analisis yuridis kewenangan dokter dan apoteker …

15
1 ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN DOKTER DAN APOTEKER DALAM HAL DISPENSING OBAT Vincent Velayo, Wahyu Andrianto Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. E-mail: [email protected] Abstrak Dekrit “Two Silices” memisahkan bidang ilmu kefarmasian dengan ilmu kedokteran dan berakibat pada pemisahan bidang keprofesiannya juga. Pemisahan tersebut menyebabkan adanya regulasi yang mengatur terpisah antar para profesi di bidang kefarmasian dan kedokteran tersebut. Dalam regulasi yang ada, terdapat permasalahan yaitu adanya tumpang tindih kewenangan antara dokter dan apoteker dalam hal memberikan atau menyediakan obat. Pembahasan mengenai hal ini adalah untuk mengetahui mengenai pengaturan dan kepastian hukum dari adanya peraturan yang telah mengatur kewenangan antar profesi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif dimana peneliti meneliti bahan pustaka atau data sekunder, dengan tipe penelitian preskriptif dan deskriptif analitis. Hasil dari penelitian yaitu bahwa praktik dispensing dilakukan oleh dokter hanya berdasarkan kewenangannya yang terbatas dan berdasarkan regulasi yang ada mengaturnya, sedangkan praktik dispensing memang dilakukan oleh bidang profesi kefarmasian. Solusi penyelesaian tumpang tindih adalah dengan menekankan peran regulator membuat regulasi yang dapat diterapkan dalam praktik bermasyarakat dan terjamin dilaksanakannya regulasi tersebut secara benar untuk menghasilkan dan menjamin kepastian hukum dari peraturan dan kewenangan para profesi itu sendiri. Kesimpulan yang ada yaitu bahwa telah ada pengaturan yang jelas mengenai siapa yang berwenang melakukan dispensing berikut juga larangan dan sanksi bila dilanggar. Juridical Analysis of Authority Between Doctor and Pharmacist in Drug Dispensing Abstract Decree of “Two Silices” separated the field between pharmaceutical sciences and medical science, and resulting in separatiaon field of professions. Such separation led to regulation that regulate apart between the profession itself. In regulation that exist, there is problem which is overlapping authorities between doctor and pharmacist in the term of giving or preparing medicine. Discussion on this subject is to know on how regulation regulate and to know the certainty of law from regulation that already regulate authorities between the profession. This research using normative method on where researcher focus on using library or secunder data, and with type of prescriptive research and descriptive analysis. The result of research is that dispensing practice do by doctor only based on the limited authority and based on the regulation that regulate it, dispensing practice is only be done by profession of pharmacy. The solution of overlapping authorities is to make sure that regulation that has been made by regulator maker are applicable for practice in society and assured that the regulations are held by right for generate and guarantee the law certainty about who is authorized to do dispensing, include the forbiden, and sanction if regulation breach. Keywords: Pharmacist, Dispensing, Doctor Analisis Yuridis ..., Vincent Velayo, FH UI, 2016

Upload: others

Post on 13-Nov-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN DOKTER DAN APOTEKER …

1    

ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN DOKTER DAN APOTEKER DALAM HAL DISPENSING OBAT

Vincent Velayo, Wahyu Andrianto

Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.

E-mail: [email protected]

Abstrak

Dekrit “Two Silices” memisahkan bidang ilmu kefarmasian dengan ilmu kedokteran dan berakibat pada pemisahan bidang keprofesiannya juga. Pemisahan tersebut menyebabkan adanya regulasi yang mengatur terpisah antar para profesi di bidang kefarmasian dan kedokteran tersebut. Dalam regulasi yang ada, terdapat permasalahan yaitu adanya tumpang tindih kewenangan antara dokter dan apoteker dalam hal memberikan atau menyediakan obat. Pembahasan mengenai hal ini adalah untuk mengetahui mengenai pengaturan dan kepastian hukum dari adanya peraturan yang telah mengatur kewenangan antar profesi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif dimana peneliti meneliti bahan pustaka atau data sekunder, dengan tipe penelitian preskriptif dan deskriptif analitis. Hasil dari penelitian yaitu bahwa praktik dispensing dilakukan oleh dokter hanya berdasarkan kewenangannya yang terbatas dan berdasarkan regulasi yang ada mengaturnya, sedangkan praktik dispensing memang dilakukan oleh bidang profesi kefarmasian. Solusi penyelesaian tumpang tindih adalah dengan menekankan peran regulator membuat regulasi yang dapat diterapkan dalam praktik bermasyarakat dan terjamin dilaksanakannya regulasi tersebut secara benar untuk menghasilkan dan menjamin kepastian hukum dari peraturan dan kewenangan para profesi itu sendiri. Kesimpulan yang ada yaitu bahwa telah ada pengaturan yang jelas mengenai siapa yang berwenang melakukan dispensing berikut juga larangan dan sanksi bila dilanggar.

Juridical Analysis of Authority Between Doctor and Pharmacist in Drug Dispensing

Abstract

Decree of “Two Silices” separated the field between pharmaceutical sciences and medical science, and resulting in separatiaon field of professions. Such separation led to regulation that regulate apart between the profession itself. In regulation that exist, there is problem which is overlapping authorities between doctor and pharmacist in the term of giving or preparing medicine. Discussion on this subject is to know on how regulation regulate and to know the certainty of law from regulation that already regulate authorities between the profession. This research using normative method on where researcher focus on using library or secunder data, and with type of prescriptive research and descriptive analysis. The result of research is that dispensing practice do by doctor only based on the limited authority and based on the regulation that regulate it, dispensing practice is only be done by profession of pharmacy. The solution of overlapping authorities is to make sure that regulation that has been made by regulator maker are applicable for practice in society and assured that the regulations are held by right for generate and guarantee the law certainty about who is authorized to do dispensing, include the forbiden, and sanction if regulation breach. Keywords: Pharmacist, Dispensing, Doctor

Analisis Yuridis ..., Vincent Velayo, FH UI, 2016

Page 2: ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN DOKTER DAN APOTEKER …

2    

Pendahuluan

Pada awal abad ke-13, bidang obat-obatan mengalami pertambahan yang pesat

dan menjadi rumit. Hal ini terlihat dari meningkatnya jenis obat-obatan. Bidang keilmuan

obat-obatan dipelajari dan dikerjakan oleh dokter. Pada zaman itu bidang pengobatan

terbebani pada satu bidang sehingga hanya satu pemangku profesi saja.

Pada tahun 1240, Raja Frederick II dari Jerman, dalam dekritnya yang terkenal

“Two Silices” secara resmi memisahkan ilmu farmasi dari kedokteran. Dekrit tersebut

mengantarkan pada keadaan sekarang yang dikenal dengan adanya ilmu farmasi dan ilmu

kedokteran.

Kemudian terjadi revolusi industri yang juga merambah dunia farmasi,

menimbulkan timbulnya industri-industri obat. Hal ini menyebabkan terpisahnya kegiatan

farmasi di bidang industri obat dan di bidang “penyedia atau peracik” obat.

Dua profesi yang ada, yaitu dokter dan apoteker bertugas sebagai tenaga

kesehatan yang saling bersinergi dalam memberikan pelayanan kesehatan. Dalam kehidupan

sehari-hari, saat masyarakat merasa badan tidak sehat, masyarakat sebagai pasien akan

berobat ke dokter untuk penanganan medikal (medical treatment). Setelah penanganan

maupun perawatan diberikan, dokter akan menuliskan resep. Resep yang ditulis oleh dokter

nantinya akan ditebus, baik Instalasi Farmasi Rumah Sakit, maupun apotek. Kemudian

apoteker akan menjelaskan tata cara pemakaian, dosis, kegunaan obat, dan informasi lainnya

berkaitan dengan obat tersebut.

Namun demikian, dalam praktiknya di masyarakat, terdapat beberapa dokter yang

memberikan dan menjelaskan secara langsung mengenai obat yang dibutuhkan oleh pasien di

tempat dokter berpraktik. Hal ini disebut “dokter dispensing” atau “self-dispensing”. Hal ini

berarti selain dokter melakukan pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan terhadap pasien,

tindakan penebusan resep obat atau penjualan obat secara langsung kepada pasien juga

dilakukan oleh dokter.

Dalam praktiknya terdapat profesi kedokteran yang melanggar peraturan tersebut,

pelanggaran tersebut terjadi karena dokter tidak hanya melakukan praktik di tempat

praktiknya namun juga memberikan atau menyediakan (dispensing) obat kepada pasien

secara langsung, yang umumnya dianggap oleh masyarakat dan pasien sebagai “satu paket”

sehingga tidak perlu repot-repot, dan sebagainya.

Selain dokter menyediakan obat tidak berdasar kewenangannya, terdapat pula ada

oknum dokter yang melakukan penyimpanan obat di tempat praktik kedokteran dalam jumlah

Analisis Yuridis ..., Vincent Velayo, FH UI, 2016

Page 3: ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN DOKTER DAN APOTEKER …

3    

yang melewati batas ditentukan maupun melanggar peraturan. Hal tersebut menyebabkan

munculnya kekhawatirkan bahwa profesi dokter merangkap sebagai penjual obat. Hal ini

ditanggapi pihak apoteker -yang umumnya mengetahui dari adanya peran aktif

pasien/masyarakat- dengan melaporkan dokter yang bersangkutan bahwa dokter tersebut

telah melanggar kode etik profesi kedokteran, menyalahi disiplin, dan dapat dikenai tuduhan

melanggar tata cara pengadaan obat.

Selain dari profesi dokter, profesi apoteker juga memiliki permasalahan dalam

melakukan dispensing. Hal-hal tersebut disebabkan oleh berbagai hal seperti mekanisme cara

kerja dan penafsiran yang berbeda. Sehingga terkadang menimbulkan kesalahpahaman dan

keengganan masyarakat untuk membeli obat atau menggunakan obat hasil tebus resep di

apotek. Ditambah kemungkinan bahwa pasien akan menyalahkan bahwa dokter salah

memberi obat.

Hal ini menjadi suatu permasalahan yang menandakan bahwa praktik dispensing

obat oleh profesi dokter maupun oleh apoteker terdapat banyak hal yang harus dibahas,

termasuk juga berupa tumpang tindih kewenangan. Hal ini menandakan bahwa masalah

dispensing adalah masalah yang tidak dapat diremehkan karena berkaitan dengan penulisan

resep obat dan pemberian obat yang dalam prakteknya diterjemahkan oleh praktik kedokteran

dan praktik apoteker secara berbeda.

Praktik dispensing ini penting untuk dibahas, karena masalah ini terjadi di

lingkungan masyarakat yang apabila dibiarkan terus-menerus terjadi, maka dapat

menyebabkan tumpang tindih kewenangan dan mengganggu fungsi para profesi sebagaimana

mestinya.

Oleh karena itu, adanya hal-hal yang tidak berjalan sebagaimana mestinya oleh

profesi dokter maupun apoteker di lingkungan masyarakat membuat penulis merasa tertarik

dan berkeinginan untuk membahas mengenai hal ini, yang kemudian diberi judul “Analisis

Yuridis Kewenangan Dokter dan Apoteker Dalam Hal Dispensing Obat”.

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini ada tiga hal, yaitu:

1. Bagaimanakah tinjauan hukum terhadap kewenangan dokter dalam dispensing

obat?

2. Bagaimanakah tinjauan hukum terhadap kewenangan apoteker dalam

dispensing obat?

3. Bagaimana solusi terhadap tumpang tindih kewenangan dokter dan apoteker

dalam dispensing obat?

Analisis Yuridis ..., Vincent Velayo, FH UI, 2016

Page 4: ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN DOKTER DAN APOTEKER …

4    

Penulisan skripsi ini memiliki tujuan-tujuan yang hendak dicapai, tujuan terdiri

dari tujuan umum yaitu untuk  mengkaji   lebih   lanjut   mengenai   kewenangan   dispensing   oleh  

dokter  dan  apoteker  terhadap  pasien.  Penelitian  ini  dimaksudkan  untuk  mewujudkan  kepastian  

hukum   di   masyarakat   dan   menciptakan   keharmonisan   sistem   bagi   profesi   apoteker   maupun  

dokter  di   lingkungan  masyarakat.  Tujuan  khusus  dari  penelitian  penulisan  skripsi   ini  antara  lain  

untuk  menjelaskan  peraturan  mengenai  profesi  dokter  dalam  kewenangannya  untuk  dispensing  

obat,   larangan-­‐larangan,   serta   sanksi   yang   ada;   memberikan   penjelasan   peraturan   mengenai  

profesi  apoteker  dalam  kewenangannya  untuk  dispensing  obat,   larangan-­‐larangan,  serta  sanksi  

yang  ada,   serta  menjelaskan  solusi   yang   tepat  bagi  profesi  dokter  dan  profesi  apoteker  dalam  

hal  adanya  tumpang  tindih  kewenangan  dispensing  obat  ini.    

 

Metode Penelitan

Penelitian dilakukan menggunakan metode kepustakaan, yaitu dengan

mempelajari, menganalisis, memahami, serta menemukan penyelesaian bagi permasalahan

yang dihadapi. Adapun bentuk penelitian ini adalah yuridis-normatif, artinya penelitian

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang bersifat hukum

dengan tetap memperhatikan data lain sebagai pendukung data sekunder. Adapun sumber-

sumber yang dipakai utamanya adalah peraturan perundang-undangan, himpunan peraturan,

pedoman, buku bacaan kedokteran maupun farmasi. Adapun tempat-tempat untuk mengambil

bahan penelitian berasal dari perpustakaan, lembaga pemerintahan, maupun tempat-tempat

lembaga keprofesian yang ada diantaranya yaitu: Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter

Indonesia, Konsil Kedokteran Indonesia, Majelis Kehormatan Etika Kedokteran, Majelis

Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, dan Ikatan Apoteker Indonesia. Penulisan dalam

penelitian ini adalah penelitian preskriptif dan deskriptif analitis, preskriptif yaitu penelitian

yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan dalam

mengatasi masalah-masalah tertentu. Data dan informasi penelitian disusun dan didata untuk

memperoleh jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan demikian

hasil penelitian yang diperoleh bersifat deskriptif analitis. Bahan penelitian berupa bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer berupa Peraturan

perundang-undangan (Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Kesehatan)

dan Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Kode Etik Apoteker Indonesia. Sedangkan bahan

Analisis Yuridis ..., Vincent Velayo, FH UI, 2016

Page 5: ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN DOKTER DAN APOTEKER …

5    

hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang menjelaskan bahan hukum primer, berupa buku-

buku dan wawancara dari narasumber organisasi maupun lembaga. Bahan hukum tersier yang

dipakai yaitu kamus. Alat pengumpulan data penulisan skripsi digunakan dengan metode

studi dokumen dan wawancara, studi dokumen denan mengkaji dokumen-dokumen

peraturan-peraturan dan arsip. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif yang berarti

tata cara penelitian menghasilkan data deskriptif, yaitu mengambarkan secara lengkap

karakteristik atau ciri-ciri dari suatu keadaan, perilaku pribadi, atau kelompok tanpa didahului

hipotesa, dan memperoleh data mengenai hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain.

Hasil Penelitian

Bahwa baik dokter maupun apoteker telah memiliki pengaturan yang jelas dalam

regulasi yang mengaturnya, mengatur mengenai hal keadaan tertentu saat dokter berwenang

melakukan praktik dispensing obat dan juga berikut sanksi bagi para profesi yang

melanggarnya. Praktik dispensing bagi profesi dokter maupun profesi apoteker dapat masuk

dalam pembahasan terhadap tiga aspek yaitu, aspek etika terhadap Kode Etik, disiplin

terhadap disiplin penerapan keilmuan, dan hukum berdasarkan peraturan tertulis yang

dilanggar atau tidak. Aspek etika bagi profesi kedokteran, pembahasan terhadap aspek etika

dilakukan bila profesi dokter melakukan dispensing obat yang dalam praktiknya merupakan

pelanggaran terhadap kode etik, seperti berdasar pada Pasal 3 mengenai kemandirian profesi

bahwa dokter menjadi terikat dan tidak bebas dalam melakukan penanganan medis, contoh

keadaan yaitu dokter memfavoritkan pemberian obat dengan obat tertentu saja yang

merupakan hasil kolusi antara Pedagang Besar Farmasi dengan dokter dalam hal baik

meresepekan obat maupun memberikan langsung ke pasien, atau bahwa profesi dokter

melakukan kerjasama terikat pada keuntungan semata dengan pihak lain yang menyebabkan

kebebasan profesi dokter tidak lagi profesionalitas, tidak bebas dan menyebabkan etika

profesi dipertanyakan, termasuk juga dalam halnya oknum dokter yang menuliskan resep

obat tidak rasional, yang menyebabkan pasien membayar biaya lebih mahal.

Aspek etika bagi profesi apoteker, pembahasan terhadap aspek etika dilakukan

bila profesi apoteker melakukan dispensing obat yang dalam praktiknya masuk dalam

pelanggaran kode etik apoteker, seperti melanggar ketentuan Pasal 5 yang mengatur larangan

bagi apoteker untuk mencari keuntungan diri sendiri yang bertentangan dengan martabat dan

Analisis Yuridis ..., Vincent Velayo, FH UI, 2016

Page 6: ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN DOKTER DAN APOTEKER …

6    

tradisi luhur jabatan kefarmasian, termasuk di dalam jabaran kode etik pasal 5 yaitu tidak

boleh merusak atau merugikan orang lain. Hal ini dapat terlihat pada saat dimana misalnya

apoteker melakukan penjualan obat paten meskipun terdapat obat generik di tempat apoteker

tersebut bekerja, yang mana hal ini menyebabkan kerugian pada pasien yaitu menjadi berat

biaya. Apoteker menjual zat-zat narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya tanpa resep

dan tindakan yang tak dapat dipertanggungjawabkan lainnya, demi keuntungan pribadi

semata. Hal ini selain merusak atau merugikan orang lain yang merupakan pelanggaran etik,

juga merupakan pelanggaran hukum.

Aspek disiplin keilmuan bagi profesi kedokteran dilakukan dalam pembahasan

dispensing terkait saat apabila dokter memberikan obat pengobatan yang berdasarkan pada

keilmuan ternyata tidak benar atau menimbulkan efek buruk pada pasien, yang menyebabkan

pasien rugi dan ingin mengajukan gugatan ke pengadilan atas perkara malpraktik, maka hal

yang ditekankan dalam pemeriksaan aduan ini adalah mengenai apakah sudah benar

keilmuan yang diterapkan oleh dokter dalam hal memberi obat ke pasien, dan pemeriksaan

dilakukan mengenai kajian obat terhadap reaksi orang yang menderita rugi. Mengenai

pelanggaran disiplin, penentuan pelanggaran dilihat berdasarkan aturan Keputusan Konsil

Kedokteran Indonesia No. 17/KKI/KEPVIII/2006 tentang Pedoman Penegakan Disiplin

Profesi Kedokteran yang mengatur mengenai 28 bentuk pelanggaran disiplin kedokteran.

Aspek disiplin keilmuan bagi profesi apoteker dilakukan dalam pembahasan

dispensing terkait saat apabila apoteker melakukan pelanggaran terhadap aturan-aturan

dan/atau ketentuan penerapan keilmuan, yang dapat dibagi dalam 3 hal, yaitu melaksanakan

praktik Apoteker dengan tidak kompeten, tugas dan tanggungjawab profesional pada pasien

tidak dilaksanakan dengan baik, berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan

Apoteker. Mengenai pelanggaran disiplin apoteker ditentukan dengan pedoman yang diatur

dalam Surat Keputusan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia No.

PO.004/PP.IAI/1418/VII/2014 tentang Peraturan Organisasi tentang Pedoman Disiplin

Apoteker Indonesia.

Aspek hukum adalah aspek yang menjadi pembahasan pada rumusan masalah

skripsi ini, aspek hukum meninjau kewenangan dispensing berdasarkan dari peraturan

perundang-undangan maupun regulasi yang sudah mengaturnya. Dalam hal ini yaitu untuk

mengetahui mengenai bagaimanakah kewenangan antar profesi untuk melakukan praktik

dispensing obat di fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.

Analisis Yuridis ..., Vincent Velayo, FH UI, 2016

Page 7: ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN DOKTER DAN APOTEKER …

7    

Hal-hal yang menyebabkan praktik dispensing tidak berjalan semestinya:

a. Wrong interpretation of prescription (or diagnosis);

b. Retrieval of the wrong drug from stock;

c. Wrong dosages;

d. Inadequate packaging/labeling;

e. Inaccurate counting, compounding;

f. Inadequate or nonexistent labeling;

g. No knowledge of proper drug compliance;

h. Insufficient knowledge of the disease process;

i. Insufficient time to talk with patients about their drugs;

j. Inability to communicate to patients about therapy.339

Terjemahan bebas:

a. Kesalahan pengartian dari pembacaan resep (diagnosis);

b. Pengambilan obat yang salah dari gudang;

c. Dosis yang salah;

d. Pembungkusan atau pelabelan yang tidak memadai;

e. Ketidakakuratan penghitungan, meracik;

f. Pelabelan yang tidak memadai atau tidak ada;

g. Tidak ada pengetahuan tentang kepatuhan obat yang tepat;

h. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit;

i. Waktu yang tidak cukup untuk berbicara dengan pasien tentang obat-obatan mereka;

j. Ketidakmampuan untuk berkomunikasi dengan pasien tentang terapi.

Pada profesi dokter, landasan hukum yang dipakai terkait praktik dispensing obat

yaitu Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 29 Tahun

2004 tentang Praktik Kedokteran, dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 2052/MENKES/PER/X/2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik

Kedokteran. Sedangkan pada profesi apoteker, landasan hukum yang dipakai terkait praktik

dispensing obat yaitu Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan

Pemerintah No. 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan,

dan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.

Peraturan perundang-undangan yang ada mengatur mengenai praktik dispensing

obat sudah dibuat secara jelas dan terstruktur, hal ini dapat terlihat dari adanya Undang-

Analisis Yuridis ..., Vincent Velayo, FH UI, 2016

Page 8: ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN DOKTER DAN APOTEKER …

8    

Undang berikut Peraturan Pelaksana berupa Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri

Kesehatan.

Landasan hukum yang pertama adalah UU No, 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

yang terdapat larangan yaitu: “Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan

dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan

bahan yang berkhasiat obat.” Pembahasan pasal ini mengatur bahwa orang yang tidak

memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan hal-hal yang disebut dalam Pasal 98

ayat 2, maka orang tersebut dilarang melakukannya.

Pada profesi apoteker, pengaturan ini berkaitan dengan peraturan mengatur

profesi apoteker, hal ini disebabkan bahwa profesi apoteker disebut juga salah satu tenaga

kefarmasian merupakan seorang yang telah lulus sarjana dan menempuh pendidikan profesi

apoteker, yang selama masa didiknya mempelajari ilmu mengenai farmasi, dan setelah lulus

pendidikan profesi apoteker, langsung mendapatkan sertifikat kompetensi profesi, yaitu

adalah surat tanda pengakuan terhadap kompetensi seorang apoteker untuk dapat

menjalankan pekerjaan/praktik profesinya di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi.

Pekerjaan atau praktik profesinya adalah mengenai Praktik Kefarmasian maupun Pelayanan

Kefarmasian.

Pada profesi dokter, pengaturan ini berkaitan dengan peraturan mengatur profesi

dokter, hal ini disebabkan karena dalam keilmuan kedokteran dipelajari Ilmu Farmasi

Kedokteran dan Ilmu Farmakologi Klinik. Ilmu Farmasi Kedokteran adalah ilmu yang

mempelajari tentang peresepan obat secara rasional dan Ilmu Farmakologi Klinik adalah ilmu

yang mengkaji dan menerapkan pemakaian obat secara tepat pada pasien.

Namun, profesi dokter memiliki kewenangan yang terbatas dalam hal melakukan

praktik kefarmasian dan pelayanan kefarmasian, hal ini terlihat pada adanya beberapa

peraturan yang mengatur mengenai kewenangan dokter untuk melakukan dispensing namun

merupakan kewenangan yang terbatas atau kasuistis. Peraturan tersebut antara lain

berdasarkan pada UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 35 ayat (1) huruf

j yang mengatur bahwa dokter meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang

praktik di daerah terpencil yang tidak ada apotek. Hal ini berarti bahwa dokter tidak boleh

mengolah atau meracik obat, maupun menyerahkan obat (dispensing) kepada orang lain atau

pasien bila tidak memiliki kewenangan karena keadaan yang dikecualikan untuk itu. Hal ini

karena kegiatan mengolah, meracik, maupun menyerahkan obat hanya boleh dilakukan

apabila tidak ada apotek. Sehingga, dokter hanya memiliki kewenangan terbatas dalam hal

melakukan praktik kefarmasian maupun pelayanan kefarmasian.

Analisis Yuridis ..., Vincent Velayo, FH UI, 2016

Page 9: ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN DOKTER DAN APOTEKER …

9    

Peraturan lain yaitu mengenai halnya dokter atau dokter gigi memberikan

pertolongan pada keadaan gawat darurat guna penyelamatan nyawa, dokter dan dokter gigi

dapat melakukan tindakan kedokteran di luar kewenangan klinis sesuai dengan kebutuhan

medis. Peraturan ini mengatur bahwa dokter atau dokter gigi dapat melakukan misalnya

peracikan (compounding), mengolah, dan mengedarkan obat (dispensing) untuk menolong

nyawa pasien karena gawat darurat. Hal ini memberi kewenangan yang dikecualikan bagi

dokter dalam melakukan pelayanan kefarmasian yaitu demi menolong nyawa pasien.

Peraturan lain yaitu dalam PP No. 51 Tahun 2009, mengatur mengenai dalam

halnya di daerah terpencil tidak terdapat apoteker, Menteri dapat menempatkan Tenaga

Teknis Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK pada sarana pelayanan kesehatan dasar

yang diberi wewenang untuk meracik dan menyerahkan obat kepada pasien. Peraturan ini

memberikan keadaan dimana dalam daerah terpencil yang tidak ada apoteker, menteri

kesehatan dapat menempatkan Tenaga Teknis Kefarmasian yang memiliki STRTTK untuk

membantu pelayanan kesehatan dalam hal wewenang meracik dan menyerahkan obat kepada

pasien. Peraturan ini dapat memungkinkan terjadinya keadaan dimana dalam daerah terpencil

yang tidak terdapat apoteker, maka hanya ada dokter yang bertugas memegang semua

pelayanan kesehatan, sehingga dokter memiliki kewenangan dan berdasarkan keahliannya

untuk melakukan semua hal seperti tindakan medis dan praktik maupun pelayanan

kefarmasian, termasuk di dalamnya yaitu praktik dispensing obat. Dalam hal ini, dokter

memliki kewenangan untuk melakukan praktik dan pelayanan kefarmasian, namun

kewenangan tersebut muncul karena keadaan tertentu atau kasuistis.

Landasan hukum yang berikutnya yaitu Pasal 108 ayat (1) UU No. 36 Tahun

2009 yang mengatur bahwa Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk

pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan

pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta

pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan

yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Pada pengaturan ini, penjelasannya mengatur bahwa yang dimaksud dengan

“tenaga kesehatan” dalam ketentuan ini adalah tenaga kefarmasian sesuai dengan keahlian

dan kewenangannya. Dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu

dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, misalnya antara lain dokter dan/atau

dokter gigi, bidan, dan perawat, yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan. Pengaturan ini disebut tegas dan telah bersifat pasti, dikarenakan juga terdapat

sanksi yang mengatur yaitu dalam Pasal 198 UU No. 36 Tahun 2009, yang mengatur bahwa

Analisis Yuridis ..., Vincent Velayo, FH UI, 2016

Page 10: ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN DOKTER DAN APOTEKER …

10    

setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik

kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling

banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Keberlakuannya dari isi pasal ini memberikan penekanan dan pengaturan yang

sudah pasti mengenai siapa yang dimaksud tenaga kesehatan yang berwenang melakukan

praktik kefarmasian, yaitu Tenaga Kefarmasian. Hal ini berarti bahwa hanya Tenaga

Kefarmasianlah yang terdiri dari Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian yang berwenang

melakukan Praktik Kefarmasian. Namun, diatur lagi bahwa dalam hal Tenaga Kefarmasian

tidak ada, maka tenaga kesehatan tertentu termasuk dokter dapat melakukan praktik

kefarmasian secara terbatas. Jadi, peraturan ini mengatur mengenai kepastian dan

ketegasannya hukum untuk hanya Tenaga Kefarmasian yang berwenang melakukannya,

namun dalam hal tidak ada Tenaga Kefarmasian, maka tenaga kesehatan lain, dalam hal ini

dokter dapat memiliki kewenangan terbatas untuk melakukan Praktik Kefarmasian.

Tabel 3. Perbandingan Pengaturan Kewenangan Profesi Dokter dan

Apoteker Dalam Hal Dispensing Obat

No. Profesi Apoteker Profesi Dokter 1 Apoteker berwenang dan

sesuai berdasarkan keahliannya melakukan pekerjaan maupun pelayanan kefarmasian. Masing-masing kewenangan terbagi berdasarkan adanya SIPA maupun SIK yang ditentukan dari fasilits pelayanan kesehatan tempat apoteker bekerja. Landasan Hukum: Pasal 98 UU No. 36 Tahun 2009, Pasal 108 UU No. 36 Tahun 2009, Pasal 2 PP No. 51 Tahun 2009, Pasal 51 PP No. 51 Tahun 2009, dan Pasal 52 PP 51 Tahun 2009.

Dokter berwenang dan sesuai berdasarkan keahliannya melakukan praktik maupun pelayanan kefarmasian, bila terdapat keadaan-keadaan tertentu yang diatur untuk boleh melakukannya atau bersifat kasuistis, yakni: 1. Dalam Pasal 35 huruf j UU

No. 29 Tahun 2004 yang mengatur mengenai ketiadaannya apotek di daerah terpencil, maka dokter dapat melakukan peracikan dan penyerahan obat ke pasien (dispensing);

2. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 2052/MENKES/PER/X/2011, Pasal 22 ayat 2 mengatur mengenai halnya pertolongan pada keadaan gawat darurat, maka dokter dapat melakukan tindakan

Analisis Yuridis ..., Vincent Velayo, FH UI, 2016

Page 11: ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN DOKTER DAN APOTEKER …

11    

kedokteran di luar kewenangan klinis sesuai dengan kebutuhan medis;

3. Dalam Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009, Pasal 21 ayat 3 mengatur mengenai menteri dapat menempatkan Tenaga Teknis Kefarmasian yang memiliki STRTTK untuk melakukan kewenangan meracik dan menyerahkan obat kepada pasien. Dalam halnya bila Menteri Kesehatan tidak menempatkan Tenaga Teknis Kefarmasian, maka dokter memegang kendali penuh mulai dari tindakan medis, pekerjaan dan pelayanan kefarmasian;

4. Dalam UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 108 ayat 1, bahwa bila tidak ada Tenaga Kefarmasian, maka tenaga kesehatan yaitu dokter dapat melakukan praktik kefarmasian scara terbatas.

Dalam hal membahas mengenai kewenangan profesi dokter, maka dapat diambil

pemahaman bahwa hal untuk melakukan praktik dispensing adalah dilarang bagi profesi

dokter bila tidak memiliki kewenangan seperti diatur dalam peraturan perundang-undangan,

yang mana hal pelanggaran ini dapat dijatuhi sanksi hukum berupa pidana denda seperti

diatur dalam Pasal 198 UU No. 36 Tahun 2009 yaitu sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta

rupiah). Namun, dalam beberapa keadaan atau hal, profesi dokter diberikan kewenangan

melakukan praktik dispensing, yang mana kewenangan tersebut bersifat terbatas maupun

bersifat kasuistis, yang dilakukan demi berjalannya sistem pelayanan kesehatan kepada

masyarakat.

Sedangkan dalam hal pembahasan profesi apoteker, dapat dilihat dalam

peraturan-peraturan bahwa praktik maupun pelayanan kefarmasian, adalah merupakan bidang

pekerjaan yang dilakukan oleh Tenaga Kefarmasian, dalam hal ini yaitu apoteker. Profesi

apoteker memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan dispensing obat atau

Analisis Yuridis ..., Vincent Velayo, FH UI, 2016

Page 12: ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN DOKTER DAN APOTEKER …

12    

penyerahan obat, hal ini didukung dengan praktik dalam kehidupan sehari-hari bahwa

apoteker merupakan seorang profesi yang berada di apotek, maupun Instalasi Farmasi Rumah

Sakit. Dimana umumnya pasien datang membawa resep untuk melakukan penebusan obat di

apotek maupun Instalasi Farmasi Rumah Sakit, atau dapat juga pembelian obat bebas tanpa

resep di apotek untuk proses pengobatan sendiri.

Tumpang tindih kewenangan antar profesi merupakan hal yang muncul karena

adanya masalah perbedaan kepentingan antar profesi. Profesi kedokteran melakukan

dispensing yang seharusnya merupakan kewenangan apoteker / Tenaga Kefarmasian, padahal

sudah ada pengaturan yang mengaturnya. Hal ini muncul dikarenakan adanya tuntutan dari

pasien yang meminta dokter langsung memberikan obat di tempat praktik sekaligus sebagai

pelayanan satu paket, tidak membuat pasien harus pergi lagi ke apotek yang memakan waktu

maupun biaya. Sedangkan, dari profesi dokter sendiri, oknum-oknum yang melakukan

dispensing dikarenakan beberapa hal, yaitu bahwa disamping dokter perlu menerapkan

ilmunya namun juga memerlukan materi untuk menghidupi kehidupannya, atau mengikuti

kehendak pasien yaitu demi dikategorikan pasien sebagai dokter favorit, efisien dalam

penanganan medis, maupun pengobatan yang tidak perlu ribet-ribet ke apotek, dan hal-hal

lainnya yang bertentangan dengan etik maupun disiplin namun dilakukan demi efisensi,

kebutuhan pribadi, maupun mengikuti arus pasar.

Akibat adanya tumpang tindih atau Pekerjaan dan Pelayanan Kefarmasian yang

diambil alih oleh dokter, pekerjaan Tenaga Kefarmasian dalam hal ini yaitu apoteker menjadi

tidak dapat dijalankannya peran apoteker yang seharusnya, yaitu:

1. Skrining Resep;

2. Dispensing;

3. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE);

4. Penggunaan Obat;

5. Monitoring dan Evaluasi.

Penjelasan dari masing-masing poin tersebut adalah:

a. Skrining Resep merupakan tindakan pencegahan yang dapat dilakukan oleh apoteker

untuk mencegah terjadinya kesalahan pengobatan melalui kolaborasi antara dokter

dengan pasien. Dalam buku saku terbitan Departemen Kesehatan mengatur secara rinci

mengenai mekanisme apoteker melakukan skrining resep.

b. Dispensing yakni hal-hal yang harus dilakukan sebelum mempersiapkan pemberian

obat dan peracikan obat.

Analisis Yuridis ..., Vincent Velayo, FH UI, 2016

Page 13: ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN DOKTER DAN APOTEKER …

13    

c. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) merupakan tindakan pemberian edukasi dan

konseling kepada pasien mengenai hal-hal penting tentang obat dan pengobatannya.

Dalam buku saku terbitan Departemen Kesehatan, dijelaskan secara rinci mengenai

Komunikasi, Informasi, dan Edukasi ini.

d. Penggunaan Obat merupakan tahapan dimana apoteker memastikan mengenai

penggunaan obat secara rasional atau tidak, dengan memperhatikan tujuh indikator,

yaitu tepat pasien, tepat indikasi, tepat waktu pemberian, tepat obat, tepat dosis, tepat

label obat (aturan pakai), dan tepat rute pemberian.

e. Monitoring dan Evaluasi merupakan tahapan yang dilakukan oleh apoteker untuk

mengetahui efek terapi, mewaspadai efek samping obat, memastikan kepatuhan pasien.

Dari hasil monitoring dan evaluasi ini didokumentasikan dan ditindaklanjuti dengan

melakukan perbaikan dan mencegah pengulangan kesalahan.

Peran apoteker tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, dan apoteker menjadi

tidak berperan dalam pelayanan kesehatan. Bila tidak berperan di masyarakat, nantinya

apoteker sebagai bagian dari tenaga kesehatan tidak dapat membangun dan mendongkrak

kesehatan nasional secara maksimal melalui konsumsi obat-obatan utamanya, karena

apoteker melakukan pengawasan, dan pemberitahuan mengenai bagaimana seharusnya obat

dikonsumsi, obat yang tepat dosis itu bagaimana, dan juga dapat menjadi peran pengecekan

resep tulisan dokter untuk mencegah peresepan berlebih atau pembebanan biaya yang

berlebih ke pasien maupun penggunaan obat yang tidak rasional dan malah menyebabkan

tidak cepat sembuh.

Oleh karena tidak diharapkannya hal-hal buruk tersebut, maka seharusnya pelaku

tenaga kesehatan, yaitu dokter dan apoteker harus saling menghormati, dan mengikuti aturan

hukum yang sudah ada. Bagi pihak yang melanggar ketentuan, diberi sanksi baik berupa

sanksi administratif misalnya sanksi teguran, sanksi pencabutan izin praktek, atau sanksi

pencabutan izin kerja, maupun pembayaran pidana denda. Peran masyarakat juga harus aktif

dalam hal menemukan hal-hal yang berupa pelanggaran kewenangan antara profesi apoteker

dengan dokter, hal-hal tersebut diadukan ke lembaga atau organisasi profesi yang berwenang

mengurusnya. Aduan dan peran aktif dari masyarakat merupakan suatu hal yang dapat

memaksa keberlakuan hukum yang telah ada di tengah masyarakat Indonesia ini. Hal ini

dikarenakan meskipun sudah ada peraturan yang sudah lama sekali dibentuknya, namun

dalam praktiknya para pihak yang berkaitan tetap melakukan pelanggaran dan menyebabkan

Analisis Yuridis ..., Vincent Velayo, FH UI, 2016

Page 14: ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN DOKTER DAN APOTEKER …

14    

ketiadaannya fungsi peraturan tersebut. Karena berlarut-larut pelanggaran terjadi di

masyarakat menyebabkan dampak yang mengakar yaitu terjadinya ketdakpastian hukum.

Sehingga, fungsi dan peran masyarakat dalam hal melakukan aduan diharapkan dapat

membentuk kesadaran bagi profesi dokter dan apoteker untuk mematuhi peraturan yang ada

dan menciptakan kepastian hukum.

Kesimpulan

Terdapat hal-hal yang dapat disimpulkan mengenai praktik dispensing oleh antara profesi

kedokteran dengan profesi apoteker ini, yaitu:

1. Praktik dispensing dilakukan oleh dokter hanya dalam keadaan terentu atau kasuistis saja

dan wewenangnya didapat berdasarkan dari peraturan perundang-undangan yang

mengatur kewenangannya semisal berdasarkan UU No. 29 Tahun 2004, UU No. 36 Tahun

2009. Bila dokter melakukan dispensing namun bukan merupakan kewenangannya, maka

dokter telah melakukan pelanggaran hukum yang hanya akan ditindaklanjuti untuk

diperiksa bila ada orang yang melapor ke organisasi atau dinas kesehatan setempat.

2. Sedangkan, bagi profesi apoteker, pengaturan mengenai dispensing sudah sangat jelas,

dimana dispensing ini merupakan lingkup Pekerjaan Kefarmasian Tenaga Kefarmasian,

yang diatur dalam Pasal 108 UU No. 36 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah No. 51

Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, yang isi peraturannya telah mengatur secara

jelas mengenai siapa yang berhak melakukan Pekerjaan Kefarmasian dan Pelayanan

Kefarmasian, pihak yang berwenang yaitu Tenaga Kefarmasian, dalam hal ini yaitu

apoteker.

3. Solusi dalam hal permasalahan tumpang tindih ini adalah dengan memastikan para

regulator (pembuat pengaturan hukum) menyesuaikan peraturan yang dibuat untuk

mengatur para profesi dengan kecocokan penerapannya di lingkungan masyarakat. Selain

itu, perlunya penekanan peran aktif dari masyarakat dan pelaku tenaga kesehatan untuk

menghormati kewenangan antar profesi yang ada. Masyarakat juga diharapkan untuk aktif

melakukan pelaporan bila ada profesi yang melanggar ketentuan mengenai dispensing ini.

Bila terjadi pelanggaran, maka pengemban profesi diberi sanksi baik berupa sanksi

administratif misalnya sanksi teguran, sanksi pencabutan izin praktek, atau sanksi

pencabutan izin kerja, maupun pembayaran pidana denda.

Saran

Analisis Yuridis ..., Vincent Velayo, FH UI, 2016

Page 15: ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN DOKTER DAN APOTEKER …

15    

Agar tidak ada lagi tumpang tindih kewenangan antara profesi dokter dengan profesi apoteker,

maka harus ada:

1. Peran aktif dan kesadaran dari para profesi untuk mematuhi dan memastikan

keberlakuan hukum yang dibuat oleh pemerintah, dengan cara komunikasi informasi

maupun pembelajaran ulang bagi para pelaksana tenaga kesehatan yang berhubungan

dengan farmasi / obat-obatan, seperti dokter, dan apoteker dalam hal mengenai

kewenangan tindakan antar profesi itu sendiri, yaitu mengenai kewenangan untuk

melakukan dispensing.

2. Pemberian informasi yang selayaknya diberikan kepada pihak-pihak yang berkaitan

dengan pengguna jasa tenaga kesehatan, seperti kepada masyarakat, pedagang besar

farmasi, pasien, dan juga kepada fasilitas pelayanan kesehatan seperti apotek, rumah

sakit, puskesmas yang dapat berupa penggunaan pamflet berupa aturan hukum sebagai

tempelan pemberlakuan aturan pada setiap fasilitas pelayanan kesehatan, maupun

melalui website organisasi profesi ataupun fasilitas pelayanan rumah sakit, atau melalui

peran aktif dari profesi dokter maupun apoteker itu sendiri yang aktif memberitahukan

ke pasien maupun untuk mengingatkan rekan sejawat maupun tenaga kesehatan lainnya.

3. Diadakannya rutinitas pemeriksaan mendadak atau pemeriksaan secara berkala

mengenai tempat praktik dokter maupun apoteker oleh organisasi atau lembaga yang

berwenang seperti oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan. Pemeriksaan ini terkait

dengan fungsi pengontrol mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dispensing, seperti

jumlah obat yang boleh disimpan oleh dokter di tempat prakteknya, maupun

pengeluaran obat yang disesuaikan dengan administrasi pembukuan atau kertas resep

yang ditebus di apotek oleh apoteker. Hal ini ditujukan untuk memantau peredaran dan

pemanfaatan obat-obatan secara tepat guna, tepat sasaran dan mendorong penerapan

prinsip Penggunaan Obat Rasional, serta untuk memantau berjalan tidaknya peran dan

fungsi dari profesi dokter, maupun profesi apoteker.

Daftar Referensi

Indonesia. Undang-Undang Praktik Kedokteran. UU Nomor 29 Tahun 2004. LN Nomor 116 Tahun 2004. TLN Nomor 4431. ________. Undang-Undang Kesehatan. UU Nomor 36 Tahun 2009. LN Nomor 144 Tahun 2009, TLN Nomor 5063. ________. Peraturan Pemerintah tentang Pekerjaan Kefarmasian. PP Nomor 51 Tahun 2009. _______________. Peraturan Menteri Kesehatan tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran. Permenkes Nomor 2052/Menkes/PER/X/2011.

Analisis Yuridis ..., Vincent Velayo, FH UI, 2016