analisis semiotika foto pada buku jakarta...

111
ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA ESTETIKA BANAL KARYA ERIK PRASETYA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) Diajukan Oleh: Marifka Wahyu Hidayat NIM: 107051102182 KONSENTRASI JURNALISTIK JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/ 2014 M

Upload: truongliem

Post on 03-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU

JAKARTA ESTETIKA BANAL KARYA ERIK

PRASETYA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Diajukan Oleh:

Marifka Wahyu Hidayat

NIM: 107051102182

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/ 2014 M

Page 2: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA ESTETIKA

BANAL KARYA ERIK PRASETYA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi untuk Memenuhi

Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh:

Marifka Wahyu Hidayat

NIM 107051102182

Di Bawah Bimbingan

M. Hudri. MA

NIP: 1972060199803

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/ 2014 M

Page 3: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka
Page 4: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, Januari 2014

Marifka Wahyu Hidayat

Page 5: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

i

ABSTRAK

Nama : Marifka Wahyu Hidayat

NIM : 107051102182

Jurusan : Konsentrasi Jurnalistik

Skripsi : Analisis semiotika foto pada buku Jakarta Estetika Banal karya Erik

Prasetya

Perkembangan dunia fotografi menjadikan alat ini sebagai sebuah replika

dari realitas dan sensasi bagi pancaindra manusia. Melalui fotografi, dunia

menjadi serangkaian yang terkait, menyejarah dan memiliki banyak arti.

Begitujuga dengan para fotografer mencari formula baru untuk kemajuan dunia

fotografi terutama memasuki babak baru yakni transformasi dari analog ke dunia

digital yang semakin berkembang.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis makna foto Jakarta Etetika

Banal agar dapat dipahami dan mengetahui prosedur-prosedurnya serta makna

yang terkandung dalam foto tersebut. Bagaimana Estetika Banal tersebut bekerja

dalam merekam kota Jakarta beserta warganya.

Penulis menggunakan pendekatan metode deskriptif kualitatif dalam

membedah obyek penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan riset

kepustakaan, dan wawancara. Analisa data menggunakan teori analisis visual

Theo Van Leeuwen dengan peminjam metode semiotika Roland Barthes yang

mengetahui makna denotasi, konotasi, dan mitos dalam foto Jakarta Estetika

Banal.

Estetika banal merupakan sebuah tawaran pendekatan fotografi yang

dicetuskan oleh Erik Prasetya saat dunia fotografi mulai beranjak hijrah dari

analog ke digital dan terbukti dalam karyanya selama 20 tahun untuk merekam

Jakarta yang tertuang dalam buku fotografi Jakarta Estetika Banal. Sebuah

peristiwa di ruang kota yang menampilkan pergulatan dan pergerakan manusia

dengan berbagai macam persoalannya yang terekam dalam Jakarta Estetika Banal

Dengan demikian, foto-foto yang direkam Erik dengan formula estetika

banal dapat kita ketahui dari analisis semiotika Roland Barthes dalam membaca

foto dan konteks yang dibicarakan dalam foto-foto karya Erik yang mempunyai

ragam tema dalam memotret Jakarta baik dari segi sosial, politik, ekonomi,

kultural dan lingkungan hidup.

Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan diantaranya adalah dari

foto Jakarta Estetika Banal memang seperti itulah realitas gambaran kota

Jakarta yang sangat banal, biasa, umum, dan dangkal. Kemiskinan, polusi, kumuh,

hedonis, konsumtif, banjir, macet, eksploitasi anak ,dan masih banyak lainnya.

Hal tersebut sudah menjadi hal yang biasa di kota modern bernama Jakarta.

Page 6: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan yang maha esa berkat nikmatnya penulis diberikan

kesehatan serta keberkahan sehingga berbagai kesulitan dapat penulis lalui dengan

perasaan bahagia dan penuh syukur.

Selawat dan salam senantiasa terlimpahbagi nabi Muhammad SAW.

Beliaulah Sang Pembawa misi kebenaran sepanjang zaman dan semoga dengan

kasihnya kita dapat menjadi umatnya yang selalu dalam naungannya.

Selanjutnya, Penulis mempersembahkan banyak terima kasih kepada

berbagai pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas akhir ini:

1. DR. H. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan

Komunikasi, Dr. Suparto, M.Ed, Ph.D Wakil Dekan I Bidang

Akademik, Drs. Jumroni, M.Si selaku Wakil Dekan II Bidang

Administrasi Umum dan Drs. Wahidin Saputra MA selaku Wakil

Dekan III Bidang Kemahasiswaan.

2. Rubiyanah, MA selaku ketua Konsentrasi Jurnalistik dan Ade Rina

Farida, M.Si selaku Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik Fakultas Ilmu

Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta serta Dr Rulli Nasrullah yang telah bersedia memberikan ilmu

serta nasehat kepada penulis.

3. Terima kasih kepada Dosen Pembimbing Skripsi Bapak Hudri yang

dengan sabar mengajari dan dan meluangkan waktunya untuk penulis.

Semoga selalu diberikan limpahan karunia dan nikmat serta senantiasa

mendapat perlindungan dari Allah SWT.

Page 7: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

iii

4. Dosen-dosen Fakultas Ilmu dakwah dan Komunikasi, yang namanya

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas ilmu dan

dedikasi yang diberikan kepada penulis.

5. Terima kasih kepada Erik Prasetya yang telah bersedia menjadi

narasumber dalam penelitian ini serta menjadi guru sekaligus inspirasi

penulis saat memotret .

6. Secara khusus kepada Orang tua tercinta, Bapak dan Ibu (Amat

Saefudin dan Maryani) serta sesepuh Mbah Kodim, Mbah Putri,

Engkong H. Idup memberikan doa, kasih sayang, materi, dan semangat

kepada penulis.

7. Untuk adik ku satu-satunya, Septi Dwi Ratu Nirwana yang selalu sabar

dengan kejahilan penulis sehingga mampu memberikan semangat baru

dalam kehidupan sehari hari.

8. Kepada semua teman-teman Jurnalistik 2007, Iman, Alan, Era, Topik,

Dodo, Ibenk, Miral, Munir, Rezza, Fajar, Anay, Ajat, Helmi, Kiki,

Cahya, Dita, Zeto, Ririn, Zabrina, Zahra, Mawa, Yanti, Sintia, Lola,

Nunu, Nana, Nia, Aul, dan Ika., Zenal, Aiboy, Nadia dan Jhon. Tidak

lupa Mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik dari seluruh angkatan semoga

jalinan tali silahturahmi kita akan terus abadi .

9. Untuk Kawan kawan Komunitas Djuanda Mufti Al-umam, Ray

Sanggah Kusuma, Renal Rinoza, Farabi Ferdiansyah, Imam, Eni

Wibowo, Jayu, Choril Codri, Enzen, Anggi kalian kalian telah

memberi warna yang berbeda dalam kehidupan penulis.

Page 8: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

iv

10. Kawan Galeri Jalanan Bau Tanah Lutfi Saputra, Edo, Reffi Mascot,

Fernando Rendi, Risang, Mas Tirto, Denis, serta kawan kawan

angkatan 5 yang telah memberikan ilmu fotografinya.

11. Terima kasih kepada seluruh rekan rekan jurnalis foto dari Pewarta

Foto Indonesia khususnya rekan pekerja media Tempo, Kantor Berita

Antara, dan Jawa Pos Group yang saya tidak bisa sebutkan satu

persatu, mereka banyak memberikan saya kesempatan menimba

pengalaman selama ini.

Ciputat, Januari 2014

Page 9: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

ABSTRAK ...................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... v

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Pembatasan dan PerumusanMasalah........................................ 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 6

D. Metodologi Penelitian .............................................................. 7

1. Pengumpulan Data ............................................................. 7

2. Pengelolahan Data .............................................................. 8

3. Menganalisa Data .............................................................. 8

E. SistematikaPenulisan ............................................................... 9

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pengertian Fotografi ................................................................. 11

B. Pengertian Estetika Banal ........................................................ 14

1. Pengertian Estetika ............................................................. 14

2. Pengertian Banal ................................................................ 19

3. Metode Kerja Estetika Banal ............................................. 20

C. Semiotika Visual ...................................................................... 23

1. PengertianSemiotika .......................................................... 23

2. Konsep Semiotika Roland Barthes..................................... 28

3. Analsisis visual dari semiotika Sosial Theo Van Leeuwen 34

BAB III GAMBARAN UMUM BUKU JAKARTA ESETIKA BANAL

A. Profil Erik Prasetya .................................................................. 37

B. Profil Buku Jakarta Estetika Banal ......................................... 39

Page 10: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

vi

BAB IV ANALISIS DATA FOTO

A. Analisis Data Foto 1 ................................................................. 47

1. Tahap Denotasi................................................................... 48

2. Tahap Konotasi .................................................................. 51

3. Mitos .................................................................................. 52

B. Analisis Data Foto 2 ................................................................. 52

1. Tahap Denotasi................................................................... 52

2. Tahap Konotasi .................................................................. 53

3. Mitos .................................................................................. 55

C. Analisis Data Foto 3 ................................................................. 56

1. Tahap Denotasi................................................................... 56

2. Tahap Konotasi .................................................................. 57

3. Mitos .................................................................................. 58

D. Analisis Data Foto 4 ................................................................. 59

1. Tahap Denotasi................................................................... 59

2. Tahap Konotasi .................................................................. 60

3. Mitos .................................................................................. 61

E. Analisis Data Foto 5 ................................................................. 61

1. Tahap Denotasi.................................................................. 62

2. Tahap Konotasi ................................................................. 62

3. Mitos .................................................................................. 64

F. Analisis Data Foto 6 ................................................................. 64

1. Tahap Denotasi................................................................... 65

2. Tahap Konotasi .................................................................. 65

3. Mitos .................................................................................. 67

G. Analisis Data Foto 7 ................................................................. 68

1. Tahap Denotasi................................................................... 68

2. Tahap Konotasi .................................................................. 68

3. Mitos .................................................................................. 70

H. Analisis Data Foto 8 ................................................................. 71

1. Tahap Denotasi.................................................................. 71

2. Tahap Konotasi ................................................................. 72

3. Mitos .................................................................................. 73

Page 11: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

vii

I. Analisis Data Foto 9 ................................................................. 74

1. Tahap Denotasi.................................................................. 74

2. Tahap Konotasi .................................................................. 75

3. Mitos .................................................................................. 76

J. Analisis Data Foto 10 ............................................................... 77

1. Tahap Denotasi.................................................................. 77

2. Tahap Konotasi ................................................................. 78

3. Mitos .................................................................................. 79

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan .............................................................................. 80

B. Saran ......................................................................................... 82

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 12: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

DAFTAR GAMBAR

1. Data Foto 4.1 .............................................................................................. 47

2. Data Foto 4.2 .............................................................................................. 52

3. Data Foto 4.3 .............................................................................................. 56

4. Data Foto 4.4 .............................................................................................. 59

5. Data Foto 4.5 .............................................................................................. 61

6. Data Foto 4.6 .............................................................................................. 64

7. Data Foto 4.7 .............................................................................................. 68

8. Data Foto 4.8 .............................................................................................. 71

9. Data Foto 4.9 .............................................................................................. 74

10. Data Foto 4.10 ............................................................................................ 77

Page 13: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gambar yang dibuat pada permukaan cadas muncul mendahului bahasa

tulisan dan merupakan bahasa rupa tertentu, dan yang menarik lagi adalah bahwa

gambar cadas tersebut merupakan sebuah media komunikasi untuk

menyampaikan pesan tertentu bukan karya seni murni yang bertujuan estetika.1

Fotografi bertindak sebagai dokumen sosial dengan meletakkannya

sebagai dokumentasi berarti foto memiliki isi dan pesan mengenai informasi-

informasi yang bisa dijadikan dokumen. Kalau foto itu merekam orang, barang

dan situasi maka ia bisa dianggap sebagai dokumen sosial dan sebagainya.

Foto sebagai dokumen sosial sering dikaitkan dengan terminologi fotografi

dokumenter, foto jurnalistik dan fotografi jalanan (street photography) yang

pengertiannya sering tumpang tindih. Menurut Wikipedia, fotografi dokumenter

biasanya mengacu pada bentuk populer fotografi yang digunakan untuk mencatat

peristiwa penting dan bersejarah. Hal ini biasanya tercakup dalam foto jurnalistik

profesional, atau reportase kehidupan nyata, tetapi juga dapat menjadi amatir,

1 Primadi Tabrani, “Membaca Gambar Cadas Pra-sejarah”, dalam Rahayu Hidayat (ed.)

Cerlang Budaya: Gelar Karya Untuk Edi Sedyawati. Depok: Lembaga Penelitian UI, 1999,

hlm.230

Page 14: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

2

artistik, atau akademik. Fotografer mencoba untuk menghasilkan fotografi jujur,

obyektif, dan biasanya jujur terhadap topik tertentu, paling sering gambar orang.2

Namun kita dapat melihat perbedaan antara fotografi dokumenter dan foto

jurnalistik, Wikipedia menuliskan, bahwa fotografi dokumenter pada umumnya

berkaitan dengan proyek-proyek jangka panjang dengan alur cerita yang lebih

kompleks, sementara foto jurnalistik lebih menyiarkan berita (breaking news).

Kedua pendekatan sering tumpang tindih. 3

Sedangkan fotografi jalanan (street photography) adalah genre non-formal

fotografi yang menampilkan subyek dalam situasi candid di tempat umum seperti

jalan, taman, pantai, mall, konvensi partai politik dan latar yang terkaitnya.

Fotografi jalanan dan fotografi dokumenter adalah dua genre fotografi yang

sangat mirip yang sering tumpang tindih sementara memiliki kualitas individu

yang berbeda.

Fotografi jalanan memiliki kemampuan untuk mendokumentasikan

sementara fotografi dokumenter memiliki niat yang pasti dari sejarah perekaman.

Fotografi dokumenter bisa berterus terang, tapi fotografi jalanan didefinisikan

oleh kejujurannya. Fotografi jalanan menghasilkan hiburan yang ironis sementara

fotografi dokumenter menyediakan intensitas emosional. Bahasa fotografi jalanan

yang halus dan bukan sebagai yang keras dan blak-blakan seperti pada bahasa

fotografi dokumenter.

2 http://en.wikipedia.org/wiki/Documentary_photography, diakses 10 Maret 2013

3 http://en.wikipedia.org/wiki/Documentary_photography, diakses 10 Maret 2013

Page 15: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

3

Pada abad ke-19, puncak fotografi jalanan, kebanyakan fotografer adalah

naif untuk menyajikan fakta bahwa mereka mendokumentasika sejarah sebagai

fotografer jalanan mereka tidak punya niat tertentu atau tujuan di luar produksi

cetak candid. 4

Foto-foto Erik Prasetya adalah sebuah studi atas Jakarta, ia melakukannya

selama 20 tahun sebagai seorang warga di dalam ruang dan peristiwa kota itu.

Kemudian hadir di dalam lokasi tersebut. Ia adalah fotografer kelahiran Padang

tahun 1958 yang menawarkan sebuah model pendekatan yang disebut sebagai

“Estetika Banal”. Estetika tentu saja mengandung keindahan, sedangkan banal

berarti kasar, membosankan, atau menjenuhkan.5 Foto-foto Erik adalah apa yang

disebut dengan praktik voyeurisme6 , dengan memaknai ruang hidup kota Jakarta

dengan komplesitasnya, manusia Jakarta. Hal ini ia utarakan dalam bukunya

bahwa ia tertarik pada wajah manusia dan pergerakannya di dalam kota. Ia tidak

tertarik pada bangunan dan struktur yang kosong. 7

Begitupun, foto-foto Erik bagian dari fotografi jalanan yang memiliki

subyektifitasannya sebagai pendekatan dalam membahasakan fotografi secara

4 http://en.wikipedia.org/wiki/Documentary_photography, diakses 10 Maret 2013

5Erik Prasetya, Jakarta Estetika Banal: Dewan Kesenian Jakarta, 2011, hal 11

6 Menurut Wikipedia Voyeurisme adalah minat seksual di atau praktik memata-matai

orang yang terlibat dalam perilaku yang intim, seperti membuka baju, aktivias seksual, atau

tindakan yang biasanya dianggap bersifat pribadi. Karakteristik utama dari voyeurisme adalah

bahwa voyeur tidak biasanya berhubungan langsung dengan subyeknya/minatnya, yang sringkali

tidak menyadari sedang diamati. Voyeurisme mungkin melibatkan pembuatan sebuah foto atau

video rahasia dari subyek selama kegiatan intim. Ketika kepentingan dalam subyek tertentu yang

obsesif, perilaku yang apat digambarkan sebagai menguntit.

http://en.wikipedia.org/wiki/Voyeurism, diakses 10 Maret 2013. Namun dalam

perkembangannya praktik voyeurisme tidak melulu soal seksualitas melainkan merambah ke hal

yang lain dan apa yang dilakukan oleh Erik coba mengintip karakteristik kota Jakarta dari sudut

bidikan fotonya. 7 Erik Prasetya, Jakarta: Estetika Banal. Jakarta: Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia

(KPG), 2011.

Page 16: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

4

lebih halus dan jujur serta turut membentuk wajah kota seperti foto-foto Henri

Cartier-Bresson yang turut andil membentuk kota Paris. 8

Estetika banal tidak memotret drama atau peristiwa besar melainkan

memotret hal-hal sehari-hari yang menjadi bagian kehidupan fotografer. Betapa

sebuah kota mempunyai kekurangan pengetahuan tentang kebutuhan dan

kemampuan yang nyata dari penduduknya, sehingga sebagian besar kebutuhan itu

tidak terpenuhi dan sebagian besar kemampuannya tidak disertakan dalam

membangun kotanya.

Buku Jakarta Estetika Banal adalah statement Erik dalam merekam dan

menghayati kota Jakarta dengan keterlibatannya sebagai bagian dari warga kota

Jakarta. Bagi Erik, kota Jakarta dengan penduduk melebihi 10 juta orang tersebut

berkembang menjadi “kota informal”. Sederhananya, kota informal adalah kota

yang lebih tidak terencana ketimbang terencana. Kota yang utamanya terbentuk

dari sektor informal. 9

Foto-foto Erik Prasetya dalam buku Jakarta Estetika Banal dimulai di awal

tahun 1990-an, dimana ia memulai proyek pemotretan Jakarta. Akhir masa Orde

Baru, tahun 1990-an, adalah periode ketika warga kehilangan ruang publik dan

mal menjadi ruang publik pengganti bagi kelas menengah. Awal 2000-an adalah

era kelas menengah yang menjadi asal sebagian besar fotografer profesional. 10

8 Saya ulas dari Wikipedia, Street Photography,

http://en.wikipedia.org/wiki/Street_photography, diakses 10 Maret 2013

9 Erik Prasetya, Jakarta Estetika Banal, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta:

2011. Hlm. Tanpa Halaman. 10

Ibid

Page 17: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

5

Namun Erik mencoba keluar dari pendekatan eksotis romantis dalam

memotret sebuah obyek. Apa yang ia hadirkan dalam proyek pemotretan Jakarta

yang terhimpun dalam bukunya ini merupakan antithesis dari dominasi

pendekatan yang sering digunakan oleh para jurufoto. Erik menangkap kota

Jakarta dengan banalitasnya dan sesuatu yang hambar, biasa-biasa saja bahkan

membosankan. Ini tak terlepas dari pandangan Erik mengenai kota Jakarta yang

tidak terencana dengan baik dan semerawut.

B. Pembatasan dan perumusan masalah

Karena ruang lingkup penelitian ini sangat luas, maka batasan

permasalahan yang di ambil dari penelitian ini adalah “Analisis semiotika foto

pada buku Jakarta Estetika Banal karya Erik Prasetya”.

Agar pembahasan penelitian ini lebih terarah maka rumusan masalah

dalam penelitian ini di rangkum melalui pertanyaan :

a. Bagaimana menganalisis Denotasi foto yang terkandung dalam

perspektif semiotika pada foto foto Erik Prasetya dalam buku Jakarta

Estetika Banal?

b. Bagaimana menganalisis konotasi foto yang terkandung dalam

perspektif semiotika pada foto foto Erik Prasetya dalam buku Jakarta

Estetika Banal?

c. Bagaimana menganalisis mitos foto yang terkandung dalam perspektif

semiotika pada foto foto Erik Prasetya dalam buku Jakarta Estetika

Banal?

Page 18: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang di atas, maka

tujuan penelitian adalah untuk :

1. Mengetahui makna Denotasi foto yang terkandung dalam perspektif

semiotika pada foto foto Erik Prasetya dalam buku Jakarta estetika banal.

2. Mengetahui makna konotasi foto yang terkandung dalam perspektif

semiotika pada foto foto Erik Prasetya dalam buku Jakarta estetika banal.

3. Mengetahui makna Mitos foto yang terkandung dalam perspektif

semiotika pada foto foto Erik Prasetya dalam buku Jakarta estetika banal.

Manfaat penelitian :

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini di harapkan mampu memberikan kontribusi pada kajian Ilmu

komunikasi terlebih pada kajian ilmu jurnalistik foto khususnya di bidang

fotografi, Penelitian ini juga di harapkan menjadi salah satu referensi bagi

pecinta fotografi dalam menghasilkan sebuah karya.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi praktisi komunikasi terlebih

bagi mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam kosentrasi Jurnalistik agar

lebih mengetahui ilmu Fotografi Jurnalistik. Kemudian penelitian ini

diharapkan mampu mengembangkan pemikiran serta pengetahuan

mengenai simbol simbol dan tanda tanda di balik foto.

Page 19: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

7

D. Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

kualitatif, dimana hasil temuan akan dideskripsikan kemudian ditinjau

kembali untuk dianalisis dari hasil pengamatan lapangan dan penelusuran

pustaka. Metode deskriptif kualitatif adalah proses pencarian data untuk

memahami masalah sosial yang didasari pada penelitian menyeluruh.

1. Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data ada beberapa tahap, dengan menggunakan

kualitatif, kemudian melakukan observasi yang terlibat langsung

dengan objek yang diteliti melalui interview. Sampel kecil merupakan

ciri yang digunakan dalam pendekataan kualitatif, karena itu pada

pendekatan ini menekankan pada kualitasnya bukan jumlahnya.

2. Pengelolahan Data

Dalam penelitian ini menggunakan analisis semiotika yang

menggunakan tiga demensi yaitu denotasi analogon, konotasi dan

mitos. Denotasi analogon adalah pesan langsung tanpa kode,pesan

yang sampai pada kita tanpa penafsiran dari teks hanya dengan melihat

foto secara keseluruhan.konotasi citra mengacu pada enam prosedur,

yaitu Trick Effect, Pose, Pemilihan Object, Photogenia, Aestheticsm,

dan Syntax.

Konotasi dan denotasi sering dijelaskan dalam istilah dan representasi

atau tingkatan nama. Roland Barthes menggunakan istilah order of

Signification. Tahap pertama dari order of Signification adalah

denotasi sedangkan tahap keduanya adalah konotasi. Makna denotasi

Page 20: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

8

merupakan penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Kemudian dari

pemaknaan tersebut muncul pemaknaan lain, sebuah konsep mental

lain yang melekat pada tanda (yang kemudian dianggap sebagai

penanda). Pemaknaan inilah yang kemudian menjadi konotasi.11

3. Menganalisa Data

Tahap selanjutnya adalah menganalisa data, dalam tahap ini akan

dianalisis foto foto yang dijadikan sampel dalam penelitian dalam

tahap ini akan menggunakan data sekunder yang didapat dari literatur

dan kepustakaan.

Menggunakan Analisis Visual Theo Van Leeuwen dengan Semiotika

Roland Barthes yaitu mengetahui makna denotasi, konotasi, mitos di

dalam foto Jakarta Estetika Banal. Menurut Saussure ( Budiman,

1999a:107) semiologi merupakan sebuah ilmu yang mengkaji

kehidupan tanda tanda di tengah masyarakat dan dengan demikian

menjadi bagian dari disiplin ilmu psikologi sosial. Tujuannya adalah

untuk menunjukan bagaimana tebentuknya tanda tanda tersebut

berserta kaidah kaidah yang mengaturnya.12

11

M. Antonius Birowo, ed. Metode Penelitian Konunikasi. (Yogyakarta: Gitanyali,2004,

hal 56 12

Alek Sobur. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Penerbit Remaja

Rosdakarya,2006,hal 12

Page 21: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

9

E. Sistematika Penulisan

Sistematika pemabhasan dalam penelitian ini terdiri dari 5 pokok

bahasan yang meliputi :

BAB I PENDAHULUAN

Membahas memgenai bagian pendahuluan, memuat

mengenai latar belakang masalah, Pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat

penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika

penulisan

BAB II LANDSAN TEORI

Membahas mengenai Landasan teori, memuat mengenai

pengertian fotografi, makna foto Jakarta estetika banal,

analisis semoitika.

BAB III GAMBARAN UMUM BUKU JAKARTA ESTETIKA

BANAL

Membahas mengenai gambaran umum buku Jakarta

estetika banal, profil Erik Prasetya, profil buku, sampel

foto.

BAB IV ANALISIS DATA FOTO

Membahas mengenai analisis tentang makna dan simbol

simbol yang ada di dalam sebuah foto dalam buku Jakarta

estetika banal dengan menggunakan semiotika Roland

Barthes.

Page 22: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

10

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

membahas mengenai kesimpulan dari penelitian ini serta

saran terutama untuk Erik Prasetya dan para pencinta

fotografi agar mengiptakan karya yang lebih baik dan

kreatif serta memiliki konsep.

Page 23: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

11

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Fotografi

Kata fotografi berasal dari bahasa Yunani, dari kata phos artinya cahaya

dan graph yang berarti menulis atau menggambar. Jadi secara harfiah, fotografi

berarti menggambar dengan bantuan cahaya.1

Pada Tahun 1558 ilmuwan italia Giambasista Della Forta menyebut

kamera “camera obscura” pada sebuah kotak yang membantu pelukis menangkap

bayangan gambar. Suatu fakta bahwa fotografi lahir sebagai upaya

menyempurnkan karya seni visual dan bentuk prototif sebuah kamera yang

disebut camera obscura. Meski percobaan alat rekam gambar sudah mencapai

taraf yang menguntungkan dan perkembangan dari saat ke saat semakin berhasil,

tetap saja belumbisa disebut proses fotografi karena media perekam gambarnya

masih belum bisa membuat gambar permanen. 2

Foto adalah suatu pesan yang dibentuk oleh sumber emisi, saluran,

transmisi dan titik resepsi. Struktur foto bukanlah sebuah struktur yang terisolasi,

karena selalu berada dalam komunikasi dengan struktur lain, yakni teks, judul,

keterangan, yang selalu mengiringi foto.Dengan demikian pesan keseluruhannya

dibentuk oleh ko-operasi dua struktur yang berbeda.3

1 M. Mudaris, Jurnalistik foto, (Semarang; Badan penerbitan universitas Diponegoro.

1996). Hal. 7 2Ray Bachtiar, Ritual Fotografi, Chip foto video edisi special. H.8

3Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata, fotografi, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), h.27

11

Page 24: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

12

Barthes mengajukan tesis di dalam bukunya Image Music Text, tentang

pesan fotografi, ia mengatakan apa isi pesan fotografi? apa yang foto itu

sampaikan? tentu gambar bukanlah realitas tapi setidaknya itu adalah analagon

sempurna dan itu adalah persis kesempurnaan analogis ini yang ada, dengan akal

sehat. Fotografi itu adalah pesan tanpa kode, dari mana proporsi merupakan

konsekuensi penting yang harus segera ditarik: pesan fotografi adalah pesan yang

terus menerus. 4

Fotografi umumnya dipandang sebagai suatu proses teknologi yang

memungkinkan kita membekukan waktu, gerak atau peristiwa. Dengan bantuan

bahan peka cahaya (film dan kertas) mengubahnya menjadi monochrome (hitam

putih) ataupun berwarna (di kertas atau bahan transparan), sebuah foto pada

dasarnya adalah wujud suatu moment dari suatu angka atau serangkaian gerak. 5

Penemuan di bidang fisika dan kimia yang didasari pengamatan bahwa

semua benda memantulkan cahaya kembali, dan cahaya tersebut dapat direkam

menjadi dasar penciptaan kamera. Penemuan tersebuat juga menciptakan cara

merekam objek atau subjek secara permanen yang berada di depan lensa kamera.6

Fotografi merupakan sebuah proses membuat gambar dengan

menggunakan media cahaya, metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari

suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut

pada media yang peka cahaya. Alat yang digunakan adalah kamera, dan pada

prinsipnya cara kerja fotografi yakni memfokuskan cahaya dengan bantuan

4 Roland Barthes, Image Music Text, trans. Stephen Heath. London: Fontana Press. 1977.

Hlm. 17 5 Ed Zoelverdi, Mat Kodak. (Jakarta; PT .Tempoprint, 1985), h. 76.

6 Robi Irsyad, Representasi tentara Amerika Serikat dalam foto berita surat kabar

nasional. Hal. 11

Page 25: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

13

pembiasan sehingga mampu merekam medium penangkap cahaya yang kemudian

menghasilkan bayangan identik kemudian cahaya yang memasuki medium

pembiasan yang biasa disebut lensa.

Hasil karya fotografi dikerjakan dengan menggunakan kamera, yang

memiliki cara kerja yang sama dengan cara kerja mata manusia, kamera memiliki

lensa, dan mengambil pantulan cahaya terhadap suatu objek agar menjadi sebuah

gambar, sebuah kamera dapat merekam sebuah gambar kedalam sebuah film dan

hasilnya dapat diperbanyak, dan diperlihatkan kepada orang lain. Sedangkan

mata, hanya dapat merekam gambar kedalam otak dan tidak bisa dilihat secara

langsung kepada orang lain.

Kalau salah satu fungsi bahasa adalah representatif (fungsi

menghadirkan),munculnya foto harus mendapatkan perhatian secara serius karena

foto mempunyai kemampuan representatif yang sempurna.7 Foto menjadi bentuk

yang lain dari informasi yang disajikan dalam bentuk kajian jurnalistik, selain

sebagai pendamping berita, foto dapat sebagai daya tarik sendiri untuk dikaji dan

didalami sebagai sebuah cabang dari bahasa visualyang ada dalam foto tersebut,

melalui kajian semiotika dapat terungkap yang tersirat dan tersurat dalam foto

tersebut, karena kelebihan fotografi terletak pada kemampuanya untuk merekam

semua hal yang dilihat oleh fotografer lewat lensanya.

Fotografi menjadi sebuah perubahan dalam cara pandang manusia,

kemudian fotografi bukan hanya menciptakan citraan yang begitu akurat, rinci dan

obyektif dalam menangkap realitas lewat sebuah kamera, namun lebih dari pada

7 St sunardi, Semiotika Negative,(Buku baik.yogyakarta), h. 138

Page 26: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

14

itu fotografi bagi Moholy Nagy adalah dapat menyelesaikan atau melengkapi alat

optik kita, mata .8 Dan bagi Moholy Nagy, perkembangan penglihatan manusia

diluar yang diberikan oleh mata demikian terhubung dengan kapasitas sosial dan

biologis untuk berpartisipasi dalam representasi.9

Foto berita yang pada hakikatnya merupakan representasi sempurna atau

analogon dari realitas yang sebenarnya (denotasi) ternyata sampai kepada

pembaca sudah dalam bentuk konotasi.10

Demikian pula dengan sebuah bentuk

atau karya seni rupa yang disentuh dengan perangkat lunak, setidaknya wajib

mempunyai gagasan sekecil apapun di dalamnya.

B. Pengertian Estetika Banal

1. Pengertian Estetika

Estetika berasal dari kata Yunani Aesthesis, yang berarti perasaan atau

sensitivitas. Itulah sebabnya maka estetika erat sekali hubungannya dengan selera

perasaan.11

Erik Prasetya menerangkan pengertian estetika yang merujuk pada

definisi Oxford Advanced Learner‟s Dictionary adalah (1)concerned with beauty

and art and the understanding of beautiful things; (2) made in an artistic way and

beautiful to look at; (3) the aesthetic quality and ideas of something; (4) aesthetic:

the branch of philosophy that studies the principles of beauty, especially in art. 12

8 Celia Lury, Prosthetic Culture Photography, Memory and Identity, London & New

York: Routledge. 1998. Hlm. 163 9 Celia Lury, Prosthetic Culture Photography, Memory and Identity, London & New

York: Routledge. 1998. Hlm. 164 10

St sunardi,Semiotika negative, (Buku baik.yogyakarta), h. 145

11 Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :

Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.16 12

Wawancara dengan Erik Prasetya ditambah penjelasan yang utuh dari definisi Oxford

Advanced Learner‟s Dictionary tentang Estetika.

Page 27: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

15

Alexander Baumganten (1714-1762), seorang filsuf jerman yang pertama

memperkenalkan kata “ aisthetika” sebagai penerus pendapat Cottfried Leibniz

(1646-1716). Baumgarten memilih estetika karena ia berharap dapat memberikan

tekanan pada pengalaman seni sebagai suatu sarana untuk mengetahui (the

perfection of sentient knowledge).13

Bagi Baumganten, dia percaya bahwa dasar dari seni adalah “representasi

sensitif” yang bukan hanya sensasi, tetapi yang berhubungan dengan perasaan.

Tentu saja, untuk mengatakan bahwa estetka ada hubungannya dengan aspek

sensual dari pengalaman.14

Menurut Louis Kattsof, estetika adalah cabang filsafat yang berkaitan

dengan batasan rakitan (structure) dan peranan (role) dari keindahan, khususnya

dalam seni.15

Estetika merupakan studi filsafat yang berdasarkan nilai apriori dari

seni (Panofsky) dan sebagai studi ilmu jiwa berdasarkan gaya-gaya dalam seni

(worringer).16

Herbert Read dalam bukunya The Meaning of Art merumuskan keindahan

sebagai suatu kesatuan arti hubungan bentuk yang terdapat di antara pencerapan

pencerapan indrawi kita. Thomas Aquinas merumuskan keindahan sebagai suatu

yang menyenangkan bila dilhat.Kant menitikberatkan estetika kepada teori

keindahan dan seni.

13

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :

Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.16 14

David E. W. Fenner, Introducing Aesthetic, Westport, CT: Praeger. 2003. Hlm. 7 15

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :

Rekayasa Sains , 2004), cet.1, h.6 16

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :

Rekayasa Sains , 2004), cet.1, h.7

Page 28: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

16

Keindahan dalam arti yang luas, semula merupakan pengertian dari bangsa

yunani, yang didalamnya tercangkup pula ide kebaikan. Plato misalnya menyebut

tentang watak yang indah dan hukum yang indah, sedang Aristoteles merumuskan

keindahan sesuatu yang selain baik juga menyenangkan. Plotinus menulis tentang

ilmu yang indah dan kebajikan yang indah.17

Ada dua teori mengenai keindahan, yaitu bersifat subjektif dan

objektif.Keindahan yang bersifat subjektif ialah keindahan yang ada pada mata

yang memandang, sedangkan keindahan objektif menempatkan keindahan pada

benda yang dilihat.18

Pandangan klasik (Yunani) tentang hubungan seni dengan keindahan

keduanya saling mendukung, Sortais menyatakan bahwa keindahan ditentukan

oleh keadaan sebagai sifat objektif dari bentuk (I‟esthetique est la science du

beau). Lips berpandangan bahwa keindahan ditentukan oleh keadaan perasaan

subjektif atau pertimbangan selera (die kunst ist die geflissenliche hervorbringung

des schones).19

George Santayana (1863-1952) berpendapat bahwa estetik berhubungan

dengan pencerapan dari nilai-nilai.20

Nilai estesis selain terdiri dari dari nilai

positif kini dianggap pula meliputi nilai negatif.Hal menunjukan nilai negatif

yakni kejelakan.Kejelakan yang dimaksud merujuk pada ciri yang sangat

17

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :

Rekayasa Sains , 2004), cet.1, h.3 18

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :

Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h. 10 19

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :

Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h. 11 20

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :

Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.14

Page 29: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

17

bertentangan sepenuhnya dengan kualitas yang indah tersebut, kini keindahan dan

kejelakan sebagai nilai estesis yang positif dan negatif yang pada

umumnyadiartikan sebagai kemampuan dari suatu benda untuk menimbulkan

suatu pengalaman estetis.21

Estetika timbul tatkala pikiran filsuf mulai terbuka dan mengkaji

berbagai keterpesonaan rasa.Estetika bersama dengan etika dan logika membentuk

satu kesatuan yang utuh dalam ilmu normative di dalam filsafat.22

Pertumbuhan

estetika secara garis besar dibedakan ke dalam tiga periode :

Periode Platonius atau Dogmatis

Periode Kritika

Periode positif

Periode Platonis atau Dogmatis berlangsung sejak Sokrates hingga

Baumgarten.Jika istilah estetika diartikan filsafat keindahan, maka sejarah estetika

berarti sejarah filsafat keindahan.23

Kemudian periode kritik berangkat pada massa sesudah Baumgarten

sampai wafatnya Kant (1904) dan berimbas setelah Kant. Tatkala Estetika dalam

periode kritik, atau lebih tepatnya dari objektivisme kepada relativisme atau

21

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :

Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.15 22

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :

Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h. 16 23

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :

Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.48

Page 30: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

18

mengarah ke subjektifitas, maka mengalami perkembangan yang membawa keluar

dari ontology ke bidang penyelidikan ilmujiwa.24

Periode positif mempinyai ciri yang sangat bertentangan dengan

metafisika.Tacher adalah orang yang berjasa dalam merintis penggunaan

eksperimen yang sistematis untuk membentuk Estetika formil yang ilmiah25

.

Dalam perjalanannya estetika pada abad pertengahan merupakan abad

gelap yang menghalagi kreatifitas seniman dalam berkarya seni, gereja Kristen

lama bersifat memusuhi seni dan tidak mendorong refleksi filosofis terhadap hal

itu. Seni mengabdi hanya untuk kepentingan gereja karena kaum gereja

beranggapan bahwa seni itu hanyalah dan selalu memperjuangkan bentuk visual

yang sempurna26

.

Kemudian pada estetika modern David Hume berpendapat bahwa

keindahan bukanlah kualitas objektif dari objek.Sebuah benda dikatakan indah

bila bentuknya menyebabkan saling mempengaruhi secara harmonis, diantara

imajinasi dan pengertian (pikiran).Penilaian sebjektif dalam arti ini.27

Kemudian Bennedotte Croce mengemukakan teori estetikanya dalam

sebuah sistem filosofis dari idealisme.Segala sesuatu adalah ideal yang merupakan

aktifitas pikiran. Dan menurut Comte estetika adalah wilayah pengetahuan

24

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :

Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.54 25

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :

Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.56 26

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :

Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h. 76 27

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :

Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.79

Page 31: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

19

intuitif.Satu intuisi merupakan sebuah imajinasi yang berada dalam pikiran

seniman.28

Diantara filsuf awal abad 20, John Dewey mungkin memiliki, perlakukan

terdalam dari pengalaman estetis. Bagi Dewey, pengalaman estetika adalah

pengalaman yang maksimal disatukan. Semua pengalaman ia menandaskan adalah

estetika tingkat tertentu, khususnya sejauh mana mereka dipersatukan.

Pengalaman-pengalaman individu yang bersatu membentuk apa yang disebut

Dewey sebagai pengalaman.29

2. Pengertian Banal

Terminologi banalitas dipolulerkan oleh filsuf Hannah Arendt pada

penjabaran pemikirannya tentang banalitas kejahatan yang tertulis di dalam

bukunya yang berjudul Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil

yang berangkat dari fenomena kekerasan para tentara NAZI. 30

Ketika itu yang dia amati adalah Adolf Eichmann, seorang tangan kanan

Hitler yang bertugas mengatur pembantaian orang-orang Yahudi, yang sedang

diadili di sidang pengadilan. Ketidakberpikiran membuat suatu tindakan menjadi

terasa wajar, termasuk tindakan yang mengerikan, tidak berpikir berbeda sama

sekali dengan bodoh. Orang bisa saja amat cerdas, namun tak menggunakan

kecerdasannya itu secara maksimal untuk berpikir secara menyeluruh, berpikir

28

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung : Rekayasa

Sains , 2004), cet.1,h.79. 29

David. E.W. Fenner, Introducing Aesthetics, Westport, CT: Praeger. 2003. Hlm. 11 30

Reza A.A Wattimena, Artikel Hannah Arendt dan Banalitas Kejahatan,UNIKA Widya

Mandala. Surabaya. 201, hlm.32

atau http://rumahfilsafat.com/2011/12/23/hannah-arendt-dan-banalitas-kejahatan/

Page 32: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

20

secara sistemik (bukan sistematis). Dan karena tak berpikir, ia seringkali tak

sadar, bahwa tindakannya itu merupakan suatu yang mengerikan.

Perbedaan ekspresi kebudayaan sering ditampilkan dalam bingkai

pertentangan atau oposisi biner (binary opposition), misalnya pertentangan antara

budaya tinggi (high culture) dan budaya massa (mass culture). Perbedaan

mempunyai nilai-nilai `luhur‟ (indah, suci, atas, serius, mulia, tinggi) dan yang

mempunyai nilai-nilai `bawah‟ (rendah, banal, buruk, profan, asal jadi, instan).31

Postmodernisme pluralis mengakui kesetaraan antara tinggi dan populer,

dengan menghapus metafora spasial tinggi/rendah, sehingga setiap bentuk

mempunyai hak yang sama untuk hidup.32

Banalitas secara harfiah menurut

Kamus Webster, berarti sesuatu yang biasa dan remeh-temeh. 33

Erik Prasetya menjelaskan pengertian banal yang dirujuk dari defenisi

Oxford Advanced Learner’s Dictionary adalah Very Ordinary and Containing

Nothing that is Interesting or Important, sesuatu yang biasa-biasa saja tidak

mengandung sesuatu yang menarik dan penting.34

3. Metode Kerja Estetika Banal

Dalam proses kerja estetika banal Erik Prasetya memilih pola kerja dan

materi untuk menyatakan ekspresinya dengan memiliki warna teorits dan praktis

dengan memilih kamera analog karena ingin mengandirkan kembali apa yang

31

Yasraf Amir Piliang, Makalah Sastra dan Estetika Massa pada diskusi gerakan

cakrawala, Bandung . 2008. 32

Yasraf Amir Piliang, Makalah Sastra dan Estetika Massa pada diskusi gerakan

cakrawala, Bandung . 2008.

33

Iding R. Hasan, Artikel Pencalonan Artis dan Banalitas Politik, 2010. 34

Wawancara dengan Erik Prasetya

Page 33: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

21

telah direkam dalam pemikirannya. Bagi Erik Prasetya estetika banal tidak

memotret drama atau persitiwa besar, melainkan memotret hal sehari-hari yang

menjadi bagian hidup fotografer.35

Ia pun berbeda dengan kebayakan fotografer

yang lain karena ia selalu mendahulukan adegan dan membiarkan pencahayaan

seadanya. Ini menyebabkan karya-karya iatidak mempunyai dimensi kedalaman

ruang yang membangun kenikmatan dalam memandang gambar karena kekayaan

komposisi dan detail.

Pilihan Erik Prasetya pada kamera film berjenis korel (bulir) yang halus

karena saat dipaksakan push processing ia tidak membentuk bulir-bulir yang halus

melainkan yang jarang dan kasar, sementara ia banyak memaksa kemampuan

rekam cahaya film untuk berkerja diluar batas kemampuan. Ini mungkin saja

bukan pilihan awal saat memulai kerja tetapi akhirnya mengacu pada hasil akhir

yang ia rasakan sebagai maksimal.

Erik tidak menanti pencahayaan yang ideal, ia memilih waktu atau lebih

tepatnya moment saat pertemuan ekspresi oleh komposisi yang tepat, menjadikan

satu gambar yang memiliki impresi yang maksimal. Mungkin ini dapat dikatakan

sebagai antithesis bagi mereka yang mengacu pada estetika, sehingga Erik

meskipun sama-sama merekam kota tetapi boleh dikatakan bersebrangan, bahkan

berdiri berhadapan dengan jurufoto kota Jerman, Peter Bialobrzeski, yang

menanti suasana tepat untuk diabadikan serta cenderung meniadakan manusia

(sebagai makhluk teraliensi di kota). Erik menangkap dinamika dan wajah

manusia dan kota “sebenarnya”.

35

Wawancara dengan Erik Prasetya

Page 34: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

22

Begitu juga banalitas Erik justru menghadirkan suasana pencahayaan yang

rill di kota Jakarta. Saat melihat karya-karya Erik tidak memliki pencahayaan

yang klasik tadi, ia seperti apa yang dirasakan sehari-hari, cenderung datar dan

monoton, sedang dinamika yang ada datang dari wajah, ekspresi, tindak laku

manusia atau pun suasana yang ada.

Menggunakan film dengan kontras rendah, pendekatan tersebut spontan

sebagai estetika yang menjadi anutan dan menjadikan karya-karyanya menjadi

beda karena ia mampu menghadirkan kenyataan kehidupan besar di kota besar

seperti apa adanya, dan bila ada yang surreal, itu hanya pilihan hitam putih saja ,

kemudian saat ia berkerja memotret Jakarta estetika banal ia tidak pernah

menggunakan lensa tele (panjang), ia bekerja dengan lensa normal serta semi

lebar karena distorsi sudut pandang mata tidak banyak mengalami perubahan,

hanya saja sesekali ia mengubah sudut pandang.

Dalam estetika banal hubungan fotografer dengan yang dipotret lebih

dialogis ketimbang subyek obyek. Mencari pola sintagmatik untuk

menggambarkan paradigmatik. Peristiwa banal yang paradigmatik dan

sintagmatik ini yang kita cari estetikanya agar bisa menggambarkan peristiwa

yang banal. Dalam fotografi estetika banal apa yang bisa kita ulik yang bisa kita

mainkan agar elemen-elemen bisa menciptakan sebuah yang paradigmatik. 36

36

Wawancara dengan Erik Prasetya

Page 35: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

23

C. Semiotika Visual

1. Pengertian Semiotika

Semiotika atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu

yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di eropa sedangkan

semiotika lazim dipakai oleh ilmuan Amerika. Semiotika adalah suatu ilmu atau

metode analisis untuk mengkaji tanda.37

Semiologi adalah ilmu umum tentang tanda, dalam definisi Saussure,

semiologi merupakan sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di

tenmgah masyarakat dan dengan demikian menjadi bagian dari disiplin psikologi

sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukan bagaimana terbentuknya tanda-tanda

beserta kaidah kaidah yang mengaturnya. Para ahli semiotika prancis tetap

mempertahankan istilah semiologi saussurean ini bagi bidang kajiannya. Dengan

cara itu mereka ingin menegaskan perbedaan antara karya-karya mereka dengan

karya-karya semiotik yang kini menonjol di Eropa Timur, Italia, dan Amerika

Serikat.38

Semiotika adalah ilmu yang secara sistematis mempelajari tanda tanda,

lambang lambang, sistem dan prosesnya.39

Semiotika sebagai suatu model dari

ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang

37

Alex sobur. Semiotika Komunikasi (Bandung ; Remaja Rosdakarya, 2006). h 15 38

Kris bidiman, Kosa Semiotika (Yogyakarta : LKIS. 1999) h. 107 39

Puji santosa.Ancangan Semiotika dan Pengkaajian Susastra, ( Bandung ; Angkasa.

1931). h.3

Page 36: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

24

memiliki unit dasar yang disebut dengan “tanda”. Dengan demikian, semiotika

mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda.40

Ferdinand de Saussure dalam bukunya Course in General Linguistics,

mengatakan bahwa semiologi, berasal dari bahasa Yunani semeion, yang akan

menyelidiki sifat tanda-tanda dan hukum yang mengatur mereka. Karena belum

ada kita tidak bisa mengatakan dengan pasti bahwa itu akan ada. Linguistik

hanyalah salah satu cabang dari ilmu pengetahuan umum. Hukum semiologi akan

menemukan hukum yang berlaku dalam linguistik, dan linguistik dengan

demikian akan ditugaskan ke tempat yang jelas di bidang pengetahuan manusia. 41

Studi sistematis tentang tanda-tanda dikenal sebagai semiologi, arti

harfiahnya adalah kata-kata mengenai tanda-tanda .Kata semi dalam semiologi

berasal dari semeion (bahasa Latin), yang artinya tanda. Semiologi telah

dikembangkan untuk menganalisis tanda tanda.42

Untuk menyederhanakannya kemudian Umberto Eco dalam bukunya A

Theory of Semiotics menjelaskan dan mempertimbangkan, bahwa semiotika

berkaitan dengan segala hal yang dapat dimaknai tanda-tanda. Suatu tanda adalah

segala sesuatu yang dapat dimaknai tanda tanda. Suatu tanda adalah segala

sesuatu yang dapat dilekati (dimaknai) sebagai penggantian yang signifikan untuk

sesuatu lainnya. Segala sesuatu ini tidak terlalu dan mengharuskan perihal adanya

atau mengaktualsasi perihal dimana dan kapan suatu tanda memaknainya.Jadi,

semiotika ada semua kerangka (prinsip), semua disiplin studi, termasuk dapat pula

40

Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis

Semiotik, dan Analisis Framing , (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006) cet 6.hal. 87 41

Daniel Chandler, Semiotics The Basics, Second Edition. Routledge.2002, 2007. Hlm. 3 42

Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika : Tanda-Tanda dalam Kebudayaan

Kontemporer, Edisi baru (Yogyakarta ; tiara wacana, 2010) cet 1. h.4

Page 37: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

25

digunakan untuk menipu bila segala sesuatu tidak dapat dipakai untuk

menceritakan (mengatakan) segala sesuatu.43

Umberto Eco menyebut tanda tersebut sebagai kebohongan, dalam tanda

ada sesuatu yang tersembunyi dibaliknya dan bukan merupakan tanda itu sendiri.

Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas, dikonstruksikan

oleh kata-kata dan tanda-tanda yang digunakan dalam konteks sosial.44

Semiotika berkembang sejak awal abad ke 20. Memang pada awal abad 18

dan ke 19 banyak ahli teks (khususnya Jerman) berusaha mengurai berbagai

masalah yang berkaiatan dengan tanda, namun mereka tidak menggunakan

pengertian semiotika.45

Semiotika didefinisikan oleh Ferdinand de Saussure didalam Course in

General Lingustics. Sebagai “ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian

dari kehidupan sosial.46

Sedangkan Semiotika menurut Roland barthes adalah

ilmu mengenai bentuk (form). Studi ini mengkaji signifikasi yang terpisah dari

sisinya (content). Semiiotika tidak hnaya meneliti mengenai signifier dan

signified, tetapi juga hubungan yang mengikat mereka. Tanda yang berhubungan

secra keseluruhan.47

43

Atrhur Asa Berger, Pengantar Semiotika : Tanda-Tanda dalam Kebudayaan

Kontemporer, Edisi baru (Yogyakarta ; tiara wacana, 2010) cet 1. H.4 44

Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis

Semiotik, dan Analisis Framing , (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006) cet .6, h. 87 45

Tommy Cristomy, Semiotika Budaya, (Depok: Universitas Indonesia, 2004), cet. 1,

h.81 46

Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotik; Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,

(Yogyakarta: Jalasutra, 2003),h.256 47

Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis

Semiotik, dan Analisis Framing , (bandung : Remaja Rosdakarya, 2006) cet 6.h al.123

Page 38: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

26

Kemudian menurut Premiger, Semiotka adalah ilmu tentang tanda-

tanda.Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan

kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari system-

sistem,aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda

tersebut mempunyai arti.48

Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de

Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Pierce (1839-1914). Kedua tokoh

tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu

sama lain. Saussure di Eropa dan Pierce di Amerika Serikat.Latar Belakang

keilmuan Saussure adalah linguistik sedangkan Pierce filsafat.Saussure menyebut

ilmu yang dikembangkan semiologi (semiology).49

Ada dua pendekatan penting atas tanda tanda. Pertama pendekatan yang

didasarkan pada pandangan Saussure yang mengatakan bahwa tanda disusun oleh

dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi

visual) dan suatu konsep tempat citra-bunyi itu disandarkan. 50

Bagi Saussure, hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer

(bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan. Pendekatan kedua yang

penting untuk memahami tanda-tanda, yakni suatu sistem analisis tanda yang

dikembangkan oleh filsuf Charles Sanders Pierce pemikir Amerika. Pierce

mengatakan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang

48

Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis

Semiotik, dan Analisis Framing , (bandung : Remaja Rosdakarya, 2006) cet 6.h al. 96 49

Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual; Metode Analisis Tanda dan Makna

pada Karya Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), cet.2, h.11 50

Atrhur Asa Berger, Pengantar Semiotika : Tanda-Tanda dalam Kebudayaan

Kontemporer, Edisi baru (Yogyakarta ; tiara wacana, 2010) cet. 1. h.13-14

Page 39: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

27

menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan kausal dengan tanda-tanda

tersebut. Ia menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan

kausalnya, dan symbol untuk asosiasi konvensionalnya. 51

Menurut Saussure, bahasa merupakan sistem tanda (sign). Tanda adalah

kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah idea atau petanda

(signified). Dengan kata lain, penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan

yang bermakna.52

Sebuah tanda linguistik bukanlah hubungan antara hal dan

nama, tetapi antara konsep signified dan pola suara signifier. Pola suara tidaklah

benar benar suara, karena suara adalah sesuatu yang bersifat fisik. Pola suara

adalah impresi psikologis dari si pendengar suara, seperti yang diberikan

kepadanya oleh bukti indranya. Pola suara hanya dapat disebut sebagai unsur

„materi‟ dalam representasi impresi sensorik kita sehingga pola suara dapat

dibedakan dari unsurlain yang terkait dengan itu dalam sebuah tanda linguistik.

Elemen lain ini pada umumnya dari jenis yang lebih abstrak konsep. 53

Berbeda dengan Charles Sanders Pierce, menandaskan bahwa kita hanya

dapat berpikir dengan medium tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat

saran tanda.54

Pierce dikenal melalui pemikirannya mengenai teori segitiga

makna-nya (triangle meaning). Berdasarkan teori tersebut, semiotika berangkat

dari tiga elemen utama yang terdiri dari: Tanda (sign), Acuan Tanda (Object),

Pengguna Tanda (Interpretant). Menurut Pierce, salah satu bentuk tanda adalah

kata, sedangkan objeknya adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara

51

Atrhur Asa Berger, Pengantar Semiotika : Tanda-Tanda dalam Kebudayaan

Kontemporer, Edisi baru (Yogyakarta ; tiara wacana, 2010) cet. 1. h. 16-17 52

Alex Sobur, Semiotika komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004),cet 2, h.46 53

Daniel Chandler, Semiotics The Basics, Second Edition. Routledge.2002, 2007. Hlm.14 54

Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual; Metode Analisis Tanda dan Makna

pada Karya Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), cet.2, h.16

Page 40: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

28

interpretant adalah tanda yang ada di benak seseorang tentang objek yang dirujuk

sebuah tanda.Apabila elemen-elemen tersebut berinteraksi dalam benak

seseorang, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda

tersebut.55

Peirce dan Saussure secara luas dianggap sebagai pendiri yang sekarang

lebih umum dikenal sebagai semiotika.Mereka mendirikan dua tradisi teoritis

utama.Istilah Saussure 'semiologi' kadang-kadang digunakan untuk merujuk pada

tradisi Saussurean sementara istilah 'semiotika' kadang-kadang mengacu pada

tradisi Peircean.Namun, saat ini istilah 'semiotika' secara luas digunakan sebagai

istilah umum untuk merangkul seluruh bidang (Noth 1990, 14).56

2. Konsep Semiotika Roland Barthes

Tradisi semiotika berkembang dari dua tokoh utama, yaitu : Charles

Sanders Pierce yang mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de Saussure yang

mewakili tradisi eropa, keduanya tidak pernah pernah sama sekali dan berangkat

dari disiplin ilmu yang berbeda, Pierce adalah seorang guru besar filsafat dan

logika, sementara Saussure adalah seorang ahli linguistik57

Menurut Geogre Mounin, Saussure yang menjadi tokoh karena dalam

bukunya “ Cours de Linguistique Generale”, telah mendefinisikan secara garis

55

Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis

Semiotik, dan Analisis Framing , (bandung : R,emaja Rosdakarya, 2006) cet 6, h. 115 56

Daniel Chandler, Semiotics The Basics, Second Edition. Routledge.2002, 2007. Hlm. 3-

4 57

Aart Van Zoest, Interprestasi dan semiotika, (Terj.) oleh Okke K.S Zaimar dan Ida

Sundari Husein dalam Panuti Sujiman dan Aart van Zoest, (Ed) Serba-Serbi Semiotika, (Jakarta :

Gramedia, 1991), h. 1

Page 41: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

29

besar ilmu umum tentang semua sistem tanda (atau tentang semua system simbol),

system sistem itu bisa membuat manusia bisa berkomunikasi diantara mereka.58

Roland Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga menengah Prosten di

Cherbourg dan dibesar di Bayone, kota kecil dekat pantai Atlantik disebelah Barat

Daya Prancis. Dia dikenal sebagai salah satu pemikir strukturalis yang rajin

mempraktikkan model linguistik semiologi Saussure.59

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang

rajin memperaktekan model linguistik dan semiologi Saussurean.Ia juga

intelektual dan kritikus sasrta prancis yang ternama, eksponen penerapan

strukturalisme dan semiotika pada studi sastra.60

Tetapi Barthes telah

mengembangkan pendekatan struktural untuk membaca sebuah fenomena

gambar dan mengandung tahapan-tahapan dan pendekatan lain yang dapat kita

digunakan untuk membedah penandaan dalam karya fotografi.

Bagi Roland Barthes perspektif semiologi adalah semua sistem tanda,

entah apapun substansinya serta batasannya (limit) :gambar, gerak tubuh, bunyi,

melodis, benda-benda, dan berbagai kompleks yang tersusun oleh substansi yang

merupakan system signifikasi (pertandaan), kalau bukan merupakan „bahasa‟

(languge).61

Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara

menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang

58

Jeanne Martinet, Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussuran; Antara Semiologi

Komunikasi dan Semiologi Signifikasi, (Yogyakarta ; Jalasutra, 2010), cet. 1, h.2 59

Alex Sobur, Semiotika komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004),cet 2, h.63 60

Alex sobur. Semiotika komunikasi (Bandung ; Remaja Rosdakarya, 2006). h. 42 61

Jeane Martinet , Semiologi : Kajian Teori Tanda Saussurean; Antara Semiologi

Komunikasi dan Semiologi Signifikasi, (Yogyakarta; Jalasutra, 2010), cet. 1, h. 3

Page 42: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

30

sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda situasinya. Roland Barthes

meneruskan pemikiran tersebut yang dikenal dengan istilah “order of

signification”. 62

Pada awalnya Barthes membatasi medan riset semiologi dengan sistem-

sistem tanda, tetapi melihat sistem-sistem tersebut dengan cara yang berbeda.

Bagi Barthes sistem itu dicirikan oleh fakta bahwa sistem tersebut memiliki

signifikasi atau beberapa signifikasi; tetapi kita bias mempertanyakan apakah

pendapat tersebut tidak membuat kita juga mengurusi sistem-sistem yang ada

didalamnya perkara yang sudah didefinisikan hanyalah pelbagai kumpulan yang

berisi fakta-fakta signifikatif.63

a. Makna Denotasi

Two orders of signification (signifikasi dua tahap atau dua tatanan

pertandaan) Barthes berpendapat terdiri dari first order of signification yaitu

denotasi dan second order of significationyaitu konotasi, tatanan yang pertama

mencakup penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut

dengan denotasi.64

Denotasi adalah tingkat yang pertandaan yang menjelaskan hubungan

antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang

eksplisit, langsung, dan pasti.Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang

62

Rahmat Kriyantono, Teknik praktis Riset komunikasi,(Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2006),cet. 6, h.268 63

Jeane Martinet , Semiologi : Kajian Teori Tanda Saussurean; Antara Semiologi

Komunikasi dan Semiologi Signifikasi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), cet. 1, h. 5 64

M. Antonius birowo, Metode Penelitian Denotasi; Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta

:Gitanyali, 2004), h. 56

Page 43: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

31

menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang didalamnya beroprasi

makna yang bersifat implicit dan tersenbunyi.65

Biasanya makna denotasi itu bersifat langsung, maksudnya makna

khusus yang terdapat dalam sebuah tanda yang bersifat objektif, dikatakan

objektif karena makna denotasi ini bersifat umum.

Denotasi dijelaskan sebagai kata yang tidak mengandung makna atau

perasaan-perasaan tambahan.Maknanya disebut denotatif. Maka denotatif

memiliki beberapa istilah lain seperti makna denotasional, mkana referensial,

makna konseptual, atau makna ideasional

b. Makna Konotasi

Menurut Barthes, konotasi fotografi memiliki prosedur yang baginya

konotasi, pengenaan makna kedua pada pesan fotografi yang tepat.66

terjadi pada

beberapa tahap berbeda yang merupakan bagian dari proses panjang produksi foto

(pemilahan, tindakan teknis, framing, lay-out) dan memperlihatkan, pada

akhirnya, suatu proses pengkodean (coding) analog fotografis. 67

Dengan

demikian memungkinkan untuk memisahkan berbagai prosedur konotasi

mengingat bagaimanapun prosedur ini tidak ada sama sekali unit penandaan

seperti analisis berikutnya dari jenis semantik yang mungkin suatu hari berhasil

65

Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: Universitas Indonesia), cet. 1, h. 94 66

Roland Barthes, Image Music Text, trans. Stephen Heath. London: Fontana Press. 1977.

Hlm. 20 67

Roland Barthes: Imaji, Musik, Teks, (Terj.) oleh Agutinus Hartono (Yogyakarta :

Jalasutra, 2010), cet.1 , h. 6.

Page 44: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

32

mendefinisikan, mereka tidak benar-benar berbicara bagian dari struktur fotografi.

68

Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna

tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi

keberadaanya.Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang berarti bagi

penyempurnaan semiologi Saussure, makna konotasi bersifat subjektif dalam

pengertian bahwa ada pergeseran nilai dari makna umum (denotatif), karena sudah

ada penambahan rasa dan nilai.

Menurut Barthes prosedur-prosedur konotasi tersebut khususnya

menyangkut fotografi antara lain meliputi :69

1. Trick effect, misalnya dengan memadukan dua gambar sekaligus secara

artificial.

2. Pose, misalnya dengan mengatur arah pandangan mata atau duduk dari

seorang subjek

3. Objek, misalnya dengan menyeleksi dan menata objek-objek tertentu.

Kepentingan khusus harus diberikan kepada apa yang biasa disebut benda

berpose, di mana makna berasal dari yang difoto.

4. Fotogenia, misalnya dengan cara mengatur eksposur, pencahayaan

(lighting), manipulasi teknik cetak dan sebagainya. Di photogenia pesan

dikonotasikan adalah gambar itu sendiri, 'menghiasi' (yang berarti secara

umum disublimasikan) dengan teknik pencahayaan, paparan dan

pencetakan

68

Roland Barthes, Image Music Text, trans. Stephen Heath. London: Fontana Press. 1977.

Hlm.20 69

Kris Budiman, Semiotika Visual, (Yogyakarta, Buku Baik, 2003), h.71

Page 45: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

33

5. Aestethicism (estetika) yaitu dalam hal ini berkaitan dengan

pengkomposisian gambar secara keseluruhan sehingga menimbulkan

makna-makna tertentu.

6. Syntax (sintaksis) hadir dalam rangkaian foto yang ditampilkan dalam satu

judul, di mana makna tidak muncul dari bagian-bagian yang lepas antara

satu dengan yang lain tetapi pada keseluruhan rangkaian dari foto terutama

yang terkait dengan judul. sintaksis tidak harus dibangun dengan lebih dari

satu foto, dalam satu foto pun bisa dibangun sintaks dan ini, biasanya,

dibantu dengan caption.

c. Membaca Mitos

Mitos dalam pandangan Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-

nilai sosial (yang sebetulnya arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap

alamiah.70

Mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur yaitu; signifier, signifield

dan sign. Barthes menggunakan istilah berbeda untuk tiga unsur tersebut yaitu

form, concept dan signification.71

Form atau penanda merupakan subjek, concept

atau petanda adalah objek dan signification atau tanda merupakan hasil perpaduan

keduanya.

Menurut Fiske, mitos (mytos) menjelaskan beberapa aspek realitas atau

gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang mempunyai suatu

dominisi. Menurut Susilo, mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideology

70

Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: Universitas Indonesia), cet. 1, h. 94. 71

http://astaganaga.multiply.com/journal/item/5?&item_id=5&view:replies=threaded.

Page 46: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

34

berwujud. Menurut Van Zoest, ideology adalah sesuatu yang abstrak. Ideologi

harus dapat diceritakan, cerita itulah yang dinamakan mitos (myth).72

3. Analsisis visual dari semiotika Sosial Theo Van Leeuwen

Pemikiran analsis visual dari semiotika sosial Theo Van Leeuwen sangat

mengapresiasi semiotika Roland Barthes dan dekonstruksi Derrida. Karena ciri

dan cara kerja semiotika social Theo Van Leeuwen cenderung berada didalam

paradigma dekonstruksionisme, semiotika yang digunakan meletakkan tanda

dalam kemungkinan maknanya yang dapat jadi bertingkat dan menganggap

konteks sosial sebagai ruang yang memiliki pengaruh pada level tekstual tanda.

Semiotika sosial Leeuwen hadir, tidak saja mengambil pembendaharaan

konsep Barthes yang sudah keluar dari strukturalisnya, namun juga

menambahkannya dengan item pemikiran lainnya yang dianggap relevan untuk

pengkajian tekstual. Lebih dalam lagi, kemudian social semiotic kreasi Leeuwen

lahir sebagai pendekatan yang melihat semiotikus tidak sekedar dalam perannya

serupa pecinta tanda, yang mengintervensasi dan menganilisis apapun, dengan

menempatkan sumber-sumber lahirnya tanda dalam kepadatan makna yang siap

dianalisis. Makna adalah sesuatu yang dihayati, berada dalam ruang internal

manusia yang melakoni dan bergumul dengan tanda-tanda, hingga makna apapun

yang dapat dianggap padu pada tanda bisa jadi palsu.73

72

Media Indonesia, Bedah Buku : Belajar Membedah Miots ( Mitologi Karya Roland

Barthes), minggu, 25 Maret 2007. 73 Leeweun, T.2005. Introducing Social Semiotics. New York: Rouledge. Hlm 26

Page 47: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

35

Leeuwen mengembangkan semiotika sosial, dengan menekankan pada

empat dimensi utama, yaitu :

a. Discourse merupakan bagian semiotika sosial yang memfokuskan

bagaimana sumber-sumber semantik digunakan untuk membangun

representasi dan kehadiran.

b. Genre, berhubungan dengan penggunaan sumber semiotik untuk

menetapkan interaksi komunikatif yang berhubungan dengan

representasi baik dalam percakapan ataupun unsur komunikasi lain

yang memisahkan waktu dan jarak.

c. Style, bersangkut paut dan berhubungan secara langsung dengan gaya

hidup individu yang dipertontonkan dalam aktifitas komunikasi, yang

secara tersirat ataupun tersurat, menyatakan identitas dan nilai-nilai

yang dianutnya.

d. modality, bagian yang mempelajari penggunaan-penggunaan semiotik

untuk menciptakan atau mengkomunikasikan kebenaran atau nialai-

nilai realitas dari representasi-representasi mereka, baik itu sebagai

fakta atau fiksi, membuktikan kebenaran atau dugaan, dan

sebagainya.74

Theo Van Leeuwen memperkenalkan model analisis wacana untuk

mendeteksi dan memneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang

dimarjinalkan posisinya dam suatu wacana. Bagaimana suatu kelompok dominan

74 Definisi empat jenis semiotika tersebut, diambil dari rangkuman bacaan penulis pada

buku Leeweun, T.2005. Op. cit., halaman 93-160.

Page 48: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

36

memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa dan pemaknaannya,

sementara kelompok lain yang posisinya rendah cenderung untuk terus menerus

sebagai objek pemaknaan, dan digambarkan secara buruk.

Pengungkapan makna dalam bahasa visual lebih dijelaskan Theo van

Leeuwen sebagai deskripsi tentang struktur komposisi utama dalam membangun

makna visual, di mana mereka memperlakukan bentuk-bentuk komunikasi visual

sama seperti bentuk-bentuk linguistik. Komunikasi dalam realitas media

kontemporer mendorong pentingnya memahami komunikasi visual agar kita dapat

mempelajari apa yang sedang dikomunikasikan oleh sebuah objek visual dan

desain visualnya.

Bahasa dan komunikasi visual keduanya dapat digunakan untuk

mewujudkan sistem dasar yang sama dari makna yang membentuk budaya, tetapi

setiap melakukannya melalui bentuk-bentuk yang spesifik, melakukannya secara

berbeda, dan mandiri. Bahasa dan komunikasi visual mengekspresikan makna

yang dimiliki dan diatur oleh budaya dalam satu masyarakat, proses semiotik,

meskipun-bukan berarti semiotik sangat mirip dan ini menghasilkan tingkat

kesesuaian yang cukup antara keduanya.

Page 49: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

37

BAB III

GAMBARAN UMUM BUKU JAKARTA ESTETIKA BANAL

A. Profil Erik Prasetya

Erik Prasetya Lahir di Padang 15 Februari 1958, ia adalah seorang nasrani

yang taat. Pengenalannya dengan dunia fotografi bermula sejak masa kecil , saat

ia diminta membuat foto keluarga olehnya ayahnya, kemudian ibunya

memberikan segala fasilitas untuk membuat foto dengan baik. Ayahnya seorang

militer yang membuat erik menjadi seseorang yang disiplin dalam pribadinya.

Masa kecil Erik selalu berpindah pindah tempat ketika berumur sekitar 17

tahun, ia pindah ke Bandung untuk kuliah, saat menjadi mahasiswa Jurusan

Tambang Institut Teknologi Bandung tepatnya tahun1977, ia aktif dalam gerakan

mahasiswa dan sempat menjadi Ketua Badan Perwakilan Anggota, sejenis badan

legistalif namun kegiatan tersebut tidak berlangsung lama dan erik beralih

kegiatan ke olah raga panjat tebing sambil mengembangkan hobi fotografi,

dengan latar belakang inilah kemudian erik menjadi kontributor khusus

petualangan di majalah Mutira, yang menyebabkan ia bertemu dengan para ahli

fotografi. Pertemuan dan penugasan dari jurufoto senior Ed Zoelverdi membuat ia

berkembang lebih jauh dan pada 1990 ia menekuni esai foto, terutama untuk

rubrik “kamera” majalah Tempo.

Page 50: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

38

Pada tahun 1997 Erik pun sempat berkerja sebagai asisten pada jurufoto

dokumenter Sebastian Salgado1 fotografer asal Brazil yang banyak mempengaruhi

pemikirannya. Dalam perkembangannya, meskipun Erik bekerja di berbagai

bidang, termasuk bidang komersial, ia lebih dikenal sebagai jurufoto jurnalistik

dokumenter. Lebih dari 20 tahun Erik berkarya dan merekam dengan pendekatan

yang khas peristiwa dan keadaan di tahun- tahun yang penuh dinamika perubahan

sosial politik pada masyarakat.

Karya-karyanya sudah beredar melalui media cetak nasional serta

internasional.Erik saat ini berkerja sebagai fotografer lepas, kadang untuk berita,

komersil, atau memilih dan melakukan kerja yang diinginkan untuk kepentingan

pribadi. Sudah sejak lama Erik berkecimpung didunia jurnalistik yang memegang

teguh konsep kejujuran dan kebenaran dalam dunia foto jurnalistik, tidak ayal

kebenarannya terkait dengan sikap politik. Tentu saja pada massa reformasi Erik

tidak mempunyai kesempatan banyak untuk menyampaikan pendapatnya karena

situasi politik yang kacau pada waktu itu.

1Salgadolahirpada tanggal 8 Februari1944 di Aimorés, negara bagian Minas Gerais,

Brasil.Setelah berpindah- pindah, Salgado awalnya dididik sebagai seorang ekonom, mendapatkan

gelar master di bidang ekonomi dari University of SãoPaulo di Brasil.Dia mulaibekerja sebagai

seorang ekonomuntukInternational Coffee Organization, sering bepergian ke Afrika pada misi

untuk BankDunia, ketika ia pertama mulai serius mengambil foto. Dia memilih untuk

meninggalkan karir sebagai ekonom dan beralih ke fotografi pada tahun 1973, awalnya bekerja

pada tugasberita sebelum membeloklebih ke arah dokumenter.Salgado awalnya bekerjadengan

foto agen Sygmadan Gammayang berbasis di Paris, namun pada tahun 1979 ia bergabung dengan

perkumpulan fotografer internasional, Magnum Photos. Dia meninggalkan Magnum pada tahun

1994dan dengan istrinyaLeliaWanick Salgado membentuk lembaga sendiri, Amazonas Images, di

Parisuntuk mewakili karyanya. Ia sangat terkenal karenafotografi documenter sosialnya tentang

pekerjadi negara-negara berkembang. http://en.wikipedia.org/wiki/Sebasti%C3%A3o_Salgado,

diakses 10 Maret 2013

Page 51: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

39

Erik Prasetya masuk dalam Photo Summit Indonesia 2007 bertema kota

dan masalah urban 2. Kemudian pameran foto-foto dari buku ini di rangkaian

acara Jakarta International Photo Summit 2010, buku Jakarta Estika Banal karya

Erik Prasetya masuk dalam pameran buku fotografi terbaik bersama Jerman,

Jepang, dan Indonesia yang dipamerkan atas kerja sama Goethe-Institut

Indonesien, Japan Foundation, dan Panna Foto Institute. Kemudian erik masuk

dalam fotografer yang berpengaruh di Asia, termasuk memperoleh penghargaan di

dunia fotografi dunia dalam Invisible Photographer Asia (IPA) serta masuk dalam

Jakarta Binale 2003.

Pemihakan atau pendekatan yang kritis ini adalah satu hal yang

ditekuninya hampir sepuluh tahun lebih, termasuk saat ia ikut serta dalam acara

fotografi internasional Art Connexion yang melibatkan juru foto dan kurator dari

Asia Tenggara, Australia, Selindia Baru, dan Jerman. Ia konsisten dan merekam

serta menghadirkan kembali masyarakat atau individu-individu yang menjadi

kerumunan dalam suatu kota, yang terasingkan oleh sistem.

Selain menjadi fotografer dan curator seni erik juga menjadi salah satu

pengajar di Institut Kesenian Jakarta dan beberapa sekolah serta workshop

fotografi untuk memberikan sebuah kontribusi terhadap perkembangan seni

khususnya fotografi.

B. Gambaran Buku Jakarta Estetika Banal

Jakarta Estetika Banal adalah sebuah buku fotografi yang diproduksi oleh

Dewan Kesenian Jakarta dan diterbitkan oleh penerbit Kepustakaan Populer

2 http://www.suaramerdeka.com/harian/0712/06/bud02.htm

Page 52: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

40

Gramedia (KPG), buku ini adalah hasil karya Erik Prasetya selama 20 tahun

mengenai Jakarta tepatnya memotret kronik kota Jakarta dengan pendekatan

banalitas kehidupan sehari-hari yang dilakoni manusia-manusianya untuk

bertahan hidup.

Buku ini terdiri dari delapan bab, di mana setiap bab tidak berjudul, namun

ditandai oleh sepotong puisi yang memulai sebuah bab baru, foto terlama dalam di

buku ini dibuat tahun 1990 tak terlalu banyak buku foto yang bicara khusus

tentang ibu kota Jakarta, dan kemudian Erik mencoba membuat itu.

Kemudian buku ini terdiri dari 193 halaman dengan ukuran 240 x 300 mm

Estetika banal tidak memotret drama atau peristiwa besar melainkan

memotret hal-hal sehari-hari yang menjadi bagian kehidupan fotografer. Betapa

sebuah kota mempunyai kekurangan pengetahuan tentang kebutuhan dan

kemampuan yang nyata dari penduduknya, sehingga sebagian besar kebutuhan itu

tidak terpenuhi dan sebagian besar kemampuannya tidak disertakan dalam

membangun kotanya.

Kontras antara pencakar langit dan kampung kumuh tak harus selalu

dilihat dengan suram, sebab untuk sintas atau survive yang menjalaninya tidak

bisa melihatnya demikian suram. Kehidupan malam atau gairah belanja di mal

pun tak harus dimaknai sebagai kurang bermoral.Kemiskinan tidak perlu

dieksotisasi dan kekayaan tak perlu dianggap dekaden.Semua itu adalah bagian

yang menjalankan denyut Jakarta.3

3Erik Prasetya, Jakarta Estetika Banal, penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Jakarta:

2011. Tanpa halaman.

Page 53: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

41

Estetika banal bebicara mengenai keindahan yang hambar dan biasa,

dalam buku ini berbicara mengenai sebuah pertentangan keindahan dan

kehambaran.kemudian Erik Prasetya menerapkannya pada Jakarta dengan

memberi pendekatan Jakarta Estetika Banal. Jakarta adalah sebuah kota yang

karut-marut.

Dalam wawancara dengan penulis, Erik Prasetya mengatakan bahwa

dalam konteks fotografi estetika banal yang mencoba mengekspolarasi kota

Jakarta dari kacamata pendekatan street photography atau dalam pengertian Erik

Prasetya memotret wajah manusia dan pergerakannya dalam kota. 4

Kondisi karut-marut kota Jakarta hemat Erik ialah, Jakarta kota yang

tidak dirancang untuk keindahan, tidak beda sama dengan kota-kota

lain, umpamanya kita dapat ambil contoh kota Paris atau London atau

kota-kota di Amerika Serikat, itu memang dirancang dengan keindahan

dan semua tertib, sehingga kota tersebut indah. Jadi, kalau mencari

sesuatu yang indah-indah di situ kita dengan mudah mendapatkannya,

berbeda dengan kota Jakarta yang tidak pernah dirancang seperti itu,

Jakarta ini menjadi ajang kepentingan demi kepentingan yang menang,

baik birokrat maupun pemodal, mereka membangun mall dan

infrastruktur lainnya yang sekendak mereka saja, sehingga nggak karu-

karuan, ancur-ancuran sesungguhnya, kota Jakarta ini. Nah kalau kita

mau mendekati dengan estetika yang mencari keindahan, ya gak dapet,

kamu kalah dibanding sama kota Singapura, lah ngapain? Emang gak

banyak yang indah di kota Jakarta ini, ngapain kita mendekati kota

Jakarta ini dengan estetika itu, ntar ada di tulisanku itu, kamu baca lagi,

itulah makanya aku merasa oh estetika keindahan, semata-mata

keindahan ini gak cukup. Kalo kita mau me.., me..,apa? Untuk

mendekati Jakarta, mau bikin rekaman tentang Jakarta, gak cukup kita

dengan mengandalkan itu, karena nanti dapetnya gak, gak bagus. Kita

cari taman-taman yang indah, loh dimana yang indah? Paling-paling

Monas, indah-indah amat juga nggak dibandingkan sama singapur dia

punya taman apa, taman apa yang bagus-bagus, ya gak bagus, loh

jadinya kan buat kapa kita menampilkan ini loh Jakarta yang Indah,

terus orang bilang, ya gak indah gitu mah, makanya pendekatan estetika

bukan keindahan, saya mau menggambarkan ini loh Jakarta yang hidup,

ada orang sikut-sikutan, ada orang tarik-menarik , atau ini, rebutan

4 Erik Prasetya, Jakarta Estetika Banal, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG),

Jakarta: 2011. Hlm. Tanpa Halaman.

Page 54: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

42

lapak, rebutan ruang publik, segala macem, hal-hal semacam itu lah,

nah ini yang saya harus dekati dengan suatu etetika yang lain, bukan

estetika yang mengutamakan keindahan, nanti kalo itu gak dapet,

makanya saya coba cari apa ya? Kira-kira estetika apa lagi yang bisa

dipakai untuk menggambarkan jakarta yang dinamis ini, yang

amburadul ini, yang ancur-ancuran ini, itu kira-kira,5

Dan pendekatan Erik untuk membuat proyek fotografi estetika banal

didasari oleh kondisi sosiologis dan kultural kota Jakarta seperti yang ia

ilustrasikan diatas.

Di dalam buku ini Jakarta digambarkan secara eksotis, maksudnya

keanehan, tidak biasa, dan bagi warga kota itu sudah menjadi hal yang lumrah

namun bagi masyarakat Barat menjadi sesuatu yang aneh, eksotik, misalnya

minum darah ular atau sabung ayam. Eksotis di sini juga bisa diartikan

menggambarkan kemewahan yang sewenang-wenang atau berlebihan, misalnya

memelihara harimau secara pribadi.Pendekatan eksotis juga mencangkup pada

wilayah kemiskinan, misalnya kehidupan pemulung Bantar Gebang.

Foto-foto demikianlah yang membuat masyarakat menjadi aneh dan tidak

memenuhi nilai-nilai sebuah peradaban yang telah ada khususnya Barat.Karena

bagi penduduk Jakarta, kemacetan di jalan raya, masalah sampah yang tidak

terurus, bukanlah hal yang eksotik. Semua itu adalah keseharian banyak orang,

sama sehari harinya dengan Kafe, Warteg, Restoran Padang, maupun Salon dan

Mall. Semua itu adalah hal yang banal dan tiada drama.

Pada detik yang luput inilah kamera mengabadikannya lewat sebuah

keindahan yang dianggap hambar itu.Estetika banal juga menjadi sebuah saksi

sebuah penanda peralihan dari abad analog ke abad digital.Foto-foto dalam buku

ini dibuat dengan film.

5 Wawancara dengan Erik Prasetya

Page 55: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

43

Memotret estetika banal itu tidak mudah, sebab selera kita pada fotografi

dibentuk oleh voyeurisme kelas menengah Barat. Voyeurisme adalah kesenangan

mengintip orang lain. Fotografi, sering dibilang, adalah perpanjangan dari

kedoyanan mengintip.6

Kita tahu, fotografi film adalah teknologi yang cukup mahal, namun

sekarang paradigma itu telah bergeser karena fotografi memasuki era

digital.Fotografi bukan lagi teknologi mahal.Dalam kualitas standar atau sedikit di

bawah standar,foto bisa dibuat oleh siapa pun.Dengan kamera telepon yang murah

sekalipun.

Gambar pun diproduksi manusia, sebab memproduksi gambar nyaris tanpa

biaya lagi.Maka, orang tidak lagi memotret objek istimewa.Mereka boleh

memotret hal-hal yang banal.Dan hal banal yang paling mereka sukai.

Di tengah kondisi beginilah kondisi majemuk dan tumbuh berbagai

lingkungan masyarakat Jakarta mencoba menentukan gaya hidupnya yang sesuai

dengan lingkungan baru itu. Gaya hidup kota besar dan majemuk. Artinya suatu

gaya hidup yang cukup lentur dan liat dalam menghadapi tuntutan dan tekanan

kota besar, tetapi yang masih bisa ramah dengan tarikan dan ikatan yang sangat

kuat pula dari solidaritas masyarakat lama.7

Jakarta juga bukan kota yang cantik seperti kota kota besar dan maju di

Eropa seperti Paris dan Roma, namun sampai saat ini kota Jakarta berkembang

tanpa rencana yang dipatuhi. Sebuah kota yang berantakan dan Jakarta

membutuhkan pendekatan estetika sendiri, yang disebutnya sebagai “estetika

banal”. Dengan kata lain,hal-hal yang eksotis. Jakarta: Estetika Banal

6 Mengenai Voyeuristik telah saya jelaskan tentang voyeurism di halaman 11 Bab I

7 Umar Kayam. Seni, Tradisi, masyarakat. Sinar harapan. Jakarta. 1981. Hal : 124

Page 56: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

44

menggambarkan keseharian kelas menengah: suasana di jalan,di mal,di kendaraan

umum,di kafe, dan lain lain, yang selalu terlihat tapi luput dari penglihatan.

Buku Jakarta Estetika Banal terdiri dari delapan bab yang setiap bab-nya

dibuka dengan puisi yang akan mengantarkan pembaca pada foto-foto karya

ciptanya sesuai dengan tema yang diusung dalam setiap bab-nya dan sebagaian

besar karya dimuat dengan pilihan warna hitam putih. Menurut Abduh Aziz dalam

sambutannya foto-foto yang dipotret Erik adalah foto-foto yang tidak semata-mata

mengagungkan kota, tetapi menghadirkan kota dari sudut pandang kritis. 8

Akhirnya buku ini tidak akan melihat eksplorasi narasi kecil, melainkan

satu rekaman narasi besar dari satu zaman tentang kota dan penghuninya yang

direkam dengen pendekatan yang khas, perbandingan antara keindahan dan

kejenuhan estetika banal dari sebuah kota Jakarta. 9

8 Abduh Aziz, “Pengantar Dewan Kesenian Jakarta; Kota Jakarta Dalam Rekaman”,

dalam Erik Prasetya, Jakarta Estetika Banal, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG),

Jakarta: 2011. Hlm. Tanpa Halaman. 9 Firman Ichsan “Eksplorasi Teori Estetika dan Metode Kerja”, dalam Erik Prasetya,

Jakarta Estetika Banal, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta: 2011. Hlm.

Tanpa Halaman

Page 57: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

45

BAB IV

ANALISIS DATA FOTO

Buku Jakarta Estetika Banal merupakan karya Erik Prasetya yang

menghimpun mengenai perjalanan karirnya sebagai seorang juru foto dokumenter

selama hampir dua puluh tahun. Dalam buku tersebut Erik Prasetya merekam kota

Jakarta dengan segala dinamikanya dan perubahan-perubahan yang terjadi. Erik

Prasetya merekam kota Jakarta dengan pendekatan jurnalistik dokumenter yang

terinspirasi dari fotogarafer Sebastian Salgado mentor Erik dalam pemikiran dan

praksis fotografi.

Estetika banal dalam pandangan Erik merupakan sebuah tawaran, bukan

suatu keharusan, maksudnya ia menawarkan sebuah alternatif dalam pendekatan

fotografi.1 Bagi Erik, memang tidak banyak yang indah di kota Jakarta, mendekati

kota Jakarta dengan estetika yang cukup mengandalkan sisi keindahan kota

Jakarta, buat apa menampilkan keindahan Jakarta, pendekatan yang Erik pakai

ialah ingin menggambarkan kota Jakarta yang hidup, ada orang sikut-sikutan, ada

orang tarik-menarik, atau ini rebutan lapak, rubutan ruang publik, segala macam,

hal-hal inilah yang ia dekati dengan estetika lain, bukan estetika yang

mengutamakan keindahan melainkan dengan pendekatan estetika banal. 2

Buku Jakarta Estetika Banal terdiri dari delapan bab yang setiap babnya

dibuka dengan puisi yang mengantarkan kita ke foto-foto karya ciptanya. 3 Dalam

1 Wawancara dengan Erik Prasetya

2 Disarikan dari wawancara dengan Erik Prasetya

3 Abduh Aziz ―Pengantar Dewan Kesenian Jakarta; Kota Jakarta Dalam Rekaman‖,

dalam Erik Prasetya Jakarta Estetika Banal, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

Jakarta: 2011.

Page 58: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

46

buku ini terdapat sebanyak 131 foto dengan tema yang berbeda. tema-tema seperti

polusi udara, massa, ruang publik.

Dalam bab ini dianalisis dengan teori semiotika Barthes dengan

menganalisis makna denotasi, konotasi dan mitos dari foto-foto yang penulis

analisis. Disamping itu, teori Barthes tentang membaca foto dengan prosedur-

prosedur konotasi dalam membaca foto yang penulis kaji di bawah ini. Prosedur-

prosedur konotasi citra, yakni imposisi makna tingkat kedua pesan ikonik, dapat

direalisaiikan pada lapis-lapis produksi yang berlainan.

Prosedur yang dimaksud akrab dan tidak ada lagi yang akan dicoba di sini

dari pada untuk menerjemahkannya ke dalam istilah struktural. Agar benar-benar

tepat, tiga pertama (efek trik, berpose, benda) harus dibedakan dari tiga

(photogenia, estetika, sintaks), karena di bekas konotasi yang dihasilkan oleh

modifikasi dari realitas itu sendiri, dari, terakhir adalah, pesan yang dilambangkan

(persiapan tersebut jelas tidak aneh pada foto). Jika mereka tetap disertakan antara

prosedur konotasi, itu karena mereka juga mendapatkan keuntungan dari prestise

denotasi: foto itu memungkinkan fotografer untuk secara elusif menyembunyikan

persiapan yang ia adalah subyek adegan yang akan direkam.4

4 Roland Barthes, Image Music Text, trans. Stephen Heath. London: Fontana Press. 1977. Hlm.21

Page 59: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

47

A. Analisis Data Foto I

Jalan Sudirman November 1999 seorang perempuan yang menutup

hidungnya dari polusi kendaraan di salah satu halte di kawasan Sudirman.

1. Tahap Denotasi

Tahap denotasi adalah tahap pemaknaan pada lapisan pertama. Pemaknaan

dapat dipahami oleh pembaca tanpa harus melakukan penafsiran terlebih dahulu.

Tahap ini dapat dilihat secara jelas oleh mata.

Makna denotasi dalam data foto I:

Beberapa wanita menutup hidungnya menggunakan tisu

Di sampingnya (bagian kanan) dua kendaraan umum (bis umum)

Background (latar belakang) foto adalah gambar bayi tidur pada sebuah

Angkutan umum, rambu lalu lintas, dan jembatan penyebrangan.

Page 60: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

48

2. Tahap Konotasi

Tahap konotasi adalah tahap dimana kita menghubungkan petanda-petanda

yang terdapat dalam foto dengan aspek kebudayaan secara umum, sehingga

tercipta sebuah makna dari foto tersebut.

2.1 Trick Effect (Manipulasi Foto)

Fotografer menggunakan lensa medium. Hal tersebut terlihat dari

komposisi gambar yang padat, dimensi gambar yang tercipta dari wanita yang

menutup hidung seperti terlihat dekat dan berjejer kemudian fotografer menaruh

gambar anak tertidur lelap ada sebuah bus seperti sejajar dengan para wanita yang

menutup hidung hidung.

2.2 Pose

Fotografer ingin menampilkan pose warga kota yang terkena polusi hal

tersebut terlihat dari cara warga kota menutup hidung mereka di saat kendaraan

umum melintas yang menjadi keseharian warga kota Jakarta dengan bus kota

sebagai menyuplai zat polutan serta tatapan para wanita tersebut mengarah ke

depan seakan menunggu bus dengan kondisi badan berdiri pada trotoar di bawah

jembatan penyebrangan.

2.3 Objek

Pemilihan objek dalam foto tersebut adalah wanita menutup hidungnya

dengan tissu, sehingga tisu menjadi sebuah simbol kemudian tulisan air dalam

bahasa inggris yang diartikan sebagai udara, maka foto tersebut membentuk

sebuah persepsi tetang kondisi udara akibat asap kendaraan umum.

Page 61: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

49

2.4 Photogenia (Teknik Foto)

Jika ditinjau dari tehnik pengambilan gambarnya, yang tampak dalam data

foto pertama terlihat bahwa foto pemandangan diambil di luar ruangan, sehingga

hanya mengandalkan cahaya alami (available light) yaitu matahari. Angle yang

digunakan adalah medium level, yaitu posisi kamera fotografer sejajar dengan

objek. Dilihat dari gerak bus kota tersebut menggunakan speed 1/100.

Menggunakan diafragma f 7 serta ISO 400 dimana para wanita serempak menutup

hidungnya. Terlihat latar belakang bus, orang-orang yang menunggu dengan

menutup hidung, rambu-rambu, jembatan penyebrangan.

2.5 Aestethicism

Unsur estetika pada fotografi biasanya meliputi Black and White serta

tonal tonal range, kontras, subjek, kontras film, kontras negative, lensa, sudut,

dsb. Sedangkan dalam fotografi estetika banal meliputi Gerak, komposisi yang

mengejutkan yang diperoleh dari fotografi merekam dalam kecepatan, tidak

hirarkis.

Dari foto diatas menunjukan sebuah komposisi yang mengejutkan dengan

ekspresi wajah para wanita yang tidak nyaman dan beriringan menutup hidung

mereka menggunakan tisu, kemudian terdapat sebuah penjajaran (juktaposisi)

antara wanita tersebut dengan sebuah gambar bayi serta tulisan air yang terletak

pada sebuah bus.

Ekspresi wajah merupakan salah satu bentuk komunikasi nonverbal, dan dapat

menyampaikan keadaan emosi dari seseorang kepada orang yang mengamatinya.

Ekspresi wajah merupakan salah satu cara penting dalam menyampaikan pesan sosial

dalam kehidupan manusia.

Page 62: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

50

2.6 Syntax

Foto tersebut merupakan representasi dari sebuah kota dengan polusi

tertinggi, yang ditandai dengan gerakan serta ekspresi para calon penumpang

angkutan umum khususnya wanita yang menutup hidung mereka dengan tisu

secara serempak.

Rangkaian foto tersebut saling mengisi antara wanita yang berjejer

menutup hidungnya secara bersamaan dengan tisu, dengan cara berpaikaian ia

menandakan pekerja kantoran serta ada cara berpakaian yang berbeda antara

wanita yang di depan dengan yang dibelakangnya itu menandakan akan ada era

baru dan trend fashion pun akan berubah.

Dilihat dari cara berpakaian dari wanita yang bejejer antara yang depan

(baju hitam) dengan yang belakanganya (kemeja kotak dengan lengan yang

digulung/lipat) itu menandakan ada sebuah era yang berbeda antara keduanya atau

lebih tepatnya merupakan sebuah tanda bahwa era yang baru akan dimulai dalam

dunia berpakaian atau fasion, terhadap para pekerja kantoran khususnya wanita.

Fashion tersebut menandakan betapa berbedanya cara orang berpakaian

dengan pengaruh masyarakat sekitar, menunjukan status sosial dia serta

profesinya sebagai pegawai kantoran (pekerja kantor) pada waktu itu, kemudian

cara berpakaian dalam foto ini menunjukan ada sebuah petanda yang akan

memasuki abad atau era baru yang ditandai dengan baju hitam cara berpakaian era

2000 Abad (ke -21) sedangkan yang orang yang berada belakangnya dengan

kemeja yang digulung merupakan cara berpakaian era 1990-an Abad (ke 20), dan

foto tersebut menjadi saksi di pengunjung era 1990 tepatnya pada bulan november

1999 sebuah era pembangunan pasca reformasi 1998.

Page 63: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

51

3. Mitos

Teori mitos dikembangkan oleh Roland Barthes untuk melakukan kritik

atas ideologi budaya massa (budaya media). Mitos mengambil sistem semiotik

tingkat pertama sebagai landasannya sehingga mitos merupakan sistem semiotik

yang terdiri dari sistem linguistik dan sistem semiotik. Roland Barthes menyebut

mitos sebagai cara berbicara yang baru (a new type of speech).

Dalam foto ini digambarkan sebuah perempuan yang menutup hidungnya

karena asap kendaraan bermotor yang melintas disampingnya. Kota Jakarta

dikenal sebagai kota menyuplai polusi udara terbesar di Indonesia. Analisa Bank

Dunia, menempatkan Kota DKI Jakarta sebagai kota ketiga berpolusi udara

terburuk setelah Meksiko, Bangkok dan Thailand. Upaya penilaian udara terbersih

dan terbersih terhadap kota-kota di dunia ini dilakukan oleh bank dunia sejak lima

tahun lalu. Kondisi itu, sudah tidak lagi sesuai dengan kondisi udara Jakarta saat

ini. Masih berdasarkan laporan Bank Dunia, kerugian dari buruknya kualitas

udara di tahun 1990 mencapai 62 juta US dollar. Jika kondisinya memburuk di

tahun ini, maka di tahun 2008 mendatang, kerugian yang akan diderita bisa

mencapai 222 juta US dollar. 5 Bahkan baru-baru ini, sebuah rilis Komite

Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) menunjukkan pencemaran udara

membuat 1,2 juta orang berobat karena mengidap infeksi saluran pernafasan atas

(ispa), asma serta penyakit pernafasan lainnya. Selain itu control terhadap

kualitas bahan bakar minyak pun belum maksimal. 6

5 www.indosiar.com/ragam/motor-penyebab-polusi-udara-_58530.html, diakses 6 Mei

2013 6 Pencemaran Udara Perkotaan Jadi Masalah Serius, Selasa, 18 Desember 2012,

http://www.suarapembaruan.com/home/pencemaran-udara-perkotaan-jadi-masalah-serius/28328,

diakses Senin, 6 Mei 2013

Page 64: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

52

B. Analisis Data Foto II

Pasar Baru, 1997 Kerumunan orang yang berada di halte pada siang hari.

1. Tahap Denotasi

Tahap denotasi adalah tahap pemaknaan pada lapisan pertama. Pemaknaan

dilakukan secara deskriptif dan literal serta dapat dipahami oleh pembaca tanpa

harus melakukan penafsiran terlebih dahulu. Tahap ini dapat dilihat secara jelas

oleh mata. Pada foto ini diambil dari dalam mobil, makna denotasi dalam data

foto II:

Sebelah kiri foto berjajar dua orang wanita dan salah satunya memegang

kepalanya dengan kedua tangannya dan dibelakangnya tampak beberapa

kerumunan warga (laki-laki) yang sedang melihat barang dagangan kaki

lima.

Gagang pegangan tangan pada sebuah mobil

Foto ditengah tampak seorang laki-laki paruh baya

Foto disamping kanan tampak warga berkerumun dan ada yang memakai

payung untuk melindunginya dari terik matahari siang

Page 65: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

53

Latar belakang tampak pertokoan dengan senuah reklame merek sepatu.

2. Tahap Konotasi

Tahap konotasi adalah tahap dimana kita menghubungkan petanda-petanda

yang terdapat dalam foto dengan aspek kebudayaan secara umum, sehingga

tercipta sebuah makna dari foto tersebut.

2.1 Trick Effect (Manipulasi Foto)

Fotografer mengambil foto di dalam mobil dan orang-orang diluar seakan-

akan menunggu kendaraan. Hal tersebut ditunjukkan dari framing kaca dan

gagang tangan di dalam mobil yang menunjukkan menunggu sebuah angkutan

umum saat fotografer mengambil gambar.

2.2 Pose

Fotografer ini menyampaikan kerumunan warga yang kebingungan saat

menunggu kendaraan umum tanpa adanya sebuah halte yang memadai, terlihat

bagaimana satu dengan yang lainya saling memandang dan menatap kemudian

tangan wanita yang berada dibagian kiri dengan gerakan tangan mengumpat dan

ekspresi wanita yang memagang kepala seakan akan pusing serta deetan warga

yang lainya memegang hidung, membawa payung dan lainya yang menjadi

sebuah kerumunan antara menuggu dengan rasa kepanasan dan membosankan

yang hampinya semua warga berdiri di trotoar.

2.3 Objek

Pemilihan objek terdiri dari tiga bagian dari komposisi gambar yang

membentuk framing gambar yakni objek foto berada diluar ruangan terutama

wanita yang menunggu kemudian gagang pegangan tangan pada sebuah mobil

dan penggunaan payung pada pada siang hari sehingga seolah olah para warga

Page 66: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

54

menunggu sebuah angkutan umum pada siang hai dengan panasnya terik matari

tanpa adanya halte .

2.4 Photogenia (Teknik Foto)

Foto tersebut menggambarkan kondisi di siang hari yang panas terik.

Warga menunggu di sebuah trotoar jalan. Fotografer menggunakan diafragma

tinggi sekitar f 10. Menggunakan speed 1/200 karena momen yang ditangkap

membeku dan fotografer mengambil gambar dalam kendaraan yang bergerak.

Menggunakan ISO 200. Foto tersebut menggunakan teknik framing dengan objek

di celah-celah kaca mobil dan angle yang digunakan adalah eye level, yaitu posisi

kamera fotografer sejajar dengan objek.

2.5 Aestethicism

Keindahan foto tersebut teletak pada ekspresi tangan warga yang

memegang kepala kemudian ditambah dengan gangang pegangan tangan yang

seolah olah menimbulkan pesepsi warga butuh pegangan agar tidak pusing dan

butuh halte tidak kepanasan, foto tersebut berkaitan agar warga yang kepanasan

dan menunjukkan sebuah komposisi framing yang paralel dengan kondisi fasilitas

umum di kota Jakarta khususnya ditempat-tempat umum dimana keberadaan halte

yang dibutuhkan warga kota tidak sesuai yang diharapkan dan bahkan dalam foto

ini dapat dilihat warga yang menunggu kendaraan umum tidak berada di sebuah

halte yang sebagaimana mestinya.

2.6 Syntax

Rangkaian foto yang diambil dari dalam mobil memperlihatkan sebuah

kesatuan yang dialami oleh warga kota dalam menjalani rutinitas hariannya.

Dimana dalam foto tersebut menggunakan sebuah simbol trotoar, gagang mobil,

Page 67: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

55

serta payung dan kerumuman yang serta simbol pasar baru yang dipersepsikan

denagn sebuah papan reklame merek sepatu terkenal. Kondisi kota Jakarta yang

panas tanpa didukung oleh fasilitas umum yang memadai ditambah semakin tidak

tertatanya kota Jakarta, warga memegang kepalanya dari terik matahari,

menggunakan payung, cahaya di siang hari yang terlihat di salah satu punggung

warga juga di badan mereka dan kerumuman warga terutama pada pusat

perbelanjaan yang menunggu kendaraan umum.

3. Mitos

Teori mitos dikembangkan oleh Roland Barthes untuk melakukan kritik

atas ideologi budaya massa (budaya media). Mitos mengambil sistem semiotik

tingkat pertama sebagai landasannya sehingga mitos merupakan sistem semiotik

yang terdiri dari sistem linguistik dan sistem semiotik. Roland Barthes menyebut

mitos sebagai cara berbicara yang baru (a new type of speech).

Foto ini memberikan sebuah gambaran mengenai kondisi umum kota

Jakarta yang semrawut dan panas ditambah kurang tertatanya fasilitas umum

seperti halte bagi warga yang menunggu kendaraan umum. Dalam foto ini

memperlihatkan sebuah rutinitas dan aktifitas warga kota di pusat perbelanjaan

ibukota di daerah Pasar Baru, Jakarta Pusat dengan keramaian warga yang

menunggu kendaraan umum pada siang hari. Persoalan klasik ibukota berupa

fasilitas umum dan kendaraan umum menjadi momok yang belum tuntas

ditangani oleh Pemda DKI. Baru-baru ini, Pemprov DKI Jakarta dalam Program

Pembangunan Daerah (Propeda) yang dirilis oleh Bappeda DKI Jakarta tentang

pembangunan sarana dan prasarana kota, disitu dicantumkan tiga program

mengenai Perhubungan diantaranya (1) Program Pengembangan Jaringan Jalan

Page 68: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

56

dan Jembatan, (2) Program Pengembangan Sarana dan Fasilitas Perhubungan dan

(3) Program Pengembangan Pelayanan Angkutan Umum. Dalam program ini

bertujuan meningkatkan kapasitas dan kualitas perhubungan termasuk persoalan-

persoalan yang tergambar di foto ini berupa ketiadaan fasilitas halte

pemberhentian dan angkutan umum yang baik. 7

C. Analisis Data Foto III

Kampung Melayu, Februari 1996, Banjir menggenangi di sebuah jalanan di

daerah Kampung Melayu, Jakarta Timur.

1. Tahap Denotasi

Makna denotasi dalam data foto III adalah:

Anak-anak dan beberapa orang dewasa lainnya

Genangan Air

Sebuah Kopaja yang terendam

7 Propeda Propinsi DKI Jakarta 2002-2007,

http://bappedajakarta.go.id/download/propeda/Propeda_BAB11.pdf, diakses 6 Mei 2013

Page 69: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

57

Mobil Minibus yang terendam

Latar Belakang sebuah ruko,menara dan tiang listrik

2. Tahap Konotasi

2.1 Trick Effect (manipulasi foto)

Dalam foto tersebut fotografer melakukan teknik pemotongan gambar agar

terlihat lebih padat dan hal tersebut membuat degradasi gambar air yang

membentuk gelombang yang berada di depan anak anak .

2.2 Pose

Pose dalam foto tersebut yakni sebuah keriangan anak-anak saat terjadinya

banjir dan bermain di genangan banjir dan menaiki atas Kopaja yang terjebak

banjir. Seakan-akan atap kendaraan umum (Kopaja) menjadi tempat berlindung

karena banyaknya orang-orang menaiki atap kopaja tersebut dari luapan banjir.

2.3 Objek

Pemilihan objek foto adalah sekumpulan anak-anak yang bermain pada

genganan air angkutan kopaja yang di naiki warga serta dengan latar belakang

yang mendukung seperti gedung, tiang listrik serta menara atau pemacar yang

menajdi sebuah simbol pembangunan.

2.4 Photogenia (Teknik Foto)

Angle yang digunakan adalah eye level, yaitu posisi kamera fotografer

sejajar dengan objek. Menggunakan speed 1/100 ISO 200 f 8 kemudian difoto

pada siang hari dengan suasana mendung dengan kondisi banjir.

2.5 Aestethicism

Aestethicism dalam foto tersbut yakni ekspersi para anak anak yang riang

saat bermain banjir yang menimbulkan gelombang gelombang air para dan

Page 70: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

58

fotografer menunjukkan bahwa banjir tidak hanya dimaknai sebagai bentuk

musibah warga kota melainkan menjadi ruang bermain anak-anak yang kian

terbatas di ibukota saat banjir pun riang gembira .

2.6 Syntax

Hubungan yang ada dalam foto tersebut yakni sebuah gelombang air

akibat anak anak bermain dengan latar belakang tiang listik yang menimbulkan

peesepsi seolah seolah sebenarnya mereka bermain dalam keadanaa bahaya

namun mereka namun mereka riang gembira menjalaninya, kemudian di jalan

raya adanya angkutan umum serta kendaraan pribadi yang terendam banjir dan

dikaitkan dengan menara pemancar menandakan lumpuhnya akses warga baik lalu

lintas dan sebagainya akibat banjir tersebut. Latar belakang gedung bertingkat

yang diduga rumah warga menandakan menjadi sebuah solusi alternatif bagi

warga jakarta untuk menghindari genangan banjir.

3. Mitos

Foto merepresentasikan kondisi lingkungan kota Jakarta yang yang

menjadi langanan bencana banjir dan menjadi rutinitas tahunan bahkan 5

tahunan, Lantas, kondisi demikian, tidak melulu membuat masyarakat stres

menghadapinya melainkan tertawa riang dimana foto ini merepresentasikannya.

Secara geografis, Jakarta adalah kota yang berada di delta dan rentan

terhadap banjir. Dalam catatan sejarah, sejak tahun 1621 terjadi banjir besar di

Jakarta, kemudian disusul tahun 1654, 1873 dan tahun 1918 pada zaman kolonial.

Pada periode akhir, banjir besar sempat terjadi pada tahun 1979, 1996, 2002, 2007

dan belum lama ini akhir tahun 2012 atau awal 2013. Banyak warga Jakarta yang

percaya, banjir besar yang melanda Ibu Kota terjadi dalam siklus lima tahun

Page 71: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

59

sekali. Entah kapan tepatnya warga Jakarta mengenal istilah 'mitos banjir lima

tahunan', yang jelas ungkapan itu kerap digunakan sejak banjir besar melanda Ibu

Kota pada 1996, 2002, dan 2007. Dan hal ini diperkuat dengan banjir yang terjadi

di awal tahun 2013.8

D. Analisis Data Foto IV

Sisa Kebakaran di Pejompongan, 1997.

1. Tahap Denotasi

Makna denotasi dalam data foto IV adalah:

Seorang Pria

Reruntuhan Bangunan

Gedung Bertingkat

8 http://www.merdeka.com/jakarta/mitos-banjir-5-tahunan-jakarta.html

Page 72: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

60

2. Tahap Konotasi

2.1 Trick Effect (manipulasi foto)

Fotografer ingin menyampaikan sebuah gambar seorang pria yang

rumahnya kebakaran seakan akan dekat dengan gedung pencakar langit dengan

menggunakan trik pada lensa kamera yang di zoom.

2.2 Pose

Seorag pria yang diduga korban kebakaran duduk dan melihat kebawah

tepatnya puing yang jatuh ke tanah sambil termanggu mengenai dampak

kebakaran yang sering terjadi di ibukota dengan puing-puing kebakaran

bersamaan berdiri tegak sebuah gedung pencakar langit.

2.3 Objek

Pemilihan objek foto tersebut yakni seorang pria duduk dengan baju diikat

pada leher lengkap dengan menggunakan sepatu serta celana, kemudian sisa puing

puing bangunan pasca kebakaran serta gedung bertingkat.

2.4 Photogenia (Teknik Foto)

Angle yang digunakan adalah eye level, yaitu posisi kamera fotografer

sejajar dengan objek. Foto menggunakan speed 1/100 menggunakan diafragma

16 ISO 200 dengan lensa 80mm kemudian proses pengambilan gambar pada siang

hari.

2.5 Aestethicism

Foto tersebut menyampaikan sebuah narasi tentang kota Jakarta yang

sering dilanda kebakaran sepanjang tahunnya dan digambarkan eksprsi sesok pria

yang duduk termangu pada reruntuhan puing-puing kebakaran kemudian terlihat

latar belakang ada sebuah gedung pencakar langit.

Page 73: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

61

2.6 Syntax

Foto yang memperlihatkan sebuah sisi pilu dalam kehidupan Jakarta di

mana seorang pria duduk termangu diatas reruntuhan puing kebakaran yang ia tak

mampu kuasai dan tampak sebuah hubungan yang sangat kontras dimana foto

memperlihatkan sebuah gedung pencakar langit yang megah berdiri.

3. Mitos

Kebakaran di ibukota Jakarta telah menjadi rutinitas yang begitu akrab di

benak warga kota, Angka kebakaran yang terjadi di Jakarta mulai Januari sampai

dengan 27 Desember 2012 mencapai angka 1.008 kejadian.9 Angka tersebut

merupakan angka terbesar yang menjadikan mitos kota Jakarta sebagai kota sering

mengalami kebakaran. Pengamat tata kota, Yayat Supriatna menambahkan,

fenomena kebakaran di Jakarta ini sudah kaya arisan, tinggal gantian saja tempat

mana yang kebakaran. 10

E. Analisis Data Foto V

Sebuah angkutan perkotaan Metro Mini yang penuh sesak oleh

penumpang yang membludak.

9http://megapolitan.kompas.com/read/2012/12/28/02232122/Selama.2012..Terjadi.1.008.

Kebakaran.di.Jakarta 10

http://jakarta.okezone.com/read/2012/07/24/500/667639/kebakaran-di-jakarta-seperti-

arisan

Page 74: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

62

1. Tahap Denotasi

Tahap denotasi adalah tahap pemaknaan pada lapisan pertama. Pemaknaan

dilakukan secara deskriptif dan literal serta dapat dipahami oleh pembaca tanpa

harus melakukan penafsiran terlebih dahulu. Tahap ini dapat dilihat secara jelas

oleh mata.

Makna denotasi dalam data foto II adalah:

Sejumlah orang beregelantungan.

Beberapa orang duduk

Kaca

Angkutan umum metro mini

Ban Mobil .

2. Tahap Konotasi

2.1 Trick Effect (Manipulasi Foto)

Jarak fotografer dengan objek foto terlalu dekat. Sehingga bagian depan

mobil angkutan umum terpotong. Fotografer menggunakan lensa medium di

tambah flash hari karena malam dan itu terlihat dari pantulan flash pada kaca

mobil.

2.2 Pose

Fotografer ingin menampilkan pose para penumpang angkutan umum

yang semerawut dengan bergelantungan di pintu serta penuh sesak, ada

penumpang yang berdiri bergelantungan di pintu bus serta beberpa penumpang

duduk sambil termenung di dalam bus akibat sesaknya penumpang di dalam bus.

Kondisi kendaraan umum yang sudah tidak layak lagi ditumpangi dan para

Page 75: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

63

penumpang yang sangat beredesakan sampai diluar pintu belakang dengan

memanfaatkan sudut agar kakinya dapat menopang badanya meskipun itu sangat

sulit.

2.3 Objek

Pemilihan objek dalam foto tersebut adalah warga ibu kota yang

berdesakan di dalam angkutan umum, hal tersebut bernama terlihat jelas ada

sebuah tulisan Metro Mini yang terpasang di angkutan umum tersebut, ditambah

kondisi badan mobil menjadi turun menyentuh ban akibat bantalan per atau shock

bekker tidak mampu menahan beban penumpang yang ada.

2.4 Photogenia (Teknik Foto)

Pencahayaan sangat kurang karena pada malam hari, fotografer

menggunakan bukaan rana besar f 3,5 – 5,6 sehingga cahaya yang masuk banyak

dan menggunakan shutter speed tinggi, di atas 1/100. Speed tinggi itu terlihat dari

bagaimana ekspresi para penumpang yang terekam serta gerakan yang begitu

cepat. Angle yang digunakan adalah eye level, yaitu posisi kamera fotografer

sejajar dengan objek.

2.5 Aestethicism

Fotografer ingin memperlihatkan kondisi penumpang yang penuh sesak

dan berlebihan, angkutan umum yang tidak layak untuk digunakan serta

kapasistas penumpang yang berlebihan namun mereka tetap memaksa tanpa

memeikirkan resikonya, bahkan terlihata ada bebrapa warga yang bergelantungan

di pintu tertawa serta ekspresi para penumpang yang lainya.

Page 76: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

64

2.6 Syntax

Sebuah komposisi foto yang menarasikan kepadatan di sebuah angkutan

umum Metro Mini yang sudah menjadi rutinitas warga kota dalam beraktifitas

dengan menggunakan kendaraan umum walaupun penuh sesak namun dalam foto

ini tergambarkan keceriaan ketika mereka sadar di foto dan sebagian besar mereka

menghadap kamera. Terlihat foto orang-orang yang di dalam kendaraan umum

ini yang berdempetan penuh sesak dan penumpang yang duduk seolah-olah

menikmati perjalanan bahakan terlihat seperti ada salah satu penumpang yang

seakan akan tertinggal di belakang bus dan terpkasa naik dibelakang.

3. Mitos

Metro Mini sangat terkenal di kawasan Jakarta hal tersebut dikarenakan

Metro Mini merupakan salah satu angkutan murah di Jakarta. Metro Mini juga

terkenal akan kebrutalan supirnya yang ugal ugalan yang menjadikan Metro Mini

sebagai raja jalanan ibu kota. Meskipun begitu, Metro Mini tetap merupakan salah

satu jenis angkutan terpopuler di Jakarta.

F. Analisis Data Foto VI

Segitiga Senen, September 2001

Page 77: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

65

1. Tahap Denotasi

Makna denotasi dalam data foto VI adalah:

Dua pria di depan dalam kendaraan

Bergai macam kendaraan

Lampu penerangan jalan

Gendung Bertingkat

Seorang yang berjalan diantara kendaraan

Kabel

Tower Pemancar

2. Tahap Konotasi

2.1 Trick Effect (manipulasi foto)

Manipulasi dalam foto tersebut yakni fotografer melakukan pemotongan gambar

sehingga gambar terlihat padat kemudian fotografer mengarahkan lampu flash ke udara

untuk mendapatkan efek cahaya yang rata .

2.2 Pose

Fotografer menyampaikan sebuah foto tentang bebrapa kendaraan yang

terjebak kemacetan kemudian ada dua pengendara atau pengemudi tyang berada

di dalam kendaraan yang duduk termenung, sementara ada seorang lelaki yang

berjalan diantara kemacetan.

2.3 Objek

Pemilihan objek dalam foto tersebut yakni kendaraan yang terjebak

kemacetan seperti kendaraan umum: Bajaj, Taxi, Serta Bus kota dan beberapa

kendaraan pribadi lainnya. Lampu penerangan juga ikut dalam pemelihan objek.

Page 78: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

66

2.4 Photogenia (Teknik Foto)

Angle yang digunakan adalah eye level, yaitu posisi kamera fotografer

sejajar dengan objek. Foto ini menggunakan speed 1/50 dengan menggunakan

flash (tambahan lampu) diafargma f 3.5 ISO 800. Di foto pada malam hari di jalan

raya.

2.5 Aestethicism

Unsur keindahan fotografi yang terdapat dalam foto tersebut yakni

bagaimana jejeran kendaraan terjebak kemacetan, ekspresi yang keluar dari

pengemudi terlihat merenung memikirkan sesuatu, lelah nampak terlihat dari raut

wajah para pengemudi tersebut.

2.6. Syntax

Hubungan yang berada dalam foto tersebut yakni dua pengemudi yang

berada di dalam kendaraan dan ikuti kendaraan lainya yang terjebak kemacetan

seperti kendaraan umum, ada seseorang berjalan ditengah kemacetan sehingga

menimbulkan sebuah persepsi terjadi kemacetan yang cukup parah sehingga

warga memilih jalan kaki dari pada menggunakan kendaraan.

Lampu penerangan jalan yang menyala menandakan situasi tersebut terjadi

pada malam hari dan dipersepsikan pada jam pulang kerja di mana kendaraan

mulai serentak keluar bersamaan dengan para karyawan. Data dari departemen

transportasi di Jakarta , menunjukkan bahwa ada peningkatan pada jumlah

kendaraan di Jakarta sekitar 11 persen per tahun sementara peningkatan jalan

Page 79: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

67

hanya 1%. Dari total jumlah kendaraan di Jakarta sekarang sekitar 4,9 juta, 2,8

juta adalah kendaraan roda dua dan 2,2 juta adalah roda empat.11

3 Mitos

Pembentukan sebuah makana mitos daam foto tersebut menjadikan kota

Jakarta menjadi kota semerawut dengan kondisi lalu lintas macet, kemacetan

menjadi salah masalah penyebab di kota kota besar khusunya Jakarta

Kemacetan adalah situasi atau keadaan tersendatnya atau bahkan

terhentinya lalu lintas yang disebabkan oleh banyaknya jumlah kendaraan

melebihi kapasitas jalan. Kemacetan banyak terjadi di kota-kota besar, terutama

yang tidak mempunyai transportasi publik yang baik atau memadai ataupun juga

tidak seimbangnya kebutuhan jalan dengan kepadatan penduduk,

misalnya Jakarta. Kemacetan lalu lintas menjadi permasalahan sehari-hari

di Jakarta.12

Bayangkan karena macet kata Kanti berdasarkan data Dewan Transportasi

Kota Jakarta (DTKJ) tahun 2013, kerugian ekonomi mencapai Rp 128 triliun per

tahun atau sama dengan dua kali APBD DKI. Di luar kerugian ekonomi, macet

menyebabkan stress tinggi, belum lagi ditambah polusi. Jakarta menjadi kota

beraura negatif yang tidak produktif.13

11

http://dreamindonesia.wordpress.com/2012/04/20/inilah-10-kota-paling-macet-parah-di-dunia/ diakses 30 Januari 2014

12 http://id.wikipedia.org/wiki/Kemacetan diakses pada 30 Januari 2014

13 http://www.tribunnews.com/metropolitan/2014/01/29/macet-kota-jakarta-harus-

dihilangkan-dengan-cara-yang-ekstrem diakses 30 januari 2014

Page 80: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

68

G. Analisis Data Foto VII

Bergelantungan di dalam Kereta Jabotabek jurusan Bogor, 1992

1. Tahap Denotasi

Makna denotasi dalam data foto VII adalah:

Penumpang Kereta Api

Kipas Angin (Blower)

Tangan

Tiang gantungan

Lampu

Kaca mata penumpang

2. Tahap Konotasi

2.1 Trick Effect (manipulasi foto)

Fotografer menggambarkan sebuah tangan yang bergelantungan di tiang-

tiang dalam gerbong kereta api dengan kondisi yang padat serta terlihat

bagaimana fotografer membuat kondisi dalam gerbong menjadi shaking.

Page 81: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

69

2.2 Pose

Fotografer menyampaikan sebuah kepadatan penumpang yang terjadi di

sebuah gerbong kereta api dimana tangan-tangan penumpang bergelantungan

memegang tiang dengan kondisi berdiri dan padat.

2.3 Objek

Pemilihan objek dalam foto tersebut yakni tiang peyangga dalam gerbong

kereta api tersebut dan tangan tangan penumpang yang bergelntungan serta kipas

angin yang rusak kemudian ada sebuah objek yang menarik yakni ada sebuah

kaca mata penumpang yang terhimpit serta lampu penerangan gerbong yang

menyala

.

2.4 Photogenia (Teknik Foto)

Angle yang digunakan adalah high angle, yaitu posisi kamera fotografer

yang lebih tinggi dari objek (penumpang KA). Foto ini menggunakan speed 1/30

ISO 1/800 menggunakan diafragma f 8. Di foto di dalam gerbong KA pada malam

hari.

2.5 Aestethicism

Dalam foto tersebut fotografer menggambarkan kondisi dalam kereta api

yang penuh sesak dan ada salah satu penumpang yang menggunakan kaca mata

terhimpit diantara penumpang yang lainnya serta ada sebuah kipas angin sebagai

fasilitas yang belum memadai. Kondisi sesak digambarakan erik dengan

kepadatan penumpang ditambah ekspresi para penumpang yang lesu serta langit

langit gerbong terlihat seperti fatamorgana atau semu yang terlihat shaking.

Page 82: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

70

2.6 Syntax

Foto yang memperlihatkan hubungan antara padatnya penumpang kereta

api dengan sebuah kipas angin yang rusak serta kurang memadai, kondisi tangan

penumpang yang bergelantungan dengan sesak terlihat goyang dimana langit

langi gerbong terlihat shaking, lampu yang menyala menandakan bahawa kondisi

tersebut pada malam hari tepatnya jam pulang kantor.

3. Mitos

Sejak dulu, kereta api sudah identik sistem transportasi massal. Umumnya

orang menganggap kereta api sebagai layanan publik, Di Indonesia, kereta api

juga banyak dikenal sebagai alat transportasi rakyat. Daya tampungnya lebih

besar, disamping harganya yang relatif terjangkau, menjadikan kereta api sebagai

kendaraan favorit rakyat. Tidak punya uang sekalipun, asalkan nekat, bisa gratis.14

Kereta Api (KA) Jabotabek telah menjadi moda transportasi yang utama

bagi warga Jabotabek sehingga arus pengguna moda transportasi ini semakin

bertambah banyak seiring perpindahan penduduk ke daerah pinggiran ibukota

namun berbanding terbalik dengan fasilitas yang tersedia baik di dalam KA itu

sendiri maupun di stasiunnya belum lagi soal keamanan dan ditambah buruknya

kualitas layanan KA bagi pengguna jasa transportasi ini. Menurut Wikipedia saat

ini KA Jabotabek disebut dengan KA Commuter Line Jabodetabek—adalah jalur

kereta rel listrik yang dioperasikan oleh PT KAI Communter Jabodetabek. KRL

Jabotabek telah beroperasi sejak tahun 1976, yang melayani rute komuter di

wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Serpong, dan Parung Panjang.

KRL yang melayani jalur ini terdiri dari dua kelas, yaitu kelas ekonomi dan kelas

14

.http://www.berdikarionline.com/opini/20121214/kereta-api-yang-tak-lagi-

merakyat.html

Page 83: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

71

commuter line yang menggunakan pendingin udara. Jalur komuter Jabodetabek

melewati beberapa stasiun besar seperti Jakarta Kota, Gambir, Gondangdia,

Jatinegara, Tanah Abang, Pasar Senen, dan Manggarai. 15

H. Analisis Data Foto VIII

Jalan Sudirman, 2001, Sebuah Billboard Iklan Rokok di Kawasan Jalan

Sudirman Pada Malam Hari

1. Tahap Denotasi

Makna denotasi dalam data foto VIII adalah:

Kilatan cahaya dari lampu kendaraan bermotor.

Sebuah billboard atau reklame dengan gambar orang berselancar dan ada

gambar rokok.

15

KA Commuter Jabodetabek, http://id.wikipedia.org/wiki/KA_Commuter_Jabodetabek,

diakses 6 Mei 2013

Page 84: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

72

Latar belakang gedung bertingkat.

2. Tahap Konotasi

2.1 Trick Effect (Manipulasi Foto)

Dalam foto ini tergambarkan cahaya yang berjalan seperti ombak atau arus

air dengan latar belakang papan reklame seorang yang sedang berselancar seakan-

akan orang yang berselancar tersebut ada kaitannya dengan cahaya lampu

kendaraan bermotor kemudian lampu penerang kendaraaan seperti buah yang ada

dalam pepohonan.

2.2 Pose

Terlihat gerakan kendaraan bermotor yang diwakili oleh lampu yang

terlihat panjang dan gerakan orang yang menggunakan papan selancar pada

reklame sambil melihat ke arah kanannya seperti melihat lampu penerang jalan

yang berada pada tiang jalanan ibu kota.

2.3 Objek

Lampu pada sebuah gedung bertingkat, kemudian lampu penerang jalan

serta lampu kendaraan bermotor yang meanandakan ada sebuah kehidupan

dikawasan tersebut meskipun pada malam hari, ada kilatan cahaya yang berasal

dari lampu kendaraan bermotor, lampu ditiang gantung, billborad sebuah iklan

rorok dengan model berselancar dan latar belakang gedung bertingkat.

2.4 Photogenia (Teknik Foto)

Angle yang digunakan adalah eye level, yaitu posisi kamera fotografer

yakni vertikal sehingga hasil foto menjadi tegak . Lensa yang digunakan lensa

wide dengan bukaan lensa f 10 ISO 100 speed 0.30.

Page 85: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

73

2.5 Aestethicism

Fotografer ingin memperlihatkan rutinitas di sebuah jalan utama ibukota

pada malam hari dengan komposisi gambar yang dihasilkan menjadi vertikal

karena erik ingin melihatkan keindahan lampu lampu kendaraan ibu kota, yang

menajadi seuah simol kehidupan, begitu juga dengan papan billboard iklan rokok

yang tepasang seakan tepat posisinya.

2.6 Syntax

Foto tersebut mengartikan betapa masih ada kehidupan malam di ibu kota

jakarta yang ditandai dengan adanya kilatan cahaya dari kendaraan bermotor,

begitu juga dengan papan reklame ikklan rokok yang terpasang di ibu kota

Jakarta, kaitan antara lampu kendaraan kemudian papan reklame dan gedung

bertingkat mempunyai arti pembangunan yang ada di kota jakarta berjalan 24

jam tiada henti, kota yang selalu ramai dan tidak pernah mati. Kota Jakarta

mengikuti alur seperti ombak di lautan yang selalu ada setiap waktu, jalan

Sudriman ditandai simbol pusat ibu kota jakarta karena di kawasan tersebut

mernjadi kawasan strategis serta kawasan bisnis.

3. Mitos

Mitos yang terapat dalam foto tersebut diartikan Jakarta menjadi salah satu

kota 24 jam yang tidk pernah mati mati, selalu ada kehidupan setiap menitnya di

jalan raya seperti ombak di lautan. Foto memperlihatkan geliat tentang hiruk-

pikuk masyarakatnya yang terwakili dalam sapuan kilatan cahaya yang berasal

dari kendaraan bermotor dan gedung bertingkat. Gambar juga memperlihatkan

model iklan rokok yang berselancar yang mempunyai hubungan sintaksis dengan

gambar yang dibawah yakni kilatan cahaya yang seolah-olah sebuah arus selancar.

Page 86: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

74

I. Analisis Data Foto IX

Perlawanan Forkot (Forum Kota) dekat Balai Sidang Senayan. Jalan

Gatot Subroto, November 1998.

1. Tahap Denotasi

Makna denotasi dalam data foto IXadalah:

Bambu

Ikat kepala

Bendera

Tas

Sejumlah massa pria

Page 87: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

75

2. Tahap Konotasi

2.1 Trick Effect

Dalam foto tersebut seolah olah terlihat langit dan awan yang mendekati

para aktivis padahal hal terbentuk dari cahaya flash yang ditambah gerakan para

aktivis dengan lambatnya kecepatan kamera sehingga membentuk awan.

2.2 Pose

Pose dalam foto tersebut yakni aksi perlawanan aktifis mahasiswa dengan

sebuah bambu yang seakan akan memukul dan merangsek maju. Kemudian

tatapan mata para aktivis yang terlihat tegang dan emosi.

2.3 Objek

Pemilihan objek foto sekelompok massa aktifis yang sedang merangsek

masuk yang diduga menghadang aparat di depannya dengan atribut-atribut aksi

seperti batang bambu, ikat kepala dan bendera yang dijadikan senjata

mempertahankan diri.

2.4 Photogenia (Teknik Foto)

Angle yang digunakan adalah eye level, yaitu posisi kamera fotografer

sejajar dengan objek. Kemudian fotografer memotret pada malam hari

menggunakan flash ((lampu tambahan) kemudian speed 1/50 dan ISO 800 serta

diafragma f 4.

2.5 Aestethicism

Foto tersebut yang menggambarkan sebuah ekspresi emosiaonal

perlawanan aktifis mahasiswa yang tergabung dalam Forkot, semangat

perlawanan di jakarta pada 1998 yang begitu fenomenal sebagai aksi ekstra

parlementer.

Page 88: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

76

2.6 Syntax

Rangkaian dalam foto tersebut yakni terdiri dari bambu sebagai simbol

perlawanan, kemudian ikat keala dan bendera sebagai simbol pejuang, kondisi

tersebut menggambarkan sebuah aksi perlawanan aktifis mahasiswa yang

tergabung dalam Forum Kota (Forkot) dengan menggunakan senjata bambu serta

atribut aksi lainya untuk merangsek barikade aparat.

3. Mitos

Forum Kota yang dikenal sebagai sebuah gerakan perlawanan garis keras

terhadap pemerintah yang terdiri dari mahasiswa dan aktivis yang terkenal saat

reformasi 1998, di mana ketidakpuasan para aktifis mahasiswa terhadap

kepemimpinan pasca Soeharto. mereka menyerukan aksi ekstra parlementer

dengan tindakan perlawanan Maka dari itu Reformasi tidak lepas dari peran forkot

ketika itu. Massa Forkot, lebih memilih jalur gerakan massa sebagai alat

perlawanan. Mereka kerap melakukan pertemuan-pertemuan, dan konsolidasi ke

kampus-kampus di Jakarta. Bahkan, dia mengklaim aksi pendudukan pertama di

Gedung DPR/MPR merupakan ide Forkot yang curi oleh FKSMJ.16

Kemudian filosofi bambu dijadikan sebuah simbol untuk mengajarkan

nilai-nilai moral yang baik. Dalam falsafah Jawa, filosofi bambu disesuaikan

dengan unsur sentral kebudayaan Jawa yaitu rila(ikhlas), nrima (bersyukur),

dan sabar. 17

16

http://nasional.sindonews.com/read/2013/05/16/15/749658/reformasi-1998-mati-saat-

dilahirkan 17

http://www.asji.info/index.php?option=com_content&view=article&id=398%3Afilosofi

-bambu-dalam-falsafah-jawa&catid=14%3Akolese&Itemid=20&lang=en

Page 89: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

77

J. Analisis Data Foto X

“Acid Rain”—bubble party yang diselenggarakan oleh perusahaan rokok

di diskotek Bengkel. Tepat pada hari peringatan Tragedi 27 Juli.1998

1. Tahap Denotasi

Makna denotasi dalam data foto X adalah:

Sekerumunan pria dan wanita di lantai bawah

Sekerumunan opria dan wanita di panggung

Rokok

Lampu

Percikan air

2. Tahap Konotasi

2.1 Trick Effect (manipulasi foto)

Manipulasi dalam foto tersebut yakni kilatan lampu di atas panggung dan

percikan air yang menempel pada lensa kamera seakan akan seperti balon buatan di atas

panggung saat pesta berlangsung.

Page 90: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

78

2.2 Pose

Fotografer menyampaikan sebuah foto tentang aktifitas pesta anak muda

yang berjoget dalam sebuah klub malam dengan yang bertepatan dengan

peristiwa 27 Juli dengan suasana histeria.

3.1 Objek

Pemilihan objek dalam foto tersebut yakni rokok yang berada di tangan

pengunjung serta percikan air yang seakan akan seperti balon balon udara di atas

panggung kemudian lampu yang menyoroti pengunjung .

2.4 Photogenia (Teknik Foto)

Angle yang digunakan adalah eye level, yaitu posisi kamera fotografer

sejajar dengan objek. Foto ini menggunakan speed 1/30 dengan menggunakan

flash (tambahan lampu) diafargma f 3.5 ISO 800. Di foto pada malam hari di

sebuah klub malam.

2.5 Aestethicism

Foto tersebut menujukan berbagai macam ekpresi nyaman yang keluar dari

para wajah pengunjung klub malam dan gerakan berjoget mereka yang menujukan

arti sebuah kebebasan terlihat juga dari gaya cara mereka berpakaian serta sebuah

rokok.

2.6 Syntax

Hubungan yang berada dalam foto tersebut yakni sebuah rokok serta

kilatan cahaya dan beberapa air seperti balon balon yang berterbangan saat pesta

menimbulkan sebuah persepsi bagaiaman sebuah pesta atau party kaum urban

yang menujukan kebabasan setelah kondisi tahun 1998 ketika terjadi pergolakan

politik yang sangat genting.

Page 91: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

79

3. Mitos

Foto ini menarasikan sebuah pertarungan makna simbolis setelah kondisi

perpolitikan Indonesia tahun 1998 apalagi pesta tersebut diadakan bertepatan

dengan peringatan 2 tahun tragedi 27 Juli 1998. Foto ini seakan mempersepsikan

kondisi muram perpolitikan dan ekonomi Indonesia khususnya di Jakarta disaat

terjadi krisis sebagian masyarakat, yang terekam di foto ini melakukan semacam

eskapisme (pelarian) dari carut-marutnya kondisi sosial politik dan ekonomi

negara ditambah penyelenggaraan party tersebut diadakan atas sponsor

perusahaan rokok yang tanpa peduli bekerja pada mekanisme pasar.

Page 92: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

80

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Karya Erik Prasetya dalam bukunya Jakarta Estetika Banal adalah salah satu

proyek pemotretan mengenai kota Jakarta selama 10 tahun lebih dan memberikan

sebuah perspektif baru—atau menurut Erik Prasetya mencoba untuk memberikan

suatu tawaran alternatif dalam konsep estetika fotografi. Erik Prasetya

mendefinisikan pendekatan Estetika Banal tidak membutuhkan sebuah drama atau

peristiwa besar saat memotret melainkan memotret hal sehari-hari yang menjadi

bagian hidup fotografer. Dalam bab I penulis menjelaskan menganai latar belakang

memilih etetika dan foto-foto Erik yang boleh disebut sebagai bagian dari street

photography—sebuah genre fotografi nonformal yang menampilkan subyek dalam

situasi candid dalam tempat umum seperti jalan, taman, pantai, mall, konvensi politik

dan pengaturan terkait lainnya. 1 Dalam konteks ini, karya fotografi Erik dengan

banalitasnya mencoba memotret hal-hal yang bersifat subyektif pada kejujuran lensa

dimana teknik fotografi yang menunjukkan visi murni dari situasi, seakan

merepresentasikan cerminan masyarakat.

Dalam karya fotonya Erik Prasetya seperti yang dikatakan oleh Firman Ichsan

sebagai suatu frasa yang bersifat oksimoron—artinya mengandung sesuatu yang

bertolak belakang dan bahkan bertabrakan. Foto-foto Erik berisi pengertian satu

juktaposisi yang satu sama lain berseberangan namun memberikan sebuah impresi.

Lebih lanjut Firman Ichsan dalam kata pengantarnya di buku Jakarta Estetika Banal

1 http://en.wikipedia.org/wiki/Street_photography, diakses 10 Maret 2013.

80

Page 93: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

81

mengatakan estetika banal dapat dikatakan antitesis dalam merekam kota yang boleh

dikatakan berseberangan—Erik menangkap dinamika dan wajah manusia dan kota

“sebenarnya”. 2

Konsep kota yang tidak melulu soal fisik atau infrastruktur dan erik mecoba

membongkar dalam karya foto di buku Jakarta Estetika Banal di mana kota

dihadirkan sebagai pergerakan dan tindakan manusia di dalamnya. Pergulatan

manusia di kota memberikan sebuah pemaknaan tentang narasi kota yang dibangun

secara tidak terencana dengan baik. Bagi Erik kota Jakarta adalah kota yang

berkembang menjadi “kota informal”. Sebuah arsitektural perkotaan yang semrawut

dan acak-acakan. Manusia didalamnya saling bertarung, sikut-sikutan, tarik-menarik,

saling berebutan, dan estetika banal adalah instrumen teknis-teoritik yang tepat untuk

menggambarkan situasi chaos kota Jakarta yang berantakan dimana sebuah kota

megapolitan yang tidak ramah dan tidak manusiawi bagi warganya—maka tak heran

ada sebuah pameo yang mengatakan Jakarta lebih kejam dari ibu tiri.

Disamping itu pendekatan fotografi Erik mencoba untuk membongkar

dikotomi subyek-obyek yang sudah terlanjur menghinggapi para fotografer. Melalui

konsep estetika banal Erik meminimalisir bahkan melawan dikotomi tersebut dan

menawarkan sebuah pendekatan alternatif yang hematnya sudah berkembang di dunia

Barat. Dalam konteks Indonesia visi Erik merupakan sebuah teroboson estetis bagi

fotografer dalam membuat karyanya yang berlandaskan dokumenter. Frasa eksotik-

romantik ditampik Erik dengan membangun realitas fotografi berdasarkan hal-hal

yang biasa saja dan tidak ada drama atau foto yang ditampilkan bersifat banal. Dalam

2 Firman Ichsan “Jakarta Estetika Banal; Pernyataan Seorang Juru Foto” dalam Erik Prasetya Jakarta

Estetika Banal. Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta: 2011. Tanpa halaman.

Page 94: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

82

memotret metode kerja estetika banal menurut Erik tidak perlu mencari focus of

interest cukup menbuat komposisi saja dan pergerakan obyek.

Dalam statement di buku Jakarta Estetika Banal Erik berusaha menanggalkan

kecenderungan voyeurisme fotografi borjuis dan kembali berhubungan dalam dialog

antar subyek. Ini adalah upaya mempertanyakan kembali konsep-konsep estetika

fotografi yang umumnya dirumuskan dalam relasi subyek-obyek. 3 Melalui fotonya

Erik mencoba memaknai kota bukan dari infrastrukturnya melainkan dari wajah-

wajah dan pergerakan manusia didalamnya seperti foto-foto yang penulis kaji di

skripsi ini. Buku Jakarta Estetika Banal terdiri dari 131 foto—sebuah album yang

menggambarkan persoalan kota Jakarta secara tematis. Persoalan-persoalan kota

menjadi tema di karya foto Erik seperti permasalahan polusi udara, pergerakan massa

anonym, ruang publik, ketersediaan ruang terbuka hijau, lingkungan hidup,

transportasi, gaya hidup kelas menengah perkotaaan, fenomena mudik lebaran,

masalah kebakaran yang kerap melanda ibukota Jakarta, perayaan 17 Agustus,

gerakan mahasiswa dan reformasi 1998 dan ekonomi sektor informal yang menjadi

sebagian besar mata pencaharian warga kota Jakarta.

B. Saran

Berdasarkan analisis penulis terhadap karya-karya foto Erik Prasetya yang ia

bukukan dalam Jakarta Estetika Banal maka karya ini dapat dijadikan sebagai sebuah

pendekatan bagi para jurufoto dalam membuat karya fotonya disamping bagi para

fotografer amatir yang perlu membuka wawasannya tentang konsep estetika fotografi.

Hemat penulis, buku yang dibuat oleh Erik Prasetya ini dapat menambah khazanah

keilmuan fotografi dalam Bahasa Indonesia yang masih minim dewasa ini.

3 Erik Prasetya Jakarta Estetika Banal. Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta: 2011. Tanpa

halaman.

Page 95: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

83

Tentunya, penulisan skripsi ini adalah bagian dari memperkaya wacana

fotografi bagi publik pembaca dan akademisi di Indonesia. Perkembangan dunia

fotografi di Indonesia sudah maju pesat sedemikian rupa, begitu banyak munculnya

fotografer profesional dan amatir, klub-klub fotografi, lokakarya-lokakarya fotografi,

pameran fotografi, perlombaan fotografi dan kemampuan teknis fotografi masyarakat

Indonesia (baca: warga perkotaan) yang sebagian besar sudah “melek”. Dan tak lupa

perangkat kamera di era digital makin memudahkan orang untuk memotret. Namun

ditengah perkembangan pesat dunia fotografi di Indonesia tidak diimbangi dengan

penguatan dan pergulatan wacana fotografi di Indonesia.

Wacana fotografi Indonesia masih dibilang minim termasuk soal ketersediaan

literatur fotografi—terutama soal wacana keilmuan fotografi, dan hadirnya buku

Jakarta Estetika Banal dapat memberikan sebuah perbendaharaan khazanah keilmuan

fotografi di Indonesia yang dapat di kaji dan diwacanakan sebagai sebuah kajian

dalam fotografi.

Page 96: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

DAFTAR PUSTAKA

Aart Van Zoest, Interprestasi dan semiotika, (Terj.) oleh Okke K.S Zaimar dan Ida

Sundari Husein dalam Panuti Sujiman dan Aart van Zoest, (Ed) Serba-Serbi

Semiotika. Jakarta : Gramedia, 1991.

Ajidarma, Seno Gumira. Kisah Mata, fotografi. Yogyakarta: Galang Press, 2002.

Amir Piliang, Yasraf. Hipersemiotik; Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna.

Yogyakarta: Jalasutra, 2003.

Art Van Zoest. Semiotika Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita lakukan

dengannya, Jakarta: Sumber Agung, 1993.

Asa Berger, Arthur. Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan

Kontemporer, Edisi baru.Yogyakarta : Tiara Wacana, 2010. cet 1.

Barthes, Roland. Camera Lucida Reflections of Photography. Trans: Richard

Howard,New York: Hill & Wang, n.d.

Barthes, Roland. Image Music Text, trans. Stephen Heath. London: Fontana Press.

1977. Hlm. 17

Benjamin, Walter. ”The Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility,

and Other Writing on Media”, Edited by Michael W. Jennings, et. all.

Cambridge, MA & London: The Belknap Press of Harvard University Press.

2008.

Birowo, M. Antonius. Metode Penelitian Denotasi; Teori dan Aplikasi. Yogyakarta

:Gitanyali, 2004.

Blackburn, Susan. Jakarta Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Penerbit Masup Jakarta,

2011.

, Kris, Kosa Semiotika. Yogyakarta : LKIS. 1999.

Cerlang Budaya: Gelar Karya Untuk Edi Sedyawati. Depok: Lembaga Penelitian UI,

1999.

Chandler, Daniel. Semiotics The Basics. Second Edition. London & New York:

Routledge. 2002, 2007.

Cristomy, Tommy. Semiotika Budaya. Depok: Universitas Indonesia, 2004. cet. 1.

David E. W. Fenner. Introducing Aesthetic. Westport, CT: Praeger. 2003.

Page 97: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

Dharsono Sony Kartika, Nanang Ganda Prawira. Pengantar Estetika Bandung :

Rekayasa Sains, 2004. cet.1.

Drs. Maryaeni, M.P. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara, 2005.

Durham & London: Duke University Press. 2010.

Ed Zoelverdi. Mat Kodak. Jakarta: PT. Temprint, 1985.

Frosh, Paul. The Image Factory Consumer Culture, Photography and the Visual

Contents Industry, Oxford & New York: Berg. 2003.

Jatman, Darmanto. “Tingkah Kelas Menengah Puak Melayu” dalam Hadijaya (Ed.),

Kelas Menengah Bukan Ratu Adil, Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta:

1999.

Kamala Chandrakirana & Isono Sadoko. Dinamika Ekonomi Informal Di Jakarta.

Jakarta: Penerbit UI Press, 1995.

Kayam, Umar. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981.

Kriyant ono, Rahmat, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2006. Ed 1.

Lury, Celia. Prosthetic Culture Photography, Memory and Identity, London & New

York: Routledge. 1998.

M. Mudaris. Jurnalistik foto. Semarang: Badan Penerbitan Universitas Diponegoro.

1996.

Martinet, Jeane. Semiologi : Kajian Teori Tanda Saussurean; Antara Semiologi

Komunikasi dan Semiologi Signifikasi. Yogyakarta: Jalasutra, 2010. cet. 1.

Mirza Alwi, Audy. Foto jurnalistik. Jakarta: Bumi Aksara, 2004.

Muridan S. Widjojo, “Wacana Politik Aktivis Gerakan Mahasiswa 1998”, dalam

Muridan S. Widjojo et al., Penakluk Rezim Orde Baru Gerakan Mahasiswa

’98, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999.

Prasetya, Erik. Jakarta Estetika Banal. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta &

Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2011.

R. Hasan, Iding, Pencalonan Artis dan Banalitas Politik, 2010.

S. Lev, Daniel. “Kelas Yang Menyehatkan Negara” dalam Hadijaya (Ed.), Kelas

Menengah Bukan Ratu Adil, Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta: 1999.

Page 98: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

Santosa, Puji. Ancangan Semiotika dan Pengkaajian Susastra. Bandung: Angkasa.

1931.

Santosa, Puji. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa,

1931.

Sobur, Alex. Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis

Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006. cet 6.

Sontag, Susan. On Photography, New York: Rosetta Books, LLC. 2205.

St Sunardi. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Buku baik, 2004

Strassler, Karen. Refracted Visions Popular Photography and National Modernity In

Java,

Sumandiria, AS. Haris. Bahasa Jurnalistik; Panduan Praktis Penulis dan Jurnalistik,

Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2006. cet. 1

Tabrani, Primadi. “Membaca Gambar Cadas Pra-sejarah”, dalam Rahayu Hidayat

(ed.)

Tinarbuko, Sumbo. Semiotika Komunikasi Visual; Metode Analisis Tanda dan Makna

pada Karya Desain Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra, 2008. cet.2.

Sumber Internet

AA Wattimena, Reza. Hannah Arendt dan Banalitas Kejahatan, UNIKA Widya

Mandala Surabaya: 2011 http://rumahfilsafat.com/2011/12/23/hannah-

arendt-dan-banalitas-kejahatan/

Banjir Jakarta 2013, Tumpukan Masalah Ibukota,

http://astaganaga.multiply.com/journal/item/5?&item_id=5&view:replies=threaded.

http://en.wikipedia.org/wiki/Documentary_photography, diakses 10 Maret 2013

http://en.wikipedia.org/wiki/Photojournalism, diakses 10 Maret 2013

http://en.wikipedia.org/wiki/Sebasti%C3%A3o_Salgado, diakses 10 Maret 2013

http://en.wikipedia.org/wiki/Street_photography, diakses 10 Maret 2013

http://jakarta.okezone.com/read/2012/07/24/500/667639/kebakaran-di-jakartaseperti-

arisan, diakses 6 Mei 2013

Page 99: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/01/banjir-jakarta-2013-tumpukan-

berbagai-masalah-ibu-kota, diakses 6 Mei 2013

KA Commuter Jabodetabek,

http://id.wikipedia.org/wiki/KA_Commuter_Jabodetabek, diakses 6 Mei

2013

Memahami Tradisi Mudik,

Overview- About MRT Jakarta,

http://jakartamrt.com/index.php?option=com_content&view=article&id=50&Itemid=

93&lang=en, diakses 6 Mei 2013

Pencemaran Udara Perkotaan Jadi Masalah Serius, Selasa, 18 Desember 2012,

http://www.suarapembaruan.com/home/pencemaran-udara-perkotaan-jadi-

masalah-serius/28328, diakses Senin, 6 Mei 2013

Propeda Propinsi DKI Jakarta 2002-2007,

http://bappedajakarta.go.id/download/propeda/Propeda_BAB11.pdf, diakses 6 Mei

2013

www.indosiar.com/ragam/motor-penyebab-polusi-udara-_58530.html, diakses 6 Mei

2013

Media Indonesia, Bedah Buku : Belajar Membedah Miots ( Mitologi Karya Roland

Barthes), minggu, 25 Maret 2007.

Sumber Lain

Amir Piliang, Yasraf. Makalah Sastra dan Estetika Massa. pada diskusi gerakan

cakrawala, Bandung , 2008.

Bachtiar, Ray. Ritual Fotografi, Chip foto video edisi special.

Irsyad, Robi. Representasi tentara Amerika Serikat dalam foto berita surat kabar

Nasional.

Media Indonesia, Bedah Buku : Belajar Membedah Mitos ( Mitologi Karya Roland

Barthes), minggu, 25 Maret 2007.

Page 100: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

Wawancara dengan Erik Prasetya

Penulis : Apa itu Estetika Banal?

Erik Prasetya: Definisi dari dari oxford! Banal itu apa? Very ordinary and containing

nothing that is interesting or important! Apa? Eh.. sotken biasa-biasa aja, tidak mengandung

sesuatu yang menarik atau penting.

Sementara estetika, wah.. concerned with beauty, apa, berhubungan dengan kecantikan, seni,

pemahaman, dan beautiful thing, ya.

Made in an artistics way and beautiful to look at.

Dalam bahasa Indonesia kira-kira gini! Tidak elok, biasa sekali, nah estetika itu cabang ilmu

filsafat yang menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan manusia

terhadapnya, kepekaan terhadap seni dan keindahan.

Sekarang kita massuk ke Henri Cartier-Bresson. Photography is not like painting, nah dia

bilang dalam bahasa Inggris. Neuneuenue... nah gitu lah nanti kamu cari sendiri statement

tentang tok thingking tangga, tapi dia merumuskan sebuah rumusan yang disebut “Decesive

Moment” ini Penting! Dalam, dalam sejarah fotografi itu ya!

Nah apa itu decisive moment? Ini nih, fotografi adalah pengenalan atas fakta secara

langsung dan segera, serta merupaan pengorganisasian ketat atas bentuk-bentuk visual yang

menyatakan dan memaknai fakta tersebut. Apa ini? Kalimat ini artinya apa? Coba nanti

kamu pahami sendiri, nanti akan saya terangin sedikit-sedikit, Decesive moment itu berasal

dari Cardinal de Retz, nah ini lah pertama-pertama orang yang me, yang ini lah, yang me,

yang mengungkapkan kata decisive moment, Nah sekarang kita lihat praktek dalam

photografi, nah ini Paris, Cartier-Bresson, nah ini difoto oleh Cartier-Bresson. Apa yang

kamu lihat di sini? Ini kan gambar yang indah sekali, cantik sekali lah ya, ada keindahan ada

kecantikan dan segala macem lah ya? Dan yang membangun nya apa? Elemen-elemen,

elmen elemen yang pada suatu waktu dia berpadu menjadi satu apa? Satu bentuk itu yang

bisa menerangkan moment itu dengan baik, jadi yang disebut oleh Bresson sebagai decesive

moment tuh itu? Ada elemen-elemen yang membentuk dan bercerita tentang keadaan itu, ada

satu waktu yang cuman sdetik, lewat ini sudah lain! Ya.

Bagaimana bayang-bayang secara in, secara elemen-elemen ini kan bagus, membentuk

keindahan, tapi juga disini ada poster kebetulan poster orang penari balet yang sedang

meloncat, ini si, apa sih? Ini loncat kearah sini, itu loncat kearah sana. Ini kan sebuah

moment yang aduuuh.. lewat sedetik tidak begini kejadiannya. Nah ini menurut Bresson

disebut decesive moment.

Estika banal tidak memotret drama/peristiwa besar, melainkan memotret hal sehari-hari

yang menjadi bagian hidup fotografer.

Page 101: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

Penulis: Apa kaitannya estetika banal dengan Jakarta?

Erik Prasetya: Jakarta ini kan kota yang tidak dirancang untuk keindahan, gak beda sama,

sama kota-kota lain, umpamanya ambilah contoh Paris atau apa? Atau London atau kota di

Amerika, itu kan memang dirancang dengan keindahan dan semua tertib, sehingga kota itu

indah. Jadi kalau kamu motret mencari suatu yang indah-indah di situ dapet, banyak

memang, nah Jakarta ini tidak pernah dirancang begitu, Jakarta ini kepentingan demi

kepentingan yan menang, lagi kuat birokrat, pada bangun ini, lagi kuat modal, dia bangun

mall, seenak-enaknya aja, gak karu-karuan. Ancur-ancuran sesungguhnya, kota Jakarta ini,

Nah kalau kita mau mendekati dengan estetika yang mencari keindahan, ya gak dapet, kamu

kalah dibanding sama kota Singapura, lah ngapain? Emang gak banyak yang indah di kota

Jakarta ini, ngapain kita me, mendekati kota Jakarta ini dengan estetika itu, ntar ada di

tulisanku itu, kamu baca lagi, itulah makanya aku merasa oh estetika keindahan, semata-

mata keindahan ini gak cukup. Kalo kita mau me.., me.. apa? Untuk mendekati Jakarta, mau

bikin rekaman tentang Jakarta, gak cukup kita dengan mengandalkan itu, karena nanti

dapetnya gak, gak bagus. Kita cari taman-taman yang indah, loh dimana yang indah?

Paling-paling Monas, indah-indah amat juga nggak dibandingkan sama singapur dia punya

taman apa, taman apa yang bagus-bagus, ya gak bagus, loh jadinya kan buat kapa kita

menampilkan ini loh Jakarta yang Indah, terus orang bilang, ya gak indah gitu mah,

makanya pendekatan estetika bukan keindahan, saya mau menggambarkan ini loh Jakarta

yang hidup, ada orang sikut-sikutan, ada orang tarik-menarik , atau ini, rebutan lapak,

rebutan ruang publik, segala macem, hal-hal semacam itu lah, nah ini yang saya harus

dekati dengan suatu etetika yang lain, bukan estetika yang mengutamakan keindahan, nanti

kalo itu gak dapet, makanya saya coba cari apa ya? Kira-kira estetika apa lagi yang bisa

dipakai untuk menggambarkan Jakarta yang dinamis ini, yang amburadul ini, yang ancur-

ancuran ini, itu kira-kira,

Penulis: Menurut mas Erik apa kehebatan fotografi estetika banal?

Erik Prasetya: Menyatukan yang suatu yang nggak berhubungan, nah ini kan, ini kan fitrah,

fitrah dalam fotografi itu, memang kemampuan dia itu, juktab posisi, lalu apa eu..tidak

hirarki, kemudian apa? Bisa merekam dalam waktu sedetik, kalo dia detik kan cewe udah ke

sana, udah gak berhubungan lagi, tapi detik ini kan dia berhubungan, nah ini ta’ berhentiin,

sehingga terjadilah si cewe naksir kamu seakan-akan…

padahal tidak, mungkin? Ya senyum ke.. kegua yang motret, bisa aja kan? Dia melirik ke

gua, tapi karena gambarnya sebelah situ jadi seperti dia melirik kamu yang sedang difoto,

bisa begitu, nah itu salah satu fitrah dari fotografi yang lain, kaya gitu, nah ini yang saya

manfaatkan dalam banal estetik, kita bermain di situ kita pake fitrah fotografi yang memang

fitrahnya, iya kan? Nah kalau kita mencoba menghadirkan estetika yang bukan fitrahnya, ya

susah sekali memang, bisa! Umpamanya lukisan, lukisan punya fitrahnya sendiri, ada yang

lighting yang diatur oleh rembran segala macem, nah kan kita juga bisa niru itu, tapi kalau

kita meniru itu, itulah yang disebut estetika yang mengekor pada seni rupa itu, mungkin

Page 102: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

klasik, tapi dia mengejar keindahan, keindahan seperti yang sudah dilihat orang dalam seni

rupa, kaya gitu, Nah kesana fotografi punya fitrah yang lain tadi yang kurang dimanfaatkan,

nah ini yang saya angkat dalam estetika banal maksimal,.

Penulis: Seberapa pentingnya pendekatan fotografi estetika banal dalam memotret jakarta?

Erik Prasetya: Inikan sebuah tawaran dari saya seorang fotografer, menawarkan,eh yo kita

foto nih Jakarta tapi jangan dengan pendekatan yang seperti yang sudah-sudah, susah itu.

Ini itu bisa memotret, ini kita foto dengan pendekatan estetika banal aja, kira-kira gitu. Terus

orang tanya estetika banal itu apa? Ini yang dipertanayakan, ini sebuah tawaran, bukan

suatu keharusan, maksudnya saya gak bisa bahwa, eeh.. ini apa? Euh lu kalo moto di Jakarta

jangan.. jangan begitu!, nggak! Yang, yang mau melakukan ya silahkan tapi saya

menawarkan suatu alternatif, eh ada loh cara lain, mau gak? Kan di dalam estetika banal

saya masih ada juga campuran, yang keindahan ada, saya hanya mau nunjukin bahwa

keindahan, ya begini hasilnya, tapi kalau kita mau pake banalitas nah lebih luas nih, kafe

bisa difoto, tiba-tiba, apa? Eu.. kafe, eu.. mall, orang-orang di jalan, bisa difoto, selama ini

kan orang gak memotret itu, coba kamu cari periksa buku di Jakarta, moto kafe gak ada,

temen-temen sendiri ya, kecuali umpamanya ni si joki lagi kerja, tapi itu kan bukan foto itu

hanya informasi aja, dis joki, orang di suasana di sebuah kafe gitu kan, seorang fotografi

menggambarkan ini loh sebuah kafe, ini loh kejadian di kafe, ini loh kejadian di mall, nggak

ada, karena apa? Kalau kita memotret dengan mementingkan estetika yang lama, estetika

keindahan itu, seperti saya bilang, kita butuh drama, drama itu apa? Drama itu secara

gampangnya, kalau kita datang dari kelas menengah, maka kita melihat kelas bawah itu

drama, ada drama kehidupan di situ, di Cilincing itu ada drama. Umpamanya, anak kecil itu

ngangkat besi, hanya dapet duit total sepuluh ribu sehari, padahal dia usia sekolah, nah buat

saya itu yang datang dari kelas menengah yang punya kamera Leica, yang sekolah yang dari

universitas, lihat, gila ya gak adil sekali, terasa drama itu buat kita, maka kita tahu, oh ada

dramanya maka kita foto dia, fotonya harus menghasilkan, menampilkan drama itu, betapa

dia cakep, betapa dia bekerja keras, betapa dia gak dibayar baik, inikan sebuah drama, nah

tapi, kalau kita balik ke kelas menengah kita sendiri, ke mall kamu ketemu temen kamu

makan di kentucky, kamu ketemu temen kamu lagi ngobrol-ngobrol di kafe atau di Mc

Donald, ada dramanya gak?

Gak ada drama, karena itu keseharian kita, kan kita gak bisa bilang, ih asik lo, gila gua tu

ketemu temen gua lagi makan di Mc Donald, kan gak ada, gak ada, gak masuk akal, ya kan

kita semua makan di Mc Donald, kita makan di kafe-kafe, jadi di situ gak ada drama, nah

lantas bagaimana kita memotret ini, itu jadi problemnya. Kalau gak ada drama bagaimana

kita motretnya? Kalau ada drama kita tahu motretnya gampang, itu saya tunjukin di foto-foto

Cilincing, ada kemiskinan, ada segala macem, udah, tapi kalau gak ada drama bagaimana

motretnya? Itulah yang saya tawarkan tadi. Kita pake estetika banal,

Page 103: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

Penulis: Bagaimana foto itu bias disebut Estetika Banal ?

Foto sebagain presentasi, foto pada dirinya sendiri, kalo kamu hanya menilai, ini, dan ini,

dan ini, ini, ini,ni,ni, sama sesuatu mungkin yang mirip-mirip sebelumnya apa itu? Kita Gak

tau itu apa? Ya

Nah, Hubungan foto denga gambar yang lain memiliki kemiripan saling merujuk disebut

hubungan sintagmatik. Jadi, ini sangat mirip dengan ini, ini sangat mirip dengan ini,

dimana kemiripannya? Nanti kita bahas!

Ya jadi hubungan sintagmatik jugaberarti hubugan antar unsur dalam gambar, dan jadi ini,

ini, ini, ini, langit dan segala macem itu kan sintagmatik semua lah ya?

Estetika lebih merupakan perkara sintagmatik, ini ya bukan paradigmatik. Jadi elemen-

elemen tadi itu estetika kita ngomong, ini, ini harus dibedain ini , kalo ini aja gak jelas, kamu

kacau.

Penulis : Apa unsur estetikadalam fotografi ?

Erik Prasetya : Dari seni rupa itu ya kamu akan berurusan dengan bentuk, titik, garis,

cahaya, warna.

Dalam fotografi, nah ini kita akan berurusan dengan: black and white tonal range, jadi ada

tonal range, ada kontras subjek, kontras film, kontras negatif, kertas film, bla-bla-bla... point

of view, lensa, sudut, butirnya, depth of field, nah ini pelajaran fotografi kamu tahu ya?

Nah ini kamu akan masuk ke Cilincing, ini contoh foto-foto saya yang apa? Sangat meniru

pada Salgado, jadi , nah ini kamu tahu, ada di buku ini di cilincing, saya semua,

Nah sekarang apa estetika banal?

Ini dasar berpijaknya dulu ya. Sementara

Fotografer umumnya berasal dari kelas menengah, klo ada dari kelas bawah nanti kita

bahas, tap ini dsarnya dulu ya.

Fotografer=subyek yang dipotret=obyek

Bagaimana menurut kelas menengah dalam kehidupan sehari-hari yang banal/biasa

Nah ini ada wajah jakarta, nti deh kamu, kamu? ini,ini hanya gambaran saja supaya mudah.

Nah sekarang pertanyaan.

Dari mana fotografi mendapatkan estetikanya? Selama ini? Kan orang jarang

mempertanyakan itu

Coba kita lihat. Nah ini tadi contoh ya, ini adalah lukisan Sodom dan Gamora. Apa ciri

khasnya? Satu, tiga orang di depan, satu orang ketinggalan dibelakang dan ini kota Sodom

itu..

Page 104: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

Nah ini statemen saya: Estetika seni rupa tidak cukup proporsional untuk memotret

peristiwa banal dan sehari-hari dari kelas menengah yang menjadi kebanyakan asal-usul

fotografer.

Kenapa? Kenapa dia tidak cukup proporsional, karena gak ada drama, saya datang dari

kelas menengah, apa hebatnya kehidupan kelas menengah. Gak ada drama maka estetika

seni rupa tadi tuh mengandalkan drama semuanya, kamu lihat tadi kan? Ada drama kan?

Yesus mmati di salib, sodom dan gamora, semua drama, andalannya drama kalo gak ada

drama, gak ada lukisannya, ngapain dilukis? Begitulah kejadiannya seni rupa. Sementara

fotografi kan nggak apa saja bisa difoto kok, nah

Hubungan fotografer dengan yang dipotret lebih dialogis ketimbang Subyek-Obyek. Jadi

yang kamu foto itu dialogis, Mencari pola-pola yang sintagmatik yang tepat/proporsional

untuk menggambarkan yang paradigmatik,

Hubungan antara foto ini yang kamu cari, kamu mainin agar dia punya suatu yang

paradigmatik. Paham ya Oke. Sintagmatik dan Paradigmatik dalam estetika Banal

Peristiwa banal yang paradigmatik, yang sintagmatik , ini yang sintagmatik ini yang kita cari

estetikanya agar bisa menggambarkan peristiwa yang banal ini, nih ya,

Sekarang kita lihat unsur-unsur estetika itu apa aja? Dalam seni rupakan itu ada bentuk,

titik, ya ini segala macem ini ya Dalam fotografi estetika banal apa yang bisa kita ulik yang

bisa kita mainkan agar elemen-elemen bisa menciptakan sebuah yang paradigmatik tadi,

lihat kita punya gerak, kita bisa memberhentikan gerak iya kan?

Komposisi yang mengejutkan yang diperoleh dari fitrah fotografi merekam dal kecepatan ,

nah sedetik, sepersekian detik orang gak pernah tahu, dulu orang melukis kuda itu, kalo lari

kakinya masih ditanah gak ada empat-empatnya di atas, baru ketika Muybridge itu seorang

fotografer yang, awal-awal abad 18 memotret bagaimana kuda berlari semua lukisan

berubah ya, fotografi yang bisa mengajarkan itu, yang memberi tahu itu

Ketika kamu meneteskan satu tetes susu ke semangko susu waktu dia jatuh, pyaaar.. gitu ini

membentuk mahkota, itu fotografi yang ngasih tahu orang gak pernah tahu, sampe sekarang

orang menggunakan itu, ada banyak iklan-iklan yang pake itu.

Page 105: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

Penulis : Bagaimana pandangan Anda tentang street photography secara umum dan

perkembangannya saat ini?

Erik Prasetya : Street photography memang masih puber di seluruh dunia. Apakah bisa

dibilang belum mature? Tidak tahu juga. Yang jelas street photography sekarang ini memang

lagi hype. Semua orang bicara tentang street dan semua orang ingin menjadi bagian dari

street photography.” “Saya agak mengambil jarak dalam memandang ini, saya coba

melihatnya dari sisi di luar street photography. Kita tidak bisa melepaskan street photography

ini dari industri kamera secara luas. Para produsen kamera sekarang ini tiap tahun

menawarkan sesuatu yang baru kepada para fotografer maupun para pecinta gadget.

Konsumen harus diberi sesuatu yang sepadan dengan uang yang mereka belanjakan.

Kebetulan, “kue” yang paling menarik untuk ditawarkan saat ini adalah street photography.”

“Dengan membeli produk, konsumen dapat merasakan pengalaman mengenai street

photography. Bahkan walau mereka tidak mengerti tentang street photography, produsen

akan siap menawarkan workshop mengenai street photography. Setelah workshop, selain

mendapat ilmu baru, konsumen pun akan makin tertarik dengan produk-produk yang

ditawarkan tadi. Ini kan skenario marketing yang luar biasa. Cerdas dan hebat.”

Penulis: ”Lalu bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Sepertinya street photography di

Indonesia masih mencari bentuk?”

Erik Prasetya: “Di Indonesia pun kejadiannya sama. Namun seperti biasa, hal yang ditiru di

Indonesia biasanya mutunya jauh lebih jelek, “KW“, entah KW berapa. Akhirnya banyak

workshop-workshop street photography di Indonesia, dengan pembimbing yang mungkin

tidak pernah berkecimpung di street photography namun punya nama yang cukup terkenal –

cukup gaul lah orangnya. Hasil dari workshop itu pun tentunya tidak bisa diharapkan

kualitasnya. Misalnya orang dibawa ramai-ramai untuk hunting street tetapi arahnya justru

lebih mirip seperti hunting salon foto yang lebih mementingkan sisi estetika fotonya

dibandingkan spontanitasnya.” “Terus terang saya kadang khawatir, karena hal seperti ini

bisa berbahaya. Dalam suatu riset yang pernah saya baca dijelaskan bahwa dalam foto-foto di

ruang publik tahun 80-an itu terlihat masih banyak orang yang tersenyum, tahun 90-an mulai

berkurang senyumnya, dan sekarang makin surut. Jadi ada semacam perlawanan dari orang-

orang yang menjadi obyek foto, bahwa mereka merasa keberadaan mereka terancam oleh

street photography.” “Hal ini akan segera terjadi di Indonesia kalau iklim seperti ini

dibiarkan. Ada sekelompok orang yang memotret orang di jalan dengan dalih estetika, tetapi

dengan attitude yang tidak tepat, itu akan menyakiti orang secara pelan-pelan. Lama-lama

orang tidak akan mau difoto di jalan dan marah. Ini akan menjadi suatu kerugian besar bagi

kita. Nantinya tidak akan ada studi yang bisa dilakukan dari foto-foto di ruang terbuka. Kita

tidak akan punya rekaman tentang karakter kota-kota kita di Indonesia. Ini yang harus kita

lawan. Inilah concern terbesar saya dalam street photography.”

Penulis : “Lalu bagaimana seharusnya kita memahami Street photography di Jakarta?

Erik Prasetya: “Street photography mempunyai pendekatan yang berbeda-beda untuk lokasi

yang berbeda. Kita tidak bisa mengadopsi model-model street photography seperti yang

Page 106: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

dilakukan Alex Webb atau Bruce Gilden misalnya. Dari hal teknis foto saja akan berbeda,

karena pada negara-negara yang mempunyai empat musim sinar mataharinya sangat bagus.

Mereka punya golden hour yang lebih panjang, yang bisa menghasilkan bayangan-bayangan

panjang yang indah.” “Dari sisi kondisi kotanya juga akan membawa perbedaan. Contohnya

Singapura, yang walaupun letaknya secara geografis sama dengan kita – beriklim tropis –

tetapi mereka punya keteraturan garis-garis bangunan dan infrastruktur yang indah. Dari situ

timbul pertanyaan: pendekatan street photography bagaimana yang seharusnya dilakukan di

Jakarta? Bagi saya, satu pendekatan yang bisa dipakai di Jakarta, yaitu pendekatan „banal

estetik‟.”

Penulis: “Apakah street photography bisa diapresiasi seperti aliran fotografi lainnya di

Indonesia?”

Erik Prasetya: “Di Indonesia ada tiga aliran foto yang paling berkembang: yang pertama

jurnalistik, karena kebutuhan akan berita; yang kedua adalah fotografi komersial, karena ini

yang paling menghasilkan uang; sedangkan yang ketiga adalah salon fotografi. Aliran-aliran

lain memang agak kurang, misalnya dokumenter yang dari sejarahnya dulu sulit berkembang

di jaman orde baru, apalagi street photography yang susah diapresiasi. Orang awam yang

mengharapkan unsur jurnalistik tentu tidak akan mendapatkannya dari street photography.

Sedangkan bagi penikmat salon, street photography tidak ada estetikanya sama sekali.” “Ini

yang harus pelan-pelan kita usahakan supaya masyarakat bisa membaca foto street

photography. Karena percuma juga bila kita membuat foto street photography yang bagus

tetapi tidak ada orang kita yang bisa mengapresiasinya. Biasanya nanti setelah ada orang bule

yang lihat dan bilang foto itu bagus baru ramai-ramai kita ikut mengapresiasinya.”

Penulis: “Apakah mungkin membawa street photography ini ke khalayak yang lebih luas?

Erik Prasetya: “Menurut saya sekarang inilah saatnya, karena street photography sejalan

dengan kebutuhan pemodal saat ini. Terutama di era fotografi digital ini, seperti yang saya

ceritakan di awal tadi.”

Penulis : “Kenapa Anda tidak membuat website yang menampilkan karya-karya Anda? Kami

berharap ada sebuah referensi yang mudah diakses tentang street photography dari generasi

yang lebih senior seperti anda.”

Erik Prasetya: “Saya ini gaptek. (Internet) itu bagiannya yang lebih muda lah. Kalau saya

masuk ke situ habislah energi saya. Sebagai referensi saya lebih percaya buku. Contohnya

Ansel Adams yang mengeluarkan buku-buku foto landscape hitam-putih, yang seolah-olah

itu menjadi suatu statement: “kalau kamu mau motret landscape hitam-putih, maka inilah

patokannya. Kamu gak usah bikin seperti ini lagi, bikin yang lebih bagus. Kalau kamu tidak

bisa bikin lebih baik dari ini, maka karya kamu itu jelek.” Jadi buku itu semacam suatu

injakan anak tangga pertama. Sebenarnya saya sadar akan hal itu (internet), tetapi karena saya

tidak mengerti teknologi, saya memilih untuk mewariskan buku.”

Penulis: “Baik, akan kami tunggu buku-bukunya. Harus diakui buku “Jakarta: Estetika

Banal” memang memberi sumbangan besar untuk dokumentasi Jakarta era 90-an hingga awal

Page 107: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

2000-an. Lalu berbicara mengenai dokumentasi foto ini, dulu memang kita banyak punya

rekaman foto-foto jalanan yang tersimpan di arsip-arsip Belanda pada jaman sebelum

kemerdekaan. Tetapi lalu seperti hilang setelah sekitar tahun 60-an hingga tahun 90-an (di

luar foto-foto jurnalistik). Bagaimana pendapat Anda?”

Erik Prasetya: “Iya memang ada bagian yang hilang. Saya sendiri merasa di masa itu ada

dampak dari masuknya film warna. Dari awal masuknya film warna di tahun 70-an hingga

era fotografi digital, foto-foto berwarna masa itu tidak bagus kualitasnya. Berbeda dengan

foto-foto hitam-putih. Terlebih lagi saat banyaknya bermunculannya jasa cuci-cetak film

express.”

Penulis : “Kalau sekarang lebih memilih foto hitam-putih atau warna?”

Erik Prasetya: “Sekarang saya memilih warna setelah sekian tahun motret street

photography dengan hitam-putih, supaya ada tantangannya. Kalau kita mengulang seusatu

yang sudah kita pahami, kadang terasa bosan. Hanya saja waktu itu saat saya mau pindah

kepada foto berwarna, filmnya belum ada yang bagus. Persoalan berikut, kalaupun saya dapat

film yang bagus tidak ada yang bisa mencuci dengan bagus. Kalau film hitam-putih saya bisa

cuci sendiri dan puas dengan kualitasnya. Saya sempat belajar cara mencuci film dengan baik

pada almarhum Philip Jones Griffiths – fotografer Magnum – waktu dia datang ke Indonesia

sesaat sebelum pecahnya reformasi.” “Akhirnya saya pun memilih menggunakan kamera

digital untuk menghasilkan foto berwarna. Tetapi untuk menemukan kamera digital yang

tepat pun saya butuh waktu yang panjang. Saya sempat mencoba suatu produk kamera digital

mirrorless, tetapi harus kecewa dengan hasilnya karena tetap ada masalah shutter-lag. Setelah

melihat foto-fotonya, saya merasa mendapat hasil foto satu detik tertinggal dari adegan yang

saya mau. Saya sering bercanda dengan teman-teman jurnalis, bedanya street photography

dengan foto jurnalistik adalah foto jurnalistik itu “telat sedetik”, sedangkan street

photography “sedetik lebih dahulu” (tertawa). Memang cuma sedetik urusannya, tetapi di situ

lah perbedaannya.”

Penulis : “Tetapi dengan adanya teknologi digital ini mengambil foto menjadi pekerjaan

yang amat sangat gampang.”

Erik Prasetya : “Ya memang akhirnya terjadi revolusi dalam cara mengapresiasi maupun

melihat foto dengan masuknya teknologi digital. Ada bagusnya, ada jeleknya. Sisi bagusnya

adalah masyarakat menjadi terbiasa dengan fotografi. Di mana-mana kita bisa motret. Di

jaman analog, orang yang memotret adalah orang yang punya maksud tertentu. Sekarang

tidak, semua orang bisa motret di mana saja dan tidak mungkin dilarang. Dulu kan terlalu

banyak larang memotret di ruang publik. Bahkan saat saya menemani Salgado di Indonesia

sebagai fixer-nya di tahun 97 dulu (Erik pernah bertugas sebagai “fixer” – istilah untuk orang

yang membantu fotografer, semacam asisten – untuk Sebastiao Salgado, fotografer

dokumenter asal Brazil), ia sempat berkata, “Ada apa dengan negeri ini, di mana-mana kita

tidak bisa memotret. Apa yang kalian sembunyikan?”. Seolah-olah Indonesia begitu

tertutupnya saat itu. Berbeda dengan kondisi sekarang, orang bisa memotret menggunakan

Page 108: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

kamera handphone di mana pun. Apalagi dengan kemudahan upload dan aplikasi-aplikasi

semacam instagram.”

Penulis : “Jadi apa kesimpulan Anda tentang teknologi digital?”

Erik Prasetya: “Menurut saya, mudah-mudahan sumbangan terbesar kamera digital pada

dunia fotografi ada pada street photography. Karena sampai saat ini kita belum bisa melihat

sumbangan yang signifikan dari kamera digital. Semua yang bisa dilakukan oleh kamera

digital saat ini sudah bisa dilakukan juga pada masa teknologi kamera analog. Kamera-

kamera lain telah punya sumbangsihnya masing-masing pada dunia fotografi. Misalnya,

Leica rangefinder yang memberi sumbangsih pada awal berkembangnya fotografi

jurnalistik.“

Penulis: “Tiap fotografer biasanya punya pola-pola atau prosedur saat memotret di jalanan.

Misalnya Trent Parke yang selalu menunggu di persimpangan-persimpangan jalan di Sidney

di pagi hari, atau Daido Moriyama yang biasanya berangkat motret di sore hari, lalu masuk

kedai minuman, minum, dan kemudian keluar untuk motret lagi sampai larut malam. Kalau

Anda sendiri bagaimana polanya?”

Erik Prasetya : “Saya tidak punya habit tertentu. Saya berusaha mengacak habit. Saya

khawatir habit itu adalah tanda-tanda ketuaan. Hahaha…. Kalau kamu sudah memilih sesuatu

dan tidak mau berubah, jangan-jangan kamu sudah tua. Bahkan jalan pulang pun aku coba

cari jalan yang lain. Dalam bahasa Padang – daerah asalku – ada istilah jalan “kondiak”.

Kondiak itu babi hutan, yang biasanya selalu pulang lewat jalan yang sama, sehingga mudah

ditemukan oleh pemburu. Nah, saya selalu menghindari jalan kondiak ini. Saya berusaha

mengacak pola. Pola akan membuat kita tidak berkembang.” “Saya rasa fotografer-

fotografer besar seperti Trent Parke, Daido, dan lain-lain itu justru sengaja mengecoh.

Maksudnya, kita seperti melihat dia sedang mencari sesuatu, padahal sebenarnya tidak.

Kadang kita seperti sudah mengenali pola mereka, tapi sebenarnya mereka sangat “eksploitif”

(penuh kejutan – red). Kembali pada pengalaman saya 40 hari menemani Salgado, saya tahu

persis bagaimana polanya dalam bekerja. Tetapi dalam buku Genesis-nya, ada variasi yang

luar biasa; walaupun juga tetap ada suatu konsistensi kerangka atau struktur di dalamnya.

Kalau kita ingin melihat “pola” yang sebenarnya dari seorang fotografer, maka lihatlah buku

“the-best”nya. Dari sanalah kita bisa telusuri “pola” besarnya.” “Contohnya kemarin saya

baru melihat buku “the best” dari Alex Webb – saya lupa judulnya. Dari situ kita bisa melihat

pola-pola yang dia pakai dalam mengejar surealisme. Memang kalau kita melihat cara kerja

fotografer-fotografer tersebut, kita seolah bisa membaca pola mereka, seperti monoton,

padahal mereka punya bayangan sendiri di kepala tentang foto yang mereka inginkan.”

Penulis : “Menurut Anda, bagaimana posisi street photography, foto dokumenter, dan

jurnalistik?”

Erik Prasetya : “Yang saya tahu sejak tahun 70-an, praktisi dokumenter memang selalu

menerapkan pendekatan jurnalistik. Dalam pandangan saya, jurnalistik, dokumenter, dan

street photography, adalah tiga himpunan yang berbeda tetapi saling mempunyai irisan.

Dalam jurnalistik, “tension” (tegangan) dalam foto penting sekali. Elemen-elemen dalam satu

Page 109: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

foto jurnalistik itu saling membangun tension yang tinggi. Saya membahasakan jurnalistik

sebagai “foto tegangan tinggi”. Contohnya: tangan – darah – aspal – jalur busway. Itu foto

jurnalistik. Orang street photography tidak mengambil foto tersebut.” “Di sisi lain foto

dokumenter berusaha bercerita dengan lebih dalam, berusaha tidak hanya melihat dari kulit

luar saja. Dalam dokumenter kadang perlu membangun suatu setting. Misalnya saya ingin

menggambarkan suatu kemiskinan. Saya akan meminta obyek orang miskin, misalnya

seorang penjual koran, untuk berdiri di depan background gedung mewah sambil memegang

koran yang judul headline-nya tentang anggaran belanja negara. Bahkan saya bisa

mengarahkan ekspresi muka atau senyum sang obyek serta pencahayaannya. Dalam foto

dokumenter hal tersebut sah. Dan hal-hal seperti itu lah yang menjadi kelebihan dalam

fotografi dokumenter.” “Sedangkan pada street photography, bukan itu kekuatannya. Dalam

street photography, candid adalah hal yang paling penting. Itu adalah kekuatan street

photography yang tidak bisa terbayarkan. Kalau bisa dirumuskan secara kasar – ya pendapat

saya ini masih bisa di-elaborate lagi bahkan dibantah – street photography itu

mengkonsentrasikan momen-momen emosi yang pendek (candid moment) dengan bantuan

estetika, simbol, kontras, dan komposisi. Itulah senjata utama street photography, ditambah

dengan satu hal yang paling penting: surealisme. Surealisme di sini fungsinya menangkap

hal-hal yang sulit digambarkan oleh ke-empat komponen sebelumnya itu. Misalnya

absurditas. Hanya surealisme lah yang bisa menangkap absurditas.”

Penulis: “Jadi apakah praktisi street photography itu orang-orang yang absurd?”

Erik Prasetya : “Hahaha… Yang jelas hanya street photography lah yang bisa menangkap

absurditas, karena surealisme adalah jawaban terhadap absurditas. Jika kita lihat sejarahnya

secara luas, ide tentang absurditas itu muncul ketika orang melihat rasionalitas telah gagal.

Pada Perang Dunia I dan II, orang percaya pada sesuatu yang baik dan ideal, yang bila

dikerjakan akan sampai pada suatu hasil yang hebat. Tiba-tiba hal tersebut tidak terjadi.

Absurd. Sia-sia semua. Bingung lah orang.” “Lalu timbul gerakan dadaisme yang

menjungkirbalikkan semua hal yang tidak bisa dipercaya oleh rasio. Di situlah masuk

fotografer seperti Man Ray, yang bermain-main dengan pantangan-pantangan dalam proses

development film – sebagai interpretasinya terhadap penjungkirbalikan rasio. Setelah itu

lahirnya surealisme, yang dimulai dengan manifesto surealisme oleh Breton. Dalam

bahasanya yang paling sederhana, surealisme dapat dijelaskan kira-kira dengan sebuah

analogi: mesin jahit dan payung yang berada di atas meja bedah. Hal seperti ini tidak bisa kita

temui dalam realisme: tiga buah distance reality (realitas berjarak) yang berada pada satu

titik. Cartier-Bresson kemudian menangkap ide-ide ini dalam fotografi, ia menunjukkan

bahwa surealisme itu bisa kita temui dalam keseharian kita.” “Street photography lah yang

kemudian menangkap ide-ide surealisme ini dan terus bereksplorasi. Contohnya seperti Alex

Webb, dan fotografer-fotografer lainnya yang mengembangkan metode-metode baru untuk

menemukan surealisme yang berbeda dengan Cartier-Bresson.” “Kenapa street photography

selalu berkembang dengan surealismenya? Karena street photography adalah sebuah upaya

untuk menangkap emosi. Kalau kita kumpulkan foto-foto street photography pada suatu

lokasi dan masa tertentu, maka kita akan dapat menangkap emosi di tempat itu. Inilah yang

Page 110: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

kemudian menjadikan street photography itu penting. Berbagai emosi dapat ditangkap oleh

street photography dengan pendekatan candid-nya.”

Penulis : “Bagaimana pengaruh kondisi kota atau tempat tinggal kita terhadap street

photography?”

Erik Prasetya : “Saya pernah presentasi foto-foto saya tentang Jakarta di depan suatu

komunitas foto di Solo, lalu kemudian mereka juga mempresentasikan karya-karyanya. Saya

melihat mereka benar-benar menguasai kotanya dan bisa mencarikan aplikasi yang tepat

untuk street photography di sana. Dan memang dibutuhkan kemampuan untuk beradaptasi

dengan kota tempat domisili kita dalam street photography. Jangan harap adegan-adegan

seperti yang terdapat di jalan Sudirman Jakarta bisa ditemukan juga di Solo misalnya.”

“Saya menemukan bahwa tiap jalan punya karakter dan temponya masing-masing. Tempo

(atau ritme – red.) di jalan saat jam empat sore dengan jam 12 siang itu sangat berbeda;

rasakan bedanya tempo orang mau makan dengan orang pulang kantor. Kita harus bisa

masuk ke dalam tempo-tempo di jalanan tersebut – menyusuri jalanan, mengamati, lalu tiba-

tiba akan muncullah adegan-adegan tak terduga yang sebenarnya berada tidak jauh dari kita

namun selalu lepas dari pengamatan sebelumnya.”

Penulis : “Mengenai buku Estetika Banal yang rentang waktu fotonya cukup panjang, apakah

dulu memang sudah ada keinginan mengumpulkan foto untuk sebuah buku, atau sebaliknya

ide tentang buku tersebut baru muncul belakangan setelah terkumpul foto yang banyak?”

Erik Prasetya : “Saya yakin dari awal untuk bikin buku. (Dari awal) sudah niat

mengumpulkan foto dan menerbitkannya, walaupun tidak terpikirkan tentang siapa

sponsornya, penerbitnya, dan lain-lain. Buku ini sebenarnya sudah mau diterbitkan sekitar

tahun 2000; ada beberapa penerbit yang sudah menawarkan untuk menerbitkan. Tetapi

karena satu-dua hal masalah teknis dan sebagainya, proses buku ini terpaksa mundur,

walaupun itu justru keuntungan bagi saya untuk bisa mengumpulkan foto lebih banyak lagi.

Hingga pada suatu ketika Dewan Kesenian Jakarta menawarkan untuk menerbitkan buku ini,

yang tetap saja memakan waktu proses sekitar empat tahun. Lagi-lagi, proses yang molor

tersebut menjadi kesempatan untuk menambahkan foto.”

Penulis : “Apakah kita bisa mendapatkan keuntungan dari menerbitkan buku foto bila dilihat

dari sisi komersial?”

Erik Prasetya : “Ini pendapat pribadi saya – kalau kita bicara buku foto (street

photography), itu berarti kita bicara suatu pencapaian di atas uang. Rugi tidak masalah,

karena kita bicara kualitas. Kalau mau jualan, jangan jual buku (foto). Paling ampuh untuk

jualan ya foto dokumentasi kawinan. Dalam street photography itu kita harus siap rugi: kita

buang-buang film (bagi praktisi dengan kamera analog), pikiran, tenaga, hanya untuk

sejumlah keuntungan material yang mungkin bisa terbayar sekali-dua kali kerja sebagai

wedding photographer.” “Tapi jangan juga terlalu pesimis dalam sisi keuntungan ini.

Terutama di masa sekarang, di mana banyak berkembang komunitas buku independen. Tidak

perlu cari penerbit, coba terbitkan sendiri buku itu, jual lewat media sosial. Pada saat

menerbitkan Estetika Banal beberapa tahun lalu, saya memang masih berpikir bahwa buku

Page 111: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27362/1/MARIFKA... · yang selalu sabar . ... berkaitan dengan proyek-proyek jangka

seperti ini hanya bisa menyebar melalui jaringan toko buku besar. Sekarang dengan adanya

media sosial, buku-buku ini akan bisa menyebar dengan lebih cepat dan lebih tepat pada

sasaran pembacanya. Belum lagi bila memperhitungkan potongan dari toko buku, keuntungan

yang diterima bila menerbitkan dan mendistribusikan sendiri tentu jauh lebih baik. Salah satu

contoh buku independen yang cukup sukses menurut saya baru-baru ini adalah Encounters-

nya Rony Zakaria.”

Penulis : “Bagaimana peran kurator? Apakah nama kurator berpengaruh besar dalam

kesuksesan sebuah buku foto?”

Erik Prasetya : “Saya mengkurasi sendiri buku ini, bahkan lay out pun saya sendiri.

Pendapat saya, kurator tidak boleh terlalu jauh berperan dalam sebuah buku. Kita boleh minta

pendapat orang lain sebagai kurator, tetapi tidak ada yang lebih tahu tentang karya kita selain

kita sendiri. Bayangkan berapa jam yang kita habiskan untuk karya tersebut dibandingkan

waktu yang diperlukan oleh seorang kurator dalam menilai karya kita. Memang itu ada

bahayanya, karena kita terlalu dekat dengan karya kita. Untuk itulah kita perlu mendengar

pendapat orang lain, atau kurator, sebagai masukan. Pendapat itu harus kita diskusikan dan

pertimbangkan dengan baik, tetapi bukan berarti kita harus mengikutinya.”