analisis tax treaty indonesia-philipina

27
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TANGERANG TUGAS PAJAK INTERNASIONAL ANALISIS TAX TREATY REPUBLIK INDONESIA DENGAN REPUBLIK PHILIPINA Disusun Oleh: I Gede Yudi Henrayana (08320006626/23) Mahasiswa Diploma III Spesialisasi Administrasi Perpajakan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

Upload: gede-yudi-henrayana

Post on 20-Jun-2015

1.101 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Tax Treaty Indonesia-Philipina

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA

TANGERANG

TUGAS PAJAK INTERNASIONAL

ANALISIS TAX TREATY

REPUBLIK INDONESIA DENGAN REPUBLIK PHILIPINA

Disusun Oleh:

I Gede Yudi Henrayana (08320006626/23)

Mahasiswa Diploma III Spesialisasi Administrasi Perpajakan

Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

2010

Page 2: Analisis Tax Treaty Indonesia-Philipina

ANALISIS TAX TREATY

REPUBLIK INDONESIA DENGAN REPUBLIK PHILIPINA

Tax Treaty antara Republik Indonesia dan Republik Philipina ditandatangani

pada tanggal 18 Juni 1981. Tax Treaty ini mulai berlaku sejak 1 Januari 1983. Berikut

adalah analisis per pasal dari Tax Treaty tersebut.

Pasal 1

Pasal 1 mengatur mengenai pihak yang menjadi subjek dari Tax Treaty ini.

Subjek dari Tax Treaty adalah penduduk dari salah satu atau kedua negara pihak pada

persetujuan. Pasal 1 pada OECD Model maupun UN Model sama.

Pasal 2

Pasal 2 mengatur mengenai pajak apa saja yang tercakup dalam Tax Treaty ini.

Pajak yang tercakup antara lain:

Di Indonesia: Pajak Pendapatan, Pajak Perseroan, dan Pajak atas Bunga, Dividen

dan Royalty, yang kemudian disebut Pajak Indonesia.

Di Philipina: Income Tax (Pajak Penghasilan), yang kemudian disebut Pajak

Philipina.

Pasal 2 pada OECD Model maupun UN Model sama.

Pasal 3

Pasal 3 mengatur mengenai definisi istilah-istilah yang terdapat dalam Tax

Treaty ini. Pasal 3 pada OECD Model maupun UN Model mirip, hanya saja urutannya

yang berbeda dan ada lebih banyak definisi istilah pada OECD Model, yaitu definisi

“enterprise” dan “bussiness”. Pasal 3 Tax Treaty antara Republik Indonesia dan Republik

Philipina ini lebih mirip dengan UN Model meskipun urutan defininya berbeda, kata-kata

I Gede Yudi Henrayana (2-A/23) Page 2

Page 3: Analisis Tax Treaty Indonesia-Philipina

yang sedikit berbeda, dan ada satu definisi yang ditambahkan, yaitu definisi tentang

“Indonesia” dan “Philipina”.

Pasal 4

Pasal 4 mengatur mengenai domisili fiskal atau penentuan Subjek Pajak Dalam

Negeri. Menurut Pasal 4 Tax Treaty ini, penentuan Subjek Pajak Dalam Negeri

berdasarkan undang-undang kedua negara. Bila tidak dapat ditentukan menurut

undang-undang, maka status seseorang akan ditentukan berdasarkan tempat di mana

pusat kepentingan pokoknya (centre of vital interest) berada, bila tidak dapat ditentukan

juga maka statusnya akan ditentukan menurut kebiasaannya berdiam. Apabila status

seseorang tidak dapat ditentukan juga dengan ketiga cara di atas, maka status orang

tersebut akan ditentukan melalui mutual agreement yang dilakukan oleh pejabat yang

berwenang (competent authority) dari kedua belah pihak. Pasal 4 Tax Treaty ini tidak

termasuk ke dalam OECD Model maupun UN Model.

Pasal 5

Pasal 5 mengatur mengenai Bentuk Usaha Tetap (BUT). Tax Treaty ini lebih

condong ke UN Model di mana ada ketentuan yang mengatur mengenai batas waktu

proyek konstruksi dan pemberian jasa yang akan dianggap sebagai BUT, yaitu lebih dari

6 bulan (pasal 5 ayat 2i dan 5 ayat 2m). Namun, mengenai batas waktu proyek perakitan

dan pemasangan pada Tax Treaty ini berbeda dengan OECD maupun UN Model, yaitu

lebih dari 3 bulan (Pasal 5 ayat 2j). Pada Tax Treaty ini pengertian BUT diperluas dengan

memasukkan tempat-tempat eksplorasi sumber daya alam, tempat-tempat yang

digunakan untuk melakukan penjualan, dan suatu gudang yang disediakan untuk fasilitas

penyimpanan barang bagi orang/badan lain sebagai pengertian BUT (Pasal 5 ayat 2h, 5

ayat 2k, dan 5 ayat 2l). Pengertian BUT untuk orang/badan yang bertindak di suatu

Negara atas nama perusahaan dari Negara lainnya (kecuali agen yang berdiri-sendiri)

juga diperluas dari pengertian di UN Model dengan menambahkan “kegiatan membuat

atau memproses barang atau dagangan kepunyaan perusahaan untuk kepentingan

perusahaan tersebut”. Pada Tax Treaty ini juga terdapat penjelasan mengenai kegiatan

I Gede Yudi Henrayana (2-A/23) Page 3

Page 4: Analisis Tax Treaty Indonesia-Philipina

asuransi yang termasuk dalam pengertian BUT, yang hanya ada pada UN Model.

Pengertian mengenai kegiatan asuransi tidak ada pada OECD Model.

Pasal 6

Pasal 6 mengatur mengenai penghasilan dari harta tidak bergerak. Pasal 6 ini

sesuai dengan UN Model karena pada Pasal 6 ayat 4 menyatakan bahwa ketentuan

penghasilan dari harta tidak bergerak yang dikenakan pajak di negara tempat harta tidak

bergerak itu berada juga berlaku untuk penghasilan dari harta tidak bergerak yang

digunakan seseorang untuk kegiatan pekerjaan bebas.

Pasal 7

Pasal 7 mengatur mengenai laba usaha. Pasal 7 ayat 1 sesuai dengan UN Model

karena terdapat tambahan ketentuan yang mengatur mengenai laba usaha yang dapat

dikenakan pajak di negara lainnya, yaitu:

1. penjualan-penjualan yang dilakukan di negara lainnya itu dari barang-barang

atau barang dagangan yang sama atau jenisnya serupa seperti yang dijual

melalui BUT; atau

2. kegiatan-kegiatan usaha lainnya yang dijalankan di negara lainnya itu yang sama

atau jenisnya serupa seperti yang dilakukan melalui BUT.

Tax Treaty ini menggunakan UN Model dalam penentuan biaya-biaya yang boleh

dikurangkan dari laba BUT guna menentukan pajak terutang BUT, seperti yang tertuang

pada Pasal 7 ayat 3 dan Pasal 7 ayat 4. Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan

BUT itu, termasuk biaya eksekutif dan administrasi, baik yang dikeluarkan di negara

pendirian BUT ataupun di tempat lain, boleh dikurangkan. Namun, ada beberapa biaya

yang tidak boleh dikurangkan, yaitu pengeluaran yang dilakukan oleh BUT kepada kantor

pusatnya atau kantor-kantor lain dari perusahaan tersebut dalam bentuk royalti, komisi,

atau bunga atas pinjaman, kecuali untuk institusi bank.

Pasal 7 Tax Treaty ini semakin mirip dengan UN Model dengan adanya

ketentuan pada Pasal 7 ayat 6 yang menyatakan bahwa penentuan laba yang menjadi

I Gede Yudi Henrayana (2-A/23) Page 4

Page 5: Analisis Tax Treaty Indonesia-Philipina

bagian dari suatu BUT dilakukan dengan cara yang sama setiap tahun, kecuali jika

terdapat alasan yang kuat dan cukup untuk melakukan perubahan cara penentuan laba.

Pasal 8

Pasal 8 mengatur mengenai penghasilan yang diperoleh oleh perusahaan

perkapalan dan penerbangan udara. Pasal 8 Tax Treaty ini lebih condong ke UN Model

Alternatif B karena terdapat ketentuan yang mengatur bahwa penghasilan dari satu

negara yang diperoleh oleh perusahaan negara yang lain melalui kegiatan perkapalan

dan penerbangan udara dalam lalu lintas internasional dapat dikenakan pajak oleh

negara pertama dengan tarif yang disepakati. Tarif yang disepakati oleh Republik

Indonesia dan Republik Philipina adalah tidak lebih dari 1,5% atau tarif Philipina yang

paling rendah yang dapat dikenakan atas laba yang sejenis, yang diperoleh menurut

keadaan-keadaan yang sama oleh penduduk Negara ketiga. Tarif ini berlaku juga

terhadap laba yang diperoleh dari pengikutsertaan dalam suatu gabungan perusahaan,

suatu usaha kerja sama, atau suatu keagenan usaha internasional.

Pasal 9

Pasal 9 mengenai perusahaan-perusahaan yang saling berhubungan atau

perusahaan yang saling berasiosiasi. Pasal 9 ayat 1 pada Tax Treaty ini sama dengan

OECD Model maupun UN Model. Suatu perusahaan dianggap memiliki hubungan apabila

1. suatu perusahaan dari suatu Negara, baik secara langsung maupun tidak

langsung turut serta dalam pimpinan, pengawasan atau modal suatu

perusahaan di Negara lainnya; atau

2. orang-orang/badan-badan yang sama baik secara langsung maupun tidak

langsung turut serta dalam pimpinan, pengawasan atau modal suatu

perusahaan di Negara lainnya.

Jika suatu perusahaan memperoleh laba, tetapi karena ada syarat-syarat yang

menyangkut hubungan dagang atau keuangannya dibuat atau diterapkan oleh kedua

perusahaan yang saling berhubungan tersebut dan berbeda dari yang dibuat antara

perusahaan-perusahaan lainnya yang bebas, laba tersebut tidak diperoleh oleh

I Gede Yudi Henrayana (2-A/23) Page 5

Page 6: Analisis Tax Treaty Indonesia-Philipina

perusahaan pertama, maka laba tersebut dapat ditambahkan ke dalam laba perusahaan

tersebut dan dikenakan pajak.

Sedangkan Pasal 9 ayat 2 tidak termasuk dalam OECD Model maupun UN

Model. Ayat ini mengatur bahwa suatu negara tidak akan mengadakan koreksi atas laba

setelah berakhirnya batas waktu (daluwarsa) menurut perundang-undangan negara

tersebut.

Pasal 10

Pasal 10 mengatur mengenai pemajakan atas dividen. Berdasarkan Tax Treaty

ini, dividen yang dibayarkan oleh perusahaan di suatu negara kepada penduduk di

negara lain dapat dikenakan pajak oleh negara lain tersebut. Namun, dividen tersebut

juga dapat dikenakan pajak oleh negara pertama dengan tarif:

a. 15% dari jumlah bruto dividen apabila orang yang menikmati itu adalah suatu

perusahaan dengan kepemilikan langsung minimal 25% modal perusahaan yang

membayar dividen

b. 20% dari jumlah dividen dalam hal lain.

Tax treaty ini lebih condong ke OECD Model, dilihat dari besarnya kepemilikan

langsung untuk memperoleh tarif pajak atas dividen yang lebih rendah, yaitu sebesar

25%. Pada UN Model, besarnya kepemilikan langsung untuk memperoleh tarif pajak atas

dividen yang lebih rendah ini hanya sebesar 10%. Meskipun demikian, tarif pajak atas

dividen pada Tax Treaty ini lebih tinggi daripada tarif pada OECD Model yang hanya 5%

untuk kepemilikan langsung minimal 25% dan 15% dalam hal lain.

Pada Tax Treaty ini terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa pasal ini tidak

akan menghalangi salah satu Negara untuk mengenakan pajak, selain dari pajak

perseroan, atas pengiriman keuntungan yang dilakukan oleh suatu cabang ke kantor

pusatnya. Akan tetapi, tarif pajak yang dikenakan itu tidak akan melebihi 20% dari

jumlah yang dikirimkan. Ketentuan ini tidak terdapat pada OECD Model maupun UN

Model.

I Gede Yudi Henrayana (2-A/23) Page 6

Page 7: Analisis Tax Treaty Indonesia-Philipina

Untuk menyelesaikan cara penerapan pembatasan-pembatasan seperti yang

telah diatur dalam ayat-ayat sebelumnya, pejabat yang berwenang (competent

authority) dari kedua negara akan mengadakan mutual agreement.

Pasal 11

Pasal 11 mengatur mengenai pemajakan atas bunga. Bunga yang dibayarkan

oleh penduduk suatu negara kepada penduduk negara lainnya dapat dikenakan pajak di

negara pertama maupun di negara lainnya tersebut. Untuk kasus pertama (bunga

dikenakan pajak di negara pertama), besarnya tarif pajak atas bunga yang disepakati

oleh Republik Indonesia dan Republik Philipina adalah tidak melebihi 15% dari jumlah

bruto pembayaran bunga. Ketentuan ini sesuai dengan UN Model di mana besarnya tarif

pajak atas bunga tidak ditentukan terlebih dahulu (seperti pada OECD Model yang

menentukan tarif pajak atas bunga maksimal 10%), melainkan dinegosiasikan antara

kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian.

Meskipun demikian, terdapat beberapa ketentuan tambahan pada Tax Treaty ini

yang tidak terdapat baik pada OECD Model maupun UN Model. Pertama, bunga yang

dari suatu negara dan dibayarkan kepada penduduk negara lainnya, hanya akan

dikenakan pajak di negara lainnya itu, jika bunga yang dibayarkan itu berkenaan dengan:

1. obligasi, surat hutang atau kewajiban lainnya yang sejenis dari Pemerintah

Negara itu termasuk Pemerintah Daerah/Lokal; atau

2. pinjaman yang dibuat, dijamin atau diasuransikan, atau piutang yang diberikan,

dijamin atau diasuransikan oleh Bank Sentral (Bank Indonesia atau Central Bank

of the Philippines), atau setiap bank pinjaman lainnya yang ditentukan dan

dimufakati melalui surat menyurat antara pejabat yang berwenang dari kedua

negara.

Kedua, besarnya tarif pajak atas bunga adalah tidak melebihi 10% untuk bunga

yang dibayarkan oleh suatu badan yang berkedudukan di suatu Negara kepada

penduduk Negara lainnya berkenaan dengan obligasi umum, surat hutang, atau

kewajiban lainnya yang sejenis.

I Gede Yudi Henrayana (2-A/23) Page 7

Page 8: Analisis Tax Treaty Indonesia-Philipina

Ketiga, pejabat yang berwenang (competent authority) dari kedua negara

dengan kesepakatan bersama (mutual agreement) akan menyelesaikan cara penerapan

pembatasan-pembatasan seperti yang telah diatur dalam ayat-ayat sebelumnya.

Pasal 12

Pasal 12 mengatur mengenai pemajakan atas royalti. Pasal ini lebih condong ke

UN Model, meskipun ada bagian dari UN Model yang dihilangkan (Pasal 12 ayat 5 UN

Model). Royalti yang dibayarkan oleh penduduk suatu negara kepada penduduk negara

lainnya dapat dikenakan pajak di negara pertama maupun di negara lainnya tersebut.

Untuk kasus pertama (bunga dikenakan pajak di negara pertama), besarnya tarif pajak

atas bunga yang disepakati oleh Republik Indonesia dan Republik Philipina adalah:

1. Di Indonesia:

15% dari jumlah bruto royalti.

2. di Philipina:

a. 15% dari jumlah bruto royalti, jika royalti itu dibayarkan oleh suatu

perusahaan yang terdaftar pada Badan Penanaman Modal Philipina

(Philippine Board of Investments) dan ikut serta dalam kegiatan sektor-

sektor usaha seperti yang telah ditentukan oleh Badan tersebut;

b. dalam hal-hal lainnya, 25 % dari jumlah bruto royalty.

Guna menyelesaikan cara penerapan pembatasan-pembatasan seperti yang

telah diatur dalam ayat-ayat sebelumnya, pejabat yang berwenang (competent

authority) dari kedua belah pihak (Indonesia dan Philipina) akan mengadakan mutual

agreement.

Pasal 13

Pasal 13 mengatur mengenai pemajakan atas penghasilan dari keuntungan

pengalihan harta. Ketentuan pada Tax Treaty ini mengatur bahwa keuntungan yang

diterima oleh penduduk suatu negara dari pengalihan harta tak bergerak yang terletak

di negara lain dapat dikenakan pajak di negara lain itu, termasuk harta yang dimiliki oleh

BUT dan saham-saham perusahaan. Sedangkan keuntungan yang diterima oleh

perusahaan dari suatu negara dari pengalihan kapal-kapal atau pesawat udara yang

I Gede Yudi Henrayana (2-A/23) Page 8

Page 9: Analisis Tax Treaty Indonesia-Philipina

dioperasikan dalam jalur lalulintas internasional atau barang bergerak yang berkenaan

dengan pengoperasian kapal-kapal dan pesawat udara itu hanya akan dikenakan pajak di

negara tempat manajemen efektif perusahaan tersebut berada. Keuntungan pengalihan

harta selain yang telah disebutkan di atas akan dikenakan pajak di negara tempat

orang/badan tersebut. Ketentuan pada Pasal 13 Tax Treaty ini lebih condong ke UN

Model karena keuntungan pengalihan saham-saham perusahaan ini dapat dikenakan

pajak di negara tempat perusahaan tersebut berada tanpa harus memperhitungkan

besarnya persentas kepemilikan. Pada UN Model, besarnya persentase kepemilikan ini

agar dapat dikenakan pajak di negara tempat perusahaan tersebut berada

dinegosiasikan oleh kedua belah pihak (dalam kasus Indonesia dan Philipina ini

disepakati besarnya persentase kepemilikan adalah lebih dari 0%), sedangkan pada

OECD Model negara tersebut baru dapat mengenakan pajak apabila besarnya

persentase kepemilikan melebihi 50%.

Pasal 14

Pasal 14 mengatur mengenai pemajakan atas penghasilan dari orang yang

melakukan pekerjaan bebas. Penghasilan yang diterima oleh seorang penduduk suatu

negara sehubungan dengan jasa-jasa profesional atau pekerjaan bebas akan dikenakan

pajak di negara itu. Namun, penghasilan itu dapat dikenakan pajak di negara lainnya

apabila:

1. orang tersebut mempunyai tempat tertentu yang secara teratur tersedia

baginya untuk melakukan pekerjaan di negara lain itu, tetapi hanya sebesar

penghasilan yang berasal dari tempat tertentu itu; atau

2. orang tersebut tinggal di negara itu dalam jangka waktu 90 hari atau lebih dalam

suatu tahun kalender.

Ketentuan ini lebih condong ke UN Model, meskipun tidak sama persis. Pada UN

Model, jangka waktu agar penghasilan seseorang dapat dikenakan pajak di negara lain

adalah 183 hari atau lebih dalam 12 bulan.

I Gede Yudi Henrayana (2-A/23) Page 9

Page 10: Analisis Tax Treaty Indonesia-Philipina

Pasal 15

Pasal 15 mengatur mengenai pemajakan atas penghasilan dari orang yang

melakukan pekerjaan tidak bebas. Ketentuan Pasal 15 pada OECD Model dan UN Model

sama. Penghasilan dari penduduk suatu yang melakukan pekerjaan tidak bebas hanya

akan dikenakan pajak di negara itu, kecuali jika pekerjaan itu dilakukan di negara lain,

penghasilan yang diperolehnya dari negara lain tersebut dapat dikenakan pajak di

negara lain itu. Meskipun demikian, penghasilan yang diperoleh penduduk suatu negara

sehubungan dengan pekerjaannya di negara lain hanya akan dikenakan pajak di negara

pertama apabila:

1. orang tersebut berada di negara lain itu dalam jangka waktu tidak lebih dari 183

hari dalam tahun kalender yang bersangkutan, dan

2. penghasilan tersebut dibayar oleh atau atas nama pemberi kerja yang bukan

merupakan penduduk negara lain itu, dan

3. penghasilan tersebut tidak menjadi beban suatu BUT atau tempat tertentu yang

dimiliki oleh pemberi kerja di negara lain itu.

Penghasilan yang diterima seseorang sehubungan dengan pekerjaan sebagai

awak kapal atau pesawat udara yang dioperasikan dalam lalu lintas internasional oleh

perusahaan di suatu negara, akan dikenakan pajak di negara itu.

Pasal 16

Pasal 16 mengatur mengenai pemajakan atas penghasilan yang diterima

direktur. Penghasilan yang diterima oleh penduduk suatu negara yang menjadi anggota

dewan direksi pada suatu perusahaan di negara lain, dapat dikenakan pajak di negara

lain. Untuk remunerasi yang diterima penduduk suatu negara dari perusahaan di negara

lain sehubungan dengan pelaksanaan pekerjaan sehari-hari yang bersifat

ketatalaksanaan atau teknis, dapat dikenakan pajak di negara lain itu sesuai dengan

ketentuan-ketentuan Pasal 15. Pasal 16 ini lebih condong kepada UN Model karena pada

Tax Treaty ini terdapat ketentuan yang mengatur mengenai pemajakan atas penghasilan

yang diterima oleh Top-Level Managerial Officials.

I Gede Yudi Henrayana (2-A/23) Page 10

Page 11: Analisis Tax Treaty Indonesia-Philipina

Pasal 17

Pasal 17 ini mengatur mengenai pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh

artis dan atlet. Penghasilan yang diterima artis dan atlet dari suatu negara atas kegiatan

personal mereka di negara lain, dapat dikenakan pajak di negara lain tersebut. Namun,

jika penghasilan sehubungan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh artis atau

atlet jatuhnya bukan kepada mereka sendiri tetapi kepada pihak lain, maka penghasilan

itu dapat dikenakan pajak di negara di mana mereka melakukan kegiatan-kegiatan.

Pasal 17 pada OECD Model dan UN Model sama, oleh karena itu Pasal 17 pada

Tax Treaty ini mirip dengan kedua model di atas. Namun, pada Tax Treaty ini terdapat

ketentuan tambahan, yaitu bahwa ketentuan ayat 1 dan ayat 2 pasal ini tidak berlaku

terhadap penghasilan yang diterima oleh artis dan atlet dari kegiatan-kegiatan yang

dilakukan di suatu negara, yang berhubungan dengan program khusus pertukaran

kebudayaan yang telah disepakati kedua negara atau yang sepenuhnya dibiayai oleh

dana-dana pemerintah dari negara lainnya, termasuk dana Pemerintah Daerah/Lokal

atau badan-badannya. Ketentuan-ketentuan di atas juga tidak berlaku terhadap

penghasilan yang diterima dari kegiatan-kegiatan pertukaran kebudayaan tersebut di

atas oleh organisasi yang tidak mencari keuntungan, asalkan penghasilan itu tidak untuk

dibayarkan atau tidak untuk keuntungan para pemilik, anggota, atau pemegang saham,

dan organisasi tersebut telah disahkan sebagai memenuhi syarat ketentuan ini oleh

pejabat yang berwenang di negara lain itu.

Pasal 18

Pasal 18 mengatur mengenai pemajakan atas pensiun dan tunjangan hati tua.

Pensiun dan pembayaran sejenis lainnya yang dibayarkan kepada penduduk suatu

negara akibat dari hubungan kerja masa lalu, hanya akan dikenakan pajak di negara itu.

Pasal 18 pada Tax Treaty ini sesuai dengan UN Model Alternatif A karena terdapat

ketentuan yang mengatur mengenai pensiun jaminan sosial yang dibayarkan oleh suatu

badan jaminan sosial dari suatu negara. Pensiun jaminan sosial itu hanya akan dikenakan

pajak di negara itu.

I Gede Yudi Henrayana (2-A/23) Page 11

Page 12: Analisis Tax Treaty Indonesia-Philipina

Pasal 19

Pasal 19 mengatur mengenai pemajakan atas penghasilan pegawai pemerintah

(pegawai negeri). Ketentuan Pasal 19 pada OECD Model dan UN Model sama. Pasal 19

pada Tax Treaty ini mirip dengan OECD Model dan UN Model dengan sedikit perubahan

kata-kata. Penghasilan selain pensiun dari pegawai pemerintah suatu negara yang

bekerja di negara lain hanya akan dikenakan pajak di negara pertama. Akan tetapi,

penghasilan tersebut hanya akan dikenakan pajak di negara lainnya jika orang tersebut

merupakan warganegara dari negara lain itu atau tidak merupakan penduduk negara

lain itu karena semata-mata bermaksud untuk memberikan jasa-jasa.

Pensiun dari pegawai pemerintah suatu negara yang bekerja di negara lain yang

dibayarkan oleh atau dari dana-dana yang diadakan oleh suatu negara atau Pemerintah

Daerah/Lokal kepada seseorang sehubungan dengan jasa-jasa yang diberikan kepada

negara atau Pemerintah daerah/Lokal itu hanya akan dikenakan pajak di negara

pertama. Pensiun hanya akan dikenakan pajak di negara lainnya jika orang tersebut

merupakan penduduk dan warganegara dari negara lain tersebut.

Pasal 20

Pasal 20 mengatur mengenai pemajakan atas penghasilan dari profesor (guru

besar) dan guru. Ketentuan Pasal 20 ini tidak terdapat baik pada OECD Model maupun

UN Model. Penghasilan yang diterima oleh profesor dan guru yang merupakan

penduduk suatu negara yang melakukan kunjungan ke negara lain dengan maksud

melakukan kegiatan mengajar atau melaksanakan studi lanjutan atau penelitian di suatu

universitas, perguruan tinggi, sekolah atau lembaga pendidikan lainnya dalam jangka

waktu tidak melebihi 2 tahun, hanya akan dikenakan pajak di negara pertama.

Penghasilan ini termasuk pengiriman pengiriman uang dari negara manapun yang

memungkinkan guru besar atau guru tersebut melaksanakan maksud di atas.

Pasal 21

Pasal 21 mengatur mengenai pemajakan atas pelajar dan peserta latihan.

Ketentuan Pasal 21 ini sesuai dengan OECD Model dan UN Model (OECD Model dan UN

Model sama) dengan beberapa ketentuan tambahan. Penghasilan dari pelajar dari suatu

I Gede Yudi Henrayana (2-A/23) Page 12

Page 13: Analisis Tax Treaty Indonesia-Philipina

negara yang belajar di perguruan tinggi negara lain untuk jangka waktu tidak melebihi 5

tahun sejak tanggal kedatangannya, akan dibebaskan dari pengenaan pajak di negara

lain itu, dengan syarat:

1. penghasilan tersebut merupakan pengiriman uang dari luar negeri guna

keperluan hidup atau pendidikannya

2. setiap penghasilan yang tidak melebihi US$1,800 dalam satu tahun kalender

karena pemberian jasa-jasa perorangan yang dilakukan di Negara lain itu

sebagai tambahan dana baginya untuk keperluan hidup dan pendidikan

tersebut.

Untuk penghasilan dari peserta latihan dari suatu negara yang semata-mata

sebagai peserta latihan dengan maksud untuk memperoleh pengalaman di bidang

teknik, keahlian, atau usaha di negara lain untuk jangka waktu tidak melebihi 2 tahun

sejak tanggal kedatangannya, akan dibebaskan dari pajak, dengan syarat:

1. penghasilan tersebut merupakan pengiriman uang dari luar negeri guna

keperluan hidup atau latihannya

2. setiap penghasilan yang tidak melebihi US$3,600 dalam satu tahun kalender

karena pemberian jasa yang mempunyai kaitan dengan latihannya atau sebagai

tambahan dana baginya.

Sedangkan untuk penghasilan dari penduduk dari suatu negara yang semata-

mata untuk tujuan melakukan studi, riset, atau latihan sebagai penerima bantuan,

tunjangan, atau sumbangan dari suatu organisasi keilmuan, pendidikan, agama, atau

sosial atau berdasarkan program bantuan teknik antara kedua negara, di negara lain

untuk jangka waktu tidak melebihi 2 tahun sejak tanggal kedatangannya, akan

dibebaskan dari pajak, dengan syarat:

1. penghasilan tersebut merupakan jumlah bantuan, tunjangan, atau sumbangan

itu

2. penghasilan tersebut merupakan pengiriman uang dari luar negeri guna

keperluan hidup pendidikan atau latihan

3. setiap penghasilan karena pemberian jasa-jasa perorangan yang dilakukan di

negara lain itu, asalkan pemberian jasa-jasa tersebut mempunyai kaitan dengan

studi, riset, latihannya atau sebagai tambahan dana baginya.

I Gede Yudi Henrayana (2-A/23) Page 13

Page 14: Analisis Tax Treaty Indonesia-Philipina

Penentuan batas waktu untuk pelajar, peserta latihan, dan periset/penerima

bantuan dapat ditinjau kembali melalui kesepakatan antara pejabat yang berwenang di

kedua negara.

Pasal 22

Pasal 22 mengenai pemajakan atas penghasilan lain-lain. Penghasilan lain-lain

adalah penghasilan yang tidak disebut secara tegas dalam Tax Treaty ini. Ketentuan

pada OECD Model maupun pada UN Model untuk pemajakan atas penghasilan lain-lain

ini sebenarnya sama, yaitu hanya akan dikenakan pajak di negara domisili. Tax Treaty ini

juga mengadopsi ketentuan tersebut, tetapi dengan sedikit tambahan bahwa jika

penghasilan lain-lain penduduk dari suatu negara diterima dari sumber-sumber yang

berada di negara lain, maka penghasilan tersebut juga dapat dikenakan pajak di negara

lain itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara tersebut.

Pasal 23

Pasal 23 mengatur mengenai penghindaran pajak berganda. Baik pada OECD

Model maupun pada UN Model, terdapat 2 cara untuk menghindari pajak berganda,

yaitu exemption method dan credit method. Tax Treaty ini menggunakan credit method,

meskipun kata-kata yang digunakan pada Tax Treaty ini tidak sama persis dengan kata-

kata pada OECD Model dan UN Model. Jumlah pajak atas penghasilan yang dibayar

penduduk suatu negara di negara lain akan diperkenankan untuk diperhitungkan

terhadap pajak yang terutang oleh penduduk di negara pertama tersebut.

Pasal 24

Pasal 24 mengatur mengenai non diskriminasi. Ketentuan pada OECD Model dan

UN Model adalah sama. Pasal 24 pada Tax Treaty ini mengadopsi ketentuan pada OECD

Model dan UN Model dengan sedikit perubahan. Pertama, tidak ada ketentuan yang

mengatur mengenai orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan (stateless

persons). Kedua, terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa tidak ada yang

terkandung dalam pasal ini akan diartikan dengan maksud mencegah salah satu Negara

I Gede Yudi Henrayana (2-A/23) Page 14

Page 15: Analisis Tax Treaty Indonesia-Philipina

untuk membatasi kepada warga negaranya menikmati fasilitas pajak dan fasilitas khusus

lainnya yang diberikan dalam rangka program pembangunan ekonomi. Ketiga,

pengertian pajak pada pasal ini hanyalah pajak-pajak yang diatur pada Tax Treaty ini.

Pasal 25

Pasal 25 mengatur mengenai prosedur kesepakatan bersama (mutual

agreement). Ketentuan Pasal 25 ini lebih condong kepada UN Model karena tidak

terdapat ketentuan yang menyatakan jika pejabat yang berwenang tidak mampu

mencapai kesepakatan dalam penyelesaian suatu kasus, orang yang mengajukan kasus

tersebut dapat mengajukan kasus tersebut ke arbitrase. Meskipun demikian, terdapat

beberapa perbedaan antara UN Model dan Tax Treaty ini. Pertama, kasus harus diajukan

kepada pejabat yang berwenang dalam jangka waktu 2 tahun sejak pemberitahuan

pertama dari tindakan yang menimbulkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan

ketentuan-ketentuan tax Treaty ini. Pada UN Model, tidak ada ketentuan yang mengatur

batas waktu ini.

Kedua, terdapat ketentuan mengenai daluwarsa utang pajak akibat

permasalahan/kasus yang menyebabkan perlu diadakan kesepakatan bersama (mutual

agreement). Daluwarsa utang pajak itu sesuai dengan undang-undang masing-masing

negara, tetapi tidak boleh lebih dari 5 tahun sejak akhir masa pajak di mana penghasilan

yang bersangkutan diterima/diperoleh. Pada UN Model, tidak ada ketentuan yang

mengatur batas waktu ini.

Ketiga, ketentuan pada Pasal 25 ayat 4 UN Model tidak digunakan pada Tax

Treaty ini.

Pasal 26

Pasal 26 mengatur mengenai pertukaran informasi. Ketentuan pada Tax Treaty

ini lebih condong kepada UN Model karena tidak terdapat kewajiban suatu negara untuk

memberikan atau membantu mencari informasi kepada negara lain, meskipun negara

tersebut tidak memerlukan informasi tersebut untuk tujuan perpajakannya. Selain itu,

tidak terdapat ketentuan yang membuat suatu negara tidak dapat menolak untuk

I Gede Yudi Henrayana (2-A/23) Page 15

Page 16: Analisis Tax Treaty Indonesia-Philipina

memberikan informasi karena informasi tersebut tersimpan di bank atau lembaga

keuangan lainnya. Akan tetapi, terdapat ketentuan tambahan pada Tax Treaty ini, yaitu

pertukaran informasi dapat dilakukan secara rutin ataupun karena permintaan yang

berkenaan dengan masalah-masalah khusus. Untuk pertukaran informasi rutin, pejabat

berwenang dari kedua negara dapat membuat persetujuan daftar informasi yang akan

diberikan secara rutin.

Pasal 27

Pasal 27 mengatur mengenai bantuan penagihan. Ketentuan ini hanya ada pada

OECD Model dan tidak ada pada UN Model. Tax Treaty ini mengadopsi ketentuan pada

OECD Model, tetapi tidak semuanya. Tax Treaty ini hanya mengadopsi ketentuan pada

Pasal 27 ayat 8a OECD Model, yang artinya kira-kira bahwa pasal ini sama sekali tidak

akan ditafsirkan sebagai meletakkan kewajiban kepada suatu negara untuk

melaksanakan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan undang-undang atau

praktek administrasi dari salah satu negara berkenaan dengan penagihan pajak-pajaknya

sendiri.

Pasal 28

Pasal 28 mengatur mengenai perlakuan perpajakan kepada pejabat diplomatik

dan konsulat. Tidak ada ketentuan pada persetujuan ini yang akan mempengaruhi hak-

hak khusus di bidang fiskal dari para pejabat diplomatik dan konsulat berdasarkan

peraturan umum dari hukum internasional atau berdasarkan ketentuan-ketentuan dari

perjanjian-perjanjian khusus. Ketentuan ini sama dengan OECD Model maupun UN

Model.

Pasal 29

Pasal 29 mengatur mengenai peraturan lain-lain. Ketentuan ini tidak terdapat

baik pada OECD Model maupun UN Model. Isi Pasal 29 Tax Treaty ini kira-kira sebagai

berikut:

I Gede Yudi Henrayana (2-A/23) Page 16

Page 17: Analisis Tax Treaty Indonesia-Philipina

1. Ketentuan-ketentuan Tax Treaty ini tidak akan ditafsirkan sebagai membatasi

setiap cara pengecualian, pembebasan, pengurangan, kredit pajak, atau

kelonggaran lainnya yang ada sekarang maupun masa mendatang yang

diberikan:

a. oleh undang-undang dari salah satu Negara dalam penentuan pajak yang

dikenakan oleh Negara itu; atau

b. oleh setiap aturan khusus lainya mengenai perpajakan sehubungan dengan

kerjasama ekonomi atau tehnik antara kedua Negara.

2. Tidak ada satu ketentuan pun dalam hal Tax Treaty ini akan ditafsirkan untuk

mencegah Philipina mengenakan pajak terhadap warganegaranya yang sedang

bertempat tinggal di Indonesia, menurut perundang-undangan nasionalnya.

Namun demikian pajak yang dibayar karenanya tidak akan diperhitungkan.

3. Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua negara dapat langsung

berhubungan satu sama lain, dengan tujuan untuk dapat menerapkan Tax

Treaty ini.

Pasal 30

Pasal 30 mengatur mengenai saat berlakunya Tax Treaty ini. Ketentuan ini sama

baik pada OECD Model maupun UN Model. Pasal 30 Tax Treaty ini mirip dengan kedua

model tersebut di atas. Peratifikasian dan pertukaran instrumen ratifikasi Tax Treaty ini

dilakukan di Jakarta. Tax Treaty ini akan sah berlaku setelah habisnya waktu 30 hari

sejak tanggal pertukaran instrumen ratifikasi dan ketentuan-ketentuan Tax Treaty ini

akan mengikat kedua negara:

a. dalam hal pajak-pajak dipungut pada sumbernya, atas jumlah yang dibayarkan

kepada bukan penduduk pada atau setelah 1 Januari tahun kalender berikutnya

setelah dilakukan pertukaran instrumen ratifikasi; dan

b. dalam hal pajak-pajak lainnya, untuk tahun-tahun pengenaan pajak mulai pada

atau setelah 1 Januari tahun kalender berikutnya setelah dilakukan pertukaran

instrumen ratifikasi.

I Gede Yudi Henrayana (2-A/23) Page 17

Page 18: Analisis Tax Treaty Indonesia-Philipina

Pasal 31

Pasal 31 mengatur mengenai saat berakhirnya Tax Treaty ini. Ketentuan ini sama

baik pada OECD Model maupun UN Model. Pasal 31 Tax Treaty ini mirip dengan kedua

model tersebut di atas. Tax Treaty ini akan tetap berlaku sampai dinyatakan berakhir

oleh suatu negara. Tax Treaty ini baru dapat diakhiri setelah tahun ke-5 sejak Tax Treaty

ini berlaku. Salah satu negara menyampaikan pemberitahuan mengenai pengakhiran

Tax Treaty ini kepada negara lainnya pada atau sebelum 30 Juni setiap tahun kalender

setelah tahun ke-5 sejak Tax Treaty ini berlaku. Jika hal ini telah dilakukan, maka Tax

Treaty ini akan tidak berlaku lagi:

a. dalam hal pajak-pajak dipungut pada sumbernya, atas jumlah yang dibayarkan

kepada bukan penduduk pada atau setelah 1 Januari tahun kalender berikutnya

setelah pemberitahuan disampaikan; dan

b. dalam hal pajak-pajak lainnya, untuk tahun-tahun pengenaan pajak mulai pada

atau setelah 1 Januari tahun kalender berikutnya setelah pemberitahuan

disampaikan.

I Gede Yudi Henrayana (2-A/23) Page 18

Page 19: Analisis Tax Treaty Indonesia-Philipina

Kesimpulan:

Berdasarkan analisis di atas, dapat kita lihat bahwa Tax Treaty antara Republik

Indonesia dengan Republik Philipina lebih condong ke UN Model. Sebagian besar dari Ta

Treaty ini menggunakan ketentuan yang ada pada UN Model. Hal ini dapat dipahami

karena baik Indonesia maupun Philipina merupakan negara berkembang sehingga

banyak mengadopsi UN Model yang lebih menguntungkan negara berkembang.

Tax Treaty antara Republik Indonesia dengan Republik Philipina cukup

menguntungkan Indonesia. Penentuan domisili fiskal didasarkan pada undang-undang

pajak domestik, sehingga waktu Indonesia untuk memungut PPh Pasal 26 yang bersifat

final tidak berkurang. Demikian pula dengan penentuan BUT atas pemberian jasa yang

sama dengan UU PPh Indonesia. Meskipun tarif maksimal pada treaty ini untuk dividen,

bunga, dan royalti lebih rendah daripada tarif PPh Pasal 26, yaitu sebesar 15%, hal ini

masih cukup menguntungkan Indonesia karena tarif maksimum ini tidak lebih rendah

daripada tarif untuk dividen, bunga, dan royalti untuk subjek pajak dalam negeri.

I Gede Yudi Henrayana (2-A/23) Page 19