analisis sanksi pasal 8 uu kup no. 16 tahun 2009
DESCRIPTION
KUPTRANSCRIPT
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
Seminar Pajak
ANALISIS SANKSI PASAL 8 UU KUP No. 16 Tahun 2009
A. PENDAHULUAN
Sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem self assesment, yaitu sistem pemungutan
pajak yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak (WP) untuk
menghitung/memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya
terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan penerapan sistem self
assesment ini, bukan tidak mungkin jika seorang WP melakukan kekeliruan dalam menghitung
jumlah pajak terutang yang harus dibayar di dalam SPT yang dilaporkannya.
Menyadari hal tersebut, Direktorat Jenderal Pajak juga berupaya bersikap bijak dengan
memberi kesempatan kepada WP untuk melakukan pembetulan terhadap SPT yang telah
dilaporkannya ke kantor pajak. Hal ini diakomodasi melalui Pasal 8 UU KUP, pasal ini berbicara
tentang hak WP untuk melakukan pembetulan terhadap Surat SPT yang telah dilaporkannya ke
kantor pajak. Berikut pasal 8 UU KUP:
Pasal 8
(1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal
Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
(1a) Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan
paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang
mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar,
dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal
pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) buian.
(2a) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan
utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar
2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo
pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
(satu) bulan.
(3) Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan
mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan
penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran
perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang
sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus
lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
(4) Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur
Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran
sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian
Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat
mengakibatkan:
a. pajak-pajak yang masin harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
b. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
c. Jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
d. jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil dan proses pemeriksaan tetap
dilanjutkan.
(5) Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran
pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) beserta sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang
dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.
(6) …….
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Jika pasal 8 tersebut dicermati secara seksama, terdapat beberapa ketentuan yang seolah
dapat menyurutkan Wajib Pajak untuk berlaku benar dan bijak, hal ini dikarenakan pengenaan sanksi
yang tidak menunjukkan keadilan. Berikut beberapa permasalahan pada pasal 8 UU KUP:
1. Ketidakadilan atas sanksi yang diberikan terhadap WP yang dengan sendirinya beritikad baik
melakukan pembetulan SPT dengan WP yang tidak melakukan pembetulan (diperiksa).
Berdasarkan Pasal 8 angka 2 dan 2a, jika pembetulan SPT dalam pasal 8 ayat (1)
mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar (terdapat kekurangan pembayaran pajak),
maka WP dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per-bulan atas
jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT berakhir sampai
dengan tanggal pembayaran. Artinya, besarnya sanksi administrasi bunga juga tidak dibatasi
alias bisa berbulan-bulan (hingga lebih dari 48% atau 24 bulan) yang dihitung sejak saat
penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran saat pembetulan dilakukan.
Hal ini berbeda dengan Pasal 13 ayat (2) yang menjelaskan bahwa apabila berdasarkan hasil
pemeriksaan atau keterangan lain diketahui terdapat kekurangan pembayaran pajak, maka
WP dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama
24 (dua puluh empat) bulan) alias 48% saja.
Tentu tidak adil rasanya jika WP yang membetulkan sendiri SPT nya dikenakan sanksi bunga
yang lebih besar daripada WP yang sengaja melakukan kesalahan kemudian terungkap setelah
diperiksa.
2. Perbedaan sanksi pasal 13A, pasal 38 dan pasal 8 ayat (3)
Pada pasal 13A, sanksi atas penyampaian informasi yang tidak benar/lengkap dalam SPT
untuk pertama kali adalah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus
persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
Pada Pasal 38, sanksi atas penyampaian informasi yang tidak benar/lengkap dalam SPT
setelah yang pertama kali (kedua dst) adalah denda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga)
bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
Pada pasal 8 ayat 3, terkait adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri
mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan
kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi
administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak
yang kurang dibayar.
Pada pasal 8 ayat 3 UU KUP Tahun 2000, sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 (dua)
kali jumlah pajak yang kurang dibayar.
Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan yang jelas pada sanksi pasal 8
ayat (3) yang turun 50% yaitu dari 200% di UU No. 16 Tahun 2000 menjadi 150% di UU No. 28
Tahun 2007.
Dari penjelasan diatas juga terlihat bahwa terdapat keterkaitan kejadian pada pasal 13A, Pasal
38 dan Pasal 8 ayat 3. Namun sanksi yang diberikan tidak menunjukkan keadilan sesuai
tingkatan kejadian tersebut, dimana sanksi pasal 38 bisa lebih rendah dibanding pasal 13,
padahal kejadian pada pasal 38 merupakan kejadian yang lebih tinggi, sehingga seharusnya
sanksinya lebih berat.
Kejadian pada pasal 8 ayat 3 juga merupakan lanjutan kejadian dari pasal 38, namun pada
pasal 8 ayat 3 ini terdapat itikad baik dari WP untuk mengungkap ketidakbenaran. Secara logis,
atas itikad baik ini memang sebaiknya diberikan reward berupa sanksi yang lebih rendah yakni
150% dibanding denda paling banyak 2 (dua) kali, akan tetapi terdapat kemungkinan, sanksi ini
tetap lebih besar dibanding denda paling sedikit 1 (satu kali). Sehingga ada kemungkinan
bahwa WP tetap tidak memilih opsi untuk mengungkap ketidak benaran, karena ada
kemungkinan menerima sanksi yang lebih kecil berdasarkan pasal 38.
3. Terminologi Pembetulan dan Pengungkapan Ketidakbenaran.
Pada pasal 8 ini terdapat dua istilah yang secara logika dapat dianggap satu paket, namun
sanksinya berbeda, yaitu pembetulan (ayat 1 sd 2a) dan pengungkapan ketidakbenaran (ayat 3
sd 5). Bukankah mengungkapkan ketidakbenaran dalam laporan tersendiri, pada hakekatnya
adalah pembetulan. Jika dua hal tersebut diperlakukan sama, kenapa sanksinya berbeda?
Pembetulan yang menyebabkan terdapat pajak kurang dibayar dikenai sanksi administrasi
bunga sedangkan pengungkapan ketidakbenaran dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan.
REKOMENDASI
1. Revisi sanksi pada Pasal 8.
Untuk memberikan keadilan kepada WP, pemerintah seharusnya mampu bersikap bijak dan
memberikan sanksi yang lebih ringan kepada WP yang beritikad baik dalam melaksanakan
kewajibannya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara merevisi aturan sanksi pada pasal 8 diatas
agar lebih adil, terutama pada Pasal 8 angka 2 dan 2a agar tidak lebih tinggi dari sanksi pasal
13 ayat (2).
2. Menyesuaikan sanksi sesuai tahapan kejadian dan reward atau punishment atas itikad baik
WP. Sanksi yang lebih besar seharusnya diberikan kepada kejadian ditahapan yang lebih tinggi.
Reward juga harus diberikan kepada WP yang telah membantu pekerjaan fiskus dan
sebaliknya.
Pada contoh pasal 13A, pasal 38 dan pasal 8 ayat 3, seharusnya sanksi pasal 38 lebih besar dari
pasal 13A. Dan sanksi pasal 8 ayat 3 lebih kecil (karena ada reward atas itikad baik WP) dari
pasal 38. Sehingga, sebaiknya denda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang dibayar pada pasal 38 dihapuskan.
3. Menggunakan terminologi yang seragam.
Pasal 8 merupakan pasal yang mengatur tentang hak WP dalam melakukan pembetulan SPT,
namun didalam Pasal tersebut juga terdapat istilah “pengungkapan ketidakbenaran” selain
”pembetulan” yang secara implisit memiliki makna yang sama.
Untuk menghindari multitafsir, sebaiknya digunakan istilah yang seragam atau pada paragraf
penjelasan diberikan keterangan sejelas-sejelasnya. Keseragaman dalam terminologi juga akan
menghilangkan ambigu dalam pelaksanaan undang-undang perpajakan.
4. Filosofi pasal demi pasal.
Selama ini sering kali terjadi multitafsir terhadap pasal demi pasal didalam undang-undang.
Untuk meningkatkan pemahaman berbagai pihak terhadap pasal demi pasal dan
menghilangkan multi tafsir, alangkah baiknya jika fiskus diberikan penjelasan mengenai filosofi
dibuatnya pasal tersebut.