anestesi artikel obat2an

Upload: astridlaren

Post on 12-Jul-2015

185 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BarbituratAnastesi dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes yang artinya tiada rasa sakit. Anastesi digunakan pada pembedahan dengan maksud mencapai keadaan pingsan, merintangi rangsangan nyeri (analgesik) serta menimbulkan pelemasan otot (relaksasi).1 Usaha menekan rasa nyeri pada tindakan operasi dengan menggunakan obat telah dilakukan sejah zaman dahulu termasuk pemberian alcohol dan opium secara oral. Tahun 1846, William morton, di Boston, pertama kali menggunakan obat anastesi dietil eter untuk menghilangkan nyeri operasi. Pada tahun yang sama, Jame Simpson, di Skotlandia, menggunakan kloroform yang 20 tahun kemudian diikuti dengan penggunaan nitrogen oksida, yang diperkenalkan oleh Davy pada era tahun 1790. pada tahun 1930 an, dunia anastesi mulai mengenal anastesi modern dengan pemberian obat-obat golongan barbiturat (tiopental) yang digunakan untuk efek hipnotik dan sedatif yang diberikan secara intravena. 2 Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP), mulai yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan , hingga yang berat (kecuali benzodiazepine) yaitu hilangnya kesadaran, koma dan mati bergantung kepada dosis. Pada dosis terapi obat sedasi menekan aktifitas, menurunkan respons terhadap rangsangan dan menenangkan. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis, contohnya Barbiturat.3,8 A. Deskripsi Barbiturat Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik dan sedatif. Namun sekarang kecuali untuk beberapa penggunaan yang spesifik, barbiturat telah banyak digantikan dengan benzodiazepine yang lebih aman, pengecualian fenobarbital, yang memiliki anti konvulsi yang masih banyak digunakan.2 Secara kimia, barbiturat merupakan derivat asam barbiturat. Asam barbiturat (2,4,4trioksoheksahidropirimidin) merupakan hasil reaksi kondensasi antara ureum dengan asam malonat.3,8 Susunan Saraf Pusat efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai, mulai dari sedasi, hipnosis, koma sampai dengan kematian. Efek antianseitas barbiturat berhubungan dengan tingkat sedasi yang dihasilkan. Efek hipnotik barbiturat dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya menyerupai tidur fisiologis, tidak disertai mimpi yang mengganggu. Efek anastesi umumnya diperlihatkan oleh golongan tiobarbital dan beberapa oksibarbital untuk anastesi umum. Untuk efek antikonvulsi umumnya diberikan oleh berbiturat yang mengandung substitusi 5-fenil misalnya fenobarbital.1,3,7,8 Pada SSP Barbiturat berkerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya. Dosis nonanastesi terutama menekan respon pasca sinap. Penghambatan hanya terjadi

pada sinaps GABA-nergik. Walaupun demikian efek yang terjadi mungkin tidak semuanya melalui GABA sebagai mediator. Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan inhibisi transmisi sinaptik. Kapasitas berbiturat membantu kerja GABA sebagian menyerupai kerja benzodiazepine, namun pada dosis yang lebih tinggi dapat bersifat sebagai agonis GABAnergik, sehingga pada dosis tinggi barbiturat dapat menimbulkan depresi SSP yang berat. 7,8 Pada susunan saraf perifer Barbiturat secara selektif menekan transmisi ganglion otonom dan mereduksi eksitasi nikotinik oleh esterkolin. Efek ini terlihat dengan turunya tekanan darah setelah pemberian oksibarbital IV dan pada intoksikasi berat.8 Pada pernafasan Barbiturat menyebabkan depresi nafas yang sebanding dengan besarnya dosis. Pemberian barbiturat dosis sedatif hampir tidak berpengaruh terhadap pernafasan, sedangkan dosis hipnotik menyebabkan pengurangan frekuensi nafas. Pernafasan dapat terganggu karena : (1) pengaruh langsung barbiturat terhadap pusat nafas; (2) hiperefleksi N.vagus, yang bisa menyebabkan batuk, bersin, cegukan, dan laringospasme pada anastesi IV. Pada intoksikasi barbiturat, kepekaan sel pengatur nafas pada medulla oblongata terhadap CO2 berkurang sehingga ventilasi paru berkurang. Keadaan ini menyebabkan pengeluaran CO2 dan pemasukan O2 berkurang, sehingga terjadilah hipoksia.1,3,7 Pada Sistem Kardiovaskular Barbiturat dosis hipnotik tidak memberikan efek yang nyata pada system kardiovaskular. Frekuensi nadi dan tensi sedikit menurun akibat sedasi yang ditimbulkan oleh berbiturat. Pemberian barbiturat dosis terapi secara IV dengan cepat dapat menyebabkan tekanan darah turun secara mendadak. Efek kardiovaskular pada intoksikasi barbiturat sebagian besar disebabkan oleh hipoksia sekunder akibat depresi nafas. Selain itu pada dosis tinggi dapat menyebabkan depresi pusat vasomotor diikuti vasodilatasi perifer sehingga terjadi hipotensi.1,2,8 Pada Saluran Cerna Oksibarbiturat cenderung menurunkan tonus otot usus dan kontraksinya. Pusat kerjanya sebagian diperifer dan sebagian dipusat bergantung pada dosis. Dosis hipnotik tidak memperpanjang waktu pengosongan lambung dan gejala muntah, diare dapat dihilangkan oleh dosis sedasi barbiturat.1,3 Pada Hati Barbiturat menaikan kadar enzim, protein dan lemak pada retikuloendoplasmik hati. Induksi enzim ini menaikan kecepatan metabolisme beberapa obat dan zat endogen termasuk hormone stroid, garam empedu, vitamin K dan D.3

Pada Ginjal Barbiturat tidak berefek buruk pada ginjal yang sehat. Oliguri dan anuria dapat terjadi pada keracunan akut barbiturat terutama akibat hipotensi yang nyata.7,8 B. Farmakokinetik Barbiturat secara oral diabsorpsi cepat dan sempurna dari lambung dan usus halus kedalam darah. Secara IV barbiturat digunakan untuk mengatasi status epilepsi dan menginduksi serta mempertahankan anastesi umum. Barbiturat didistribusi secara luas dan dapat melewati plasenta, ikatan dengan protein plasma sesuai dengan kelarutan dalam lemak; tiopental yang terbesar.7 Barbiturat yang mudah larut dalam lemak, misalnya tiopental dan metoheksital, setelah pemberian secara IV, akan ditimbun di jaringan lemak dan otot. Hal ini akan menyebabkan kadarnya dalam plasma dan otak turun dengan cepat. Barbiturat yang kurang lipofilik, misalnya aprobarbital dan fenobarbital, dimetabolisme hampir sempurna didalam hati sebelum diekskresi di ginjal. Pada kebanyakan kasus, perubahan pada fungsi ginjal tidak mempengaruhi eliminasi obat. Fenobarbital diekskresi ke dalam urine dalam bentuk tidak berubah sampai jumlah tertentu (20-30 %) pada manusia. Faktor yang mempengaruhi biodisposisi hipnotik dan sedatif dapat dipengaruhi oleh berbagai hal terutama perubahan pada fungsi hati sebagai akibat dari penyakit, usia tua yang mengakibatkan penurunan kecepatan pembersihan obat yang dimetabolisme yang terjadi hampir pada semua obat golongan barbiturat. C. Indikasi Penggunaan barbiturat sebagai hipnotik sedatif telah menurun secara nyata karena efek terhadap SSP kurang spesifik yang telah banyak digantikan oleh golongan benzodiazepine. Penggunaan pada anastesi masih banyak obat golongan barbiturat yang digunakan, umumnya tiopental dan fenobarbital.1,4,5,6,7,8 Tiopental 1. Di gunakan untuk induksi pada anestesi umum. 2. Operasi yang singkat (reposisi fraktur, insisi, jahit luka). 3. Sedasi pada analgesik regional 4. Mengatasi kejang-kejang pada eklamsia, epilepsi, dan tetanus Fenobarbital 1. Untuk menghilangkan ansietas 2. Sebagai antikonvulsi (pada epilepsi)

3. Untuk sedatif dan hipnotik D. Kontra Indikasi Barbiturat tidak boleh diberikan pada penderita alergi barbiturat, penyakit hati atau ginjal, hipoksia, penyakit Parkinson. Barbiturat juga tidak boleh diberikan pada penderita psikoneurotik tertentu, karena dapat menambah kebingungan di malam hari yang terjadi pada penderita usia lanjut.3,4,5 E. Efek Samping2,7,8 Hangover, Gejala ini merupakan residu depresi SSP setelah efek hipnotik berakhir. Dapat terjadi beberapa hari setelah pemberian obat dihentikan. Efek residu mungkin berupa vertigo, mual, atau diare. Kadang kadang timbul kelainan emosional dan fobia dapat bertambah berat. Eksitasi paradoksal, Pada beberapa individu, pemakaian ulang barbiturat (terutama fenoberbital dan N-desmetil barbiturat) lebih menimbulkan eksitasi dari pada depresi. idiosinkrasi ini relative umum terjadi diantara penderita usia lanjut dan lemah. Rasa nyeri, Barbiturat sesekali menimbulkan mialgia, neuralgia, artalgia, terutama pada penderita psikoneurotik yang menderita insomnia. Bila diberikan dalam keadaan nyeri, dapat menyebabkan gelisah, eksitasi, dan bahkan delirium. Alergi, Reaksi alergi terutama terjadi pada individu alergik. Segala bentuk hipersensitivitas dapat timbul, terutama dermatosis. Jarang terjadi dermatosis eksfoliativa yang berakhir fatal pada penggunaan fenobarbital, kadang-kadang disertai demam, delirium dan kerusakan degeneratif hati. Reaksi obat, Kombinasi barbiturat dengan depresan SSP lain misal etanol akan meningkatkan efek depresinya; Antihistamin, isoniasid, metilfenidat, dan penghambat MAO juga dapat menaikkan efek depresi barbiturat. F. Posologi Tabel 1. Nama obat, Bentuk sediaan dan Dosis Hipnotik SedatifNama obat Bentuk sediaan Sedatif Hipnotik 30-50 2-3xd 65-200 40 3xd 40-160 15-30 3-4xd 50-100 20 3-4xd 100 30-50 3-4xd 50-200 15-40 2-3xd 100-320 Dosis dewasa (mg)

Amobarbital Aprobarbital Butabarbital Pentobarbital Sekobarbital fenobarbital

K,T,I,P E K,T,E K,E,I,S K,T,I K,T,E,I

Dimodifikasi dari Goodman and Gilman, 1990 Keterangan : K : kapsul, E : eliksir, I : injeksi, L : larutan, P : bubuk, S : supositoria, T : tablet A. Intoksikasi Intoksikasi barbiturat dapat terjadi karena percobaan bunuh diri, kelalaian, kecelakaan pada anak-anak atau penyalahgunaan obat. Dosis letal barbiturat sangan bervariasi. Keracunan berat umumnya terjadi bila lebih dari 10 kali dosis hipnotik dimakan sekaligus. Dosis fatal fenobarbital adalah 6-10 g, sedangkan amobarbital, sekobarbital, dan pentobarbital adalah 2-3 g. kadar plasma letal terendah yang dikemukakan adalah 60 mcg/ml bagi fenobarbital, dan 10 mcg/ml bagi barbiturat dengan efek singkat, misal amobarbital dan pentobarbital.1,3,8 Gejala simtomatik keracunan barbiturat ditunjukan terutama terhadap SSP dan kardiovaskular. Pada keracunan berat, reflek dalam mungkin tetap ada selama beberapa waktu setelah penderita koma. Gejala babinzki sering kali positif. Pupil mata mungkin kontraksi dan bereaksi terhadap cahaya, tapi pada tahap akhir keracunan mungkin dapat terjadi dilatasi. Gejala intoksikasi akut yang bahaya ialah depresi pernafasan berat, tekanan darah turun rendah sekali, oligiuria dan anuria.3 B. Pengobatan Intoksikasi Intoksikasi barbiturat akut dapat diatasi dengan maksimal dengan pengobatan simtomatik suportif yang umum. Dalamnya koma dan ventilasi yang memadai adalah yang pertama dinilai. Bila keracunan terjadi < 24 jam sejak makan obat, tindakan cuci lambung dan memuntahkan obat perlu dipertimbangkan, sebab barbiturat dapat mengurangi motilitas saluran cerna. Tindakan cuci lambung serta memuntahkan obat perlu dilakukan hanya setelah tindakan untuk menghindari aspirasi dilakukan. Setelah cuci lambung, karbon aktif dan suatu pencahar (sarbitol) harus diberikan. Pemberian dosis ulang karbon (setelah terdengar bising usus) dapat mempersingkat waktu paruh fenobarbital. Pengukuran fungsi nafas perlu dilakukan sedini mungkin. Pco2 dan O2 perlu dimonitor, dan pernafasan buatan harus dimulai bila diindikasikan.1,7,3 Pada keracunan barbiturat akut yang berat, syok merupakan ancaman utama. Sering kali penderita dikirim ke rumah sakit dalam keadaan hipotensi berat atau syok, dan dehidrasi yang berat pula. Hal ini segara diatasi, bila perlu tekanan darah dapat ditunjang dengan dopamine C. Interaksi Obat Interaksi obat yang paling sering melibatkan hipnotik-sedatif adalah interaksi dengan obat depresan susunan saraf pusat lain, yang menyebabkan efek aditif. Efek aditif yang jelas

dapat diramalkan dengan penggunaan minuman beralkohol, analgesik narkotik, antikonvulsi, fenotiazin dan obat-obat anti depresan golongan trisiklik.1,2 DAFTAR PUSTAKA 1. Katzung, 1998, Farmakologi Dasar dan Klinis, Staf Dosen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Hal : 351-366 2. Tjay dan Rahardja, 2003, Obat-obat Penting, PT Elex Media Komputindo Klompok Gramedia, Jakarta, Hal :357-369 3. H. Sarjono, Santoso dan Hadi R D., 1995., Farmakologi dan Terapi, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Indonesia., Jakarta., Hal: 124-139 4. Muhiman, Dkk, 1989, Anastesiologi, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Indonesia., Jakarta., Hal: 65-69 5. ,2000, catatan kuliah Anastesiologi, bagianAnastesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, Hal : 16-18 6. Latief S. A, Suryadi K. A, dan Dachlan M. R., 2001., Edisi II, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Indonesia., Jakarta., Hal: 7783, 161 7. www.home.intekom.com 8. www.drugs.com Diposting oleh Admin Pada 22:05:00 0 komentar Link ke posting ini Label: Anestesi

KetaminKetamin adalah suatu rapid acting non barbiturat general anesthethic termasuk golongan fenyl cyclohexylamine dengan rumus kimia 2-(0-chlorophenil) 2 (methylamino) cyclohexanone hydrochloride. Pertama kali diperkenalkan oleh Domino dan Carsen pada tahun 1965. ( 1 ) Ketamin mempuyai efek analgesi yang kuat sekali akan tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) yang disertai penerimaan keadaan lingkungan yang salah (anestesi disosiasi). ( 1 ) Ketamin merupakan zat anestesi dengan aksi satu arah yang berarti efek analgesinya akan hilang bila obat itu telah didetoksikasi/dieksresi, dengan demikian pemakaian lama harus dihindarkan. Anestetik ini adalah suatu derivat dari pencyclidin suatu obat anti psikosa. ( 2 ) Induksi ketamin pada prinsipnya sama dengan tiopental. Namun penampakan pasien pada saat tidak sadar berbeda dengan bila menggunakan barbiturat. Pasien tidak tampak tidur. Mata mungkin tetap terbuka tetapi tidak menjawab bila diajak bicara dan tidak ada respon

terhadap rangsangan nyeri. Tonus otot rahang biasanya baik setelah pemberian ketamin. Demikian juga reflek batuk. ( 3, 6 ) Untuk prosedur yang singkat ketamin dapat diberikan secara iv / im setiap beberapa menit untuk mencegah rasa sakit. ( 3 ) II.1. Farmakologi Ketamin Sifat-sifat Ketamin a. Larutan tidak berwarna b. Stabil pada suhu kamar c. Suasana asam (pH 3,5 5,5). ( 2, 6 ) Farmakokinetik : Sebagian besar ketamin mengalami dealkilasi dan hidrolisis dalam hati, kemudian dieksresi terutama dalam bentuk metabolik dan sedikit dalam bentuk utuh. ( 6 ) II.2. Dosis dan Pemberian iv : dosis 1-4 mg/kgBB, dengan dosis rata-rata 2 mg/kgBB dengan lama kerja 15-20 menit, dosis tambahan 0,5 mg/kgBB sesuai kebutuhan. im : dosis 6-12 mg/kgBB, dosis rata-rata 10 mg/kgBB dengan lama kerja 10-25 menit, terutama untuk anak dengan ulangan 0,5 dosis permulaan. ( 1, 2, 3, 5, 6 ) pulih sadar pemberian ketamin kira-kira tercapai antara 10 15 menit, tetapi sulit untuk menentukan saatnya yang tepat, seperti halnya sulit menentukan permulaan kerjanya. ( 1 ) II.3. Efek Ketamin a. Analgesi Merupakan analgesi yang sangat kuat, sehingga meskipun penderita sudah sadar, efek analgesiknya masih ada. Rasa nyeri yang terutama dihambat adalah nyeri somatik, untuk analgesik nyeri viseral hampir tidak ada sehingga tidak efektif untuk operasi organ-organ viseral. Pada anak analgesi viseral cukup baik sehingga dapat dipakai untuk operasi seperti hernia atau batu ginjal, walaupun terjadi rangsangan pada peritoneum. ( 2 ) Baik untuk analgesi pada bayi/anak tanpa menyebabkan efek hipnotik sedasi (menggunakan subdose 2,5 mg/kgBB, IM) b. Relaksasi

Anastetik ini tidak mempunyai daya pelemas otot, kadang-kadang malah tonus otot meningkat disertai gerakan-gerakan yang tidak terkendali, sehingga ketamin tidak begitu baik bila digunakan sebagai obat tunggal, seperti pada operasi intra abdominal dan operasi lain yang membutuhkan penderita diam. ( 2, 6 ) c. Hipnotik Anestesi ini sering digunakan untuk induksi dan disusul dengan pemberian eter atau N 2O. Dalam keadaan tidur dapat terjadi gerakan-gerakan spontan dari lengan, tungkai, bibir, mulut bahkan sampai bersuara, walaupun dosisnya ditingkatkan sampai dosis yang mendepresi pernafasan. Karena anastetik ini menimbulkan nistgmus, maka tidak dapat digunakan untuk operasi mata khususnya strabismus. ( 2 ) d. Anestesi Disosiatif Anestesi yang menggunakan ketamin menyebabkan desosiasi karena obat ini mempengaruhi asosiasi di korteks serebri. ( 2 ) Eksitasi dapat terjadi pada pemberian ketamin (seperti mimpi yang menakutkan), pencegahannya dengan pemberian obat tranquilizer. Ketamin juga berefek gangguan psikis setelah siuman dan gejala kejang sewaktu dalam anestesi. Efek ini dapat dicegah dengan pemberian valium. ( 1, 2, 3 ) e. Sirkulasi Ketamin akan merangsang pelepasan katekolamin andogen dengan akibat terjadi peningkatan denyut nadi, tekanan darah dan curah jantung. Karena itu efeknya menguntungkan untuk anestesi pada pasien syok/renjatan. ( 2 ) f. Pernafasan Depresi pernafasan kecil sekali dan hanya sementara kecuali dosis terlalu besar dan adanya obat-obat depresan sebagai premedikasi. Ketamin menyebabkan dilatasi bronkhus dan bersifat antagonis terhadap efek kontraksi bronkhus oleh histamin. Baik untuk penderita asma dan untuk mengurangi spasme bronkhus pada anestesi umum yang ringan. ( 1, 2, 4, 5, 6 ) g. Kardiovaskuler Tekanan darah akan naik baik sistole maupun diastole. Kenaikan rata-rata antara 20-25 % dari tekanan darah semula, mencapai maksimal beberapa menit setelah suntikan dan akan turun kembali dalam 15 menit kemudian. Denyut nadi juga meningkat. ( 1, 3, 4, 5 ) h. Efek Lainnya Ketamin dapat meningkatkan gula darah 15 % dari keadaan normal, walaupun demikian bukan merupakan kontraindikasi mutlak untuk penderita dengan DM. Ketamin juga dapat menyebabkan hipersalivasi, tapi efek ini dapat dikurangi dengan pemberian premedikasi antikolinergik.

Aliran darah ke otak, tekanan intrakaranial dan tekanan intra okuler meningkat pada pemberian ketamin. Karena itu sebaiknya jangan digunakan pada pembedahan pasien dengan tekanan intrakranial yang meningkat (edema serebri, tumor intracranial) dan pasien pada pembedahan mata. ( 1 ) II.4. Indikasi Pemakaian Ketamin Ketamin dipakai baik sebagai obat tunggal maupun sebagai induksi pada anestesi umum : 1. Untuk prosedur dimana pengendalian jalan nafas sulit, misalnya pada koreksi jaringan sikatrik daerah leher, disini untuk melakukan intubasi kadang-kadang sukar. 2. Untuk prosedur diagnostik pada bedah syaraf/radiologi (arteriografi) 3. Tindakan orthopedi (reposisi, biopsi) 4. Pada pasien dengan resiko tinggi : ketamin tidak mendepresi fungsi vital. Dapat dipakai untuk induksi pada shock. 5. Untuk tindakan operasi kecil. 6. Di tempat di mana alat-alat anestesi tidak ada. 7. Pada asma, merupakan obat pilihan untuk induksinya. ( 1 ) II.5. Kontraindikasi pemakaian Ketamin 1. Pasien hipertensi dengan sistolik 160 mmHg pada istirahat dan diastolik 100 mmHg. 2. Pasien dengan riwayat CVD. 3. Dekompensasi cordis. 4. Penyakit dengan peningkatan tekanan intrakranial (edema serebri) atau peningkatan tekanan intra okuler. Harus hati-hati pada : 1. Pasien dengan riwayat kelainan jiwa. 2. Operasi-operasi pada daerah faring karena refleks masih baik. ( 1 ) DAFTAR PUSTAKA 1. Staf Pengajar Bagian Anesteiologi dan Terapi Intensif FK UI Jakarta, Anestesiologi, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK UI, Jakarta, 1989, hal. 67-69.

2. Drajat, M.T, Kumpulan Kuliah Anestesiologi, Aksara Medisina, Salemba, Jakarta, 1986, hal 99-102. 3. Dobson, M.B, Penuntun Praktis Anestesi, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1988, hal 56,84. 4. Dripps, R.D, et al, Introduction to Anesthesia The Principles of Safe Practice, sixth edition, W.B. Saunders Company, Philadelphia, 1982, hal 155. 5. Boulton, T.B, Anestesiologi, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1994, hal 90. 6. Gan, S, Farmakologi dan Terapi, edisi 3, Bagian Farmakologi FK UI, Jakarta, 1987, hal 113. Diposting oleh Admin Pada 22:04:00 0 komentar Link ke posting ini Label: Anestesi

KristaloidSyok atau renjatan merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang mengakibatkan hipoksia jaringan dan sel. Karena hipoksia pada syok terjadi gangguan metabolisme sel, sehingga dapat timbul kerusakan ireversibel pada jaringan organ vital. Bila terjadi kondisi seperti ini penderita meninggal dunia. Syok bukan merupakan penyakit dan tidak selalu disertai kegagalan perfusi jaringan. Syok dapat terjadi karena kehilangan cairan dalam waktu singkat dari ruang intravaskuler, kegagalan kuncup jantung, infeksi sistemik berat, reaksi imun yang berlebihan dan reaksi vasovagol. Dan syok dapat terjadi setiap waktu pada penderita. Penanggulangan didasarkan pada diagnosis dini yang tepat.A. Definisi dan Penyebab Syok

Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi yang menyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis. Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Clelland tentang fisiologi keadaan syok dan homeostasis, syok adalah keadaan tidak cukupnya pengiriman oksigen ke jaringan. Syok merupakan keadaan gawat yang membutuhkan terapi yang agresif dan pemantauan yang kontinyu atau terus-menerus di unit terapi intensif. Syok secara klinis didiagnosa dengan adanya gejala-gejala seperti berikut : 1. Hipotensi : tekanan sistole kurang dari 80 mmHg atau TAR (Tekanan Arteri Rata-rata) kurang dari 60 mmHg, atau menurun 30 % lebih. 2. Oliguria : produksi urin kurang dari 20 ml/jam. 3. Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin dan berkerut serta pengisian kapiler yang jelek.

Syok dapat diklasifikasi sebagai syok hipovolemik, kardiogenik dan syok anafilaksis. Di sini akan dibicarakan mengenai syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskuler, misalnya terjadi pada : 1. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang mengalir keluar tubuh seperti hematotoraks, ruptura limpa dan kehamilan ektopik terganggu. 2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah yang besar. Misalnya, fraktur humerus menghasilkan 500-1000 ml perdarahan atau fraktur femur menampung 1000-1500 ml perdarahan. 3. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada : a. Gastrointestinal : peritonitis, pankreatitis dan gastroenteritis. b. Renal : terapi diuretik, krisis penyakit Addison. c. Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis. Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam jaringan. Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam laktat, asam piruvat, asam lemak dan keton (Stene-Giesecke, 1991). Yang penting dalam klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan dengan penggantian cairan. Asidosis merupakan urusan selanjutnya, bukan prioritas utama.B. Gejala dan Tanda Klinis

Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid, besarnya volume cairan yang hilang dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respons kompensasi. Pasien muda dapat dengan mudah mengkompensasi kehilangan cairan dengan jumlah sedang dengan vasokonstriksi dan takhikardia. Kehilangan volume yang cukup besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia lanjut, masih dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat atau singkat. Apabila syok telah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan hipovolemia, penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali dalam beberapa menit. Adalah penting untuk mengenali tanda-tanda syok, yaitu : 1. Kulit dingin, pucat dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian kapiler selalu berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan.

2. Takhikardia : peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respons homeostasis penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi berfungsi mengurangi asidosis jaringan. 3. Hipotensi : karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah sistemik dan curah jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor yang esensial dalam mempertahankan tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak dapat dipertahankan selama tekanan arteri turun tidak di bawah 70 mHg. 4. Oliguria : produk urin umumnya akan berkurang pada syok hipovolemik. Oliguria pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam. Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat, dia akan menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi seperti : (1) Turunnya turgor jaringan; (2) Mengentalnya sekresi oral dan trakhea, bibir dan lidah menjadi kering; serta (3) Bola mata cekung. Akumulasi asam laktat pada penderita dengan tingkat cukup berat, disebabkan oleh metabolisme anaerob. Asidosis laktat tampak sebagai asidosis metabolik dengan celah ion yang tinggi. Selain berhubungan dengan syok, asidosis laktat juga berhubungan dengan kegagalan jantung (decompensatio cordis), hipoksia, hipotensi, uremia, ketoasidosis diabetika (hiperglikemi, asidosis metabolik, ketonuria) dan pada hidrasi berat. Tempat metabolisme laktat terutama adalah di hati dan sebagian di ginjal. Pada insufisiensi hepar, glukoneogenesis hepatik terhambat dan hepar gagal melakukan metabolisme laktat. Pemberian HCO3 (bikarbonat) pada asidosis ditangguhkan sebelum pH darah turun menjadi 7,2. Apabila pH 7,0-7,15 dapat digunakan 50 ml NaHCO3 8,4 % selama satu jam. Sementara, untuk pH < 7,0 digunakan 2/2 x berat badan x kelebihan basa. A. Resusitasi Cairan Manajemen cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan menurunkan angka mortalitas. Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan pada fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan akibat lanjut. Tabel 1. Jenis-jenis Cairan Kristaloid untuk ResusitasiCairan Na+ K+ ClCa++ HCO3 Tekanan Osmotik (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mOsm/L) Ringer Laktat Ringer Asetat NaCl 0,9 % 130 130 154 4 4 190 109 154 3 3 28* 28: 273 273 308

*Sebagai laktat

: Sebagai asetat

Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit, plasma atau darah. Untuk perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah mengupayakan aliran vena yang memadai. Mulailah dengan memberikan infus Saline atau Ringer Laktat isotonis. Sebelumnya, ambil darah 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium rutin, golongan darah dan bila perlu Cross test. Perdarahan berat adalah kasus gawat darurat yang membahayakan jiwa. Jika hemoglobin rendah maka cairan pengganti yang terbaik adalah transfusi darah. Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk terapi syok hipovolemik. Sumber kehilangan darah atau cairan harus segera diketahui agar dapat segera dilakukan tindakan. Cairan infus harus diberikan dengan kecepatan yang cukup untuk segera mengatasi defisit atau kehilangan cairan akibat syok. Penyebab yang umum dari hipovolemia adalah perdarahan, kehilangan plasma atau cairan tubuh lainnya seperti luka bakar, peritonitis, gastroenteritis yang lama atau emesis dan pankreatitis akuta.Gambar 1. Klasifikasi Terapi Cairan

C. Pemilihan Cairan Intravena

Pemilihan cairan intravena sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parerenteral telah dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Tetapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien.

Tetapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan cairan terbaik untuk resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat dapat menormalisasikan tekanan darah pada pasien kombustio 18-24 jam sesudah cedera luka bakar. Larutan parerental pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid, koloid dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah. Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombustio dan sindroma syok. NaCl 0,45 % dalam larutan Dextrose 5 % digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel. Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat. Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian.DAFTAR PUSTAKA

1. Darmawan, Iyan, MD, Cairan Alternatif untuk Resusitasi Cairan : Ringer Asetat, Medical Departement PT. Otsuka Indonesia, Simposium Alternatif Baru Dalam Terapi Resusitasi Cairan. 2. FH Feng, KM Fock, Peng, Penuntun Pengobatan Darurat, Yayasan Essentia Medica Andi Yogyakarta, Edisi Yogya 1996, hal 5-16. 3. Hardjono, IS, Biomedik Asam Laktat, Bagian Biokimia FK Undip Semarang, Majalah Medika No. 6 Tahun XXV Juni 1999 hal 379-384. 4. Pudjiadi, Tatalaksana Syok Dengue pada Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Simposium Alternatif Baru Dalam Terapi Resusitasi Cairan, Agustus 1999. 5. Sunatrio, S, Larutan Ringer Asetat dalam Praktek Klinis, Simposium Alternatif Baru Dalam Terapi Resusitasi Cairan, Bagian Anestesiologi FKUI/RSCM, Jakarta, 14 Agustus 1999. 6. Thaib, Roesli, Syok Hipovolemik dan Terapi Cairan, Kumpulan Naskah Temu Nasional Dokter PTT, FKUI, Simposium h 17-32.

7. Wirjoatmodjo, M, Rehidrasi Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi Kedua, ED Soeparman, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1987 hal 8-12. Diposting oleh Admin Pada 22:03:00 0 komentar Link ke posting ini Label: Anestesi

Resusitasi jantung paru pada kegawatan kardiovaskulerIstilah resusitasi atau reanimasi di dalam kamus-kamus diartikan sebagai menghidupkan kembali atau memberi hidup baru. Dalam arti luas resusitasi merupakan segala bentuk usaha medis, yang dilakukan terhadap mereka yang berada dalam keadaan gawat atau kritis, untuk mencegah kematian. Kematian di dalam klinik diartikan sebagai hilangnya kesadaran dan semua refleks, disertai berhentinya pernafasan dan peredaran darah yang ireversibel. Oleh karena itu resusitasi merupakan segala usaha untuk mengembalikan fungsi sistem pernafasan, peredaran darah dan saraf, yang terhenti atau terganggu sedemikain rupa sehingga fungsinya dapat berhenti sewaktu-waktu, agar kembali menjadi normal seperti semula. Karenanya timbullah istilah Cardio Pumonary Resuscitation (CPR) yang dalam bahasa Indonesia menjadi Resusitasi Jantung Paru (RJP). (1)Berhasil tidaknya resusitasi jantung paru tergantung pada cepat tindakan dan tepatnya teknik pelaksanaannya. Pada beberapa keadaan, tindakan resusitasi tidak dianjurkan (tidak efektif) antara lain bila henti jantung (arrest) telah berlangung lebih dari 5 menit karena biasanya kerusakan otak permanen telah terjadi, pada keganasan stadium lanjut, gagal jantung refrakter, edema paru refrakter, renjatan yang mendahului arrest, kelainan neurologik berat, penyakit ginjal, hati dan paru yang lanjut. (2)

Permasalahan yang sering kita hadapi, bagaimana cara menangani kegawatan kardiovaskuler lewat resusitasi jantung paru dengan tindakan dan teknik pelaksanaan yang tepat. Tujuan penulisan ini untuk memberi jawaban pertanyaan di atas secara praktis, sehingga pembaca dapat mengenal dan melakukan resusitasi jantung paru pada kegawatan kardiovaskuler. A. Definisi Resusitasi mengandung arti harfiah Menghidupkan kembali tentunya dimaksudkan usahausaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. (3)B. Klasifikasi

Resusitasi jantung paru terdiri atas 2 komponen utama yakni, 1. Bantuan hidup dasar / BHD adalah usaha yang dilakukan untuk menjaga jalan nafas (airway) tetap terbuka, menunjang pernafasan dan sirkulasi dan tanpa menggunakan alatalat bantu. Usaha ini harus dimulai dengan mengenali secara tepat keadaan henti jantung atau henti nafas dan segera memberikan bantuan sirkulasi dan ventilasi. Usaha BHD ini

bertujuan dengan cepat mempertahankan pasok oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya sambil menunggu pengobatan lanjutan. Pengalaman menunjukkan bahwa resusitasi jantung paru akan berhasil terutama pada keadaan henti jantung yang disaksikan (witnessed) dimana resusitasi segera dilakukan oleh orang yang berada di sekitar korban. 2. Bantuan hidup lanjut / BHL adalah usaha yang dilakukan setelah dilakukan usaha hidup dasar dengan memberikan obat-obatan yang dapat memperpanjang hidup pasien. (3) 3. Tunjangan Hidup Terus Menerus.C. Etiologi henti jantung dan nafas

Beberapa penyebab henti jantung dan nafas adalah, 1. Infark miokard akut, dengan komplikasi fibrilasi ventrikel, cardiac standstill, aritmia lain, renjatan dan edema paru. 2. Emboli paru, karena adanya penyumbatan aliran darah paru. 3. Aneurisma disekans, karena kehilangan darah intravaskular. 4. Hipoksia, asidosis, karena adanya gagal jantung atau kegagalan paru berat, tenggelam, aspirasi, penyumbatan trakea, pneumothoraks, kelebihan dosis obat, kelainan susunan saraf pusat. 5. Gagal ginjal, karena hiperkalemia Henti jantung biasanya terjadi beberapa menit setelah henti nafas. Umumnya, walaupun kegagalan pernafasan telah terjadi, denyut jantung masih dapat berlangsung terus sampai kira-kira 30 menit. Pada henti jantung, dilatasi pupil kadang-kadang tidak jelas. Dilatasi pupil mulai terjadi 45 detik setelah aliran darah ke otak terhenti dan dilatasi maksimal terjadi dalam waktu 1 menit 45 detik. Bila telah terjadi dilatasi pupil maksimal, hal ini menandakan sudah terjadi 50 % kerusakan otak irreversibel. (1)D. Diagnosis

1. Tanda-tanda henti jantung a. Kesadaran hilang (dalam 15 detik setelah henti jantung) b. Tak teraba denyut arteri besar (femoralis dan karotis pada orang dewasa atau brakialis pada bayi) c. Henti nafas atau mengap-megap (gasping) d. Terlihat seperti mati (death like appearance) e. Warna kulit pucat sampai kelabu

f. Pupil dilatasi (setelah 45 detik). (4) 2. Diagnosis henti jantung sudah dapat ditegakkan bila dijumpai ketidak sadaran dan tak teraba denyut arteri besar a. Tekanan darah sistolik 50 mmHg mungkin tidak menghasilkan denyut nadi yang dapat diraba. b. Aktivitas elektrokardiogram (EKG) mungkin terus berlanjut meskipun tidak ada kontraksi mekanis, terutama pada asfiksia. c. Gerakan kabel EKG dapat menyerupai irama yang tidak mantap. d. Bila ragu-ragu, mulai saja RIP. (4)E. Penatalaksanaan henti jantung dan nafas

Resusitasi jantung paru hanya dilakukan pada penderita yang mengalami henti jantung atau henti nafas dengan hilangnya kesadaran.oleh karena itu harus selalu dimulai dengan menilai respon penderita, memastikan penderita tidak bernafas dan tidak ada pulsasi. (3) Pada penatalaksanaan resusitasi jantung paru harus diketahui antara lain, kapan resusitasi dilakukan dan kapan resusitasi tidak dilakukan. 1. Resusitasi dilakukan pada : - Infark jantung kecil yang mengakibatkan kematian listrik - Serangan Adams-Stokes - Hipoksia akut - Keracunan dan kelebihan dosis obat-obatan - Sengatan listrik - Refleks vagal - Tenggelam dan kecelakaan-kecelakaan lain yang masih memberi peluang untuk hidup. 2. Resusitasi tidak dilakukan pada : - Kematian normal, seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik yang berat. - Stadium terminal suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan lagi. - Bila hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah - 1 jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP. (4)

Pada penatalaksanaan resusitasi jantung paru penilaian tahapan BHD sangat penting. Tindakan resusitasi (yaitu posisi, pembukaan jalan nafas, nafas buatan dan kompresi dada luar) dilakukan kalau memang betul dibutuhkan. Ini ditentukan penilaian yang tepat, setiap langkah ABC RJP dimulai dengan : penentuan tidak ada respons, tidak ada nafas dan tidak ada nadi. Langkah-langkah yang dilakukan dalam resusitasi jantung paru adalah sebagai berikut : (4) A. Bantuan Hidup Dasar Airway (jalan nafas) Berhasilnya resusitasi tergantung dari cepatnya pembukaan jalan nafas. Caranya ialah segera menekuk kepala korban ke belakang sejauh mungkin, posisi terlentang kadangkadang sudah cukup menolong karena sumbatan anatomis akibat lidah jatuh ke belakang dapat dihilangkan. Kepala harus dipertahankan dalam posisi ini. Bila tindakan ini tidak menolong, maka rahang bawah ditarik ke depan. Caranya ialah, - Tarik mendibula ke depan dengan ibu jari sambil, - Mendorong ke kepala ke belakang dan kemudian, - Buka rahang bawah untuk memudahkan bernafas melalui mulut atau hidung. Penarikan rahang bawah paling baik dilakukan bila penolong berada pada bagian puncak kepala korban. Bila korban tidak mau bernafas spontan, penolong harus pindah ke samping korban untuk segera melakukan pernafasan buatan mulut ke mulut atau mulut ke hidung. (5,6, 7)

Breathing (Pernafasan) Dalam melakukan pernafasa mulut ke mulut penolong menggunakan satu tangan di belakang leher korban sebagai ganjalan agar kepala tetap tertarik ke belakang, tangan yang lain menutup hidung korban (dengan ibu jari dan telunjuk) sambil turut menekan dahi korban ke belakang. Penolong menghirup nafas dalam kemudian meniupkan udara ke dalam mulut korban dengan kuat. Ekspirasi korban adalah secara pasif, sambil diperhatikan gerakan dada waktu mengecil. Siklus ini diulang satu kali tiap lima detik selama pernafasan masih belum adekuat. Pernafasan yang adekuat dinilai tiap kali tiupan oleh penolong, yaitu perhatikan : - gerakan dada waktu membesar dan mengecil - merasakan tahanan waktu meniup dan isi paru korban waktu mengembang - dengan suara dan rasakan udara yang keluar waktu ekspirasi.

Tiupan pertama ialah 4 kali tiupan cepat, penuh, tanpa menunggu paru korban mengecil sampai batas habis. (5) Circulation (Sirkulasi buatan) Sering disebut juga dengan Kompresi Jantung Luar (KJL). Henti jantung (cardiac arrest) ialah hentinya jantung dan peredaran darah secara tiba-tiba, pada seseorang yang tadinya tidak apa-apa; merupakan keadaan darurat yang paling gawat. Sebab-sebab henti jantung : - Afiksi dan hipoksi - Serangan jantung - Syok listrik - Obat-obatan - Reaksi sensitifitas - Kateterasi jantung - Anestesi. (5) Untuk mencegah mati biologi (serebral death), pertolongan harus diberikan dalam 3 atau 4 menit setelah hilangnya sirkulasi. Bila terjadi henti jantung yang tidak terduga, maka langkah-langkah ABC dari tunjangan hidup dasar harus segera dilakukan, termasuk pernafasan dan sirkulasi buatan. Henti jantung diketahui dari : - Hilangnya denyut nadi pada arteri besar - Korban tidak sadar - Korban tampak seperti mati - Hilangnya gerakan bernafas atau megap-megap. Pada henti jantung yang tidak diketahui, penolong pertama-tama membuka jalan nafas dengan menarik kepala ke belakang. Bila korban tidak bernafas, segera tiup paru korban 3-5 kali lalu raba denyut a. carotis. Perabaan a. carotis lebih dianjurkan karena : (5) 1. Penolong sudah berada di daerah kepala korban untuk melakukan pernafasan buatan 2. Daerah leher biasanya terbuka, tidak perlu melepas pakaian korban

3. Arteri karotis adalah sentral dan kadang-kadang masih berdenyut sekalipun daerah perifer lainnya tidak teraba lagi. Bila teraba kembali denyut nadi, teruskan ventilasi. Bila denyut nadi hilang atau diragukan, maka ini adalah indikasi untuk memulai sirkulasi buatan dengan kompresi jantung luar. Kompresi jantung luar harus disertai dengan pernafasan buatan. ( 5, 7) Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan ABC RJP tersebut adalah, 1. RJP jangan berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun 2. Tidak perlu memindahkan penderita ke tempat yang lebih baik, kecuali bila ia sudah stabil 3. Jangan menekan prosesus xifoideus pada ujung tulang dada, karena dapat berakibat robeknya hati 4. Diantara tiap kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi melekat pada sternum, jarijari jangan menekan iga korban 5. Hindarkan gerakan yang menyentak. Kompresi harus lembut, teratur dan tidak terputus 6. Perhatikan komplikasi yang mungkin karena RJP. (5) ABC RJP dilakukan pada korban yang mengalami henti jantung dapat memberi kemungkinan beberapa hasil, 1. Korban menjadi sadar kembali 2. Korban dinyatakan mati, ini dapat disebabkan karena pertolongan RJP yang terlambat diberikan atau pertolongan tak terlambat tetapi tidak betul pelaksanaannya. 3. Korban belum dinyatakan mati dan belum timbul denyut jantung spontan. Dalam hal ini perlu diberi pertolongan lebih lanjut yaitu bantuan hidup lanjut (BHL). (4) B. Bantuan Hidup LanjutDrugs

Setelah penilaian terhadap hasil bantuan hidup dasar, dapat diteruskan dengan bantuan hidup lanjut (korban dinyatakan belum mati dan belum timbul denyut jantung spontan), maka bantuan hidup lanjut dapat diberikan berupa obat-obatan. Obat-obatan tersebut dibagi dalam 2 golongan yaitu, 1. Penting, yaitu : Adrenalin Natrium bikarbonat Sulfat Atropin

Lidokain 2. Berguna, yaitu : Isoproterenol Propanolol Kortikosteroid. (5) Natrium bikarbonat Penting untuk melawan metabolik asidosis, diberikan iv dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama periode 10 menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu sirkulasi spontan yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan karena bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama. Adrenalin Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang diberikan 0,5 1 mg iv diulang setelh 5 menit sesuai kebutuhan dan yang perlu diperhatikan dapat meningkatkan pemakaian O2 myocard, takiaritmi, fibrilasi ventrikel. Lidokain Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia dengan cara meningkatkan ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak ada perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan arteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil, juga efektif mengontrol denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal dan episode takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu 1-3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg.menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5 % larutan (1 mg/ml). Sulfat Artopin Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus bradikardi. Paling berguna dalam mencegah arrest pada keadaan sinus bradikardi sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi. Dosis yang dianjurkan mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang dalam interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60 /menit, dosis total tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler derajat 3 yang membutuhkan dosis lebih besar. Isoproterenol Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat karena complete heart block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/menit (1-10 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diatur untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-

kira 60 kali/menit. Juga berguna untuk sinus bradikardi berat yang tidak berhasil diatasi dengan Atropine. Propranolol Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti berguna untuk kasus-kasus takhikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang dimana ritme jantung tidak dapat diatasi dengan Lidocaine. Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg, dengan pengawasan yang ketat. Kortikosteroid Sekaranfg lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB methyl prednisolon sodium succinate atau 1 mg/kgBB dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok kardiogenik atau shock lung akibat henti jantung. Bila ada kecurigaan edema otak setelah henti jantung, 60100 mg methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila ada komplikasi paru seperti pneumonia post aspirasi, maka digunakan dexamethason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam.EKG

Diagnosis elektrokardigrafis untuk mengetahui adanya fibrilasi ventrikel dan monitoring.Fibrillation Treatment

Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda dipasang sebelah kiri putting susu kiri dan di sebelah kanan sternum atas. Keputusan untuk mengakhiri resusitasi

Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah medis, tergantung pada pertimbangan penafsiran status serebral dan kardiovaskuler penderita. Kriteria terbaik adanya sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi pupil, tingkat kesadaran, gerakan dan pernafasan spontan dan refleks. Keadaan tidak sadar yang dalam tanpa pernafasan spontan dan pupil tetap dilatasi 15-30 menit, biasanya menandakan kematian serebral dan usaha-usaha resusitasi selanjutnya biasanya sia-sia. Kematian jantung sangat memungkinkan terjadi bila tidak ada aktivitas elektrokardiografi ventrikuler secara berturutturut selama 10 menit atau lebih sesudah RJP yang tepat termasuk terapi obat. (5)KESIMPULAN

Resusitasi mengandung arti harfiah Menghidupkan kembali tentunya dimaksudkan usahausaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi jantung paru terdiri atas 2 komponen utama yakni : bantuan hidup dasar / BHD dan Bantuan hidup lanjut / BHL Usaha Bantuan Hidup Dasar bertujuan dengan cepat mempertahankan pasok oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya sambil menunggu pengobatan lanjutan. Bantuan hidup lanjut dengan pemberian obatobatan untuk memperpanjang hidup Resusitasi dilakukan pada : infark jantung kecil yang mengakibatkan kematian listrik, serangan Adams-Stokes, Hipoksia akut, keracunan dan kelebihan dosis obat-obatan, sengatan listrik, refleks vagal, serta kecelakaan lain yang masih memberikan peluang untuk hidup. Resusitasi tidak dilakukan pada : kematian normal stadium terminal suatu yang tak dapat disembuhkan. Penanganan dan tindakan cepat pada resusitasi jantung paru khususnya pada kegawatan kardiovaskuler amat penting untuk menyelematkan hidup, untuk itu perlu pengetahuan RJP yang tepat dan benar dalam pelaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Safar P, Resusitasi Jantung Paru Otak, diterbitkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, hal : 4, 1984. 2. Alkatri J, dkk, Resusitasi Jantung Paru, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Editor Soeparman, Jilid I, ed. Ke-2, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal : 281, 1987. 3. Soerianata S, Resusitasi Jantung Paru, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Kardiologi, Editor Lyli Ismudiat R, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal : 106, 1998. 4. Sunatrio DR, Resusitasi Jantung Paru, Editor Muchtaruddin Mansyur, IDI, Jakarta, hal : 193. 5. Siahaan O, Resusitasi Jantung Paru Otak, Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus, No. 80, hal : 137-129, 1992. 6. Emergency Medicine Illustrated, Editor Tsuyoshi Sugimoto, Takeda Chemical Industries, 1985.

7. Mustafa I, dkk, Bantuan Hidup Dasar, RS Jantung Harapan Kita, Jakarta, 1996. 8. Sunatrio S, dkk, Resusitasi Jantung Paru, dalam Anesteiologi, Editor Muhardi Muhiman, dkk, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI, 1989. 9. Otto C.W., Cardiopulmonary Resuscitation, in Critical Care Practice, The American Society of Critical Care Anesthesiologists, 1994. 10. Sjamsuhidajat R, Jong Wd, Resusitasi, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, hal : 124-119, 1997. Diposting oleh Admin Pada 22:02:00 1 komentar Link ke posting ini Label: Anestesi

Obat Golongan Opiat Pada AnestesiObat-obat opioid yang biasanya digunakan dalam anastesi antara lain adalah morfin, petidin dan fentanil.1 Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium maupun morfin. Meskipun mempelihatkan berbagai efek farmakologik yang lain, golongan obat ini digunakan terutama untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri.2, 3 Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin, dan tidak semua obat golongan opioid yang dipasarkan di Indonesia. Akan tetapi dengan sediaan yang sudah ada kiranya penangganan nyeri yang membutuhkan obat opioid dapat dilakukan. Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat.4, 5 Dahulu digunakan istilah analgesik narkotik untuk analgesik kuat yang mirip morfin. Istilah ini berasal dari kata yunani yang berarti stupor. Istilah narkotik ini telah lama ditinggalkan jauh sebelum ditemukannya ligand yang mirip opioid endogen dan reseptor untuk zat ini. Dengan ditemukannya obat yang bersifat campuran agonis dan antagonis opioid yang tidak meniadakan ketergantungan fisik akibat morfin maka penggunaan istilah analgesik narkotik untuk pengertian farmakologik tidak sesuai lagi.3 II. 1 DEFINISI Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin, misalnya. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan.2, 3 II. 2 KLASIFIKASI OPIOID Yang termasuk golongan opioid ialah : (1) obat yang berasal dari opium-morfin ; (2) senyawa semisintetik morfin ; (3) senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.3

Didalam klinik opioid dapat digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin). Akan tetapi pembagian ini sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi relatifnya, dan bukannya pada potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi yang lebih luas, dan dapat menyembuhkan nyeri yang berat lebih banyak dibandingkan dengan opioid lemah. Penggolongan opioid lain adalah opioid natural (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain), semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).2, 4 Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat digolongkan menjadi ;2, 3, 4 1. Agonis opoid Merupakan obat opioid yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor, tertama pada reseptor m, dan mungkin pada reseptor k contoh ; morfin, papaveretum, petidin (meperidin, demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin. 2. Antagonis opioid Merupakan obat opioid yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor, contoh ; nalokson. 3. Agonis-antagonis (campuran) opioid Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja sebagai agonis pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain, contoh pentazosin, nabulfin, butarfanol, bufrenorfin. II. 1 MEKANISME KERJA Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan system saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipothalamus corpus striatum, system aktivasi retikuler dan di korda spinalis yaitu substantia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek.2 Reseptor tempat terikatnya opioid disel otak disebut reseptor opioid dan dapat diidentifikasikan menjadi 5 golongan, yaitu antara lain:2, 3, 4 Reseptor m (mu) : m-1, analgesia supraspinal, sedasi. m-2, analgesia spinal, depresi nafas, euphoria, ketergantungan fisik, kekakuan otot. Reseptor d (delta) : analgesia spinal, epileptogen.. Reseptor k (kappa) : k-1, analgesia spinal.

k-2 tak diketahui. k-3 analgesia supraspinal. Reseptor s (sigma) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung. Reseptor e (epsilon) : respon hormonal. Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor akan tetapi dengan afinitas yang berbeda, dan dapat bekerja sebagai agonis, antagonis, dan campuran.3, 4 Opioid mempunyai persamaan dalam hal pengaruhnya pada reseptor ; karena itu efeknya pada berbagai organ tubuh juga mirip. Perbedaan yang ada menyangkut kuantitas, afinitas pada reseptor dan tentu juga kinetik obat yang bersangkutan. Secara umum, efek obat-obat narkotik/opioid antara lain ;4 A. Efek sentral ; a. Menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi (pacuan) pada reseptor opioid (efek analgesi). b. Pada dosis terapik normal, tidak mempengaharui sensasi lain. c. Mengurangi aktivitas mental (efek sedative). d. Menghilangkan konplik dan kecemasan (efek transqualizer). e. Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah pasien merasakan sebaliknya (efek disforia). f. Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek depresi respirasi dan antitusif). g. Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek emetik), tapi pada akhirnya menghambat pusat emetik (efek antiemetik). h. Menyebabkan miosis (efek miotik). i. Memicu pelepasan hormon antidiuretika (efek antidiuretika). j. Menunjukkan perkembangan toleransi dan dependensi dengan pemberian dosis yang berkepanjangan. B.Efek perifer ; a. Menunda pengosongan lambung dengan kontriksi pilorus. b. Mengurangi motilitas gastrointestinal dan menaikkan tonus (konstipasi spastik).

c. Kontraksi sfingter saluran empedu. d. Menaikkan tonus otot kandung kencing. e. Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi ortostastik. f. Menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan histamin, dan memicu bronkospasmus pada pasien asma. II. 1 MORFIN Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah dan menguntungkan, yang dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).2, 3 Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif, yakni tidak begitu mempengaharui unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahakan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi3, 4. Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin meninggikan ambang rangsang nyeri ; (2) morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus ; (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.3 Farmakodinamik Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos. Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika (ADH).2, 3, 4, 6 Farmakokinetik Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat mmenembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaharui janin. Ekresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat.2, 3, 4, 6 Indikasi Morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya

makin besar dosis yang diperlukan. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai ; (1) Infark miokard ; (2) Neoplasma ; (3) Kolik renal atau kolik empedu ; (4) Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner ; (5) Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan ; (6) Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.3 Efek samping Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi pernafasan, nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan pada traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi.2, 3, 4, 5, 6 Dosis dan sediaan Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yamg diperlukan.2, 3 III. 2 PETIDIN Petidin ( meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Secara kimia petidin adalah etil-1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat.3 Farmakodinamik Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor m (mu). Seperti halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah dibanding morfin, tetapi leih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis 3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri neuropatik. 3, 6 Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai berikut : 2 1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam air. 2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit yang masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin. 3. Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan takikardia. 4. Seperti morpin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan. 5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak ada hubungannya dengan hipiotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa. Morfin tidak.

6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin. Farmakokinetik Absorbsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi. Setelah pemberian meperidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama, kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang lebih 60% meperidin dalam plasma terikat protein. Metabolisme meperidin terutama dalam hati. Pada manusia meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian sebagian mengalami konyugasi. Meperidin dalam bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat Ndemitilasi. Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan tekanan intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda persalinan, akan tetapi dapat masuk kefetus dan menimbulkan depresi respirasi pada kelahiran. Indikasi Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik, untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang karena menyebabkan depresi nafas pada janin. Dosis dan sediaan Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.4, 6 Efek samping Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.3, 4, 6 III. 3 FENTANIL Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin. Fentanil merupakan opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin. Lebih larut dalam lemak dan lebih mudah menembus sawar jaringan.2, 3, 4 Farmakodinamik

Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu analgesik, fentanil 75-125 kali lebih potendibandingkan dengan morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil (dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang tinggi menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf tepi. Fentanil dikombinasikan dengan droperidol untuk menimbulkan neureptanalgesia. 3, 6 Farmakokinetik Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.6 Indikasi Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 /kg BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml.4, 6 Efek samping Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol. 2 Obat terbaru dari golongan fentanil adalah remifentanil, yang dimetabolisir oleh esterase plasma nonspesifik, yang menghasilkan obat dengan waktu paruh yang singkat, tidak seperti narkotik lain durasi efeknya relatif tidak tergantung dengan durasi infusinya.4 KESIMPULAN 1. Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin, dan tidak semua obat golongan opioid yang dipasarkan di Indonesia. Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat. 2. Obat golongan obat yang agonis yang sering digunakan didalam anastesia antara lain adalah morfin, petidin, fentanil. 3. Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin,. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan. 4. Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat digolongkan menjadi ; Agonis opioid, Antagonis opioid, agonis-antagonis (campuran) opioid.

Daftar pustaka 1. Muhardi dan Susilo, Penanggulangan Nyeri Pasca Bedah, Bagian Anestiologi dan Terapi Intensif FK-UI, Jakarta 1989, hal ; 199. 2. Latief. S. A, Suryadi K. A, dan Dachlan M. R, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi II, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI, Jakarta, Juni, 2001, hal ; 77-83, 161. 3. H. Sardjono, Santoso dan Hadi rosmiati D, farmakologi dan terapi, bagian farmakologi FKUI, Jakarta, 1995 ; hal ; 189-206. 4. Samekto wibowo dan Abdul gopur, farmako terapi dalam neuorologi, penerbit salemba medika ; hal : 138-143. 5. Sunatrio. S, ketamin vs Petidin as Analgetic for Tiva with Propofol, majalah Kedokteran Indonesia, vol : 44, nomor : 5, mei 1994, hal ; 278-279. 6. Omorgui, s, Buku Saku Obat-obatan Anastesi, Edisi II, EGC, Jakarta, 1997, hal ; 203-207. Diposting oleh Admin Pada 22:02:00 0 komentar Link ke posting ini Label: Anestesi

Sabtu, 24 November 2007Anastesi pada NeonatusNeonatus adalah masa kehidupan pertama di luar rahim sampai dengan usia 28 hari, dimana terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan didalam rahim menjadi diluar rahim. Pada masa ini terjadi pematangan organ hampir pada semua system. Neonatus bukanlah miniatur orang dewasa, bahkan bukan pula miniatur anak. Neonatus mengalami masa perubahan dari kehidupan didalam rahim yang serba tergantung pada ibu menjadi kehidupan diluar rahim yang serba mandiri. Masa perubahan yang paling besar terjadi selama jam ke 24-72 pertama. Transisi ini hampir meliputi semua sistem organ tapi yang terpenting bagi anestesi adalah system pernafasan sirkulasi, ginjal dan hepar. Maka dari itu sangatlah diperlukan penataan dan persiapan yang matang untuk melakukan suatu tindakan anestesi terhadap neonatus. SISTEM PERNAFASAN Jalan Nafas : Otot leher bayi masih lembek, leher lebih pendek, sulit menyangga atau memposisikan kepala dengan tulang occipital yang menonjol. Lidah besar, epiglottis berbentuk U dengan proyeksi lebih ke posterior dengan sudut 450, relative lebih panjang dan keras, letaknya tinggi, bahkan menempel pada palatum molle sehingga cenderung bernafas melalui hidung. Akibat perbedaan anatomis epiglottis tersebut, saat intubasi kadangkala diperlukan pengangkatan epiglottis untuk visualisasi. Sementara lubang hidung, glottis, pipa tracheobronkial relative sempit, meningkatkan resistensi jalan nafas, mudah sekali

tersumbat oleh lender dan edema. Trachea pendek, berbentuk seperti corong dengan diameter tersempit pada bagian cricoid. (Cote CJ,2000)

Pernafasan : Sangkar dada lemah dan kecil dengan iga horizontal. Diafragma terdorong keatas oleh isi perut yang besar. Dengan demikian kemampuan dalam memelihara tekanan negative intrathorak dan volume paru rendah sehingga memudahkan terjadinya kolaps alveolus serta menyebabkan neonatus bernafas secara diafragmatis. Kadang-kadang tekanan negative dapat timbul dalam lambung pada waktu proses inspirasi, sehingga udara atau gas anestesi mudah terhirup ke dalam lambung. Pada bayi yang mendapat kesulitan bernafas dan perutnya kembung dipertimbangkan pemasangan pipa lambung. Karena pada posisi terlentang dinding abdomen cenderung mendorong diafragma ke atas serta adanya keterbatasan pengembangan paru akibat sedikitnya elemen elastis paru, maka akan menurunkan FRC (Functional Residual Capacity) sementara volume tidalnya relative tetap. Untuk meningkatkan ventilasi alveolar dicapai dengan cara menaikkan frekuensi nafas, karena itu neonatus mudah sekali gagal nafas. Peningkatan frekuensi nafas juga dapat akibat dari tingkat metabolisme pada neonatus yang relative tinggi, sehingga kebutuhan oksigen juga tinggi, dua kali dari kebutuhan orang dewasa dan ventilasi alveolar pun relative lebih besar dari dewasa hingga dua kalinya. Tingginya konsumsi oksigen dapat menerangkan mengapa desaturasi O2 dari Hb terjadi lebih mudah atau cepat, terlebih pada premature, adanya stress dingin maupun sumbatan jalan nafas.

SISTEM SIRKULASI DAN HEMATOLOGI Aliran darah fetal bermula dari vena umbilikalis, akibat tahanan pembuluh paru yang besar (lebih tinggi dibanding tahanan vaskuler sistemik =SVR) hanya 10% dari keluaran ventrikel kanan yang sampai paru, sedang sisanya (90%) terjadi shunting kanan ke kiri melalui ductus arteriosus Bottali. Pada waktu bayi lahir, terjadi pelepasan dari plasenta secara mendadak (saat umbilical cord dipotong/dijepit), tekanan atrium kanan menjadi rendah, tahanan pembuluh darah sistemik (SVR) naik dan pada saat yang sama paru mengembang, tahanan vaskuler paru menyebabkan penutupan foramen ovale (menutup setelah beberapa minggu), aliran darah di ductus arteriosus Bottali berbalik dari kiri ke kanan. Kejadian ini disebut sirkulasi transisi. Penutupan ductus arteriosus secara fisiologis terjadi pada umur bayi 10-15 jam yang disebabkan kontraksi otot polos pada akhir arteri pulmonalis dan secara anatomis pada usia 2-3 minggu. Pada neonatus reaksi pembuluh darah masih sangat kurang, sehingga keadaan kehilangan darah, dehidrasi dan kelebihan volume juga sangat kurang ditoleransi. Manajemen cairan pada neonatus harus dilakukan dengan secermat dan seteliti mungkin. Tekanan sistolik merupakan indicator yang baik untuk menilai sirkulasi volume darah dan dipergunakan sebagai parameter yang adekuat terhadap penggantian volume. Autoregulasi aliran darah otak pada bayi baru lahir tetap terpelihara normal pada tekanan sistemik antara 60-130 mmHg. Frekuensi nadi bayi rata-rata 120 kali/menit dengan tekanan darah sekitar 80/60 mmHg. SISTEM EKSKRESI DAN ELEKTROLIT

Akibat belum matangnya ginjal neonatus, filtrasi glomerulus hanya sekitar 30% disbanding orang dewasa. Fungsi tubulus belum matang, resorbsi terhadap natrium, glukosa, fosfat organic, asam amibo dan bikarbonas juga rendah. Bayi baru lahir sukar memekatkan air kemih, tetapi kemampuan mengencerkan urine seperti orang dewasa. Kematangan filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus mendekati lengkap sekitar umur 20 minggu dan kematangannya sedah lengkap setelah 2 tahun.. (Cote CJ,2000) Karena rendahnya filtrasi flomerulus, kemampuan mengekskresi obat-obatan juga menjadi diperpanjang. Oleh karena ketidakmampuan ginjal untuk menahan air dan garam, penguapan air, kehilangan abnormal atau pemberian air tanpa sodium dapat dengan cepat jatuh pada dehidrasi berat dan ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremia. (Warih,1992) Pemberian cairan dan perhitungan kehilangan atau derajat dehidrasi diperlukan kecermatan lebih disbanding pada orang dewasa. Begitu pula dalam hal pemberian elektrolit, yang biasa disertakan pada setiap pemberian cairan. FUNGSI HATI Fungsi detoksifikasi obat masih rendah dan metabolisme karbohidrat yang rendah pula yang dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia dan asidosis metabolic. Hipotermia dapat pula menyebabkan hipoglikemia. Cadangan glikogen hati sangat rendah. Kadar gula normal pada bayi baru lahir adalah 5060%. Hipoglikemia pada bayi (dibawah 30 mg%) sukar diketahui tanda-tanda klinisnya, dan diketahui bila ada serangan apnoe atau terjadi kejang. Sintesis vitamin K belum sempurna. Pada pemberian cairan rumatan dibutuhkan konsentrasi dextrose lebih tinggi (10%). Secara rutin untuk bedah bayi baru lahir dianjurkan pemberian vitamin K 1 mg i.m.hati-hati penggunaan opiate dan barbiturate, karena kedua obat tersebut dioksidasi dalam hati. SISTEM SYARAF Waktu perkembangan system syaraf, sambungan syaraf, struktur otak dan myelinisasi akan berkembang pada trimester tiga (myelinisasi pada neonatus belum sempurna, baru matang dan lengkap pada usia 3-4 tahun), sedangkan berat otak sampai 80% akan dicapai pada umur 2 tahun. Waktu-waktu ini otak sangat sensitive terhadap keadaan-keadaan hipoksia. Persepsi tentang rasa nyeri telah mulai ada, namun neonates belum dapat melokalisasinya dengan baik seperti pada bayi yang sudah besar. Sebenarnya anak mempunyai batas ambang rasa nyeri yang lebih rendah disbanding orang dewasa. Perkembangan yang belum sempurna pada neuromuscular junction dapat mengakibatkan kenaikan sensitifitas dan lama kerja dari obat pelumpuh otot non depolarizing. Syaraf simpatis belum berkembang dengan baik sehingga parasimpatis lebih dominant yang mengakibatkan kecenderungan terjadinya refleks vagal (mengakibatkan bradikardia; nadi 0,5ml/kgBB/jam), berat jenis urin (