analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

80
ANALISIS TIGA DIMENSI LONGSORAN DANGKAL PADA BATUAN VOLKANIK DI DAERAH TROPIS: PENERAPAN DI SINDANGKERTA, KABUPATEN BANDUNG DISERTASI Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dari Institut Teknologi Bandung Oleh RENDY DWI KARTIKO NIM : 32010302 (Program Studi Teknik Geologi) INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2016

Upload: phamnhan

Post on 31-Dec-2016

229 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

ANALISIS TIGA DIMENSI LONGSORAN DANGKAL

PADA BATUAN VOLKANIK DI DAERAH TROPIS:

PENERAPAN DI SINDANGKERTA, KABUPATEN BANDUNG

DISERTASI

Karya tulis sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Doktor dari

Institut Teknologi Bandung

Oleh

RENDY DWI KARTIKO

NIM : 32010302

(Program Studi Teknik Geologi)

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2016

Page 2: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

2

Buku Pedoman Disertasi ini dapat diakses melalui situs Sekolah Pascasarjana (SPS) ITB:

http://www.sps.itb.ac.id

Page 3: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

ABSTRAK

ANALISIS TIGA DIMENSI LONGSORAN DANGKAL

PADA BATUAN VOLKANIK DI DAERAH TROPIS:

PENERAPAN DI SINDANGKERTA, KABUPATEN BANDUNG

Oleh

Rendy Dwi Kartiko

NIM : 32010302

Longsoran dangkal merupakan proses yang sering terjadi secara periodik pada musim penghujan di daerah pegunungan tropis. Longsoran dengan tipe ini relatif tidak diperhatikan oleh lembaga-lembaga pemerintah dikarenakan lokalitas kejadian longsoran dan tingkat kerusakan yang dihasilkan hanya mengenai individu-individu tertentu, bukan sarana dan prasarana umum. Kejadian longsoran dangkal umumnya berada di persawahan, kebun, ladang, hutan, dan tebing-tebing jalan yang terjal. Kedalaman bidang gelincir longsoran ini tidak lebih dari dua meter, dan lebih sering tidak sampai satu meter. Panjang longsoran dangkal relatif jauh lebih besar dibandingkan kedalamannya, seringkali mencapai bagian paling bawah dari lereng, dengan diawali dari dekat puncak lereng. Lebar longsoran relatif jauh lebih kecil dari panjang longsoran, namun lebih besar dari kedalaman bidang longsorannya. Longsoran dangkal dapat diamati di laboratorium disebabkan oleh volume material yang dibutuhkan untuk pemodelan relatif tidak sebesar pada pemodelan longsoran dengan bidang gelincir yang lebih dalam. Selain itu longsoran dangkal juga merupakan longsoran yang dominan terjadi di lereng terjal pada pegunungan tropis. Wilayah Bandung Selatan memiliki intensitas longsoran dangkal yang cukup tinggi dan menyebabkan rusaknya ladang, sawah, dan perkebunan walau relatif tidak menyebabkan kerusakan ekonomi yang besar. Proses longsoran dangkal biasanya terkait dengan frekuensi hujan yang cukup tinggi dan terdapat curah hujan yang sangat tinggi pada beberapa kejadian hujan dalam frekuensi tersebut. Seringkali pada saat longsoran dangkal terjadi juga ditemui adanya aliran permukaan. Aliran tersebut membuat longsoran dangkal menjadi lebih cair sehingga zona deposisi terendapkan relatif lebih jauh dari

Page 4: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

ii

sumber longsorannya. Pada saat hujan yang cukup tinggi tersebut dapat terlihat juga adanya aliran rembesan (seepage) pada bagian bawah lereng. Pemodelan kestabilan lereng pada skala regional untuk menghasilkan peta kerawanan longsoran memberikan bantuan bagi banyak pihak untuk dapat melihat tingkat kerawanan di daerahnya masing-masing. Namun perlu diingat bahwa pemodelan ini dirancang untuk menjadi sederhana, analitik, relatif cepat untuk dilakukan. Penggunaan perangkat lunak TRIGRS dari USGS yang memberikan tambahan fungsi infiltrasi hujan ke dalam tanah merupakan suatu pemodelan yang berbeda dari pemodelan deterministik kestabilan lereng tak hingga lainnya. Pada pemodelan yang ada, umumnya infiltrasi air hujan dilakukan secara satu dimensi, yaitu perubahan secara vertikal. Parameter lateral oleh karena itu pada akhirnya relatif disederhanakan dan kurang mempengaruhi kestabilan lereng. Salah satu parameter lateral yang penting bagi kestabilan lereng adalah adanya gaya rembesan. Gaya rembesan dapat diuraikan secara analitik menjadi suatu gaya lateral yang mempengaruhi faktor keamanan, terutama dari sudut yang dibentuk antara gaya rembesan tersebut terhadap bidang gelincir. Semakin vertikal gaya rembesan maka keruntuhan yang akan terjadi lebih bersifat likuifaksi. Semakin mendekati horizontal gaya rembesan maka keruntuhan yang terjadi akan mengikuti rumusan keruntuhan Mohr-Coulomb. Berdasarkan pengamatan dari modul analog yang telah dikembangkan, terjadi rembesan-rembesan pada saat terjadi gerakan tanah di bagian bawah lereng. Selain itu terlihat terjadi retakan-retakan pada bagian bawah lereng. Hal ini menunjukkan bahwa parameter gaya rembesan memiliki pengaruh yang penting pada inisiasi longsoran. Faktor kohesi juga memberikan pengaruh yang besar pada keruntuhan di modul analog disebabkan ukuran yang jauh lebih kecil dari kondisi asli memperlihatkan pengaruh kohesi yang besar terutama pada sudut lereng yang terjal. Modifikasi formulasi kestabilan lereng tak hingga dengan mempertimbangkan faktor gaya rembesan diajukan pada penelitian ini. Formulasi tersebut menyebabkan amplifikasi gaya rembesan pada zona tertentu dari morfologi lereng, terutama lereng yang tidak kontinyu dan berbentuk cekung. Selain itu formulasi tersebut juga bervariasi pada tanah dengan kohesivitas yang berbeda disebabkan pengaruh kohesivitas terhadap arah dari gaya rembesan. Kata kunci: rembesan (seepage), longsoran dangkal, gaya rembesan

Page 5: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

iii

ABSTRACT

THREE DIMENSIONAL ANALYSIS OF SHALLOW

LANDSLIDE ON VOLCANIC ROCKS IN TROPICAL

REGION: APPLIED IN SINDANGKERTA, BANDUNG

REGENCY

By

Rendy Dwi Kartiko

NIM : 32010302

Landslide is periodic process that occurred mainly in rainy season in tropical mountainous region. Government agency tend to neglect this type of landslide because locality of landslide occurrence and lower damage impact, usually only related with individual or family level and not public infrastructures. Shallow landslide occurred usually in paddy field, small farm, garden, forest, and steep road slopes. Landslide of this type has sliding surface typically less than 2 meter, and 1 meter are more common occurrence. Landslide length is far longer than depth, frequently reach lower part of slope and deposited further along and initiated somewhere near slope crest. Width of landslide generally far less than length, but still larger than landslide depth. Shallow landslide can be observed in laboratory because material volume needed for modeling is far less than deep seated landslide with complex mechanism. On the other hand, shallow landslide is dominant landslide type on steep slope of tropical mountainous region. Southern Bandung area has quite high frequency of shallow landslide that damage garden, paddy field, and small plantation, although with less economical impact. Shallow landslide process related with higher rainfall frequency with several high intensity rain in between those rainfalls. Oftentimes shallow landslide accompanied with surface runoff. Those runoff made landslide materials more fluid which in turn made the materials deposited further from landslide sources. When high intensity rain occurred, sometimes seepage can be observed on lower side of the slope. Regional scale modeling for slope stability to produce susceptibility map provide major help for stake holder to observe slope susceptibility in each of their own area.

Page 6: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

iv

However, one should keep in mind that this model is designed to be simple, analytic, relatively quick to do. The use of USGS’ TRIGRS software that provides additional functionality rainfall infiltration into the soil is a different modeling of deterministic modeling infinite slope stability. In these models, rainfall infiltration is modeled as one dimension, related with vertical changes of values. Lateral parameter therefore relatively simplified and less affect slope stability. One of the parameters that are important for the lateral stability of the slope is seepage occurrence. Seepage force can be explained analytically as lateral force that affects safety factor, especially from the angle formed between the seepage forces against the sliding plane. More vertical seepage force will have liquefaction type of collapse. On the other hand, the more the horizontal oriented seepage will follow of formulation of the Mohr-Coulomb collapse. Based on the observations of the analog modules that have been developed, seepage occurred in the event of ground movement at the slope toe. Also visible cracks visible at slope lower region. This indicates that the parameters of seepage force has a crucial influence on the initiation of shallow landslide. Material cohesion also have a considerable influence on the mass movement in analog modules due to much smaller module size compared to natural condition. Cohesion also showed great influence especially on steep slopes. This study proposed formula modification of infinite slope stability taking into account the seepage force. The modification cause seepage force in certain zones of the morphology of the slopes, especially the slopes were not continuous and concave slopes. In addition these formulations also vary at different soil cohesiveness due to the seepage force direction effect. Keyword: Seepage, shallow landslide, seepage force

Page 7: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

v

ANALISIS TIGA DIMENSI LONGSORAN DANGKAL

PADA BATUAN VOLKANIK DI DAERAH TROPIS:

PENERAPAN DI SINDANGKERTA, KABUPATEN BANDUNG

Oleh

Rendy Dwi Kartiko

NIM : 32010302

(Program Studi Teknik Geologi)

Institut Teknologi Bandung

Menyetujui

Tim Pembimbing

Tanggal ………………………..

Ketua

___________________________

(Dr. Ir. Prihadi Sumintadiredja)

Anggota Anggota

_______________________ _______________________

(Dr. Eng. Imam A. Sadisun M.T.) (Dr. Ir. Adrin Tohari)

Page 8: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

vi

Dipersembahkan kepada korban longsor di Bandung Selatan

Page 9: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

vii

PEDOMAN PENGGUNAAN DISERTASI

Disertasi Doktor yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan

Institut Teknologi Bandung, terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak

cipta ada pada pengarang dengan mengikuti aturan HAKI yang berlaku di Institut

Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi

pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin pengarang dan harus

disertai dengan kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbernya.

Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh disertasi haruslah seizin

Direktur Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.

Page 10: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

viii

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdullillah, puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas berkat

rahmat dan kehendak-Nya, sehingga disertasi ini dapat terselesaikan.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya

kepada Tim Promotor Dr. Ir. Prihadi Sumintadiredja sebagai promotor utama dan

anggotanya Dr. Eng. Imam A. Sadisun dan Dr. Ir. Adrin Tohari. yang tidak henti-

hentinya memberikan masukkan, arahan, bimbingan dan semangat untuk terus

menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini di sela-sela kesibukan beliau-

beliau sebagai dosen dan peneliti.

Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman di Laboratorium Geologi

Teknik ITB, Saad Abdurrahman, Rizky Satria Putranto, Rosyid, Mohammad

Hilmi, Ferdiyansah, yang telah banyak memberikan bantuan untuk pembuatan alat

,pemodelan analog, dan akuisisi diata di lapangan. Kepada Dwi Wijanarko yang

telah membantu memecahkan masalah pemrograman dan perangkat lunak terkait

dengan penelitian ini baik pada sensor ataupun pada pemodelan.

Penulis mengucapkan banyak terimakasih pada penduduk Desa Weninggalih, Desa

Wangun, Desa Cililin, di Kecamatan Sindangkerta dan Kecamatan Cililin yang

telah dengan tulus membantu jalannya penelitian ini dan siap untuk berperanserta

dalam mitigasi bencana alam longsoran.

Untuk membantu pekerjaan teknis penulisan, drafting, dan efektivitas administrasi

selama mengikuti program S-3 ini, penulis berterimakasih kepada teman-teman di

bagian drafting dan staf administrasi Teknik Geologi ITB, terimakasih penulis

sampaikan kepada Bapak Ade Suherna, Kang Hendra, Kang Mul, Fita.

Penulis sangat berterimakasih kepada Pusat Penelitian Mitigasi Bencana ITB di

bawah pimpinan Prof. Mashyur Irsyam yang telah membantu pendanaan penelitian

Page 11: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

ix

ini dalam kerangka dana penelitian ITB. Penulis juga berterimakasih pada Yayasan

Asahi yang telah juga membantu pendanaan penelitian.

Rasa terima kasih kepada keluarga tercinta, ayah dan ibu serta kepada keluarga

besar Hardjosuwarno yang telah banyak membantu dan berdoa untuk kesuksesan

usaha penulis dalam menyelesaikan disertasi ini.

Akhir kata, semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.

BANDUNG, Juni 2016

Rendy Dwi Kartiko

Page 12: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

x

DAFTAR ISI

ABSTRAK ............................................................................................................... i ABSTRACT ...........................................................................................................iii PEDOMAN PENGGUNAAN DISERTASI ......................................................... vii UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................viii DAFTAR ISI ........................................................................................................... x

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR DAN ILUSTRASI ............................................................xiii DAFTAR TABEL ................................................................................................. xv

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ...................................................... xvi Bab I Pendahuluan ............................................................................................. 1

I.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1

I.2 Permasalahan Penelitian.............................................................................. 1

I.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 2

I.4 Ruang Lingkup ............................................................................................ 2

I.5 Asumsi......................................................................................................... 2

I.6 Hipotesis ...................................................................................................... 3

I.7 Metodologi .................................................................................................. 3

I.8 Kebaharuan Penelitian ................................................................................ 3

I.9 Sistematika Penelitian ................................................................................. 4

Bab II Metodologi Penelitian .............................................................................. 6

II.1 Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 6

II.1.1 Pemodelan Analog Skala Laboratorium ........................................... 6

II.1.1.1 Wahana pemodelan analog ........................................................ 7

II.1.2 Pemerolehan Data Lapangan............................................................. 8

II.2 Metode Pemrosesan Data ....................................................................... 10

II.2.1 Laboratorium Sifat Fisik dan Mekanik Material ............................. 10

II.2.2 Pemrosesan Data Geofisika............................................................. 10

II.3 Metode Penalaran dan Analitis ............................................................... 10

II.3.1 Analisis Kestabilan Lereng Metode Kesetimbangan Batas ............ 11

II.3.2 Infiltrasi Air pada material lereng ................................................... 12

II.3.3 Pengaruh Seepage (rembesan) pada Kestabilan Lereng ................. 13

II.3.4 Analisis Kestabilan Lereng Tak Hingga (infinite slope) ................. 15

Bab III Geologi Daerah Penelitian .................................................................. 17

III.1 Lokasi Penelitian .................................................................................... 17

III.1.1 Lokasi lapangan .............................................................................. 17

III.1.2 Lokasi laboratorium ........................................................................ 19

III.2 Sifat Fisik dan Material .......................................................................... 19

III.2.1 Model Analog.................................................................................. 20

III.2.2 Sifat Fisik Material Lokasi Lapangan ............................................. 21

III.3 Hambatan Jenis Lokasi Lapangan (Geolistrik) ...................................... 23

Bab IV Analisis ............................................................................................... 25

IV.1 Pemodelan Analog Longsoran Dangkal ............................................. 25

IV.1.1 Material Pasir Ngrayong ................................................................. 26

IV.1.2 Material Tanah Pasir Sindangkerta ................................................. 28

IV.2 Analisis Model Lereng Tak Hingga Tiga Dimensi ............................. 28

Page 13: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

xi

IV.2.1.1 Material Pasir Ngrayong .......................................................... 28

IV.2.1.2 Material Tanah Pasir Sindangkerta .......................................... 30

IV.2.2 Daerah Lapangan (Tanah Lanau Lempungan Sindangkerta).......... 30

IV.3 Metode Kesetimbangan Batas Longsoran Dangkal ............................ 31

IV.4 Analisis Numerik Rembesan pada Lereng.......................................... 32

IV.5 Modifikasi Kestabilan Lereng Tak Hingga ........................................ 33

IV.5.1 Modul Analog ................................................................................. 33

IV.5.1.1 Material Pasir Ngrayong .......................................................... 33

IV.5.1.2 Material Tanah Pasir Sindangkerta .......................................... 34

IV.5.2 Daerah Lapangan (Tanah Lanau Lempungan Sindangkerta).......... 35

Bab V Kesimpulan ............................................................................................. 37

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 38

LAMPIRAN .......................................................................................................... 40

Page 14: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Sifat fisik dan mekanik material ............................................... 41

Lampiran B Kondisi longsoran dan tanah di daerah Bandung Selatan (Cililin, Sindangkerta) .............................................................. 47

Lampiran C Foto-foto dan keterangan model analog laboratorium .............. 50

Lampiran D Hasil Lintasan Geolistrik Dua Dimensi .................................... 52

Page 15: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

xiii

DAFTAR GAMBAR DAN ILUSTRASI

Gambar I-1. Diagram alir penelitian. ...................................................................... 5

Gambar II-1. Model analog dengan dua lapisan. Lapisan bagian bawah merupakan dasar dan dianggap tidak akan mengalami pergeseran/deformasi. Lapisan bagian atas merupakan bagian yang diamati proses longsorannya. ............................................. 7

Gambar II-2. Model analog untuk pemodelan longsoran dangkal. ......................... 8

Gambar II-3. Lokasi pengambilan sampel bor dan lintasan geolistrik. Jarak antar spasi grid adalah 40 meter. Garis hijau menunjukkan garis akuisisi geolistrik, sedangkan titik dengan huruf depan COR merupakan lokasi pengambilan sampel pemboran dangkal. ...... 9

Gambar II-4. Metode analisis dan sintesa untuk mendekati kejadian di lapangan ataupun laboratorium dengan pemodelan analitik dan numerik .................................................................................................. 11

Gambar II-5. Analisis stabilitas metode irisan dengan seepage steady-state (Das, 2010) ......................................................................................... 11

Gambar II-6. Pengaruh seepage (rembesan) terhadap kestabilan lereng. Vektor gaya S merupakan penjabaran seepage vector pada lereng. (Nishigaki dkk., 1996). ............................................................. 14

Gambar II-7. Ilustrasi kestabilan lereng tak hingga, dengan asumis tak ada variasi dari kuantitas pada arah x ataupun arah normal ke samping (keluar dari halaman)(Iverson, 2000). ...................................... 15

Gambar III-1. Posisi lokasi daerah penelitian ditandai kotak warna merah, relatif terhadap Pulau Jawa dan wilayah administrasi Kota Bandung. 17

Gambar III-2. Fisiografi dan elevasi regional dari wilayah penelitian. (Sumber:fisiografi dari Van Bemmelen (1949), elevasi dari citra SRTM) (van Bemmelen, 1949) ................................................ 18

Gambar III-3. Pasir Ngrayong yang dibentuk pada modul akrilik (a) dan gambaran butiran pasir kuarsa Formasi Ngrayong dari material uji (b)......................................................................................... 21

Gambar III-4. Tanah pada lokasi lapangan, merupakan pelapukan tuf volkanik Fm. Beser. ................................................................................. 22

Gambar III-5. Profil pelapukan pada tuf dengan tuf yang lebih segar di bagian bawah relatif lembab. Tanah pelapukan hanya memiliki tebal sekitar 10 cm dan tertutupi oleh tanah humus ladang. .............. 22

Gambar III-6. Hambatan jenis (dalam ohm) pseudo 3D untuk lokasi lapangan. Daerah dengan hambatan jenis rendah (kurang dari 50 ohm) terdapat pada tekuk lereng di bagian bawah dan juga pada bagian atas lereng (warna biru). ................................................ 24

Gambar IV-1. Skenario pemodelan analog, meliputi material pasir Formasi Ngrayong, dan tanah asli dari Sindangkerta dengan jenis pasir lempungan. ................................................................................ 26

Gambar IV-2. Longsoran pada material pasir dengan model satu lapisan. .......... 27

Gambar IV-3. Longsoran pada material pasir dengan model 2 lapisan. ............... 27

Gambar IV-4. Proses erosi ekstensif pada material Tanah Pasir Sindangkerta. ... 28

Page 16: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

xiv

Gambar IV-5. Pemodelan FK dengan model lereng tak hingga. Nilai FK bagian paling bawah sekitar 1.2 pada saat 1200 detik (20 menit) dengan curah hujan 100 mm/jam. Longsor terjadi pada menit ke 30. Penurunan FS relatif cepat pada awal dengan kontrol utama adalah kohesi material. ............................................................. 29

Gambar IV-6. Pemodelan FK model lereng tak hingga untuk material pasir lempungan dengan waktu sekitar 12 jam, curah hujan 100 mm/jam. Pada model ini tidak terjadi longsoran. Penurunan FK relatif epat pada awal simulasi dengan kontrol utama parameter kohesi material. Tanah pasir lempungan sedikit lebih kohesif dibanding material pasir Fm. Ngrayong. .................................. 30

Gambar IV-7. Faktor keamanan pada skala lapangan, dengan panjang 135 m, lebar 100 meter. ........................................................................ 31

Gambar IV-8. Kestabilan lereng dengan metode kesetimbangan batas pada modul analog laboratorium dengan 1 lapisan. ..................................... 32

Gambar IV-9. Model aliran airtanah dalam lereng pada model lokasi lapangan.. 32

Gambar IV-10. Pemodelan FK lereng tak hingga dengan modifikasi gaya seepage pada material pasir Fm. Ngrayong. ........................................... 34

Gambar IV-11. Pemodelan FK lereng tak hingga dengan modifikasi gaya seepage pada material pasir lempungan. ................................................ 35

Gambar IV-12. Hasil modifikasi nilai FK pada skala lapangan, dengan mempertimbangkan faktor vektor rembesan (seepage vector). 36

Page 17: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

xv

DAFTAR TABEL

Tabel II-1. Skenario pemodelan analog laboratorium longsoran dangkal. Sudut

lereng keseluruhan skenario adalah 40º. ..................................... 6

Tabel III-1. Ringkasan sifat fisik dan mekanik material yang digunakan dalam pemodelan. ................................................................................ 20

Page 18: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

xvi

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

SINGKATAN

Nama

Pemakaian

pertama kali

pada halaman

FK Faktor Keamanan (Fs) 1

TRIGRS

Transient Rainfall Infiltration and Grid-

Based Regional Slope-Stability Analysis.

15

USGS United States Geological Survey 15

LAMBANG

Fs Faktor Keamanan (FK)

ϕ′ Sudut geser dalam tanah pada stress efektif

(effective stress)

Wn Berat material pada irisan ke n

c′ Kohesi tanah

αn Sudut bidang lengkung (bidang gelincir)

pada irisan ke n

bn Lebar irisan ke n pada bidang lengkung

(bidang gelincir)

un Tekanan pori pada irisan ke n

γs Berat isi tanah

ψ(Z, t) Fungsi head tekanan pori per waktu

α Sudut lereng

γw Berat isi air

γs Berat isi tanah

Z Kedalaman

Page 19: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

xvii

𝛽 Arah gaya seepage (sudut) diukur terhadap

normal (garis tegak lurus) dari bidang

gelincir

𝑆 Gaya seepage (rembesan)

𝑞 Debit

𝑘 Konduktivitas hidrolik (koefisien

permeabilitas)

𝑖 Gradien hidrolik

𝐻 Head total (satuan panjang)

𝜃 Kadar air (volumetrik)

𝑄 Kondisi batas (boundary condition)

pemberian debit untuk infiltrasi (influx)

𝑡 waktu

Page 20: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

1

Bab I Pendahuluan

I.1 Latar Belakang

Longsoran umumnya terjadi di alam pada musim hujan dan saat terjadi gempa.

Kejadian alamiah ini terjadi dalam suatu periode yang relatif tidak bisa dikontrol

langsung oleh manusia. Observasi langsung pada saat kejadian longsor di lereng

alamiah menjadi sulit dilakukan pada penelitian. Observasi lebih sering dilakukan

setelah kejadian. Oleh karena itu, suatu pendekatan yang lebih terkontrol perlu

dilakukan untuk melihat kejadian longsor. Penelitian pada skala laboratorium

menjadi suatu pilihan untuk observasi mekanisme kejadian longsoran.

Beragam penelitian longsoran pada skala laboratorium (Govind Acharya dkk.,

2011; Cui dkk., 2014; Egeli dan Pulat, 2011; Iverson, 2000; Liao dkk., 2009; Ni

dkk., 2016; Tohari dkk., 2000) telah dilakukan dengan berbagai ukuran. Pada

umumnya model berukuran lebar minimal 70 cm dan tinggi minimal 1 meter.

Model-model analog tersebut digunakan untuk dapat lebih memahami proses

kejadian longsoran, dengan tipe dan mekanisme longsoran yang berbeda-beda.

Mekanisme longsoran memperlihatkan proses perkembangan longsoran. Hal ini

perlu diamati dari tahap sebelum terjadinya longsoran hingga setelah terjadinya

longsoran. Suatu pemodelan analog yang komprehensif diperlukan untuk dapat

mendekati kejadian semacam ini dikarenakan observasi langsung di alam sangat

susah dilakukan karena tingginya tingkat ketidakpastian lokasi longsoran.

I.2 Permasalahan Penelitian

Kemunculan kejadian longsoran dalam kondisi di lapangan masih menjadi

pertanyaan mengenai waktu dan lokasinya secara pasti, terutama dengan

menggunakan Faktor Keamanan (FK) (Kim dkk., 2015). Hal ini juga berlaku untuk

longsoran yang dangkal sekalipun. Bahkan dalam kondisi lereng dan material yang

relatif mirip/homogen, longsoran dapat terjadi di lokasi yang tidak diperkirakan.

Parameter lokasi dan waktu kemunculan longsoran (x,y,z,t) merupakan

permasalahan yang menarik untuk dikaji. Dan pemahaman dapat dimulai dari

Page 21: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

2

longsoran yang sederhana dengan kontrol dari curah hujan dan kedalaman bidang

gelincir yang dangkal.

I.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalisis kestabilan lereng pada longsoran dangkal

secara 3 dimensi dengan menggunakan model analog dan model lereng alamiah.

I.4 Ruang Lingkup

Penelitian dilakukan pada objek eksperimental dan objek lokasi lapangan di Desa

Weninggalih, Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat. Model

eksperimental analog menggunakan material tanah residual volkanik daerah

Sindangkerta dan material pembanding pasir Formasi Ngrayong. dengan ukuran

tertentu.

Observasi yang dilakukan pada objek eksperimental adalah proses kejadian

longsoran, parameter fisik dan mekanik material eksperimen, dengan kontrol

parameter dari curah hujan, sudut lereng, dan dimensi dari wahana eksperimental.

Sementara observasi pada lokasi lapangan meliputi hambatan jenis (resistivitas)

material tanah dan batuan, sifat fisik dan mekanik tanah, kandungan mineralogi dari

tanah, proses longsoran yang terjadi di lokasi lapangan.

Analisis yang dilakukan meliputi analisis laboratorium dan analisis kestabilan

lereng. Analisis laboratorium dilakukan pada material eksperimen, material tanah

dari lokasi lapangan. Sementara analisis kestabilan lereng meliputi kestabilan

lereng pada skala laboratorium, dan kestabilan lereng pada skala peta atau lapangan.

I.5 Asumsi

1. Material tanah volkanik dianggap homogen pada tiap lapisan pemodelan,

baik pada model analog maupun pada model skala lapangan.

2. Material dianggap isotropis, dengan gaya-gaya yang berlaku pada material

dianggap sama disebabkan oleh posisi material yang masih berada pada

permukaan tanah dan tidak dipengaruhi oleh rejim tektonik (gaya lateral

anisotropik) tertentu.

Page 22: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

3

3. Aliran air dalam material mengikuti model aliran Hukum Darcy. Air dari

hujan mengalir dengan model permeabilitas primer Darcy baik untuk

material jenuh maupun material tak jenuh.

I.6 Hipotesis

Longsoran dangkal dapat terjadi pada suatu zona jenuh air di permukaan yang

dipicu dengan adanya aliran rembesan (seepage). Komponen gaya lateral yang

ditimbulkan oleh rembesan ini menyebabkan longsoran yang terjadi di bagian kaki

lereng untuk material pasir dan semakin ke atas lereng pada material dengan fraksi

halus (lempung) yang semakin banyak.

I.7 Metodologi

Penelitian ini menggunakan induksi eksperimental yang dikombinasikan dengan

deduksi pemodelan pada skala asli di alam untuk lokasi terpilih. Eksperimen

dilakukan pada beberap skenario model analog untuk melihat respon material

terhadap simulasi hujan buatan dengan curah hujan konstan dalam rentang waktu

tertentu. Kontrol terhadap curah hujan, skala model, dan keseragaman material

merupakan kontrol eksperimental pada skala laboratorium untuk mendapatkan

keseragaman perulangan percobaan.

Metode deduksi dilakukan dengan pemodelan analitik dan numerik secara dua

dimensi dan tiga dimensi untuk menghasilkan Faktor Keamanan yang

menunjukkan kondisi stabilitas dari lereng. Pemodelan analitik dilakukan dengan

analisis lereng tak hingga dan analisis kesetimbangan batas. Pemodelan numerik

dilakukan dengan metode elemen hingga untuk melihat sebaran vektor gaya dan

deformasi yang terjadi pada lereng.

I.8 Kebaharuan Penelitian

Penelitian ini mempertimbangkan faktor rembesan dalam kestabilan lereng

longsoran dangkal. Gaya rembesan perlu diuraikan komponenenya untuk melihat

pengaruhnya pada lereng. Penguraian gaya yang diberikan didasarkan pada arah

aliran rembesan pada permukaan lereng.

Page 23: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

4

Penelitian ini memberikan gambaran inisiasi kejadian longsoran dangkal yang

dikontrol oleh rembesan pada lereng yang dilakukan secara analitik 3 dimensi,

dikombinasikan dengan pemodelan numerik 2 dimensi.

I.9 Sistematika Penelitian

Penelitian diawali dengan pemodelan analog skala laboratorium, yang bersamaan

dengan mengumpulkan data inventarisasi longsoran yang sudah ada untuk daerah

di lapangan (Gambar I-1) berdasarkan data-data sekunder. Studi literatur juga

dilakukan pada tahapan awal ini, terutama untuk pemodelan analog laboratorium

dan pemodelan kestabilan lereng tiga dimensi.

Analisis laboratorium dilakukan pada tahap selanjutnya, bersamaan dengan

pengembangan alat untuk observasi longsoran dangkal. Sifat fisika dan mekanik

tanah baik di skala lab ataupun tanah asli diuji untuk mendapatkan parameter yang

dapat digunakan dalam pemodelan analitik ataupun numerik.

Sintesa penelitian dilakuan dengan menggabungkan kejadian yang ada di kondisi

lapangan dengan observasi yang dilakukan pada skala laboratorium, dengan

memodifikasi formulasi faktor keamanan untuk kestabilan lereng pada lereng tak

hingga.

Page 24: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

5

Permasalahan:

· Proses dan mekanisme longsoran dangkal,· Pada beberapa tipe material,· Secara tiga dimensi

Studi Pustaka:· Pemodelan analog longsoran · Faktor Keamanan longsoran dangkal 3 dimensi· Pengaruh runoff pada longsoran· Pengaruh seepage pada proses longsoran

Pemodelan analog skala

laboratorium:

· Pada beberapa variasi curah hujan konstan

· Variasi lapisan· Variasi jenis material· Analisis Laboratorium

Akuisis data lapangan daerah

tipikal longsoran dangkal:

· Inventarisasi longsoran· Pemetaan topografi· Sampel tanah (grab dan bor

kedalaman 1 meter)· Pengambilan data resisitivitas 2

dimensi· Analisis Laboratorium

Pemodelan infiltrasi air hujan dan kestabilan Lereng:

· Analitik metode kesetimbangan batas 2 dimensi· Metode numerik elemen hingga 2 dimensi

· Analitik metode lereng tak hingga 3 dimensi

Sintesa mekanisme longsoran

dangkal 3 dimensi dengan

material tanah dan material pasir

Gambar I-1. Diagram alir penelitian.

Page 25: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

6

Bab II Metodologi Penelitian

II.1 Metode Pengumpulan Data

Data didapatkan dari pengamatan pada modul skala laboratorium dan pengambilan

tanah sampel uji di lapangan serta uji geofisika di lapangan.

II.1.1 Pemodelan Analog Skala Laboratorium

Pemodelan analog dilakukan pada beberapa skenario untuk memperlihatkan proses

curah hujan dan aliran permukaan masuk ke dalam model lereng material. Skenario

pemodelan merupakan variasi dari jenis material, lapisan material, dan variasi curah

hujan seperti terlihat pada Tabel II-1. Pemodelan awal dilakukan pada satu jenis

lapisan material yaitu pada Pasir Kuarsa Formasi Ngrayong dan pada Tanah

residual volkanik (tuf) Sindangkerta. Pemodelan pada satu lapisan dilakukan untuk

menyederhanakan model agar terlihat bagaimana respon material pada kondisi

ideal. Keseluruhan model dilakukan pada sudut lereng 40º yang merupakan nilai

tengah berdasarkan pemodelan analog yang dilakukan peneliti-peneliti sebelumnya

(G. Acharya dkk., 2009; Iverson dkk., 1997; Tohari dkk., 2000) yang berkisar di

antara 30º - 50º.

Tabel II-1. Skenario pemodelan analog laboratorium longsoran dangkal. Sudut lereng keseluruhan skenario adalah 40º.

Curah hujan 40 mm/jam

Curah hujan 100 mm/ham

Curah hujan 40 mm/jam

Curah hujan 100 mm/ham

Curah hujan 40 mm/jam

Curah hujan 100 mm/ham

Curah hujan 40 mm/jam

Curah hujan 100 mm/ham

Curah hujan 40 mm/jam

Curah hujan 100 mm/ham

Tanah residual Sindangkerta,

material ayakan > mesh 50

(0,282 mm) + 50% fraksi halus

(< mesh 50 (0,282 mm))

Dua lapis material,

bagian bawah tanah

residual Sindangkerta,

dipadatkan dengan

permeabilitas yang

rendah

Satu lapis material

Tanah residual Sindangkerta

Pasir Ngrayong

Tanah residual Sindangkerta,

material ayakan > mesh 50

Pasir Ngrayong

Page 26: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

7

Berdasarkan hasil pemodelan analog dari satu lapisan ternyata material tanah

residual tidak mengalami longsor pada kondisi kontrol pemodelan (curah hujan,

dan ukuran skala model), sehingga skenario dengan dua lapisan (Gambar II-1)

dilakukan untuk melihat respon material pada lapisan yang lebih tipis di bagian

atas. Lapisan bagian bawah dari dua lapisan ini memiliki koefisien permeabilitas

yang rendah (jauh lebih rendah dibandingkan infiltrasi air dari kontrol curah hujan)

berkisar pada orde 1x10-6 hingga 1x10-8 cm/detik.

Gambar II-1. Model analog dengan dua lapisan. Lapisan bagian bawah merupakan

dasar dan dianggap tidak akan mengalami pergeseran/deformasi. Lapisan bagian atas merupakan bagian yang diamati proses longsorannya.

II.1.1.1 Wahana pemodelan analog

Pemodelan analog menggunakan modul akrilik dengan ukuran panjang 1 meter,

lebar 50 cm, dan tinggi 50 cm seperti terlihat pada Gambar II-2. Air dipompa

dengan pompa air elektrik dari tangki air, kemudian dialirkan melalui pipa paralon

setengah inci untuk dibagi dalam empat lajur nozzle hujan buatan. Observasi aliran

air dilakukan dengan beberapa flow meter. Keseluruhan wahana berada dalam tenda

sementara untuk melindungi dari hujan dan panas matahari langsung.

Page 27: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

8

Gambar II-2. Model analog untuk pemodelan longsoran dangkal.

II.1.2 Pemerolehan Data Lapangan

Pemerolehan data di lapangan dilakukan dengan:

- Pengeboran tanah dangkal hingga kedalaman 1 meter

- Observasi tanah dan batuan di sekitar rencana daerah lokasi pemodelan

- Pengambilan data geolistrik dua dimensi pada 12 lintasan

Tujuan pengeboran tanah dangkal dan pengambilan sampel adalah untuk

mendapatkan tanah asli daerah penelitian dan melihat variasi tanah pada kedalaman

yang cukup dangkal dan masih memiliki pengaruh terhadap kejadian longsoran

dangkal.

Page 28: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

9

Gambar II-3. Lokasi pengambilan sampel bor dan lintasan geolistrik. Jarak antar

spasi grid adalah 40 meter. Garis hijau menunjukkan garis akuisisi geolistrik, sedangkan titik dengan huruf depan COR merupakan lokasi pengambilan sampel pemboran dangkal.

Sebanyak 12 lintasan geolistrik (Gambar II-3) dibentangkan untuk pemerolehan

data, dengan fokus terutama pada bagian tengah dan tegak lurus terhadap lereng.

Spasi elektroda geolistrik adalah 1,5 meter dengan jumlah eletroda per lintasan

adalah sebanyak 48 elektroda. Kedalaman zona akuisisi geolistrik adalalah 11

meter berdasarkan skema spasi elektroda tersebut.

Page 29: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

10

II.2 Metode Pemrosesan Data

II.2.1 Laboratorium Sifat Fisik dan Mekanik Material

Pemrosesan data sifat fisik dan mekanik material Tanah Residual Tuf dari

Sindangkerta (Formasi Beser) dan Pasir Formasi Ngrayong dilakukan di

laboratotrium geologi teknik Institut Teknologi Bandung, meliputi:

- Densitas - Porositas - Sebaran Besar Butir - Plastisitas tanah dan pasir - Klasifikasi nama tanah - Koefisien Permeabilitas - Kohesi - Sudut Geser Dalam

Pada tanah dari lapangan diuji juga:

- X-Ray diffraction - Scanning Electron Microscope (SEM)

II.2.2 Pemrosesan Data Geofisika

Sebanyak dua belas lintasan geolistrik dengan spasi elektroda 1.5 meter dan

elektroda sebanyak 48 buah menghasilkan data yang kemudian diolah dengan

perangkat lunak RES2Dinv. Program tersebut memproses data dasar menjadi

bentuk penampang dengan kedalaman sebesar 11 meter.

Hasil dari penampang tersebut diolah dalam suatu perangkat lunak untuk tampilan

dengan mengkombinasikan ke 12 lintasan tersebut dalam suatu file berisi titik-titik

dan atribut hambatan jenis. Kemudian dilakukan gridding pada titik-titik data

tersebut untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi dari geolistrik di lokasi penelitian.

Data grid tersebut menjadi acuan untuk penarikan bidang muka air tanah awal

dalam pemodelan analitik lereng tak hingga tiga dimensi.

II.3 Metode Penalaran dan Analitis

Metode penalaran adalah membandingkan antara hasil proses yang dihasilkan

antara kejadian di lapangan berdasarkan observasi dan keterangan penduduk

dengan pengamatan observasi di laboratorium. Selain itu, penalaran juga dilakukan

Page 30: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

11

dengan studi pustaka terhadap perkembangan metode perkiraan faktor keamanan

lereng, terutama pada skala lapangan. Poin-poin tertentu yang menunjukkan

kekurangan dari metode yang sudah ada dicoba untuk dimodifikasi, berdasarkan

pengamatan yang terjadi di skala laboratorium dan juga di lapangan.

Percobaan analog

Kejadian longsor/

rawan di lapangan

Pemodelan skala

lab dan lapanganCek akurasi

Modifikasi formula Faktor Keamanan

(FK)

Tidak akurat

Selesaiakurat

Analisis

laboratorium

Analisis

laboratorium

Gambar II-4. Metode analisis dan sintesa untuk mendekati kejadian di lapangan

ataupun laboratorium dengan pemodelan analitik dan numerik

II.3.1 Analisis Kestabilan Lereng Metode Kesetimbangan Batas

Metode kesetimbangan batas dikembangkan sejak beberapa dekade yang lalu oleh

Bishop, dengan mengasumsikan tekanan air pori bernilai nol. Pada kenyataan

dengan aliran seepage stabil (steady state seepage) di kondisi alamiah tekanan pori

tidaklah bernilai nol, dan mempengaruhi nilai kekuatan geser efektif (effective

shear strength) (Das, 2010).

Gambar II-5. Analisis stabilitas metode irisan dengan seepage steady-state (Das,

2010)

Page 31: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

12

Modifikasi Formula Bishop dengan mengakomodir faktor tekanan pori dari muka

air tanah (Das, 2010):

Fs =∑ [ c′bn+(Wn−unbn) tan ϕ′]

1

m(α)n

n=pn=1

∑ Wn sin αnn=pn=1

( 1)

Dengan

𝑚𝛼(𝑛) = 𝑐𝑜𝑠 𝛼𝑛 + tan ϕ′ sin αn

𝐹𝑠 ( 2)

Kedua belah sisi dari persamaan memiliki nilai Fs (Faktor Keamanan), sehingga

proses trial-error mesti dilakukan untuk mendapatkan nilai Fs. Penggunaan

perangkat lunak akan mempercepat proses penghitungan nilai Fs dan relatif

merupakan prosedur yang umum dilakukan di kalangan insinyur.

Pada analisis metode ini vektor rembesan tidak diuraikan dan menyatu dengan

parameter tekanan pori (un). Penguraian vektor gaya tersebut secara analitik relatif

tidak dilakukan mengingat kekompleksan pemodelan infiltrasi air pada lereng

sehingga dilakukan dengan pendekatan numerik berdasarkan dari solusi persamaan

diferensial aliran tanah dalam lereng.

II.3.2 Infiltrasi Air pada material lereng

Formulasi aliran fluida dalam material mengikuti Hukum Darcy (dikutip dari

(Seep/W, 2012):

𝑞 = 𝑘 𝑖 (3) Dengan debit aliran adalah fungsi dari kondukitivitas hidrolik dan gradien hidrolik

dari air dalam material. Hukum ini ternyata dapat diaplikasikan pada tanah tak

jenuh (Richards, 1931) dengan menjadikan konduktivitas hidrolik sebagai suatu

variabel, dan bukan suatu konstanta. Konduktivitas hidrolik berubah mengikuti

nilai kadar air dan tekanan pori.

Penjabaran persamaan tersebut dalam persamaan differensial parsial rembesan

untuk dua dimensi (Fredlund dan Rahardjo, 1993) dinyatakan sebagai:

𝜕

𝜕𝑥[𝑘𝑥

𝜕𝐻

𝜕𝑥] +

𝜕

𝜕𝑦[𝑘𝑦

𝜕𝐻

𝜕𝑦] + 𝑄 =

𝜕𝜃

𝜕𝑡 ( 4)

Page 32: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

13

, yang menunjukkan bahwa aliran (flux) pada sistem aliran air dalam tanah adalah

sama dengan perubahan penyimpanan (kadar air) dalam sistem tersebut. Solusi dari

persamaan ini dapat didekati dengan metode numerik elemen hingga sehingga

matrik gradien hidrolik didapatkan untuk kasus lereng yang dianalisis. Matriks

tersebut sebanding dengan gaya rembesan pada persamaan (6).

II.3.3 Pengaruh Seepage (rembesan) pada Kestabilan Lereng

Tanah non kohesif yang jenuh akan mengalami likuifaksi statik bila dikenai gaya

seepage ke atas yang sama dengan berat tanah yang jenuh. Sudut maksimum lereng

yang stabil pada kondisi jenuh di tanah non kohesif adalah sama dengan sudut geser

dalam lereng bila tidak terjadi seepage, namun menjadi sekitar separuh sudutnya

bila terdapat seepage yang paralel dengan lereng (Iverson dan Major, 1986).

Pengaruh seepage sendiri telah dipelajari dengan cukup ekstensif (Ahmadi-Adli

dkk., 2014; Liu dan Li, 2015; Tofani dkk., 2006; Vandamme dan Zou, 2013).

Pada penampang lereng yang jenuh dengan bidang gelincir tertentu yang dikontrol

oleh aliran airtanah (Nishigaki dkk., 1996) seperti terlihat pada Gambar II-6 a, dan

b menggambarkan gaya pada salah satu potongan di lereng.

Page 33: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

14

Gambar II-6. Pengaruh seepage (rembesan) terhadap kestabilan lereng. Vektor gaya

S merupakan penjabaran seepage vector pada lereng. (Nishigaki dkk., 1996).

Nilai W’ merupakan berat dari tanah, S merupakan gaya rembesan yang terjadi pada

potongan dengan nilai gradien hidrolik i sebanding dengan tekanan head h’. Faktor

keamanan merupakan rasio dari gaya penahan (N’) terhadap gaya pendorong (T)

sepanjang bidang pergeseran. Faktor keamanan (Fs) sepanjang bidang percobaan

gelinciran akan menjadi fungsi:

𝑊′ = 𝛾𝑠 ℎ 𝑏 ( 5) 𝑆 = 𝛾𝑤 𝑖 ℎ 𝑏 ( 6)

𝑇 = 𝑊′ 𝑠𝑖𝑛 𝛼 + 𝑆 𝑠𝑖𝑛 𝛽 (7) 𝑁′ = 𝑊′ 𝑐𝑜𝑠 𝛼 − 𝑆 𝑐𝑜𝑠 𝛽 (8)

equipotential line

infiltration

failure surface

flow line

h = w ’ gw h/2

h/2

b

x

S

SR

R

W’

W

N’N’

y

a

a

b

b

equipotential line

Force Polygon

Page 34: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

15

𝐹𝑠 = ∑ 𝑐′𝑏/ 𝑐𝑜𝑠 𝛼+ ∑[ 𝛾𝑠 ℎ 𝑏 𝑐𝑜𝑠 𝛼− 𝛾𝑤 𝑖 ℎ 𝑏 𝑐𝑜𝑠 𝛽] 𝑡𝑎𝑛 𝜙

∑[ 𝛾𝑠 ℎ 𝑏 𝑠𝑖𝑛 𝛼− 𝛾𝑤 𝑖 ℎ 𝑏 𝑠𝑖𝑛 𝛽] ( 9)

Faktor keamanan akan dipengaruhi oleh arah dari gaya rembesan, dan komponen

gaya rembesan mempengaruhi gaya massa tanah. Nilai FK yang minimal akan

terjadi pada arah rembesan yang relatif horizontal, dan nilai FK yang paling tinggi

berada pada arah rembesan yang vertikal.

II.3.4 Analisis Kestabilan Lereng Tak Hingga (infinite slope)

Persamaan kestabilan lereng tak hingga (Iverson, 2000) digunakan sebagai dasar

dalam menghitung kestabilan lereng untuk model pada skala laboratorium dan skala

peta. Faktor Keamanan pada kedalaman tertentu dihitung dengan (Baum dkk.,

2009):

Fs(Z, t) =tan ϕ′

tan α+

c′−ψ(Z,t)γw tan ϕ′

γs Z sin α cos α ( 10)

Gambar II-7. Ilustrasi kestabilan lereng tak hingga, dengan asumis tak ada variasi

dari kuantitas pada arah x ataupun arah normal ke samping (keluar dari halaman)(Iverson, 2000).

Persamaan ini diaplikasikan pada perangkat lunak TRIGRS yang dikembangkan

oleh USGS, ditujukan terutama pada skala regional dan menghasilkan matrik baris

dan kolom yang merupakan gambaran dari peta faktor keamanan dari kestabilan

lereng.

Page 35: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

16

Kohesi memiliki pengaruh kekuatan yang kecil pada lereng-lereng dengan dimensi

yang besar. Namun pada lereng terjal dengan kedalaman bidang gelincir yang

dangkal kohesi memiliki pengaruh yang besar (Iverson dkk., 1997).

Kohesi cenderung melemah dengan adanya pergerakan tanah yang besar. Pengaruh

mineralogi tanah lempungan juga memberikan kontribusi pada kekuatan kohesi

material disebabkan oleh bentuk orientasi dari mineralogi dengan reorientasi

mineral pipih yang paralel dengan bidang deformasi akan menurunkan kekuatan

material lempungan. Material dengan kadar lempung di bawah 25% akan lebih

menyerupai material pasir dengan sudut geser dalam lebih besar dari 20º

(Skempton, 1985).

Page 36: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

17

Bab III Geologi Daerah Penelitian

III.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada lokasi laboratorium dan lapangan. Lokasi laboratorium

berada di Laboratorium Geologi Teknik, Institut Teknologi Bandung. Lokasi

lapangan berada pada Desa Weninggalih dan Desa Wangun, Kecamatan

Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Indonesia.

III.1.1 Lokasi lapangan

Lapangan penelitian berada di barat daya dari Kota Bandung, di selatan dari

Bendungan Saguling. Wilayah administrasi daerah penelitian masuk dalam Desa

Weninggalih dan Desa Wangun, Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung

Barat, Provinsi Jawa Barat, Negara Indonesia seperti terlihat pada Gambar III-1.

Wilayah penelitian berada di sisi barat Pulau Jawa, relatif di sisi selatan pada sumbu

panjang pulau.

Gambar III-1. Posisi lokasi daerah penelitian ditandai kotak warna merah, relatif

terhadap Pulau Jawa dan wilayah administrasi Kota Bandung.

Page 37: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

18

Lapangan berada pada bagian utara Zona Pengunungan Selatan Jawa Barat,

berbatasan dengan Zona Gunungapi Kuarter seperti terlihat pada Gambar III-2.

Elevasi di sekitar daerah penelitian berkisar dari 200 meter di sisi utara-barat laut

dan 2600 meter di atas permukaan laut pada sisi timur-tenggara. Daerah penelitian

berada pada elevasi 900 – 1100 meter di atas permukaan laut,

Gambar III-2. Fisiografi dan elevasi regional dari wilayah penelitian. (Sumber:fisiografi dari Van Bemmelen (1949), elevasi dari citra SRTM) (van Bemmelen, 1949)

Page 38: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

19

III.1.2 Lokasi laboratorium

Lokasi laboratorium berada di lantai 4, Gedung Labtek IV, Program Studi Teknik

Geologi, Insitut Teknologi Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat, Indonesia.

III.2 Sifat Fisik dan Material

Material yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua lokasi. Material

kontrol diambil dari Formasi Ngrayong, yang berada di Jawa Timur. Material uji

yang lain adalah material tanah residual volkanik dari Formasi Beser (Koesmono

dkk., 1996).

Material Formasi Ngrayong yang digunakan dalam penelitian adalah pasir kuarsa

(arenite quartz), berasal dari batuan sedimen berumur Miosen. Pasir ini

(selanjutnya disebut sebagai Pasir Ngrayong) merupakan pasir yang telah diproses

dengan dioven dan diayak sehingga material berada pada ukuran pasir dengan

kisaran ukuran butir adalah 0,389 mm sampai 0,282 mm (mesh 40 – mesh 50).

Keseragaman butir material ini dengan demikian adalah bagus (well graded). Sifat

fisik dan mekanik dari pasir ini dapat dilihat pada Tabel III-1.

Material uji dari tanah residual, pelapukan Tuf Formasi Beser, diambil dari satu

lokasi yaitu di Desa Weninggalih, Kecamatan Sindangkerta. Tanah yang

dimodelkan secara analog merupakan tanah yang ukuran pasir lanauan dari lokasi

di Desa Weninggalih tersebut. Sedangkan tanah yang dimodelkan secara analitik

(dengan perangkat lunak) saja adalah beberapa jenis tanah yang merupakan

representasi tanah di lokasi tersebut (dari beberapa titik), dan umumnya adalah

tanah lanau hingga tanah lempung seperti terlihat di Tabel III-1.

Sehingga terdapat tiga macam jenis tanah yang dimodelkan dalam analisis

penelitian ini, yaitu:

- Pasir Formasi Ngrayong (disebut Pasir Ngrayong dalam tulisan ini)

- Tanah Pasir Lanauan Sindangkerta (disebut Tanah Pasir Sindangkerta

dalam tulisan ini)

- Tanah residual volkanik lanau hingga lempung Sindangkerta (disebut

Tanah Lanau Lempungan Sindangkerta dalam tulisan ini)

Page 39: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

20

Tabel III-1. Ringkasan sifat fisik dan mekanik material yang digunakan dalam pemodelan.

III.2.1 Model Analog

Material model analog terdiri dari material Pasir Ngrayong dan Tanah Pasir

Sindangkerta. Kedua jenis material tersebut dapat ditaburkan dan dibentuk hingga

memiliki lereng 40° dan ketinggian material mencapai 45 cm.

Material Pasir Ngrayong disiapkan dan dipreparasi di Laboratorium Geodinamik

ITB dan merupakan bagian dari Pemodelan Sandbox untuk memodelkan efek

tektonik. Sifat fisik dan mekanik pasir ini dapat dilihat pada Tabel III-1. Butiran

pasir ini secara umum adalah menyudut tanggung seperti terlihat pada Gambar

III-3b. Pasir yang digunakan telah diwarnai menjadi kuning untuk mempermudah

melihat aliran air pada saat diberikan simulasi curah hujan seperti terlihat pada

Gambar III-3a.

Sifat fisik dan mekanik materialPasir Formasi

Ngrayong

Tanah residual Volkanik Tuf

Sindangkerta, dengan

remolded (dibentuk ulang)

Tanah Residual Volkanik Tuf

Sindangkerta (asli)

KeteranganMaterial kontrol

laboratorium

Material tanah residual yang

diproses untuk model analog

melalui pengeringan,

pencampuran dengan kadar air

tertentu

Material tanah asli yang diambil

dan kemudian diuji (undisturbed)

komposisi

Pasir, mesh 40 s/d

mesh 50 (0,389 s/d

0,282 mm)

Pasir lanauan sampai pasir

lempungan (SW-SP)

Lanau plastisitas rendah hingga

lempung plastistitas tinggi (ML,

MH, CL, CH)

Sudut geser dalam30°

rata-rata 29,7°, rentang dari

28.9° hingga 30.6°

rata-rata 30°, rentang dari 20,2°

s/d 31.6°

Kohesi0,5 s/d 1 kPa

rata-rata 1,53 kPa, rentang

antara 0,58 s/d 3,18 kPa

rata-rata 5 kPa, rentang dari 3,7

hingga 6,5 kPa

densitas kering 14.04 KN/m3 14.25 KN/m3 14.57 KN/m3

void ratio 0,8 0,75rata-rata 0,63, kisaran dari 0,52

s/d 0,75

Kadar air awal 7% 25% 19%

Konduktivitas hidrolik

(Koefisien permeabilitas)

jenuh

1x10-3 cm/detik 2,5x10-4 cm/detik 1x10-6 cm/detik

Page 40: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

21

Gambar III-3. Pasir Ngrayong yang dibentuk pada modul akrilik (a) dan gambaran

butiran pasir kuarsa Formasi Ngrayong dari material uji (b).

Sementara material dari tanah asli Desa Weninggalih memiliki variasi seperti

terlihat pada Lampiran A dengan resume pada Tabel III-1. Pada percobaan awal

dengan beberapa variasi sudut lereng, material tanah asli diambil sebelum

dilakukan simulasi hujan, dan diukur parameternya. Umumnya tanah memiliki

gradasi buruk dan masuk dalam klasifikasi tanah pasir.

Plastisitas tanah pasir ini tergolong cukup tinggi disebabkan oleh kandungan

mineral lempungnya yang berpengaruh pada keliatan tanah. Mineral lempungnya

diperkirakan sama dengan material Tanah Lanau Lempungan Sindangkerta (tabel

XRD, Lampiran A)Sementara itu nilai koefisien permeabilitas tanah berkisar pada

orde 10-4 cm/detik. Nilai kohesi material berkisar pada 0.5 sampai 3.2 kPa, dengan

sudut geser dalam berkisar pada 30º.

III.2.2 Sifat Fisik Material Lokasi Lapangan

Sementara itu tanah asli di kondisi lapangan umumnya merupakan tanah lanau

ataupun tanah lempung dengan plastisitas rendah hingga tinggi (Lampiran A).

Sudut geser dalam menunjukkan variasi dari 26° hingga 36° dengan variasi kohesi

3,7 hingga 6,53 kPa.

Sementara itu, data dari penelitian sebelumnya (Kartiko, 2009) seperti terlihat pada

Lampiran A, permeabilitas di sekitar Desa Weninggalih berada pada orde 10-6

cm/detik. Nilai kohesi material berkisar antara 8 hingga 18 kPa, sudut geser dalam

pada kisaran 8º hingga 45º.

Page 41: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

22

Ketebalan tanah bervariasi dari 0.5 hingga 1.5 meter. Pada Gambar III-4 nampak

tanah memiliki tebal sekitar 0.5 meter pada daerah kupasan tebing. Singkapan tuf

yang agak lapuk terlihat berwarna putih dengan oksidasi berwarna kecoklatan.

Mineralogi tanah dari uji XRD (Lampiran A) menunjukkan kandungan mineral

lempung montmorilonit, kaolinit, selain juga mineral hematit, kuarsa, kristobalit.

Gambar III-4. Tanah pada lokasi lapangan, merupakan pelapukan tuf volkanik Fm.

Beser.

Gambar III-5. Profil pelapukan pada tuf dengan tuf yang lebih segar di bagian

bawah relatif lembab. Tanah pelapukan hanya memiliki tebal sekitar 10 cm dan tertutupi oleh tanah humus ladang.

Page 42: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

23

III.3 Hambatan Jenis Lokasi Lapangan (Geolistrik)

Berdasarkan 12 lintasan geolistrik dengan bentang perlintasan sepanjang 72 meter,

jarak antar elektroda 1.5 meter didapatkan profil resisitivitas hingga kedalaman 11

meter yang dinilai cukup untuk analisis kestabilan lereng longsoran dangkal.

Pseudo section pada Gambar III-6 menunjukkan sebaran hambatan jenis pada nilai

yang relatif rendah dan dominan berada hingga sekitar 250 Ohm. Sedangkan daerah

dengan hambatan jenis di bawah 50 Ohm menunjukkan konsentrasi di bagian

bawah dari sistem lereng, dan sebagian pada tekuk lereng di bagian atas.

Sebaran nilai hambatan jenis ini mempengaruhi penentuan kedalaman muka air

tanah awal pada pemodelan kestabilan lereng, dan juga mempengaruhi zonasi jenis

tanah pada pemodelan. Tanah yang pasiran cenderung dimasukkan pada zona

dengan hambatan jenis rendah, sedangkan tanah yang lempungan disebarkan pada

zona dengan hambatan jenis yang lebih tinggi.

Keseluruhan penampang hambatan jenis dua dimensi dapat dilihat pada Lampiran

D. Perlu dicermati dalam lampiran tersebut bahwa legenda warna tiap penampang

berbeda-beda, tidak menunjukkan interval yang sama. Oleh karena itu perlu dilihat

terlebih dahulu legenda warna dan rentang nilai hambatan jenis yang tertera pada

legenda.

Page 43: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

24

Gambar III-6. Hambatan jenis (dalam ohm) pseudo 3D untuk lokasi lapangan.

Daerah dengan hambatan jenis rendah (kurang dari 50 ohm) terdapat pada tekuk lereng di bagian bawah dan juga pada bagian atas lereng (warna biru).

Page 44: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

25

Bab IV Analisis

IV.1 Pemodelan Analog Longsoran Dangkal

Pemodelan analog dilakukan pada dua skenario utama dengan memperlihatkan

variasi curah hujan dan variasi koefisien permeabilitas model lereng material (Pasir

Ngrayong dan Tanah Pasir Sindangkerta). Pada skenario dimana model lereng

material Tanah Pasir Sindangkerta dengan hanya diberikan curah hujan tidak

menghasilkan longsoran.

Skenario lainnya adalah dengan memberikan batas material jenuh dan material

tidak jenuh dengan artifisial. Skenario ini dilakukan dengan menumpuk material

jenuh air dengan permeabilitas rendah (Tanah Pasir Sindangkerta) dengan material

tidak jenuh , dan kemudian diberikan curah hujan dengan pengamatan hingga

terjadi longsor.

Terdapat perbedaan hasil pemodelan analog pada kedua macam material (Gambar

IV-1). Pada material Pasir Ngrayong menunjukkan terjadinya longsoran, sedangkan

pada material Tanah Pasir Sindangkerta kurang menunjukkan proses longsoran dan

dominan mengalami erosi.

Page 45: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

26

Gambar IV-1. Skenario pemodelan analog, meliputi material pasir Formasi Ngrayong, dan tanah asli dari Sindangkerta dengan jenis pasir lempungan.

IV.1.1 Material Pasir Ngrayong

Pemodelan material pasir dengan satu lapisan Gambar IV-2 menunjukkan

longsoran terjadi pada kaki lereng, dengan diawali adanya ponding. Curah hujan

yang diberikan berkisar dari 40 mm/jam hingga 150 mm/jam.

Sementara pada simulasi dengan dua lapisan longsor terjadi lebih cepat pada menit

ke dua puluh Gambar IV-3. Longsoran pada simulasi dua lapisan bergerak dari toe

(kaki) lereng ke arah atas. Awal longsoran terbentuk karena rembesan di bagian

kaki lereng.

1 Jenis material

2 Jenis Material,

bagian bawah

pasir lempungan

Sindangkerta

Pasir Fm.

Ngrayong

Pasir Lempungan

Sindangkerta

Bagian atas

Pasir Fm.

Ngrayong

Bagian atas

material dari Pasir

Lempungan

100% Material

atas > Mesh 50

Pasir mesh>50 +

50% dari bagian

fraksi halus

Pasir mesh>50 +

70% dari bagian

fraksi halus

Longsor

Tidak Longsor

Hujan 40 mm/jam

Hujan 100 mm/jam

Hujan 40 mm/jam

Hujan 100 mm/jam

Hujan 40 mm/jam

Hujan 100 mm/jam

Hujan 40 mm/jam

Hujan 100 mm/jam

Hujan 40 mm/jam

Hujan 100 mm/jam

Hujan 40 mm/jam

Hujan 100 mm/jam

Tidak Longsor

Tidak Longsor

Longsor

Tidak Longsor

Longsor

Tidak Longsor

Tidak Longsor

Tidak Longsor

Tidak Longsor

Tidak Longsor

Page 46: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

27

Gambar IV-2. Longsoran pada material pasir dengan model satu lapisan.

Gambar IV-3. Longsoran pada material pasir dengan model 2 lapisan.

Page 47: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

28

IV.1.2 Material Tanah Pasir Sindangkerta

Proses simulasi pada tanah dengan satu lapis material berisi Tanah Pasir

Sindangkerta tidak menunjukkan adanya longsoran seperti terlihat pada Gambar

IV-4. Ponding (kolam) yang menunjukkan kejenuhan material di bagian bawah

lereng terjadi setelah 1 jam pemberian curah hujan dengan intensitas 100 mm/jam.

Erosi awal terjadi membentuk teras-teras kecil yang sejajar dengan arah lereng.

Setelah beberapa lama erosi berkembang intensif pada salah satu sisi lereng dan

mengikis material pasir dengan kohesi yang lebih rendah. Proses yang terbentuk

kemudian adalah lubang-lubang dengan membentuk pinnacle (kerucut-kerucut)

yang masih berbentuk membulat pada saat sekitar 2 jam dari awal pemberian hujan.

Gambar IV-4. Proses erosi ekstensif pada material Tanah Pasir Sindangkerta.

Proses simulasi diteruskan hingga 240 menit (4 jam) dan tidak menunjukkan

adanya longsoran pada simulasi dengan satu jenis material.

IV.2 Analisis Model Lereng Tak Hingga Tiga Dimensi

IV.2.1.1 Material Pasir Ngrayong

Pada pemodelan analog, material pasir dengan dua lapisan dengan bagian bawah

adalah pasir lempungan (tebal 35 cm) dan bagian atas adalah pasir Formasi

Ngrayong (tebal 10 cm) mengalami longsoran pada menit ke 20, terlihat pada

Gambar IV-3.

Page 48: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

29

Sementara itu pada pemodelan dengan model lereng tak hingga (Program TRIGRS)

menunjukkan pada menit ke 20 terdapat zona kritis pada bagian bawah lereng

lapisan pasir Fm. Ngrayong, namun belum sampai pada nilai FK = 1 (Gambar

IV-5).

Parameter kohesi memiliki pengaruh yang dominan pada model dengan skala yang

kecil. Variasi sedikit dari kohesi menyebabkan nilai FK turun dengan cepat.

Sementara itu parameter koefisien permeabilitas, sudut geser dalam, relatif kurang

berpengaruh pada skala model dengan ukuran kecil.

Gambar IV-5. Pemodelan FK dengan model lereng tak hingga. Nilai FK bagian

paling bawah sekitar 1.2 pada saat 1200 detik (20 menit) dengan curah hujan 100 mm/jam. Longsor terjadi pada menit ke 30. Penurunan FS relatif cepat pada awal dengan kontrol utama adalah kohesi material.

Berdasarkan model simulasi yang ada, gaya seepage belum memilki pengaruh pada

pemodelan, disebabkan pertumbuhan muka airtanah yang masih berada

terkonsentrasi pada zona bagian bawah (belum ada yang mencapai permukaan

lereng).

Page 49: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

30

IV.2.1.2 Material Tanah Pasir Sindangkerta

Pemodelan komputasi pada material pasir lempungan memperlihatkan nilai FK

yang relatif berada di atas 1.5 pada waktu pemberian hujan yang cukup lama (12

jam). Pada kondisi asli, tanah pasir lempungan dengan sistem dua lapisan relatif

susah untuk mengalami longsor hingga sekitar 12 jam. Diperlukan gaya seepage

yang lama dan adanya aliran di kaki lereng untuk memicu longsoran.

Gambar IV-6. Pemodelan FK model lereng tak hingga untuk material pasir

lempungan dengan waktu sekitar 12 jam, curah hujan 100 mm/jam. Pada model ini tidak terjadi longsoran. Penurunan FK relatif epat pada awal simulasi dengan kontrol utama parameter kohesi material. Tanah pasir lempungan sedikit lebih kohesif dibanding material pasir Fm. Ngrayong.

IV.2.2 Daerah Lapangan (Tanah Lanau Lempungan Sindangkerta)

Faktor keamanan yang dihasilkan pada skala lapangan menunjukkan daerah secara

dominan berada pada zona FK lebih dari 1 dan kurang dari 3 (Gambar IV-7). Zona

yang paling rawan longsor berada di sisi selatan dan sisi utara. Daerah tengah relatif

berada pada kondisi aman. Sementara itu dari kondisi di lapangan, daerah di bagian

atas dan di bawah memiliki tingkat kerawanan yang tinggi terlihat dari dipasangnya

perkuatan oleh warga sekitar untuk menahan agar tidak terjadi gerakan tanah.

Wilayah di barat dari zona dengan faktor keamanan yang tinggi umumnya memiliki

tingkat faktor kestabilan lereng yang rendah saat dilihat di lapangan.

Page 50: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

31

Gambar IV-7. Faktor keamanan pada skala lapangan, dengan panjang 135 m, lebar

100 meter.

IV.3 Metode Kesetimbangan Batas Longsoran Dangkal

Analisa kesetimbangan batas memperlihatkan bahwa lereng pada skala

laboratorium tergolong stabil Gambar IV-8. Kenaikan muka airtanah akibat hujan

masih belum menyebabkan terjadinya longsor.

Page 51: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

32

Gambar IV-8. Kestabilan lereng dengan metode kesetimbangan batas pada modul

analog laboratorium dengan 1 lapisan.

IV.4 Analisis Numerik Rembesan pada Lereng

Rembesan secara numerik merupakan gabungan dari fungsi infiltrasi oleh Richards

(1931) dan aliran Darcy. Kondisi batas yang diberikan adalah curah hujan dengan

dua skenario, yaitu 40 mm/jam dan 100 mm/jam.

Gambar IV-9. Model aliran airtanah dalam lereng pada model lokasi lapangan.

Page 52: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

33

IV.5 Modifikasi Kestabilan Lereng Tak Hingga

Penguraian komponen vektor S (rembesan/seepage) pada zona jenuh di permukaan

menjadi dasar modifikasi persamaan Faktor Keamanan untuk lereng tak hingga.

Nilai 𝛽 (Persamaan (7), Gambar II-6) memiliki pengaruh yang besar terhadap

perubahan kestabilan. Pada lereng tak hingga, kecenderungan nilai 𝛽 diambil dari

kecepatan naiknya zona seepage pada tekuk lereng. Pada lereng dengan kecepatan

kenaikan tekanan pori yang rendah, nilai 𝛽 cenderung lebih kecil dibandingkan

dengan daerah yang memiliki kecepatan kenaikan tekanan pori (build up seepage)

yang lebih besar. Pada akhirnya ini menyebabkan bahwa nilai 𝛽 cenderung

mendekati horizontal pada zona dengan kecepatan naik muka airtanah yang tinggi.

Formula dengan memberikan pengaruh dari seepage vector ini dipengaruhi oleh

kekuatan kohesi material, sehingga menjadi dua opsi formula yang berbeda antara

vektor pada zona kohesi rendah (cohesionless) dibandingkan dengan tanah yang

kohesif (Nishigaki dkk., 1996).

Implementasi vektor ini ditambahkan pada formula dasar faktor keamanan

TRIGRS sehingga model memiliki fungsi gaya tekanan air pori secara lateral. Pada

sisi teknisnya penguraian gaya tekanan pori dan arah rembesan sulit untuk

diselesaikan dengan solusi analitis karena kompleksitas pergerakan infiltrasi air di

dalam tanah. Oleh karena itu pendekatan numerik dapat diberikan untuk

menguraikan gaya rembesan tersebut. Penguraian dua dimensi tersebut

Secara umum modifikasi ini memberikan nilai kestabilan lereng yang lebih

menggambarkan keadaan asli dari lereng, terutama pada saat muka airtanah naik

dengan cepat.

IV.5.1 Modul Analog

IV.5.1.1 Material Pasir Ngrayong

Pada material pasir nampak modifikasi formula memberikan pengurangan nilai

pada perubahan sudut lereng di bagian bawah, dan membuat zona tersebut tidak

stabil lebih cepat dibandingkan bila tanpa menggunakan formula modifikasi.

Page 53: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

34

Gambar IV-10. Pemodelan FK lereng tak hingga dengan modifikasi gaya seepage

pada material pasir Fm. Ngrayong.

IV.5.1.2 Material Tanah Pasir Sindangkerta

Pada material pasir lempungan, ketika zona pembentukan muka airtanah terlalu

pelan dan runoff terlalu besar, maka waktu terjadinya seepage menjadi semakin

lama. Dan pada akhirnya seepage yang terjadi juga kurang memiliki kekuatan

vektor lateral sehingga tingkat kestabilan lereng tetap cukup tinggi di bagian tekuk

lereng.

Page 54: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

35

Gambar IV-11. Pemodelan FK lereng tak hingga dengan modifikasi gaya seepage

pada material pasir lempungan.

IV.5.2 Daerah Lapangan (Tanah Lanau Lempungan Sindangkerta)

Modifikasi seepage memberikan gambaran jelas berkurangnya stabilitas pada zona

tekuk lereng, terutama pada saat terjadi kenaikan muka airtanah yang cepat hingga

menyentuk permukaan lereng yang cekung tersebut. Daerah ini dapat terlihat di

bagian utara, dan juga memperkuat ketidakstabilan di bagian selatan dari lapangan.

Page 55: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

36

Gambar IV-12. Hasil modifikasi nilai FK pada skala lapangan, dengan

mempertimbangkan faktor vektor rembesan (seepage vector).

Page 56: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

37

Bab V Kesimpulan

Penelitian dilakukan pada skala laboratorium dan skala lapangan untuk melihat

proses perkembangan kestabilan lereng pada beberapa jenis material. Berdasarkan

hasil yang teramati, material dengan komposisi pasir yang dominan lebih bagus

untuk diamati perkembangan pergerakan massanya dibandingkan material dengan

komposisi lempungan, terutama pada skala laboratorium. Proses longsoran dapat

terlihat jelas pada material dengan komposisi pasir dengan gradasi material yang

baik. Pada material yang mengandung fraksi lempung, proses erosi lebih dominan

terjadi pada skala laboratorium.

Rembesan pada bagian bawah lereng mempengaruhi kestabilan lereng. Longsoran

pada material pasiran terjadi dengan didahului adanya rembesan air di bagian

bawah lereng (toe).

Gaya rembesan pada tekuk lereng dapat dimodelkan pada analisis kestabilan lereng

tak hingga sehingga memberikan pengaruh pengurangan nilai Faktor Keamanan,

Pengaruh rembesan (seepage) ini dikombinasikan dengan kurvature dari lereng,

dimana gaya rembesan akan lebih besar pada morfologi dengan tekuk lereng negatif

(cekung) dilihat dari arah aliran rembesan.

Page 57: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

38

DAFTAR PUSTAKA

Acharya, G., Cochrane, T. A., Davies, T., dan Bowman, E. (2009). The influence of shallow landslides on sediment supply: A flume-based investigation using sandy soil. Engineering Geology, 109, (161–169).

Acharya, G., Cochrane, T., Davies, T., dan Bowman, E. (2011). Quantifying and modeling post-failure sediment yields from laboratory-scale soil erosion and shallow landslide experiments with silty loess. Geomorphology, 129, (49–58).

Ahmadi-Adli, M., Toker, N. K., dan Huvaj, N. (2014). Prediction of Seepage and Slope Stability in a Flume Test and an Experimental Field Case. Procedia Earth and Planetary Science, 9, 189 – 194.

Baum, R. L., Savage, W. Z., dan Godt, J. W. (2009). TRIGRS-A Fortran Program for Transient Rainfall Infiltration and Grid-Based Regional Slope- Stability Analysis, Version 2.0. United States Geological Survey.

Cui, P., Guo, C., Zhou, J., Ming-huiHao, dan Xu, F. (2014). The mechanisms behind shallow failures in slopes comprised of landslide deposits. Engineering Geology, Vol. 180, (34–44).

Das, B. M. (2010). Principles of Geotechnical Engineering (7 ed.). USA: Cengage Learning.

Egeli, I., dan Pulat, H. F. (2011). Mechanism and modelling of shallow soil slope stability during high intensity and short duration rainfall. Scientia Iranica, 18, 9.

Fredlund, D. G., dan Rahardjo, H. (1993). Soil mechanics for unsaturated soils. John Wiley & Sons.

Iverson, R. M. (2000). Landslide triggering by rain infiltration. Water Resources Research, 36, 1897–1910.

Iverson, R. M., dan Major, J. J. (1986). Groundwater seepage vectors and the potential for hillslope failure and debris flow mobilization. Water Resources Research, 22(11), 1543–1548.

Iverson, R. M., Reid, M. E., dan LaHusen, R. G. (1997). Debris-flow Mobilization from Landslides. Annv. Rev. Earth Planet, 25, 85–138.

Kartiko, R. D. (2009). Evaluation of Landslide Susceptibility in The Tropical Mountainous Region of Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat, West Java (Thesis). Insitut Teknologi Bandung, Bandung.

Kim, M. S., Onda, Y., Kim, J. K., dan Kim, S. W. (2015). Effect of topography and soil parameterisation representing soil thicknesses on shallow landslide modelling. Quaternary International, 384, 91–106.

Koesmono, M., Kusnama, dan Suwarna, N. (1996). Geologic Map of The Sindangbarang and Bandarwaru Quadrangles, Jawa. Bandung: Geological Research and Development Agency of Indonesia.

Liao, Z., Hong, Y., Fukuoka, H., dan Sassa, K. (2009). Evaluation of Physically-based Model’s Predictive Skill for Hurricane-triggered Landslides: Case Study in North Carolina and Indonesia (Vol. 1, hal. 03). Dipresentasikan pada AGU Fall Meeting Abstracts.

Liu, Q. Q., dan Li, J. C. (2015). Effects of Water Seepage on the Stability of Soil-slopes. IUTAM Symposium on the Dynamics of Extreme Events Influenced

Page 58: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

39

by Climate Change (2013), 17, 29–39. http://doi.org/10.1016/j.piutam.2015.06.006

Ni, P., Wang, S., Zhang, S., dan Mei, L. (2016). Response of heterogeneous slopes to increased surcharge load. Computers and Geotechnics, 78, 99–109. http://doi.org/10.1016/j.compgeo.2016.05.007

Nishigaki, M., Tohari, A., dan Komatsu, M. (1996). Stress and seepage vector system on stability analysis of hillslope. Proceeding of the China/Japan International Conference on Water Environments and Disaster Prevention, 160–166.

Richards, L. A. (1931). Capillary conduction of liquids through porous mediums. Journal of Applied Physics, 1(5), 318–333.

Seep/W. (2012). An Engineering Methodology : Seepage Modeling (July 2012). GEO-SLOPE International Ltd.

Skempton, A. (1985). Residual strength of clays in landslides, folded strata and the laboratory*. Geotechnique, 35(1), 3–18.

Tofani, V., Dapporto, S., Vannocci, P., dan Casagli, N. (2006). Infiltration, seepage and slope instability mechanisms during the 20-21 November 2000 rainstrom in Tuscany, central Italy. Natural Hazards and Earth System Sciences, 6, 1025–1033.

Tohari, A., Nishigaki, M., dan Komatsu, M. (2000). Laboratory Experiements on Inititation of Rainfall-Induced Slope Failure with Moisture Content Measurement.

van Bemmelen, R. W. (1949). The Geology of Indonesia, Vol.1,1A. Den Haag: Netherland Government Printing Office.

Vandamme, J., dan Zou, Q. (2013). Investigation of slope instability induced by seepage and erosion by a particle method. Computers and Geotechnics, 48, 12.

Page 59: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

40

LAMPIRAN

Page 60: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

41

Lampiran A Sifat fisik dan mekanik material

Tanah Pasir Sindangkerta

Klasifikasi jenis tanah pada beberapa variasi sudut lereng modul analog seperti

terlihat pada Tabel Lampiran 1. Modul analog awal bervariasi dari 15 hingga 45

derajat dengan tujuan untuk melihat proses longsoran yang terjadi di tiap sudut

lereng. Namun pada akhirnya pada ketiga jenis lereng tersebut tidak terjadi longsor

dan terjadi erosi yang ekstensif.

Secara umum tanah yang digunakan adalah tanah pasir dengan karakter bergradasi

buruk dan sebagian bergradasi baik. Kecenderungan nama tanah adalah pasir

lanauan dengan karakter gradasi yang buruk. Hal ini menunjukkan pengaruh dari

pelapukan residual Tuf yang tidak seragam bahkan dalam jarak yang berdekatan.

Sampel tanah yang dimodelkan dalam skala laboratorium diambil dari lokasi seluas

4 x 1 m2.

Tabel Lampiran 1. Klasifikasi jenis tanah yang digunakan dalam pemodelan analog

Plastisitas tanah modul analog relatif tinggi terlihat dari nilai indeks plastisitas pada

Tabel Lampiran 2. Hal ini diperkirakan menyebabkan daya ikat yang menjadikan

material susah untuk mengalami longsor pada skala laboratorium. Kohesi yang

dibangun oleh plastisitas tanah tersebut diperkirakan membuat material menjadi

stabil.

Modul45_1 pasir lempungan 9.29 0.27 poorly graded SP

Modul45_2 pasir lempungan 16.13 1.86 well graded SW

Modul45_3 pasir lanauan 8.67 0.90 poorly graded SP

Modul30_1 pasir lanauan 7.87 0.73 poorly graded SP

Modul30_2 pasir lanauan 8.40 0.65 poorly graded SP

Modul30_3 pasir lanauan 7.19 0.63 poorly graded SP

Modul15_1 pasir lanauan 6.83 1.48 well graded SW

Modul15_2 pasir lempungan 10.26 1.85 well graded SW

Modul15_3 pasir lanauan 6.16 0.78 poorly graded SP

Cc

Karakter

TanahNama (USCS)Sampel

Nama Cu

Page 61: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

42

Tabel Lampiran 2. Plastisitas tanah modul analog

Tabel Lampiran 3. Koefisien permeabilitas (Konduktivitas hidraulik) jenuh tanah

pasir, diuji dengan metode falling head

Page 62: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

43

Tabel Lampiran 4. Nilai Kohesi dan sudut geser dalam dari Tanah Pasir

Sindangkerta.

Tanah Lanau Lempungan Sindangkerta

Tanah lokasi yang dipilih untuk pemodelan analitik memiliki klasifikasi jenis tanah

dari lanau dengan plastisitas rendah (ML), lanau plastisitas tinggi (MH), lempung

plastistas rendah (CL) hingga lempung dengan plastistas tinggi (CL) seperti terlihat

pada Tabel Lampiran 5. Sebanyak dua puluh sampel tanah pemboran dangkal

dikumpulkan pada lokasi lapangan dan menunjukkan variasi yang cukup besar

dalam luasan tanah sekitar 80 meter x 130 meter.

Kohesi dan sudut geser dalam dari material dapat dilihat pada Tabel Lampiran 6

yang menunjukan nilai kohesi masih rendah untuk skala insitu yaitu di bawah 10

kPa. Sementara itu sudut geser dalam menunjukkan variasi dari 26° hingga 36°

yang cukup wajar untuk tanah lempungan.

kohesiSudut geser

dalam

koefisien

permeabilitas

Kpa ˚ cm/detik

Modul45_1 3.18 30.43 2.54E-04

Modul45_2 2.18 29.28 8.38E-05

Modul45_3

Modul30_1 1.40 29.86 2.31E-04

Modul30_2 1.14 28.89 1.70E-04

Modul30_3

Modul15_1 0.67 29.08 2.83E-04

Modul15_2 0.58 30.63 2.64E-04

Modul15_3

Sampel

Page 63: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

44

Tabel Lampiran 5. Densitas (KN/m3), void ratio, dan klasifikasi tanah pada lokasi lapangan di Desa Weninggalih.

Tabel Lampiran 6. Sebaran sudut geser dalam dan kohesi pada tanah di lokasi

lapangan di Desa Weninggalih.

C-01 14.95 0.47 14.95 MH

C-02 13.01 0.52 13.01 CH

C-03 13.15 0.52 13.15 MH

C-04 13.07 0.52 13.07 MH

C-05 14.40 0.54 14.40 ML

C-06 15.31 0.49 15.31 ML

C-07 14.12 0.47 14.12 CH

C-08 15.30 0.49 15.30 MH

C-09 14.79 0.46 14.79 MH

C-10 13.66 0.53 13.66 CL

C-13 14.65 0.47 14.65 CH

C-14 14.22 0.48 14.22 CL

C-15 13.78 0.53 13.78 CH

C-16 14.52 0.56 14.52 MH

C-17 14.85 0.47 14.85 MH

C-18 13.92 0.53 13.92 CH

C-19 13.86 0.48 13.86 MH

C-20 14.51 0.47 14.51 MH

C-21 13.80 0.52 13.80 CH

C-23 13.21 0.68 13.21 CH

Klasifikasi

TanahDry unit

weightVoid ratio (e)

Sampel Unit weight

of solid

Sampel Kohesi (kPa) Sudut geser dalam

C-01 6.53 26.19

C-05 4.36 36.41

C-06 4.36 23.26

C-08 4.41 31.58

C-09 6.53 26.19

C-13 4.80 36.41

C-15 5.12 26.19

C-17 5.88 31.58

C-18 3.71 36.41

C-21 5.23 26.19

Page 64: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

45

Gambar Lampiran 1. Plot XRD data tanah residual tuf volkanik kedalaman 0,8 –

1,0 meter di lokasi Desa Weninggalih, Kecamatan Sindangkerta.

Tabel Lampiran 7. Tabel jenis-jenis mineral pada tanah residual tuf volkanik kedalaman 0,8 – 1,0 meter di lokasi Desa Weninggalih, Kecamatan Sindangkerta

Page 65: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

46

Gambar Lampiran 2. Lokasi sampel tanah Desa Weninggalih dan Sekitarnya dari

penelitian sebeumnya (Kartiko, 2009).

Tabel Lampiran 8. Sifat tanah di Desa Weninggalih dan sekitarnya dari penelitian sebelumnya (Kartiko, 2009).

Page 66: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

47

Lampiran B Kondisi longsoran dan tanah di daerah Bandung Selatan (Cililin, Sindangkerta)

Longsoran dangkal pada daerah Bandung Selatan terjadi secara periodik, salah

satunya adalah longsoran di Kampung Radio, Desa Cililin (Gambar Lampiran 3)

yang disertai dengan limpasan air permukaan yang cukup deras. Sudut lereng pada

lokasi longsor berkisar pada 35º, dengan panjang longsoran mencapai 200 meter

dengan lebar longsoran sekitar 10 meter, dan kedalaman bidang longsoran kurang

dari 2 meter.

Gambar Lampiran 3. Longsoran dangkal pada tahun 2015 di sekitar Kecamatan

Cililin, dengan batuan dasar adalah lava andesit.

Tipikal longsoran di daerah Kecamatan Sindangkerta terjadi pada kebun/ladang dan

sawah seperti terlihat pada Gambar Lampiran 4. Kedalaman bidang longsor

umumnya kurang dari 2 meter, dengan lebar longsoran bervariasi dari 2 meter

hingga 15 meter.

Page 67: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

48

Gambar Lampiran 4. Longsoran dangkal di Desa Weninggalih, Kecamatan

Sindagkerta.

Gambar Lampiran 5. Longsoran dan singkapan batuan pada lokasi lapangan

desertasi di Desa Weninggalih. Batuan dasar tersingkap adalah tuf volkanik.

Page 68: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

49

Gambar Lampiran 6. Longsoran di sekitar Desa Weninggalih dari studi sebelumnya

(Kartiko, 2009).

Page 69: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

50

Lampiran C Foto-foto dan keterangan model analog laboratorium

Gambar Lampiran 7. Proses simulasi hujan dan longsoran pada modul dengan

material satu lapisan berupa Pasir Ngrayong, pada hari pertama dengan pemberian curah hujan 40 mm/jam selama enam jam, dan kemudian hujan dihentikan.

Gambar Lampiran 8. Proses simulasi hujan dan longsoran material satu lapisan

berupa Pasir Ngrayong, pada hari pertama dengan pemberian curah hujan 150 mm/jam selama 10 menit. Lereng mengalami longsor di bagian kaki pada zona rembesan, dan kemudian proses simulasi dihentikan.

Page 70: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

51

Gambar Lampiran 9. Longsoran pada modul 2 lapisan dengan lapisan atas adalah

Pasir Ngrayong.

Gambar Lampiran 10. Longsoran pada modul dengan dua lapisan dengan lapisan

bagian atas Tanah Pasir Sindangkerta dengan ukuran lebih besar dari 0,282 mm (mesh 50).

Page 71: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

52

Lampiran D Hasil Lintasan Geolistrik Dua Dimensi

Page 72: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

53

Page 73: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

54

Page 74: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

55

Page 75: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

56

Page 76: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

57

Page 77: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

58

Page 78: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

59

Page 79: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

60

Page 80: analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di

61