapai 25% (personal communication), dan pada AMRIN study (di Semarang dan Surabaya) mencapai 9,1%.Selain itu, S. aureus telah menunjukkan penyesuaian yang tinggi dan mekanisme resistensi yang berkembang terhadap hampir semua antibiotik yang diperkenalkan dalam beberapa dekade terakhir. S. aureus juga menjadi penyebab utama infeksi di rumah sakit dan komunitas di negara maju dan negara berkembang. Data prevalensi MRSA (Metichillin Resistant Staphylococcus aureus) di Asia Tenggara sangat bervariasi, mulai dari 0% di Laos, 7% di Filipina, 25% di Malaysia, hingga 39% di Singapura.Menurut AMRIN study, dari 361 karier S. aureus, 32,1% resisten terhadap 1 atau lebih antibiotik di mana 21,6% resisten terhadap 1 jenis antibiotik dan sisanya resisten terhadap 2 atau lebih antibiotik. Di dalam komunitas, tingkat resistensi tertinggi adalah terhadap tetracycline (25,1%) sedangkan tingkat resistensi terendah adalah terhadap oxacillin (0%). Penelitian yang dilakukan oleh Manious et al dan Grahams et al, diperoleh hasil bahwa prevalensi MRSA bervariasi menurut usia, jenis kelamin, dan etnis. Dari seluruh individu yang memiliki kolonisasi S. aureus dan merupakan karier MRSA, sebanyak 2,03% berusia 1 64 tahun dan 8,28% berusia 65 tahun. Jika dilihat dari faktor jenis kelamin, diperoleh hasil bahwa sebanyak 4,14% dari karier MRSA adalah perempuan dengan perbandingan prevalensi karier MRSA pada laki-laki hanya 1,33%. Dari segi etnis, didapatkan hasil bahwa 2,70% karier MRSA adalah non Hispanic white, 4,14% non Hispanic black dan 0,79% adalah Hispanic. Dengan demikian, faktor demografi seperti usia, jenis kelamin dan etnis berpengaruh terhadap kejadian kolonisasi dan pola resistensi S. aureus.

IV. Faktor Paparan Penyebab utama resistensi antibiotika adalah penggunaannya yang meluas dan irasional. Lebih dari separuh pasien dalam perawatan rumah sakit menerima antibiotik sebagai pengobatan ataupun profilaksis. Sekitar 80% konsumsi antibiotik dipakai untuk kepentingan manusia dan sedikitnya 40% berdasar indikasi yang kurang tepat, misalnya infeksi virus. Terdapat beberapa faktor yang mendukung terjadinya resistensi, antara lain :1. Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional): terlalu singkat, dalam dosis yang terlalu rendah, diagnose awal yang salah, dalam potensi yang tidak adekuat.2. Faktor yang berhubungan dengan pasien. Pasien dengan pengetahuan yang salah akan cenderung menganggap wajib diberikan antibiotik dalam penanganan penyakit meskipun disebabkan oleh virus, misalnya flu, batuk-pilek, demam yang banyak dijumpai di masyarakat. Pasien dengan kemampuan financial yang baik akan meminta diberikan terapi antibiotik yang paling baru dan mahal meskipun tidak diperlukan. Bahkan pasien membeli antibiotika sendiri tanpa peresepan dari dokter (self medication). Sedangkan pasien dengan kemampuan financial yang rendah seringkali tidak mampu untuk menuntaskan regimen terapi.3. Peresepan: dalam jumlah besar, meningkatkan unnecessary health care expenditure dan seleksi resistensi terhadap obat-obatan baru. Peresepan meningkat ketika diagnose awal belum pasti. Klinisi sering kesulitan dalam menentukan antibiotik yang tepat karena kurangnya pelatihan dalam hal penyakit infeksi dan tatalaksana antibiotiknya.4. Penggunaan monoterapi: dibandingkan dengan penggunaan terapi kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi.5. Perilaku hidup sehat: terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya mencuci tangan setelah memeriksa pasien atau desinfeksi alat-alat yang akan dipakai untuk memeriksa pasien.6. Penggunaan di rumah sakit: adanya infeksi endemic atau epidemic memicu penggunaan antibiotika yang lebih massif pada bangsal-bangsal rawat inap terutama di intensive care unit (ICU). Kombinasi antara pemakaian antibiotic yang lebih intensif dan lebih lama dengan adanya pasien yang sangat peka terhadap infeksi, memudahkan terjadinya infeksi nosokomial.7. Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak: antibiotic juga dipakai untuk mencegah dan mengobati penyakit infeksi pada hewan ternak. Dalam jumlah besar antibiotic digunakan sebagai suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan ternak. Bila dipakai dengan dosis subterapeutik, akan meningkatkan terjadinya resistensi.8. Promosi komersial dan penjualan besar-besaran oleh perusahaan farmasi serta didukung pengaruh globalisasi, memudahkan terjadinya pertukaran barang sehingga jumlah antibiotika yang beredar semakin luas. Hal ini memudahkan akses masyarakat luas terhadap antibiotika.9. Penelitian: kurangnya penelitian yang dilakukan para ahli untuk menemukan antibiotika baru (Bisht et al, 2009).10. Pengawasan: lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi dan pemakaian antibiotika. Misalnya, pasien dapat dengan mudah mendapatkan antibiotika meskipun tanpa peresepan dari dokter. Selain itu juga kurangnya komitmen dari instansi terkait baik untuk meningkatkan mutu obat maupun mengendalikan penyebaran infeksi (Kemenkes RI, 2011).

Konsekuensi Resistensi antibiotik terhadap mikroba menimbulkan beberapa konsekuensi yang fatal. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang gagal berespon terhadap pengobatan mengakibatkan perpanjangan penyakit (prolonged illness), meningkatnya risiko kematian (greater risk of death) dan semakin lamanya masa rawat inap di rumah sakit (length of stay). Ketika respon terhadap pengobatan menjadi lambat bahkan gagal, pasien menjadi infeksius untuk beberapa waktu yang lama (carrier). Hal ini memberikan peluang yang lebih besar bagi galur resisten untuk menyebar kepada orang lain. Kemudahan transportasi dan globalisasi sangat memudahkan penyebaran bakteri resisten antar daerah, negara, bahkan lintas benua. Semua hal tersebut pada akhirnya meningkatkan jumlah orang yang terinfeksi dalam komunitas (Deshpande et al, 2011).Ketika infeksi menjadi resisten terhadap pengobatan antibiotika lini pertama, maka harus digunakan antibiotika lini kedua atau ketiga, yang mana harganya lebih mahal dan kadang kala pemakaiannya lebih toksik. Di negara-negara miskin, dimana antibiotika lini pertama maupun kedua tidak tersedia, menjadikan potensi resistensi terhadap antibiotika lini pertama menjadi lebih besar. Antibiotika di Negara miskin, didapatkan dalam jumlah sangat terbatas, bahkan antibiotika yang seharusnya ada untuk mengatasi penyakit infeksi yang disebabkan bakteri pathogen resisten, tidak terdaftar dalam daftar obat esensial (Bisht et al, 2009).Konsekuensi lainnya adalah dari segi ekonomi baik untuk klinisi, pasien, health care administrator, perusahaan farmasi, dan masyarakat. Biaya kesehatan akan semakin meningkat seiring dengan dibutuhkannya antibiotika baru yang lebih kuat dan tentunya lebih mahal. Sayangnya, tidak semua lapisan masyarakat mampu menjangkau antibiotika generasi baru tersebut. Semakin mahal antibiotik, semakin masyarakat tidak bisa menjangkau, semakin banyak karier di masyarakat, semakin banyak galur baru bakteri yang bermutasi dan menjadi resisten terhadap antibiotika. Sampai sekarang, faktanya sangat sulit membayangkan adanya prosedur yang efektif untuk menangani resistensi ini. Klinisi akan sangat kesulitan menentukan keputusan regimen terapi pada pasien-pasien dengan risiko infeksi tinggi, misalnya pada pasien yang akan menjalani prosedur bedah, transpalntasi, pasien dengan kemoterapi karena kanker, pasien-pasien kritis yang berusia sangat muda atau sangat tua, pasien HIV dalam masa pengobatan, tanpa keberadaaan antibiotika yang ampuh mengatasi masalah resistensi (Bhatia & Narain, 2010).

V. Resistensi Antibiotika sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) di MasyarakatPenyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting, khususnya di negara berkembang. Salah satu obat andalan untuk mengatasi masalah tersebut adalah antimikroba antara lain antibakteri/antibiotik, anti jamur,anti virus,anti protozoa. Antibiotik merupakan obat yang paling banyak digunakan pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Pada penelitian kualitas penggunaan antibiotik di berbagai bagian rumah sakit ditemukan 30% sampai dengan 80% tidak didasarkan pada indikasi (Hadi,2009). Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri terhadap antibiotik. Selain berdampak pada morbiditas dan mortalitas, juga memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi. Pada awalnya resistensi terjadi di tingkat rumah sakit, tetapi lambat laun juga berkembang di lingkungan masyarakat, khususnya Streptococcus pneumoniae (SP), Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli. Beberapa kuman resisten antibiotik sudah banyak ditemukan di seluruh dunia,yaitu Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), Vancomycin-Resistant Enterococci (VRE), Penicillin-Resistant Pneumococci, Klebsiella pneumoniae yang menghasilkan Extended-SpectrumBeta-Lactamase (ESBL),Carbapenem-Resistant Acinetobacter baumannii dan Multiresistant Mycobacterium tuberculosis (Guzman-Blancoetal. 2000; Stevensonetal.2005).Kuman resisten antibiotik tersebut terjadi akibat penggunaan antibiotik yang tidak bijak dan penerapan kewaspadaan standar (standard precaution) yang tidak benar difasilitas pelayanan kesehatan. Hasil penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-Study) terbukti dari 2.494 individu di masyarakat, 43% Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik antara lain: ampisilin (34%), Kotrimoksazol (29%) dan kloramfenikol (25%). Hasil penelitian 781 pasien yang dirawat di rumah sakit didapatkan 81% Escherichia coli Resisten terhadap berbagai jenis antibiotik, yaitu ampisilin (73%), Kotrimoksazol (56%), kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%) dan gentamisin(18%).Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Supriyantoro menuturkan, jumlah dokter spesialis mikrobiologi klinik di daerah sangat terbatas. Padahal, jumlah laboratorium biologi yang mampu melakukan pemeriksaan kultur dan resistensi kuman di Indonesia juga terbatas. Untuk mengatasi kekurangan itu perlu ada pelatihan kompetensi dasar mikrobiologi, terutama bagi dokter di daerah. Jadi, nanti para ahli mikrobiologi perlu menyusun modul panduan pelatihan, kata Supriyantoro saat membuka Simposium Best Practices in Antimicrobial Resistance Mitigation, di Jakarta. Supriyantoro yang hadir mewakili Menteri Kesehatan mengatakan, resistensi antimikroba/antibiotika menjadi topik penting dalam dunia kesehatan. Resistensi yang dipicu oleh mutasi kuman ini bisa menimbulkan infeksi baru, memunculkan kejadian luar biasa pada penyakit menular tertentu, serta menimbulkan resistensi ganda. Kondisi tersebut bisa memicu kematian.Pada tahun 2009, Indonesia menduduki peringkat ke-8 dari 27 negara yang memiliki kasus resistensi multiantibiotika tertinggi di dunia. Resistensi antibiotika bisa muncul karena pemberian antibiotika yang tidak tepat oleh dokter, rendahnya kualitas obat antibiotika, lamanya pemberian antibiotika, minimnya pengetahuan masyarakat dalam memakai antibiotika, dan minimnya sarana untuk mendiagnosis pemicu penyakit. Oleh karena itu, pembekalan bagi dokter serta penguatan laboratorium mikrobiologi klinik akan menjadi fokus pemerintah. Dukungan dari pihak farmasi, apotek, dan pabrik obat sangat diperlukan.Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Ahli Mikrobiologi Klinik Indonesia (PAMKI) Sam Suharto menyatakan, infeksi saat ini muncul dengan variasi yang semakin beragam. Oleh karena itu, kehadiran ahli mikrobiologi mutlak diperlukan di rumah sakit guna menangani infeksi, sekaligus menahan meluasnya resistensi terhadap antibiotika.

VI. Program Surveilans INSTRUMEN EVALUASI PELAKSANAANPROGRAM PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (PPRA)DI RUMAH SAKITA. INPUT

Dalam evaluasi pelaksanaan PPRA terdapat 17 standar yang perlu diperhatikan. Pada Standar 17, melaporkan semua kegiatan PPRA kepada Pimpinan Rumah Sakit. Di bawah ini dapat kita pelajari Standar 1, Parameter.1 (Peran Pimpinan Rumah Sakit Dalam Mendukung PPRA) dan Standar 8, Parameter.1 (Pelayanan Farmasi dalam Pengelolaan dan Penggunaan Antibiotik).

Standar.1,Parameter.1 : Peran Pimpinan Rumah Sakit Dalam Mendukung PPRA

Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) merupakan gerakan pengendalian resistensi antimikroba secara terpadu dan paripurna di unit pelayanan kesehatan. Implementasi PPRA di rumah sakit akan berjalan dengan baik apabila mendapat dukungan penuh dari Pimpinan Rumah Sakit yaitu ditetapkan kebijakan PPRA di rumah sakit, program dan kegiatan PPRA, fasilitas dan sarana untuk menunjang PPRA, serta dukungan finansial.Skor:

0 =Tidak ada kebijakan PPRA di Rumah Sakit

1 =Ada kebijakan PPRA di Rumah Sakit, tidak ada kegiatan

2 =Ada kebijakan PPRA, tidak ada kegiatan

3 = Ada kebijakan dan kegiatan PPRA, tidak tersedia fasilitas dan sarana

4 =Ada kebijakan dan kegiatan PPRA, tersedia fasilitas dan sarana, tidak ada anggaran khusus

5 =Ada kebijakan dan kegiatan PPRA, tersedia fasilitas dan sarana, dan ada anggaran khusus PPRA di rumah sakit.

D.O.:

A.Kebijakan PPRA adalah Penetapan langkah-langkah strategis program pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit yang ditetapkan oleh Pimpinan Rumah Sakit.

B.Kegiatan PPRA adalah Pelaksanaan implementasi PPRA di rumah sakit tertuang dalam program kerja tahunan yang disusun dalam Strategic Action Plan (SAP).

C.Langkah-langkah kegiatan pelaksanaan PPRA, meliputi :1. Membentuk Tim PPRA Rumah Sakit.2. Mempunyai pedoman penggunaan antibiotik di rumah sakit.3. Sosialisasi pedoman penggunaan antibiotik profilaksis dan terapi4. Melakukan pengumpulan data dasar (peta medan mikroba, data resistensi, evaluasi kuantitas dan kualitas penggunaan antibiotik), sebagai pembanding minimal 2-3 bulan secara retrospektif (pilot study)5. Melakukan implementasi pelaksanaan pedoman penggunaan antibiotik6. Melakukan pencatatan dan pengelolaan data serta forum diskusi.7. Menyajikan data studi operasional di SMF masing-masing, selanjutnya dipresentasikan di rapat tinjauan manajemen (seminar, lokakarya, semiloka, workshop)8. Melakukan pembaharuan secara berkala pedoman penggunaan antibiotik berdasarkan peta medan mikroba dan data resistensi terbaru.9. Kembali ke point 3.10. Melakukan monitoring dan evaluasi secara berkesinambungan.

D.Fasilitas/ sarana yang mendukung terselenggaranya PPRA

G.Dukungan finansial berupa alokasi anggaran khusus untuk kegiatan operasional PPRA

C.P.:

*D:Kebijakan rumah sakit, program, kegiatan, fasilitas/ sarana, alokasi anggaran

*O:-

*W:Pimpinan dan staf

Skor:

Keterangan / Catatan:

Standar.8, Parameter.1. Pelayanan Farmasi dalam Pengelolaan dan Penggunaan Antibiotik

Pelayanan Farmasi Klinik merupakan bagian dari Pelayanan Farmasi Paripurna (Comprehensive Pharmaceutical Care) yang diselenggarakan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS), yang berperan dalam pengelolaan dan penggunaan antibiotik meliputi : pemilihan, perencanaan, pengadaan, penyimpanan, penyaluran, peresepan, peracikan, pemberian, penggunaan oleh pasien dan pemantauan.Pelayanan farmasi klinik tidak hanya menjamin ketersediaan antibiotik sesuai Pedoman Penggunaan Antibiotik (PPAB) dan Formularium Rumah Sakit (FRS), tetapi juga berperan dalam memonitor dan mengendalikan penggunaan antibiotik, mengkaji terhadap peresepan antibiotik, dan memberikan informasi tentang antibiotik.

Skor:

0 =Tidak ada peran dan tidak ada kegiatan pengelolaan dan penggunaan antibiotik

1 =Ada peran dan kegiatan pengelolaan dan penggunaan antibiotik no. 1 s/d 3

2 =Ada peran dan kegiatan pengelolaan dan penggunaan antibiotik no. 1 s/d 5

3 = Ada peran dan kegiatan pengelolaan dan penggunaan antibiotik no. 1 s/d 7

4 =Ada peran dan kegiatan pengelolaan dan penggunaan antibiotik no. 1 s/d 9

5 =Ada peran dan kegiatan pengelolaan dan penggunaan antibiotik no. 1 s/d 10

D.O.:

Kegiatan Pengelolaan dan Penggunaan Antibiotik adalah suatu kegiatan pengelolaan dan penggunaan antibiotik yang saling terkait dan dilakukan secara berkesinambungan, dengan tujuan untuk menjamin mutu pelayanan kesehatan yang diberikan kepada penderita, sehingga tercapai pelayanan yang efektif, aman, rasional, bermutu dan biaya terjangkau.Kegiatan Pengelolaan dan Penggunaan Antibiotik terdiri dari :

1. Pemilihan: Pemilihan jenis antibiotik yang digunakan di rumah sakit berdasarkan Pedoman Penggunaan Antibiotik , Formularium Rumah Sakit dan kesepakatan bersama.

2. Perencanaan Pengadaan: Pemilihan jenis dan jumlah antibiotik yang digunakan di rumah sakit, dipilih berdasarkan Pedoman Penggunaan Antibiotik, Formularium Rumah Sakit, disesuaikan dengan data epidemiologi pola penyakit infeksi yang ada, dengan cara melihat data catatan medik dan kesepakatan bersama.

3. Pengadaan: Realisasi perencanaan pengadaan yang telah disepakati, disesuaikan dengan kebutuhan dan anggaran, melalui pembelian, produksi/pembuatan sediaan farmasi, atau sumbangan / dropping / hibah.

4. Penyimpanan: Peyimpanan antibiotik sesuai dengan persyaratan aspek farmasetik yang berlaku baik penyimpanan sediaan jadi maupun setelah rekonstitusi.

5. Penyaluran: Sistem penyaluran antibiotik untuk pelayanan pasien rawat darurat, rawat jalan, rawat inap dan rawat intensif.

6. Peresepan: Dokter menulis permintaan antibiotik di lembar resep dan catatan medik (CM). Farmasis mengkaji peresepan antibiotik dan memberikan informasi jika ditemukan Drug Related Problems (DRPs) baik yang aktual maupun potensial akan terjadi.

7. Peracikan: Peracikan antibiotik untuk penderita rawat inap dilaksanakan dengan sistem Unit Dose Dispensing (UDD). Sediaan yang tidak stabil setelah rekonstitusi dan diperlukan dosis kecil, dapat dilakukan dengan metode sharing use atau repackaging.

8. Pemberian: Pemberian antibiotik kepada pasien rawat inap diberikan oleh perawat ruangan berdasarkan unit dose untuk penggunaan satu hari, selanjutnya pemberian kepada pasien sesuai jam-jam pemberian obat. Setiap pemberian obat dicatat di form. Rekaman Pemberian Antibiotik (RPA) atau di form.Kartu Catatan Obat (KCO). Farmasis memonitor pemberian antibiotik.

9. Penggunaan: Penggunaan antibiotik oleh pasien sesuai dengan rencana pengobatan yang ditetapkan oleh dokter. Farmasis memonitor penggunaan antibiotik oleh pasien.

10. Pemantauan manfaat dan keamanan: Pemantauan manfaat dan keamanan dilaksanakan bersama-sama oleh Klinisi, Farmasis, Spesialis Mikrobiologi Klinik atau Spesialis Patologi Klinik dan Perawat. Pemantauan manfaat antibiotik meliputi pemantauan terhadap tanda-tanda keberhasilan dan kegagalan terapi, dengan melihat data klinis, data laboratorium dan data pemeriksaan mikrobiologi. Pemantauan keamanan meliputi pemantauan terhadap timbulnya efek samping, reaksi alergi atau toksisitas.

C.P.:

*D: Dokumen -dokumen pengelolaan penggunaan antibiotik Ketersediaan antibiotik, PPAB, Formularium RS Daftar antibiotik yang tidak stabil setelah rekonstitusi Form.RPA atau Form.KCO

*O:Pelayanan farmasi di unit-unit terkait.

*W:Pimpinan dan Staf

Skor:

Keterangan / Catatan:

VII. Program ScreeningUntuk mendeteksi ada atau tidaknya mikroba yang resisten (kebal) terhadap antibiotik/antimikroba dalam tubuh penderita yang terinfeksi, dapat dilakukan uji diagnostik dalam laboratorium mikrobiologi klinik secara bertahap. Bahan Sputum diperoleh dari penderita/ pasien yang terinfeksi. Pewarnaan Gram: Gentian Violet, Lugol, Alkohol 96%, Safranin. Medium Perbenihan: Agar darah (Blood agar Plate), agar nutrien (Nutrient Agar), Agar Mueller-Hinton, Tioglikolat, Disk. Antibiotik : disk standar (oxoid) Antibiotik yang digunakan untuk bakteri batang Gram negatif: Kotrimoksazol (25 g), Gentamisin(10 g), Kloramfenikol (30g), Tikarsilin(100g), Siprofloksasin (5 g),Ofloksasin (5 g), Amikasin (30g). Antibiotik yang digunakan untuk bakteri kokus Gram positif: Gentamisin (10 g), Kloramfenikol (30 g), Eritromisin (15 g), Kotrimoksazol (25g), Siprofloksasin (5 g), Ofloksasin (5g), Teikoplanin (30 g),Vankomisin(30 g), Oksasilin (okin). Di samping itu digunakan (OP) 5 g untuk pemeriksaan Streptococcus hemolyticus: untuk membedakan antara Streptococcus viridans dan Streptococcus pneumoniae; Basitrasin (BC) 0,05 g untuk pemeriksaan Streptococcus hemolyticus: untuk membedakan Streptococcus hemolyticus grup A dengan non grup A. Medium untuk uji biokimia: Gulagula (Laktosa, Sakarosa, Maltosa, Glukosa, Manitol), Sitrat,Voges-Proskauer, Indol, Merah metil, dan Triple Sugar Iron Agar (TSI).

Cara kerjaPengerjaan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:1. Isolasi bakteri dari sputum penderita,2. Uji karakteristik koloni bakteri,3. Identifikasi bakteri dari sputum secara biokimia, serta penetapan sensitivitas bakteri isolat dari sputum terhadap beberapa antibiotik dengan cara cakram. Skema kerja secara lengkap diuraikan dalam gambar 7.1.

Gambar 7.1 Skema kerja

Gambar 7.2 Skema kerja untuk pemeriksaan bakteri batang Gram negatif

Uji Kepekaan (Sensitivitas) Bakteri terhadap antibiotikApakah bakteri tersebut sensitive atau resisten (kebal) terhadap antibiotik ?Pengujian kepekaan bakteri dilakukan menurut cara difusi. Bakteri yang telah dimurnikan, disuspensikan dalam kaldu sampai kekeruhannya 0.5 Mc Farland. Dengan bantuan kapas lidi steril, suspensi bakteri diinokulasikan secara merata pada plat agar Mueller-Hinton yang disuplementasi dengan darah 5%. Setelah diinkubasi semalam, keesokan harinya diameter zona hambatan diukur dengan penggaris.Bakteri dikatakan sensitive jika terdapat diameter zona inhibisi pertumbuhan bakteri yang diukur dengan penggaris dan ukuran diameter dibandingkan dengan suatu tabel standar. Jika bakteri itu resisten, maka pada seluruh agar penuh dengan koloni pertumbuhan bakteri, atau dengan kata lain tidak terdapat diameter zona inhibisi pertumbuhan bakteri yang cukup untuk dikatakan sensitive (dengan membandingkan ukurannya pada suatu tabel standar).

VIII. Langkah PencegahanSTRATEGI PENANGANANStrategi penanganan maupun pencegahan yang dapat dilakukan yang pertama dan utama adalah terapi rasional. Penggunaan antibiotika secara rasional diartikan sebagai pemberian antibiotika yang tepat indikasi, tepat penderita, tepat obat, tepat dosis, dan waspada terhadap efek samping antibiotika. Kapan saat yang tepat memulai terapi antibiotika? Secara klinik memang sangat sulit memastikan bakteri penyebab infeksi yang tepat tanpa menunggu hasil pemeriksaan mikrobiologi. Secara umum, klinisi tidak boleh memberikan terapi secara sembarangan tanpa mempertimbangkan indikasi atau malah menunda pemberian antibiotika pada kasus infeksi yang sudah tegak diagnosanya secara klinis meskipun tanpa hasil pemeriksaan mikrobiologi. Kasus infeksi yang gawat dapat berupa sepsis, demam dengan neutropeni, meningitis bakterial (Leekha et al, 2011).Berdasarkan ditemukannya kuman atau tidak, maka terapi antibiotika dapat dibagi dua, yakni terapi empiris dan terapi definitive. Terapi empiris adalah terapi yang diberikan berdasar diagnose klinis dengan pendekatan ilmiah dari klinisi. Sedangkan terapi definitive dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologis yang sudah pasti jenis kuman dan spectrum kepekaan antibiotikanya (Jawetz, 1997). Untuk menentukan penggunaan antibiotika dalam menangani penyakit infeksi, secara garis besar dapat dipakai prinsip-prinsip umum dibawah ini:1. Penegakan diagnosis infeksi. Hal ini bisa dikerjakan secara klinis berdasar criteria diagnose ataupun pemeriksaan-pemeriksaan tambahan lain yang diperlukan. Gejala panas sama sekali bukan kriteria untuk diagnosis adanya infeksi.2. Kemungkinan kuman penyebabnya, dipertimbangkan dengan perkiraan ilmiah berdasarkan pengalaman setempat yang layak dipercaya atau epidemiologi setempat atau dari informasi-informasi ilmiah lain.3. Apakah antibiotika benar-benar diperlukan? Sebagian infeksi mungkin tidak memerlukan terapi antibiotika misalnya infeksi virus saluran pernafasan atas, keracunan makanan karena kontaminasi kuman-kuman enterik. Jika tidak perlu antibiotika, terapi alternatif apa yang dapat diberikan?4. Jika diperlukan antibiotika, pemilihan antibiotika yang sesuai berdasarkan spektrum antikuman, sifat farmakokinetika, ada tidaknya kontra indikasi pada pasien, ada tidaknya interaksi yang merugikan, bukti akan adanya manfaat klinik dari masing-masing antibiotika untuk infeksi yang bersangkutan berdasarkan informasi ilmiah yang layak dipercaya. Dari sisi bakteri, pertimbangkan site of infection and most likely colonizing, berdasar pengalaman atau evidence based sebelumnya bakteri apa yang paling sering, pola kepekaan antibiotika yg beredar local (Leekha et al, 2011).5. Penentuan dosis, cara pemberian, lama pemberian berdasarkan sifat-sifat kinetika masing-masing antibiotika dan fungsi fisiologis sistem tubuh (misalnya fungsi ginjal, fungsi hepar dan lain-lain). Perlu dipertimbangkan dengan cermat pemberian antibiotika misalnya pada ibu hamil dan menyusui, anak-anak, dan orang tua.6. Evaluasi efek obat. Apakah obat bermanfaat, kapan dinilai, kapan harus diganti atau dihentikan? Adakah efek samping yang terjadi? (Graham-Smith & Aronson, 1985).

Selain hal-hal di atas, edukasi pasien juga merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Banyak penelitian menunjukkan bahwa edukasi atau training yang diberikan kepada kelompok besar maupun kecil, menunjukkan peningkatan peresepan antibiotic yang baik. Pesan akan diterima dengan baik apabila disampaikan oleh pemimpin local atau orang yang dianggap berpengaruh (Bisht et al, 2009). Pesan dapat disampaikan melalui berbagai media misalnya melalui iklan di televisi, radio, koran. Teknologi komunikasi yang baru juga memudahkan penyebaran informasi ini, misalnya internet, jejaring sosial, bahkan lewat mobile messenger.Perlu disebarluaskan bahwa tidak semua jenis penyakit dapat disembuhkan dengan pemberian antibiotik. Kalaupun perlu, pemakaian antibiotic harus sesuai dengan instruksi dokter baik dosis maupun rentang terapinya. Pada penyakit-penyakit kronis seringkali pasien menghentikan sendiri atau mengurangi terapinya ketika sudah merasakan perbaikan yang signifikan atas penyakitnya. Untuk mengatasi hal ini, diciptakanlah obat dalam fixed dose combinations untuk mengurangi jumlah tablet atau kapsul yang harus diminum, kalender special, kemasan blister, DOTS (directly observed therapy system). Tenaga kesehatan harus lebih sadar terhadap personal and environmental hygiene agar infeksi bakteri tidak menyebar dari satu orang ke orang lain. Dokter misalnya, dapat mencuci tangan terlebih dahulu setelah memeriksa pasien yang satu sebelum beralih ke pasien yang lain. Bidan wajib menerapkan prinsip sepsis-asepsis dalam memolong persalinan. Alat-alat operasi, KB, ataupun piranti rumah sakit yang harus suci kuman wajib dusterilisasi terlebih dahulu.Di Indonesia, juga telah dilakukan beberapa usaha untuk mengatasi dampak resistensi antibiotika akibat pengobatan sendiri (self medication) dengan regulasi perundang-undangan. Salah satu dari usaha tersebut adalah di berlakukannya undang-undang yang mengatur tentang penjualan antibiotika yang diatur di dalam undang-undang obat keras St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949, pada pasal 3 ayat 1. Antibiotika termasuk salah satu jenis obat-obat keras, hal ini terdapat dalam pasal 1 ayat 1a yang berbunyi: Obat-obat keras yaitu obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan teknik, yang mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, membaguskan, mendesinfeksikan, dan lain-lain tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak , yang dtetapkan oleh Secretaris Vaan Staat, Hoofd van het Departement van Gesondheid, menurut ketentuan pasal 2 ayat (1) Sec. V. St mempunyai wewenang untuk menetapkan bahan-bahan sebagai obat-obat keras dan ayat (2) Penetapan ini dijalankan dengan menempatkan bahan-bahan itu pada suatu daftar G (obat-obat berbahaya) atau daftar W (peringatan).Dalam Pasal 107 UU No. 36/2009 tentang Kesehatan ada ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi seperti obat antibiotik dan alat kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 108 (1) mengatur praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

DAFTAR PUSTAKA

Directorate General of Medical Care Ministry of Health, Republic of Indonesia. 2005. Antimicrobial Resistance, Antibiotic Usage and Infection Control. diakses dalam http://apps.who.int/medicine docs/documents/s18010en/s18010en.pdf (Diunduh 19 Desember 2012).Eka Rahayu Utami. 2012. Antibioka, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi, Volume 1, Nomor 1. Jurnal SAINSTIS. Diakses dalam http://www.google.co.id/url? sa=t&rct=j&q=jurnal%20resistensi%20antibiotik&source=web&cd=4&cad=rja&ved=0CEgQFjAD&url=http%3A%2F%2Fejournal.uinmalang.ac.id%2Findex.php%2Fsainstis%2Farticle%2Fdownload%2F1861%2Fpdf&ei=huXMUI2AKYjZrQeypYGwAQ&usg=AFQjCNHvSzD8obMEfr6z79rSXqhyh3nZJQ&bvm=bv.1355325884,d.bmk (Diunduh 17 Desember 2012).Ermadi Sutriyo Sudibyo dan Erni Rohmawati. 2008. Profil Resistensi Antibiotik pada Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Volume 14, Nomor 2. Jurnal Berkala Kesehatan Klinik. Diakses dalam isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/ 1420898102.pdf (Diunduh 17 Desember 2012).Hindra Irawan Satarri dan Theresia. 2011. Qualitative Evaluation of Antibiotic Usage in Pediatric Patients. Volume 51, Nomor 6. Jurnal Paediatrica Indonesiana. Diakses dalam http://www.paediatricaindonesiana.org/pdffile/51-6-1.pdf (Diunduh 17 Desember 2012).Howard S. Gold, M.D., and Robert C. Moellering, Jr., M.D. 1996. Antimicrobial-Drug Resistance. Volume 335, Nomor 19. The New England Journal of Medicine (NEJM). Diakses dalam http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM 199611073351907 (Diunduh 17 Desember 2012).Instrumen Evaluasi Pelaksanaan PPRA di Rumah Sakit, diakses dalam xa.yimg.com/kq/.../Draft+Instrumen+PPRA.doc (Diunduh 18 Desember 2012).Maksum Radji. Buku Ajar Mikrobiologi, Panduan Mahasiswa Farmasi dan Kedokteran. (Jakarta: Erlangga, 2009).hal 191.Mia Ratwita Andarsini dan Bambang Permono. 2010. Antibiotic Resistance Control Program in Pediatric Hematology and Oncology Patient at Dr. Soetomo Hospital in 2006-2007. Volume 1, Nomor 2. Indonesian Journal of Tropical and Infectious Disease. Diakses dalam journal.itd.unair.ac.id/index.php/IJTID/ article/download/31/23 (Diunduh 17 Desember 2012).Program Depkes RI untuk Resistensi Antibiotika dalam http://buk.depkes.go.id/ index.php?option=com_content&view=article&id=301:workshop-nasional-keselamatan-pasien-dan-pencegahan-dan-pengendalian-infeksi&catid=1:latest-news (Diunduh 18 Desember 2012).

Resistance in Indonesia dan AMRIN STUDY diakses dalam http://eprints.undip.ac.id/23794/1/Tirza.pdf (Diunduh 18 Desember 2012).Resistensi Antibiotik dalam Medika Jurnal Kedokteran Indonesia Edisi No 07 Vol XXXVII 2011 http://www.jurnalmedika.com/edisi-tahun-2011/edisi-no-07-vol-xxxvii-2011/343-kegiatan/672-meropenem-solusi-bagi-resistensi-antibiotik (Diunduh 17 Desember 2012).Shirly Kumala. 2010. Pola Resistensi Antibiotik Terhadap Isolat Bakteri Sputum Penderita Tersangka Infeksi Saluran Nafas Bawah. Volume 5, Nomor 1. Jurnal Farmasi Indonesia. Diakses dalam http://www.google.co.id/url?sa=t&rct= j&q=uji%20diagnostik%20resistensi%20antibiotik&source=web&cd=6&cad=rja&ved=0CFcQFjAF&url=http%3A%2F%2Fjfi.iregway.com%2Findex.php%2Fjurnal%2Farticle%2Fdownload%2F34%2F32&ei=c0zSUJr9PMr_rAeNg4DYCA&usg=AFQjCNEuRnx4FGwbDkmKMwVaKZB0gcovyw&bvm=bv.1355534169,d.bmk (Diunduh 19 Desember 2012).

Stephen H. Gillespie dan Kathleen B. Bamford. At a Glance Mikrobiologi Medis dan Infeksi, edisi ketiga. (Jakarta: Erlangga, 2009).hal 21.Vien Dimyati. 2011. Resistensi Antibiotik Jadi Ancaman. Halaman 5. Jurnal Nasional (Jurnas). Diakses dalam http://www.jurnas.com/halaman/5/2011-04-08/165547 (Diunduh 18 Desember 2012).Yenny dan Elly Herwana. 2007. Resistensi dari Bakteri Enterik, Aspek Global terhadap Antimikroba. Volume 26, Nomor 1. Jurnal Universa Medicina. Diakses dalam http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2012/04/Yenny1.pdf (Diunduh 18 Desember 2012).