analisis semiotik film a mighty heart...guru-guru dan teman-temanku di pondok pesantren daar...
TRANSCRIPT
ANALISIS SEMIOTIK FILM A MIGHTY HEART
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Komunikasi Islam
(S.Kom.I)
Oleh:
RIZKY AKMALSYAH
NIM 106051101939
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
ANALISIS SEMIOTIK FILM A MIGHTY HEART
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh
Rizky Akmalsyah
NIM: 106051101939
Di Bawah Bimbingan
Dra. Hj. Asriati Jamil, M. Hum
NIP 19610422 199003 2 001
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/ 2010 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Ciputat,
Rizky Akmalsyah
ABSTRAK
Rizky Akmalsyah
Analisis Semiotik Film “ A Mighty Heart ”
A Mighty Heart, sebuah film drama menegangkan yang diangkat berdasarkan
kisah nyata seorang jurnalis Wall Street Journal, Daniel Pearl’s, yang hilang diculik dan
dibunuh tragis oleh oknum suatu gerakan di Karachi, Pakistan. Film yang disutradarai
Michael Winterbottom ini benar-benar akan membawa penonton hanyut dalam setiap
adegannya. Apalagi dibantu oleh pengambilan gambar yang dramatis dan dialog yang
sesuai, menjadikan film yang distribusi oleh Revolutions studio dan Paramount ini
diminati oleh para pecinta film drama. Selain, film ini juga didekasikan untuk para
jurnalis yang terbunuh dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Pernyataan di atas, merumuskan beragam pertanyaan mengenai film yang
dilakoni artis papan atas, Angelina Jolie. Apakah dalam film” A Mighty Heart”
diperlihatkan adegan pembunuhan tragis itu, seperti yang sudah dilihat oleh dunia
melalui internet? Bagaimanakah keadaan jiwa Mariane Pearl’s dalam film tersebut
setelah mengetahui sang suami tewas mengenaskan di ujung layar LCD handycam? Lalu,
benarkah Daniel Pearl’s satu-satunya jurnalis yang diculik dan dibunuh ketika
menjalankan tugasnya?
Dalam film yang berhasil mendapatkan beberapa penghargaan ini tidak
diperlihatkan bagaimana Daniel pearl’s dibunuh, atau disembelih seperti yang sudah
dilihat banyak orang di internet. Di film ini hanya diperlihatkan rasa emosi dan
kengeriaan pemain ketika melihat gambar tragis di layar kecil LCD handycam. Tentu,
keadaan Mariane, istri Daniel yang tengah hamil 6 bulan saat itu terpukul, dalam film ia
digambarkan teriak histeris dan menangis sejadinya. Namun, peristiwa penculikan dan
pembunuhan jurnalis ini bukan hanya menimpa Daniel’s. CPJ ( Committee to Protect
Jounalist) menginformasikan sejak 15 tahun terakhir sudah 500 jurnalis yang terbunuh,
dan jika dihitung setelah 5 tahun sejak kematian Daniel’s, sudah 230 jurnalis yang hilang
dan terbunuh dari seluruh belahan dunia.
Film yang menyedot perhatian kritikus film ini memang layak untuk ditonton
dan diteliti, sebab dari dialog, pengambilan gambar dan gerakan para pemain sanggup
menggugah penikmat film. Inilah yang menjadi kesempatan penulis menggunakan
metodologi kualitatif untuk menggali lebih dalam film ini. Terlebih lagi, didukung oleh
analisis semiotika yang diusung oleh Roland Barthes melalui denotasi, konotasi dan
Mitos-nya, menafsirkan lebih lanjut dialog, pengambilan gambar dan gerakan pemain
dalam film tersebut.
Bisa dikatakan, melalui teori Roland Barthes dengan denotasi, konotasi dan
mitos-nya, peneliti dapat lebih memahami pesan atau simbol yang terkandung dalam
dialog, pengambilan gambar dan gerak para pemain film”A Mighty Heart”. Sehingga,
penyampaian informasi yang diharapkan Michael Winterbottom sebagai sang sutradara
tersampaiakan dengan cermat. Berdasarkan, salah satu sumber analisis, yaitu analisis
semiotika, yang membuka pesan tersirat mengenai perjalanan rumit seorang jurnalis
ketika mereka ingin mencapai sebuah kebenaran. Film”A Mighty Heart” merupakan
suara kebenaran mereka yang hilang.
KATA PENGANTAR
Kesulitan memang tidak pernah lepas dari kulit hidup manusia, sebab itu Tuhan
selalu memberikan dukungan kepada hamba-Nya untuk tidak berputus asa. Ia
berfirman, “ setelah kesulitan pasti ada kemudahan ”. Atas nama-NYA Yang Agung dan
harum penulis bersimpuh dan bersyukur kepada Allah SWT, Raja dari segala raja, tiada
Tuhan selain Engkau, yang telah mendukung penulis melalui firman-NYA, yang telah
menghangatkan penulis dari malam-Nya dan yang telah membuat skripsi ini selesai
karena cinta-Nya.
Tidak lupa pula penulis bershalawat kepada sang pangeran cinta, manusia agung
yang banyak berkorban, menangis dan tersenyum untuk umatnya, seorang suami,
sahabat, nabi, dan rasul yang mencintai anak-anak yatim. Al-Mustofa, Nabi Muhammad
Saw. Semoga keberkahan sholawat dan salam selalu tercurah kepada beliau, keluarga
dan para sahabatnya.
Tiada emas, mutiara, intan permata sekalipun yang dapat menggantikan
kegembiraan hati penulis dalam menyelesaikan tugas mulia ini. Alhamdulillah berkat
usaha, doa dan tawakal, skripsi yang berjudul ANALISIS SEMIOTIK FILM “A MIGHTY
HEART “ ini dapat dituntaskan.
Selesainya skripsi ini tentunya tidak lepas dari dukungan dan bantuan serta
bimbingan semua pihak, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih
yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Arif Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi,
serta Drs. H. Mahmud Jalal, MA dan Drs. Studi Rizal L.K, MA, selaku para
pembantu Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. Suhaimi, M. Si, selaku Ketua Konsentrasi Jurnalistik dan Rubiyanah,
MA, selaku Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik yang selalu ada dan siap
membantu dalam masalah akademik. Terima kasih atas segala
bimbingannya.
3. Dra. Hj. Asriati Jamil, M. Hum, selaku dosen pembimbing, yang telah
banyak meluangkan waktunya kepada penulis. Terima kasih atas
bimbingan, secercah ilmu dan dorongan yang telah Ibu berikan kepada
penulis dalam mengerjakan skripsi ini.
4. Dosen-dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, yang namanya tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas ilmu dan
dedikasi yang diberikan kepada penulis. Semoga menjadi ilmu yang
bermanfaat bagi penulis. Amin.
5. Segenap staff dan karyawan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya.
6. Situs www.amightyheart.com atas rumah produksi revolutions yang
telah memudahkan penulis dalam mengerjakan skripsi ini. Thank You
All!
7. Orang tua tercinta, Ayah dan Ibu (Rusmiadi dan Norma hidayah) yang
telah memberikan doa, kelembutan kasih sayang, materi dan motivasi
kepada penulis. Semoga setiap tetesan keringat kalian menjadi
wewangian dan jalan menuju surga Allah SWT. Serta adik-adikku, Isya
Andriansyah dan Indah ramadhani yang banyak menuangkan warna bagi
penulis.
8. Permaisuriku, Rizky Maulinawati, terima kasih atas dukungan dan
bantuannya. Cintamu membuat penulis mampu menyelesaikan skripsi
ini.
9. Sahabat-sahabat yang selalu kurindukan, Juftazani, Dana, Angga, Amin,
Fajri, Zakaria, Irham, Deden, Topan, Jose, A.Yani, Hardi, Subekti, Bagus,
Gesta, Edy, Danang, Dede.R, Pandu, Maysarah, Aida, Risni, Mimi, Ina,
Dyamby, Putri, Novita dan Mulia. Terima kasih atas memoir suci yang
kalian berikan. Sukron Yaa Ashabiii !!!
10. Teman-teman seperjuanganku di Konsentrasi Jurnalistik angkatan 2007.
Terima kasih atas kepercayaan dan kerja sama kalian selama ini. Satu
kata, kalian teman-teman yang sungguh luar biasa !. Five Thumbs Up!
11. Guru-guru dan teman-temanku di Pondok Pesantren Daar el-Qolam.
Terima kasih atas ilmu, suri tauladan, inspirasi, bimbingan dan pelajaran
hidup yang telah kalian berikan.
12. Kakek Lin di Padang dan untuk para Jurnalis yang meninggal dalam
menjalankan tugasnya. Skripsi ini penulis dedikasikan untuk kalian.
Dan kepada semua pihak yang secara langsung atau tidak langsung membantu
penulis dalam menyelasaikan skripsi ini, Semoga Allah membalas budi baik yang telah
kalian berikan. Amin.
Tangerang, Juni 2010
Penulis.
DAFTAR ISI
ABSTRAK…………………………………………………………………........i
KATA PENGANTAR…………………………………………………….........ii
DAFTAR ISI.………………………………………………………………..….v
DAFTAR TABEL……………………………………………………………..vii
DAFTAR GAMBAR……...……………………………………………….….viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………...………….......1
B. Batasan dan Rumusan Masalah…………………………….......…4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………....4
D. Metodologi Penelitian….………………………………….…........5
E. Tinjauan Pustaka…………………………………………………..7
F. Sistematika Penulisan……………………………………………...8
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Film
1. Sejarah dan Perkembangan Film...............................................10
2. Klasifikasi Film........................................................................ 12
3. Struktur dalam Film...................................................................14
B. Tinjauan Umum Tentang Semiotika
1. Konsep Semiotika.......................................................................17
2. Konsep Semiotika Roland Barthes............................................20
C. Tinjauan Umum Tentang Jurnalisme
1. Pengertian Jurnalisme..............................................................23
2. Sejarah dan Perkembangan Jurnalisme....................................24
3. Macam-macam Jurnalisme.......................................................26
4. Kode Etik Jurnalisme...............................................................28
BAB III GAMBARAN UMUM FILM ”A MIGHTY HEART”
A. Profil Sutradara Film.......................................................................32
B. Profil Pemain dan Film Maker’s.....................................................34
C. Nominasi dan Penghargaan............................................................ 46
D. Sinopsis Film ”A Mighty Heart”.....................................................49
BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA LAPANGAN
A. Makna Denotasi, Konotasi dan Mitos.............................................55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................76
B. Saran.............................................................................................77
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................78
LAMPIRAN-LAMPIRAN................................................................................81
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1: Peta Tanda Roland Barthes.........................................................21 2. Tabel 2: Nominasi dan Penghargaan.........................................................46 3. Tabel 3: Scene 1........................................................................................56 4. Tabel 4: Scene 2........................................................................................58 5. Tabel 5: Scene 3........................................................................................59 6. Tabel 6: Scene 4........................................................................................60 7. Tabel 7: Scene 5........................................................................................62 8. Tabel 8: Scene 6........................................................................................63 9. Tabel 9: Scene 7........................................................................................65 10. Tabel 10: Scene 8........................................................................................66 11. Tabel 11: Scene 9........................................................................................68 12. Tabel 12: Scene 10......................................................................................69 13. Tabel 13: Scene 11......................................................................................71 14. Tabel 14: Scene 12......................................................................................72 15. Tabel 15: Scene 13......................................................................................74
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1 : Dokumenter……………………………………………...56 2. Gambar 2 : Sebuah Kota Besar………………………………………58 3. Gambar 3 : Perpisahan……………………………………………….59 4. Gambar 4 : Bertemu Kaleem Yusuf………………………………….60 5. Gambar 5 : Makan Malam…………………………………………...62 6. Gambar 6 : Pria Berjanggut Putih…………………………………...63 7. Gambar 7 : Menghubungi Konsulat…………………………………65 8. Gambar 8 : Dua Intelejen……………………………………………66 9. Gambar 9 : Foto Eksekusi…………………………………………...68 10. Gambar 10: Sheikh Gilani……………………………………………69 11. Gambar 11: Bernama Omar………………………………………….71 12. Gambar 12: Histeris………………………………………………….72 13. Gambar 13: A Mighty Heart…………………………………………74
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Komunikasi massa merupakan media yang sangat berpengaruh bagi manusia.
Kerjanya ibarat jarum hipodermik atau teori peluru yang banyak dicetuskan oleh pakar
ilmu komunikasi, di mana kegiatan mengirimkan pesan sama halnya dengan tindakan
menyuntikkan obat yang dapat langsung merasuk ke dalam jiwa penerima pesan1.
Medianya bisa berupa apa saja, salah satunya film.
Film dapat diartikan sebagai gambar bergerak yang diperangkati oleh warna,
suara dan sebuah kisah. Atau film bisa juga disebut gambar-hidup. Para sineas barat
biasa menyebutnya movie. Film, secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu
sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan
lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal di dunia para sineas sebagai seluloid.
Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari
Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi
pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak
1 Morrisan, Media Penyiaran: Strategi Mengelola Radio dan Televisi ( Tangerang:
Ramdina Prakarsa, 2005), h.12.
dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut dengan
kamera.2
Dewasa ini banyak film-film yang meninggikan kapitalisme, romantisme,
nasionalisme atau sekedar idealisme. Namun, dari beberapa pilihan yang ada peneliti
lebih tertarik dengan film yang melatarbelakangi kerja para wartawan. Semangat
jurnalisme. Identitas sebuah tantangan dan perjuangan mereka sebagai pencari berita.
Di antaranya seperti film “Long Road to Heaven : Makna di balik tragedy” (2007) yang
disutradarai oleh Enison Sinaro, mengisahkan tentang wartawan Australia yang ingin
menguak lebih dalam peristiwa di balik tragedi Bom Bali pada tahun 2002. Kemudian,
“Blood Diamond” (2007) yang disutradarai oleh Edward Zwick ( Glory, The Last Samurai)
dan dibintangi oleh artis papan atas, Leonardo Dicarpio (Titanic, Romeo and Juliet, The
Beach, The Departed), Jennifer Connelly (Hulk) dan Djimon Hounsou ( Island,
Constantine, Gladiator).3 Menceritakan bagaimana seorang wartawan mampu
memecahkan masalah mutiara berdarah, yang sering menjadi penyebab pembelian
senjata, pertumpahan darah dan perpecahan saudara di Sierra Leone, Afrika.
Namun, dari berbagai macam film mengenai jurnalisme, peneliti lebih simpatik
dengan film yang disutradarai oleh Michael Winterbottom “ A Mighty Heart” (2007).
Diangkat dari judul novel yang sama dan berangkat dari kisah nyata oleh Mariane
Pearl’s. Film ini menggambarkan kerasnya hidup menjadi seorang wartawan. Letihnya
mencari narasumber dan perihnya meninggalkan keluarga demi sebuah berita. Tidak
2 “Pengertian Film” di akses pada tanggal 28 Desember 2009 pukul 10:30 WIB dari
http://www.bahasafilmbarengblogspot.com.
3 Ricky Siahan, Blood Diamond, Majalah Rolling Stone edisi 27, (Jakarta: PT Indonesia
Printer, 2007), h.118.
hanya itu, di sini juga menjelaskan bagaimana wartawan menjadi korban pembunuhan
dan penculikan di area konflik. Seperti di Karachi, Pakistan, Irak dan Afghanistan.
Selain itu, film yang diperankan oleh artis cantik terkenal, Angelina Jolie, istri
dari Brad Pitt ini bukan hanya menggugah dan membuat para pecinta film drama
menangis, spesialnya film ini juga hampir tidak ada konspirasi Amerika seperti
kebanyakan film-film Hollywood lainnya, tidak ada tuding-menuding Islamkah atau kaum
radikalkah yang membunuh sang Jurnalis. Di sini digambarkan permasalahan itu secara
lembut, bahwa teroris adalah teroris, Muslim adalah muslim, bukan sebaliknya, teroris
adalah muslim, pembunuh adalah orang Islam.
Kemudian, kejeniusan sang sutradara menempatkan dokumenter
singkat di awal scene dan memutar balikkan adegan antara Mariane, penculikan Daniel
dan masa lalu , kisahnya bisa dibilang maju-mundur, seakan-akan penonton diajak se-
dramatis mungkin, atau merasakan apa yang film tonjolkan. Tapi, walaupun begitu,
pesan yang akan disampaikan begitu terasa di akhir film. Sebab itu film ini berhasil
mendapatkan 16 nominasi, salah satu satunya penghargaan Golden Globe di USA
(United State of America) kategori Best Performance by an Actress in a Motion Picture –
Drama, Angelina Jolie.
Berdasarkan latar belakang film di atas, perlu adanya penelitian secara
mendalam pada aspek cerita film ini, guna memahami denotasi, konotasi dan mitos apa
yang akan di sampaikan dalam sebuah film melalui pendekatan semiotika Roland
Barthes. Sebab dalam industri perfilman, khusunya bagi sang sutradara ada pesan atau
simbol-simbol yang ingin disampaikan untuk masyarakat luas lewat film. Berangkat dari
penjelasan di atas, maka peneliti memilih judul Analisis Semiotik Film “ A Mighty Heart
”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah, penulis sengaja membatasi pengambilan
adegan-adegan dalam film A Mighty Heart hanya yang dianggap memiliki makna simbol
yang mewakili bagaimana jurnalis, intelejen bekerja dan budaya orang-orang Pakistan di
Karachi. Seutuhnya penelitian ini menggunakan analisis semiotika model Roland
Barthes, sebab menurut Roland semua objek kultural dapat diolah secara tekstual.
Dengan demikian, semiotika dapat meneliti bermacam-macam teks, film salah satunya.4
Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Bagaimana makna denotasi, konotasi dan mitos dalam film A MIGHTY
HEART?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah penelitian di atas, secara spesifik penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui makna denotasi, konotasi dan mitos yang terdapat dalam
film A Mighty Heart, dan mengetahui pesan yang terkandung dalam film A Mighty Heart.
Sedangkan, manfaat yang dilahirkan dengan adanya penelitian ini ialah:
1) Manfaat Akademis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
konstribusi bagi pegembangan ilmu komunikasi, serta sebagai tambahan
4 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotika, Analisis Framing (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006), Cet.ke-4, h.123.
referensi bahan pustaka, khususnya penelitian tentang analisis dengan
minat pada kajian film dan semiotika.
2) Manfaat Praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan deskripsi
dalam membaca makna yang terkandung dalam sebuah film melalui
semiotika. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kosa
kata dan istilah yang biasa digunakan dalam film.
D. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan
kualitatif. Bogdan dan Taylor mendefenisikan metodologi sebagai mekanisme penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, baik itu tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati oleh peneliti.5
Dalam penerapannya, pendekatan kualitatif menggunakan metode
pengumpulan data dan metode analisis yang bersifat nonkuantitatif, seperti
penggunaan instrumen wawancara mendalam dan pengamatan.6 Metode yang
digunakan dalam penelitian ini ialah analisis deskriptif yang berfokus pada penelitian
non hipotesis sehingga dalam langkah penelitiannya tidak perlu merumuskan hipotesis.7
2. Objek Penelitian dan Unit Analisis
Objek penelitian ini ialah film A Mighty Heart. Sedangkan, unit analisis
penelitiannya adalah potongan gambar atau visual yang terdapat dalam film A Mighty
Heart yang berkaitan dengan rumusan masalah dalam penelitian.
3. Sumber Data
5 Lexy J. Moeleong, Metodologi Peneliitian Kualitatif (Bandung: Rosda, 2002), h.3. 6 Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi (Yogyakarta: Gintanyali, 2004) h.2. 7 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendakatan Praktik (Jakarta: PT. Bina
Aksara, 1989), h. 194.
Sumber data terbagi menjadi dua, yaitu: 1) Data Primer adalah data yang
diperoleh dari rekaman video original berupa satu keping DVD film A Mighty Heart.
Kemudian dipilih visual atau gambar dari adegan-adegan film yang diperlukan untuk
penelitian. 2) Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari literatur. Literatur yang
mendukung data primer, seperti kamus, internet, artikel Koran, buku-buku yang
berhubungan dengan penelitian, catatan kuliah dan sebagainya.
4. Teknik Penelitian
Teknik penelitian terdiri atas dua, yaitu 1) Observasi adalah melakukan
pengamatan8 secara langsung dan tidak terikat terhadap objek penelitian dan unit
analisis dengan cara menonton dan mengamati teliti dialog-dialog, serta adegan-adegan
dalam film A Mighty Heart. Kemudian mencatat, memilih dan menganalisanya sesuai
dengan model penelitian yang digunakan. 2) Studi komunikasi (document research),
yaitu penulis mengumpulkan data-data melalui telaah dan mengkaji berbagai literatur
yang relevensinya dengan materi penelitian untuk selanjutnya dijadikan bahan
argumentasi, seperti DVD film, arsip, majalah, surat kabar, catatan perkuliahan, internet
dan lain-lain.
5. Waktu
Penelitian ini dilakukan dari Desember 2009 sampai Juni 2010. Peneliti sengaja
menggunakan kaca mata analisis semiotika, sebab film merupakan objek yang penuh
tanda dan simbol, sehingga penggunaan analisis semiotika menjadi lebih tepat
digunakan dalam penelitian ini.
8 Tigor Pangaribuan, Kamus Populer Lengkap, (Bandung: Pustaka Stia, 1996), cet-1, h.
114.
6. Teknik Analisis Data
Setelah data primer dan sekunder terkumpul, kemudian diklarifikasikan sesuai
dengan pertanyaan penelitian yang telah ditentukan. Setelah data terklarifikasi,
dilakukan analisis data dengan menggunakan teknik analisis semiotika Roland Barthes.
Roland mengembangkan semiotika menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu tingkat
denotasi dan konotasi yang menghasilkan makna secara objektif untuk memahami
makna yang tersirat dalam film A Mighty Heart yang menjadi titik dalam penelitian ini.
7. Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku ”Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis dan Disertasi” yang diterbitkan oleh CeQDA Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka yang menjadi rujukan penulis, yaitu:
1) “ Analisis Semiotika Rubrik Fashion Style Majalah Kawanku” oleh Trigustia
Pusporini, tahun 2009, Konsentrasi Jurnalistik, UIN Jakarta.
2) “ Makna Foto Berita Perjalanan Ibadah Haji (Analisis Semiotika Karya
Zarqoni Maksum pada Galeri Foto Antara.co.id)” oleh Fatimah, tahun 2008,
Konsentrasi Jurnalistik, UIN Jakarta.
3) “ Analisis Semiotika terhadap Foto-foto pada Majalah National Geographic
dalam Perspektif Kebudayaan” oleh Siti Fatimah, tahun 2008, Konsentrasi
Jurnalistik, UIN Jakarta.
4) “ Analisis Semiotika Film Turtle Can Fly” oleh Istianah, tahun 2009,
Konsentrasi Jurnalistik, UIN Jakarta.
Keempat skripsi di atas memiliki objek berbeda. Ketiga skripsi yang berada di
posisi atas menggunakan objek foto dan satu skripsi terakhir menggunakan objek film.
Masing-masing menggunakan teknik analisis semiotika model Roland Barthes.
Walaupun dalam penelitian ini penulis merujuk pada skripsi di atas, tetap
penelitian yang dilakukan penulis berbeda. Objek penelitian penulis adalah film
Internasional yang berkoalisi pada kerja wartawan dengan menggunakan pendekatan
analisis semiotika Roland Barthes.
Film ini sengaja diambil penulis karena belum banyak mahasiswa yang meneliti
Film Internasional seperti tersebut. Sehingga, penelitian yang penulis lakukan
diharapkan dapat menambah referensi penelitian film. Khususny, Film Internasional
yang merujuk pada kerja wartawan, sehingga dapat menjadi bahan referensi
selanjutnya. Film genre drama berjudul A Mighty Heart karya Michael Winterbottom
yang akan penulis teliti ini diangkat dari novel dengan judul yang sama dan berangkat
dari kisah nyata Mariane Pearl’s.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian yang akan dibahas dalam skripsi ini terdiri dari lima Bab dan masing-
masing bab terdiri dari Sub Bab, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini terdapat latar belakang masalah, perumusan dan
batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi
penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Dalam bab ini berisikan tinjauan umum tentang film, seperti
sejarah dan perkembangannya, klasifikasi dalam film, struktur
film, kemudian terdapat pula tinjauan umum tentang semiotika,
konsep semiotika, konsep semiotika Roland Barthes, serta
tinjauan umum tentang jurnalisme, pengertian jurnalisme,
sejarah dan perkembangan jurnalisme, macam-macam
jurnalisme dan kode etik jurnalisme.
BAB III GAMBARAN UMUM FILM ”A MIGHTY HEART”
Pada Bab ini pembahasan spesial di balik layar film A Mighty
Heart, seperti profil sutradara, para pemain, pembuat film,
nominasi, penghargaan dan sinopsis film A Mighty Heart.
BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA LAPANGAN
Membahas konsep semiotika Roland Barthes mengenai makna
denotasi, konotasi dan mitos dalam film yang digarap Michael
Winterbottom.
BAB V PENUTUP
Penulis mengakhiri skripsi ini dengan beberapa kesimpulan
sekaligus berfungsi sebagai jawaban umum yang terdapat dalam
bab pendahuluan, serta diikuti dengan saran penulis.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Tinjauan Umum tentang Film
1. Sejarah dan Perkembangan Film
Berawal dari sebuah mimpi, “Aku ingin membuat gambar yang bergerak”, yang
tersimpan kira-kira 17.000 tahun yang lalu di gua Altamira, Spanyol. Ditemukan gambar
hewan berkaki banyak. Para ahli sejarah menyatakan, bisa saja ini adalah sebuah impian
manusia zaman purbakala untuk membuat gambar bergerak. Sebab itu, seakan
tersembullah ungkapan dari gambar itu, “ Aku ingin membuat gambar ini bergerak”. 9
Bukan hanya itu, yang membuktikan cikal bakal terlahirnya film dari zaman
purbakala, para ahli sejarah juga menjelaskan, bagaimana dahulu manusia zaman
purbakala berkomunikasi dengan menggunakan obor, dari bukit satu ke bukit yang lain
kepada kawanannya. Obor yang diputar-putar, sebagai tanda mengirim isyrat (pesan).
Para ahli sejarah mendeskripsikan bahwa, jika obor digerakkan, maka akan terlihat
seperti satu garis, sebagaimana lampu senter yang digerakkan di tempat yang gelap,
akan membentuk suatu garis. Ini yang disebut ajaib dan tipuan mata, sesuatu yang
berhubungan erat dengan pemutaran film.10
9 Seiichi Konishi & Keiji Nakamura, Penemuan Film, (Jakarta: Elex Media Komputindo,
2002), cet-1, h.5. 10 Ibid, h.7
Berdasarkan penemuan di atas, muncul-lah gagasan untuk membuat foto
bergerak. Dipelopori oleh Edward Muybridge, mahasiswa Stanford University yang
mencoba membuat 16 foto atau frame kuda yang sedang berlari. Dari ke-16 foto kuda
yang sedang berlari ini, Muybridge mencoba merangkai dan menggerakkan secara
berurutan. Hasilnya, foto tersebut terlihat hidup dan berhasil menjadi foto bergerak
pertama di dunia. Sekalipun pada saat itu teknologi perekam belum ada, Muybridge
menggunakan kamera foto biasa untuk menghasilkan gerakan lari kuda. Dengan kata
lain, diperlukan pengambilan gambar beberapa kali agar memperoleh gerakan lari kuda
yang sempurna saat difilmkan. Sejarah mencatat peristiwa itu pada tahun 1878. Dari
sinilah ide membuat film muncul.11
Sejak saat itu, banyak orang berbondong-bondong mulai membuat foto bergerak
dan bergulat untuk memperbaiki mesin proyektor. Marey salah satunya, penemu asal
Perancis yang mampu membuat foto bergerak (progresif), sehingga dengan adanya
kamera ini teknologi film dan fotografi mengalami kemajuan yang pesat. Selain itu,
Thomas Alva Edison ” sang raja penemu ”, juga sedang berkutat dalam pembuatan film.
Penemuan Edison kali ini berbeda dengan penemuannya yang lain, yaitu sebuah alat
berbentuk kotak dinamakan kinetoscope (alat untuk memproyeksikan gerak), dan orang
dapat mengintip melalui jendela kecilnya. Di dalamnya terdapat pita film endores
11 “News Display” di akses pada tanggal 28 Desember 2009 pukul 11:00 WIB dari
http://www.wikimu.com.
4 Seiichi Konishi & Keiji Nakamura, Penemuan Film, (Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2002), cet-1, h.21.
sepanjang 17 m, sehingga film yang sama dapat dilihat berulang kali. Penemuan ini
banyak digemari, sampai orang-orang rela mengantri untuk bisa menikmatinya.12
Ketika itu, di Perancis, Lumiere bersaudara yaitu sang kakak Auguste, dan sang
adik Louis juga sedang berusaha keras menemukan film. Dan, pada tanggal 28
Desember 1895, Lumiere bersaudara akhirnya berhasil menemukan dan
mempertunjukkan film mereka untuk pertama kali kepada masyarakat Paris.13 Salah satu
film pertama yang diputar, durasinya sangat singkat, dan hanya bercerita tentang kereta
api yang tiba di stasiun. Berlandaskan hal ini, para ahli sejarah sepakat menetapkan,
bahwa pertunjukkan perdana Lumiere bersaudara saat itu, dideklarasikan sebagai hari
kelahiran dunia perfilman.14
Beberapa tahun kemudian, barulah negara yang dikenal adidaya, Amerika Serikat
memproduksi film pertamanya yang berjudul Monkey Shines No.1. Gambar orang yang
‘blur’ dengan latar hitam yang sedang melakukan gerakan-gerakan tangan dalam
beberapa detik.15 Demikianlah pada tahun 80-an dianggap sebagai tahun di mana film
itu terlahir sampai saat ini.
2. Klasifikasi Film
Klasifikasi film atau genre (jenis/ragam)16 dalam film berawal dari klasifikasi drama
yang lahir pada abad XVIII. Klasifikasi drama tersebut muncul berdasarkan atas jenis
13 “Sejarah Film” di akses pada tanggal 28 Desember 2009 pukul 11:00 WIB dari
http://www.blogiehahablogspot.com 14 Seiichi Konishi & Keiji Nakamura, Penemuan Film, (Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2002), cet-1, h.22.
7 “News Display” di akses pada tanggal 28 Desember 2009 pukul 11:00 WIB dari
http://www.wikimu.com.
8 John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia,
2000), h. 265.
stereotip manusia dan tanggapan manusia terhadap hidup dan kehidupan. Ada berbagai
jenis naskah drama yang dikenal saat itu, di antaranya, lelucon, banyolan, opera balada,
komedisentimental, komedi tinggi, tragedi borjois dan tragedi neoklasik. Selanjutnya
berbagai macam jenis drama itu diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu: Tragedi (duka
cita), Komedi (drama ria), melodrama, dagelan (farce).17
Tapi, seiring berkembangnya zaman dan dunia perfilman, genre dalam film pun
mengalami sedikit perubahan. Namun, tetap tidak menghilangkan keaslian dari awal
pembentukannya. Sejauh ini diklasifikasikan menjadi 5 jenis,18 yaitu:
a. Komedi, film yang mendeskipsikan kelucuan, kekonyolan, kebanyolan pemain
(actor/actress). Sehingga alur cerita dalam film tidak kaku, hambar, hampa, ada
bumbu kejenakaan yang dapat membuat penonton tidak bosan.
b. Drama, Film yang menggambarkan realita (kenyataan) di sekeliling hidup
manusia. Dalam film drama, alur ceritanya terkadang dapat membuat penonton
tersenyum, sedih dan menetaskan air mata.
c. Horor, Film beraroma mistis, alam gaib, dan supranatural. Alur ceritanya biasa
membuat jantung penonton berdegup kencang, menegangkan, dan berteriak
histeris.
d. Musikal, Film yang penuh dengan nuansa musik. Alur ceritanya sama seperti
drama, hanya saja di beberapa bagian adegan dalam film para pemain
(actor/actress) bernyanyi, berdansa, bahkan beberapa dialog menggunakan
musik (seperti bernyanyi).
17 Prof. Dr.Herman J. Waluyo, Drama: Teori dan pengajarannya, ( Yogyakarrta: PT.
Hanindita, 2003), cet-2, h. 38. 18 Ekky Imanjaya, Why Not: Remaja Doyan Nonton, ( Bandung:: PT Mizan Bunaya
Kreativa, 2004_), cet-1, h. 104.
e. Laga (action), Film yang dipenuhi aksi, perkelahian, tembak-menembak, kejar-
kejaran, dan adegan-adegan berbahaya yang mendebarkan. Alur ceritanya
sederhana, hanya saja dapat menjadi luar biasa setelah dibumbui aksi-aksi yang
membuat penonton tidak beranjak dari kursi.
3. Struktur dalam Film
Sehebat apa pun film 2012 Karya Rolland Emmerich, sepopuler apa pun film
Jurasic Park karya Steven Spielberg dan se-booming apa pun Ayat-Ayat Cinta karya
Hanung Bramantyo, tidak akan pernah menarik dan nyaman untuk dilihat, jika para kru
(regu) film tidak menampilkan angle (sudut) kamera yang baik untuk ditonton. Tentu
saja selain kehebatan para kru, ada beberapa teknik pengambilan gambar yang mampu
membuat penonton berdecak kagum terhadap film yang mereka lihat:
1. Sudut pengambilan gambar (Camera Angle)19
a. Bird Eye View
Pengambilan gambar dilakukan dari atas ketinggian tertentu, sehingga
memperlihatkan lingkungan yang sedemikian luas dengan benda-benda lain yang
tampak dibawah sedemikian kecil. Pengambilan gambar biasanya menggunakan
helikopter maupun dari gedung-gedung tinggi.
b. High Angle
Sudut pengambilan gambar tepat diatas objek, pengambilan gambar seperti ini
memiliki arti yang dramatik yaitu kecil atau kerdil
c. Low Angle
19 “main” diakses pada tanggal 25 Januari 2010 pukul 23:00 WIB dari
http://www.koma.or.id.
Pengambilan gambar diambil dari bawah si objek, sudut pengambilan gambar ini
merupakan kebalikan dari high angle. Kesan yang ditimbulkan dari sudut pandang
ini yaitu keagungan atau kejayaan.
d. Eye Level
Pengambilan gambar ini mengambil sudut sejajar dengan mata objek, tidak ada
kesan dramatik tertentu yang didapat dari eye level ini, yang ada hanya
memperlihatkan pandangan mata seseorang yang berdiri.
e. Frog Level
Sudut pengambilan gambar ini diambil sejajar dengan permukaan tempat objek
berdiri, seolah-olah memperlihatkan objek menjadi sangat besar.
2. Ukuran gambar (frame size)20
a. Extreme Close Up (ECU/XCU) : pengambilan gambar yang terlihat sangat detail
seperti hidung pemain atau bibir atau ujung tumit dari sepatu.
b. Big Close Up (BCU) : pengambilan gambar dari sebatas kepala hingga dagu.
c. Close Up (CU) : gambar diambil dari jarak dekat, hanya sebagian dari objek
yang terlihat seperti hanya mukanya saja atau sepasang kaki yang bersepatu
baru
d. Medium Close Up : (MCU) hampir sama dengan MS, jika objeknya orang dan
diambil dari dada keatas.
e. Medium Shot (MS) : pengambilan dari jarak sedang, jika objeknya orang maka
yang terlihat hanya separuh badannya saja (dari perut/pinggang keatas).
20 “Teknik Pengambilan Gambar” diakses pada tanggal 25 Januari 2010 pukul 23:01 WIB
dari http://www.thinktep.wordpress.com
f. Knee Shot (KS) : pengambilan gambar objek dari kepala hingga lutut.
g. Full Shot (FS) : pengambilan gambar objek secara penuh dari kepala sampai
kaki.
h. Long Shot (LS) : pengambilan secara keseluruhan. Gambar diambil dari jarak
jauh, seluruh objek terkena hingga latar belakang objek.
i. Medium Long Shot (MLS) : gambar diambil dari jarak yang wajar, sehingga jika
misalnya terdapat 3 objek maka seluruhnya akan terlihat. Bila objeknya satu
orang maka tampak dari kepala sampai lutut.
j. Extreme Long Shot (XLS): gambar diambil dari jarak sangat jauh, yang
ditonjolkan bukan objek lagi tetapi latar belakangnya. Dengan demikian dapat
diketahui posisi objek tersebut terhadap lingkungannya.
k. One Shot (1S) : Pengambilan gambar satu objek.
l. Two Shot (2S) : pengambilan gambar dua orang.
m. Three Shot (3S) : pengambilan gambar tiga orang.
n. Group Shot (GS): pengambilan gambar sekelompok orang.
3. Gerakan kamera (moving camera)21
a) Zoom In/ Zoom Out : kamera bergerak menjauh dan mendekati objek dengan
menggunakan tombol zooming yang ada di kamera.
b) Panning : gerakan kamera menoleh ke kiri dan ke kanan dari atas tripod.
c) Tilting : gerakan kamera ke atas dan ke bawah. Tilt Up jika kamera
mendongak dan tilt down jika kamera mengangguk.
d) Dolly : kedudukan kamera di tripod dan di atas landasan rodanya. Dolly In jika
bergerak maju dan Dolly Out jika bergerak menjauh.
21 Ibid, http://www.thinktep.wordpress.com
e) Follow : gerakan kamera mengikuti objek yang bergerak.
f) Crane shot : gerakan kamera yang dipasang di atas roda crane.
g) Fading : pergantian gambar secara perlahan. Fade in jika gambar muncul dan
fade out jika gambar menghilang serta cross fade jika gambar 1 dan 2 saling
menggantikan secara bersamaan.
h) Framing : objek berada dalam framing Shot. Frame In jika memasuki bingkai
dan frame out jika keluar bingkai.
Demikianlah, di balik kematangan sebuah film, selain ada sutradara, D.O.P
(Director of Photography} atau penata fotografi, kameramen, editor, lighting
(penata cahaya), wardrobe,22 dan kru (regu) lainnya, ada juga teknik
pengambilan gambar, yang mampu menyihir penonton untuk hanyut dalam
situasi adegan film.
B. Tinjauan Umum Semiotika
1. Konsep Semiotika
Istilah Semiotika atau semiotik dimunculkan pada akhir abad ke-19 oleh filsuf
aliran pragmatik Amerika, Charles Sanders Peirce, merujuk kepada “doktrin formal
tentang tanda-tanda”. Yang menjadi dasar semiotika adalah konsep tentang tanda: tak
hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia
itu sendiri pun-sejauh terkait dengan pikiran manusia-seluruhnya terdiri atas tanda-
tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan
realitas.
Dalam arti lain, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
tanda. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai
(to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to
communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi,
dalam hal ini di mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi
sistem tersruktur dari tanda.23
Banyak para tokoh yang menggeluti bidang semiotik atau semiotika, di
antaranya:24
a) Charles Sanders Peirce: Pierce terkenal karena teori tandanya. Di dalam lingkup
semiotika, Pierce, sebagaimana dipaparkan Lechte, seringkali mengulang-ulang
bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang.
Berdasarkan objeknya, Pierce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks),
dan symbol (simbol). Dijelaskan, Ikon adalah hubungan antara tanda dan objek
atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya, potret dan peta. Indeks adalah
tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda
yang bersifat kausal atau kenyataan. Contoh, asap sebagai tanda adanya api.
Dan, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda
dan petandanya.
b) Ferdinand de Saussure, Sedikitnya ada lima pandangan Saussure yang di
kemudian hari menjadi peletak dasar dari strukturalisme Levi-Strauss, salah
satunya ialah Signifier (penanda) dan signified (petanda). Dengan kata lain
23 Drs. Alex Sobur, M.Si, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006), cet-3, h.13-15. 24 Ibid, h.39-62.
penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”.Bisa
juga disebut aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan
apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan, petanda adalah gambaran mental,
pikiran, atau konsep. Bisa juga disebut aspek mental dari bahasa. Yang mesti
diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang konkret, kedua unsur tadi
tidak dapat dilepaskan. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua
sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure.
c) Roman Jakobson, Jakobson adalah salah seorang dari teoretikus yang pertama-
tama berusaha menjelaskan komunikasi teks sastra. Pengaruh Jakobson pada
semiotika berawal pada abad-20. Menerangkan adanya fungsi bahasa yang
berbeda, yang merupakan faktor-faktor pembentuk dalam setiap jenis
komunikasi verbal: Adresser (pengirim), message (pesan), adresse (yang
dikirimi), context (konteks), code (kode), dan contact (kontak).
d) Louis Hjelmslev, Hjelmselv mengembangkan sistem dwipihak (dyadic system)
yang merupakan ciri sistem Saussure. Sumbangan Hjelmselv terhadap semiologi
Saussure adalah dalam menegaskan perlunya sebuah “sains yang mempelajari
bagaimana tanda hidup dan berfungsi dalam masyarakat. Dalam pandangan
Hjelmselv, sebuah tanda tidak hanya mengandung sebuah hubungan internal
antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga
mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar
dirinya.
2. Konsep Semiotika Roland Barthes25.
25 Drs. Alex Sobur, M.Si, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006), cet-3, h.63-70.
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol
mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia lahir pada tahun 1915 dari
keluarga kelas menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil
dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Prancis. Semasa hidupnya, Bathes telah
banyak menulis buku, di antaranya, telah menjadi bahan rujukan penting untuk studi
semiotika di Indonesia. Karya-karya pokok Barthes, antara lain: Le degree zero de
I’ecriture atau “Nol Derajat di Bidang Menulis”(1953, diterjemahkan ke dalam bahasa
inggris, Writing Degree Zero, 1977).
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda
adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda,
membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar
mengulas apa yang sering disebut sebagai ssstem pemaknaan tataran ke-dua, yang
dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh
paling jelas sistem pemaknaan tataran ke-dua yang dibangun di atas bahasa sebagai
sistem yang pertama. Sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di
dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan
tataran pertama.
Melanjutkan studi Hjelmsev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda
bekerja:
1. Signifier
(penanda)
2. Signified
(petanda)
3. Denotative sign (tanda denotatif)
4.CONNOTATIVE SIGNIFIER
(PENANDA KONOTATIF)
5. CONNOTATIVE SIGNIFIED
(PETANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Gambar 2.1 Peta tanda Roland Barthes
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda
(1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga
penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya
jika anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan
keberanian menjadi mungkin.
Jadi, dalam konsep Barthes, terdapat tanda konotatif yang bukan hanya sekadar
memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang
melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti
bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran
denotatif.
Semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya mengungkapkan bahwa, denotasi
merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi tingkat kedua. Dalam
hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan, dengan
demikian sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan
keharfiahan denotasi, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang
ada hanyalah konotasi.
Dilihat segi bahasa, denotasi ialah makna yang sebenarnya yang sama dengan
makna lugas untuk menyampaikan sesuatu yang bersifat faktual. Konotasi ialah adalah
makna yang bukan sebenarnya yang umumnya bersifat sindiran dan merupakan makna
denotasi yang mengalami penambahan. Sedangkan mitos ialah
sistem komunikasi dan sebuah pesan.26
Dijelaskan pula dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi
ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan
memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode
tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda.
Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan
yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem
pemaknaan tataran ke-dua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki
beberapa penanda.
Sering dikatakan bahwa ideologi bersembunyi di balik mitos. Ungkapan ini ada
benarnya, suatu mitos menyajikan serangkaian kepercayaan mendasar yang terpendam
dalam ketidaksadaran representator. Ketidaksadaran adalah sebentuk kerja ideologis
yang memainkan peran dalam tiap representasi. Mungkin ini bernada paradoks, karena
suatu tekstualisasi tentu dilakukan secara sadar, yang dibarengi dengan ketidaksadaran
tentang adanya sebuah dunia lain yang sifatnya lebih imaginer. Sebagaimana halnya
mitos, ideologi pun tidak selalu berwajah tunggal. Ada banyak mitos, ada banyak
ideologi; kehadirannya tidak selalu kontintu di dalam teks. Mekanisme kerja mitos
dalam suatu ideologi adalah apa yang disebut Barthes sebagai naturalisasi sejarah. Suatu
mitos akan menampilkan gambaran dunia yang seolah terberi begitu saja alias alamiah.
26“Pengertian makna denotatif & konotatif “ diakses pada tanggal 28 Desember 2009
pukul 11:00 WIB dari http://organisasi.org.
Nilai ideologis dari mitos muncul ketika mitos tersebut menyediakan fungsinya untuk
mengungkap dan membenarkan nilai-nilai dominan yang ada dalam masyarakat.
Barthes juga menyatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi, karena
mitos ini merupakan sebuah pesan pula. Ia menyatakan mitos sebagai “modus
pertandaan, sebuah bentuk, sebuah “tipe wicara” yang dibawa melalui wacana. Mitos
tidaklah dapat digambarkan melalui obyek pesannya, melainkan melalui cara pesan
tersebut disampaikan. Apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari caranya
ditekstualisasikan. Dalam narasi berita, pembaca dapat memaknai mitos ini melalui
konotasi yang dimainkan oleh narasi. Pembaca yang jeli dapat menemukan adanya
asosiasi-asosiasi terhadap ‘apa’ dan ‘siapa’ yang sedang dibicarakan sehingga terjadi
pelipatgandaan makna. Penanda bahasa konotatif membantu untuk menyodorkan
makna baru yang melampaui makna asalnya atau dari makna denotasinya.27
C. Tinjauan Umum tentang Jurnalisme
1. Pengertian Jurnalisme28
Istilah Jurnalisme berasal dari bahasa Inggris “journalism” berarti
kewartawanan29, dan bersumber dari bahasa latin “diurnal” yang berarti harian atau
setiap hari.
Sedangkan, menurut istilah jurnalisme berarti kegiatan mengumpulkan bahan
berita, mengolahnya sampai menyebarluaskannya kepada khalayak. Sebab, setiap
27 “ Mitos & bahasa media mengenal semiotika roland barthes” diakses pada tanggal 28
Desember 2009 pukul 10:30 WIB dari http://www.averroes.or.id. 28 Sudirman Tebba, Junalistik baru, ( Ciputat: Kalam Indonesia, 2005), cet-1, h.9 29 John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia,
2000), h. 337.
kejadian dan pernyataan yang memiliki daya tarik bagi khalayak dapat dijadikan berita
untuk disebarluaskan ke tengah masyarakat.
2. Sejarah dan Perkembangan Jurnalisme30
Kegiatan jurnalisme sudah sangat tua, yaitu dari zaman Romawi kuno ketika
Julius Caesar berkuasa. Tetapi saat itu kegiatan jurnalisme tidak terus berkembang,
karena setelah Kerajaan Romawi runtuh, kegiatan jurnalisme sempat mengalami
kevakuman, terutama ketika Eropa masih dalam kegelapan (dark age). Pada masa itu
jurnaslisme menghilang. Berita disampaikan dengan cara lain, biasanya diceritakan atau
dinyanyikan oleh orang yang disebut “wandering minstrels” yang berkelana dari satu
tempat ke tempat lain, kalaupun ada dilakukan secara tertulis hanyalah dalam bentuk
surat.
Jurnalisme bergairah kembali pada tahun 1609, dengan terbitnya Avisa Relation
Oder Zeitung di Jerman, yang dikenal sebagai surat kabar pertama. Lalu di London terbit
Weekly News pada 23 Mei 1622. Tetapi surat kabar yang benar-benar terbit secara
teratur setiap hari adalah Oxford Gazette pada tahun 1665, yang kemudian namanya
diganti menjadi London Gazette. Henry Muddiman sebagai editor pertama surat kabar
itu adalah orang yang pertama kalinya memperkenalkan istilah “newspaper”yang
digunakan sampai hari ini.
Pada abad ke-18 terjadi peralihan sistem pers dari pers otoriter (authoritarian
press) ke sistem pers liberal (libertarian press). Kemenangan pers itu boleh disebut
sebagai kemenangan demokrasi atau kemenangan demokrasi merupakan kemenangan
pers. Pers diakui sebagai pejuang yang aktif dalam mengembagkan prinsip
kemerdekaan. Dalam rangka pembinaan dasar teoritis untuk konsep modern mengenai
22. Sudirman Tebba, Junalistik baru, ( Ciputat: Kalam Indonesia, 2005), cet-1, h.11-26
kebebasan menyatakan pendapat, pers telah mengembangkan apa yang disebut “the
theory of objective reporting” untuk memenuhi fungsinya sebagai media informasi.
Pada abad ke-20 sistem pers berubah lagi dari pers liberal (the libertarian theory
of the press) ke pers tanggung jawab social (the social responsibility theory of the press).
Fungsi pers teori tanggung jawab sosial sebenarnya sama dengan pers yang menganut
teori liberal, yaitu teori tanggung jawab sosial dapat menerima peranan pers dalam
mengabdikan diri kepada sistem politik dalam memberikan penerangan kepada
khalayak, dalam melindungi kemerdekaan perorangan, tetapi teori itu menyatakan
pendapatnya bahwa pers kurang sempurna dalam melaksanakan tugasnya itu.
Selain ketiga teori di atas, ada satu teori pers lagi yang berkembang di Uni
Soviet, yang disebut teori pers komunis soviet. Namun dengan runtuhnya Uni Soviet,
maka teori pers ini sekarang lebih tepat disebut teori pers komunis. Teori yang
menempatkan pers sebagai alat partai politik yang berkuasa.
Sejalan dengan berkembangnya kehidupan pers di dunia, muncul pula teori-
teori jurnalisme yang mendasari perkembangan pers, di antaranya yang terpenting ialah
munculnya suatu teori jurnalisme yang disebut jurnalistik baru.
Sesuai dengan namanya sebagai jurnalistik baru, maka jenis jurnalistik ini
berbeda dengan gaya jurnalistik lama. Jurnalistik lama bersifat linier, yaitu satu referensi
saja. Sementara jurnalistik baru beritanya bersifat multilinier, yaitu selain menggunakan
referensi pokok, juga dilengkapi dengan referensi-referensi lain. Dengan demikian, suatu
jurnalistik disebut jurnalistik baru lebih karena kelengkapan dan pengembangan
beritanya. Karena itu pada prinsipnya jurnalistik baru tetap mengacu pada konsep
jurnalisme yang ada, seperti:
1) Tidak boleh memasukkan opini pribadi.
2) Berita yang disajikan hanya fakta yang mengandung kebenaran.
3) Mengandung 5 W (who, what, where, when, why) + 1 H (how).
4) Penulisan berita harus tepat, ringkas, jelas, sederhana dan dapat dipercaya.
5) Naskah berita harus lugas dan megandung daya gerak.
Karena jurnalistik baru juga menggali fakta-fakta yang tersembunyi, maka isinya
bisa mengandung banyak hal, tergantung aspek yang digali, misalnya ada yang berupa
laporan investigatif, laporan yang faktanya diperoleh dengan cara investigasi. Laporan
kontemporer, laporan dengan memasukkan unsur susatra. Laporan komparatif, laporan
yang pengolahannya membandingan antara suatu kejadian atau pendapat pokok
dengan kejadian/ pendapat yang lain. Laporan analisis, laporan yang memberikan
analisis terhadap fakta yang diberitakan. Laporan interpretatif, laporan dengan
memberikan interpretasi, dan laporan evaluatif, laporan yang memberikan evaluasi
terhadap fakta yang diberikan.
Kelima teori atau sistem pers tersebut berkembang di seluruh dunia di mana
ada kehidupan pers, termasuk di Indonesia, yang memang juga sudah berkembang
cukup lama.
3. Macam-macam Jurnalisme31
Fred Fedler, Everette Dennis dan pakar lainnya mengkategorikan ada tujuh
macam jurnalisme:
• Jurnalis advokasi: Kegiatan jurnalisme yang berupaya menyuntikkan opini
ke dalam berita. Tiap reportase tanpa mengingkari fakta diarahkan untuk
31 Ibid, h.27-29
membentuk opini publik. Jadi, kesimpulan opini mereka memiliki korelasi
erat dengan realitas peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.
• Jurnalis alternatif: Kegiatan jurnalisme yang menyangkut publikasi internal
dan bersifat lebih personal. Jurnal-jurnal alternatif memunculkan tulisan-
tulisan yang hendak membasmi korupsi, dengan tampilan yang lain dari
“anjing penyalak”, dan melebihi media underground konvensional dalam
performa kritikan dan liputannya.
• Jurnalis presisi : Kegiatan jurnalisme yang menekankan ketepatan (presisi)
informasi dengan memakai pendakatan ilmu sosial dalam proses kerjanya.
• Jurnalis sastra : Membahas pemakaian gaya penulisan fiksi untuk
kepentingan dramatisasi pelaporan dan membuat artikel-artikel menjadi
memikat. Teknik pelaporan dipenuhi dengan gaya penyajian fiksi yang
memberikan rincian potret subjek, yang secara sengaja diserahkan kepada
pembaca untuk dipikirkan, digambarkan dan ditarik kesimpulannya.
• Jurnalis bawah tanah : Jenis jurnalisme ini menyampaikan perbincangan
tentang soal-soal yang biasanya dianggap tabu oleh pers mainstream.
• Jurnalis pembangunan : Jurnalisme yang menyiarkan berita-berita
pembangunan. Berita pembangunan meliputi berita langsung, feature, tajuk
rencana, surat redaksi dan pidato/ keterangan yang berhubungan dengan
kebutuhan primer, sekunder dan tertier dari suatu negara sedang
berkembang.
• Jurnalis damai : Jurnalisme yang melaporkan suatu kejadian dengan bingkai
yan lebih luas, yang lebih berimbang dan lebih akurat, yang didasarkan pada
informasi tentang konflik dan perubahan-perubahan yang terjadi.
Jurnalisme damai membuka peluang pada pemahaman non-kekerasan (non-
violence) dan kreativitas seperti yang diaplikasikan sehari-hari oleh para
wartawan dalam membuat liputan.
Demikianlah jurnalisme telah berkembang ke dalam berbagai macam jurnalisme
sesuai dengan keperluan dan kepentingan wartawan dan media massa yang
menyiarkan berita itu. Hal ini menunjukkan bahwa konsep jurnalisme selalu berkembang
sampai melampaui batas-batas jurnalisme itu sendiri.
4. Kode Etik Jurnalisme
Jurnalisme adalah sebuah profesi sekaligus seni, karena wartawan memiliki
ketrampilan khusus dan tunduk pada standar-standar yang umum. Penulis dan humoris
Amerika abad ke-19, Finley Peter Dunne, pernah mengatakan bahwa pekerjaan
wartawan adalah, “memberi rasa nyaman kepada orang yang kesusahan, dan
menyusahkan orang yang hidup nyaman.” Tapi peran utama jurnalisme dalam
masyarakat dunia selama generasi ke generasi tetap sama, menyediakan bagi warga
informasi yang akurat dan dapat diandalkan, kemudian apa yang mereka lakukan dapat
berfungsi dalam sebuah masyarakat.32
Wiliam H. Siemering sebagai instruktur penyiaran di Afrika, Eropa Timur dan Asia
menambahkan, “Saya perlu katakan bahwa anda (jurnalis) perlu misi yang jelas dan
pemahaman yang mendalam soal pentingnya informasi dalam masyarakat dunia.
Dedikasi terhadap keakuratan dan kebenaran harus sejajar dengan kepercayaan.
Tantangannya adalah bagaimana menyajikan informasi dengan cara yang menarik
sehingga orang ingin mendengarkan atau membaca apa yang perlu mereka ketahui.33
32 Deborah Potter, Jurnalisme Independen, (Jakarta: Kedutaan Amerika Serikat, 2006), h.
2-3. 33 Didin Natasukarya, Mencari Media yang Bebas dan Bertanggung Jawab, (Jakarta:
Institut Studi Arus Informasi, 2006), h. 39.
Pernyataan di atas merupakan buah dari kode etik Jurnalisme, bisa juga, seperti
yang dikatakan seorang penulis, Robert H. Estabrook, bahwa pernyataan itu merupakan
kebebasan. Dan kebebasan Pernyataan tersebut merupakan kode etik yang
menghormati tindak tanduk pers.34
Memang dalam menjalankan tugasnya, wartawan selain dibatasi oleh ketentuan
hukum, seperti Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, juga harus berpegang
kepada kode etik jurnalistik. Tujuannya adalah supaya wartawan bertanggung jawab
dalam menjalankan profesinya, yaitu mencari dan menyiarkan informasi.
Saat ini ada beberapa definisi yang berkembang mengenai kode etik jurnalisme.
Misalnya ada yang mengatakan bahwa kode etik jurnalisme adalah himpunan etika
profesi kewartawanan (Pasal 1 Ayat (14) UU No 40 Tahun 1999). Definisi lain ialah kode
etik jurnalis televisi Indonesia, yaitu pedoman perilaku jurnalis televisi dalam
menjalankan profesinya (Pasal 1 Kode Etik Jurnalis Televisi Indonesia).35
Dari definisi-definisi itu terlihat bahwa kode etik jurnalisme terkait dengan
organisasi wartawan dan kode etik jurnalisme hanya mengikat wartawan yang menjadi
anggota oraganisasi wartawan yang bersangkutan.
Di dunia saat ini, khususnya di Indonesia banyak organisasi wartawan yang
beragam. Karena itu, kode etik jurnalisme juga berbagai macam, di antaranya:
1) Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
2) Aliansi Jurnalistik Indonesia (ALJI).
3) Asosiasi Wartawan Muslim Indonesia ( AWAM).
34 Budi Prayitno, Pers Tak Terbelenggu, ( Jakarta: Departemen Luar Negeri A.S., 2004),
h. 34. 35 . Sudirman Tebba, Junalistik baru, ( Ciputat: Kalam Indonesia, 2005), cet-1, h. 136.
4) Asosiasi Wartawan Ekonomi (AWE).
5) Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia ( HIPSI).
6) Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).
7) Ikatan Wartawan Republik Indonesia (IWARI).
8) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
9) Persekutuan Okumene Jurnalis kristiani Indonesia.
10) Ikatan Wartawan Indonesia (IWI).36
Berikut ini adalah salah satu kode etik jurnalisme, yaitu kode etik wartawan
Indonesia, ditegaskan:
1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memeroleh dan
menyiarkan informasi yang benar.
2. Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memeroleh dan
menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak
mencampuradukkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti
kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.]
4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah,
sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan
profesi.
6. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo,
informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan.
7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam
pemberitaan serta melayani hak jawab.37
36 Ibid, h.139-140
BAB III
GAMBARAN UMUM FILM A MIGHTY HEART
A. Profil Sutradara Film38
Film A Mighty Heart mengisahkan tentang penculikan dan pembunuhan tragis
seorang reporter Wall Street Journal berdarah Yahudi di Pakistan. Film yang diangkat
dari kisah nyata Mariane Pearl’s dan novel ini disutradarai oleh Michael Winterbottom,
sutradara Inggris yang muncul di akhir abad-21.
Michael Winterbottom lahir di Blackburn, Lancashire pada Tanggal 29 Maret
1961. Meraih gelar di Oxford University. Selain, ia juga menerima pelatihan film dan
televisi di Bristol University dan politeknik di London Tengah.
Setelah Michael menyelesaikan bangku kuliahnya, ia menghabiskan waktu
mudanya sebagai editor film di Thames Television, yang sukses mengarahkan episode
drama dan dua dokumenter tentang Ingmar Bergman. Michael sering mendapat pujian
atas karya-karyannya itu termasuk oleh tokoh-tokoh besar Eropa- Jean-Luc Godard, Wim
Wenders, François Truffaut, dan Bergman sendiri- dengan gaya filmnya yang dinilai
kontinental sejak awal. Seperti karyanya yang berjudul Forget About Me (ITV, 1990), film
TV drama komedi romantis yang berkolaborasi dengan penulis Frank Cottrell Boyce,
mengisahkan dua tentara Skotlandia yang dikirim ke Jerman Barat dan terjerat cinta
37 Ibid, h.138-139. 38 “People” diakses pada tanggal 15 Februari 2010 pukul 13:30 WIB dari http://
www.screenonline.org.uk
dengan gadis-gadis Hungaria selama perjalanan ke Budapest. Under The Sun (ITV, 1992),
film TV yang berlatar belakang di Spanyol ini mengisahkan tentang seorang gadis pemalu
yang belajar membela dirinya sendiri.
Pada tahun 1994 Michael membentuk Revolution Films, sebuah rumah produksi
yang dibangun bersama Andrew Eaton, produser sekaligus keluarganya sendiri, yang
kemudian membuat debut film pertamanya “Butterfly Kiss”. Lalu, pada tahun 1996
Michael membuat film pertamanya yang diadaptasi dari sebuah novel berjudul Jude.
Film yang diangkat dari judul yang sama buah karya Thomas Hardy’s ini diperankan oleh
artis papan atas, Kate Winslet (finding Neverland, Titanic, The Reader) sebagai batu
loncatan menembus pasaran.
Pada tahun 1997, dengan bakatnya yang elektik Michael mengubah gaya
filmnya. Kali ini ia membuat sesuatu yang subjektif dan periodik, Welcome to Sarajevo
(1997). Film yang penuh emosional ini diangkat dari kisah nyata wartawan televisi
(diperankan oleh Stephen Dillane) yang bertekad menyelamatkan seorang anak yatim di
Sarajevo. Walaupun film Welcome to Sarajevo dibilang gagal, Michael terus berkarya
dengan menyutradai banyak film, I Want You (1998), Wonderland (1999), 24 Hours Party
People (2002), In This World (2002), Code 46 (2003), 9 Songs (2004), Tristram Shandy: A
Cock and Bull Story (2005) dan A Mighty Heart (2007).
Meskipun, dalam film-film komersil yang dibuatnya tidak banyak menuai sukses,
tapi tekad, semangat dan inovasinya memajukan film-film Inggris membuat iri para
sineas Internasional.
B. Profil Pemain dan Film Maker’s
a) Angelina Jolie as Mariane Pearl’s
Angelina Jolie (lahir di Los Angeles, California, Amerika Serikat, 4 Juli 1975; umur
34 tahun - lahir dengan nama Angelina Jolie Voight) adalah seorang pemeran wanita
Amerika Serikat yang pernah dinominasikan dalam Academy Award. Ia adalah putri
kandung dari pemeran pria senior, Jon Voight. Ia memulai karier aktingnya di era 1980-
an. Pada tahun 2003, ia menikah dengan pemeran dan penyanyi senior, Billy Bob
Thornton, namun mereka bercerai pada tahun 2005. Setelah itu ia menikah kembali
dengan Brad Pitt pada tahun 2006. Anak hasil hubungan mereka, Shiloh Nouvel Jolie-
Pitt, lahir pada Januari 2006.39
Sebelum terjun ke dunia perfilman, Jolie bekerja sebagai seorang model di Los
Angeles, New York dan London saat usianya 14 tahun. Pada saat itu Jolie juga sering
muncul di video-video klip, termasuk Meat Loaf ( Rock & Roll Dreams Come Through),
Antonello Venditti ( Alta Marea), Lenny Kravitz ( Stand by My Woman), dan The
Lemonheads ( It's About Time). Pada usia 16 tahun, Jolie kembali ke teater dan
memainkan peran pertamanya sebagai seorang Jerman. Ia mulai belajar dari ayahnya,
memerhatikan dan mengamati bagaimana menjadi orang besar seperti mereka.
Walaupun sebelumnya, hubungan mereka kurang baik, tapi akhirnya jolie menyadari
bahwa mereka berdua bisa menjadi ” Ratu Drama”.
Pada tahun 1982, Jolie baru mulai berakting dengan debut film perdananya
bersama sang ayah, Jon Voight, Lookin’ to Get Out. Satu dekade kemudian, karir Jolie
39 “Biografi” diakses pada tanggal 15 Februari 2010 pukul 13:45 WIB dari
http://www.wikipediaindonesia.com
menanjak dengan film yang beranggaran rendah, Cyborg 2 (1993). Peran utama
pertamanya dimulai dari sebuah film besar, Hackers (1995). Ia juga membintangi film-
film biografi yang diakui secara kritis, George Wallace (1997) dan Gia (1998), kemudian
pernah memenangkan Academy Award For Supporting Actress dalam film Girl,
Interrupted (1999).
Beberapa tahun kemudian, jolie mencapai puncak ketenarannya melalui sebuah
film yang diangkat dari video game fenomenal, Lara Croft : Tomb Raider (2001). Dalam
film itu ia berperan sebagai Lara Croft, perempuan seksi yang berpetualang mencari
benda-benda langka. Dan sejak saat itulah, ia dikenal sebagai artis yang paling mahal di
Hollywood. Terkenal dengan film aksi-komedinya bersama suami tercinta, Brad Pitt, Mr
and Mrs Smith (2005), kemudian A Mighty Heart (2007), dalam film ini suaminya
bertindak sebagai produser, film animasi Kungfu Panda (2008), pengisi suara the tiger,
dan Wanted (2008).40
b) Dan Futterman as Daniel Pearl’s41
Dan Futterman dilahirkan di Brooklyn, New York, pada tanggal 8 Juni 1967 dan
dibesarkan di Westchester County. Ayahnya adalah seorang pengacara dan ibunya
seorang psikoanalis, yang kemudian ia bercanda bahwa dua hal yang paling dibutuhkan
dari keduanya ialah seorang aktor. Ia belajar di Columbia University dan lulus pada
tahun 1989 dengan gelar degree in English. Kemudian, terbagi antara lulusan sekolah
dan mengejar karir akting, akhirnya ia menyerah ke dalam dorongan kreatif dan memilih
yang terakhir. Karirnya begitu cepat, sebab pada tahun 1991 ia sudah di kontrak jangka
panjang oleh club soda di teater WPA bersejarah di New York. Setelah bergelut di
40 “Biografi” diakses pada tanggal 15 Februari 2010 pukul 13:45 WIB dari http://
www.en.wikipedia.org 41 “ Movie” diakses pada tanggal 15 Frbruari 2010 pukul 13:10 WIB dari http://
www.moviesyahoo.com.
Teater, ia kemudian segera menampilkan film perdananya”The Fisher King”, yang
bermain sebagai anak-anak punk. Dalam rentang waktu yang singkat, karirnya pun
memuncak.
Pada tahun 1992, Futterman dipilih menjadi bintang utama dalam fim Big Girls
Don't Cry...They Get Even. Selain itu, Futterman banyak membuat beberapa penampilan
di Televisi, salah satunya film seri Class of '61 (ABC, 1993). Pernah juga memberikan
penampilan mengesankan dalam film-film independen yang diperankannya, Breathing
Room (1996), Far Harbor (1996), Shooting Fish (1997) dan Birdcage, di film ini ia
bermain bersama artis tersohor Hollywood, Robin Williams. Kemudian, Futterman
semakin bergairah di dunia pertelevisian. Beberapa chanel TV seperti TNT
menempatkannya sebagai bintang utama dengan Mickey Rourke” Thicker Than Blood"
(1998), Dan dipasangkan bersama Ron Eldard dan Martin Donovan dalam kisah Perang
Dunia II “When Trumpets Fade" (HBO, 1998).
Selain menyukai dunia akting, Futterman juga senang menulis skenario film.
Terbukti dengan kesuksesannya memperoleh nominasi oscar untuk Best Adapted
Screenplay dari Boston dan Los Angeles Film Critics Associations. Sementara itu, pada
tahun 2007 Futterman kembali ditarik sebagai aktor untuk memerankan seorang
reporter Wall Street Journal, Daniel Pearl’s yang dibunuh dan dipenggal di Pakistan
dalam film “A Mighty Heart”. Ia mengatakan, bahwa film ini ialah film terakhirnya, sebab
ia ingin lebih serius dibidang tulis-menulis skenario.
c) Archana "Archie" Panjabi as Asra Nomani42
Archana "Archie" Panjabi lahir pada tahun 1972, ia merupakan artis Inggris yang
diakui karena perannya dalam film komedi “Bend it Like Beckham” (2002), dan aktingnya
sebagai Kalinda Sharma di serial TV CBS ”Good Wife”.
Panjabi lahir di London Barat dan ia merupakan mahasiswi lulusan Brunel
University di London Barat pada tahun 1996 dengan gelar studi manajemen. Panjabi
dikenal sebagai wanita yang berbakat dalam dunia film dan televisi. Karirnya di awali
pada tahun 1999 dalam sebuah film komedi “East to East” dan baru-baru ini mengikuti
serial TV BBC “Life in Mars”. Sedangkan, Peran Hollywood pertamanya adalah pada
tahun 2005 sebagai seorang diplomat Inggris,”The Constant Gardener”, film yang
sempat mendapatkan piala oscar. Walaupun sebenarnya, Panjabi tetap unggul dalam
film komedi yang digarap pada tahun 2002, “Bend it Like Beckham”.
Pada tahun 2005, ia juga memenangkan Bintang Award untuk perannya sebagai
karakter dalam judul Yasmin di Festival Film Berlin, dan penghargaan Best Actress pada
tahun yang sama di Reims Film Festival.
Pada tahun 2007, Punjab muncul dengan artis seksi Angelina Jolie dalam film
adaptasi sebuah buku dan kisah nyata Mariane Pearl’s, istri jurnalis Daniel Pearl’s ”A
Mighty Heart”. Dalam film ini Punjab memainkan peran mantan Wall Street Journal,
reporter Asra Nomani. Selain itu Punjab juga telah memberikan suaranya untuk
beberapa tokoh dalam film animasi anak di televisi Inggris “Postman Pat”.
d) Irfan Khan as Captain43
42 “Archie Panjabi” diakses pada tanggal 15 Februari 2010 pukul 14: 10 WIB dari http://
www.wikipedia.org.
Sahabzade Irfan Ali Khan, dikenal juga sebagai Irfan Khan, (Hindi: इरफ़ान ख़ान;
lahir 30 November 1962). Ia adalah seorang aktor India yang berkecimpung dalam film,
televisi dan teater. Banyak sudah film yang dimainkan olehnya, The Warrior (2001),
Maqbool (2003), Haasil (2004), The Namesake (2006), A Mighty Heart (2007), Slumdog
Millionaire (2008), Billu (2009) dan New York, I Love You (2009), serta Vodafone, sebuah
iklan.
Khan lahir di Jaipur, India, ia seorang muslim Nawab, Ibu Khan bernama Sayeeda
Begum, berasal dari Keluarga Hakim Tonk dan Bapaknya, Late Yaseen Khan Jagirdar,
berasal dari desa dekat Tonk Khajuriya Dist. Pada tahun 1984, ia memperoleh beasiswa
di National School of Drama (NSD), New Delhi, padahal saat itu ia sedang mengejar gelar
M.A.
Setelah lulus pada tahun 1987, Khan pindah ke Mumbai, di sana ia membintangi
berbagai film serial televisi, seperti 'Chanakya', 'Sara Jahan Hamara (Banegi Apni baat,,'
'Chandrakanta' (Doordarshan), dan lain-lain. Ia pernah membintangi tokoh antagonis
dalam serial Darr (yang disiarkan di Star Plus), di mana ia berperan sebagai seorang
psikopat yang haus darah. Ia juga memainkan peran revolusioner penyair urdu terkenal
dan aktivis politik Marxis India, Makhdoom Mohiuddin, “Kahkashan” yang disutradarai
oleh Ali Sardar Jafri. Pada tahun 1990-an, ia juga muncul dalam sebuah film yang diakui
secara kritis, “Ki Ek Dokter Maut” dan Long Journey (1998).
Setelah banyak film yang dilakoninya tidak berhasil, sutradara Asif Kapadia yang
berbasis di London, memberinya peran dalam film The Warrior, sebuah film sejarah yang
selesai dalam 11 minggu. The Warrior meledak dalam festival film internasional, dan
43 “Irfan Khan” diakses pada tanggal 21 Februari 2010 pukul 14:40 WIB dari http://
www.wikipedia.org.
inilah yang membuat wajah Irfan Khan terkenal di seluruh dunia.. Pada tahun 2007, ia
muncul dalam film box office, Metro, sehingga ia menerima penghargaan sebagai Aktor
Pendukung Terbaik Filmfare Award, dan The Namesake, yang sukses di luar negara.
Kemudian, diikuti pula penampilan lainnya dalam film-film internasional, A Mighty Heart
dan The Darjeeling Limited.
Khan menikah dengan seorang penulis, Sutapa Sikdar, yang juga seorang lulusan
NSD dan saat ini mereka dikaruniai dua orang anak, Babil dan Ayan.
e) Will Patton as Randall Bennet44
Aktor Will Patton berhasil membagi waktunya, antara figur utama, film televisi,
dan panggung kariernya. Lahir dan dibesarkan di North Carolina, putra seorang pendeta
Lutheran. Patton belajar keahliannya di North Carolina School of the Arts dan Actor's
Studio, New York, di mana ia belajar di bawah bimbingan Lee Strasberg. Selain, Patton
juga belajar di Open Teater, di bawah bimbingan Joseph Chaikin, sebelum membuatnya
naik ke atas panggung New York.
Patton telah memenangkan dua Obie Award dalam Tourists and Refugees No 2
dan Sam Shepard, Fool for Love. Patton juga telah memiliki pengalaman bekerja di
London's Royal Court Theatre. Patton pertama kali muncul dalam film pendek, Minus
Zero (1979). Lalu, film independen yang berbasis di New York, King_Blank dan Varietas
(keduanya 1983).
Patton pernah bermain sebagai figuran, tapi menjadi peran penting dalam
Susan_Seidelman 's Desperately_Seeking_Susan (1985). Setelah film itu, ia dilempar
dalam Martin_Scorsese' s After_Hours (1985), film beranggaran besar yang pertama kali
44 “Actor’s” diakses pada tanggal 21 Februari 2010 pukul 14:30 WIB dari
http://www.starpulse.com.
diperankan olehnya, di mana ia bermain sebagai kekasih yang kasar. Penggambaran
terbaiknya menjadi seorang penjahat dapat dilihat dalam film yang dibintangi oleh Gene
Hackman, No_Way_Out (1987). Kemudian, dari beberapa film-film independennya yang
telah muncul, ia mendapatkan ulasan baik di festival film, terutama The_Spitfire_Grill
(1996) dan A Mighty Heart (2007).
f) Denis O’hare as John Bussey45
Denis O'Hare lahir di Kansas, Missouri pada tanggal 17 Januari 1962. Ia
merupakan seorang artis yang pernah mendapatkan Tony Award-winning aktor. Ia
lulusan teater sekolah Northwestern University's. Sebenarnya O'Hare adalah seorang
Amerika Irlandia dan telah memiliki paspornya. .
O'Hare memenangkan Tony Award untuk Best Performance dalam Richard
Greenberg 's Take me Out. Ia juga memenangkan Drama Desk Award pada tahun 2005
untuk Outstanding Feature Actor atas perannya sebagai Oscar Lindquist dalam
Broadway. Ia juga pernah muncul beberapa episode sebagai bintang tamu dalam film
serial Law & Order, spin-off, Law & Order: Special Victims Unit, Law & Order : Criminal
Intent dan Brothers & Sisters. Kemudian, film-filmnya yang termasuk mendapat
penghargaan The Anniversary Party, 21 Gram, Globe Golden, ialah Michael Clayton , A
Mighty Heart , Half Nelson , dan Milk.
Pada tahun 2007, O’hare muncul dalam film Charlie Wilson’s War bersama artis
papan atas Tom Hanks (Saving Private Ryan, Green Mile, Forrest Gump), Julia Robert,
Rachel Nichols, Emily Blunt dan Philip Seymour Hoffman. Pada tahun 2008, ia muncul
kembali dalam film Changeling, berperan sebagai Doktor Jonathan Steele yang korup
dan psikiater sadis. Lalu, pada tahun 2009 ia dipercaya berperan sebagai Phillip Steele
45 “Wiki” diakses pada tanggal 21 Februari 2010 pukul 14: 15 dari http://
www.en.wikipedia.org
dalam film televisi yang diangkat dari biografi Quentin Crisp, berjudul An Inggris in New
York. Pada tahun 2010, ia membintangi film Thriller, Edge Of Darkness dan peran kecil
dalam True Blood.
g) Gary Wilmes as Steve leVine46
Gary Wilmes penduduk asli Chicago. Ia dibesarkan sebagai seorang aktor teater
di New York. Banyak pujian yang telah didapatkannya dari dunia teater, termasuk Brace
Up! , keterlibatannya dengan The Wooster Group; Bad Boy Nietzsche dan Paradise Hotel
dengan Richard Foreman, Henry IV Part 1, Boxing 2000 dan House dengan Richard
Maxwell. Dan banyak lagi keterlibatannya di Teater Vineyard dan Shoppers.
Kemudian, di tanah kelahirannya, Chicago, Gary mengikuti teater dengan judul
Laughter on the 23rd Floor bersama Fox Theatricals; The Chicago Conspiracy Trial
bersama Remains Theatre dan The Persecution of Arnold Petch bersama A Red Orchid
Theatre. Lalu, ia juga menjadi anggota The Cook County Theatre Department. Sebagai
seorang aktor teater kawakan, Gary juga sudah terbiasa berperan dalam film serial Law
& Order : Criminal Intent bersama Denis O’hare dan film The Girl from Monday, yang
disutradarai oleh Hartley Hal, serta A Mighty Heart, sebuah film Michael Winterbottom.
h) Brad Pitt (Producer)
Brad Pitt Lahir pada tanggal 18 Desember 1963, di Shawnee, Oklahoma. Ia
dibesarkan di Springfield, Missouri, anak tertua dari tiga bersaudara dalam sebuah
46 “Gary Wilmesi” diakses pada tanggal 21 Februari 2010 pukul 14:25 WIB dari http://
www.en.wikipedia.org
keluarga yang taat pada Southern Baptis. Ayahnya, William Pitt, memiliki sebuah
perusahaan truk dan ibunya, Jane Jeta Hillhouse, adalah seorang konselor keluarga47. Ia
sekolah di University of Missouri, di mana ia mengambil jurusan jurnalisme.
Tidak jarang, Pitt ikut ber-akting drama yang diadakan oleh asramanya. Bahkan,
karena itu ia memutuskan untuk pergi meninggalkan bangku kuliahnya menuju
California mengejar karir di bidang akting. Ia mendapat peran penting pertamanya
melalui film Cutting Class (1987).
Pada tahun 1999, Pitt berkencan dengan banyak aktris, di antaranya adalah
Gwyneth Patrow, Thandie Newton, Robin Givens, Juliette Lewis. Banyak film yang
diperankan oleh Pitt, seperti Interview with The Vampire (1994), Seven (1995), Seven
Years in Tibet (1997), Fight Club (1999), Snatch (2000)48 dan masih banyak lagi.
Pada pertengahan 2000, Pitt menikahi Jennifer Aniston. Tetapi pernikahan itu
berakhir pada akhir 2005. Kini ia hidup bersama dengan aktris cantik asal California,
Angelina Jolie, pemeran Mariane Pearl’s dalam film yang diproduseri olehnya sendiri , A
Mighty Heart (2007)49.
Cast (Pemain)50
• Angelina Jolie - Mariane Pearl • Dan Futterman - Daniel "Danny" Pearl • Irfan Khan - Javed Nabib, "Captain" • Denis O'Hare - John Bussey
47 “Brad Pitt” diakses pada tanggal 21 Februari 2010 pukul 14:30 WIB dari http://
www.en.wikipedia.org. 48 Muhammad Takdir, Snatch, Majalah Cinemags, edisi 115, (Bandung: PT Megindo
Tunggal Sejahtera, 2009), h. 068 49 Charly Himawan, One of the Sexiest Man Alive Was Born, Majalah Cinemags, edisi
102, ( Bandung: PT Megindo Tunggal Sejahtera, 2008), h. 076 50 “amightyheart” diakses pada tanggal 15 Frbruari 2010 pukul 14:30 WIB dari http://
www.fandango.com
• Archie Panjabi - Asra Nomani • Will Patton - Randall Bennett • Gary Wilmes - Steve LeVine • Mohammad Afzal - Shabir • Mushtaq Ahmed - Danny's Taxi Driver • Daud Khan - Masud the Fixer • Telal Saeed - Kaleem Yusuf • Arif Kahn - Marianne's Taxi Driver • Tipu Taheer - Human Rights Director • Amit Dhawan - Technical Supervisor • Saira Nasir Khan - Nasrin • Alya Khan - Kashva • Sarah Mone - Female Guest • Bushra Parwani - Female Guest • Afar Zarachiwala - Male Guest • Danish Iqbal - Male Guest • Ali Tejani - Male Guest • Azfar Ali - Azlar • Ahmed Jamal - Khwaja • Perrine Moran - Ruth Pearl • Jeffry Kaplow - Judea Pearl • Ishaque Ahmed - Arif • Alyy Kahn - Omar Saeed Sheikh, "Bashir" • Adnan Siddiqui - Dost Aliani • Shah Murad Aliani - Farooq • Imran Paracha - Major Major • Imran Patel - Jamal Paracha • Jean-Jacques Scaerou - Philippe Scaerou • Veronique Darleguy - Veronique Laurent • Jillian Armenante - Maureen Platt • Demitri Goritsas - John Skeleton • Zach Coffin - Matt MacDowell • Sajid Hasan - Zafir • Farooq Khan - Noor • Mikail Lotia - Hasan • Baba Shaikh - Phone Engineer • Amy Shindler - Michelle Pearl • William Hoyland - John Bauman • Bilal Saeed - Haider • Sean Chapman - US Journalist • Holly Goline - News Producer • Amy Rosenthal - Tamara Pearl • Nour Ayad - Ibrahim the Cook • Lynn Blades - News Reader • Ikram Bhatti - Gilani, Sheikh • Fahad Hussain - Farhad Naseem • Taj Khan - Suleiman • Hasan Ali - Cell Phone Worker • Naeem Sogay - Adil • Sujata Humane - Omar's Aunt
• Dr. Sayed Masood - Doctor • Imran Hasny - Lawyer • Chad Chenouga - Satchi • Mike Rosen - US Journalist • Jenni Lee - US Journalist • Elizabeth Danheim - US Journalist • Tom Spencer - US Phone Journalist • Qasim Iqbal - Hotel Manager • Fabienne Khaldi - Mariane's Mother • Gigi Ledron - Woman in Orange • Aimee Matimbia - French Midwife • Harvesp Viraf Chiniwala - Baby Adam • Nassim Benbrik - Adam Aged 4 • Barney Welch - Reporter
Crew (Kru di balik layar film)51
• Michael Winterbottom - Director, Screenwriter • Andrew Eaton - Producer • Arti Gupta Surendranath - Producer • Brad Pitt - Producer • Dede Gardner - Producer • Adam Garner - Digital Effects • Albert Zimmer - Production Accountant • Alice Dawson - Production Accountant, Production Manager • Amy Bell - Set Decorator • Andrew Tapper - Art Director • Anita Overland - Co-producer • Anthony Wilcox - Assistant Director, Second Assistant Director • Arnaud Duterque - Location Manager • Asra Nomani - Consultant/advisor • Bernard Lamy - Production Accountant • Bijon Das Gupta - Art Director • Catherine Conrad - Key Hairstylist, Key Make-up • Charlotte Walter - Costume Designer • Christopher Stull - Art Director • Danny Daniel - Sound Mixer • David Bryan - Art Director • Dilip More - Art Director • Don Gillespie - Production Accountant • Eliot Mathews - Second Assistant Director • Ellen Lewis - Casting • Emma Field Rayner - Set Decorator • Erin Charles - Production Coordinator • Fiona McCann - Costume Designer • Frank Omø - Gaffer
51 Ibid. http:// www.fandango.com
• Gabriel De Cunto - Prosthetic Makeup Effects • Gus Martinez - Digital Effects • Harry Escott - Composer (Music Score) • Jane Coombes - Post Production Supervisor • Janice Janecek - Costume Designer • Jessie Taylor - Re-Recording Mixer • Joakim Sundström - Supervising Sound Editor • John Orloff - Screenwriter • Jon Duncan - Production Accountant • Laurence Coriat - Screenwriter • Marcel Zsykind - Cinematographer • Marcel Zyskind - Cinematographer • Marese Langan - Hair Styles, Makeup • Mariane Pearl - Book Author, Consultant/advisor • Mark Digby - Production Designer • Mark Knapton - Digital Effects • Meg Beatty - Second Assistant Director • Melissa Parmenter - Production Manager • Mike Elliott - First Assistant Director • Molly Nyman - Composer (Music Score) • Mozez Singh - Production Manager • Peter Christelis - Editor • Peter Digby - Editor • Raphaël Benoliel - Production Manager • Richard Davey - Re-Recording Mixer • Richard Flynn - Sound Recordist • Robert Reynolds - Gaffer • Sarah-Jane Wheale - Production Coordinator • Shobie Partos - Location Manager • Simon Tindall - Second Unit Camera • Susan Kirr - Line Producer • Susanna Lenton - Script Supervisor • Texas Hunsaker - Costume Designer • Wendy Brazington – Casting
C. Nominasi dan Penghargaan52
Broadcast Film Critics Association Awards
52 “Award” diakses pada tanggal 20 Juni 2010 pukul 21:00 WIB dari http://
www.imdb.com
Year Result Award Category/Recipient(s)
2008 Nominated Critics Choice Award Best Actress
Angelina Jolie
Chicago Film Critics Association Awards
Year Result Award Category/Recipient(s)
2007 Nominated CFCA Award Best Actress
Angelina Jolie
Empire Awards, UK
Year Result Award Category/Recipient(s)
2008 Nominated Empire Award Best Actress
Angelina Jolie
Golden Globes, USA
Year Result Award Category/Recipient(s)
2008 Nominated Golden Globe
Best Performance by an Actress in a Motion
Picture - Drama
Angelina Jolie
Image Awards
Year Result Award Category/Recipient(s)
2008 Nominated Image Award
Outstanding Actress in a Motion Picture
Angelina Jolie
Outstanding Independent or Foreign Film
Independent Spirit Awards
Year Result Award Category/Recipient(s)
2008 Nominated Independent Spirit
Award
Best Feature
Dede Gardner
Andrew Eaton
Brad Pitt
Best Female Lead
Angelina Jolie
Best First Screenplay
John Orloff
London Critics Circle Film Awards
Year Result Award Category/Recipient(s)
2008 Nominated ALFS Award Actress of the Year
Angelina Jolie
Online Film Critics Society Awards
Year Result Award Category/Recipient(s)
2008 Nominated OFCS Award Best Actress
Angelina Jolie
People's Choice Awards, USA
Year Result Award Category/Recipient(s)
2008 Nominated People's Choice Award Favorite Independent Movie
Santa Barbara International Film Festival
Year Result Award Category/Recipient(s)
2008 Won Outstanding
Performance Award
Angelina Jolie
Satellite Awards
Year Result Award Category/Recipient(s)
2007 Nominated Satellite Award Best Actress in a Motion Picture, Drama
Angelina Jolie
Screen Actors Guild Awards
Year Result Award Category/Recipient(s)
2008 Nominated Actor
Outstanding Performance by a Female Actor
in a Leading Role
Angelina Jolie
Teen Choice Awards
Year Result Award Category/Recipient(s)
2007 Nominated Teen Choice Award Choice Movie Actress: Drama
Angelina Jolie
D. Sinopsis Film A Mighty Heart
On January 23, 2002, Mariane Pearl’s world changed forever. Her husband
Daniel, the South Asia Bureau chief for the Wall Street Journal, was researching a story
on shoe bomber Richard Reid. The story drew them to Karachi where a go-between had
promised access to an elusive source. As Danny left for the meeting, he told Mariane he
might be late for dinner. He never returned.
In the face of death, Danny’s spirit of defiance and his unflinching belief in the
power of journalism led Mariane to write about his disappearance, the intense effort to
find him and his eventual murderer in her memoir A Mighty Heart: The Brave Life and
Death of My Husband Danny Pearl. Six months pregnant when the ordeal began, she
was carrying a son that Danny hoped to name Adam. She wrote the book to introduce
Adam to the father he would never meet. Transcending religion, race and nationality,
Mariane’s courageous desire to rise above the bitterness and hatred that continues to
plague this post 9/11 world, serves as the purest expression of the joy of life she and
Danny shared.
Starring Academy Award® winner Angelina Jolie (Girl, Interrupted) as Mariane
Pearl, and Dan Futterman, Oscar®-nominated for his Capote screenplay, as Daniel Pearl,
A Mighty Heart is directed by Michael Winterbottom (The Road to Guantanamo,
Tristram Shandy) and produced by Brad Pitt and Dede Gardner for Plan B Entertainment
(Year of the Dog, THE Departed) and Andrew Eaton for Revolution Films (The Road to
Guantanamo). John Orloff (BAND OF BROTHERS) wrote the screenplay.
In addition to Jolie and Futterman, A Mighty Heart stars Irrfan Khan (The
Namesake), Tony Award winner Denis O’Hare (“Take Me Out”), Archie Panjabi (Bend It
Like Beckham), Will Patton (Remember the Titans), Pakistani television star Adnan
Siddiqui (Amer Bail), and Obie Award winner Gary Wilmes (“Red Light Winter”).
The film’s behind-the-scenes artists are all Winterbottom veterans, including
director of photography Marcel Zyskind (The Road to Guantanamo), production designer
Mark Digby (The Road to Guantanamo), editor Peter Christelis (CODE 46), and costume
designer Charlotte Walter (TRISTRAM SHANDY: A COCK & BULL STORY).
The night Danny disappeared, Mariane kept vigil with Asra Nomani, an old friend
and colleague of Danny’s at the WSJ, living in Karachi. Both women were seasoned
international journalists with formidable investigative skills, but they were also foreign
women in a country that had become increasingly volatile since September 11. By
dawn, they knew they were facing a crisis that required strong allies fully briefed on
Pakistan’s proliferating terrorist cells, its byzantine bureaucracy and its notorious Inter-
Services-Intelligence agency (I.S.I.).
Dozens of local investigators swarmed the house that morning, including a man
called Captain, the then head of Pakistan’s brand new counter-terrorism unit. With
Asra’s house as headquarters, Captain’s men, along with an American diplomatic
security agent, two Journal colleagues and the FBI, dedicated themselves to the search.
After five harrowing weeks, amidst escalating media frenzy, they found the kidnappers.
Among them was the known militant Omar Saeed Sheikh, aka “Bashir,” the go-between
who had offered Danny information relating to the shoe bomber story. Then came the
devastating news that Danny had been brutally murdered weeks earlier.
Mariane and Danny believed that by bearing witness to events and allowing all
voices to be heard, truthful journalism could bridge communities in conflict. Mariane
has remained devoted to this principle, refusing to succumb to hate or fear. After
Danny’s death, she went home to her native France to await Adam’s birth. She and
Adam now live in Paris, France.53
Artis cantik kelahiran Los Angeles, Angelina Jolie berperan sebagai Mariane
Pearl’s, istri seorang jurnalis yang terbunuh, Daniel Pearl’s, dalam film yang disutradarai
Michael Winterbottom, A Mighty Heart (2007). Film yang diangkat dari kenangan (kisah
nyata) Mariane tentang penculikan dan pembunuhan suaminya (diperankan oleh Dan
Futterman) oleh militan Pakistan.
Peristiwa itu terjadi pada tanggal 23 Januari 2002. Mariane tidak tahu bahwa
kini gilirannya-lah menerima takdir yang tidak pernah diharapkan. The South Asia
Bureau Chief untuk Wall Street Journal, Daniel Pearl’s, berada di Pakistan bersama
istrinya yang sedang hamil, Mariane, saat itu Daniel berangkat untuk wawancara artikel
terakhir dengan seorang syeikh; sebab pasangan itu akan segera ke Amerika setelah
53http://www.amightyheart.com diakses pada tanggal 15 Februari 2010 pukul 14:00 WIB
semua tugasnya selesai. Padahal wawancara itu biasa dilakukan Daniel, tapi entah
kenapa hari itu mariane merasa gelisah setelah kepergiannya. Dan, kekhawatiran
Mariane memuncak setelah Daniel tidak pernah pulang untuk makan malam
selamanya.
Kemudian, di tengah gemuruh tangis, kesedihan dan kenyataan bahwa suami
tercinta telah dibunuh oleh militan Pakistan secara tragis, Mariane menulis sebuah
Novel (diangkat dari kisah pribadinya) A Mighty Heart: The Brave Life and Death of My
Husband Danny Pearl’s, untuk sang bayi yang tidak akan pernah tahu wajah bapaknya.
Kisah nyata yang luar biasa ini sempat mengguncang dunia. Bahkan, menjadi
harum setelah Mariane, istri mendiang Daniel Pearl’s menulisnya dalam sebuah novel.
Beberapa tahun kemudian, kisahnya pun dangkat menjadi sebuah film dengan judul
yang sama, A Mighty Heart, oleh sutradara yang pernah mendapat piala penghargaan
BAFTA, “The Road to Guantanamo” Michael Winterbottom.54
Film ini mengandung implikasi politik yang masih bergema (dengan seribu tanda
tanya) di dunia: yaitu dunia kita setelah tragedi 9/11. Tetapi film ini tidak
mempersoalkan pertikaian politik dan ideologi itu, melainkan bagaimana Marianne Pearl
(Angelina Jolie), istri Daniel Pearl, menghadapi hilangnya sang suami di suatu malam.
Film ini dibuka dengan perpisahan Marianne (yang tengah hamil lima bulan) dan Dan
yang punya ”pe-er” satu wawancara lagi sebelum nanti mereka berdua terbang pulang.
Janji Dan untuk makan malam pukul sembilan yang berakhir dengan hilangnya Dan dan
pencarian yang semakin lama semakin menegangkan inilah yang kemudian menjadi
pusat cerita.
54 “amightyheart” diakses pada tanggal 15 Frbruari 2010 pukul 14:30 WIB dari http://
www.fandango.com.
Antara adegan masa kini dan masa lalu bolak-balik dengan santai, saling susup-
menyusup tanpa peringatan, tanpa musik sinting yang menghantam. Semuanya tampak
begitu realistik, hampir menyerupai sebuah dokudrama. Bahkan Angelina Jolie, yang
dihajar begitu banyak pihak (karena Marianne yang sesungguhnya adalah wartawan
berdarah campuran Kuba, Prancis, dan Afrika-Amerika, maka ada yang menganggap
pemilihan Jolie sebagai Marianne tidak benar) memerankan tokoh ini dengan elegan,
dingin. Sepanjang film, Marianne menyimpan seluruh rasa frustrasi dan kegelisahannya
dan terus-menerus mencoba optimistik karena ”saya sedang hamil, saya tak bisa
(berkeluh kesah),” katanya menjawab reporter yang berisik.
Para penonton, yang kita asumsikan pembaca koran, tentu saja sudah tahu akhir
dari tragedi ini, tetapi sutradara Winterbottom memilih untuk sengaja tidak
memperlihatkan adegan pemenggalan leher Dan Pearl yang sudah disaksikan jutaan
orang melalui internet. Reaksi tim investigasi saat melihat video itu menjadi puncak
teror. Teror inilah yang bisa dihadang oleh Marianne. Dia bertahan untuk tidak meratap-
ratap, meski luar biasa terluka oleh kematian suaminya.
Jika ini disebut sebuah film penting, mungkin karena ucapan Marianne, bahwa
apa yang terjadi pada suaminya sama sekali tidak mewakili rakyat Pakistan; melainkan
sebuah brutalitas sekelompok orang belaka. Jolie telah kembali ke ”habitatnya”. Dia
telah kembali menunjukkan bahwa dia adalah aktris serius seperti saat dia menerima
Academy Awards untuk penampilannya dalam film Girl, Interrupted.55
55 “ Showthread” diakses pada tanggal 21 Februari 2010 pukul 14:45 dari http://
www.kaskus.us.
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISA DATA LAPANGAN
Film merupakan salah satu ide cerdas insan perfilman untuk meraih
keuntungan, kepuasan dan ke-intelektualan membangun pesan. Saling berlomba-lomba
membuat dunia terperangah adalah cita-cita yang sengaja mereka buat. Bisa terlihat
dari penyuguhan gambar, ide cerita, skenario, audio-visual dan bujet uang yang besar,
yang mereka kumpulkan untuk menyulap sebuah cerita menjadi film yang dapat
dinikmati. Dan sebagai penulis, rasanya sayang jika film hanya dijadikan sebagai hiburan
atau hal yang dapat dinikmati semata. Pada kesempatan ini penulis mencoba mengupas
makna denotasi, konotasi dan mitos dari sebuah film dalam pandangan Roland Barthes.
I. Makna Denotasi, Konotasi dan Mitos
Sudah banyak dari industri perfilman lokal memproduksi film di negara lain,
sebut saja industri perfilman terbesar Hollywood yang sudah malang melintang di dunia
perfilman. Sepertinya seakan memiliki roh tersendiri jika memproduksi sebuah film di
negara di mana kisah itu berasal, film menjadi terasa utuh. Seperti film yang digarap
Michael Winterbottom, A Mighty Heart, ia menyutradai film itu di tempat di mana
Daniel diculik dan dibunuh, Pakistan.
E. Scene 1:
Film dibuka oleh suara Mariane Pearl’s yang mengisahkan tentang awal
perjalanannya dengan Daniel hingga sampai di kota besar Pakistan. Penggambarannya
dibuat seperti dokumenter, yang mencampurkan antara adegan film dengan
dokumenter asli. Tentang kemunduran militan Taliban, demonstrasi rakyat Pakistan,
pembakaran bendera Amerika dan perkumpulan pers di Islamabad, yang merupakan
adegan film.
Visual Dialog / Suara Type of Shot
Narrator (Mariane Pearl’s): Hari
setelah 11/9 (runtuhnya World
Trade Center), aku dan Daniel
terbang ke Pakistan. Ribuan jurnalis
dari seluruh dunia tiba di Islamabad
untuk meliput berita di negara
tetangga Afghanistan.
Tanggal 7 Oktober bomnya
dimulai. Kekuatan dari
pemerintahan Taliban kewalahan.
Dan akhir dari perang, banyak
jurnalis yang pindah. Daniel dan
aku tetap tinggal, melaporkan
senjata nuklir, al-Qaeda, kamp
latihan rahasia jihad dan jutaan
pengungsi yang masih tinggal di
Peshawar, tanah kelahiran Taliban.
Perburuan bin Laden terus
berlanjut di gunung Tora Bora, dan
banyak dari pejuang mereka
mundur ke perbatasan Pakistan,
mencari tempat aman untuk
berkumpul. Dan, banyak orang di
Pakistan melihat orang Amerika
sebagai musuh dan Taliban sebagai
saudara muslim mereka.
Medium Long Shot: gambar
diambil setengah badan dari
jarak yang jauh, namun objek
tetap terlihat jelas beserta
latar belakangnya.
Big Close Up: Bagian kepala
objek nampak jelas dan tidak
menutupi panorama di
belakangnya.
Extra Long Shot: Gambar
diambil dari jarak yang sangat
jauh sehingga objek terlihat
lebih kecil.
Medium Long Shot: gambar
diambil setengah badan dari
jarak yang jauh, namun objek
tetap terlihat jelas beserta
latar belakangnya.
Long Shot: Gambar diambil
dari jarak jauh, sehingga
seluruh bagian objek dan latar
belakangnya nampak jelas.
Denotasi
Terlihat dua orang laki-laki berada di atas mobil bak di antara
kerumunan orang banyak. Kemudian, ada seorang pria dewasa
berteriak di sekitar orang-orang yang mengangkat tangan dan papan,
jutaan orang berkumpul memadati jalan, sekumpulan orang
membakar bendera Amerika, dan sekumpulan orang yang sedang
duduk mendengarkan pembicara di depannya.
Konotasi Pemerintahan Taliban tidak terkendali dan mundur ke perbatasan
Pakistan. Selanjutnya para rakyat Pakistan berkumpul di jalan-jalan
untuk mendemo kejahatan Bush terhadap Timur Tengah. Kemudian,
hal itu direalisasikan dengan membakar bendera Amerika.
Disamping itu, pers dunia berkumpul di Islamabad untuk meliput
peristiwa di Pakistan.
Mitos
Dilihat dari penggambaran di atas bahwa adegan dokumenter
tersebut adalah pencintraan buruk Amerika, baik di mata militan
Taliban maupun di mata orang-orang Pakistan. Di antara kedua
golongan tersebut tidak ada yang menyukai Amerika, melainkan
mengutuknya.
F. Scene 2
Adegan selanjutnya masuk pada bagian real film, di bagian ini tidak ada lagi
dokumenter melainkan masuk pada bagian film yang dibuat sutradara. Pencintraan film
ini di awali dengan panorama indah berupa tata letak yang dipenuhi kubah dan menara-
menara. Kemudian, di lain sisi tata letaknya dipenuhi oleh bangunan-bangunan tinggi
dan rendah.
Visual Dialog / Suara Type of Shot
(Tidak ada dialog)
Medium Long Shot: gambar
diambil setengah dari jarak
yang jauh, namun objek tetap
terlihat jelas beserta latar
belakangnya.
(Tidak ada dialog)
Long Shot: Gambar diambil
dari jarak jauh, sehingga
seluruh bagian objek dan latar
belakangnya nampak jelas.
Denotasi
Suasana seperti pagi hari di tengah puluhan kubah dan menara-
menara masjid yang menjulang tinggi ke langit. Di sisi yang berbeda
langit masih tampak sendu di atas gedung-gedung tinggi dan rumah-
rumah yang sesak.
Konotasi
Penggambaran kepadatan sebuah kota yang dilihat dari
pandangan humanisme. Pada bagian ini di arahkan kepada penonton
bahwa kehidupan ini seimbang. Jika di satu sisi manusia melihat
identitas agama (ukhrawi), maka di satu sisi manusia akan melihat
identitas dunia (duniawi).
Mitos
Film A Mighty Heart dibuat di Pakistan, tempat mendiang
Daniel diculik dan dibunuh tanpa pernah ditemukan jasadnya.
Tepatnya di Karachi, sebuah kota besar yang padat penduduk dan
merupakan pusat kota itu.
Michael Winterbottom (director), ”…..we tried to shoot in the places where it happened,
such as the place where Daniel was kidnapped…” [ …..kita mencoba mengambil tempat
di mana peristiwa itu terjadi, seperti tempat di mana Daniel telah diculik…]56
Scene 3
Selanjutnya adegan Mariane berpisah dengan Daniel. Daniel mengucapkan kata-
kata terakhir dan mengecup bibir sang istri. Kemudian, ia menaiki taksi dan
meninggalkan Mariane dengan adegan yang dramatis.
56 “ Michael ” diakses pada tanggal 4 Juni 2010 pukul 13:00 WIB dari http:
//indielondon.co.uk
Visual Dialog / Suara Type of Shot
Daniel: Baik, aku harus berangkat.
I Love You (Aku mencintaimu).
(Tidak ada dialog)
(Tidak ada dialog)
Medium Long Shot: gambar
diambil setengah badan dari
jarak yang jauh, namun objek
tetap terlihat jelas beserta
latar belakangnya.
Medium Close Up: Dari jarak
yang dekat objek diambil
hanya separuh badan.
Medium Long Shot: gambar
diambil setengah badan dari
jarak yang jauh, namun objek
tetap terlihat jelas beserta
latar belakangnya.
G. Scene 4
Pada scene berikutnya film berjalan ke belakang (mundur). Daniel bertemu
temannya, Kaleem Yusuf, meminta pendapatnya sebelum berangkat menemui sheikh
Gilani.
Visual Dialog / Suara Type of Shot
Denotasi
Mariane memberikan senyum manisnya ketika Daniel ingin
pergi. Sedangkan, Daniel mengucapkan kata-kata manis dan
mencium Istrinya. Tak lama ia pun menaiki taksi dan pergi
meninggalkan tatapan perpisahan. Mariane tetap melihatnya
walaupun taksi sudah melaju sangat jauh.
Konotasi
Berjumpa dan berpisah merupakan skenario Tuhan. Manusia
hanya dapat merasakan bagaimana drama itu berjalan. Seperti
halnya Mariane dan Daniel perpisahan tidak dilukiskan sebagai
bencana. Mereka lebih menganggap perpisahan itu sesuatu yang
akan kembali dan datang mengikat cinta mereka lebih erat.
Mitos
Dalam kisah nyata Mariane merasa perpisahan itu tidak seperti
biasanya. Sebagai naluri seorang istri hari itu ia sedikit gelisah,
apalagi setelah melihat tatapan suaminya yang redup, seakan
mengisyaratkan detik-detik terakhir bersamanya.
Daniel: Aku ingin meminta
pendapatmu tentang sesuatu.
Seharusnya aku malam ini bertemu
dengan Sheikh Gilani.
Kaleem Yusuf: Kau bertemu
dengannya di mana?
Daniel: Di restoran Village
Kaleem Yusuf: Bertemu
dengannya di tempat umum kau
akan baik-baik saja. Tapi, berhati-
hatilah.
Daniel: Ok, tentu saja.
Long Shot: Gambar diambil
dari jarak jauh, sehingga
objek dan latar belakangnya
nampak jelas.
Medium Close Up: Dari jarak
yang dekat objek diambil
hanya separuh badan.
Denotasi
Di kediaman Kaleem Yusuf, Daniel disambut hangat olehnya.
Hingga mereka berdua sudah duduk saling berhadapan dan
membicarakan masalah sheikh Gilani.
Konotasi
Bertemu dengan seseorang yang belum dikenal memang perlu
berhati-hati. Sebab, belum tahu apakah orang itu baik atau jahat.
Setidaknya bertanya kepada orang yang tahu adalah hal yang paling
tepat sebelum bertemu dengan si pelaku (orang yang belum pernah
dikenal).
Mitos
Sheikh Gilani adalah tokoh agama besar di Pakistan, ia
merupakan seorang ulama yang dikenal arif dan sering meneteskan
air mata. Beliau dikagumi banyak orang, baik muslim maupun non
muslim. Namun, setelah runtuhnya WTC beliau diduga memiliki
hubungan dekat dengan pemimpin al-Qaeda. Karena itulah, banyak
dari jurnalis penjuru dunia ingin bertemu dengannya.
H. Scene 5
Pada bagian ini cerita kembali ke depan (maju). Teman-teman Daniel, Mariane
dan Asra berkumpul untuk makan malam sambil menunggu Daniel yang belum pulang.
Kemudian, di tengah asyik menikmati makanan khas Cuba yang dibuat Mariane mereka
berbincang-bincang.
Visual Dialog / Suara Type of Shot
(Tidak ada dialog)
Laki-laki 1: Di mana agen CIA itu?
Mariane: Apa maksudmu?
Asra Nomani: Aku bekerja di Wall
Street Journal, apa aku juga agen
Extra Long Shot: Gambar
diambil dari jarak yang sangat
jauh sehingga objek terlihat
lebih kecil dan latar belakang
begitu jelas.
Medium Long Shot: gambar
diambil setengah badan dari
jarak yang jauh, namun objek
tetap terlihat jelas beserta
latar belakangnya.
Medium Long Shot: gambar
diambil setengah badan dari
CIA?
Laki-laki 2: Tapi bagaimana orang
Amerika itu tahu banyak tentang
Pakistan? Apa mereka tahu tentang
Afghanistan? Terlepas dari
pengeboman sepanjang waktu.
Asra Nomani: Itulah mengapa
kami jurnalis, memberitahu semua
orang.
jarak yang jauh, namun objek
tetap terlihat jelas beserta
latar belakangnya.
Denotasi
Teman-teman datang ke rumah Mariane untuk makan malam.
Mereka dihidangkan masakan khas Cuba yang dibuat oleh Mariane
sendiri. Namun, di tengah asyiknya menikmati makanan itu mereka
mulai mempertanyakan Daniel dan orang Amerika yang tahu
segalanya.
Konotasi
Makan malam bersama kerabat atau keluarga merupakan
kebiasan manusia dalam mengokohkan tali persahabatan dan
persaudaraan. Islam mengenalnya dengan silaturrahmi, jalan
memperpanjang umur dan menambah rezeki. Namun, tidak untuk
berbicara ketika makan. Karena sangat berbeda dengan peradaban
barat yang meng-halalkan perihal tersebut.
Mitos
Orang banyak mengira jurnalis adalah antek agensi. Sampai-
sampai oknum militan garis keras mencurigai jurnalis barat sebagai
mata-mata FBI atau CIA. Inilah mengapa, khususnya di wilayah
zona merah jurnalis-jurnalis barat banyak mengalami ancaman
berupa penculikan dan pembunuhan.
I. Scene 6
Adegan selanjutnya film berbalik mundur, namun pada bagian ini cerita
merangkak lebih jauh, tepatnya sebelum Daniel bertemu Kaleem Yusuf. Ia dan Mariane,
istrinya, mewawancarai salah seorang rakyat Pakistan mengenai sheikh Gilani.
Visual Dialog / Suara Type of Shot
Pak Tua: Tidak, sheikh Gilani
orang yang tenang. Dia selalu sedih
ketika orang meninggal.
Daniel:Jadi, dia sedih WTC di
bom?
Pak Tua: Ya, karena banyak dari
pengikutnya orang Amerika.
Apakah kau tahu siapa dalang di
balik pengeboman WTC?
Daniel: Siapa?
Pak Tua: Orang yahudi. Mossad
satu-satunya organisasi yang dapat
mengatur peristiwa itu. Apakah kau
tahu 4000 orang yahudi yang
bekerja secara normal di WTC tidak
muncul hari itu?
Daniel: Apa agamamu?
Pak Tua: Saya seorang penganut
Kristen.
Daniel: Bukan, yahudi.
Medium Close Up: Dari jarak
yang dekat objek diambil
hanya separuh badan.
Long Shot: Gambar diambil
dari jarak jauh, sehingga
objek dan latar belakangnya
nampak jelas.
Medium Close Up: Dari jarak
yang dekat objek diambil
hanya separuh badan.
Denotasi
Daniel ditemani Mariane, istrinya mewawancarai seorang pria
berjanggut lebat dan panjang berwarna putih mengenai keberadaan
sheikh Gilani di mata orang-orang Pakistan.
Konotasi
Salah satu tugas jurnalis adalah mewawancarai objek yang akan
menjadi sebuah berita. Tujuannya, Selain mengetahui informasi
jurnalis juga dapat menemukan kebenaran hakiki ketika ragu
mengenai target. Apalagi mengenai tokoh-tokoh besar yang
dicurigai komplotan al-Qaeda, tentu mewawancarai langsung pada
objek yang dituju dapat melahirkan kebenaran yang hendak ditutupi
atau yang selama ini dianggap prejudice (prasangka).
Mitos
Mossad merupakan organisasi kepolisian rahasia Israel yang
setara dengan FBI, KGB dan CIA. Mossad juga sebuah intelejen
yang sudah diakui dunia. Keberadaannya merupakan pilihan terbesar
untuk menjaga keselamatan sipil dan negaranya. Rumor mengenai
Mossad yang memiliki rencana meluluh lantahkan WTC memang
sudah tersebar dari pintu ke pintu. Sebab hanya agen terselubunglah
yang dapat menembus pendektesian sinyal keamanan super ketat di
New York City. Namun, kembali kepada kenyataan, itu hanyalah
sebuah rumor hanya Tuhan jua-lah yang Mengetahui segala
kebenarannya.
John Orloff (screenplay), ”…you can have a conversation about journalism - its risks and
rewards and necessity. Three really interesting thematic, structural, emotional things
were going on in this story.” [ …anda (penonton) dapat berdialog mengenai jurnalisme –
Ini adalah sebuah risiko, penghargaan dan kebutuhan. Ada tiga hal yang benar-benar
akan disuguhkan dalam kisah ini yaitu thematik, struktur (susunan) dan emosional.57
J. Scene 7
Film berjalan maju lagi. Adegan Mariane yang sedang menelepon dan gambaran
mukanya yang gelisah.
Visual Dialog / Suara Type of Shot
Konselor: Konsulat Amerika, saya
Corporal Bailey. Apakah ada yang
perlu dibantu?
Mariane: Halo! Nama saya
Mariane Pearl’s, dan saya menelpon
karena suami saya hilang. Dia
seorang jurnalis. Dan dia…..
Konselor: Nyonya, maaf konsulat
sudah tutup. Mungkin, anda bisa
menelpon lagi besok pagi. Dan
anda, bisa bicara dengan Randall
Bennet, dia bagian keamanan
diplomatik. Besok dia datang lebih
awal, oke?
Big Close Up: Bagian kepala
objek nampak jelas dan tidak
menutupi panorama di
belakangnya.
Medium Long Shot: gambar
diambil setengah badan dari
jarak yang jauh, namun objek
tetap terlihat jelas beserta
latar belakangnya.
Denotasi
Adegan Mariane yang sedang menelepon petugas konsulat
Amerika atas kehilangan suaminya, Daniel. Dan paras wajahnya
yang gelisah.
57 “John Orloff ” diakses pada tanggal 4 Juni 2010 pukul 11:00 WIB dari http://
www.cinematical.com
Konotasi
Suatu hal yang wajar ketika seorang istri merasa gelisah jika
sang suami tidak pulang berhari-hari. Apalagi istri tahu suami
bekerja di area yang bisa dikatakan rawan penculikan dan
pembunuhan. Mungkin, apa yang dirasakan Mariane juga dirasakan
istri-istri yang ada di dunia.
Mitos
Malam itu, Daniel memang tidak pulang. Selain ia juga tidak
pernah memberi kabar, karena telepon genggamnya sama sekali
tidak aktif sampai ia tewas mengenaskan di ujung LCD handycam.
Dicurigai malam itu Daniel sudah dibawa oknum militan ke tempat
eksekusi, yang tidak pernah diketahui keberadaannya.
K. Scene 8
Adegan selanjutnya Randall Bennet-bagian diplomatik keamanan di konsulat
Amerika-mengirim intelejen militer Pakistan dan FBI ke rumah Mariane untuk
menyelidiki kasus penculikan Daniel.
Visual Dialog / Suara Type of Shot
(Tidak ada dialog)
Medium Long Shot: gambar
diambil setengah badan dari
(Tidak ada dialog)
jarak yang jauh, namun objek
tetap terlihat jelas beserta
latar belakangnya.
Long Shot: Gambar diambil
dari jarak jauh, sehingga
objek dan latar belakangnya
nampak jelas.
Denotasi
Intelejen militer Pakistan yang dikepalai oleh Javed Habib
bekerja sama dengan FBI yang dikepalai oleh Maureen Platt
menyelidiki kasus penculikan Daniel di rumah kediaman Mariane
Pearl’s. Mereka datang atas permintaan Randall Bennet-Divisi
Diplomatik Keamanan Konsulat Amerika.
Konotasi
Bekerja sama antar kedua belah pihak sangat diperlukan. Selain
memudahkan pencarian juga meringankan beban yang diemban. Di
film ini terlihat antar kedua intelejen saling bekerja sama dan
memiliki tugasnya masing-masing. Intelejen Pakistan digambarkan
bekerja dengan otot, sedangkan FBI bekerja dengan otak.
Mitos
Kepolisian rahasia negara atau yang lebih dikenal “intel” atau
intelejen hampir ada di setiap negara. Sebutlah Indonesia, BIN
(Badan Intelejen Negara), Israel, Mossad, Amerika, FBI (Federal
Bureau of Investigation), CIA (Central Intelligence Agency),
Interpool dan lain-lain. Mereka memiliki tugas yang sama
menyelidiki kasus yang berat. Seperti membongkar pengedar obat-
obatan, penjualan manusia, terorisme, pembunuhan berantai,
penculikan dan kriminal berat lainnya.
L. Scene 9
Scene selanjutnya, di tengah Intelejen Pakistan sibuk mencari sumber dalang
penculikan Daniel di sudut kota besar Karachi, FBI menemukan foto Daniel yang
terancam di situs (website) kelompok garis keras.
Visual Dialog / Suara Type of Shot
(Tidak ada dialog)
(Tidak ada dialog)
(Tidak ada dialog)
(Tidak ada dialog)
Medium Long Shot: gambar
diambil setengah badan dari
jarak yang jauh, namun objek
tetap terlihat jelas beserta
latar belakangnya.
Knee Shot: Pengambilan
gambar objek dari kepala
hingga lutut.
Full Shot: Pengambilan
gambar objek secara penuh
dari kepala hingga kaki.
Knee Shot: Pengambilan
gambar objek dari kepala
hingga lutut.
Denotasi
Mariane beserta Javed Habib melihat foto Daniel yang
ditemukan FBI di salah satu situs (website) kelompok militan garis
keras. Dalam foto itu Daniel terlihat mengangkat sebuah surat kabar,
kemudian pada foto selanjutnya ia sedang memegang kepala disertai
tangan yang dirantai.Dan, pada foto terakhir sisi kepalanya ditodong
pistol oleh salah satu oknum.
Konotasi
Jika melihat foto Daniel yang ditemukan FBI di internet, secara
tidak langsung foto itu memiliki pesan berupa ancaman, baik untuk
keluarganya, sahabatnya atau negaranya. Todongan pistol yang di
arahkan ke kepala Daniel merupakan suatu tekanan oknum kepada
Negara Daniel untuk menerima tuntutan mereka.
Mitos
Foto Daniel yang ada di dalam film sengaja dibuat persis oleh
sutradara dengan peristiwa aslinya. Foto-foto yang ditemukan FBI di
internet bukan rekayasa melainkan benar-benar Daniel sebelum
dirinya di eksekusi mati. Tentu foto-foto tersebut membuat Mariane
bersedih.
M. Scene 10
Pada bagian ini, intelejen Pakistan menemukan sheikh Gilani, dan
mengundangnya datang ke kantor kepolisian untuk diminta keterangan.
Visual Dialog / Suara Type of Shot
Javed Habib: Aku tidak bertanya
tentang keberadaannya. Aku hanya
ingin…
Sheikh Gilani: Aku tidak tahu, aku
sudah katakan padamu, aku tidak
pernah mendengar tentang pria ini
sebelumya.
Medium Long Shot: gambar
diambil setengah badan dari
jarak yang jauh, namun objek
tetap terlihat jelas beserta
latar belakangnya.
Medium Close Up: Dari jarak
yang dekat objek diambil
hanya separuh badan.
Denotasi
Javed Habib, kepala intelejen militer Pakistan menemui sheikh
Gilani dan menanyakan seputar Daniel kepadanya. Namun, sheikh
sendiri ternyata tidak tahu dan tidak pernah mengenal Daniel.
Konotasi
Dari kisah ini bisa dikatakan bahwa sheikh Gilani tidak pernah
menemui Daniel, dan Daniel tidak pernah menemui sheikh Gilani.
Di sini sheikh Gilani hanya dijadikan sebagai alat atau topeng oleh
oknum agar Daniel datang dan tertangkap.
Mitos Faktanya sheikh Gilani hanya dijadikan batu loncatan oleh
oknum untuk menculik Daniel. Inilah yang membuat beliau menjadi
bulan-bulanan media massa dan fitnahan agensi. Namun, hal itu
cepat diselesaikan oleh intelejen Pakistan dengan menjelaskan
kepada khalayak ramai bahwa, sheikh Gilani tidak ada hubungannya
dengan penculikan dan pembunuhan Daniel.
N. Scene 11
Selanjutnya intelejen Pakistan berhasil menangkap otak di balik penculikan
Daniel Pearl. Ia bernama Omar.
Visual Dialog / Suara Type of Shot
(Tidak ada dialog)
Kuasa Hukum: Apakah anda
mengetahui di mana Daniel Pearl
berada?
Omar: Tidak, aku tidak tahu.
Kuasa Hukum: Apakah anda tahu
kalau Daniel Pearl masih hidup?
Omar: Sejauh yang saya ketahui, ia
tidak dalam keadaan hidup.
Medium Long Shot: gambar
diambil setengah badan dari
jarak yang jauh, namun objek
tetap terlihat jelas beserta
latar belakangnya.
Medium Close Up: Dari jarak
yang dekat objek diambil
hanya separuh badan.
Long Shot: Gambar diambil
dari jarak jauh, sehingga
objek dan latar belakangnya
nampak jelas.
Medium Close Up: Dari jarak
yang dekat objek diambil
hanya separuh badan.
Medium Long Shot: gambar
diambil setengah badan dari
jarak yang jauh, namun objek
tetap terlihat jelas beserta
latar belakangnya.
Denotasi
Kepala Omar dibungkus kain oleh polisi ketika ia dibawa ke
meja hijau Pakistan. Di atas mimbar pengadilan terdakwa diajukan
beberapa pertanyaan oleh kuasa hukum Mariane mengenai Daniel.
Konotasi
Di pengadilan seorang terdakwa biasanya akan diajukan
pertanyaan oleh hakim atau lainnya tentang perbuatan yang ia
lakukan. Jika ada saksi mata maka saksi-saksi tersebut akan
diturunkan dan perlu memberi keterangan. Di pengadilan pula
ditentukannya hukuman dan masa hukuman yang berlaku untuk
terdakwa.
Mitos
Omar atau yang memiliki nama lengkap Omar Saeed Sheikh
adalah salah satu pembantu Osama bin Laden yang terkenal. Dalam
organisasi, tugasnya menculik dan mengalirkan uang untuk al-Qaeda
dan organisasi jihad lainnya di seluruh dunia.
O. Scene 12
Adegan berikutnya Mariane menangis histeris, menjerit-jerit, setelah
mengetahui kabar kematian suaminya, Daniel Pearl, melalui teman-teman konsulat dan
kepolisian.
Visual Dialog / Suara Type of Shot
Big Close Up: Bagian kepala
(Tidak ada dialog)
(Tidak ada dialog)
(Tidak ada dialog)
objek nampak jelas dan tidak
menutupi panorama di
belakangnya.
Medium Close Up: Dari jarak
yang dekat objek diambil
hanya separuh badan.
Knee Shot: Pengambilan
gambar objek dari kepala
hingga lutut.
Denotasi
Mariane menangis sejadi-jadinya, menjerit-jerit, beberapa kali
memegang kepala bagian depan dan tengkuk kepalanya.
Konotasi
Gambaran seorang istri yang terpukul hatinya ketika mendengar
sang suami meninggal. Apalagi mendengar kabar kalau suami
meninggal secara mengenaskan. Secara naluri wanita pasti rasa
kesedihan itu sulit untuk dibendung. Dan, sulit untuk diterima dalam
kenyataan.
Mitos
Ada seseorang yang mengaku dirinya wartawan memberikan
bungkusan kepada Yohanes (Petugas konsulat Amerika). Di
dalamya terdapat sebuah handycam. Setelah dinyalakan terekam
Michael Winterbottom (director),”…From my point of view, having read Mariane’s
book, we were going to keep the film very simple and try and focus on Mariane, like you
say, and the people in the house, which is what the book does. We really sort of
borrowed the shape and structure of how she tells the story in the book.” […Inti dari
pandangan saya, setelah membaca buku Mariane, kita akan membuat film sesederhana
mungkin dan mencoba untuk tetap fokus kepada Mariane, seperti yang anda katakan,
orang-orang di rumah katakan, dan yang buku ini katakan. Kami benar-benar mengikuti
bentuk dan susunannya sebagaimana ia mengisahkan ceritanya dalam buku]58
P. Scene 13
Pada adegan terakhir sutradara menutupnya dengan gaya dokumenter,
selayaknya adegan pertama, terdapat narator yang melapisi gambar. Jadi, seolah-olah
film ini adalah sebuah kenangan yang diceritakan oleh Mariane.
Visual Dialog / Suara Type of Shot
Narrator (Mariane Pearl’s):
Mereka menemukan Daniel telah
terpotong 10 bagian. Tidak ada
yang memberitahu saya tentang ini.
Saya mendapatkannya dari sebuah
email, yang secara kebetulan dari
email lain mengirim kepada saya.
Saya memutuskan, setelah Adam
Big Close Up: Bagian kepala
objek nampak jelas dan tidak
menutupi panorama di
belakangnya.
Medium Close Up: Dari jarak
58 “ Michael ” diakses pada tanggal 4 Juni 2010 pukul 13:00 WIB dari http:
//indielondon.co.uk
Daniel Pearl yang mengakui ayahnya Yahudi, dirinya Yahudi,
beberapa pernyataan kepada Negara Amerika dan pengeksekusian
matinya. Kepala Daniel disembelih sampai putus dan kepalanya
diangkat oleh salah satu oknum, kemudian ditunjukkan ke mata
kamera.
lahir, saya harus menerima semua
hal yang terjadi pada Daniel.
(Tidak ada dialog)
(Tidak ada dialog)
yang dekat objek diambil
hanya separuh badan.
Big Close Up: Bagian kepala
objek nampak jelas dan tidak
menutupi panorama di
belakangnya.
Big Close Up: Bagian kepala
objek nampak jelas dan tidak
menutupi panorama di
belakangnya.
Long Shot: Gambar diambil
dari jarak jauh, sehingga
objek dan latar belakangnya
nampak jelas.
Denotasi
Mariane seperti memikirkan dan membayangkan
sesuatu.Kemudian pada scene berikutnya, ia merasa bahagia karena
Adam telah lahir. Final adegannya, ia dan Adam berjalan bersama di
sisi jalan perkotaan.
Penggambaran secara jujur kehidupan seorang istri yang mesti
hidup sendiri, menanggung beban sendiri, memikul tanggung jawab
sendiri, sejak kematian suami tercintanya. Namun, hal itu terlihat
Konotasi
memiliki pesan baginya. Pesan dari Tuhan berupa ketabahan atau
jiwa yang besar. A Mighty Heart.
Mitos
Setelah mendengar suaminya tewas mengenaskan, sedikitpun
Mariane tidak pernah melihat kronologis kematian suaminya itu.
Sampai ada kabar ditemukannya tubuh Daniel yang sudah terpotong
menjadi 10 bagian. Itupun masih menjadi kabar menggantung pada
diri Mariane. Sebab, tidak ada satu pun kepolisian mengabarkan
perihal tersebut. Akhirnya Mariane meninggalkan Pakistan selama
Adam masih di dalam rahim.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mengamati dan menganalisis bab sebelumnya, penulis dapat
menyimpulkan bahwa:
Makna denotasi dari sebuah film yang diangkat berdasarkan kisah nyata ini
berawal dari kehidupan Daniel dan Mariane Pearl’s yang dramatis di Pakistan.
Kemudian, penculikan dan pembunuhan tragis Daniel yang membuat Mariane berjiwa
besar ( A Mighty Heart).
Sedangkan, makna konotasi dari film yang diproduksi Revolution Studio ini
Sutradara sengaja mengangkat kinerja jurnalis yang rumit dan perasaan orang-orang
yang ditinggal pergi (mati) oleh mereka. Selain itu juga merupakan dedikasi dan
penghargaan bagi para jurnalis yang tewas dalam mengemban tugas mereka.
Dan, mitos dari film ini memang diformulasikan dari kisah mendiang Daniel
Pearl’s, seorang jurnalis yang hilang diculik dan dibunuh di akhir bulan Januari 2002.
Daniel, diculik saat ingin mewawancarai salah satu syeikh yang diduga memiliki
hubungan kuat dengan al-Qaeda di Karachi. Menurut CPJ (Committe to Protect
Journalist) penculikan dan pembunuhan tragis bukan hanya menimpa Daniel Pearls, tapi
ada 7 Daniel lainnya yang tewas mengenaskan seperti itu di Pakistan.
B. Saran
Saran yang ingin disampaikan penulis untuk film A Mighty Heart ialah:
1. Ada yang penulis sayangkan dalam film ini, di beberapa scene saat intelejen
Pakistan meringkus salah seorang penghubung al-Qaeda di sebuah rumah
bertingkat sutradara seperti sengaja tidak memberi background sound. Padahal
dalam adegan itu menurut penulis sangat relevan untuk diberi background sound,
apalagi ada kejar-mengejar dan baku tembaknya. Jadi, walaupun sutradara sudah
membuat adegan itu se-dramatis mungkin tetap saja terlihat sepi dan menjadikan
adegan itu biasa.
2. Film ini sudah baik berusaha mengikuti alur cerita aslinya, Daniel dan Mariane
Pearl’s, namun sayang adegan dramatis penculikan, peng-eksekusian, dan
pembunuhan Daniel tidak dibuat dalam film ini. Entah kenapa sang sutradara
hanya melihat porsi besar Mariane sebagai seorang istri yang sabar dan tabah (a
mighty heart), kemudian sebagian kecilnya penggambaran kenangan bersama
Daniel, detik-detik ditangkapnya dan kerja sama antar agensi untuk mendapatkan
Daniel kembali. Alangkah lebih baiknya jika sutradara membuat porsi besar juga
untuk Daniel, sehingga sempurnalah film itu diberi judul A Mighty Heart.
3. Jika memang film ini penggambaran seorang istri yang berjiwa besar, mengapa
sutradara membuat Mariane dalam film berteriak histeris saat mengetahui Daniel
terbunuh mengenaskan. Penulis kira adegan histeris itu menjadikan citra Mariane
yang sabar, tabah dan berjiwa besar kandas. Penulis rasa Mariane cukup
meneteskan air mata untuk menggambarkan kesedihannya, sehingga tidak
berlebihan dan citra A Mighty Heart tetap ada.
C. DAFTAR PUSTAKA
D. Arikunto, Suharsimi. 1989. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktik.
E. Jakarta: PT Bina Aksara.
F.
G. Birowo, Antonius. 2004. Metode Penelitian Komunikasi.
Yogyakarta: Gintanyali.
H.
I. Gumira Ajidarma, Seno. 2005. Ketika Jurnalisme Dibungkam
sastra harus
J. bicara. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.
K.
L. Imanjaya, Ekky. 2004. Why Not: Remaja Doyan Nonton.
Bandung:: PT Mizan
M. Bunaya Kreativa.
N.
O. J. Waluyo, Herman. 2003. Drama: Teori dan Pengajarannya.
Yogyakarta: PT.
P. Hanindita.
Q.
R. Konishi, Seiichi & Nakamura, keiji. 2002. Penemuan Film.
Jakarta: Elex Media
S. Komputindo.
T.
U. M. Echols, John & Shadily Hassan. 2000. Kamus Inggris-
Indonesia. Jakarta: PT
V. Gramedia.
W. X. Morrisan. 2005. Media Penyiaran: Strategi Mengelola Radio
dan Televisi. Y. Tangerang: Ramdina Prakarsa.
Z.
Å. Moeleng, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: Rosda.
Ä.
CC. Natasukarya, Didin. 2006. Mencari Media yang Bebas dan
Bertanggung Jawab.
DD. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.
EE. CC. Pangaribuan, Tigor. 1996. Kamus Populer Lengkap.
Bandung: PT Pustaka Setia.
DD.
HH. Potter, Deborah. 2006. Buku Pegangan Jurnalisme
Independen. Jakarta: Kedutaan
II. Amerika Serikat.
JJ.
KK. Prayitno, Budi. 2004. Pers Tak Terbelenggu. Jakarta:
Departemen Luar Negeri
II. A.S.
JJ.
KK. Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar
untuk Analisis Wacana,
LL. Analisis Semiotika, Analisis Framing. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
MM.
NN. Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
OO.
SS. Tebba, Sudirman. 2005. Jurnalistik Baru . Ciputat: Kalam
Indonesia.
TT. UU.
VV. Himawan, Charly. One of the Sexiest Man Alive Was Born.
Majalah Cinemags,
WW. edisi 102, 2008. Bandung: PT Megindo Tunggal Sejahtera
XX.
VV. Siahan, Ricky. Blood Diamond. Majalah Rolling Stone,
edisi 27, 2007. Jakarta:
WW. PT Indonesia Printer.
XX.
BBB. Takdir, Muhammad. Snatch. Majalah Cinemags, edisi 115,
2009. Bandung: PT
CCC. Megindo Tunggal Sejahtera.
ÅÅ.
ÄÄ.
FFF. “Actor’s” diakses pada tanggal 21 Februari 2010 pukul
14:30 WIB dari
AAA. http://www.starpulse.com.
BBB.
III. “Amightyheart” diakses pada tanggal 15 Februari 2010 pukul
14:30 WIB dari
JJJ. http:/ www.fandango.com.
EEE.
LLL. “Archie Panjabi” diakses pada tanggal 15 Februari 2010
pukul 14: 10 WIB dari
MMM. http://www.wikipedia.org.
HHH.
OOO. “Award” diakses pada tanggal 20 Juni 2010 pukul 21:00
WIB dari http:/
PPP. / www.imdb.com
QQQ. RRR. “Biografi” diakses pada tanggal 15 Februari 2010 pukul 13:45
WIB dari
SSS. http://www.wikipediaindonesia.com
TTT.
UUU. “Biografi” diakses pada tanggal 15 Februari 2010 pukul
13:40 WIB dari http://
VVV. www.en.wikipedia.org.
WWW.
XXX. “Brad Pitt” diakses pada tanggal 21 Februari 2010 pukul
14:30 WIB dari http://
YYY. www.en.wikipedia.org.
ZZZ.
AAAA. “Gary Wilmesi” diakses pada tanggal 21 Februari
2010 pukul 14:25 WIB dari
BBBB. http:// www.en.wikipedia.org
CCCC. DDDD. “Irfan Khan” diakses pada tanggal 21 Februari 2010
pukul 14:40 WIB dari http://
EEEE. www.wikipedia.org.
FFFF. GGGG. “John Orloff ” diakses pada tanggal 4 Juni 2010
pukul 11:00 WIB dari http://
HHHH. www.cinematical.com IIII.
JJJJ. “ Main” diakses pada tanggal 25 Januari 2010 pukul
23:00 WIB dari
KKKK. http://www.koma.or.id.
LLLL.
MMMM.
NNNN. “Michael” diakses pada tanggal 4 Juni 2010 pukul 13:00
WIB dari http:
OOOO. //www.indielondon.co.uk
PPPP.
QQQQ. “ Mitos & bahasa media mengenal semiotika roland
barthes” diakses pada tanggal
RRRR. 28 Desember 2009 pukul 10:30 WIB dari
http://www.averroes.or.id.
SSSS.
TTTT. UUUU. “ Movie” diakses pada tanggal 15 Frbruari 2010
pukul 13:10 WIB dari http://
VVVV. www.moviesyahoo.com
WWWW.
XXXX. “News Display” di akses pada tanggal 28 Desember
2009 pukul 11:00 WIB dari
YYYY. http://www.wikimu.com.
ZZZZ.
AAAAA. “Pengertian Film” di akses pada tanggal 28
Desember 2009 pukul 10:30 WIB dari
BBBBB. http://www.bahasafilmbarengblogspot.com.
CCCCC.
DDDDD. “Pengertian makna denotatif & konotatif “ diakses
pada tanggal 28 Desember
EEEEE. 2009 pukul 11:00 WIB dari http://organisasi.org.
FFFFF.
GGGGG. “People” diakses pada tanggal 15 Februari 2010
pukul 13:30 WIB dari http://
HHHHH. www.screenonline.org.uk IIIII.
JJJJJ. “Sejarah Film” di akses pada tanggal 28 Desember 2009
pukul 11:00 WIB dari
KKKKK. http://www.blogiehahablogspot.com.
LLLLL.
MMMMM. “ Showthread” diakses pada tanggal 21 Februari
2010 pukul 14:45 dari http://
NNNNN. www.kaskus.us.
OOOOO.
PPPPP. “Teknik Pengambilan Gambar” diakses pada
tanggal 25 Januari 2010 pukul 23:01
QQQQQ. WIB dari http://www.thinktep.wordpress.com
RRRRR.
SSSSS. “Wiki” diakses pada tanggal 21 Februari 2010 pukul 14: 15
dari http://
TTTTT. www.en.wikipedia.org UUUUU.
VVVVV. http://www.amightyheart.com diakses pada tanggal
15 Februari 2010 pukul 14:00
WWWWW. WIB
XXXXX.
YYYYY.
ZZZZZ.
AAAAAA. BBBBBB.
CCCCCC.
DDDDDD.
EEEEEE.
FFFFFF.
GGGGGG.
The Write Stuff: Interview with "A Mighty Heart" Screenwriter
John Orloff59
by Patrick Walsh Jan 23rd 2008 // 11:02AM
John Orloff got his break writing two episodes of the Emmy-winning
HBO mini-series Band of Brothers. His latest script is another true-life tale
-- Michael Winterbottom's A Mighty Heart, just out on DVD. Heart focuses
on Mariane Pearl (Angelina Jolie), a reporter whose husband Daniel, an
American journalist, was kidnapped and murdered in Pakistan. The script
just earned Orloff an Independent Spirit Award nomination for Best First
Screenplay. The awards will be held on February 23rd.
Cinematical: When did you know you wanted to be a writer?
John Orloff: I still don't know whether I want to be a writer! I went to
UCLA Film School, and I had a great writing teacher who thought I had a
particular skill in that department. So I kept taking that teacher for the
whole time I was at UCLA, kept on writing. At the end of it I was 22, it was
the late 80s, and people weren't really hiring young writers, so I started to
work in advertising. Spent about ten years miserably working in
commercials, until I met a woman -- who is now my wife -- who was
working in the business as a development exec at HBO. And she was
bringing home all these screenplays, and they were horrible! Just awful!
And these people had agents, and they were working. So I pitched my
wife a non-fiction movie that I had been thinking about writing for ten
years, with the incredibly commercial idea of a sixteenth century English
melodrama. It was actually about the Shakespeare authorship issue -- who
wrote the plays? I wrote the script and had the misfortune of writing it two
months before Shakespeare in Love came out. But I sent out this script,
trying to get an agent, and did finally get "hip-pocketed" by an agency.
Cinematical: What are the steps that led you to A Mighty Heart?
JO: Brad Pitt's company had bought the book for Warner Brothers, and
they were talking to a lot of writers trying to figure out who was going to
adapt it. I read the book, loved it, figured out what I thought was a great
way to tell the story, they liked what I had to say when I came into the
room, and here we are. The book was not really a whodunit, and the
movie has a bit more of that. I looked at it as a procedural of sorts. So it
was actually confusing to me reading the book and trying to figure out
59“ John Orloff ” diakses pada tanggal 4 Juni 2010 pukul 11:00 WIB dari http://
www.cinematical.com
what exactly happened. In terms of orchestrating it as a writer, who did
what and how they figured everything out -- that's not in the book. So I had
to first figure all that out, by interviewing several other people besides
Mariane. Then I opened things up, and followed the procedure, because I
found it fascinating. I wasn't interested in the "woman in jeopardy" story, I
was interested in examining the front lines of this new world we find
ourselves in. This was before the Iraq war, but I would argue even with the
Iraq war, the real front lines are on the streets of Pakistan. And they're not
on battlefields, they're in the cities. They're in Karachi and Islamabad and
Mecca and all these cities. That's where this is going to be figured out and
won or lost. And it's going to be won or lost with the help of non-radical
Muslims. So, from my perspective, I thought this was an incredible
opportunity to explore what's going on in our world right now. On top of
that, you have this incredible emotional journey. On top of that, you can
have a conversation about journalism -- its risks and rewards and
necessity. Three really interesting thematic, structural, emotional
things were going on in this story.
Cinematical: Since your major projects have been about not only real
people, but living people, do you feel a lot of pressure to get the
details exactly right, or are you more concerned with hitting the
general emotional beats and making the story relatable to a mass
audience?
JO: It's a mixture of both. That's the neverending question and issue when
you're adapting non-fiction material where the people are still alive. I've
now done that twice, with Band and A Mighty Heart. It's a real tightrope,
because you're not making a documentary, you're making a drama. And
real life is not always laid out in three acts. I find that the projects I say yes
to are the ones I know will be compelling and interesting without having to
make shit up. I am of the opinion that if it's interesting enough to film, then
it should be interesting enough to not have to make shit up on. I'm not that
interested in "inspired by a true event." So the question then becomes how
to make this compelling and true event interesting as a piece of cinema. I
spend months doing that, and there's no right answer. It's about aligning
the events in the right order, finding a way to distill some of the events...I
try to never distill characters. I don't make pastiche characters. Audiences
are pretty sophisticated, you don't need to make that kind of stuff up.
There's an unending quest to balance drama and reality.
Cinematical: When you're writing something as heavy as A Mighty
Heart, is it hard to get in that head space every day?
JO: Yeah, it's terribly hard. I had done it before with Band of Brothers,
when I wrote the concentration camp stuff, and it's really dark, really hard.
It puts you in a grumpy mood. When I had to write the last thirty pages of
Mighty Heart, it was weeks before I could come to it. I got past the
beginning of the third act and I just froze, and it was really because I just
didn't want to write it. I didn't want to make real in my script what I knew
was going to happen. I fall in love with my characters, all of them. And I
don't want bad things to happen to them. It was very hard to write the last
bit of that film. Really, really hard.
Cinematical: What do you consider a perfect screenplay?
JO: For me, the big question is: what is the best version of the movie
supposed to be, and does that film accomplish it? Like Raiders of the Lost
Ark, to me, is a perfect film. Is it a serious film? No. But it wanted to be the
1930s serial movie, and it is awesome. It is exactly what it wanted to be,
and it is the greatest version of that genre. For me, the greatest script I
ever read is Dalton Trumbo's script for Spartacus. It reads like a novel,
and it is so much better than the movie. It's unbelievably textured, and
nuanced, and sexy. I adore Stanley Kubrick, but this script is so much
better than that movie. It's endless, I mean it's 200 pages, I think. But it's
better than a book. Most scripts aren't written that fully, and technically,
and beautifully. I'm a 'less is more' kind of writer. I don't write like Dalton
Trumbo, maybe that's why I'm so enamored with his writing. 2001 is an
amazing script. That's probably the greatest non-verbal movie there is
that's not a silent film. Dr. Strangelove -- I almost weep at how great that
script is. I guess I'm on a big Kubrick kick right now! Jaws is a great script.
A Mighty Heart - Michael Winterbottom interview60
Interview by Rob Carnevale
PROLIFIC British director Michael Winterbottom talks about making A
Mighty Heart, the film about murdered Wall Street Journal reporter Daniel Pearl,
and working with Angelina Jolie.He also discusses some of the challenges of
filming on location in Pakistan and working with the film’s producer, Brad Pitt…
Did you have to think twice about taking on A Mighty Heart given that it
would be your second film in a row that was connected to the war on terror?
Michael Winterbottom: Hopefully, whenever you do a film you think about it a
little bit and we had just done Road To Guantanamo, so there was a sense that the
timing wasn’t great. We’d been due to do a film in Italy last summer, so originally
we said maybe we should do that first but they [Plan B and Paramount Vantage]
said they needed to do it now. So it was a little bit of a shame that we were doing
a film that was a little bit in the same area and set in the same time. But on the
other hand, I thought Mariane [Pearl]‘s book was very powerful and it was a
chance to try and match it.
But this is a very different film about the war on terror in that it almost
celebrates the triumph of the human spirit at the darkest of times?
Michael Winterbottom: Sure, yeah. From my point of view, having read
Mariane’s book, we were going to keep the film very simple and try and
focus on Mariane, like you say, and the people in the house, which is what the
book does. We really sort of borrowed the shape and structure of how she
tells the story in the book.
Angelina Jolie gives what is arguably the performance of her career. How did
you enjoy working with her?
Michael Winterbottom: I thought she was great. I first met her with Brad [Pitt]
and my own dad in Namibia when we were talking about whether we were going
to do it or not. I think there were lots of things that were very, very lucky from our
point of view because both Brad and Angelina knew Mariane and were really
personally committed to making it a story. Also, I think Mariane and Angelina are
very similar in lots of ways – Mariane’s views about journalism are quite similar
to Angelina’s views about her work with the UN and so on. So, I think the reason
why Angelina wanted to do it was because she connected to Mariane and felt she
recognised a lot of things in her.
60 “Michael” diakses pada tanggal 4 Juni 2010 pukul 13:00 WIB dari http:
//www.indielondon.co.uk
From the very beginning, when she started working on the film, she was great.
When we talked to other people in the house about Mariane, they said she was
clearly trying to make a group of very disparate people feel like part of a team and
part of a family [during Daniel’s missing days], and I think Angelina was aware of
that and wanted to do the same thing with the film. She was very inclusive of
everyone from the most junior member of the crew upwards. Everyone felt very
relaxed and very much part of the group as opposed to there being a star and then
everyone else.
Everyone is obviously going to be talking about Angelina’s performance. But
Dan Futterman is also superb as Daniel Pearl…?
Michael Winterbottom: Yeah, we went out and did some casting in America
with all the people that we thought were possible but once I’d met him I kind of
felt he should be the priority because he’s a good actor and he’s also physically
very similar to Daniel. That’s important because while you’re not necessarily
trying to impersonate someone you’re kind of looking for someone who has some
of the same characteristics. But Dan’s a writer himself and that was important
because some actors sometimes try to over compensate for being what a journalist
is like.
Dan is very bright and intelligent, I thought he wrote a great script for Capote, and
I liked the sense that he had another aspect to him besides being an actor and that
he could bring that to Daniel a little bit. I also think he was a little bit nervous
about coming to Pakistan because he was the only American in the end who did
come out. I’m sure he had some reservations about doing it but I think it
ultimately really helped because he overcame those worries. And because we
were taking him into some of the real locations, it helped his understanding of the
character and the situation as to what the experience might have really been like.
Did you get to meet Mariane yourself?
Michael Winterbottom: Yes. The whole thing was quite compressed with time.
So, I met her briefly in Paris and then we all went down and had about three days
in Namibia, which was the longest period we were together. After that, she gave
instructions to all the other people so I went off to Pakistan and then America
meeting all the people that were in the house with her. As soon as we got the
shape of the script down I went back to Paris to talk it through with her and after
that we were off filming. So, we didn’t spend a huge amount of time together but
she was always very open and very supportive if we needed help.
And yet at the same time, from the very beginning she was very hands off in terms
of content. She never said anything like: “You must change this.” Or: “You can’t
do that.” She very much felt that we should make the film and she’d help but she
didn’t want to be involved.
Has she seen the film?
Michael Winterbottom: Yes. We showed it to her before we took it to Cannes
and she was very positive about it in the sense that you could be about that sort of
experience. I’m sure the whole thing was difficult for her but she chose to write
the book and obviously felt it was important to tell her version of the story. At the
same time, every time you have to revisit something like that it’s not a very
pleasant experience.
How easy was it to gain access to some of the real locations you used?
Michael Winterbottom: Most of the exterior stuff we tried to shoot in the
places where it happened, such as the place where Daniel was kidnapped –
even places where some people were arrested. But because of Mariane’s
introductions, I met all the other people that were there, such as Captain [the
police investigator played by Irfan Khan], who were very co-operative. It meant
we had easy access to the locations in order to find out where things happened and
to make sure we got the story accurate.
But given that it’s quite a problematic story in a lot of ways for Pakistan I wasn’t
sure how much help we’d get and in the end we had a lot of co-operation and a lot
of problems. The intelligence agency was basically quite hostile to the project and
made things difficult, whereas people like the police and the interior ministry were
supportive
What were some of the biggest problems you faced?
Michael Winterbottom: From the beginning the intelligence agencies were
following us the whole time and they would hassle the crew a little bit. We also
weren’t always sure what was going on. When we started filming we thought we
had most of the permissions from Islamabad but we never had exactly the right
document. We were all very open about it and everyone knew what we were
trying to do [with the movie] but at the same time… we started filming thinking
we were OK and the police in Karachi were helping us but then after about two
days they stopped helping us.
Our local crew especially began to get more hassle from the intelligence agency
people who kept stopping them and making them feel uncomfortable. They would
also always be there filming us when we were filming. When they eventually
arrested some of the people we were working with we said: “OK, we’re going to
leave the country, we’re going to complain about it all and we’re going to kick up
as much fuss as we can because this film can’t work here because of your
attitude.” They then backed off a bit and in the end the Culture Ministry was
trying to encourage us to come back and make more films.
I think it’s like any country, though. Pakistan is not a unified country where
everyone feels the same – we had people who were genuinely very supportive and
people who were very involved in the investigation who were very proud of the
work they did and therefore wanted the film to be made. But at the same time we
had other people that felt it reflected badly on Pakistan. We were lucky in the end
that we were able to shoot pretty much everything we wanted to shoot.