analisis sosial ekonomi penggemukan sapi potong gaduhan kab. muna
DESCRIPTION
KABUPATEN MUNATRANSCRIPT
ANALISIS SOSIAL EKONOMI PENGGEMUKAN SAPI POTONG GADUHAN (STUDI KASUS) DI DESA WAKOBALU AGUNG
KECAMATAN KABANGKA KABUPATEN MUNA
OLEH :
MASRAWATI ADA
913 03 003
JURUSAN AGRIBISNIS
SEKOLAH TINGGI PERTANIAN WUNA
RAHA 2014
A. ONTOLOGI
Kebutuhan akan konsumsi daging setiap tahunnya selalu meningkat, sementara
itu pemenuhan akan kebutuhan selalu negative, artinya jumlah permintaan lebih
tinggi daripada peningkatan daging. Kondisi perekonomian Indonesia yang sedang
giat-giatnya dipacu dengan mengurangi import, sehingga yang semula kebutuhan
daging ditopang dengan mendatangkan sapi-sapi dari luar negeri sekarang dikurangi
bahkan dicoba untuk dihentikan dan mengandalkan penyediaan dari dalam negeri.
Begitu potensialnya pengembangan sapi potong local sekarang, menjadi daya tarik
untuk diternakan dan dikembangkan dengan cara intensif dan ektensif untuk
mencapai produksi yang maksimal.
Di bidang pertanian walaupun sudah demikian maju, dengan makin banyaknya
penggunaan traktor untuk mengolah tanah, namun tenaga kerja dari sapi masih sangat
dibutuhkan. Pertimbangan lain selain masih menggunakan tenaga ternak didasarkan
atas pola pemilikan tanah yang relative kecil, dimana apabila menggunakan traktor
dirasakan kurang efisien karena penggunaannya sangat sedikit juga tenaga kerja
ternak tidak membutuhkan minyak bumi yang relativ mahal dan susah didapat di
perdesaan tetapi membutuhkan rumput yang banyak di perdesaan. Selain itu traktor
juga membutuhkan montir dan peralatan cadangan, tetapi jika memakai ternak
tentulah lebih mudah dan tidak serumit traktor.
Sejalan dengan itu pengembangan petrnakan sapi di Kecamatan Tikep sedang
dan akan terus dilakukan terutama melalui cara-cara ekstensifikasi dan modifikasi
cara pengembangannya. Salah satu modifikasi cara dan ekstensifikasi peternakan sapi
potong yang ada di Desa Wakobalu Agung Kecamatan Kabangka adalah system
gaduh kepada petani-peternak.
Para peternak sapi potong system gaduh di Desa Wakobalu Agung Kecamatan
Kabangka terdiri atas para peternak yang pada dasarnya tidak dapat membeli ternak
sapi untuk dipelihara sehingga mereka menerima system ini. Pemeliharaan dengan
system ini merupakan salah satu strategi untuk mengatasi kepentingan petani
peternak kecil dalam hal ketersediaan ternak sapi potong untuk dipelihara dan untuk
dimanfaatkan sebagai tenaga kerja pertanian.
Bertolak uraian diatas maka perlu melakukan pencermatan, apakah system
gaduh pada peternakan sapi potong dapat memberikan keuntungan bagi petani-
peternak, serta brapa ekor sebaiknya digaduhkan bagi petani-peternak agar dapat
member nilai tambah bagi pendapatan petani-peternak. Untuk itulah mengapa
mengambil judul “Analisis Sosial Ekonomi Penggemukan Sapi Potong system gaduh
di Desa Wakobalu Agung Kecamatan Kabangka”.
B. EPISTEMOLOGI
1. Sapi potong adalah sapi yang diternakan untuk tujuan diambil dagingnya.
2. Penggemukan adalah teknik atau cara memelihara untuk memperoleh produksi
daging dengan cara cepat.
3. Harga sapi potong adalah nilai tukar sapi potong yang dibeli konsumen yang
diukur dalam rupiah perekor.
4. Gaduhan adalah system usaha bagi hasil antara pemilik sapi potong (pemerintah)
dengan pemelihara (peternak) dimana peternak menanggung biaya selama
penggemukan, yang nilai pembagian berdasarkan keuntungan yaitu harga
penjualan sapi potong kurang harga pembelian. Besarnya pembagian adalah 70%
bagi peternak dan 30% untuk pemerintah.
a. Usaha gaduhan
Anonym (2006) menyatakan bahwa usaha gaduhan merupakan salah satu usaha
kerja sama yang paling sering dilakukan di masyarakat. Usaha kerja sama ini untuk
memenuhi atau menyambung keinginan sebagian masyarakat untuk beternak sapi.
Hal ini biasanya terjadi bila seseorang yang memiliki modal cukup dan ingin beternak
sapi, tetapi tidak ada tempat atau pengetahuan mengenai ternak sapi. Selain itu,
pemilik modal juga tidak mau repot belajar ternak sapi. Oleh karena itu, pemilik
modal menyerahkan sapinya untuk dipelihara pada orang yang dipercaya, mampu
memelihara ternak hingga ada hasilnya.
Lebih lanjut Anonim (2006) menyatakan bahwa pembagian keuntungan antara
pemilik modal dan pemelihara (penggaduh) tergantung kesepakatan, biasanya
50%:50% atau 70%:30%. Bila sapi gaduhan beranak maka anak sapi yang pertama
untuk penggaduh dan anak sapi yang kedua untuk pemilik modal.
b. Jenis-jenis sapi potong
Sugeng (2001) berpendapat bahwa usaha peternakan sapi potong mayoritas
masih pola tradisional dan skala usaha sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya
investasi jika dilakukan secara besar dan modern, tapi dengan skala usaha kecilpun
akan mendapatkan keuntungan yang baik jika dilakukan dengan prinsip-prinsip usaha
peternakan. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk sapi potong adalah :
1. Sapi bali merupakan sapi local dengan penampilan produksi yang cukup tinggi.
Asal usul sapi bali ini adalah banteng (Bos sondaicus) yang telah mengalami
penjinakkan atau domestikasi selama bertahun-tahun. Sapi jantan dan betina
dilahirkan dengan warna bulu merah bata dengan garis hitam di sepanjang
punggung yang disebut gairs belut. Setelah dewasa, warna sapi jantan berubah
menjadi kehitam-hitaman, sedangkan warna sapi betina relative tetap. Sapi bali
tidak berpunuk. Umumnya, keempat kaki dan bagian pantatnya berwarna putih.
Kemampuan reproduksi sapi bali merupakan yang terbaik diantara sapi-sapi
local. Hal ini disebabkan sapi bali bisa beranak setiap tahun, mudah beradaptasi
dengan lingkungan yang baru, sehingga sering disebut ternak perintis.
2. Sapi ongole merupakan keturunan sapi zebu dari India. Berwarna dominan putih
dengan warna hitam di beberapa bagian tubuh, bergelambir di bawah leher, dan
berpunuk.
3. Sapi Fries Holtein (FH) adalah api yang dipelihara dengan tujuan untuk
menghasilkan susu, warnanya belang hitam dan putih dengan cirri khusus
segitiga pada bagian dahi. Sapi yang tidak berpunuk ini memilki pertumbuhan
yang cukup tinggi, sehingga sapi-sapi jantannya sering dipelihara untuk
digemukkan dan dijadikan sapi potong.
4. Sapi Brahman berasal dari Indian yang merupakan keturunan dari sapi zebu (Bos
Indicus). Sapi ini mampu beradaptasi pada lingkungan baru dan tahan gigitan
caplak. Pertumbuhan sapi Brahman ini sangat cepat. Hal ini yang menyebabkan
sapi Brahman menjadi primadona sapi potong untuk negeri tropis.
5. Sapi Madura merupakan hasil persilangan antara sapi bali dengan sapi Brahman
yang tumbuh daan berkembang di Madura.
c. Peternakan sapi potong
Peternakan sapi potong merupakan usaha penggemukan sapi potong biasanya
membutuhkan sapi jantan untuk digemukkan selama 3 – 6 bulan. Alasannya, pada
umunya sapi jantan memilki pertambahan berat badan harian yang lebih tinggi dari
sapi betina. Selain itu ada peraturan yang melarang pemotongan ternak sapi betina,
terutama yang produktif. Meskipun demikian, tampaknya perlu pula dijejaki usaha
penggemukan sapi betina yang sudah tidak produktif lagi. Meskipun belum ada
penelitian tentang hal ini, landasan teori adanya pertumbuhan kompensasi
memungkinkan penggemukan ternak-ternak sapi-sapi betina non produktif selama
beberapa saat dengan pemberian pakan yang baik. Hal ini dipandang lebih
menguntungkan dibandingkan dengan menjual ternak sapi-sapi betina tersebut tanpa
digemukan (Abidi,2005).
d. Aspek sosial dan ekonomi sapi potong
1. Aspek sosial
Menurut Abidin (2005) aspek social sapi potong meliputi:
Harga keadaan sapi potong dapat mempengaruhi nilai social terhadap sapi
tersebut, makin tinggi harga makin berkurang yang memliki maka semakin tinggi
nilai sosialnya dan sebaliknya makin rendah harga makin banyak yang dapat
memilki maka semakin kurang nilai sosialnya.
Selera, selera atau minat terhadap sesuatu termasuk sapi potong dipengaruhi oleh
umur, adat, dan kebiasaan serta agama setempat.
Lingkunagn hidup, usaha penggemukan sapi potong pasti akan menghasilkan
limbah yang jika tidak ditangani dengan baik bisa menyebabkan perubahan
lingkungan. Penanganan limbah perlu direncanakan dengan sebaik-baiknya,
bahkan perlu diupayakan untuk menghasilkan penghasilan tambahan, seperti
mengelola fases menjadi kompos. Penggunaan kompos untuk memupuk hijauan
atau tanaman lainnya, secara langsung akan meningkatkan kualitas lingkungan.
2. Aspek ekonomi
Lebih lanjut Abidin (2005) aspek ekonomi atau aspek financial sapi potong
meliputi :
Biaya investasi, biaya investasi adalah biaya tetap yang dikeluarkan oleh
peternak yang dinlainya tetap, meskipun total produksinya berubah. Dengan kata
lain, biaya ini tidak berubah dan harus dibayarkan walaupun usaha tidak
beroperasi. Termasuk dalam biaya investasi adalah biaya pembelian tanah,
pembangunan kandang dan peralatannya. Biasanya, biaya investasi
dadiperhitungkan dalam suatu analisis usaha berbentuk usaha penyusutan.
Biaya operasional, biaya operasional adalah biaya variabel dalam usaha
penggemukan sapi potong, yang nilainya berkolerasi positif dengan total produk.
Termasuk biaya operasional diantaranya biaya pembelian bahan pakan dan
pengelolaannya, pembelian bakalan, pembayaran tagihan listrik, dan telepon.
Dalam analisis usaha biaya yang diperhitungkan adalah biaya riilnya.
Jumlah ternak yang digemukkan, jumlah ternak yang digemukkan sangat
menentukan skala usaha yang dilaksanakan.
Pengelolaan keuangan, kelemahan usaha tani yang dijalankan secara tradisional
adalah tidak adanya pencatatan pengeluaran dan pemasukkan uang, sehingga
sulit didapatkan kesimpulan bahwa suatu usaha yang dijlalankan menguntungkan
atau mengalami kerugian. Meskipun masih berskala kecil, usaha penggemukan
sapi potong memerlukan pencatatan.
C. AKSIOLOGI
Penggemukan sapi potong gaduhan memberikan keuntungan social dan
keuntungan ekonomi.
Keuntungan sosial dan keuntungan ekonomi dari penggemukan sapi potong
gaduhan di Desa Wakobalu Agung tersebut diperlihatkan sebagai berikut :
1. Dalam hal keuntungan social, peternak responden yang mengikuti penggemukan
sapi potong gaduhan tertarik karena sapi potong memiliki harga penjualan yang
tinggi dan tidak bertentangan dengan adat istiadat/agama serta fesesnya dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk.
2. Dalam hal keuntugan ekonomi, peternak responden yang mengikuti
penggemukan sapi potong gaduhan mencapai nilai R/C antara 5,3 sampai 6,4 dan
memberikan keuntungan antara Rp 5.400.000,- sampai dengan Rp 10.800.000,-