anestesi pada pasien hipertensi

20
ANESTESI PADA PASIEN HIPERTENSI USIA LANJUT Pendahuluan Jumlah lansia semakin lama semakin banyak. Di Indonesia saja, di tahun 2007 sudah ada 5.65% populasi penduduk yang berusia 65 tahun ke atas (Depkes RI, 2009). Demikian juga masalah kesehatan yang berkaitan dengan mereka. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam kesehatan lansia adalah kesehatan pembuluh darah dan jantung. Hipertensi pada usia lanjut perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Selain elastisitas pembuluh darah penderita yang menurun, kerja jantung umumnya pun sudah mulai terganggu. Pada usia lanjut bila tekanan darahnya, baik sistolik maupun diastolik, meninggi dalam waktu yang tidak terlalu lama maka harus dicurigai adanya pembuluh darah ginjal yang terganggu. Hal ini dikenal sebagai hipertensi renovaskuler aterosklerotik. Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai hipertensi pada usia lanjut menghasilkan hal-hal yang menarik diketahui. Ternyata upaya menurunkan tekanan darah pada usia lanjut memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan golongan usia muda dan menengah.

Upload: zoe-rina

Post on 25-Jul-2015

133 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Anestesi Pada Pasien Hipertensi

ANESTESI PADA PASIEN HIPERTENSI USIA LANJUT

Pendahuluan

Jumlah lansia semakin lama semakin banyak. Di Indonesia saja, di tahun 2007 sudah ada

5.65% populasi penduduk yang berusia 65 tahun ke atas (Depkes RI, 2009). Demikian juga

masalah kesehatan yang berkaitan dengan mereka. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan

dalam kesehatan lansia adalah kesehatan pembuluh darah dan jantung.

Hipertensi pada usia lanjut perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Selain

elastisitas pembuluh darah penderita yang menurun, kerja jantung umumnya pun sudah mulai

terganggu. Pada usia lanjut bila tekanan darahnya, baik sistolik maupun diastolik, meninggi

dalam waktu yang tidak terlalu lama maka harus dicurigai adanya pembuluh darah ginjal yang

terganggu. Hal ini dikenal sebagai hipertensi renovaskuler aterosklerotik.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai hipertensi pada usia lanjut

menghasilkan hal-hal yang menarik diketahui. Ternyata upaya menurunkan tekanan darah pada

usia lanjut memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan golongan usia muda

dan menengah.

Hubungan antara tekanan darah yang meninggi dengan penyakit jantung-pembuluh darah

(kardiovaskuler) lebih nyata terlihat pada penderita yang lanjut usia. Umumnya tekanan darah

diastolik meningkat mengikuti pertambahan umur. Akan tetapi, tekanan darah sistolik

peningkatannya lebih nyata pada usia lanjut.

Hal hal berikut perlu diperhatikan untuk menangani hipertensi pada penderita yang

berusia lanjut. Selain kondisi tubuh yang sudah tidak prima, penderita pun perlu ditangani secara

lebih sabar.

Tekanan darah diukur pada posisi berdiri.

Penurunan tekanan darah lebih dari 20 mmHg setelah 1 menit pada posisi tegak.

dianggap abnormal.

Page 2: Anestesi Pada Pasien Hipertensi

Tekanan darah diturunkan bertahap. Bila tekanan darah sebelumnya lebih tinggi dari 180

mmHg, tekanan diturunkan 20 mmHg lebih rendah. Selanjutnya tekanan diturunkan

bertahap sampai sistolik kurang dari 160 mmHg dan diastolik kurang dari 90 mmHg.

Definisi

Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan

sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg. Pada populasi lansia, hipertensi

didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg.

(Smeltzer,2001). Menurut WHO ( 1978 ), tekanan darah sama dengan atau diatas 160 / 95

mmHg dinyatakan sebagai hipertensi.

Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas : ( Darmojo, 1999 ). Hipertensi dimana

tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan / atau tekanan diastolik sama atau

lebih besar dari 90 mmHg. Hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan sistolik lebih besar dari

160 mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg.

Semakin tua umur seseorang, tekanan darah normalnya pun semakin meningkat. Tekanan

darah orang dewasa disebut tinggi jika tekanan sistoliknya 140 mmHg ke atas atau tekanan

diastoliknya 90 mmHg ke atas. Menurut JNC (Joint National Committee) VII yang berlaku 2003,

hipertensi ditemukan sebanyak 60-70% pada populasi berusia di atas 65 tahun. Bahkan lansia

yang berumur di atas 80 tahun sering mengalami hipertensi persisten, dengan tekanan sistolik

menetap di atas 160 mmHg. Jenis hipertensi yang khas sering ditemukan pada lansia adalah

isolated systolic hypertension, di mana tekanan sistoliknya saja yang tinggi (di atas 140 mmHg),

namun tekanan diastolik tetap normal (di bawah 90 mmHg).

Banyak juga orang yang beranggapan bahwa tekanan darah tinggi, yaitu tekanan darah

sistolik lebih dari 140 mmHg atau tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg, adalah hal

normal bagi orang tua dan tidak perlu mendapat obat hipertensi. 

Klasifikasi hipertensi

Page 3: Anestesi Pada Pasien Hipertensi

Faktor yang mempengaruhi hipertensi pada lansia

Ada beberapa faktor yang mungkin berpengaruh di sini yaitu :

1. Terjadi pengerasan pembuluh darah, khususnya pembuluh nadi (arterial). Hal ini disertai

pengurangan elastisitas dari otot jantung (miokard).

2. Sensitivitas baroreseptor pada pembuluh darah berkurang karena rigiditas pembuluh arteri.

Akibatnya pembuluh darah tidak dapat berfluktuasi dengan segera sesuai dengan perubahan

curah jantung.

3. Selain itu fungsi ginjal juga sudah menurun. Ginjal dalam keadaan normal juga berperan

pada pengaturan tekanan darah, yaitu lewat sistem renin-angiotensin-aldosteron. Jika tekanan

darah sistemik turun, ginjal menghasilkan renin lebih banyak untuk mengubah

angiotensinogen (angiotensin I) menjadi angiotensin II, zat yang dapat menimbulkan

vasokonstriksi pada pembuluh darah. Akibatnya tekanan darah akan meningkat. Pada lansia,

regulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron sudah kurang baik.

Page 4: Anestesi Pada Pasien Hipertensi

Batasan Hipertensi pada Lansia

Batasan tekanan darah untuk lansia sama dengan untuk orang dewasa (di atas 18 tahun).

Pada bagan berikut dapat dilihat batasan tekanan darah yang disebut hipertensi dan bukan

pada dewasa berusia di atas 18 tahun, menurut JNC VII (2003), dan perubahannya dibandingkan

dengan JNC VI.

Kriteria ditetapkan setelah dilakukan 2 atau lebih pengukuran TD dari setiap kunjungan

dan adanya riwayat peningkatan TD darah sebelumnya. Penderita dengan klasifikasi

prehipertensi mempunyai progresivitas yang meningkat untuk menjadi hipertensi. Nilai rentang

Page 5: Anestesi Pada Pasien Hipertensi

TD antara 130-139/80-89 mmHg mempunyai risiko 2 kali berkembang menjadi hipertensi

dibandingkan dengan nilai TD yang lebih rendah dari nilai itu.

Etiologi

Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan – perubahan

pada :

Elastisitas dinding aorta menurun

Katub jantung menebal dan menjadi kaku

Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20

tahun kemampuan jantung memompa darah menurun menyebabkan menurunnya

kontraksi dan volumenya.

Kehilangan elastisitas pembuluh darah

Hal ini terjadi karenakurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi

Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer

Meskipun hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, data-data

penelitian telah menemukan beberapa faktor yang sering menyebabkan terjadinya hipertensi.

Faktor tersebut adalah sebagai berikut :

Faktor keturunan

Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar

untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi

Ciri perseorangan

Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah:

Umur ( jika umur bertambah maka TD meningkat )

Jenis kelamin ( laki-laki lebih tinggi dari perempuan )

Ras ( ras kulit hitam lebih banyak dari kulit putih )

Kebiasaan hidup

Konsumsi garam yang tinggi ( melebihi dari 30 gr )

Kegemukan atau makan berlebihan

Stress

Page 6: Anestesi Pada Pasien Hipertensi

Merokok

Minum alcohol

Minum obat-obatan ( ephedrine, prednison, epineprin )

Di samping klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya, dapat dibagi dalam 2 penyebab

dasar, yaitu sebagai berikut:

1. Hipertensi primer (esensial, idiopatik).

2. Hipertensi sekunder:

Hipertensi sistolik dengan tekanan nadi melebar: Regurgitasi aorta, tirotoksikosis,

PDA.

Hipertensi sistolik dan diastolik dengan peningkatan SVR:

Renal: glomerulonefritis akut dan kronis, pyelonefritis, polikistik ginjal, stenosis

arteri renalis.

Endokrin: Sindroma Chusing, hiperplasia adrenal congenital, sindroma Conn

(hiperaldosteronisme primer), phaeochromacytoma, hipotiroidisme.

Neurogenik: peningkatan TIK, psikis (White Coat Hypertension), porfiria akut, tanda-

tanda keracunan.

Penyebab lain: coarctation dari aorta, polyarteritis nodosa, hiperkalsemia,

peningkatan volume intravaskuler (overload).

Patogenesis Terjadinya Hipertensi

Hanya berkisar 10-15% kasus hipertensi yang diketahui penyebabnya secara spesifik. Hal

ini penting menjadi bahan pertimbangan karena beberapa dari kasus-kasus hipertensi tersebut

bisa dikoreksi dengan terapi definitif pembedahan, seperti penyempitan arteri renalis, coarctation

dari aorta, pheochromocytoma, cushing’s disease, akromegali, dan hipertensi dalam kehamilan.

Sedangkan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya sering disebut sebagai hipertensi

esensial. Hipertensi esensial menduduki 80-95% dari kasus-kasus hipertensi. Secara umum

hipertensi selalu dihubungkan dengan ketidaknormalan peningkatan aktivitas simpatis, yaitu

terjadi peningkatan baseline dari curah jantung (CO), seperti pada keadaan febris,

Page 7: Anestesi Pada Pasien Hipertensi

hipertiroidisme atau terjadi peningkatan resistensi pembuluh darah perifer (SVR) atau kedua-

duanya. Peningkatan SVR merupakan penyebab hipertensi pada mayoritas penderita hipertensi.

Pola perkembangan terjadinya hipertensi, awalnya CO meningkat, tetapi SVR dalam

batas-batas normal. Ketika hipertensi semakin progresif, CO kembali normal tetapi SVR

meningkat menjadi tidak normal. Afterload jantung yang meningkat secara kronis menghasilkan

LVH (left ventricle hypertrophy) dan merubah fungsi diastolik. Hipertensi juga merubah

autoregulasi serebral sehingga cerebral blood flow (CBF) normal untuk penderita hipertensi

dipertahankan pada tekanan yang tinggi. Tekanan darah berbanding lurus dengan curah jantung

dan SVR, dimana persamaan ini dapat dirumuskan dengan menggunakan hukum Law, yaitu:

BP = CO x SVR

Secara fisiologis TD individu dalam keadaan normal ataupun hipertensi, dipertahankan pada CO atau SVR tertentu. Secara anatomik ada 3 tempat yang mempengaruhi TD ini, yaitu arterial, vena-vena post kapiler (venous capacitance) dan jantung. Sedangkan ginjal merupakan faktor keempat lewat pengaturan volume cairan intravaskuler (gambar 1). Hal lain yang ikut berpengaruh adalah baroreseptor sebagai pengatur aktivitas saraf otonom, yang bersama dengan mekanisme humoral, termasuk sistem rennin-angiotensin-aldosteron akan menyeimbangkan fungsi dari keempat tersebut. Faktor terakhir adalah pelepasan hormon-hormon lokal yang berasal dari endotel vaskuler dapat juga mempengaruhi pengaturan SVR. Sebagai contoh, nitrogen oksida (NO) berefek vasodilatasi dan endotelin-1 berefek vasokonstriksi.

Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan structural dan fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup) mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer (Smeltzer, 2001). Pada usia lanjut perlu diperhatikan kemungkinan adanya “hipertensi palsu” disebabkan kekakuan arteri brachialis sehingga tidak dikompresi oleh cuff sphygmomanometer (Darmojo, 1999).

Farmakologi Dasar Obat-Obat antihipertensi

Page 8: Anestesi Pada Pasien Hipertensi

Obat antihipertensi bekerja pada reseptor tertentu yang tersebar dalam tubuh. Kategori

obat antihipertensi dibagi berdasarkan mekanisme atauprinsip kerjanya, yaitu:

1. Diuretika, menurunkan TD dengan cara mengurangi natrium tubuh dan volume darah,

sehingga CO berkurang. Contohnya: golongan thiazide, loop diuretics.

2. Golongan simpatolitik / simpatoplegik, menurunkan TD dengan cara menumpulkan refleks

arkus simpatis sehingga menurunkan resistensi pembuluh darah perifer, menghambat fungsi

kardiak, meningkatkan pengisian vena sehingga terjadi penurunan CO. Contohnya: beta dan

alpha blocker, methyldopa dan clonidine, ganglion blocker, dan post ganglionic symphatetic

blocker (reserpine, guanethidine).

3. Vasodilator langsung, menurunkan TD dengan cara relaksasi otot-otot polos vaskuler.

Contoh: nitroprusside, hydralazine, calcium channel blocker.

4. Golongan penghambat produksi atau aktivitas Angiotensin, penghambatan ini menurunkan

resistensi perifer dan volume darah, yaitu dengan menghambat angiotensin I menjadi

angiotensin II dan menghambat metabolisme dari bradikinin.

Lansia ternyata tetap perlu mendapat obat hipertensi apabila tekanan darahnya tinggi. Penelitian

Beckett et.al (2008) menunjukkan terapi hipertensi pada lansia yang berusia di atas 80 tahun

dapat menurunkan risiko kematian akibat stroke sebanyak 39% dan menurunkan risiko gagal

jantung sebanyak 64%. Hal ini sejalan dengan penelitian dari HYVET (hypertension in the very

elderly trial). Adapun sasaran tekanan darah yang diharapkan pada kasus hipertensi persisten

adalah 150/80 mmHg. Obat yang dianjurkan adalah indapamid (golongan diuretik tiazid) lepas

lambat (1.5 mg) dan/atau perindopril (golongan ACE-inhibitor) 2-4 mg.

Diuretik tiazid yang umum yaitu HCT (hidroklorotiazid), terkenal sering menyebabkan

gangguan keseimbangan kalium (potasium), yaitu hipokalemia. Hal ini dapat menyebabkan

aritmia fatal pada lansia. Kombinasinya dengan ACE-inhibitor dapat menetralkan efek

hipokalemia ini, karena ACE-inhibitor dapat menghambat ekskresi ion kalium. Indapamid juga

tidak menyebabkan hiperglikemia dan hiperlipidemia, seperti halnya HCT.

MANAJEMEN PERIOPERATIF PENDERITA HIPERTENSI

Page 9: Anestesi Pada Pasien Hipertensi

Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan menjalani prosedur

pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu:

Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya.

Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi.

Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.

Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk

prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.

Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat perjalanan

penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur diagnostik lainnya. Penilaian

status volume cairan tubuh adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan

yang sebenarnya ataukah suatu relatif hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan

vasodilator). Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia

dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya aritmia. Untuk

evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat membantu. Adanya LVH dapat

menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat ketidak seimbangan antara suplai

dan kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya

diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan

ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu

diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan adanya

retinopati hipertensi perlu dicatat. Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah komplikasi

kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme

arteri dan penyakit ginjal. Diturunkannya TD secara farmakoligis akan menurunkan mortalitas

akibat penyakit jantung sebesar 21%, menurunkan kejadian stroke sebesar 38%, menurunkan

penyakit arteri koronariasebesar 16%.

PERTIMBANGAN ANESTESI PADA PASIEN HIPERTENSI

Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang paling tinggi

yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan anestesia dan operasi. Namun

banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil

keputusan penundaan anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi. Kenapa TD diastolik

Page 10: Anestesi Pada Pasien Hipertensi

(TDD) yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring

dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik

dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar

risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat

ini muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi

sistolik dapat menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua.

Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan menurunkan angka

kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-25% dan angka kegagalan jantung

diturunkan sampai lebih dari 50%. 2,12 Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD

mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan

sampai sedang. Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan

hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih besar

terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu sendiri. Penundaan

operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ sehingga

evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi. The American Heart Association /

American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS _ 180 mmHg

dan/atau TDD _ 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi

bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam beberapa

menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting.

Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon TD yang berlebihan

pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan

anestesia dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan

respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperatif yang sudah

dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil

dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik.

HIPERTENSI INTRAOPERATIF

Secara keseluruhan tujuan anestesi untuk pasien dengan hipertensi adalah menjaga kestabilan tekanan darah pasien. Pasien batas akhir hipertensi dapat diobati seperti pasien dengan tekanan darah normal. Pada pasien usia lanjut atau pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol telah terjadi perubahan autoregulasi aliran darah serebral dimana tekanan darah yang tinggi

Page 11: Anestesi Pada Pasien Hipertensi

mempertahankankan aliran darah otak yang memadai. Pada sebagian besar pasien dengan hipertensi yang lama harus dipikirkan kemungkinan terjadinya penyakit arteri koroner dan hipertrofi jantung,sehingga peningkatan tekanan darah yang berlebihan dapat dihindari. Hipertensi, terutama dalam kaitannya dengan takikardia, dapat memicu terjadinya iskemia miokard, disfungsi ventrikel bahkan keduanya. Tekanan darah arteri umumnya harus dijaga dalam 10-20% dari tingkat pra operasi. Jika hipertensi terjadi sebelum operasi dimana tekanan darah lebihdari 180/120 mmHg, maka tekanan darah arteri harus dipertahankan dalam batas normal, yaitu 150-140/90-80 mm Hg. (Morgan, 2006).

Tabel 2. Antihipertensi parenteral untuk mengatasi hipertensi akut.

Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik, penyebab

hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit bronkospastik

pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya atau efek yang diinginkan dari

pemberian obat tersebut (lihat tabel 3).

Berikut ini ada beberapa contoh sebagai dasar pemilihan obat yang akan digunakan:

Page 12: Anestesi Pada Pasien Hipertensi

Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasien dengan fungsi

ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan pada bronkospastik.

Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.

Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering dihubungkan dengan

iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyai onset yang lambat.

Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada hipertensi sedang

sampai berat.

Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai terapi atau

pencegahan iskemia miokard.

Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi ginjal.

Hydralazine: bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya onset yang lambat

sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.

MANAJEMEN POSTOPERATIF

Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien yang

menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard

sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia jantung dan CHF. Disamping itu

bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi

Page 13: Anestesi Pada Pasien Hipertensi

vaskuler dan dapat berkonstribusi menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga

menghambat penyembuhan luka operasi. Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada

banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan

baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari

kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-

penyebab sekunder tersebut harus dikoreksi dulu. Nyeri merupakan salah satu faktor yang paling

berkonstribusi menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri

sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara infus kontinyu.

Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka intervensi secara farmakologi

harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa meskipun pasca operasi TD kelihatannya

normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat

antihipertensi pasca bedah tetap diberikan. Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan

obat antihipertensi secara parenteral misalnya dengan betablocker yang terutama digunakan

untuk mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena overload

cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila hipertensinya disertai dengan heart failure

sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia miokard yang aktif secara langsung

maupun tidak langsung dapat diberikan nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena

sedangkan untuk hipertensi berat sebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside. Apabila

penderita sudah bisa makan dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral segera

dimulai.

DAFTAR PUSTAKA

1. National Institute of Health (2003). JNC 7 Express: The 7 th Report of the Joint National

Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure.

2. Beckett NS, Peters R, Fletcher AE, Staessen JA, Liu L, Dumitrascu D, et.al. Treatment of

Hypertension in Patients 80 Years of Age or Older. N Engl J Med 2008; 359: 1887-98.