analisis yuridis tentang pembagian harta bersama...
TRANSCRIPT
ANALISIS YURIDIS TENTANG PEMBAGIAN HARTA BERSAMA
DAN WARISAN PERKAWINAN POLIGAMI
(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 489/K/Ag/2011)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Ahmad Ferizqo Achdan
(1113044000090)
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M / 1439 H
ii
ABSTRAK
Ahmad Ferizqo Achdan. NIM 1113044000090. ANALISIS YURIDIS
TENTANG PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DAN WARISAN
PERKAWINAN POLIGAMI ( STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH
AGUNG NOMOR 489/K/Ag/2011. Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal
Syakhshiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M. lx+ 83 halaman 5 halaman lampiran.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan pertimbangan hukum Hakim
mengenai pembagian harta bersama dan warisan dari perkawinan poligami.
Dalam pembagian harta warisan selain yang sudah dijelaskan dan diatur dalam
agama Islam juga ada peraturan yang tidak mengakomodir orang yang tidak
termasuk dalam orang yang berhak menerima waris yaitu melalui wasiat wajibah.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 489/K/Ag/2011 membuat
suatu fenomena yang baru dimana dalam putusan tersebut terdapat asas hukum
baru tentang pemberian harta warisan kepada anak tiri . Kompilasi Hukum Islam
memberikan bagian kepada anak angkat sehingga masuk dalam jajaran orang
yang bisa menerima harta warisan orang tua angkatnya dengan jalur wasiat
wajibah besar bagiannya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya (Pasal 209
KHI) tetapi tidak mengatur tentang kedudukan anak tiri baik dalam hukum
perkawinan maupun dalam hukum kewarisan..
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library
reasearch dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,
buku-buku, dan kitab-kitab fiqih yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian tentang pertimbangan hukum Hakim mengenai pembagian
harta bersama dan warisan dari perkawinan poligami pada Putusan Mahkamah
Agung Nomor 489/K/Ag/2011 dapat dianalisis bahwa pada prinsipnya hakim
memiliki kewenangan menggunakan fungsinya sebagai rechtsvinding atau dalam
hukum Islam disebut ijtihad sebagai alternatif. Putusan tersebut diterbitkan untuk
memenuhi asas keadilan bagi para ahli waris yang memiliki hubungan emosional
nyata dengan pewaris. Hakim menjamin keadilan bagi orang-orang yang memiliki
hubungan emosional dengan pewaris tersebut . Seorang anak angkat ataupun anak
tiri dan telah hidup berdampingan dengan tentram dan damai serta tingkat
toleransi yang tinggi Penyimpangan yang dilakukan akan memberikan lebih
banyak kemaslahatan daripada mudarat.
Kata Kunci : Harta Bersama, Warisan, Perkawinan Poligami, Putusan, Mahkamah
Agung,
Pembimbing : Afwan Faizin, MA
Daftar Pustaka : 2011 s.d 2014
iii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi menggunakan System Library of Congress. Secara garis
besar uraian sebagai berikut:
b = ب
t = ت
th = ث
j = ج
h{ = ح
kh = خ
d = د
dh = ذ
r = ر
z = ز
s = س
sh = ش
s{ = ص
d{ = ض
ṭ ط =
z{ = ظ
ع = „
gh = غ
f = ف
q = ق
k = ك
l = ل
m = م
n = ن
h = ه
w = و
y = ي
Vokal Pendek Vokal Panjang
<>>>a () = a = ___ آ ___
<i () = i = ___ إ ___
<u () = u = ___ أ ___
Diftong Pembauran
al = (ال) aw (او)
al-sh = (الص) ay (اى)
-wa al = (وال)
iv
Ketentuan penulisan kata sandang al ( ali>f la>m), baik ali>f la>m qamariyyah
maupun ali>f la>m shamsiyah ditulis apa adanya (al) contoh:
Al-tafsi>r = التفسىر الحدىج = Al-h}adi>th
Ta’Marbutah di akhir kata
1. Bila dimatikan ditulis “h”,
حكمة = h}ikmah
Ketentuan ini tidak berlaku pada kosakata Bahasa Arab yang sudah
terserap ke dalam Bahasa Indonesia seperti zakat, salat dan lain-lain
kecuali memang dikehendaki sesuai lafal aslinya.
2. Bila dihidupkan karena berangkaian dengan kata lain, ditulis “t”
نعمة اهلل = ni‟matullah
زكاة الفطر = zaka>t al-fit}ri
Istilah keislaman (serapan) : istilah keislaman ditulis dengan berpedoman kepada
Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai berikut contoh:
No Transliterasi Asal Dalam KBBI
1 Al-Qur‟a>n Alquran
2 Al-H}adi>th Hadis
3 Sunnah Sunah
4 Nas{ Nas
5 Tafsi>r Tafsir
6 Sharh{ Syarah
7 Matn Matan
v
8 S{ala>t Salat
9 Tas{awwuf Tasawuf
10 Fiqh Fikih
Dan lain-lain (lihat KBBI)
Catatan:
Jenis Font yang digunakan untuk transilterasi Arab-Indonesia menggunakan
Times New Arabic dengan ketentuan unkuran Font 12 pt untuk tulisan pada
artikel dan daftar Pustakan, ukuran 10 pt untuk catatan kaki.
1. Untuk membuat titik di bawah:
a. Huruf Kapital (H{) dengan menekan tombol “H” diikuti {
b. Huruf kecil (h{) dengan menekan tombol “h” diikuti {
2. Untuk membuat garis di atas huruf:
a. Huruf kapital (A<) dengan menekan “A” diikuti <
b. Huruf kecil (a<) dengan menekan “a” diikuti <
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-
Nya serta memberikan berkah, kasih sayang dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Analisis Yuridis Tentang
Pembagian Harta Bersama Dan Perkawinan Poligami (Studi Kasus Putusan
Mahkamah Agung Nomor 489/K/Ag/2011)”. Shalawat dan salam kepada Nabi
Muhamad SAW yang telah mengantarkan umatnya dari kegelapan dunia ke
zaman peradaban ilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini.
Penulis sangat bahagia dan bersyukur karena dapat menyelesaikan tugas
akhir dalam jenjang pendidikan Strata Satu (S1) yang penulis tempuh telah selesai.
Serta penulis tidak lupa meminta maaf apabila dalam penulisan skripsi ini ada yang
kurang berkenan dihati para pembaca, karena penulis menyadari bahwa penulis jauh
dari kesempurnaan.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah mungkin dapat
tercapai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai
ungkapan rasa hormat yang amat mendalam, penulis mengucapkan terima kasih
kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Dede Rosada, M.A., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berikut para Wakil
Dekan I, II dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
vii
3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag dan Indra Rahmatullah, S.HI., M.H., selaku
Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Sekretaris Program Studi Hukum
Keluarga, yang harus mendukung dan memotivasi penulis untuk segera
menyelesaikan proses penyusunan skripsi ini.
4. Dr. H. Kamarusdiana, M.H., selaku Dosen Penasehat Akademik penulis yang
telah sabar mendampingi penulis hingga semester akhir dan telah membantu
penulis dalam perumusan desain judul skripsi ini.
5. Afwan Faizin, M.A., sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang selalu
memberi pengarahan, pembelajaran baru bagi penulis dengan penuh
keikhlasan , kesabaran dan keistiqomahan dalam meyelesaikan skripsi ini.
6. Terkhusus kepada kedua orang tua yang sangat penulis cintai dan sayangi.
Ayahanda tercinta Drs. Asep Mohammad Ali Nurdin, M.H., dan Ibunda
tercinta Dra. Cholilah (Almh) yang selalu mendo‟akan dan memberikan
semangat kepada ananda untuk menyelesaikan skripsi ini, serta telah
mengorbankan seluruh hidupnya untuk mendidik, membahagiakan dan
membesarkan penulis sampai saat ini. Tidak akan pernah mustahil penulis
mampu membayar apa yang telah diberikan selama ini. Kedua orang tua
selalu menjadi sumber inspirasi penulis dalam menjalankan kehidupan dan
menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada adik tercinta Ahmad Miftahul Fauzi, yang selalu memberi semangat
dan mendo‟akan penulis dalam setiap perjalanan studi penulis dan selalu
menjadi saudara yang terbaik bagi penulis.
viii
8. Kepada para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah memberikan
banyak ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga tercapainya tugas akhir
ini.
9. Kepada para paman dan bibi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Terima kasih tak terhingga penulis sampaikan karena sudah membantu
penulis baik moril maupun materil sehingga penulis dapat memperoleh gelar
Strata Satu.
10. Kepada teman-teman IKADAM (Ikatan Abiturien Darul Arqam
Muhammadiyah Garut) yang telah memberikan semangat pada penulis.
11. Kepada Zayyin Abdul Quddus, Romario Fajar, Nurzaelani, tauziry, Rifqi M,
yang telah menjadi sahabat terbaik sepanjang hidup penulis karna selalu ada
saat suka maupun duka, dan telah banyak mengisi cerita dalam setiap hari
yang penulis lewati. Tetap menjadi sahabat yang terbaik bagi penulis.
12. Kepada sahabat-sahabat Muhamad Ihsan Muttaqin, Rahmat Hidayat, Saepul
Mupid, Abdul Malik dan teman-teman angkatan 2013 Hukum Keluarga yang
telah menjadi saksi dari perjuangan penulis baik berupa canda tawa, tangis
dan pengorbanan.
Semoga amal baik mereka semua dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT.
Sungguh hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan kebaikan
yang berlipat ganda.
Penulis berharap skripsi ini bermanfaat pada saat ini dan masa yang akan
datang. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan
ix
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi
selanjutnya.
Jakarta, Maret 2018
Ahmad Ferizqo Achdan
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................. 3
C. Pembatasan Masalah ................................................................ 3
D. Perumusan Masalah .................................................................. 4
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 4
F. Metode Penelitian ..................................................................... 4
G. Sistematika Pembahasan .......................................................... 6
BAB II LANDASAN TEORI DAN KAJIAN KEPUSTAKAAN
A. Landasan Teori
1. Pengertian Waris ............................................................... 9
2. Pewaris dan Ahli Waris ..................................................... 10
3. Rukun dan Syarat-Syarat Waris ........................................ 12
B. Review Studi Terdahulu ........................................................... 14
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG HARTA BERSAMA
A. Harta Bersama
1. Pengertian Harta bersama .............................................. 16
2. Dasar Hukum Harta Bersama ........................................ 18
B. Kedudukan Anak Tiri Dalam Kompilasi Hukum Islam
1. Penegrtian Anak Tiri ..................................................... 23
2. Akibat Hukum Pernikahan ............................................ 25
3. Pandanagn „Ulama‟ Terhadap Kedudukan Anak Tiri ... 29
xi
BAB IV ANALISIS YURIDIS TENTANG PEMBAGIAN
HARTA BERSAMA DAN WARISAN
PERKAWINAN POLIGAMI (STUDI KASUS
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR
489/K/Ag/2011)
A. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara
Nomor : 297/Pdt.G/2010/ PA. Mlg.
1. Duduk Perkara .............................................................. 33
2. Pertimbangan Hakim .................................................... 35
3. Amar Putusan ............................................................... 40
B. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara
Nomor : 104/Pdt.G/2011/ PTA. Sby
1. Duduk Perkara .............................................................. 41
2. Pertimbangan Hakim .................................................... 43
3. Amar Putusan ............................................................... 45
C. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara
Nomor : 489/K/Ag/2011.
1. Duduk Perkara .............................................................. 47
2. Pertimbangan Hakim .................................................... 52
3. Amar Putusan ............................................................... 54
4. Analisis / Telaah Putusan ............................................. 56
BAB V PENUTUP
A. SIMPULAN .............................................................................. 63
B. SARAN ..................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 65
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT telah menurunkan Al-Qur’an bertujuan untuk mengatur
kehidupan dan mewujudkan kebahagiaan di dunia ini dan untuk meraih
kebahagiaan di akhirat kelak. Di antara aturan yang mengatur hubungan antara
sesama manusia yang ditetapkan Allah SWT adalah aturan tentang kewarisan,
yaitu proses peralihan kepemilikan harta dari pewaris kepada ahli warisnya. Harta
yang ditinggalkan oleh pewaris memerlukan pengaturan siapa yang berhak
menerimanya, berapa bagiannya, dan bagaimana cara menyelesaikannya.
Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan
manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang
dinamakan kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya
peristiwa hukum kematian seseorang, di antaranya ialah masalah bagaimana
pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang
meninggal dunia tersebut.1 Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur
segala yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta kekayaan
seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.2
Seseorang yang meninggal dunia paling tidak akan meninggalkan dua hal.
Pertama meninggalkan ahli waris dan yang kedua meningggalkan harta
peninggalan. Harta peninggalan dari si mati, belum dapat dibagi sebab dalam hal
ini harus dikurangi biaya penyelenggaraan jenazah, melunasi hutang dan wasiat.3
Di dalam hukum kewarisan Islam sudah dijelaskan secara rinci tentang tata cara
pembagian dan peralihan harta warisan kepada ahli waris, harta warisan, serta hal-
hal yang menghalangi ahli waris mendapatkan harta warisan dari si pewaris.
Pembagian dan peralihan harta warisan kepada ahli waris antara lain
1 Eman Suparman, “Hukum Waris Indonesia”, (Bandung; Refika Aditama, 2007), h. 27.
2 Amir Syarifudin, “Hukum Kewarisan Islam”, (Jakarta: Kencana, 2000), h. 4. 3 Wahyu Muljono, Hukum Waris Islam dan Pemecahannya, (Yogyakarta: Magister IlHukum FH-
UJB 2010), h. 12.
2
Dengan cara menyerahkan harta waris tersebut pada ahli waris yang berhak atau
dan dengan pembagian harta bersama apabila ahli waris seperti saudara atau
kerabat yang terhalang bisa mendapatkan harta bagiannya.
Dalam konsep perkawinan Indonesia, maka hukum perkawinan akan
mengacu pada pengaturan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengenai
Perkawinan. Dalam konsep UU No. 1 Tahun 1974 dikenal dengan asas monogami
akan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk poligami jika agama yang
bersangkutan mengizinkan untuk itu dan pengaturannya melalui beberapa
ketentuan sebagai persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pengaturan tersebut berbeda dengan konsep hukum perdata barat, dimana
pengaturannya sangat kaku (rigid) yang terbatas pada asas monogami dan tidak
ada pengecualiannya sebagaimana diatur dalam pasal 27 KUHPerdata.
Terdapat persinggungan dalam hal terjadinya perkawinan poligami dengan
harta warisan yang mengacu pada pengaturan harta bersama sebagaimana diatur
dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, dimana pembagian harta warisan
didasarkan pada harta yang didapatkan selama perkawinan berlangsung hingga si
pewaris meninggal dunia.
Dalam pembagian harta warisan dalam Kompilasi Hukum memberikan
bagian kepada anak angkat sehingga masuk dalam jajaran orang yang bisa
menerima harta warisan orang tua angkatnya dengan jalur wasiat wajibah besar
bagiannya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya (Pasal 209 KHI) tidak
mengatur secara tuntas tentang kedudukan anak tiri baik dalam hukum
perkawinan maupun dalam hukum kewarisan.
Dari uraian diatas jelas permasalahan dalam kasus ini mengacu pada
pengaturan poligami yang berdampak pada persinggungan pembatasan harta
bersama dan pembagian harta warisan. Mengingat pengaturan hukum perkawinan
di Indonesia sudah di unifikasi, maka adanya penyeragaman penggunaan
permasalahan perkawinan menggunakan UU No. 1 Tahun 1974 dan bukanlah
3
menggunakan konsep dari KUHPerdata selama UU No 1 Tahun 1974 masih
mengatur mengenai perkawinan. Akan tetapi, mengenai pengaturan hukum
kewarisan maka dalam konsep hukum di Indonesia masih menganut konsep dari
pengaturan KUHPerdata, karena belum ada pengaturan yang lex spesialis dari
ketentuan perundang-undangan di Indonesia.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 489/K/Ag/2011
membuat suatu fenomena yang baru dimana dalam putusan tersebut terdapat asas
hukum baru tentang pembagian harta warisan dari perkawinan poligami kepada
anak tiri.
Bertitik tolak dari uraian tersebut diatas, maka penulis ingin meneliti lebih
lanjut mengenai latar belakang pertimbangan hukum Majelis Hakim kasasi dalam
putusan nomor 489/K/Ag/2011 dan menyusunnya dalam Skripsi yang berjudul”
ANALISIS YURIDIS TENTANG PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DAN
WARISAN PERKAWINAN POLIGAMI ( Studi Kasus Putusan Mahkamah
Agung Nomor 489/K/Ag/2011).
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya,
maka penulis identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pembagian harta bersama dan warisan dari perkawinan
poligami?
2. Bagaimana pertimbangan hukum Hakim mengenai harta bersama dan
warisan dari perkawinan poligami pada Putusan Mahkamah Agung
Nomor 489/K/Ag/2011 ?
C. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis
membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan
terarah sesuai yang diharapkan penulis. Disini penulis hanya akan membahas
bagaimana pembagian harta bersama dan warisan dari perkawinan poligami,
4
Bagaimana pertimbangan hukum Hakim mengenai pembagian harta bersama dan
warisan dari perkawinan poligami pada Putusan Mahkamah Agung Nomor
489/K/Ag/2011.
.
D. Perumusan Masalah
Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan penelitian
sebagai berikut :
1. Bagimana pembagian harta bersama dan warisan perkawinan poligami
menurut Kompilasi Hukum Islam ?
2. Bagaimana pertimbangan hukum Hakim mengenai harta bersama bagi anak
tiri pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 489/K/Ag/2011 ?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian antara lain adalah:
a. Untuk mengetahui pembagian harta bersama dan warisan perkawinan
poligami menurut Kompilasi Hukum Islam.
b. Untuk mengetahui pertimbangan hukum Hakim mengenai harta bersama
bagi anak tiri pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 489/K/Ag/2011.
2. Kegunaan Penelitian ini antara lain adalah:
a. Agar dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam upaya penyesuaian
permasalahan-permasalahan hukum Islam kontemporer yang sedang
dihadapi umat Islam.
b. Menambah pengetahuan penulis tentang hukum warisan dan sebagai
wacana bagi pembaca.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang akan digunakan oleh penulis merupakan jenis penelitian
literatur atau kepustakaan (library research)4Karena sumber data yang diambil
4 Moh. Nasir, “Metodelogi Penelitian” (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), h. 65.
5
oleh peneliti ini merupakan data yang terdapat pada bahan pustaka Islam, yaitu al-
Qur’an, al-Hadits, fiqh, buku-buku lain yang berkaitan.
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, yaitu memaparkan, menggambarkan,
dan mengklarifikasikan secara obyektif data-data yang dikaji kemudian dianalisis5
Data yang digunakan dalam penelitian terbagi menjadi dua dengan penjelasan
sebagai berikut :
a. Data primer, yakni data yang berkaitan langsung dengan wasiat wajibah
untuk anak tiri Adapun data primer penelitian ini adalah Purusan MA
Nomor :489/K/Ag/2011.
b. Data sekunder, yakni data yang dapat mendukung dan melengkapi data
primer dan diperoleh tidak dari sumber primer. Data sekunder tersebut
dapat berupa buku, majalah, maupun arsip yang membahas tentang
kewarisan, wasiat dan wasiat wajibah.
2. Metode Pengumpulan Data
Karena penelitian ini merupakan penelitian literer, maka metode yang
digunakan yakni dengan cara pengumpulan data yang terdapat dalam buku-buku
atau pustaka-pustaka tertentu. Dalam penelitian ini, objek kepustakaan meliputi
putusan Mahkamah Agung, buku atau jurnal yang membahas tentang mawaris
sebagai sumber primer penelitian.
3. Pendekatan Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan normatif,
yaitu pendekatan yang menggunakan rumusan-rumusan berdasarkan al-Qur’an
dan as-Sunnah6 dengan cara menemukan ayat-ayat al-Qur’an, hadits-hadits, dan
kaidah-kaidah fiqih yang berhubungan dengan wasiat wajibah dan kemudian
dianalisis.
5 Winarno Surakmad, “Pengantar Penelitian-penelitian: Metode, Tehnik” (Bandung: Tarsiti, 1994,
cet. ke-5), h. 139-140.
6Winarto Surakhmad, “Pengantar Penelitian Ilmiah” (Bandung: Tarsito,1985 ) h. 140.
6
4. Analisis Data
Dalam menganalisa data yang terkumpul, penulis menggunakan metode
deduktif, yaitu mengetengahkan data yang umum dan kemudian ditarik
kesimpuan yang bersifat khusus.7 Dalam hal ini penulis menganalisis
menggunakan qiyas.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pembahasan dalam skripsi ini, maka sistematika
pembahasanya disusun sebagai berikut :
Bab pertama, memuat Pendahuluan, Bab ini mencakup latar belakang
masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, memuat Kajian Kepustakaan, bab ini landasan teori dan review
studi terdahulu.
Bab ketiga, memuat Gambaran Umum tentang Harta Bersama. Bab ini
mencakup : pengertian Harta Bersama , dasar hukum Harta Bersama, syarat dan
rukun Harta Bersama
Bab keempat, Analisis Yuridis tentang Wasiat Wajibah Bagi Anak Tiri, Bab
ini menguraikan tentang : Pertimbangan Hakim dalam memutus perkara nomor:
297/Pdt.G/2010/PA.Mlg, Pertimbangan Hakim dalam memutus perkara nomor:
104/Pdt.G/2011/PTA.Sby, Pertimbangan Hakim dalam memutus perkara nomor:
489/K/Ag/2011.
Bab kelima, merupakan bagian penutup dari skripsi ini yang berisi
kesimpulan dan saran-saran.
7 Sutrisno Hadi, “Metodologi Research”, (Yogyakarta: Andi, 2000), h. 24.
7
BAB II
LANDASAN TEORI DAN KAJIAN KEPUSTAKAAN
A. Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan oleh penyusun dan untuk dapat memecahkan
dan menyelesaikan mengenai masalah-masalah tentang status anak tiri.
Sebagaimana yang sudah dipaparkan di atas hukum kewarisan merupakan hukum
yang mengatur tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan kekayaan seseorang
yang telah meninggal dunia dan peralihan hak atau kewajiban atas harta kepada
ahli waris yang telah ditinggalkannya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan hukum kewarisan adalah hukum
yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing.
Mereka yang mendapatkan bagian tertentu dalam keadaan tertentu dalam Al-
Qur’an pada kelompok ayat kewarisan inti sebanyak delapan orang, ditambah
dengan empat orang yang disebutkan dalam hadits Rasulullah, sehingga menjadi
dua belas orang.1
1. Anak perempuan tunggal
2. Ibu
3. Bapak
4. Duda
5. Janda
6. Saudara laki-laki (dalam hal kalalah)
7. Saudara laki-laki dan saudara bersyirkah (dalam hal kalalah)
8. Saudara ( dalam hal kalalah)
9. Cucu perempuan dari putra
10. Kakek
1 Abdul Ghofur Anshor, “Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Eksistansi dan Adaptabilitas”
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012, cet. Ke-1), h. 48.
8
11. Nenek
12. Saudara seayah
Dalam KHI pengelompokan ahli waris diatur pada pasal 174, selengkapnya
pasal tersebut berbunyi:
1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:2
a. Menurut hubungan darah: golongan laki-laki terdiri dari, ayah,
anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek. Golongan
perempuan terdiri dari, ibu, anak perempuan, saudara perempuan
dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda, atau janda
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 174 ayat (2) apabila semua ahli waris
ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda, duda.3
Wasiat adalah suatu ucapan atau pernyataan dimulainya suatu perbuatan,
biasanya perbuatan itu dimulai setelah orang yang mengucapkan atau menyatakan
itu meninggal dunia. 4
Sedangkan wasiat wajibah menurut Kompilasi Hukum Islam adalah wasiat
yang ditetapkan oleh perundang-undangan yang diberikan kepada orang tua
angkat atau anak angkat yang tidak menerima wasiat dari anak angkat atau orang
tua angkatnya yang telah meninggal dunia (pewaris).
Pada dasarnya Penguasa atau Hakim sebagai aparat Negara tertinggi,
mempuyai wewenang untuk memaksa atau memberi surat putusan wajib wasiat
yang terkenal dengan istilah wasiat wajibah kepada orang tertentu dalam keadaan
tertentu.5 Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Mesir No. 71
tahun 1946 undang-undang ini lahir dikarenakan kecemasan terhadap cucu yang
orang tuanya meninggal lebih dahulu, sebelum kakeknya meninggal dan si cucu
terhijab oleh pamannya. menetapkan besarnya wasiat wajibah ialah sebesar yang
2 Abdurrahman“ Kompilasi Hukum Islam Pasal 174 ayat (1)”(Jakarta : Akamedika Pressindo, 1995,
Cet. 4).
3 Abdurrahman“ Kompilasi Hukum Islam Pasal 174 ayat (2)”(Jakarta : Akamedika Pressindo,1995,
Cet. 4).
4 Zakiyah Darajah, “Ilmu Fiqh” (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, cet. ke-1), h. 161.
5 Mardani, “Hukum Kewarisan Islam di Indonesia” (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2014) h. 120
9
diterima oleh orang tuanya sekiranya orang tuannya masih hidup dengan
ketentuan tidak boleh melebihi 1/3.
Agar dapat memahami konsep wasiat perlu diketahui terlebih dahulu apa
yang dimaksud dengan Harta Bersama, dasar hukum Harta Bersama serta syarat
dan rukun Harta Bersama, sebagai berikut :
1. Pengertian Waris
Dalam sistem hukum Islam, kata waris merupakan kata yang diambil
dari bahasa Arab yang artinya mewarisi.6 Jika dikaitkan dengan kondisi yang
berkembang di masyarakat Indonesia, istilah waris dapat diartikan sebagai suatu
perpindahan berbagai hak dan kewajiban serta harta kekayaan seorang yang
telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.7 Hukum yang mengatur
pembagian harta warisan yang ditinggalkan oleh ahli waris, mengetahui bagian-
bagian yang diterima dari peninggalan setiap ahli waris yang berhak
menerimanya.8
Adapun dalam istilah umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan
dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Dengan
demikian secara garis besar definisi warisan yaitu perpindahan berbagai hak dan
kewajiban tentang kekayaan seorang yang meninggal dunia kepada orang lain
yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi.
Selain kata waris tersebut, kita juga menemukan istilah lain yang berhubungan
dengan warisan, diantaranya adalah:
1. Al-Warist, adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima
warisan.
2. Muwaris, adalah orang diwarisi harta bendanya (orang yang meninggal)
baik secara hakiki maupun hukmi karena adanya penetapan pengadilan.
6 Ahmad Warsom Al-Munawir, Kamus Almunawir Arab Indonesia Terlengkap, Yogyakarta :
Pustaka Progesif,1997, hlm. 1655. 7 Muslih Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. Cet, ke- I,1997,
hlm. 6. 8 Ah. Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo, cet. Ke-4,2000, hlm 355
10
3. Al-Iris, adalah harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris yang
berhak setelah diambil untuk kewajiban, diantaranya pengurusan jenazah,
melunasi hutang dan menunaikan wasiat.
4. Warasah, yaitu harta warisan yang diterima oleh ahli waris.
5. Tirkah, seperti dalam Pasal 171 huruf d KHI, yaitu seluruh harta
peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk
pemeliharaan jenazah, melunasi hutang dan menunaikan wasiat.9
2. Pewaris dan Ahli Waris
a. Pewaris
Tentang pewaris tercantum dalam Pasal 171 huruf b : “Pewaris adalah orang
yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan
putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan.”
Dari redaksi di atas tampak bahwa untuk terjadinya pewarisan disyaratkan
untuk pewaris adalah telah meninggal dunia, baik secara hakiki maupun hukum.
Hal ini sebagaimana telah ditentukan oleh ulama tentangn syarat-syarat
terjadinya pewarisan antara lain meninggalnya pewaris baik secara hakiki,
hukum atau takdir. Selain disyaratkan telah meninggal dunia, pewaris juga
disyaratkan beragama Islam dan mempunyai ahli waris serta memiliki harta
peninggalan.
b. Ahli Waris
Kriteria sebagai ahli waris tercantum di dalam Undang-undang
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 huruf c yang berbunyi :
“Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”
Dari Pasal 174, 181, 182 dan 185 KHI dapat dilihat bahwa ahli waris
terdiri atas :
9 Arsumi A. Rahman, et al, Ilmu Fiqh 3, Jakarta IAIN Jakarta, 1986, Cet ke 2, hlm. 1
11
1. Ahli waris laki-laki, ialah ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman,
kakek dan suami.
2. Ahli waris perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan,
nenek dan isteri.
3. Ahli waris yang dimungkinkan sebagai ahli waris pengganti adalah
seperti cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki atau
perempuan.
Dari penjelasan tentang ahli waris menurut KHI ini, dapat
disimpulkan bahwa syarat-syarat sebagai ahli waris adalah; mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan, beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Tentang beragama
Islam bagi ahli waris ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 172 KHI : “Ahli
waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau
pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru
lahir atau yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya.”
Jadi menurut Kompilasi Hukum Islam, ahli waris adalah seseorang
yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah
(nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan dan beragama Islam
serta tidak terhalang mewarisi seperti yang disebutkan di dalam pasal 173
KHI. Meskipun demikian tidak secara otomatis setiap anggota keluarga
dapat mewarisi harta peninggalan pewarisnya, meskipun kriteria dalam
pasal 173 KHI telah terpenuhi. Karena ada ahli waris yang lebih dekat
hubungannya dengan si mati dan ada juga hubunganya lebih jauh dengan
si mayit. Didalam hal ini, para ahli waris harus mengingat urutannya
masing-masing, dan didalam urut-urutan penerimaan harta warisan
seringkali yang dekat menghalangi yang jauh, atau ada juga yang dekat
hubungannya dengan pewaris akan tetapi tidak tergolong sebagai ahli
waris karena dari kelompok dzawil arham yaitu orang yang mempunyai
hubungan kekerabatan dengan pewaris tetapi tidak menerima warisan
karena terhijab oleh ahli waris utama.
12
Apabila dicermati, hukum waris Islam membagi ahli waris menjadi
dua macam, yaitu :
1) Ahli waris nasabiyah, yaitu ahli waris yang hubungan
kekeluargaannya timbul karena adanya hubungan darah. Maka sebab
nasab menunjukkan hubungan kekeluargaan antara pewaris dengan
ahli waris.
2) Ahli waris sababiyah, yaitu hubungan kewarisan yang timbul karena
sebab tertentu, yaitu :
a. Al mushoharoh yaitu perkawinan yang sah
b.Memerdekakan hamba sahaya (al wala’) atau karena adanya
perjanjian tolong menolong.
3. Syarat dan Rukun Waris
Pada dasarnya persoalan waris mewarisi selalu identik dengan perpindahan
kepemilikan sebuah benda, hak dan tanggung jawab dari pewaris kepada ahli
warisnya. Dan di dalam hukum waris Islam penerimaan harta warisan
didasarkan pada asas ijbari, yaitu harta warisan berpindah dengan sendirinya
menurut ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan pada kehendak pewaris atau
ahli waris.10
Pengertian tersebut akan terwujud jika syarat dan rukun mewarisi
telah terpenuhi dan tidak terhalang mewarisi.
Dalam KHI, ketentuan tentang kewarisan diatur dalam Buku II, yang terdiri
dari 23 pasal, dari Pasal 171 sampai dengan Pasal 193. Dalam berbagai
ketentuan tersebut terdapat beberapa hal yang tidak ada didalam fiqih klasik,
tetapi ada dalam KHI, maupun ketentuan yang seharusnya ada, tetapi tidak
dicantumkan dalam KHI. Adapun beberapa ketentuan yang dimaksud
diantaranya:
a. Besarnya bagian laki-laki dan perempuan tetap dipertahankan sesuai dengan
dalil Al-Qur’an, yaitu bagian laki-laki dua kali bagian perempuan;
b. Adanya prinsip musyawarah dalam pembagian warisan (Pasal 183), bahwa
para ahli dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta
warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya;
10
Muhammad Daud Ali, Asas Hukum Islam, Jakarta, Rajawali Press, 1990, hlm. 129
13
c. Pembagian waris tidak mesti harus membagikan bendanya secara fisik. Pasal
189 mengatur tentang pembagian warisan yang berupa lahan pertanian yang
luasnya kurang dari 2 hektar yang harus dipertahankan dan dimanfaatkan
bersama atau dengan membayar harga tanah sehingga tanahnya tetap dipegang
oleh seorang ahli waris saja;
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi di dalam pembagian harta
warisan, Syarat-syarat tersebut selalu mengikuti rukun, akan tetapi sebagian ada
yang berdiri sendiri.
Di dalam hal ini penulis menemukan tiga syarat warisan yang telah
disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah :
1) Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqi, hukmnya,
(misalnya dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri.
2) Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqi pada waktu pewaris
meninggal dunia.
3) Seluruh ahli waris diketahui secara pasti bagian-bagian masingmasing.
Adapun rukun waris harus terpenuhi pada saat pembagian harta warisan.
Rukun waris dalam hukum kewarisan Islam ada tiga macam, yaitu :
1. Al- Muwarrits, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang
yang mewariskan hartanya. Syaratnya muwaris benar-benar telah
meninggal dunia. Kematian seorang muwaris itu dapat dibedakan menjadi
3 macam, yaitu :
a. Mati Haqiqi (mati sejati).
Mati haqiqi atau mati sejati adalah matinya muwaris yang diyakini
tanpa membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut
disaksikan oleh orang banyak dengan panca indera dan dapat
dibuktikan dengan alat bukti yang nyata dan jelas.
b. Mati Hukmiy (mati menurut putusan hakim atau yuridis)
Mati Hukmiy atau mati menurut putusan Hakim atau yuridis
adalah suatu kematian yang dinyatakan atas dasar putusan hakim
karena adanya beberapa pertimbangan. Maka dengan putusan
14
hakim secara yuridis muwaris dinyakan sudah meninggal
meskipun terdapat kemungkinan muwaris masih hidup.
c. Mati Taqdiry (mati menurut dugaan)
Mati taqdiri atau mati menurut dugaan adalah sebuah kematian
muwaris berdasar dugaan keras. Misalnya, dugaan seorang ibu
hamil yang dipukul perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika
bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan dugaan keras
kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya.11
2. Warist (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan
kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau
perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah
pada saat meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benar-benar dalam
keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam
kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu
antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.
Al Mauruts atau al-miras, yaitu harta benda yang menjadi warisan atau
peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan
hutang dan pelaksanaan wasiat.
B. Review Study Terdahulu
Review Study Terdahulu sebagai salah satu etika ilmiah yang berguna
untuk memberikan kejelasan informasi yang digunakan dan diteliti melalui
khazanah pustaka, dan seputar jangkauan yang didapat untuk memperoleh
kepastian orisinalitas dari tema yang akan dibahas. Dari hasil survei yang
dilakukan penulis belum ada karya ilmiah yang membahas secara khusus yang
membahas tentang harta bersama untuk anak tiri. Penyusun juga melakukan
penelusuran dan pengkajian terhadap Karya-karya ilmiah yang ada baik berupa
buku maupun skripsi yang berkenaan dengan status anak tiri tentang harta
bersama. Di antaranya adalah :
11
Muslih Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. Cet, ke- I,1997, hlm.
21-22
15
Pertama, Skripsi yang disusun oleh Hernasari yang berjudul “Analisis
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 193 K/AG/2004, tentang
Pembagian Harta Bersama”.12
Skripsi ini menjelaskan bahwa Mahkamah Agung
memperbaiki amar putusan PA dan PTA yang mana hokum atas kasus pembagian
harta gono-gini yang diteliti cenderung kurang adil karena berdasarkan analisis
deret waktu lebih banyak harta yang diperoleh atas hasil jerih payah penggugat,
baik sebelum maupun selama pernikahan.
Kedua, Skripsi yang disusun olehMarsiani yangberjudul “Wasiat Wajibah
Untuk Anak Tiri (Analisis Terhadap Ketentuan Dalam KHI”.13
Dalam skripsi ini
hanya fokus membahas anak tiri dalam persektif Hukum Islam Sedangkan
peneliti menyusun lebih meneliti tentang pertimbangan hukum Hakim dalam
memutus harta bersama untuk anak tiri.
Ketiga,Skripsi yang disusun oleh Hamzah Ikat dengan Judul
“Penyelesaian Harta Bersama Akibat Perceraian Perspektif Hukum Islam (Studi
Putusan Nomor:393/PDT.G/2007/PA. TNG)”.14
Skripsi ini memaparkan tentang
Pertimbangan Majelis Hakim pada putusan perkara Nomor 393/Pdt. G/2007/PA.
Tng, Hakim hanya menerapkan apa yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam
sepanjang sudah dijelaskan atau disesuaikan dengan kasus baru, hakim menafsir
kan pasal tersebut, sedangkan penulis tidak membahas harta Bersama akibat
perceraian tetapi membahas harta bersama dari sisi setelah pemilik harta
meninggal.
Dari ketiga penelitian terdahulu, tampak bahwa penelitian tersebut berbeda
dengan penelitian yang peneliti lakukan. Meski topik penelitiannya masih sama-
sama terkait harta bersama, namun obyek dan focus penelitiannya berbeda.
Karena obyek dan focus penelitian dalam skripsi ini adalah mengkaji
pertimbangan hukum hakim dalam memutus anak tiri mendapat harta bersama.
12
Hernasari“AnalisisPutusanMahkamah AgungRepublik Indonesia Nomor : 193
K/AG/2004, tentangPembagianHarta Bersama” (Jakarta :Fakultas Syariah danHukumUIN
SyarifHidayatullah, 2009). 13
Marsiani ,“WasiatWajibahUntukAnakTiri (AnalisisTerhadapKetentuanDalam KHI”.( Yogyakarta :
Fakultas Syariah danHukum UIN SunanKalijaga , 2016) t.d. 14
Hamzah Ikat“PenyelesaianHarta Bersama AkibatPerceraianPerspektifHukum Islam
(StudiPutusanNomor:393/PDT.G/2007/PA. TNG)”(Jakarta :Fakultas Syariah danHukumUIN
SyarifHidayatullah, 2009).
16
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG HARTA BERSAMA DAN ANAK TIRI
A. Harta Bersama
1. Pengertian Harta Bersama
Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam
Hukum Islam tidak mengatur tentang harta bersama dan harta bawaan ke
dalam ikatan perkawinan, yang ada hanya menerangkan tentang adanya hak
milik pria atau wanita serta maskawin ketika perkawinan
berlangsung.1Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia harta adalah barang-
barang atau uang, sedangkan benda adalah barang-barang kekayaan.Kemudian
harta bersama adalah harta yang diperoleh laki bini selama hidup berlaki bini.2
Hukum Islam mengenal harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah
adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri
selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta
bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa.3
Di dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, harta bersama dijelaskan
pada pasal 97, yaitu: Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak
seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.4
Harta Bersama Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Di dalam KUH Perdata (BW), tentang harta bersama menurut
Undangundang dan pengurusnya, diatur dalam Bab VI Pasal 119-138, yang
terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama tentang harta bersama menurut
Undangundang (Pasal 119-123), Bagian kedua tentang pengurusan harta
bersama (Pasal 124-125) dan Bagian ketiga tentang pembubaran gabungan
harta bersama dan hak untuk melepaskan diri dari padanya (Pasal 126-138).5
1 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan h.117.
2 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2007), h. 407. 3 Departemen Agama RI,Kompilasi Hukum Islam, 2001.
4 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama , KHI, h. 47-50.
5 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan…, h. 113.
17
Harta benda dalam perkawinan diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun
1974. Termuat dalam bab VII yang terdiri dari tiga Pasal, yaitu Pasal 35, Pasal
36 dan Pasal 37.
1. Pasal 35 ayat (1) menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama
perkawinan, menjadi harta bersama. Ayat (2) menjelaskan bahwa harta
bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
2. Pasal 36 ayat (1) menetapkan bahwa mengenai harta bersama, suami atau
istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Ayat (2) bahwa
mengenai harta bawan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
3. Pasal 37 menetapkan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian,
maka harta bersama diatur menurut hukum masing-masing.
Kalau kita memperhatikan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, bahwa
undang-undang tersebut hanya mengatur hal-hal yang pokok saja mengenai
penjabarannya lebih lanjut didasarkan atas ketentuan lain. Adapun asas
penting Undang-undang perkawinan yang berhubungan dengan hukum harta
perkawinan adalah:
1. Tidak menutup kemungkinan untuk adanya pelaksanaan hukum harta
perkawinan yang berbeda untuk golongan tertentu (Pasal 37).
2. Asas monogami, dengan kemungkinan adanya poligami sebagai
perkecualian (Pasal 3 ayat 1).
3. Persamaan kedudukan antara suami istri, keduanya mempunyai hak
dan kedudukan yang seimbang (Pasal 31 ayat 1).
4. Istri sepanjang perkawinan tetap cakap untuk bertindak (Pasal 31 ayat
2).
5. Harta yang diperoleh selama perkawinan masuk dalam harta bersama,
kecuali yang diperoleh dari hibah atau warisan, yang jatuh diluar harta
bersama (Pasal 35 ayat 1).
18
6. Harta yang dibawa ke dalam harta perkawinan (dalam hukum Adat:
harta asal) dan harta yang diperoleh sebagai hibah atau dasar atas
warisan tetap dalam penguasaan masing-masing yang
membawa/memperolehnya (Pasal 35 ayat 2).
7. Dimungkinkan adanya penyimpangan atas bentuk harta perkawinan
melalui perjanjian kawin sebelum atau pada saat perkawinan dan
sepanjang perkawinan, asal dipenuhi syarat-syarat tertentu
dimungkinkan adanya perubahan perjanjian kawin.
8. Atas harta bersama suami istri dapat mengambil tindakan hukum atas
persetujuan suami/istri (Pasal 36 ayat 1).
9. Atas harta bawaan masing-masing suami/istri mempunyai hak
sepenuhnya.6
Dari uraian di atas apabila kita simak pada Undang-undang No.1 Tahun
1974, maka harta perkawinan itu terdiri dari harta bersama, harta bawaan.
Harta bersama adalah harta yang didapat suami istri selama perkawinan (harta
pencaharian). Sedangkan harta bawaan adalah harta yang dibawa masing-
masing suami istri ke dalam ikatan perkawinan.7
2. Dasar Hukum Harta Bersama
Pada dasarnya tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan
antara suami dan isteri. Konsep harta bersama pada awalnya berasal dari
adatistiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian
didukung oleh Hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di negara kita.8
Dasar hukum tentang harta bersama dapat ditelusuri melalui Undang-
Undang dan peraturan berikut:
1. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 35 ayat (1),
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah “Harta
benda yang diperoleh selama masa perkawinan”. Artinya, harta
6 J Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1991), h. 6-7. 7 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan ..., h. 123.
8 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian. h. 8
19
kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut
sebagai harta bersama.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 119, disebutkan bahwa
“Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hokum
terjadi harta bersama antara suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak
diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta
bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau
diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri”.
3. Kompilasi Hukum Islam pasal 85, disebutkan bahwa “Adanya harta
bersama di dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya
harta milik masing-masing suami isteri”. Di dalam pasal ini disebutkan
adanya harta bersama dalam perkawinan, akan tetapi tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami-isteri.
Hukum Islam mengakui adanya harta yang merupakan hak milik bagi
setiap orang, baik mengenai pengurusan dan penggunaannya maupun untuk
melakukan perbuatan-perbuatan hukum atas harta tersebut sepanjang tidak
bertentangan dengan syari‟at Islam. Disamping itu juga diberi kemungkinan
adanya suatu serikat kerja antara suami isteri dalam mencari harta kekayaan.
Oleh karenanya apabila terjadi perceraian antara suami isteri, harta kekayaan
tersebut dibagi menurut Hukum Islam dengan kaidah hukum “Tidak ada
kemudaratan dan tidak boleh memudaratkan”. Dari kaidah hukum ini jalan
terbaik untuk menyelesaikan harta bersama adalah dengan membagi harta
tersebut secara adil.
Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, masalah harta
bersama hanya diatur secara singkat dan umum dalam Bab VII terdiri dari
pasal 35 sampai pasal 37. Kemudian diperjelas oleh Kompilasi Hukum Islam
dalam Bab XIII mulai dari pasal 85 sampai pasal 97.
Dalam Al-Quran dan Sunnah serta berbagai kitab-kitab hukum fiqih, harta
bersama tidak diatur dan tidak ada pembahasannya. Seolah-olah harta
bersama kosong dan vakum dalam Hukum Islam. Ayat “lirrijali” sangatlah
20
bersifat umum dan bukan menjadi acuan bagi suami isteri saja melainkan
untuk semua pria dan wanita. Jika mereka berusaha dalam kehidupannya
sehari-hari maka hasil usaha mereka merupakan harta pribadi dan dikuasai
oleh pribadi masing-masing.9 Ayat tersebut menjelaskan adanya persamaan
antara kaum pria dan wanita. Kaum wanita disyariatkan untuk mendapat mata
pencaharian sebagaimana kaum pria. Keduanya dibimbing kepada karunia
dan kebaikan yang berupa harta dengan jalan beramal dan tidak merasa iri
hati.10
Akan tetapi sebaliknya, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Islam di
Indonesia, sejak dari dulu hukum adat mengenal adanya harta bersama dan
diterapkan terusmenerus sebagai hukum yang hidup. Dari hasil pengamatan,
lembaga harta bersama lebih besar mas{ahatnya daripada mudaratnya. Maka
atas dasar metodologi Istislah, „urf serta kaidah al-‟adatu al-muhakkamah,
Kompilasi Hukum Islam melakukan pendekatan kompromistis terhadap
hukum adat.11
„Urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah
menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatan, atau dalam
meninggalkan sesuatu. „Urf juga disebut dengan adat. „Urf yang sifatnya baik
harus dipelihara sebagai pembentukan hukum dalam lembaga peradilan.
Maka dari itu ulama berkata “ adat itu adalah syari‟at yang dikukuhkan
sebagai hukum” atau lebih dikenal dengan istilah al-‟adatu al-muhakkamah.
Semua ulama mazhab mendasarkan hukumnya kepada kebiasaan penduduk
dimana ulama mazhab itu tinggal. Sebagai salah satu contoh dalam madzhab
Syafi‟i terdapat dua mazhab, mazhab qadim dan mazhab jadid. Hal tersebut
dikarenakan ketika imam al- Syafi‟i membukukan mazhab qadim beliau
tinggal di Irak, namun ketika memBukukan mazhab jadid beliau telah pindah
ke Mesir dimana kedua kota tersebut memiliki dua kebiasaan atau adat yang
berbeda. „Urf menurut penelitian adalah bukan merupakan dalil syara‟ yang
9 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan Hukum Adat
dan Hukum Agama. h. 127. 10
M Syaltut, Tafsir al-Quran Karim, jilid. 2, h. 335 11
Mahfud MD, Peradilan Agama dan KHI Dalam Tata Hukum Indonesia, h. 88
21
berdiri sendiri. Pada dasarnya „urf berfungsi untuk memelihara maslahah
sebagaimana maslahah dipelihara dalam pembentukan hukum. Terkadang
„urf dipakai juga dalam membuat penafsiran terhadap suatu nash, oleh karena
itu maka dikhususkanlah kata-kata yang sifatnya umum dan dibatasi dengan
mutlak. Bahkan terkadang qiyas ditinggalkan lantaran adanya „urf.12
Harta bersama merupakan masalah ijtihadiyyah dan di dalam kitab-kitab
fiqih belum ada pembahasannya, begitu pula nas-nya tidak ditemukan dalam
al- Quran dan sunnah. Padahal apa yang terjadi di lingkungan masyarakat
Indonesia tentang harta bersama telah lama berkenbang dan berlaku dalam
kehidupan kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karena itu adanya ketentuan
hukum tentang harta bersama dalam KHI banyak dipengaruhi berbagai faktor
yang berkembang dan berlaku dalam masyarakat.
Harta bersama diangkat menjadi Hukum Islam dalam KHI berdasarkan
dalil „urf serta sejalan dengan kaidah al-„adatu al-muhakkamah, yaitu bahwa
ketentuan adat bisa dijadikan sebagai hukum yang berlaku dalam hal ini
adalah harta bersama, maka haruslah dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Harta bersama tidak bertentangan dengan nas yang ada.
Dalam al-Quran maupun sunnah tidak ada satupun nas yang melarang atau
memperbolehkan harta bersama. Padahal kenyataan yang berlaku dalam
masyarakat Indonesia adalah bahwa harta bersama telah lama dipraktekkan.
Bahkan manfaatnya dapat dirasakan begitu besar dalam kehidupan mereka.
Sehingga ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia dalam hal ini
KHI menjadikan harta bersama sebagai hukum yang berlaku di Indonesia
melalui proses ijtihadiyyah.
2. Harta bersama harus senantiasa berlaku.
Harta bersama haruslah menjadi lembaga yang telah lama berkembang dan
senantiasa berlaku dalam kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan
masyarakat Indonesia yang mempunyai semboyan Bhineka Tunggal Ika, harta
bersama merupakan lembaga yang penerapannya hampir berlaku di seluruh
12
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, terjemahan Tolhah Mansoer. h. 135-137
22
Indonesia. Tidak hanya pada zaman yang lalu, akan tetapi harta bersama tetap
ditaati dan terpelihara penerapannya hingga saat ini.
3. Harta bersama merupakan adat yang sifatnya berlaku umum.
Hal ini dapat dilihat dari penerapan harta bersama yang berlaku hampir
menyeluruh dan menjadi suatu kebiasaan di Indonesia, sekalipun dalam
penyebutannya di setiap adat mempunyai penyebutan yang berbeda-beda.13
Ahmad Zaki Yamani mengisyaratkan bahwa syari‟at adalah mahluk atau
lembaga yang tumbuh dan berkembang dari kebutuhan masyarakat dengan
berbagai lingkungan. Mahluk atau lembaga itu terkadang berwujud sempurna
dan siap menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat,
tetapi ia tidak tetap demikian jika tidak terus-menerus tumbuh dan
berkembang.14
Pertumbuhan dan perkembangan Hukum Islam tidak semata-mata
bersumber dari kebutuhan yang diakibatkan dinamika sosial, budaya, ilmu dan
teknologi. Tetapi pertumbuhan dan pengembangannya dapat didukung melalui
pendekatan kompromistis dengan hukum adat setempat. Yang paling penting
untuk diperhatikan dalam pendekatan kompromistis antara Hukum Islam
dengan hukum adat adalah hukum yang lahir dari perpaduan kompromistis itu
berada dalam kerangka maslahah mursalah. dengan demikian, ketentuan
hukum adat ini sudah selayaknya diambil berdasarkan „urf sebagai landasan
dalam Hukum Islam yang akan diterapkan di Indonesia.15
Al Quran dan Hadis
tidak memberikan ketentuan yang jelas bahwa harta benda yang diperoleh
suami selama berlangsungnya perkawinan sepenuhnya menjadi hak suami. Al
Quran juga tidak menerangkan secara jelas bahwa harta yang diperoleh suami
dalam perkawinan, maka secara tidak langsung isteri juga berhak terhadap
harta tersebut.
Atas dasar itulah, maka bisa dikatakan bahwa masalah harta bersama ini
tidak secara jelas disinggung dalam rujukan Hukum Islam, baik itu
13
M Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terjemahan Syaifullah Ma‟sum, h. 417 14
Ahmad Zaki Yamani, Syariat Islam Yang Kekal dan Persoalan Masa Kini, h. 16 15
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,h. 36
23
berdasarkan Al Quran maupun hadis|. Atau dengan kata lain, masalah ini
merupakan wilayah yang belum terpikirkan (gairu mufakkar fih ) dalam
Hukum Islam karena memang belum disinggung secara jelas dalam sumber-
sumber atau teks-teks keislaman. Yang bisa kita lakukan adalah berijtih ad.
Dalam ajaran Islam, ijtihad itu diperbolehkan asalkan berkenaan dengan
hukum-hukum yang belum ditemukan dasar hukumnya. Masalah harta
bersama merupakan wilayah keduniawian yang belum tersentuh Hukum Islam
klasik.
Hukum Islam Kontemporer tentang masalah ini diteropong melalui
pendekatan ijtihad, yaitu bahwa harta benda yang diperoleh oleh suami isteri
secara bersamasama selama masa perkawinan merupakan harta bersama.16
Jika kita pelajari pandangan-pandangan Hukum Islam di atas, kita bias melihat
kecenderungan dengan tidak dibedakannya antara harta bersama dengan harta
bawaan dan harta perolehan. Harta bawaan dan harta perolehan tetap menjadi
hak milik masing-masing suami isteri. Hukum Islam cenderung
mengeneralisasikan masalah ini. Artinya, Hukum Islam pada umumnya tidak
menjelaskan perbedaan antara harta bersama itu sendiri dengan yang bukan
harta bersama. Adapula kecenderungan lain, yaitu bahwa harta milik suami
dan harta milik isteri yang tidak bercampur (tidak disebut harta bersama)
dalam pandangan Hukum Islam lebih dimaksudkan sebagai harta bawaan dan
harta perolehan.
.
B. Kedudukan Anak Tiri Dalam Kompilasi Hukum Islam
1. Pengertian Anak Tiri
Anak tiri adalah anak salah seorang suami atau isteri sebagai hasil
perkawinannya dengan isteri atau suaminya terdahulu. Misalnya, anaktiri
seorang ayah, ialah anak isterinya sebagai hasil perkawinan isterinya itu
dengan suaminya terdahulu. Anak tiri seorang ibu, ialah anak suaminya
sebagai hasil perkawinan suaminya itu dengan isterinya terdahulu.17
16
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian. h. 52 17
Muchlis Marzuki,” Pokok-pokok Ilmu Waris” (Semarang : Pustaka amani,2009) h. 84.
24
Pada dasarnya, anak tiri hanya memiliki hubungan kewarisan dan
keperdataan dengan orang tua sedarah. Adanya hubungan dengan orang
tua sedarah tersebut dibuktikan dengan akta kelahiran otentik yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana disebutkan dalam
pasal 55 Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Istilah anak tiri, biasanya dalam cerita sehari-hari memberi
gambaran kesedihan dan kenakalan. Karena sejak dari dulu anak tiri
digambarkan sebagai anak yang tidak ada yang mendidik, yang selalu
serba kekurangan dalam segala-galanya. Kurang dari sudut kasih sayang,
pelayanan dan pemberian harta benda, anak tiri senantiasa tersisihkan
dalam keluarga ibu atau ayah tiri. Orang tiri kejam, tidak
berprikemanusiaan, ganas dan penuh dengan hasad dengki terhadap anak
tiri. Demikian juga hubungan dengan kakak beradik tidak ada yang
mengaku saudara tirinya sebagai saudara untuk mendapatkan sedikit
kebahagiaan dalam keluarga.18
Berpegang pada pengertian di atas dapat dijabarkan adanya 2 (dua)
kategori Anak tiri yaitu :
1. Anak bawaan isteri dan / atau suami akibat perkawinan sah, dan
2. Anak bawaan isteri yang lahir di luar perkawinan sah.
Anak tiri pada kategori kedua telah jelas ketentuannya bahwa dia
hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan Ibunya dan keluarga
dari pihak Ibunya tersebut. (pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo. Pasal. 186 KHI).19
Anak tiri pada kategori pertama adalah yang dimaksudkan dalam
pembahasan di sini, karena memang belum ada ketentuannya secara
tektual dan jelas.
Pengertian anak tiri tersebut di atas, didasari pada kenyataan bahwa
pernikahan yang dilakukan tidak semua oleh mereka yang masih berstatus
18 Hasan Basri, “Persperktif Wasiat Wajibah Terhadap Anak Tiri”, Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana
Universitas Syiah Kuala II, 3, (Agustus 2014) h. 67 19Departemen Kehakiman RI., II/1985, “Undang-Undang Perkawinan Dan Peraturan
Pelaksanaannya”, Jakarta, h. 13 - Departemen Agama RI., 1991/1992, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta.,
h. 95.
25
perjaka dan perawan, melainkan juga “banyak” dilakukakn oleh seorang
Jejaka dengan seorang Janda yang telah mempunyai anak (dengan
suaminya dahulu), atau seorang Duda yang telah mempunyai anak (dengan
isterinya dahulu) dengan seorang Perawan, atau seorang Duda yang telah
mempunyai anak (dengan isterinya dahulu) dengan seorang Janda yang
juga telah mempunyai anak pula (dengan suaminya dahulu).
2. Akibat Hukum Pernikahan.
Suatu pernikahan yang dilakukan merupakan perbuatan hukum
yang menimbulkan multi dimensi hak dan kewajiban, termasuk di
dalamnya hak saling mewarisi dengan meninggalnya salah satu, suami
atau isteri. Ini merupakan ketentuan Qoth’i, sebagaimana ditentukan oleh
Allah SWT. Dalam Al Qur’an:
فإن كبن لهن ولكم نصف مب حسك أشوجكم إن لم يكن لهن ولد
يىصين بهب أو ممب حسكن من بعد وصيت ٱلسبعفلكم ولد
فإن كبن لكم دممب حسكخم إن لم يكن لكم ول ٱلسبع ولهن دين
حىصىن بهب أو ممب حسكخم من بعد وصيت ٱلثمنفلهن ولد
أخ أو ۥوله ٱمسأةيىزد كللت أو إن كبن زجل ودين
من ذلك فهم كثسفإن كبنىا أ ٱلسدسمنهمب فلكل وحد أخج
يىصى بهب أو دين غيس من بعد وصيت ٱلثلذشسكبء في
عليم حليم ٱللهو ٱللهمن صيت ومضبز
Artinya:
“Dan bagimu (suami-isteri) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-
isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari
26
harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh
seperempat yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika
kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau
(dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu”.
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempeunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,
Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat
yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian
itu sebagai) syari‟at yang benar-benar dari Allah, dan Allah maha
mengetahui lagi Maha Penyantu.” (QS. An Nisaa‟ ayat 12).
Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, kedudukan anak tiri
dalam keluarga orang tua tiri termasuk hubungan keluarga semenda, yang
mengakibatkan larangan melakukan perkawinan. Sebagaimana disebutkan
dalam pasal 8 huruf a sampai huruf f yaitu: Perkawinan dilarang antara
dua orang yaitu:
1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun
keatas
2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping
3. Berhubungan Semenda
4. Berhubungan Susuan
5. Berhubungan Saudara
6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin
27
Batas dimulai timbulnya hak dan saling mewarisi antara suami-
isteri, dikemukakan oleh Ibnu Umar A‟lawiy, bahwa cukuplah dengan
telah terjadinya akad nikah yang sah antara keduanya, meskipun antara
keduanya belum terjadi persetubuhan (Qabla dukhul). Ini tetap dapat
saling mewarisi dengan meninggalnya salah satu (suami atau isterinya).
Karena akibat hukum pernikahan terhadap hak mewarisi berbeda dengan
akibat hukum terhadap timbulnya hak dan kewajiban nafkah dan giliran
(qasmu) diantara mereka.20
Jumhur Ulama’ sepakat bahwa nafkah isteri
timbul sebagai kompensasi terhadap adanya dukhul (persetubuhan) antara
mereka berdua. Sehingga bagi isteri yang nusyuz (membangkang, antara
lain: karena tidak bersedia digauli oleh suaminya) tidak berhak atas
nafkah.21
Pernikahan juga bisa menimbulkan adanya hubungan hukum,
bukan saja terhadap mereka berdua (suami-isteri), melainkan juga terhadap
Anak tiri mereka, antara lain:
1. Antara Anak tiri perempuan dengan Bapak tirinya atau Anak tiri laki-
laki dengan Ibu tirinya, diantara mereka ini tidak boleh saling
menikahi satu dengan lainnya, apabila Bapak kandung Anak tiri
tersebut sudah dukhul (bersetubuh), sebagaimana hal ini ditentukan
dalam Firman Allah SWT. Dalam Al Qur‟an :
عليكم أمهخكم وبنبحكم وأخىحكم وعمخكم وخلخكم وبنبث حسمج
أزضعنكم وأخىحكم من ٱلخيوأمهخكم ٱلأخجوبنبث ٱلأخ
خي في حجىزكم من نسبئكم ٱلوأمهج نسبئكم وزبئبكم ٱلسضعت
دخلخم بهن فإن لم حكىنىا دخلخم بهن فلب جنبح عليكم ٱلخي
20
Ibnu Husain bin Umar A‟lawiy, “Bughyatul Mustarsyidin”, (Darul Fikri : Bairut, 2004) h. 181. 21Ibnu Rusyd Qurthubiy, “Bidayatul Mujtahid”,( Singapura : Al Haramain, , juz II Cet. III) h. 52.
28
إلب مب ٱلأخخينين من أصلبكم وأن حجمعىا ب ٱلرينوحلئل أبنبئكم
اا زحيمكبن غفىز ٱلله نقد سلف إ
Artinya:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu
(mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya;
(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan
menghimpunkan (dalm perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha penyayang”. (QS. An Nisaa‟ ayat 23)
Adanya kesepakatan secara sadar dalam bentuk kesediaan menerima
secara diam-diam, dengan pengertian bahwa dengan kesediaan menikahi
Ibu atau Bapak dari Anak tiri tersebut, berarti bersedia pula menerima
kehadiran Anak tiri tersebut dalam satu rumah tangga. Sehingga
keberadaan anak tiri ini, secara otomatis menjadi salah satu anggota
keluarga yang sekaligus menimbulkan tanggung jawab moril maupun
materil bagi Ibu maupun Bapak tirinya untuk mengasuh dan memupuk
pendidikan serta membiayai/menafkahi, dan lain-lainnya yang
menyangkut dengan kebutuhan/hajad hidup dan kehidupan Anak tiri ini,
masa kini dan masa depannya.22
22Ahmad Muntohar, Anak Tiri (dalam Perspektif Hukum Kewarisan Islam, www.pa-
banjarnegara.go.id/uploads/2011/01/anaq%20tiri.pdf, diakses pada : 20 januari 2018.
29
Lebih lanjut lagi islam juga mengatur tentang hubungan dan pergaulan
anak tiri atau orang tua tiri dalam keluarga. Orang tua tiri terhadap anak
tiri mereka menjadi mahram demikian juga anak tiri terhadap orang tua tiri
mereka juga mahram. Pengharaman tersebut bersifat mengikat selama-
lamanya tanpa ada batas waktu, setiap pengharaman dalam syari‟at tentu
ada hikmah yang mungkin tidak dapat diketahui maslahahnya. Menurut
Sayyid Quthb, ada tiga hikmah dari pengharaman tersebut yaitu; pertama,
iateri ayah berkedudukan sebagai ibu. Kedua, agar jangan seorang
menggantikan posisi ayahnya, sehingga ia menghayalkan sebagai
tandingannya. Secara naluri kebanyakan seorang suami tidak suka kepada
bekas suami pertama isteri, sehingga si anak akan membenci ayahnya.
Ketiga, supaya tidak terjadi kesamaran dalam masalah kewarisan bagi
isteri ayah, yang hal ini sangat dominan telah terjadi dikalangan
masyarakat jahiliyah.23
3. Pandangan ‘Ulama’ Terhadap Kedudukan Anak Tiri
Ulama‟ sepakat menetapkan pengertian lafadl “walad” dalam Firman
Allah SWT. Q.S An Nisaa‟ ayat 12, yang sekaligus sebagai acuan dasar dalam
menentukan adanya hak saling mewarisi antara suami-isteri, seperti tersebut di
atas, mencakup:
1. Anak-anak kandung (shulbiy), baik laki-laki maupun perempuan, dan
2. Anaknya anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah, jika tidak ada anak-anak
Kandung.24
Akibat hukum atas keberadaan Anak tiri bagi Ibu atau Bapak tiri dalam
menerima warisan sbb. :
1. Muhammad „Ali Ash Shabuniy; bahwa walaupun beliau berpendapat
dalam kasus Gharaqiy, bahwa Anak tiri tidak mendapat bagian apa-apa
dari harta warisan Ibu atau Bapak tirinya, seperti tersebut diatas, namun
23
Sayyid Quthb terj. As‟ad Yasin “Tafsir Fi Zhilal Al-Qur'an dibawah naungan Al-Qur'an” ( Jakarta :
Gema Insani, 2001) h. 9 24
Fatchur Rahman,” Ilmu Waris”,( Bandung : Al Ma‟arif, 1981Cet. II) h. 136.
30
pada bagian lain beliau mengemukakan bahwa anak tiri juga bisa menjadi
Hajib Nuqshan (Penghalang yang berakibat berkurangnya bagian ahli
waris) terhadap Ibu atau Bapak tirinya, sebagaimana Firman Allah SWT.
QS. An Nisaa‟ ayat 12 tersebut di atas, dengan penjelasan bahwa suami
mendapat bagian ¼ apabila isteri mempunyai anak atau anak dari anak
laki-laki (cucu) dan seterusnya ke bawah, baik anak itu dari suami
tersebut, maupun dari lainnya (suami terdahulu). Isteri mendapat bagian ¼
apabila suami tidak mempunyai anak atau anak dari anak laki-laki (cucu)
dan seterusnya ke bawah, baik anak itu dari isteri tersebut maupun dari
isteri yang lainnya.25
2. Fatchur Rahman; bahwa isteri mendapat 1/8 bila yang diwariskannya
mempunyai far’u-warits, baik yang lahir melalui isteri pewaris ini maupun
melalui isterinya yang lain.26
Berpijak dari kedua pendapat tersebut di atas, maka kedudukan Anak
tiri dalam Hukum Kewarisan Islam semakin jelas bagi kita, meskipun masih
disayangkan belum ada tindak lanjut penyelesaiannya, dalam pengertian
apabila Anak tiri dapat menjadi Hajib Nuqshan terhadap Ibu atau Bapak
tirinya, maka apakah tidak mungkin apabila dia juga bisa mendapatkan bagian
dari harta warisan Ibu atau Bapak tirinya.
Dalam teori hukum Islam istilah qiyash juga digunakan untuk mencari
hukum yang tidak ada penjelasannya dalam Al-Qur‟an dan Al-Haadits, namun
terdapat beberapa kesamaan atau kemiripan dengan aturan hukum yang telah
ada. Secara etimologis, kata qiyash artinya mengukur, membandingkan
sesuatu dengan yang semisalnya, para ulama usul fiqh mendefinisikan qiyash
adalah penetapan hukum yang sama dari sesuatu kepada sesuatu yang lain,
karena adanya persamaan illat diantara keduanya (hukum) menurut pandangan
sang penetap hukum/mujtahid.27
25
Muhammad „Ali Ash Shabuniy, “Al Mawarits Fish Syari’ah Al Islamiyah” ( Makkah : Syirkah
Iqamah Ad Din, t.t) h. 48. 26
Fatchur Rahman, “Ilmu Waris” (Bandung : Al Ma‟arif , 1981, Cet. II) h. 136. 27
Muin Umar, dkk. “Ushul Fiqh 1”. (Jakarta : Departemen Agama, 1986 )h.107.
31
Hakikat qiyash dalam hukum Islam terdapat empat unsur (rukun) pada
setiap qiyash, yaitu;
1. Suatu wadah atau hal yang telah ditetapkan sendiri hukumnya oleh
pembuat hukum. Ini disebut maqis’alaih atau ashal atau
musyabbah bihi.
2. Suatu wadah atau hal yang belum ditemukan hukumnya secara
jelas dalam nash syara‟. Ini disebut maqish atau furu’atau
musyabbah bihi.
3. Hukum yang disebut sendiri oleh para pembuat hukum (syar‟i)
pada ashal, berdasarkan kesamaan ashal itu dengan furu’ dalam
illat-nya para mujtahid dapat menetapkan hukum pada furu’. Ini
disebut hukum ashal.
4. Illat hukum yang terdapat dalam ashal dan terlihat pula oleh
mujtahin pada furu‟.28
Terhadap kasus anak tiri dapat diqiyas-kan (disamakan) dengan
anak angkat dari sudut pandang illat-nya dan furu’nya. Karena pada ashal
hukum kedua-duanya adalah sama-sama bukan dari keluarga kedua orang
tua mereka dan bukan keturunan (hubungan darah) dari suami isteri dalam
keluarga tersebuat. Namun kewajiban dan tanggung jawab serta hak-hak
lainnya dalam keluarga sama, sementara hukum hanya mengatur tentang
hak anak angkat atau orang tua angkat.
Seorang mujtahid yang menjadi anggota lembaga ahli al-Hall wa
al-‘Aqd dalam arti hakim, berhak melakukan ijtihad selama tidak
bertentangan dengan ijma‟ para mujtahid dan pendapatnya wajib diikuti
sebagai orang yang mempunyai kekuasaan. Setiap orang boleh melakukan
ijtihad apabila memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan menurut usul dan
yang penting adalah penguasaan bahasa Al-Qur‟an dan Hadits
pengetahuan tentang kaifiat merumuskan (istimbat) hukum dari sumber-
sumber perundang-undangan dan kepahaman tentang tujuan syari’at.
Semua itu dapat dicapai dengan kajian,diskusi-diskusi, penalaaran dan
28
Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia” (Jakarta: Kencana, 2009) h. 172.
32
pengamalan ijtihad. Perkara-perkara yang boleh diijtihadkan ialah hukum-
hukum yang tidak ada nas dan ijma‟ mengenainya termasuk dalam perkara
yang boleh diijtihadkan.
Jika hakim tidak menemukan hukum yang tertulis maka hakim
harus menggali hukum yang tidak tertulis, hukum yang hidup dalam
masyarakat melalui hukum adat dan nilai-nilai agama, sebagaimana yang
disebutkan dalam pasal 16 ayat (1) dan (1) Undang-undang No. 14 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
33
BAB IV
ANALISIS YURIDIS TENTANG HARTA BERSAMA DAN WARISAN
PERKAWINAN POLIGAMI (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH
AGUNG NOMOR 489/K/Ag/2011)
Sebelum Penulis memaparkan Analisis Yuridis tentang Pembagian Harta
Bersama dan Perkawinan Poligami (studi kasus Putusan Mahkamah Agung
Nomor 489/K/Ag/2011). Penulis akan paparkan dulu kronologi kasus tersebut
sampai upaya kasasi ke Mahkamah Agung. Dari mulai putusan Pengadilan
Agama Malang Nomor : 297/Pdt.G/2010/PA.Mlg kemudian banding ke PTA
Surabaya dengan Putusan Nomor : 104/Pdt.G/2011/PTA.Sby.
A. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Nomor : 297/Pdt.G/2010/
PA. Mlg.
1. Duduk Perkara
Gatot Subroto, Siti Sundari, Moch. Abdul Kadir Djaelani, Lianah
(yang selanjutnya disebut sebagai Penggugat) dalam hal ini menguasakan
kepada Yayan Riyanto, SH dan Diddin Syarifuddin, SH. dan Ny. Ngatmini,
Sri Hariyati, Sudarmaji (yang selanjutnya disebut sebagai Tergugat) dalam
hal ini menguasakan kepada Mochamad Mochtar, SH., Msi.
Dahulu Bu Rukini pernah menikah dengan H. Asnawi, yang di
karuniai 4 (empat) orang anak kandung yaitu Para Penggugat. Semasa
hidupnya sepasang suami ini (Bu Rukini dan H. Asnawi) memiliki usaha
penginapan di jalan Kolonel Sugiono No. 168 Malang, kemudian H. Asnawi
meninggal dunia dan usaha penginapan di jalan Kolonel Sugiono No. 168
kota Malang tersebut dikelola oleh istrinya Bu Rukini. Setelah itu pada tahun
1966 Bu Rukini menikah lagi dengan seorang laki-laki yang bernama Pak
Djuwadi, kemudian Bu Rukini melanjutkan usaha penginapan tersebut
dibantu oleh suami keduanya yaitu pak Djuwadi, yang pada saat menikah
dengan Bu Rukini pada tahun 1966 telah memiliki istri yang benama
Ngatmini (Tergugat I).
34
Kemudian setelah berusaha serta jerih payah Bu Rukini dan Pak
Djuawadi kurang lebih pada tahun 1994 membeli sebidang tanah dan
kemudian didirikan Penginapan I Losmen Puspasari di Jl. Panglima Sudirman
No. 100 Desa Ngadilangkung Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang,
Sertifikat Hak Milik No. 98 luas tanah 1.220 meter persegi atas nama
Djuwadi, yang setelah berganti nama dan dikenal dengan Hotel PUSPASARI
II, untuk selanjutnya disebut sebagai obyek sengketa.
Bahwa kemudian pada tahun 2003 Bu Rukini meninggal dunia karena
sakit, dan diikuti Pak Djuwadi yang meninggal pada tahun 2005 karena sakit,
Setelah Pak Djuwadi meninggal dunia Tergugat III pernah mendatangi Para
Penggugat untuk membicarakan obyek sengketa, namun tanpa sepengetahuan
Para Penggugat akhirnya obyek sengketa beserta sertifikat tanahnya di kuasai
oleh Para Tergugat secara sepihak dan tanpa ijin kepada Para Penggugat
sebagai ahli waris yang sah. Penguasaan obyek sengketa oleh Para Tergugat
adalah tidak benar dan merupakan Perbuatan Melawan Hukum, karena obyek
sengketa adalah harta bersama (gono-gini) antara Bu Rukini dan Pak
Djuwadi, sehingga yang memiliki hak adalah bukan Para Tergugat,
melainkan hak dari Bu Rukini dan Pak Djuwadi, dan ternyata Bu Rukini
masih memiliki anak kandung yaitu Para Penggugat. Terlebih lagi Tergugat I
adalah istri pertama dari Pak Djuwadi yang secara hukum tidak memiliki hak
atas harta gono-gini Pak Djuwadi dengan istri kedua (Bu Rukini), dan
Tergugat II adalah anak angkat dari Tergugat I dan Tergugat III adalah suami
dari Tergugat II yang jelas-jelas orang lain yang tidak memiliki hubungan
hukum dengan Pak Djuwadi dan Bu Rukini.
Para Penggugat sudah sering sekali meminta secara baik-baik kepada
Para Tergugat untuk menyerahkan dan mengosongkan obyek sengketa untuk
di bagi kepada ahli warisnya dan bahkan sebelum gugatan ini diajukan sudah
pula diberikan Somasi / surat peringatan namun Para Tergugat tetap
bersikukuh untuk terus menempati dan menguasai obyek sengketa. Dan hal
ini patut dan wajar menurut hukum bahwa Tergugat I, tergugat II, Tergugat
III atau disebut juga Para Tergugat dan siapa saja yang menguasai obyek
35
sengketa untuk mengosongkan dan menyerahkan obyek sengketa kepada Para
Penggugat.
2. Pertimbangan Hakim
Menimbang, bahwa atas jawaban Tergugat, Penggugat menyampaikan
tanggapan lewat replik tertanggal 31 Mei 2009 yang diserahkan pada tanggal
31 Mei 2010 pada pokoknya tetap pada gugatannya semula ;
Menimbang, bahwa atas replik Penggugat tersebut, Tergugat
menyampaikan tanggapan lewat duplik yang diserahkan pada tanggal 14 Juni
2010 yang pada pokoknya tetap pada jawabannya semula ;
Menimbang, bahwa selanjutnya Penggugat mencukupkan segala
sesuatunya dan selanjutnya Penggugat mohon Putusan;
Menimbang, bahwa sesuai pasal 171 Kompilasi Hukum Islam
didalam gugatan waris harus ditentukan adanya pewaris, ahli waris dan
harta warisan serta bagian masing-masing,;
Menimbang, bahwa perkara ini adalah perkara waris, dimana yang
dipersengketakan adalah harta peninggalan Djuwadi alm,;
Menimbang, bahwa penggugat telah mengajukan gugatan
pembagian harta peninggalan (tirkah) almarhum bertanggal 01 Maret 2010
atas gugatan tersebut Tergugat telah menyampaikan jawaban secara
tertulis tertanggal 10 Mei 2010 dan gugatan mana ada yang dibantah oleh
Tergugat, oleh karena itu dalil-dalil gugatan Penggugat belum menjadi
dalil yang tetap, maka Majelis Hakim harus menilai alat-alat bukti
Penggugat dan Tergugat,;
Menimbang, bahwa semasa hidupnya alm. Djuwadi telah membuat
surat wasiat (testament) terhadap obyek sengketa yang diberikan kepada
istrinya Ngatmini (istri pertama) yang dengan surat wasiat / testament No.
32 tanggal 5 Maret 2002 sebagaimana nukti T.4 ,;
Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 195 Kompilasi Hukum
Islam ayat 2 dan 3 menyatakan wasiat hanya di perbolehkan sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta warisan kecuali semua ahli waris menyetujuinya
36
( ayat 2 ) sedangkan ayat 3 menyatakan bahwa wasiat kepada ahli waris
hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris,;
Menimbang, bahwa harta yang diwasiatkan oleh alm. Djuwadi
kepada istri pertama Ngatmini lebih dari 1/3 harta tanpa ada persetujuan
dari ahli waris yang lain yaitu istri yang kedua Rukini, yang pada waktu
wasiat itu dibuat masih hidup,;
Menimbang, bahwa wasiat kepada ahli waris sendiri dan ahli waris
yang lain tidak ada persetujuan maka wasiat yang demikian tidak sah,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya : Tidak berlaku wasiat
bagi ahli waris ,;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut Majelis Hakim berpendapat, surat wasiat Djuwadi alm. Dengan
wasiat No. 32 tanggal 5 Maret 2002 yang ditujukan kepada istrinya
Ngatmini adalah tidak mempunyai kekuatan hukum,;
Menimbang, bahwa oleh karena surat wasiat No. 32 tanggal 5
Maret 2002 telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, maka
Majelis Hakim menyatakan akta hibah No. 45/Kepanjen/2007 tanggal 16-
2-2007 dan sertifikat hak milik No. 98 atas nama Sri Hariyati, gambar
situasi No. 7302/1991 tanggal 26-12-1991 tidak mempunyai kekuatan
hukum pula,;
Menimbang, bahwa perkawinan alm. Djuwadi dengan Ngatmini
tidak mempunyai anak, akan tetapi alm. Djuwadi dan Ngatmini
mengangkat anak yaitu Sri Hariyati sebagai anak angkat, hal ini diakui
oleh Penggugat dan Tergugat yang menerangkan bahwa Sri Hariyati
adalah anak angkat dari alm. Djuwadi dengan Ngatmini,;
Menimbang, bahwa perkawinan alm. Djuwadi dengan Rukini
jugha tidak mempunyai anak akan tetapi Rukini mempunyai 4 orang anak
bawaan dari suami yang pertama yaitu para Penggugat, hal ini diakui oleh
Tergugat bahwa para Penggugat bukan anak dari alm. Djuwadi dengan
Rukini akan tetapi anak bawaan Rukini dari suami yang pertama,;
37
Menimbang, bahwa dengan demikian alm. Djuwadi wafat dengan
meninggalkan ahli waris 2 orang istri yaitu Ngatmini dan Rukini,;
Menimbang, bahwa Rukini (istri ke 2) alm. Djuwadi telah
meninggal terlebih dahulu dari alm. Djuwadi pada tahun 2003, sedangkan
Ngatmini (istri 1) dari alm. Djuwadi masih hidup sampai saat ini,;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, Majelis
Hakim menetapkan ahli waris alm. Djuwadi yang masih hidup adalah
Ngatmini istri 1 alm. Djuwadi,;
Menimbang, bahwa disamping meninggalkan ahli waris tersebut
diatas, alm. Djuwadi meninggalkan harta peninggalan berupa : Hotel
Puspasari II yang terletak di Jalan Panglima Sudirman No. 100 Desa
Ngadilangkung Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang yang selanjutnya
disebut sebagai obyek sengketa,;
Menimbang, bahwa obyek sengketa tersebut dibeli dan dibangun
oleh alm. Djuwadi dengan kedua istrinya Ngatmini dan Rukini dan pada
saat alm. Djuwadi menikah dengan Rukini tidak ada penetapan /
pemisahan harta bersama alm. Djuwadi dengan istri yang pertama
(Ngatmini),;
Menimbang, bahwa oleh karena obyek sengketa diperoleh selama
dalam ikatan perkawinan alm. Djuwadi dengan istri kedua Rukini dan istri
pertama Ngatmini, maka harta tersebut (obyek sengketa) merupakan harta
bersama milik suami (alm. Djuwadi), istri pertama (Ngatmini) dan istri
kedua (Rukini) yang berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 94, maka
harus dibagi 1/3 bagian untuk alm. Djuwadi, 1/3 bagian untuk Ngatmini
dan 1/3 bagian untuk Rukini,;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas Majelis
Hakim menetapkan bahwa obyek sengketa adalah harta bersama alm.
Djuwadi, Ngatmini dan Rukini dengan pembagian masing-masing
mendapatkan 1/3 bagian dan menghukum para tergugat untuk
menyerahkan 1/3 bagian dari harta bersama tersebut kepada Rukini, oleh
karena Rukini telah meninggal dunia maka 1/3 bagian dari harta bersama
38
tersebut diserahkan kepada ahli waris dan Rukini sebagai harta warisan
yaitu suami (alm. Djuwadi) mendapat bagian ¼ dan anak-anak dari almh.
Rukini (para Penggugat) mendapatkan ashabah,;
Menimbang, bahwa bagian alm. Djuwadi sebanyak 1/3 bagian dari
harta bersama dan ditambah bagian dari warisan almh. Rukini sebesar ¼
bagian tersebut jatuh menjadi harta warisan alm. Djuwadi yang harus
dibagi kepada ahli warisnya yang masih hidup yaitu Ngatmini,;
Menimbang, bahwa oleh karena alm. Djuwadi tidak mempunyai
anak maka Ngatmini satu-satunya ahli waris alm. Djuwadi yang masih
hidup mendapatkan ¼ bagian dari harta warisan tersebut,;
Menimbang, bahwa disamping meninggalkan ahli waris yang
bernama Ngatmini, alm. Djuwadi juga meninggalkan anak angkat yang
bernama Sri Hariyati (Tergugat II), berdasarkan pasal 209 (2) Kompilasi
Hukum Islam anak angkat dapat menerima bagian harta warisan orang tua
angkatnya melalui jalur lembaga wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3
dari harta warisan orang tua angkatnya pasal 209 (2) Kompilasi Hukum
Islam tersebut dapat dipahami bahwa wasiat wajibah adalah wasiat yang
diperuntukkan bagi anak angkatnya dengan jumlah maksimal 1/3 dari
harta peninggalan orang tua angkatnya, oleh karenanya Majelis Hakim
berpendapat dan menetapkan bahwa bagian anak angkat alm. Djuwadi
yaitu Sri Hariyati adalah 1/3 bagian dari harta warisan alm. Djuwadi,;
Menimbang, bahwa ahli waris alm. Djuwadi adalah Ngatmini
mendapatkan ¼ bagian dari harta warisan alm. Djuwadi dan Sri Hariyati
sebagai anak angkat mendapatkan 1/3 bagian dari harta warisan alm.
Djuwadi dan tidak ada ahli waris lainnya dari keluarga alm. Djuwadi,;
Menimbang, bahwa harta warisan alm. Djuwadi terdapat kelebihan
harta warisan maka sesuai dengan ketentuan waris harus dibagi secara Rad
dengan syarat ash-habul furudl, tidak adanya orang yang mendapat
Ashabah dan adanya kelebihan harta psaka, dalam perkara ini tidak ada
ash-habul furudl akan tetapi ada seorang istri, sesuai dengan ketentuan
waris seorang istri tidak dapat memperoleh Rad karena hubungan
39
kekerabatan mereka tidak termasuk kerabat nasabiyah, suami istri hanya
mempunyai hubungan kerabat sababiyah artinya hubungan kerabat yang
dihasilkan dari pernikahan dan hubungan kekerabatannya menjadi putus
dengan sebab salah seorang mati,;
Menimbang, bahwa oleh karena dalam perkara ini tidak ada ash-
habul furudl dan istri tidak memperoleh waris secara Rad, maka kelebihan
harta warisan alm. Djuwadi diperuntukan unruk Baitul Mal,;
Menimbang, bahwa di Indonesia keberadaan Baitul Mal tidak jelas
maka Majelis Hakim berpendapat bahwa kelebihan harta warisan alm.
Djuwadi diperuntukkan untuk LAZIS (Lembaga Zakat, Infaq dan
Shadaqah) di Kecamatan dimana harta tersebut berada karena LAZIS
dianggap masih diakui keberadaannya di tiap-tiap Kecamatan,;
Menimbang, bahwa dalam jawabannya tanggal 10 Mei 2010
Tergugat menyatakan bahwa semasa hidupnya Djuwadi telah membagi
harta-hartanya kepada istri-istrinya dan Rukini (istri II) telah diberi
Losmen Sampurna di Jalan Kolonel Sugiono 168 kota Malang, namun
dalam persidangan Tergugat tidak dapat membuktikan baik dengan bukti
surat maupun bukti saksi, sedangkan Penggugat dalam repliknya tanggal
31 Mei 2010 telah menolak jawaban Tergugat tersebut, bahwa alm.
Djuwadi semasa hidupnya tidak pernah membagi hartanya kepada istri-
istrinya dan Losmen Sampurna adalah harta bersama Rukini dengan H.
Asnawi (suami pertama Rukini), hal ini diperkuat oleh keterangan saksi
Penggugat yang bernama (ANIS alias BUANG RUSTAM dan SUTARJI
bin RUSTAM AJI) maupun saksi Tergugat (BAHRI bin Kyai
SAMSURI) oleh karenanya jawaban / bantahan Tergugat harus
dikesampingkan,;
Menimbang, bahwa mengenai bukti-bukti lain yang tidak ada
relevansinya dengan perkara ini tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut,;
Menimbang, bahwa perkara ini merupakan bagian dari perkawinan
yang menyangkut kebendaan yang masing-masing berhak oleh karena ini
40
kepada Penggugat dan Tergugat dibebankan menanggung biaya perkara
ini secara tanggung renteng,;
Mengingat segala ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan
hukum syar’i yang berkaitan dengan perkara ini,;
3. Amar Putusan
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian,;
2. Menyatakan Surat Wasiat No. 32 tanggal 5 Maret 2002, akta Hibah
No. 45/Kepanjen/2007 tanggal 16-2-2007 dan Sertifikat Hak Milik
No. 98 atas nama Sri Hariyati, gambar situasi No. 7302/1991 tanggal
26-12-1991 tidak mempunyai kekuatan hukum,;
3. Menyatakan bahwa Hotel Puspasari II yang terletak di Jalan
Panglima Sudirman No. 100 Desa Ngadilangkung Kecamatan
Kepanjen Kabupaten Malang adalah harta bersama alm. Djuwadi
dengan kedua istrinya (Ngatmini dan Rukini),;
4. Menetapkan bagian masing-masing dari harta bersama tersebut
diatas sebagai berikut :
4.1.1. Alm. Djuwadi mendapat 1/3 bagian,;
4.1.2. Ngatmini mendapatkan 1/3 bagian,;
4.1.3. Rukini mendapatkan 1/3 bagian,;
5. Menghukum para Tergugat untuk menyerahkan 1/3 bagian dari
harta bersama tersebut diatas ( diktum No. 3 ) kepada ahli waris dari
Rukini yang suami (alm. Djuwadi) sebesar ¼ bagian dan anak-anak
dari alm. Rukini (para Penggugat) sebesar ¾ (Ashabah),;
6. Menyatakn bahwa 1/3 bagian dari harta bersama ditambah bagian
suami (alm. Djuwadi) sebesar ¼ bagian tersebut diatas sebagai harta
warisan (tirkah) dari alm. Djuwadi,;
7. Menetapkan bahwa Ngatmini (Tergugat I) adalah ahli waris dari
alm. Djuwadi dan Sri Hariyati (Tergugat II) adalah anak angkat dari
alm. Djuwadi,;
41
8. Menetapkan bagian Ngatmini sebagai ahli waris sebesar ¼ dari harta
warisan alm. Djuwadi dan bagian Sri Hariyati sebagai anak angkat
sebesar 1/3 bagian dari harta warisan alm. Djuwadi dan sisa harta
warisan alm. Djuwadi diperuntukkan untuk LAZIS di Kecamatan
dimana benda tersebut berada,;
9. Menyatakn sita jaminan yang dilaksanakan Pengadilan Agama
Kabupaten Malang tanggal 9 Deaember 2010 adalah sah dan
berharga,;
10. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya,;
11. Menghukum Penggugat dan Tergugat untuk membayar biaya
perkara secara tanggung renteng sebesar Rp. 916.000,- (Sembilan
ratus enam belas ribu rupiah);
B. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Nomor : 104/Pdt.G/2011/
PTA. Sby
1. Duduk Perkara
Ny. Ngatmini, Sri Hariyati, Sudarmaji yang semulanya para
Tergugat (selanjutnya disebut sebagai Pembanding) dalam hal ini
menguasakan kepada Mochamad Mochtar, SH., Msi. Dan Gatot Subroto,
Siti Sundari, Moch. Abdul Kadir Djaelani, Lianah yang semulanya disebut
sebagai Penggugat (selanjutnya disebut sebagai Terbanding) dalam hal ini
menguasakan kepada Yayan Riyanto, SH dan Diddin Syarifuddin, SH.
Mengutip segala uraian tentang hal ini sebagaimana termuat dalam
putusan Pengadilan Agama Malang tanggal 07 Pebruari 2011 M.
bertepatan dengan tanggal 03 Rabiu l Awal 1432 H. nomor : 297 /Pd t .G/
2 0 10 / PA.Mlg , yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian,;
2. Menyatakan Surat Wasiat No. 32 tanggal 5 Maret 2002, akta Hibah
No. 45/Kepanjen/2007 tanggal 16-2-2007 dan Sertifikat Hak Milik
42
No. 98 atas nama Sri Hariyati, gambar situasi No. 7302/1991
tanggal 26-12-1991 tidak mempunyai kekuatan hukum,;
3. Menyatakan bahwa Hotel Puspasari II yang terletak di Jalan
Panglima Sudirman No. 100 Desa Ngadilangkung Kecamatan
Kepanjen Kabupaten Malang dengan batas-batas :
Utara :Tanah milik H. Muhlis,;
Timur :Jalan Raya,;
Selatan :Jalan ke Makam,;
Barat :Tanah makam desa/parit,;
Adalah harta bersama alm. Djuwadi dengan kedua istrinya
(Ngatmini dan Rukini),;
4. Menetapkan bagian masing-masing dari harta bersama tersebut
diatas sebagai berikut :
4.1 Alm. Djuwadi mendapat 1/3 bagian,;
4.2 Ngatmini mendapatkan 1/3 bagian,;
4.3 Rukini mendapatkan 1/3 bagian,;
5. Menghukum para Tergugat untuk menyerahkan 1/3 bagian dari
harta bersama tersebut diatas ( diktum No. 3 ) kepada ahli waris
dari Rukini yang suami (alm. Djuwadi) sebesar ¼ bagian dan anak-
anak dari alm. Rukini (para Penggugat) sebesar ¾ (Ashabah),;
6. Menyatakn bahwa 1/3 bagian dari harta bersama ditambah bagian
suami (alm. Djuwadi) sebesar ¼ bagian tersebut diatas sebagai
harta warisan (tirkah) dari alm. Djuwadi,;
7. Menetapkan bahwa Ngatmini (Tergugat I) adalah ahli waris dari
alm. Djuwadi dan Sri Hariyati (Tergugat II) adalah anak angkat
dari alm. Djuwadi,;
8. Menetapkan bagian Ngatmini sebagai ahli waris sebesar ¼ dari
harta warisan alm. Djuwadi dan bagian Sri Hariyati sebagai anak
angkat sebesar 1/3 bagian dari harta warisan alm. Djuwadi dan sisa
43
harta warisan alm. Djuwadi diperuntukkan untuk LAZIS di
Kecamatan dimana benda tersebut berada,;
9. Menyatakn sita jaminan yang dilaksanakan Pengadilan Agama
Kabupaten Malang tanggal 9 Deaember 2010 adalah sah dan
berharga,;
10. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya,;
11. Menghukum Penggugat dan Tergugat untuk membayar biaya
perkara secara tanggung renteng sebesar Rp. 916.000,- (Sembilan
ratus enam belas ribu rupiah);
Membaca Akta Permohonan Banding yang dibuat oleh Panitera
Pengadilan Agama Malang tertanggal 10 Pebruari 2011 nomor:
297/Pdt.G/2010/PA.Mlg.,bahwa Para Tergugat/Para Pembanding pada
tanggal 10 Pebruari 2011 telah mengajukan permohonan banding atas
putusan Pengadilan Agama Malang tanggal 07 Pebruari 2011 nomor:
297/Pdt.G/2010/PA.Mlg, permohonan banding tersebut telah
diberitahukan kepada pihak lawannya pada tanggal 14 Pebruari 2011 ;
Menimbang, bahwa Para Tergugat/Para Pembanding telah
mengajukan memori banding tertanggal 14 Maret 2011, sedangkan Para
Penggugat/Para Terbanding tidak mengajukan kontra memori banding
sebagaimana surat keterangan Panitera Pengadilan Agama Malang
tertanggal 1 April 2011 nomor: 297/Pdt.G/2010/PA.Mlg;
2. Pertimbangan Hakim
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan banding yang diajukan
oleh Para Tergugat/Para Pembanding telah diajukan dalam tenggang waktu
dan dengan cara-cara sebagaimana menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku, maka permohonan banding tersebut harus dinyatakan dapat
diterima;
Menimbang , bahwa Pengadilan Tinggi Agama Surabaya setelah
membaca dan mempelajari dengan seksama semua surat yang berhubungan
44
dengan perkara a quo termasuk memori banding tanpa kontra memori banding
dan salinan resmi putusan Pengadilan Agama Malang tanggal 07 Pebruari
2011 M. bertepatan dengan tanggal 03 Rabiul Awal 1432 H. nomor:
297/Pdt.G/2010/PA.Mlg,, maka Pengadilan Tinggi Agama selanjutnya
memberikan pertimbangan–pertimbangan sebagai berikut;
Menimbang, bahwa keberatan Pertama (1) Para Tergugat/Para
Pembanding dalam memori bandingnya , yang menyatakan bahwa putusan
Pengadilan Agama Malang salah menerapkan hukum, karena tidak memenuhi
prosedur hukum, sehingga menyatakan bahwa surat wasiat No. 32 tanggal 5
Maret 2002 (bukti T.4) dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum dan
seterusnya;
Menimbang, bahwa keberatan Kedua (2) Para Tergugat/Para
Pembanding menyatakan, bahwa pokok perkara
nomor:297/Pdt.G/2010/PA.Mlg, adalah gugatan waris bukan gugatan tentang
keberatan terhadap adanya akta wasiat (bukti T.2-T.4) bukan menguji produk
hukum yang sudah sah (akta wasiat) kemudian menyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum dan seterusnya;
Menimbang, bahwa keberatan Ketiga (3) Para Tergugat/Para
Pembanding menyatakan, bahwa putusan nomor: 297/Pdt.G/2010/PA.Mlg
telah terja di putusan supra petita/melebihi dari yang diminta, tidak ada satupun
yang meminta tentang akta wasiat No.32 tanggal 5 Maret 2002 dan akta hibah
No. 45/Kepanjen/2007 tertanggal 16-2-2007, sertifikat hak milik No. 98 atas
nama Sri Hariyati untuk dinyatakan batal atau tidak mempunyai kekuatan
hukum dan seterusnya;
Menimbang, bahwa keberatan Keempat (4) Para Pembanding
menyatakan, bahwa putusan Pengadilan Agama Malang tidak memenuhi rasa
keadilan dimana bagian yang dikumpulkan sendiri oleh Tergugat sebagai
obyek sengketa yang telah diwariskan kepada Para Pembanding melebihi 1/3
bagian dari harta warisan dan seterusnya;
Menimbang, bahwa keberatan Kelima (5) Para Pembanding
menyatakan, bahwa Sita Jaminan (Conservatoir Beslaag) telah salah obyek,
45
karena hak atas tanah obyek sengketa telah terjadi pemindahan hak kepada
Terguga t III (Sri Hariyati) oleh karenanya Sita Jaminan salah obyek dan tidak
mempunyai kekuatan hukum dan harus diangkat; Berdasarkan keberatan-
keberatan tersebut diatas, mohon kepada Pengadilan Tinggi Agama Surabaya
untuk membatalkan putusan a quo dan mengadili sendiri dengan menolak
gugatan Penggugat;
Menimbang, bahwa atas keberatan-keberatan Para Pembanding
tersebut, Pengadilan Tinggi Agama berpendapat, bahwa keberatan tersebut
telah terjawab oleh pertimbangan-pertimbangan hukum Hakim tingkat pertama
yang terdapat pada halaman 22,23,24,25, 26,27 dan 28 putusan a quo dimana
pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut telah tepat dan benar, karenanya
putusan tersebut harus dipertahankan dan keberatan-keberatan Para
Pembanding harus dikesampingkan;
Menimbang, bahwa untuk dapat terlaksana nya pembagian waris
tersebut, maka perlu ditambah amar putusan yang menyatakan apabila tidak
dapat dibagi secara natura, maka dapat dibagi secara innatura atau dijual lelang
dan hasilnya dibagi sesuai dengan bagian masing-masing;
Menimbang, bahwa berdasarkan tambahan pertimbangan tersebut
diatas, maka putusan a quo harus dikuatkan;
Menimbang, bahwa berdasarkan maksud Pasal 89 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009,biaya perkara pada tingkat banding dibebankan kepada Para
Tergugat/Para Pembanding;
Mengingat akan pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan dalil syar’i yang berkaitan dengan perkara ini;
3. Amar Putusan
- Menyatakan, permohonan banding yang diajukan oleh Para
Tergugat/Para Pembanding dapat diterima;
46
- Menguatkan putusan Pengadilan Agama Malang nomor:
297/Pdt.G/2010/PA.Mlg tanggal 07 Pebruari 2011 M. bertepatan dengan
tanggal 03 Rabiul Awal 1432 H. dengan perbaikan amar putusan
sehingga bunyi selengkapnya sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menyatakan Surat Wasiat No. 32 tanggal 5 Maret 2002, Akta Hibah
No. 45/kepanjen/2007 tanggal 16-2-2007 dan Sertifikat Hak Milik No.
98 atas nama Sri Hariyati, gambar situasi No. 7302/1991 tanggal 26-
12-1991 tidak mempunyai kekuatan hukum;
3. Menyatakan bahwa hotel Puspasari II yang terletak di Jalan Panglima
Sudirman No. 100 Desa Ngadilangkung Kecamatan Kepanjen
Kabupaten Malang dengan batas-batas:
Utara : Tanah milik. Muhlis;
Timur : Jalan raya;
Selatan : Jalan ke Makam;
Barat : Tanah makam desa/Parit;
Adalah harta bersama alm. Djuwadi dengan kedua istrinya ( Ngatmini
dan Rukini);
4. Menetapkan bagian masing-masing dari harta bersama tersebut diatas
sebagai berikut:
4.1 . Alm. Djuwadi mendapat 1/3 bagian ;
4.2 . Ngatmini mendapatkan 1/3 bagian ;
4.3 . Rukini mendapatkan 1/3 bagian ;
5 Menghukum para Tergugat untuk menyerahkan 1/3 bagian dari harta
bersama tersebut diatas (dictum No. 3) kepada ahli waris dari rukini
yaitu suami (alm. Djuwadi) sebesar ¼ bagian dan anak-anak dari
almh. Rukini (Para Penggugat) sebesar ¾ (Ashobah), dan apabila
tidak dapat dibagi sec ara natura, maka dapat dibagi secara innatura
atau dijual lelang dan hasilnya dibagi sesuai dengan bagian masing-
masing;
47
6 Menyatakan bahwa 1/3 bagian dari harta bersama ditambah bagian
suami (Alm. Djuwadi) sebesar ¼ bagian tersebut diatas sebagai harta
warisan (tirkah) dari Alm. Djuwadi;
7 Menetapkan bahwa Ngatmini (Tergugat I) adalah ahli waris dari alm.
Djuwadi dan Sri Hariyati (Tergugat II) adalah anak angkat dari alm.
Djuwadi;
8 Menetapkan bagian Ngatmini sebagai ahli waris sebesar ¼ (=3/12
bagian) dari harta warisan alm. Djuwadi dan bagian Sri Hariyati
sebagai anak angkat sebesar 1/3 (= 4/12 bagian) dari harta warisan
alm. Djuwadi dan sisa harta warisan alm. Djuwadi diperuntukkan
untuk LAZIS (= 5/12 bagian) di Kecamatan dimana benda tersebut
berada;
9 Menyatakan sita jaminan yang dilaksanakan Pengadilan Agama
Kabupaten Malang tanggal 9 Desember 2010 adalah sah dan berharga;
10 Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;
Menghukum Penggugat dan Tergugat untuk membayar biaya perkara
tingkat pertama secara tanggung renceng sebesar Rp. 916.000,- (Sembilan
ratus enam belas ribu rupiah) dan menghukum Para Tergugat/Para
Pembanding untuk membayar biaya perkara tingkat banding sebesar Rp.
150.000,- (Seratus lima puluh ribu rupiah).
C. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Nomor : 489/K/Ag/2011.
1. Duduk Perkara
Ny. Ngatmini, Sri Hariyati, Sudarmaji (dahulu para Tergugat/para
Pembanding yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon Kasasi) dalam hal ini
menguasakan kepada Mochamad Mochtar, SH., Msi. Dan Gatot Subroto, Siti
Sundari, Moch. Abdul Kadir Djaelani, Lianah (dahulu para Penggugat/para
Terbanding yang selanjutnya disebut sebagai Termohon Kasasi) dalam hal
ini menguasakan kepada Yayan Riyanto, SH dan Diddin Syarifuddin, SH.
48
Berdasarkan surat-surat yang bersangkutan, Mahkamah Agung
menimbang bahwa sekarang para Termohon Kasasi (dahulu sebagai para
Penggugat) telah menggugat terhadap sekarang para Pemohon Kasasi (dahulu
sebagai para Tergugat) di muka persidangan Pengadilan Agama Malang pada
pokoknya atas dalil-dalil ;
Dahulu Bu Rukini pernah menikah dengan H. Asnawi, yang di
karuniai 4 (empat) orang anak kandung yaitu Para Penggugat. Semasa
hidupnya sepasang suami ini (Bu Rukini dan H. Asnawi) memiliki usaha
penginapan di jalan Kolonel Sugiono No. 168 Malang, kemudian H. Asnawi
meninggal dunia dan usaha penginapan tersebut sekarang dikelola oleh
istrinya (Bu Rukini). Setelah itu pada tahun 1966 Bu Rukini menikah lagi
dengan seorang laki-laki yang bernama Pak Djuwadi, kemudian Bu Rukini
melanjutkan usaha penginapan tersebut dibantu oleh suami keduanya yaitu
pak Djuwadi, yang pada saat menikah dengan Bu Rukini pada tahun 1966
telah memiliki istri yang benama Ngatmini (Tergugat I).
Kemudian setelah berusaha serta jerih payah Bu Rukini dan Pak
Djuawadi kurang lebih pada tahun 1994 membeli sebidang tanah dan
kemudian didirikan Penginapan I Losmen Puspasari di Jl. Panglima Sudirman
No. 100 Desa Ngadilangkung Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang,
Sertifikat Hak Milik No. 98 luas tanah 1.220 meter persegi atas nama
Djuwadi, yang setelah berganti nama dan dikenal dengan Hotel PUSPASARI
II, untuk selanjutnya disebut sebagai obyek sengketa, dengan batas-batas
sebagai berikut;
Sebelah Utara berbatas dengan tanah milik H. Muklis ;
Sebelah Timur berbatas dengan jalan raya ;
Sebelah Selatan berbatasan dengan jalan ke makam ;
Sebelah Barat berbatasan dengan tanah makam desa / parit ;
Bahwa kemudian pada tahun 2003 Bu Rukini meninggal dunia karena
sakit, dan diikuti Pak Djuwadi yang meninggal pada tahun 2005 karena sakit,
49
Bahwa kemudian Setelah Pak Djuwadi meninggal dunia Tergugat III
pernah mendatangi Para Penggugat untuk membicarakan obyek sengketa,
namun tanpa sepengetahuan Para Penggugat akhirnya obyek sengketa beserta
sertifikat tanahnya di kuasai oleh Para Tergugat secara sepihak dan tanpa ijin
kepada Para Penggugat sebagai ahli waris yang sah.
Penguasaan obyek sengketa oleh Para Tergugat adalah tidak benar dan
merupakan Perbuatan Melawan Hukum, karena obyek sengketa adalah harta
bersama (gono-gini) antara Bu Rukini dan Pak Djuwadi, sehingga yang
memiliki hak adalah bukan Para Tergugat, melainkan hak dari Bu Rukini dan
Pak Djuwadi, dan ternyata Bu Rukini masih memiliki anak kandung yaitu
Para Penggugat. Terlebih lagi Tergugat I adalah istri pertama dari Pak
Djuwadi yang secara hukum tidak memiliki hak atas harta gono-gini Pak
Djuwadi dengan istri kedua (Bu Rukini), dan Tergugat II adalah anak angkat
dari Tergugat I dan Tergugat III adalah suami dari Tergugat II yang jelas-
jelas orang lain yang tidak memiliki hubungan hukum dengan Pak Djuwadi
dan Bu Rukini.
Para Penggugat sudah sering sekali meminta secara baik-baik kepada
Para Tergugat untuk menyerahkan dan mengosongkan obyek sengketa untuk
di bagi kepada ahli warisnya dan bahkan sebelum gugatan ini diajukan sudah
pula diberikan Somasi / surat peringatan namun Para Tergugat tetap
bersikukuh untuk terus menempati dan menguasai obyek sengketa. Dan hal ini
patut dan wajar menurut hukum bahwa Tergugat I, tergugat II, Tergugat III
atau disebut juga Para Tergugat dan siapa saja yang menguasai obyek
sengketa untuk mengosongkan dan menyerahkan obyek sengketa kepada Para
Penggugat. Karena perbuatan Para Tergugat tersebut berakibat sangat
merugikan bagi Para Penggugat dan sudah sepatutnya Para Tergugat dihukum
untuk membayar ganti rugi kepada Para Penggugat secera tanggung renteng
dengan perincian sebagai berikut :
a) Kerugian Materil, tidak dapat dimanfaatkannya obyek sengketa oleh
Para Penggugat yaitu hasil dari pengelolaan hotel jika pertahunnya
menghasilkan Rp. 100.000.000,- ( seratus juta rupiah ) jika dikalikan
50
4 tahun Rp. 400.000.000,- ( empat ratus juta rupiah ), yaitu sejak tahun
2009.
b) Biaya Pengurusan perkara oleh advokat sebesar 150.000.000,- ( seratus
lima puluh juta rupiah ).
c) Kerugian Immateril, yaitu perasaan malu beban moral yang dirasakan
oleh Penggugat selama obyek sengketa dikuasai Para Tergugat dan
selama proses pengurusan obyek sengketa, apabila dihitung dengan
uang maka kerugian Penggugat sebesar Rp. 500.000.000,- ( lima ratus
juta rupiah ).
Setiap hari keterlambatan dari Para Tergugat dalam melaksakan isi
putusan ini sudah sepatutnya dikenakan uang paksa atau dwangsom sebesar
Rp. 1.000.000,- ( satu juta rupiah ) setiap harinya yang harus dibayarkan
kepada Penggugat secara tunai dan seketika setelah perkara ini di putus dan
dibacakan oleh majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini.
Untuk menjamin gugatan Para Penggugat dan agar obyek sengketa dalam
perkara ini tidak dialihkan kepada pihak lain, maka sangat relevan apabila
Para Penggugat mengajukan Sita Jaminan terhadap obyek sengketa yang
dikuasai oleh Para Tergugat secara Melawan Hukum. Karena gugatan ini
telah didasarkan pada fakta-fakta dan bukti-bukti yang sah menurut hukum,
maka tidak berlebihan apabila Pengadilan Negeri Kabupaten Malang eq
Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk memutus perkara untuk
dapat dilaksakan terlebih dahulu meskipun ada upaya Verzet, Banding,
mapun Kasasi (Uitvoerbar bij voorbad).
Berdasarkan alasan-alasan gugatan yang telah diuraikan diatas,maka
Para Penggugat mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa untuk
mengadili dan memutus perkara sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan Gugatan Para Penggugat seluruhnya. ;
2. Menyatakan Para Penggugat adalah ahli waris yang sah dari Bu
Rukini. ;
51
3. Menyatakan bahwa obyek sengketa adalah harta bersama ( gono-gini )
antara Bu Rukini dengan Pak Djuwadi. ;
4. Menyatakan penguasaan obyek sengketa oleh pera Tergugat adalah
perbuatan Melawan Hukum.;
5. Menghukum Para Tergugat atau siapapun yang menguasai obyek
sengketa untuk mengosongkan dan menyerahkan obyek sengketa
kepada Para Penggugat untuk di bagi waris, jika perlu dengan bantuan
aparat hukum.;
6. Menyatakan sah dan berharga Sita Jaminan yang dilakukan oleh
pengadilan Agama Malang.;
7. Menghukum Para Tergugat untuk membayar secara tanggung renteng
kerugian Materil tidak dapat dimanfaatkannya obyek sengketa oleh
Para Penggugat yaitu hasil dari pengelolaan hotel sebesar Rp.
400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) dan akan bertambah sepanjang
perkara ini berjalan sejak didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan
Agama Malang sampai mempunyai kekuatan hukum tetap.;
8. Menghukum Para Tergugat untuk membayar secara tanggung renteng
kerugian materil kepada Para Penggugat sebesar Rp. 500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah).;
9. Menghukum Para Tergugat untuk membayar secara tanggung renteng
biaya pengurusan perkara oleh Advokat sebesar Rp. 150.000.000,-
(seratus lima puluh juta rupiah).;
10. Menghukum Para Tergugat untuk membayar Uang Paksa (dwangsom)
sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) perhari setiap kali
keterlambatan dalam melaksakan isi putusan ini kepada Penggugat
secara Tunai dan seketika.;
11. Menyatakan putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu
(Uitvoerbar bij voorbad) meskipun ada verzet, banding, maupun
kasasi.;
12. Menghukum Para Tergugat untukn membayar biaya Perkara.;
52
Atau ;
Pengadilan Agama Malang berpendapat lain, mohon putusan yang adil
berdasarkan hukum sesuai dengan maksud gugatan ini,;
Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Agama Malang telah
mengambil putusan, yaitu putusan No. 297/Pdt.G/2010/PA.Mlg tanggal 7
Februari 2011 M. bertepatan dengan tanggal 3 Rabiul Awal 1432 H.
2. Pertimbangan Hakim
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung
berpendapat :
Mengenai alasan ke- 1 s/d ke- 5 :
Bahwa alasan-alasan ini tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex
facti tidak salah menerapkan hukum, lagi pula hal ini mengenai penilaian hasil
pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal tersebut
tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena
pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan
penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian
dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan, atau bila pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas
wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009
tentang Mahkamah Agung;
Menimbang, bahwa terlepas dari pertimbangan tersebut di atas,
menurut pendapat Mahkamah Agung amar putusan judex facti yang
menguatkan putusan Pengadilan Agama Malang harus diperbaiki sepanjang
mengenai sisa harta warisan setelah dikeluarkan bagian NGATMINI dengan
pertimbangan sebagai berikut:
53
Bahwa judex facti sudah tepat dan benar, akan tetapi tentang harta warisan
setelah dikeluarkan bagian NGATMINI yang oleh judex facti
diperuntukkan LAZIS (lembaga amil zakat infaq dan shadaqoh) tidak
benar seharusnya diberikan kepada anak tiri almarhum DJUWADI yaitu
para Penggugat – anak angkat saja diberi tidak masuk akal anak bawaan
istrinya malah disingkirkan demikian saja;
Menimbang, bahwa terhadap kesimpulan di atas, ada pendapat yang
berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Agung Mukhtar Zamzami dengan
pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa anak tiri almarhum Djuwadi bukanlah ahli waris dan bukan pula
zawil arham dari almarhum Djuwadi, karena itu tidak ada alasan hukum
apapun untuk menyerahkan sisa harta warisan almarhum Djuwadi kepada
mereka, dan tidak bisa pula dibandingkan dengan anak angkat, karena
anak angkat yang sah, berdasarkan hukum yaitu Pasal 209 ayat (2)
Kompilasi Hukum Islam dan yurisprudensi tetap memang berhak terhadap
harta peninggalan melalui wasiat wajibah;
Bahwa berdasarkan hal di atas, putusan judex facti yang menyerahkan sisa
harta warisan almarhum Djuwadi kepada Lembaga Zakat, Infaq dan
Shadaqah (LAZIS) setempat adalah tepat dan karenanya permohonan
kasasi ini seharusnya ditolak;
Menimbang, bahwa walaupun demikian, karena suara terbanyak
berpendapat bahwa permohonan kasasi ditolak dengan perbaikan, yaitu
dengan menyerahkan sisa harta warisan almarhum Djuwadi kepada anak tiri,
maka permohonan kasasi ini akan diputus dengan tolak perbaikan;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
di atas, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi
NGATMINI dan kawan-kawan tersebut harus ditolak dengan perbaikan amar
putusan judex facti sehingga amar selengkapnya sebagaimana akan disebutkan
di bawah ini;
54
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari para
Pemohon Kasasi ditolak, walaupun dengan perbaikan amar putusan, maka
para Pemohon Kasasi di hukum untuk membayar biaya dalam tingkat kasasi;
Memperhatikan Pasal-pasal dari Undang-Undang No. 48 Tahun 2009,
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-
Undang No. 3 Tahun 2009 dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 serta
peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;
3. Amar Putusan
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: 1. NGATMINI, 2.
SRI HARIYATI, 3. SUDARMAJI tersebut;
Memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya No.
104/Pdt.G/2011/PTA.Sby tanggal 31 Mei 2011 M. bertepatan dengan tanggal
27 Jumadil Akhir 1432 H. yang menguatkan putusan Pengadilan Agama
Malang No. 297/Pdt.G/2010/PA.Mlg tanggal 7 Februari 2011 M. Bertepatan
dengan tanggal 3 Rabiul Awal 1432 H. sehingga amar selengkapnya sebagai
berikut:
Menerima permohonan banding para Pembanding;
Memperbaiki amar putusan Pengadilan Agama Malang No. 297/Pdt.G/
2010/ PA.Mlg tanggal 7 Februari 2011 M. bertepatan dengan tanggal 3
Rabiul Awal 1432 H sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan para Penggugat sebagian;
2. Menyatakan Surat Wasiat No. 32 tanggal 5 Maret 2002, Akta
Hibah No. 45/ Kepanjen/2007 tanggal 16-2-2007 dan Sertifikat
Hak Milik No. 98 atas nama Sri Hariyati, Gambar Situasi No.
7302/1991 tanggal 26-12-1991 tidak mempunyai kekuatan
hukum;
55
3. Menyatakan bahwa hotel Puspasari II yang terletak di Jalan
Panglima Sudirman No. 100 Desa Ngadilangkung, Kecamatan
Kepanjen, Kabupaten Malang dengan batas-batas:
a. Utara : Tanah milik H. Muhlis;
b. Timur : Jalan Raya;
c. Selatan : Jalan ke Makam;
d. Barat : Tanah makam desa/Parit;
Adalah harta bersama alm. Djuwadi dengan kedua istrinya
(Ngatmini dan Rukini);
4. Menetapkan bagian masing-masing dari harta bersama tersebut di
atas sebagai berikut:
4.1 Alm. Djuwadi mendapat 1/3 bagian= 33.34 %;
4.2 Ngatmini mendapatkan 1/3 bagian = 33.33 %;
4.3 Rukini mendapatkan 1/3 bagian = 33,33 %;
5. Menghukum para Tergugat untuk menyerahkan bagian almh.
Rukini yang meninggal dunia pada tahun 2003, sebesar 33.33 %
tersebut di atas kepada para ahli warisnya sebagai berikut:
5.1 Djuwadi (suami) mendapat ¼ x 33,33 % = 8,33 %;
5.2 Gatot Subroto (anak) 2/6 x (33,33 % - 8,33 %) = 8,33 %;
5.3 Siti Sundari (anak) 1/6 x (33,33 % - 8,33%); = 4,17 %;
5.4 Moch. Abdul Kadir DJ 2/6 x (33,33 % - 8,33 %) = 8,33 %;
5.5 Lianah 1/6 x (33,33 % - 8,33 %) = 4,17 %;
6. Menyatakan alm. Djuwadi meninggal dunia tahun 2005,
meninggalkan ahli waris seorang istri nama Ngatmini (Tergugat
I), harta warisannya tersebut poin 4.1 dan 5.1 di atas 33.34 % +
8.33 % = 41.67%
6.1 Ngatmini (istri) 1/8 x 41.67 % = 5,21%
6.2 Sisa sebesar 36,46 % dibagikan kepada anak tiri (anak
bawaan istri alm. yaitu para Penggugat) dan seorang anak
56
angkat (Sri Hariyati) dengan pembagian sama besar, yaitu
masing-masing = 1/5 x 36,46 % = 7,29 %.
7. Menyatakan sita jaminan yang dilaksanakan Pengadilan Agama
Kabupaten Malang tanggal 9 Desember 2010 adalah sah dan
berharga;
8. Menolak gugatan para Penggugat selain dan selebihnya;
9. Menghukum para Penggugat dan Tergugat untuk membayar biaya
perkara tingkat pertama secara tanggung renteng sebesar Rp
916.000,- (sembilan ratus enam belas ribu rupiah) dan
menghukum para Tergugat/ para Pembanding untuk membayar
biaya perkara tingkat banding sebesar Rp 150.000,- (seratus lima
puluh ribu rupiah);
10. Menghukum para Pemohon Kasasi/para Tergugat untuk
membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi sebesar Rp
500.000,- (lima ratus ribu rupiah);
4. Analisis / Telaah Putusan
Hukum waris dalam Islam adalah bagian dari Syariat Islam yang
sumbernya diambil dari Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW, kemudian
para ahli hukum Islam, khususnya para mujtahid dan fugoha (ahli fikih Islam)
mentransformasi melalui berbagai formulasi waris sesuai dengan pendapatnya
masing-masing. Hukum waris Islam pada dasaraya berlaku untuk seluruh
umat Islam didunia. Sungguhpun demikian corak suatu negara Islam dan
kehidupan di negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum
waris di daerah itu.
Perkembangan hukum Islam di Indonesia telah melahirkan Kompilasi
Hukum Islam (KHI), setelah eksistensi Peradilan Agama diakui dengan
hadirnya Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Kehadiran Kompilasi Hukum Islam ini dilatarbelakangi antara lain karena
ketidakpastian dan kesimpangsiuran putusan Pengadilan terhadap masalah-
57
masalah yang menjadi kewenangannya, disebabkan dasar acuan putusannya
adalah pendapat para ulama yang ada dalam kitab-kitab fiqih yang sering
berbeda tentang hal yang sama antara yang satu dengan lainnya, sehingga
sering terjadi putusan yang berbeda antara satu Pengadilan Agama dengan
Pengadilan Agama lainnya dalam masalah yang sama. Dengan lahirnya
Kompilasi Hukum Islam, semua hakim di lingkungan Pengadilan Agama
diarahkan kepada persepsi penegakkan hukum yang sama.1
Kronologis perkara ini adalah Dahulu Bu Rukini pernah menikah
dengan H. Asnawi, yang di karuniai 4 (empat) orang anak kandung yaitu Para
Penggugat. Semasa hidupnya sepasang suami ini (Bu Rukini dan H. Asnawi)
memiliki usaha penginapan di jalan Kolonel Sugiono No. 168 Malang,
kemudian H. Asnawi meninggal dunia dan usaha penginapan tersebut
sekarang dikelola oleh istrinya (Bu Rukini). Setelah itu pada tahun 1966 Bu
Rukini menikah lagi dengan seorang laki-laki yang bernama Pak Djuwadi,
kemudian Bu Rukini melanjutkan usaha penginapan tersebut dibantu oleh
suami keduanya yaitu pak Djuwadi, yang pada saat menikah dengan Bu
Rukini pada tahun 1966 telah memiliki istri yang benama Ngatmini (Tergugat
I).
Kemudian setelah berusaha serta jerih payah Bu Rukini dan Pak
Djuawadi kurang lebih pada tahun 1994 membeli sebidang tanah dan
kemudian didirikan Penginapan I Losmen Puspasari di Jl. Panglima Sudirman
No. 100 Desa Ngadilangkung Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang,
Sertifikat Hak Milik No. 98 luas tanah 1.220 meter persegi atas nama
Djuwadi, yang setelah berganti nama dan dikenal dengan Hotel PUSPASARI
II, untuk selanjutnya disebut sebagai obyek sengketa, dengan batas-batas
sebagai berikut;
Sebelah Utara berbatas dengan tanah milik H. Muklis ;
Sebelah Timur berbatas dengan jalan raya ;
1Abdurrahman, Kompilasi Hukum Mam Di Indonesia, (Jakarta: Akademi Presindi, 1992), h. 21.
58
Sebelah Selatan berbatasan dengan jalan ke makam ;
Sebelah Barat berbatasan dengan tanah makam desa / parit ;
Bahwa kemudian pada tahun 2003 Bu Rukini meninggal dunia karena
sakit, dan diikuti Pak Djuwadi yang meninggal pada tahun 2005 karena sakit,
Bahwa kemudian Setelah Pak Djuwadi meninggal dunia Tergugat III
pernah mendatangi Para Penggugat untuk membicarakan obyek sengketa,
namun tanpa sepengetahuan Para Penggugat akhirnya obyek sengketa beserta
sertifikat tanahnya di kuasai oleh Para Tergugat secara sepihak dan tanpa ijin
kepada Para Penggugat sebagai ahli waris yang sah.
Penguasaan obyek sengketa oleh Para Tergugat adalah tidak benar dan
merupakan Perbuatan Melawan Hukum, karena obyek sengketa adalah harta
bersama (gono-gini) antara Bu Rukini dan Pak Djuwadi, sehingga yang
memiliki hak adalah bukan Para Tergugat, melainkan hak dari Bu Rukini dan
Pak Djuwadi, dan ternyata Bu Rukini masih memiliki anak kandung yaitu
Para Penggugat. Terlebih lagi Tergugat I adalah istri pertama dari Pak
Djuwadi yang secara hukum tidak memiliki hak atas harta gono-gini Pak
Djuwadi dengan istri kedua (Bu Rukini), dan Tergugat II adalah anak angkat
dari Tergugat I dan Tergugat III adalah suami dari Tergugat II yang jelas-jelas
orang lain yang tidak memiliki hubungan hukum dengan Pak Djuwadi dan Bu
Rukini.
Para Penggugat sudah sering sekali meminta secara baik-baik kepada
Para Tergugat untuk menyerahkan dan mengosongkan obyek sengketa untuk
di bagi kepada ahli warisnya dan bahkan sebelum gugatan ini diajukan sudah
pula diberikan Somasi / surat peringatan namun Para Tergugat tetap
bersikukuh untuk terus menempati dan menguasai obyek sengketa. Dan hal ini
patut dan wajar menurut hukum bahwa Tergugat I, tergugat II, Tergugat III
atau disebut juga Para Tergugat dan siapa saja yang menguasai obyek
sengketa untuk mengosongkan dan menyerahkan obyek sengketa kepada Para
Penggugat. Karena perbuatan Para Tergugat tersebut berakibat sangat
merugikan bagi Para Penggugat dan sudah sepatutnya Para Tergugat dihukum
59
untuk membayar ganti rugi kepada Para Penggugat secera tanggung renteng
dengan perincian sebagai berikut :
a) Kerugian Materil, tidak dapat dimanfaatkannya obyek sengketa oleh
Para Penggugat yaitu hasil dari pengelolaan hotel jika pertahunnya
menghasilkan Rp. 100.000.000,- ( seratus juta rupiah ) jika dikalikan
4 tahun Rp. 400.000.000,- ( empat ratus juta rupiah ), yaitu sejak tahun
2009.
b) Biaya Pengurusan perkara oleh advokat sebesar 150.000.000,- ( seratus
lima puluh juta rupiah ).
c) Kerugian Immateril, yaitu perasaan malu beban moral yang dirasakan
oleh Penggugat selama obyek sengketa dikuasai Para Tergugat dan
selama proses pengurusan obyek sengketa, apabila dihitung dengan
uang maka kerugian Penggugat sebesar Rp. 500.000.000,- ( lima ratus
juta rupiah ).
Setiap hari keterlambatan dari Para Tergugat dalam melaksakan isi
putusan ini sudah sepatutnya dikenakan uang paksa atau dwangsom sebesar
Rp. 1.000.000,- ( satu juta rupiah ) setiap harinya yang harus dibayarkan
kepada Penggugat secara tunai dan seketika setelah perkara ini di putus dan
dibacakan oleh majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini.
Untuk menjamin gugatan Para Penggugat dan agar obyek sengketa dalam
perkara ini tidak dialihkan kepada pihak lain, maka sangat relevan apabila
Para Penggugat mengajukan Sita Jaminan terhadap obyek sengketa yang
dikuasai oleh Para Tergugat secara Melawan Hukum. Karena gugatan ini telah
didasarkan pada fakta-fakta dan bukti-bukti yang sah menurut hukum, maka
tidak berlebihan apabila Pengadilan Negeri Kabupaten Malang eq Majelis
Hakim yang memeriksa perkara ini untuk memutus perkara untuk dapat
dilaksakan terlebih dahulu meskipun ada upaya Verzet, Banding, mapun
Kasasi (Uitvoerbar bij voorbad).
60
Dari perkara tesebut hakim pada tingkat kasasi memutuskan untuk
memperbaiki putusan dari Pengadilan Tinggi Agama Malang. Yaitu dengan
menyatakan surat wasiat tidak sah. Lalu objek berupa hotel Puspasari II yang
menjadi objek sengketa dinyatakan merupakan harta bersama alm.Djuwadi
dan kedua istrinya meskipun hotel tersebut pada awalnya adlah usaha yang
dimiliki oleh Rukmini, namun setelah itu dikelola bersama-sama.Pembagian
atas harta bersama itu dibagi rata masing masing 1/3. Lalu Pengadilan juga
membuat bagian bagi ahli waris dari almarhum. Selain itu Mahkamah Agung
juga menyarankan apabila harta warisan tidak bisa dibagi dengan cara natura,
maka dapat dilakukan dengan cara innatura.
Dalam kewarisan hukum Islam terdapat beberapa asas-asas yang
dianut dalam pelaksanaan kewarisan yaitu:
1. Asas Ijbari, yang menyatakan bahwa peralihan harta dari pewaris kepada
ahli waris terjadi dengan sendirinya menurut ketetapan yang dibuat Allah
tanpa digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli waris. Oleh karena
asas ini maka secara langsung tiap ahli waris diwajibkan menerima
peralihan harta peninggalan pewaris sesuai dengan bagiannya masing-
masing yang telah ditetapkan.
2. Asas bilateral, yang menyatakan bahwa ahli waris yang menerima harta
peninggalan pewaris adalah keturunan laki-laki maupun perempuan. Baik
laki-laki maupun perempuan memiliki bagian masing-masing dari harta
peninggalan pewaris
3. Asas individual, yaitu harta peninggalan pewaris dibagikan kepada ahli
waris untuk dimiliki secara perorangan. Masing-masing bagian ahli waris
adalah kepunyaannya secara perorangan.
4. Asas keadilan yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban antarahli
waris serta keseimbangan antara keperluan dan kegunaan yang diperoleh
dari harta peninggalan pewaris.
Dalam konsep perkawinan Indonesia, maka hukum perkawinan akan
mengacu pada pengaturan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengenai
61
Perkawinan. Dalam konsep UU No. 1 Tahun 1974 dikenal dengan asas monogami
akan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk poligami jika agama yang
bersangkutan mengizinkan untuk itu dan pengaturannya melalui beberapa
ketentuan sebagai persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pengaturan tersebut berbeda dengan konsep hukum perdata barat, dimana
pengaturannya sangat kaku (rigid) yang terbatas pada asas monogami dan tidak
ada pengecualiannya sebagaimana diatur dalam pasal 27 KUHPerdata.
Terdapat persinggungan dalam hal terjadinya perkawinan poligami dengan
harta warisan yang mengacu pada pengaturan harta bersama sebagaimana diatur
dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, dimana pembagian harta warisan
didasarkan pada harta yang didapatkan selama perkawinan berlangsung hingga si
pewaris meninggal dunia.
Dari uraian diatas jelas permasalahan dalam kasus ini mengacu pada
pengaturan poligami yang berdampak pada persinggungan pembatasan harta
bersama dan pembagian harta warisan. Mengingat pengaturan hukum perkawinan
di Indonesia sudah di unifikasi, maka adanya penyeragaman penggunaan
permasalahan perkawinan menggunakan UU No. 1 Tahun 1974 dan bukanlah
menggunakan konsep dari KUHPerdata selama UU No 1 Tahun 1974 masih
mengatur mengenai perkawinan. Akan tetapi, mengenai pengaturan hukum
kewarisan maka dalam konsep hukum di Indonesia masih menganut konsep dari
pengaturan KUHPerdata, karena belum ada pengaturan yang lex spesialis dari
ketentuan perundang-undangan di Indonesia.
Akan tetapi, sebelum masuk ke dalam substansi dari pembagian harta
warisan, dapat dilihat pengaturan mengenai putusan kasasi dalam hal perbedaan
pembagian harta warisan, dimana Mahkamah Agung berwenang mengadili pada
tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh semua
pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
agung. Berdasarkan kewenangannya artinya Mahkamah Agung juga mempunyai
62
andil dalam memutus dan mengadili kasus persengketaan harta warisan dalam
perkara aquo.
Berdasarkan ketentuan Pasal 35 jo. Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 dan
mengingat salah satu sumber hukum yaitu yurisprudensi Mahkamah Agung No.
561 K/Sip/1968 yang menyatakan bahwa “Harta warisan yang bersifat gono-gini.
Barang sengketa sebagai peninggalan almarhum diputuskan harus dibagi antara
penggugat dan tergugat masing-masing separoh.”
Dalam kasus ini terjadi kekosongan hukum, dimana dalam KUHPerdata
tidak mengatur mengenai poligami dan pembagian harta warisan dalam keadaan
poligami, maka sesuai dengan Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung diatas,
maka pembagian harta warisan yang seharusnya adalah sesuai dengan putusan
Mahkamah Agung bahwa pewaris yang mempunyai istri lebih dari seorang
(poligami), maka harta bersama pewaris harus dipisahkan satu sama lain, artinya
harta bersama yang diperoleh dengan istri yang terdahulu harus dipisahkan
dengan harta bersama yang diperoleh dengan istri kedua, dan seterusnya.
63
BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
Setelah mendeskripsikan dan mengkomparasikan konsep harta
bersama dan warisan dari perkawinan poligami , maka pada bab terakhir ini
penyusun mencoba menarik kesimpulan dari latar belakang masalah yang
sudah penyusun susun :
1. ahwa pewaris yang mempunyai istri lebih dari seorang (poligami), maka
harta bersama pewaris harus dipisahkan satu sama lain, artinya harta
bersama yang diperoleh dengan istri yang terdahulu harus dipisahkan
dengan harta bersama yang diperoleh dengan istri kedua, dan seterusnya.
Dalam pembagian warisan selain yang sudah jelas bagiannya menurut
hukum agama Islam juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menetapkan bahwa antara anak angkat dan orang tua angkat terbina
hubungan saling berwasiat. Dalam pasal 209 ayat (1) dan ayat (2)
berbunyi: (1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal 176
sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat
yang tidak menerima wasiat wajibah diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. (2) Terhadap anak
angkat angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya
2. Pertimbangan hukum Hakim mengenai pembagian harta bersama dan
warisan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 489/K/Ag/2011 dapat
dianalisis bahwa pada prinsipnya hakim memiliki kewenangan
menggunakan fungsinya sebagai rechtsvinding atau dalam hukum Islam
disebut ijtihad sebagai alternatif. Putusan tersebut diterbitkan untuk
memenuhi asas keadilan bagi para ahli waris yang memiliki hubungan
64
emosional nyata dengan pewaris. Hakim menjamin keadilan bagi orang-
orang yang memiliki hubungan emosional dengan pewaris tersebut
melalui lembaga wasiat wajibah. Seorang anak angkat ataupun anak tiri
dan telah hidup berdampingan dengan tentram dan damai serta tingkat
toleransi yang tinggi Penyimpangan yang dilakukan akan memberikan
lebih banyak kemaslahatan daripada mudarat.
B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, Dari Putusan
Mahkamah Agung Nomor 489/K/Ag/2011 ada bagian anak tiri yang
mendapat warisan. Perlu adanya peninjauan mengenai hak dari anak tiri,
karena jika dilihat lebih dalam anak tiri memiliki kedudukan lebih dekat
dalam hubungan kekerabatan.
Perlu adanya aturan yang membahas kedudukan anak tiri didalam
keluarga dan sistem kewarisan Islam (KHI) dan wasiat wajibah bisa menjadi
jalan tersalurkannya harta warisan dari pewaris kepada anak tiri.
Karena menurut penulis wasiat wajibah sebagai produk kontemporer
dalam aturan hukum kewarisan maka diharapkan akan adanya kemajuan
dalam cakupan aturan KHI. Dan juga KHI menjadikan wasiat wajibah
sebagai bentuk tanggung jawab akhir dari pewaris kepada anak angkat karena
secara hukuman keperluan hidup anak angkat ditanggung oleh orang tua
angkat setelah proses pengangkatan anak sah walaupun tidak ada hubungan
darah, mengacu pada hal itu maka seharusnya anak tiri juga mendapat
kedudukan yang sama seperti anak angkat.
65
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam , Jakarta : Akamedika Pressindo, 1995.
-----------------, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Akademi Pressindo,
1992.
Anshary, Hukum Waris Islam Dalam Teori dan Praktik Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 2013.
Anshor, Abdul Ghofur, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Eksistansi dan
Adaptabilitas, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012.
Ash Shabuniy, Muhammad „Ali, Al Mawarits Fish Syari’ah Al Islamiyah,
Makkah : Syirkah Iqamah Ad Din, t.t.
A‟lawiy, Ibnu Husain bin Umar, Bughyatul Mustarsyidin, Darul Fikri : Bairut,
2004.
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum islam. Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van
Hoeve, 2000.
Dahwal, Sirman, Beberapa Masalah Hukum dalam Konteks Peradilan Agama
(pdf).
Daradjat, Zakiyah, Ilmu Fiqh, Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Departemen Agama RI, Al-Quran Tajwid dan Terjemahnya, Bandung : PT
Syaamil Cipta Media, tt.
Departemen Agama RI., 1991/1992, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta., 1992.
Departemen Kehakiman RI., II/1985, Undang-Undang Perkawinan Dan
Peraturan Pelaksanaannya, Jakarta, 1985.
Lubis, Suhrawadi K. dan Simanjuntak, Komis , Hukum Waris Islam, Jakarta: Sinar
Grafika, 2007.
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2014.
Marzuki, Muchlis, Pokok-pokok Ilmu Waris. Semarang : Pustaka amani, 2009.
66
Marsiani , “Wasiat Wajibah Untuk Anak Tiri (Analisis Terhadap Ketentuan Dalam
KHI”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2016.
Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2003.
Muljono, Wahyu, Hukum Waris Islam dan Pemecahannya, Yogyakarta: Magister
IlHukum FH-UJB, 2010.
Muqhniyah, Muhammad Jawad, Al-Fiqh ‘Ala Al-Mazahib Al Khamsah,
terjemahan. Maskur, Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, Fiqh Lima Mazhab,
Jakarta: 2001.
Nasir, Moh., Metodelogi Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, 2005.
Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta : UI Press, 2002.
Qurthubiy, Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Singapura : Al Haramain, , juz II
Cet. III.
Quthb, Sayyid terj. As‟ad Yasin, Tafsir Fi Zhilal Al-Qur'an dibawah naungan Al-
Qur'an, Jakarta : Gema Insani, 2001.
Rahman, Fatchur , Ilmu Waris, Bandung: Pustaka Al Ma‟arif, 1975.
---------------------, Ilmu Waris, Bandung : Pustaka Al Ma‟arif, 1985.
---------------------, Ilmu Waris, Bandung : Pustaka Al Ma‟arif, 1981.
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra
Umbara, 2011.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Sabiq, Sayid, Fiqh Sunnah , Penerj. Abdurrahim dan Masrukhin, Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2009.
Said, Umar, Hukum Islam di Indonesia tentang Waris, Wasiat, Hibah, dan Wakaf ,
Surabaya: Cempaka. 1997.
Suparman, Eman. Hukum Waris Indonesia. Bandung; Refika Aditama, 2007.
67
Surakmad, Winarno, Pengantar Penelitian-penelitian: Metode, Tehnik,
Bandung: Tarsiti, 1994.
---------------------, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito,1985.
Sutrisno, Hadi , Metodologi Research, Yogyakarta: Andi, 2000.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana,
2009.
---------------------, Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana, 2000.
---------------------, Hukum Kewarisan Islam. Jakarta : Kencana, 2008.
Thalib, Sajuti, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1981.
Umar, Muin, dkk. Ushul Fiqh 1, Jakarta : Departemen Agama, 1986.
Usman, Suparman, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002.