analisis perbandingan fatwa majelis tarjih dan...

96
i ANALISIS PERBANDINGAN FATWA MAJELIS TARJIH DAN TAJDID PP MUHAMMADIYAH NOMOR: 8 TAHUN 2006 DAN HASIL MUKTAMAR TARJIH SIDOARJO TAHUN 1968 TENTANG BUNGA BANK SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H) Oleh: Iqbal Fadil Firdausi NIM: 1111043100014 KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H / 2017 M

Upload: others

Post on 24-Jan-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • i

    ANALISIS PERBANDINGAN FATWA MAJELIS TARJIH DAN

    TAJDID PP MUHAMMADIYAH NOMOR: 8 TAHUN 2006 DAN

    HASIL MUKTAMAR TARJIH SIDOARJO TAHUN 1968

    TENTANG BUNGA BANK

    SKRIPSI

    Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat

    Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)

    Oleh:

    Iqbal Fadil Firdausi

    NIM: 1111043100014

    KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH

    PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

    UIN SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1438 H / 2017 M

  • v

    ABSTRAK

    Iqbal Fadil Firdausi (1111043100014), Analisis Perbandingan Fatwa Majelis

    Tarjih Dan Tajdid PP Muhammadiyah Nomor: 8 Tahun 2006 Dan Hasil

    Muktamar Tarjih Sidoarjo 1968 Tentang Bunga Bank. Konsentrasi

    Perbandingan Madzhab Fiqih Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam skripsi ini adalah, untuk

    mengetahui lebih jelas tentang metode fatwa Muhammadiyah dan untuk mengetahui

    isi fatwa dalam Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Nomor. 8 Tahun 2006 dan

    hasil Muktamar Tarjih Sidoarjo Tahun 1968 yang berisikan tentang bunga bank, serta

    untuk mengetahui faktor penyebab yang menimbulkan perubahan hukum terkait

    Fatwa Muhammadiyah Nomor: 8 Tahun 2006 dan hasil Muktamar Sidoarjo1968..

    Metode penetapan fatwa Muhammadiyah adalah bersumber dari Al-Qur’an

    dan As-Sunnah As-Shohihah, kemudian memakai ijtihad dan istinbath dari nash yang

    ada melalui persamaan illat sebagai tambahan dalam menetapkan fatwa. Dalam Fatwa

    Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Nomor: 8 Tahun 2006 memutuskan bahwa

    bunga bank itu haram dan dalam muktamar Sidoarjo menjelaskan bahwa bank yang

    dikelola oleh Pemerintah itu musytabihat sedangkan yang dikelola swasta itu haram.

    Perbedaan antara Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah No. 8 Tahun 2006 dan

    Muktamar Sidoarjo 1968 pada dasarnya bank swasta adalah milik individu atau

    kelompok cenderung melakukan untuk memperkaya individu dan jika dibandingkan

    dengan bank pemerintah yang dikelola oleh Negara biasanya akan berbalik lagi

    kebutuhannya kepada masyarakat dalam bentuk infrastruktur, pmbangunan, dan lain-

    lain.

    Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif

    dengan sumber data primer dan sekunder. Kemudian dilengkapi dengan metode

    perbandingan hukum dengan pendekatan wawancara tokoh Muhammadiyah

    Kata kunci: Fatwa Muhammadiyah, Muktamar Sidoarjo, Bunga Bank

    Pembimbing: Dr. H. Fuad Thohari, M.Ag dan Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc, MA

    Daftar Pustaka: Tahun 1964 s.d Tahun 2015

  • vi

    بسم اهلل الرحمن الرحيمKATA PENGANTAR

    Segala puji bagi Allah Swt Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha

    Penyayang, yang telah memberikan banyak kenikmatan dan senantiasa

    memberikan hidayah-Nya sehingga dengan izin-Nya, skripsi dengan judul

    “Analisis Perbandingan Fatwa Majelis Tarjih Dan Tajdid PP

    Muhammadiyah Nomor: 8 Tahun 2006 Dan Hasil Muktamar Tarjih

    Sidoarjo 1968 Tentang Bunga Bank” dapat terselesaikan.

    Salawat teriring salam semoga selalu tercurahkan kepada bagindaNabi

    Muhammad Saw yang telah membawa umatnya dari zaman Jahiliyyah ke zaman

    Islamiyyah, kepada keluarga besar-Nya, Sahabat-Sahabat-Nya, Tabi’in, Tabi’it

    Tabi’in, dan kita sebagai umat-Nya semoga mendapatkan syafa’at-Nya kelak.

    Tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak tidaklah

    mungkin skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan

    terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing, membantu dan

    memotivasi penulis, terutama:

    1. Bapak. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

    Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Bapak. Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si., Ketua Program Studi

    Perbandingan Mazhab dan Hukum. Juga kepada Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc,

    MA, Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab.

  • vii

    3. Bapak. Dr. Drs. H. Mujar Ibnu Syarif sebagai Dosen Pembimbing Akademik

    yang selama ini telah memberikan nasehat serta bimbingannya kepada penulis

    selama masih dalam masa kuliah.

    4. Bapak. Dr. H. Fuad Thohari, M.Ag dan Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc, MA.

    Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak membantu meluangkan waktu,

    tenaga dan pikirannya di sela-sela kesibukan, serta memberikan bimbingan,

    pengarahan dan dorongan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan

    skripsi ini.

    5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali dengan

    ilmu yang berharga, nasihat-nasihat penyemangat yang memberikan motivasi,

    serta kesabaran dalam mendidik selama penulis melakukan studi.

    6. Bagian administrasi dan tata usaha yang telah banyak membantu memberikan

    kelancaran kepada penulis dalam proses penyelesaian prosedur

    kemahasiswaan, serta pemimpin dan segenap karyawan Perpustakaan Utama

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan khususnya Perpustakaan Fakultas

    Syariah dan Hukum, yang telah berkenan meminjamkan buku-buku

    penunjang, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

    7. Orang tua tercinta, Ayahanda Firdaus Al Amim dan Ibunda Susiyanti yang

    telah mengasuh, mendidik dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran

    dan pengertian. Serta tiada henti memberikan do’a dan dukungan baik secara

    moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

  • viii

    8. Adik-adikku tercinta Nazilatul Habibah Firdausi, Laily Qomariyah Firdausi,

    yang senantiasa mendoakan, menghibur dan memberikan semangat serta

    dukungan selama proses penulisan skripsi ini.

    9. Teman-teman PMF angkatan 2011 yang selalu membantu, mendukung dan

    menemani selama proses penulisan skripsi ini terutama Uje, Rusydi, Hamdi,

    Rizal, Qohar, Resty, Yusuf, Haikal, Azka, Abie, Taupik, Izzul dan yang

    lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, semoga Allah memberikan

    kemudahan dalam menyusuri kehidupan kita selanjutnya.

    10. Adik-adik kelas PMH, Eko, Bili, Dzkri, Uday yang telah menfasilitasi tempat

    dan buku-bukunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skipsi ini.

    11. Sahabat terdekat penulis, Beinart, Bhakti, Dwox, Garenk, Roni, Rengat yang

    selalu memberikan bantuan dan motivasinya.

    12. Semua pihak yang telah membantu, serta memberi nasehat, sehingga

    terselesaikannya penulisan skripsi ini dan semoga mereka diberikan ganjaran

    yang setimpal.

    Akhirnya penulis hanya bisa berdoa dan berharap semoga skripsi ini dapat

    bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Amin.

    Jakarta: 11 Januari 2017M

    13 Jumadil Awal 1438 H

    Penulis

  • ix

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

    HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... ii

    SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................. iii

    LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ iv

    ABSTRAK ................................................................................................... v

    KATA PENGANTAR ................................................................................. vi

    DAFTAR ISI ................................................................................................ ix

    BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1

    A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1

    B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................. 4

    1. Pembatasan Masalah ..................................................... 4

    2. Perumusan Masalah ....................................................... 4

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 5

    1. Tujuan Penelitian ........................................................... 5

    2. Manfaat Penelitian ......................................................... 5

    D. Metode Penelitian ................................................................ 6

    1. Jenis Penelitian ................................................................ 6

    2. Sumber Data .................................................................... 7

    3. Teknik Pengumpulan Data .............................................. 8

    4. Teknik Analisis Data ....................................................... 8

    5. Teknik Penulisan ............................................................. 9

  • x

    E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ................................... 9

    F. Sistematika Penulisan .......................................................... 12

    BAB II FATWA DALAM HUKUM ISLAM ..................................... 14

    A. Pengertian Fatwa ................................................................. 14

    B. Metode Penetapan Fatwa ..................................................... 18

    C. Kedudukan Fatwa ................................................................ 21

    BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG RIBA DAN BUNGA

    BANK ......................................................................................... 25

    A. Pengertian Riba dan Dasar Hukum Riba ............................. 25

    B. Macam-Macam Riba dan Jenis Barang Riba ....................... 32

    C. Pengertian Bunga Bank ........................................................ 34

    D. Macam-Macam Bunga Bank ............................................... 38

    E. Hubungan Riba dengan Bunga Bank ................................... 39

    BAB IV BUNGA BANK DALAM PANDANGAN MUHAMMADIYAH

    A. Metode Penetapan Fatwa Muhammadiyah ......................... 45

    B. Fatwa Muhammadiyah No. 8 Tahun 2006 Tentang ...........

    Bunga Bank ......................................................................... 51

    C. Hasil Muktamar Tarjih Sidoarjo Tahun 1968 Terkait ........

    Bunga Bank ......................................................................... 53

    D. Analisis Fatwa Muhammadiyah No. 8 Tahun 2006 ............

    dengan Hasil Muktamar Tarjih Sidoarjo 1968 .................... 57

  • xi

    BAB V PENUTUP .................................................................................. 62

    A. Kesimpulan .......................................................................... 62

    B. Saran .................................................................................... 63

    DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 65

    LAMPIRAN-LAMPIRAN ......................................................................... 70

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Uang adalah sesuatu yang diterima secara umum yang digunakan para pelaku

    ekonomi sebagai alat pembayaran dari transaksi ekonomi yang dilakukan seperti

    pembelian barang, jasa serta pembayaran hutang.1

    Berbicara tentang uang, tentu saja tidak akan terlepas dari lembaga keuangan

    khususnya bank yang merupakan pusat sirkulasi uang. Pada dasarnya lembaga

    keuangan khususnya bank merupakan sebuah perantara bagi pihak yang kelebihan

    dana dengan pihak yang kekurangan dana. Singkatnya Bank merupakan perantara

    kebutuhan keuangan masyarakat. Dari sini dapat kita lihat betapa eratnya hubungan/

    keterkaitan antara uang dengan bank dalam perekonomian masyarakat.

    Bank sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit

    dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang, tujuannya adalah

    mencari keuntungan. Komoditi dagangan utamanya adalah uang.2 Komoditi

    dagangan dalam bentuk uang tesebut akan dijual dengan harapan mendapatkan gain

    untuk keperluan membiayai kelangsungan hidup dan operasi bank. Karena itu dalam

    melaksanakan fungsinya, bank membeli (uang) dari masyarakat pemilik dana dengan

    suatu harga tertentu yang biasa disebut bunga kredit. Sebaliknya bank akan menjual

    1 Subagyo, dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (STIE: Yogyakarta), 2002, h. 4

    2 Husni Thoyar, Konsep Ta’abudi dan Ta’aqquli Perspektif Al-Syatibi dan Aplikasinya dalam

    Hukum Islam, (Jakarta : Uhamka Press),2004, h. 99

  • 2

    (uang) dalam bentuk pemberian pinjaman dengan suatu harga tertentu yang dikenal

    dengan bunga debet. Dengan demikian bunga bank itu, pada hakekatnya menyangkut

    dua pengertian yaitu suku bunga kredit berupa bunga yang dibayar oleh bank kepada

    pemilik dana, dan suku bunga debet berupa bunga yang ditetapkan oleh bank yang

    harus dibayar oleh pemakai dana atau peminjam bank.3

    Menurut UU RI No.10 Tahun 1998 tentang perbankan menjelaskan yang

    dimaksud bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam

    bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk

    kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat

    banyak. Dari pengertian bank tersebut maka dapat disimpulkan mengenai kegiatan

    suatu bank yaitu bank mengumpulkan uang dari masyarakat biasanya dalam bentuk

    tabungan, kemudian bank juga dapat menyalurkan dana yang telah dikumpulkan

    untuk digunakan sebagai pinjaman bagi mereka yang membutuhkan modal.

    Namun dalam operasionalnya, bank khususnya bank konvensional memiliki

    suatu sistem yang disebut bunga, yang dapat diartikan sebagai tanggungan pada

    pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan prosentase dari uang yang

    dipinjamkan atau bunga juga dapat disebut sejumlah uang yang dibayar atau

    dikalkulasi untuk penggunaan modal, jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan

    3 Husni Thoyar, Konsep Ta’abudi dan Ta’aqquli Perspektif Al-Syatibi dan Aplikasinya dalam

    Hukum Islam, h. 100

  • 3

    satu tingkat atau prosentase modal.4 Dengan sistem semacam ini, menimbulkan

    permasalahan tersendiri bagi bank konvensional.

    Dalam hal keharaman bunga, bank Majelis Ulama Indonesia telah

    menetapkan hukum mengenai bunga bank tersebut melalu Fatwa yang

    dikeluarkannya yaitu Fatwa MUI No. 1 tahun 2004 tentang bunga. Lalu pada

    pandangan Nahdlatul Ulama (NU) didalalam forum Bahsul Masailnya pada

    muktamar NU XII di Malang ada tiga hukum yang terbentuk, yang petama haram

    karena termasuk barang yang dipungut manfatnya, halal karena tidak ada syarat

    dalam waktu akad, sebab menurut para ahli hukum terkenal, bahwa adat yang berlaku

    itu tidak termasuk mejadi syarat, syubhat karena tidak tentu halal haramnya.5 Begitu

    pula salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia yaitu Muhammadiyah, juga

    mengeluarkan fatwa mengenai bunga yaitu Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid

    Pimpinan Pusat Muhamadiyah No.8 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa bunga

    bank yang berasal dari bank swasta maupun bank pemerintah adalah riba. Namun

    sebelumnya pada muktamar Muhammadiyah yang diadakan di Sidoarjo pada tanggal

    27-31 Juli 1968 telah menghasilkan fatwa terkait bunga bank yang menetapkan

    bahwa bunga bank yang dikelola oleh bank swasta adalah riba sedangkan bunga bank

    yang ada pada bank pemerintah adalah musytabihat.6 Dari dua fatwa tersebut terlihat

    4 Muhammad, Bank Syariah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan

    Ancaman,(Yogyakarta: Ekonisia), 2003, hal.28 5 Moh. Nashiruddin , “Perspektif NU tentang Bunga Bank”, Ummul Qura, Vol V, No. 1,

    (Maret 2015), h. 110 6 Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah, 1 Abad

    Muhammadiyah, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), h.245

  • 4

    perbedaan mengenai hukum bunga bank padahal dua fatwa tersebut dikeluarkan oleh

    satu organisasi yang sama yaitu Muhammadiyah.

    Melihat perbedaan kedua fatwa tersebut penulis tertarik untuk membahas hal-

    hal terkait perubahan hukum yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah melalui

    fatwanya tentang bunga bank. Untuk penelitian ini penulis memberi judul “Analisis

    Perbandingan Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Nomor: 8

    Tahun 2006 dan Hasil Muktamar Tarjih Sidoarjo Tahun 1968 tentang Bunga

    Bank”.

    B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

    a. Pembatasan Masalah

    Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka diperlukanlah

    sebuah batasan masalah yang menjadi fokus dalam pembahasan skripsi ini. Hal ini

    berguna untuk memudahkan dan mengefektifkan pembahasan. Dengan demikian,

    penulis membatasi permasalahan dalam penulisan skripsi ini seputar pembahasan

    yang termasuk dalam bidang fikih muamalah, yaitu mengenai bunga bank dan riba

    menurut hukum Islam, namun lebih dispesifikan kepada dua fatwa tentang bunga

    bank yang dikeluarkan oleh satu organisasi masyarakat Islam, yaitu muhammadiyah.

    Penelitian ini membahas suatu perbandingan antara satu fatwa tersebut dengan yang

    lainnya.

    b. Perumusan Masalah

    Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka penulis merumuskan

    permasalahan yaitu:

  • 5

    1. Bagaimanametode fatwa Muhammadiyah ?

    2. Bagaimana penjelasan fatwa Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Nomor

    8 dan hasil Muktamar Tarjih Sidoarjo Tahun 1968 tentang bunga Bank?

    3. Apakah faktor penyebab yang menimbulkan perubahan hukum khususnya

    terkait fatwa Muhammadiyah nomor: 8 tahun 2006 dan hasil Muktamar

    Muhammadiyah Sidoarjo tahun 1968?

    C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

    a. Tujuan penelitian

    Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

    1. Untuk mengetahui lebih jelas bagaimana penjelasan umum tentang metode

    fatwa Muhammadiyah

    2. Untuk mengetahui penjelasan tentang isi fatwa Majlis Tarjih dan Tajdid

    Muhammadiyah Nomer 8 Tahun 2006 dan Muktamar Tarjih Sidoarjo Tahun

    1968 tentang bunga bank

    3. Untuk mengetahui faktor penyebab yang menimbulkan perubahan hukum

    khususnya terkait Fatwa Muhammadiyah Nomor: 8 Tahun 2006 dan hasil

    Muktamar Muhammadiyah Sidoarjo Tahun 1968.

    b. Manfaat Penelitian

    Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu untuk memberikan manfaat dan

    kegunaan bagi pembacanya. Adapun manfaat yang dimaksud terbagi menjadi dua

    macam, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis;

  • 6

    1. Manfaat Teoritis

    Hasil penelitian ini diharapkan untuk menambah pengetahuan dan dapat

    dijadikan sebagai referensi tambahan dalam memahami hukum Islam di bidang

    muamalat umumnya, khususnya dalam permasalahan bunga bank.

    2. Manfaat Praktis

    Adapun manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah untuk

    memberikan pemahaman mengenai faktor penyebab yang menimbulkan perubahan

    hukum khususnya terkait Fatwa Muhammadiyah Nomor: 8 Tahun 2006 dan hasil

    Muktamar Muhammadiyah Sidoarjo Tahun 1968.

    D. Metode Penelitian

    Agar penelitian ini dapat terlaksana secara rasional dan terarah serta

    mendapatkan hasil yang maksimal, maka diperlukan metode atau cara yang

    sistematis. Dalam ilmu metode penelitian terdapat berbagai macam jenis penelitian

    yang dapat digunakan untuk melakukan sebuah penelitian. Demi tercapainya hasil

    yang bermanfaat, maka suatu penelitian haruslah jelas metode penelitiannya, mulai

    dari jenisnya, sumber-sumbernya dan teknik-teknik pengolahan datanya, seperti yang

    dijelaskan sebagai berikut:

    1. Jenis Penelitian

    Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris dengan

    menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif, yaitu dengan cara

    menguraikan dan mendeskripsikan hasil dari penelitian yang peneliti dapatkan

  • 7

    melalui penelitian yang dilakukan. Selain itu, penelitian ini bersifat terbatas yang

    berusaha mengungkapkan masalah dan keadaan sebagaimana adanya, sehingga

    hanya merupakan penyingkapan fakta.7

    Adapun corak penelitian yang dipakai adalah studi kepustakaan dan

    penelitian lapangan. Studi pustaka adalah suatu karangan ilmiah yang berisi pendapat

    berbagai pakar mengenai suatu masalah, yang kemudian ditelaah, dibandingkan, dan

    ditarik kesimpulannya.8 Dalam penelitian ini, peneliti akan menganalisa pendapat

    beberapa ulama. Penelitian lapangan adalah penelitian yang dilakukan dengan

    melakukan wawancara. Dalam penelitian ini, peneliti akan mewawancarai tokoh dari

    salah satu organisasi masyarakat terkemuka yaitu Muhammadiyah.

    2. Sumber Data

    a) Data Primer

    Yang menjadi bahan hukum primer dalam penelitian hukum ini adalah hasil

    dari fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah yang tercantum dalam Nomor

    8Tahun 2006 yang kemudian baru diresmikan melalui sidang pleno Musyawarah

    Nasional Tarjih ke-27 yang digelar diaula Biro Administrasi Umum Universitas

    Muhammadiyah Malang, Jawa Timur, pada hari Sabtu tanggal 3 April tahun 2010

    yang menetapkan bahwa bunga bank hukumnya adalah haram karena sama dengan

    riba. Dan kitab-kitab fikih yang berkaitan dengan pokok pembahasan penelitian dan

    7 Herman Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,

    1992), h. 10. 8 Haryanto A.G., Metode Penulisan dan Penyajian Karya Ilmiah, (Jakarta: Penerbit Buku

    Kedokteran, 2000), h. 78.

  • 8

    hasil wawancara yang dicatat dan direkam oleh peneliti dengan informan yang

    sedang dijadikan sampel dalam penelitian.

    b) Data sekunder

    Data sekunder adalah berbagai dokumen yang berkaitan dengan

    permasalahan dalam penelitian yang didapat dari bahan-bahan pustaka berupa buku,

    kitab-kitab Turats, artikel ilmiah, berita-berita di media masa, dan lainnya.9

    3. Teknik Pengumpulan Data

    Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian

    kepustakaan yaitu upaya pengidentifikasi secara sistematis dan melakukan analisis

    terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan tema,

    objek dan masalah penelitian yang akan dilakukan.10

    Selain itu, peneliti juga akan

    melakukan wawancara yakni proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian

    dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan

    menggunakan instrument pengumpulan data yang dinamakan interview guide

    (panduan wawancara).11

    4. Teknik Analisis Data

    9J.Moelang, MetodePenelitianKualitatif, cet. Ke-8 (Bandung:RemajaRosadaKarya, 1997) h.

    112-116 10

    Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,(Jakarta:Lembaga

    Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010) h. 17-18 11

    Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h. 234.

  • 9

    Teknik analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk

    yang lebih mudah dibaca dan diinterpensikan, atau mudah dipahami dan

    diinformasikan kepada orang lain.12

    Pada tahapan analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa

    sampai dapat menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk

    menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data tersebut

    dianalisis menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode

    menganalisis dan menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan suatu

    gambaran secara jelas sehingga menemukan jawaban yang diharapkan.

    5. Teknik Penulisan

    Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulisan mengacu pada buku

    “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

    Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”.

    E. Review (Kajian) Studi Terdahulu

    Berdasarkan penelusuran yang peneliti lakukan terhadap beberapa penelitian,

    peneliti menemukan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yang

    memiliki beberapa kesamaan. Meskipun penelitian sebelumnya yang peneliti

    temukan memiliki kesamaan dengan yang sedang peneliti lakukan, namun penelitian

    tersebut tetap memiliki beberapa perbedaan.

    Beberapa penelitian tersebut antara lain, sebagai berikut:

    12

    Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandung: Alfabeta, 2004) h.244

  • 10

    1. Skripsi karya Lady Nahdhiyatul Ummah, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam,

    jurusan muamalat, IAIN Walisongo Semarang, 2013, yang berjudul Analisis

    Hukum Islam terhadap Fatwa Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah No.8

    Tahun 2006 tentang bunga. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Majelis Tarjih

    dan Tajdid Muhammadiyah dalam mengeluarkan fatwa haram terhadap bunga

    bank menggunakan pertimbangan yang secara tegas dinyatakan bahwa bunga

    bank adalah riba karena alasan: (1) merupakan tambahan atas pokok modal yang

    dipinjamkan, Allah berfirman, “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),

    maka bagimu pokok hartamu, (2) tambahan itu bersifat mengikat dan

    diperjanjikan sedangkan yang bersifat sukarela dan tidak diperjanjikan tidak

    termasuk riba. Kemudian dasar hukum yang digunakan Majelis Tarjih dan Tajdid

    Muhammadiyah dalam menetapkan fatwa haram terhadap bunga bank adalah

    berdasarkan al-Qur‟an dan Hadist atau assunnah Rasul, yang menyatakan bahwa

    bunga bank (interest) sama dengan riba jadi hukumnya adalah haram.

    2. Skripsi karya Imroatul Qoriah, Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret

    Surakarta, 2010, yang berjudul Analisis terhadap Pertimbangan dan Dasar

    Hukum Hasil Majelis Tarjih dan Tajdid Muhamadiyah tentang Keharaman

    Bunga Bank. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas yang

    menjadi pertimbangan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dalam

    menetapkan fatwa haram terhadap bunga bank dan untuk mengetahui secara jelas

    dasar hukum yang digunakan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dalam

    menetapkan fatwa haram terhadap bunga bank.

  • 11

    3. Skripsi karya Riza Yulistia Fajar, Fakultas Syariah, Jurusan Muamalat,

    Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2009, yang berjudul Riba dan Bunga

    Bank dalam pandangan Muhammad Syafi‟i Antonio. Skripsi ini menjelaskan

    tentang cara ber-istinbat melalui dua pendekatan yakni pendekatan ma’nawi

    (argumentasi) dan pendekatan istislahi (mencari kemaslahatan). Dari kedua

    metode yang digunakan, ia memberi kesimpulan bahwa bunga bank adalah riba.

    4. Jurnal dari Syarifuddin, Jurnal Ilmiah Al-Syir‟ah Vol.9, No. 1, 2011, yang

    berjudul Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang Bunga Bank, pada jurnal

    ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas isi fatwa Muhammadiyah yang

    berisikan tentang pengharaman bunga bank.

    5. Jurnal dari Moh. Nashiruddin A. Ma‟mun, Jurnal Ummul Qura Vol. V, No. 1,

    2015, yang berjudul tentang Perspektif NU tentang Bunga Bank (Refleksi Hasil

    Mu‟tamar NU ke-2 Tahun 1927 di Surabaya dan Munas „Alim Ulama di Bandar

    Lampung Tahun 1992), dalam jurna ini berisi tentang perspektif NU dalam

    mengambil keputusan antara haram, halal,dan syubhat mengenai bunga bank.

    Dari judul skripsi dan jurnal yang telah diuraikan di atas, penulis berpendapat

    bahwa skripsi yang akan ditulis ini berbeda dengan karya ilmiah di atas. Dalam

    penelitian ini penulis hanya akan memfokuskan permasalahan dalam perbedaan

    fatwa antara Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Nomor: 8 Tahun 2006 dan

    Hasil Muktamar Tarjih Sidoarjo Tahun 1968 tentang Bunga Bank Oleh karena itu,

    penulis akan memberi judul skripsi ini dengan judul “Analisis Perbandingan Fatwa

  • 12

    Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Nomor: 8 Tahun 2006 dan Hasil

    Muktamar Sidoarjo Tahun 1968 tentang Bunga Bank”.

    F. Sistematika Penulisan Skripsi

    Dalam penyusunan skripsi ini penulis membagi dalam lima bab, yang masing-

    masing bab terdiri dari sub bab yang disesuaikan dengan isi dan maksud tulisan ini.

    Pembagian kedalam beberapa bab dan sub bab adalah bertujuan untuk memudahkan

    pembahasan terhadap isi penulisan ini. Adapun pembagiannya adalah sebagai berikut:

    Bab I : Pendahuluan

    Bab I meliputi latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan

    manfaat penelitian, metode penelitian review (kajian) studi terdahulu, dan sistematika

    penulisan skripsi.

    Bab II :Fatwa dalam Hukum Islam

    Bab II meliputi pengertian tentang Fatwa dalam hukum Islam, Metode Pembuatan

    Fatwa, Kedudukan Fatwa dalam Hirarki Dalil Hukum Islam.

    Bab III :Tinjauan Umum tentang Riba dan Bunga Bank

    BAB III ini meliputi Pengertian Riba dan Dasar Hukum Riba, Macam-Macam Riba

    dan Jenis Barang Riba, Pengertian Bunga Bank, Macam-Macam Bunga Bank,

    Hubungan Riba dengan Bunga Bank.

    Bab IV :Bunga dalam Pandangan Muhammadiyah

  • 13

    Dalam Bab IV ini penulis akan membahas tentang metode Fatwa Muhammadiyyah,

    fatwa Muhammadiyah No. 8 Tahun 2006 Tentang Bunga bank, Hasil Muktamar

    Muhammadiyah Sidoarjo Tahun 1968 terkait bunga bank, Analisis Perbandingan

    Fatwa Muhammadiyah No. 8 Tahun 2006 dan hasil muktamar Muhammadiyah

    sidoarjo tahun 1968

    Bab V :Penutup yang Meliputi Kesimpulan dan Saran

    Dalam Bab V ini penulis akan mengakhiri penulisan ini dengan memberikan

    beberapa kesimpulan dan juga akan menyampaikan beberapa saran yang

    berhubungan dengan kajian penulisan.

  • 14

    BAB II

    FATWA DALAM HUKUM ISLAM

    A. Pengertian Fatwa

    Fatwa bagi sebagian orang sebagai sebuah ketentuan yang harus

    dijalankan juga sebagai anjuran.Fatwa berasal dari bahasa Arab aftaa-yufti,yang

    secara sederhana berarti memberi keputusan.1 Sedangkan fatwa itu sendiri berarti

    jawaban pertanyaan hukum atau petuah. Fatwa adalah suatu jawaban resmi

    terhadap pertanyaan atau persoalan penting menyangkut dogma atau hukum, yang

    diberikan oleh seseorang yang mempunyai otoritas untuk melakukannya.2

    Fatwa secara etimologi (bahasa) ialah:

    انَشْرِعَّيِةَاِوانَقاُنْوِنَّيِة ِمانَمَساِئ اْنَجَواُب َعّما ُيْشِكُم ِمَن3

    Artinya: “Jawaban dari permasalahan-permasalahan syariah dan hukum”

    Fatwa secara terminologis berarti penjelasan hukum syar‟i dalam

    menjawab suatu persoalan yang diajukan seseorang, baik penjelasannya jelas

    (terang) atau tidak jelas (ragu-ragu) baik penjelasan itu mengarah pada

    kepentingan pribadi atau kepentingan masyarakat.4

    Menurut Khalil Ahmad, terkadang fatwa dibaca al-futya. Bentuk plural al-

    fatwa adalah al-afta‟. Sebagai contoh, jika si fulan adalah seorang mujtahid yang

    1 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus wa Dzurriyah,

    2010), h. 308 2 M.B. Hooker, Islam Mazhab Indonesia, Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial, terjemahan

    Iding Rosyidin Hasan, h. 21. 3 Ahmad Mukhtar Umar, Mu‟jam al-Lughah al-Arabiyya al-Mu‟ashirah, (Kairo: „Alim

    al-Kutub, 2008), juz III, h. 1672 4 Fuad Thohari, Pedoman Penetapan Fatwa Bagi DA‟I, (Jakarta: Majelis Ulama

    Indonesia, 2012), h 58

  • 15

    dihadapkan pada persoalan seseorang yang menikah tanpa wali, kemudian si fulan

    memikirkannya dengan menggunakan dalil syar‟i atau dengan isinbath hukum,

    kemudian mengambil kesimpulan bahwa tidak sah nikah tanpa wali, kesimpulan

    ini disebut fatwa. Fulan yang berfatwa disebut mufti dan orang yang meminta

    fatwa disebut mustafti.5

    Fatwa dapat didefinisikan sebagai pendapat mengenai suatu hukum Islam

    yang merupakan tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh

    peminta fatwa dan tidak mempunyai daya ikat. Fatwa biasanya cenderung

    dinamis, karena merupakan tanggapan terhadap perkembangan baru yang sedang

    dihadapi masyarakat peminta fatwa. Isi fatwa itu sendiri belum tentu dinamis,

    tetapi minimal fatwa itu responsif.

    Fatwa merupakan salah satu metode dalam Al-Qur‟an dan al-Sunnah

    dalam menerangkan hukum-hukum syara‟, ajaran-ajarannya, dan arahan-

    arahannya.

    Definisi tersebut juga ada dalam Al-Qur‟an, yang didalamnya terdapat

    sebuah solusi dari suatu permasalahan. Seperti firman Allah SWT:

    6

    5 Fuad Thohari, Pedoman Penetapan Fatwa Bagi DA‟I, h. 59

    6 QS al-Nisa[4]: 127

  • 16

    Artinya:. Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang Para wanita. Katakanlah:

    "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan

    kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang Para wanita

    yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan

    untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-

    anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya

    kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang

    kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya.

    (Q.S An-Nisa: 127)

    Sedangkan fatwa secara terminologi (istilah) ialah:

    َاإِلْخَباُر َعْن ُحْكِم اهلِل َتَعاَنى ِبُمْقَتَضى ْاأَلِدَنِة انَشْرِعَّيِة َعَهى ِجَّهِة اأُلُمْوِر َوانُشُمْوِل

    Artinya: “Fatwa adalah menyampaikan hukum-hukum Allah berdasarkan dalil-

    dalil syariah yang mencakup segala persoalan.”7

    Fatwa juga adalah penjelasan hukum syara‟ berdasarkan dari dalil orang

    yang meminta fatwa.8Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fatwa adalah

    jawaban (keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah.9

    Menurut Jalaluddin al-Suyuthi fatwa adalah pemberitahuan mengenai

    hukum syara‟ tanpa ada sebuah penetapan, agar terbedakan antara fatwa dengan

    hukum qodo‟i yang bersifat menetapkan/mengikat.10

    Fatwa muncul karena adanya suatu perkara akibat perkembangan sosial

    yang dihadapi oleh umat, karena itu fatwa mensyaratkan adanya orang yang

    meminta atau kondisi yang memerlukan adanya pandangan atau keputusan

    hukum. Dengan demikian, fatwa tidak persis dengan tanya jawab keagamaan

    7 Khairul Umam dan A. Achyar Aminuddin, Ushul Fiqh II, (Bandung: Pustaka Setia),

    2001, h. 175. 8 Mansur bin Yunus al-Buhuti, Syarah al-Muntaha, (Beirut:Alim al-Kutub, 1996). Juz 3

    h. 483 9 Pusat Bahasa dan Budaya, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

    2007), Cet. Ke-3, h. 275 10

    Jalaluddin al-Suyuthi, Tafsir al-Dur al-Mantsur fi al-Tafsiri al-Ma‟sur (Beirut: Daar el-

    Fikr, 1983). Juz 6 h. 86

  • 17

    biasa seperti dalam pengajian-pengajian, bukan juga sekedar ceramah seputar

    ajaran agama, fatwa senantiasa sangat sosiologis, ia mengandaikan adanya

    perkembangan baru, atau kebutuhan baru yang secara hukum belum ada ketetapan

    hukumnya atau belum jelas duduk masalahnya.11

    Berbicara tentang fatwa tidak terlepas dari pembahasan mengenai masalah

    ijtihad, karena fatwa dalam fiqih Islam sangat berkaitan dengan ijtihad yang

    dihasilkan para ulama fiqih Islam. Namun yang membedakannya bahwa Ijtihad

    sebagai suatu kepastian dalam mengantisipasi perubahan dan memecahkan

    problematika zaman.12

    Kemudian mencurahkan seluruh kemampuan untuk

    menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil dzanni hingga batas tidak ada lagi

    kemampuan melakukan usaha lebih dari apa yang dicurahkan. Adapun fatwa

    hanya dilakukan ketika adakejadian secara nyata, lalu ulama ahli fiqih berusaha

    mengetahui hukumnya. Dengan demikian, fatwa lebih spesifik dibandingkan

    dengan ijtihad.13

    Nabi Muhammad saw. mengancam dengan serius, orang-orang yang

    berani mengeluarkan fatwa tanpa didasari ilmu yang memadai, yang berakibat

    tidak saja dia sendiri tersesat tetapi juga menjerumuskan orang lain dalam jurang

    kesesatan. Tidak dibenarkan fatwa hanya menuruti keinginan dan kepentingan

    tertentu atau dugaan-dugaan semata tanpa didasarkan pada dalil Al-Qur‟an maupn

    hadits.14

    11

    M. B Hooker, Islam Mazhab Indonesia; Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial, terj. Iding

    Rosyidin Hasan, (Jakarta: Teraju, 2003), Cet. Ke-2, h. 16 12

    Ali Syariati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, (Bandung: Mizan, 1992), h. 72 13

    Rohadi Abd. Fatah, Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fiqih Islam, (Yogyakarta: Bumi

    Aksara, 1991), h. 39

    14

    Fuad Thohari, Pedoman Penetapan Fatwa Bagi DA‟I, h. 60

  • 18

    B. Metode Penetapan Fatwa

    Adanya metode dalam penetapan fatwa adalah sangat penting, sehingga

    dalam setiap proses penetapan fatwa harus mengikuti metode tersebut. Sebuah

    fatwa yang ditetapkan tanpa menggunakan metodologi, keputusan hukum yang

    dihasilkannya kurang mempunyai argumentasi yang kokoh.

    Ada beberapa metode yang dijadikan pedoman dalam menetapkan

    fawa.Adapun metde-metode tersebut adalah sebagai berikut:

    1. Metode Bayan (Analisa Kebahasan)

    Metode ini dipergunakan untuk menjelaskan teks Al-Qur‟an dan al-

    Sunnah dalam menetapkan hukum dengan menggunakan analisa kebahasan.

    Kaidah kebahasan adalah kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para ahli bahasa

    dan kemudian diadopsi oleh para ulama ushul fiqh untuk melakukan pemahaman

    terhadap makna lafadz sebagai hasil analisa induktif dari tradisi kebahasaan

    bangsa Arab sendiri.

    Pembahasan metode bayani ini dalam kajian ushul fiqh mencakup:

    a. Analisa berdasarkan segi makna lafazh.

    b. Analisa berdasarkan segi pemakaian makna.

    c. Analisa berdasarkan segi terang dan samarnya makna.

    d. Analisa berdasarkan segi penunjukkan lafadz kepada makna menurut

    maksud pencipta nash.

  • 19

    2. Metode Ta‟lili

    Metode ini digunakan untuk menggali dan menetapkan hukumterhadap

    suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash baik

    secara qath‟i maupun dzanni, dan tidak juga ada ijma yang menetapkan

    hukumnya, namun hukumnya tersirat dalam dalil yang ada. Isinbath seperti ini

    ditujukan untuk menetapkan hukum suatu peristiwa dengan merujuk kepada

    kejadian yang telah ada hukumnya, karena antara dua peristiwa itu terdapa

    kesamaan illat hukumnya. Dalam hal ini, mufti menetapkan hukum suatu

    peristiwa berdasarkan pada kejadian yang telah ada nashnya. Istibath jenis ini

    dilakukan melalui metode qiyas atau istihsan.

    Berdasarkan kegunaan praktisnya, illat dapat dibedakan kepada tiga

    kategori, yaitu:15

    1) Illat tasyri‟i, ialah illat yang digunakan untuk menentukan apakah hukum

    yang dipahami dari nash tersebut memang harus tetap seperti adanya, atau

    boleh dirubah kepada yang lainnya. Dalam illat tasyri‟iini tidak

    dipersoalkan adanya qiyas atau tidak, karena penekanan kajiannya adalah

    pada masalah itu sendiri.

    2) Illat qiyasi, ialah illat yang dipergunakan untuk memberlakukan suatu

    ketentuan nash pada masalah lain yang secara zahir tidak dicakupnya.

    Dengan kata lain, illat ini digunakan untuk menjawab pertanyaan apakah

    nash yang mengatur masalah “a” juga berlaku untuk menjawab masalah

    15

    Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas Jakarta, 2008), h. 48

  • 20

    “b” (yang secara harfiah tidak dicakupnya, namun diantara kedua masalah

    tersebut terdapat kesamaan sifat). Sifat yang sama inilah yang disebut illat.

    3) Illat istihsani, adalah penalaran yang terfokus kepada dua „illat yang

    berbeda sifat dan ukurannya. Kedua „illat yang berbeda tersebut

    disamakan hukumnya karena ada pertimbangan khusus. Ta‟liliyah

    semacam ini oleh para pakar hukum Islam dengan istihsan atau qiyas

    khafi.Illat istihsani juga sebagai pengecualian maksudnya mungkin saja

    ada pertimbangan khusus yang menyebabkan illat tasyri‟i tadi tidak dapat

    berlaku terhadap masalah yang seharusnya ia cakup, atau begitu juga qiyas

    tidak dapat diterapkan karena ada pertimbangan khusus yang

    menyebabkannya dikecualikan. Dengan demikian illat kategori ini

    mungkin ditemukan sebagai pengecualian dari yang pertama, sebagaimana

    mungkin juga pengecualian dari kategori yang kedua.Yang membedakan

    ketiga pengelompokkan illat ini hanyalah kegunaannya dan intensitas

    persyaratannya. Sebagai contoh ialah kehalalan sisa daging yang dimakan

    burung elang. Sebenarnya elang adalah tergolong jenis binatang buas.

    Daging binatang buas juga haram dimakan. Oleh karena itu sisa daging

    yang dimakan elang hukumnya juga haram.16

    3. Metode Istishlahi

    Metode ini dipergunakan untuk menggali, menemukan dan merumuskan

    hukum syara‟ dengan cara menerapkan hukum kulli untuk perisiwa yang

    ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash baik qath‟i maupun dzonni dan

    16 http://alfatahabib.blogspot.co.id/2013/07/penalaran-talili.html diakses pada 15 Oktober

    2016

    http://alfatahabib.blogspot.co.id/2013/07/penalaran-talili.html

  • 21

    tidak memungkinkan mencari kaitannya dengan nash yang ada, belum diputuskan

    dengan ijma dan tidak memungkinkan dengan qiyas atau istihsan. Jadi dasar

    pegangan dalam ijtihad bentuk ini hanyalah jiwa hukum syara‟ yang bertujuan

    untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dalam bentuk mendatangkan manfaat

    (jalb al-manfaat) ataupun menolak kerusakan (dar u al-mafasid) dalam rangka

    memelihara agama, kehidupan, akal, keturunan dan harta.17

    C. Kedudukan Fatwa

    Kedudukan fatwa dalam sistem hukum Islam sangat penting mengingat

    permasalahan sosial semakin kompleks dibandingkan dengan permasalahan yang

    terjadi pada masa Rasulullah dan para sahabat. Permasalahan yang dialami oleh

    Rasulullah dan para sahabatnya tidak serumit yang dialami sekarang. Di sisi lain

    Allah telah mencukupkan wahyunya dan hadits yang disampaikan oleh Rasulullah

    untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada. Islam sebagai agama

    terakhir dan Muhammad sebagai rasul terakhir membawa konsekuensi bahwa

    aturan-aturan dan hadits yang telah berhenti ketika Rasulullah meninggal dunia

    bisa digunakan untuk memecahkan permasalahan kekinian.18

    Konsekuensi ini merupakan tugas dan tanggung jawab yang besar dan

    berat yang dipikul oleh umat Islam, khususnya mereka yang memiliki gelar

    sebagai Alim Ulama.19

    Ulama yang menjadi pewaris nabi ini, termasuk

    didalamnya adalah mufti. Mufti menjadi pewaris para nabi, karena dia

    17

    Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, h. 48 18

    Abi Zakariya Yahya bin Syaraf Al-Nawawi Al-Dimasqi, Adab al-Fatwa wa al-Mufti,

    wa al-Mustafti, (Damaskus: Daar al-Fikr, 1988), h. 13 19

    Abi Zakariya Yahya bin Syaraf Al-Nawawi Al-Dimasqi, Adab al-Fatwa wa al-Mufti,

    wa al-Mustafti, h. 19

  • 22

    bertanggung jawab untuk memberikan jawaban dan memecahkan permasalahan

    yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, pekerjaan memberikan fatwa adalah

    pekerjaan penting dan banyak keutamaannya. Fatwa adalah kata yang sering

    disalah pahami. Ada yang menyangka, fatwa adalah sejenis dogma yang memiliki

    daya ikat kuat seperti halnya Al Qur‟an, atau seperti konstitusi negara sehingga

    bagi yang melanggarnya dapat dikenakan sanksi hukum. Tentu sangkaan itu

    keliru sepenuhnya. Sebab, fatwa pada hakekatnya tidak lebih dari sebuah petuah,

    nasehat, atau jawaban pertanyaan hukum dari individu ulama atau institusi

    keulamaan, yang boleh diikuti atau justru diabaikan sama sekali.

    Fatwa seorang mufti tidak mengikat siapapun, karena betapapun

    kesungguhannya untuk bersikap obyektif, ia tidak dapat lepas dari unsur

    subyektivitas berupa kecenderungan pribadi dan kemampuan daya nalarnya.

    Pendeknya, fatwa bersifat ghair mulzim (tidak mengikat).20

    Dan kebenaran fatwa

    bersifat relatif sehingga selalu dimungkinkan untuk diubah seiring perubahan

    ruang, waktu, dan tradisi. Jadi, mengubah teks fatwa bukanlah perkara tabu.21

    Kriteria Mufti

    Untuk menetapkan hukum Islam, seorang mufti harus memenuhi

    persyaratan yang ditetapkan ulama. Secara khusus, syarat-syarat yang harus

    dimiliki seorang mufti antara lain22

    :

    a. memahami Al-Qur‟an dan ilmu-ilmu yang terkait (ulum Al-Qur‟an)

    20

    M. Quraisy Shihab, Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah Mahdah, (Jakarta: Mizan, 1999), h. 9 21

    Ibnu Qayym Al-Jauziah, I‟lam al-Muwaqi‟un, (Beirut: Daar al-Jalil 1973),h. 5

    22

    Fuad Thohari, Pedoman Penetapan Fatwa Bagi DA‟I, h. 62

  • 23

    b. mengetahui abab nuzul Al-Qur‟an dan asbab wurud al-hadits

    c. mengetahui ayat Al-Qur‟an yang nasikhah (ayat yang menghapus) dan

    ayat Al-Qur‟an yang mansukhah (ayat yang dihapus)

    d. mengetahui secara persis ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat

    musytabihat

    e. mengetahui secara detail penta‟wilan Al-Qur‟an dan penafsirannya

    secara valid dan akurat

    f. mengetahui secara mendetail tentang hadits-hadits Rasulullah Saw

    g. mengetahui ayat-ayat makiyah dan madaniyah

    h. mengetahui ilmu-ilmu agama Islam secara menyeluruh, seperti ilmu

    Fikih, Ushul Fikih, Ilmu Kalam, Ilmu Nahwu, Balaghah, dan ilmu lain

    yang menunjang dalam menetapkan fatwa

    i. mengetahui tentang kepentingan masyarakat banyak (mashlahah al-

    „ammah)

    j. harus terhindar dari sikap tercela, menghindari visted interest, dan

    mengutamakan kepentingan ilmiah.

    Begitu urgennya posisi Mufti, hampir seluruh kitab Ushul Fiqih

    membicarakan dan menetapkan sejumlah prinsip, adab (kode etik), dan

    persyaratan ketat yang harus dimiliki setiap mufti (orang yang akan memberikan

    fatwa).

    Maka dengan demikian fatwa tidak bisa dijadikan sebagai sumber

    ketetapan hukum. Fatwa merupakan suatu pilihan hukum yang bisa diikuti dan

    bisa saja dikritisi, karena produk hukum hasil fatwa tidak ubahnya seperti produk

  • 24

    hasil ijtihad lainnya yang tidak memiliki nilai kebenaran mutlak dan nilai

    kekuatan untuk mengikat.23

    Secara prinsipil dan beberapa hal yang telah diuraikan

    diatas bahwa Kedudukan fatwa dalam sistem hukum Islam sangat penting

    mengingat permasalahan sosial semakin hari semakin banyak. Walaupun secara

    substansi bahwa fatwa memiliki otoritas hanya sebatas dalam rangka responsive,

    proactive, dan antisipatif yang sifatnya tidak mengikat namun tidak mengurangi

    keluhurannya dalam rangka menjalankan dan menunaikan tanggung jawab serta

    tugasnya demi melanjutkan perjuangan Rasulullah SAW dalam menegakkan

    agama Islam menuju kehidupan umat manusia yang berada pada jalan lurus dan

    garis yang benar.

    23

    Ija Suntana, Daya Ikat Fatwa, (Bandung: Unversitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati

    Bandung, 2009), h. 3.

  • 25

    BAB III

    TINJAUAN UMUM TENTANG RIBA DAN BUNGA BANK

    A. Pengertian Riba dan Dasar Hukum Riba

    Secara etimologi, riba merupakan kata masdar dari kata kerja rabaa-

    yarbuu-ribaa yang berarti tambahan atau kelebihan.1 Dalam Kamus Besar Bahasa

    Indonesia, kata riba dengan singkat berarti pelepasan uang, lintah darat, bunga

    bank, renten.2 Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara

    umum terdapat intisari yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan

    tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil

    atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.

    Sedangkan riba secara terminologi, terdapat beberapa pendapat dari para

    ulama ahli fikih:3

    1. Ulama Hanabilah berpendapa bahwa riba adalah pertambahan sesuatu yang

    dikhususkan.

    2. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa riba adalah tambahan pada harta

    pengganti dalam pertukaran harta dengan harta.

    1 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),

    cet. xiv, h. 469 2 Kamus Besar Bahasa Indonesia, penerbit: Balai Pustaka, cet ke 4, TT 2007

    3 Ibnu „Abidin, Radd Al-Mukhtar „ala al-Darr al-Mukhtar, (Beirut: Darr Ihya‟ al-Turats

    al-„Arabi, 1992), Juz IV, h.184

  • 26

    Syaikh Muhammad Abduh, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan

    riba ialah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki

    harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), kerena pengunduran janji

    pembayaran oleh peminjam dari waktu yang ditentukan.4

    Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, yang dimaksud dengan riba adalah akad

    yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut

    aturan syara‟ atau terlambat salah satunya.5

    Hukum riba adalah haram, telah dianggap oleh Rasulullah Saw sebagai

    salah satu perkara yang membinasakan dan termasuk salah satu kelompok tujuh

    dosa besa. Al-Qur‟an sendiri telah menetapkan keharaman riba dengan redaksi

    “tahrim” secara jelas dan tidak mengandung penafsiran lainnya serta menganggap

    orang yang bertransaksi dengan riba sebagai orang yang memerangi Allah dan

    Rasul-Nya. Para ulama juga besepakat (ijma‟) dalam hal pengharamannya.

    Pengharaman riba tidak hanya dalam syariat kita saja, melainkan telah

    diharamkan oleh semua syariat agama. Riba diharamkan baik itu dilakukan di

    negara Islam (dar al-islam) maupun negara yang memusuhi Islam (dar a-harb),

    baik itu dilakukan secara perorangan maupun oleh antar negara, antara negara

    dengan perorangan, antara orang-orang muslim maupun antara orang Islam

    dengan orang kafir. Semua itu berdasarkan keumuman nash yang mengharamkan

    riba baik itu dari Al-Qur‟an maupun sunnah.6

    Al-Qur‟an, diantaranya yaitu:

    4 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 2015, h. 57

    5 Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟a, (Kairo: Daar al-Hadits,

    2004), Juz II, h. 192 6 Ash-Shadiq Abdurrahman Al-Gharyani, Fatwa-Fatwa Muamalah Kontemporer,

    (Surabaya: Pustaka Progresif), 2004, h.109

  • 27

    7

    Artinya: orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri

    melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan

    lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian

    itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),

    Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah

    menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang

    yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus

    berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah

    diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya

    (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba),

    Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal

    di dalamnya.

    8

    Artinya:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba

    dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah

    supaya kamu mendapat keberuntungan.

    9

    7 QS. Al-Baqarah [2]: 275

    8 Qs. Ali Imran [3]: 130

    9 Qs. Al-Ruum [30]: 39

  • 28

    Artinya: Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia

    bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah

    pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang

    kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang

    berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan

    (pahalanya.

    Di dalam Sunnah, Nabi Muhammad saw:

    َٕ َْٚعَهُى َأَشُذ ُْ َٔ ُّ انَّرُجُم َُْى ِرَبا َْٚأُكُه ًَٛةِدْر َْ ٍَ ِز ْٛ ََٔثَهاِث ٍْ ِسٍث ِي10

    Artinya:“Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui

    (bahwa itu adalah riba), maka itu lebih berat daripada enam puluh

    kali zina”. (HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah).

    ٌَ َباًب ْٕ ََٔسْبُع ٌَ َأْرَبٗ انِّرَبا َعّْرُض انَّرُجِم انِّرَبا َثالَثٌة َِٔإ ,ُّ ُِْكَح انَّرُجُم ُأَي َٚ ٌْ َْا ِيْثُم َأ َْٚسُّر ا َأ

    ًُْسِهَى اْن11

    Artinya:“Riba itu mempunyai 73 pintu, sedang yang paling ringan seperti

    seorang laki-laki yang menzinai ibunya, dan sejahat-jahatnya riba

    adalah mengganggu kehormatan seorang muslim”. (HR. Ibnu

    Majah).

    ُْْى َس ََٔقاَل: ,ِّ ْٚ َِْذ ََٔشا ُّ ََٔكاِجَب ُّ ِْٕكَه َُٔي ََٔسَهَى آِكَم انِّربَا ِّ ْٛ ُْٕل اهلِل َصَهٗ اهلُل َعَه ٍَ َرُس َٕاٌءَنَع12

    Artinya:“Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi

    makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia bersabda;

    Mereka semua sama”. (HR Muslim)

    10

    Abu Abdurrahman bin Muhammad Nashiruddin al-Masyhur bi Syeikh al-Bani, shahih

    al-Jami‟ Shagir Wa ziyadatuhu, al-Maktab al-Islami Hadits No 3375 11

    Ibnu Majah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah,

    Daar al-Ihya. Juz 2 h. 764 12

    Muslim bin Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairy al-Naisaburi, Shahih Muslim, Daar Ihya

    Turats: Beirut. Juz 3 h. 1219

  • 29

    Allah Swt dalam Al-Qur‟an menyebutkan pelarangan riba (prohibition of

    riba) hingga empat kali secara bertahap, bahkan beberapa hadits Rasulullah Saw

    memperkuat pelarangan, dengan tidak hanya terfokus pada pemungutan riba tapi

    juga saksi, penulis dan siapapun yang mendukung sebuah transaksi riba terjadi.13

    Tahap pertama adalah surat Ar- Rum ayat 39, ayat yang menerangkan

    tentang asumsi manusia yang menganggap harta riba akan menambah hartanya,

    padahal disisi Allah SWT asumsi itu sebenarnya tidak benar, karena hartanya

    tidak bertambah karena riba. Ayat Makiyyah ini turun belum secara tegas

    menyatakan haramnya riba, tapi Allah hanya menyatakan bahwa perbuatan

    tersebut tidak disukai-Nya. Dalam firman-Nya:

    14

    Artinya: “Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia

    bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah

    pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang

    kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang

    berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan

    (pahalanya).

    Tahap kedua diceritakan bahwa riba sebagai suatu yang buruk. Allah Swt

    mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang

    memakan riba. Hal ini dijelaskan dalam surat An- Nisa ayat 160-161:

    13

    Ali Sakti, Ekonomi Islam Jawaban Atas kekacauan Ekonomi Modern, (Bandung: Aqsa

    Publishing), 2007 h. 232 14

    Qs. Al-Ruum [30]: 39

  • 30

    15

    Artinya:Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami

    haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang

    dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak

    menghalangi (manusia) dari jalan Allah,dan disebabkan mereka

    memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang

    daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang

    dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-

    orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.

    Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan

    yang berlipat ganda. Dalam surat Al- Imran ayat 130:

    16

    Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba

    dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah

    supaya kamu mendapat keberuntungan.

    Ayat ini turun pada tahun ke -3 Hijriyah. Secara umum, ayat ini harus

    dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya

    riba (jika bunga berlipat ganda berarti rba, tetapi jika kecil bukan riba), tetapi ini

    merupakan sifat umum dari praktik pemungaan uang pada saat itu.Demikian juga

    ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari surat al-

    Baqarah yang turun pada tahun ke-9 Hijriyah.17

    15

    QS. Al_Nisa [4]: 160-161 16

    QS. Al-Imran [3]: 130 17

    Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema

    Insani), 2001, h. 49

  • 31

    Tahap keempat merupakan larangan Allah SWT secara menyeluruh untuk

    tidak melakukan riba, termasuk sisa-sisa riba yang dipraktekan pada masa itu.

    Dalam firman Allah surat Al- Baqarah ayat 278-279.

    18

    Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan

    tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang

    yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa

    riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan

    memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),

    Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak

    (pula) dianiaya.

    Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada al-Qur‟an

    melainkan juga pada hadits di antaranya:

    ِّ، َفُكِسَّرْت، ًِ ًََحاِج ُْٚث َأِبٙ اْشَحَّرٖ َحَّجاًيا، َفَأَيَّر ِب َْٛفَة، َقاَل: َرَأ ٍُ َأِبٙ ُجَح ٌُ ْب ْٕ َأْخَبَّرَِٙ َع

    ِّ َصَهٗ ٌَ َرُسَٕل انَه ٍْ َرِنَك َقاَل: ِإ ُّ َع ٍِ انَكْهِب، َفَسَأْنُح ًَ ََٔث ٍِ انَذِو، ًَ ٍْ َث َٓٗ َع ََٔسَهَى ََ ِّ ْٛ اهلُل َعَه

    َِٕر ًَُص ٍَ ان ََٔنَع ،ُّ َُٔيِٕكَه َٔآِكَم انِّرَبا، ًََة، ِْٕش ًُْسَح َٔان ًََة َٕاِش ٍَ ان ََٔنَع )رٔاِ ََٔكْسِب اأَلَيِة،

    انبخا٘(19

    Artinya: “Diriwayatkan dari Aun Ibn Abi Juhaifah, “ayahku membeli

    seorang budak yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan

    darah kotor dari kepala). Ayahku kemudian memusnahkan

    peralatan bekam si budak tersebut. Aku bertanya pada ayah

    mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab bahwa

    Rasulullah Saw melarang untuk menerima uang dari transaksi

    darah, anjing, kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat

    pekerjaan penato dan yang minta di tato, menerima dan memberi

    riba serta beliau melaknat pembuat gambar (HR. Bukhari)

    18

    QS. Al-Baqarah [2]: 278-279 19

    Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhori, Shahih al-Bukhori, Bab Tsamanul

    Kalbi (Daar Tuq al-Najaat, cet ke II 1422) Juz 3 h. 84. Hadits ke 2238

  • 32

    Demikian secara jelas Allah telah memberikan penjelasan dalam Al-

    Qur‟an maupun Sunnah tentang pelarangan riba pada segala bentuk transaksi jual

    beli. Selain adanya unsur penambahan, riba juga menimbulkan adanya

    kedzaliman pada salah satu pihak.

    B. Macam-macam Riba dan Jenis Barang Riba

    Jumhur Ulama membagi riba dalam dua bagian, yaitu riba fadhl dan riba

    nasi‟ah:20

    1. Riba Fadhl (riba pertukaran)

    Menurut ulama Hanafiyah, riba fadhl adalah “Tambahan zat haram pada

    akad jual beli yang diukur dan sejenis menurut syara”.

    2. Riba Nasi‟ah

    Menurut ulama Hanafiyah, riba nasi‟ah adalah “Memberikan kelebihan

    terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda

    dibanding utang pada benda yang ditakar atau ditimbang yang berbeda jenis atau

    selain dengan yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya”.

    Sedangkan ulama Syafi‟iyah membagi riba menjadi tiga macam bagian,

    yaitu:21

    1. Riba Fadhl, yaitu tukar menukar dua barang yang sama jenisnya dengan tidak

    sama timbangannya atau takarannya yang disyaratkan oleh orang yang

    20

    Muammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan,(Jakarta: Tazkia Institute,

    2000),h. 52 21

    Wahbah al-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Alih Bahasa Abdul Hayyie, cet ke I

    (Jakarta: Gema Insani, 2011) h. 307

  • 33

    meukarkan. Misalnya, tukar menukur dengan emas, perak dengan perak, beras

    dngan beras, gandum dan sebagainya.

    2. Riba Yad, yaitu berpisah dari tempat sebelum timbang diterima. Maksudnya,

    orang yang membeli suatu barang kemudian sebelumnya ia menerima barang

    tersebut dari si penjual, pembeli menjulanya kepada orang lain. Jual

    beliseperti itu tidak bleh, sebab jual beli masih dalam ikatan denganpihak

    pertama.

    3. Riba Nasi‟ah, yaitu tukar menukar dua barang yang sejenis maupun tidak

    sejenis yang pembayarannya disyarakan lebih, dengan diakhiri/ dilambatkan

    oleh yang meminjam. Misalnya, Aminah membeli kalung emas seberat 10

    gram, oleh penjualnya disyaratkan membayarnya tahun depan dengan kalung

    emas seberat 12 gram, dan apalagi terlambat satu tahun lagi, maka tambah 2

    gram lagi menajdi 14 gram dan seterusnya. Ketentuan melambatkan

    pembayaran satu tahun.

    Sementara menurut Syafi‟i Antonio, secara garis besar riba

    dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang piutang dan riba

    jual beli. Riba utang piutang dibagi lagi menjadi riba qard dan riba jahiliyah.

    Sedangkan riba jual beli terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi‟ah.22

    Para ahli fiqh Islam telah membahas mengenai jenis barang riba dengan

    panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dan kesimpulan umum dari pendapat

    mereka yang intinya bahwa barang riba meliputi23

    :

    1. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya;

    22

    Muammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, h. 63. 23

    Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik,h. 42

  • 34

    2. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan

    makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.

    Dalam kaitannya dengan bank syariah, implikasi ketentuan tukar menukar

    antar barang-barang riba diuraikan sebagai berikut:

    1. Jual beli antara barang-barang riba sejenis hendaknya dalam jumlah dan kadar

    yang sama. Barang tersebut pun harus diserahkan saat transaksi jual beli.

    Misalnya, rupiah dengan rupiah harusnya Rp10.000 dengan Rp10.000 dan

    diserahkan ketika tukar menukar.

    2. Jual beli antara barang-barang riba yang berlainan jenis dipebolehkan denga

    jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat

    akad jual beli. Misalnya, Rp10.000 dengan 1 dollar Amerika.

    3. Jual beli barang riba dengan yang bukan riba tidak disyaratkan untuk sama

    dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada saat akad. Misalnya, mata uang

    (emas, perak, atau kertas) dengan pakaian.

    4. Jual beli antara barang-barang yang bukan riba diperbolehkan tanpa

    persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang

    elektronik.

    C. Pengertian Bunga Bank

    Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari aktifitas ekonomi

    sebagai penunjang kebutuhannya. Berdasarkan hal ini maka persoalan ekonomi

    bermula dari masalah perolehan dan pemanfaatan harta. Sangat tidak tepat

    manakala harta diperoleh maupun dimanfaatan dengan cara-cara yang dilarang

  • 35

    oleh syariat Islam, karena hal ini akan berdampak pada sistem ekonomi yang tidak

    memihak pada salah satu pihak dan hanya menguntungkan satu pihak saja. Dalam

    hal ini dapat kita temui pada praktek membungakan uang yang sudah menjadi hal

    biasa dilakukan oleh orang, baik secara individu maupun oleh lembaga keuangan.

    Pada praktek membungakan uang ini dikenal dengan isitilah, yakni (1) bunga

    simpanan, dimana ada orang atau badan hukum yang meminjamkan uang kepada

    perorangan ataupun menyimpan uangnya di lembaga keuangan kemudian orang

    tersebut memperoleh imbalan bunga, (2) bunga pinjaman, dimana ada orang atau

    badan hukum yang meminjam uang dari perorangan atau lembaga keuangan

    dengan konsekuesi harus mengembalikan uang yang dipinjam ditambah dengan

    bunga.24

    Bunga merupakan istilah baru dalam dunia perbankan yang merupakan

    terjemahan “interest” yang memiliki makna riba. Dalam kamus perbankan bunga

    sendiri memiliki arti riba. Dengan definisi yang ada dapat disimpulkan bahwa riba

    memiliki karakteristik yang serupa dengan bunga.

    Pada umumnya dalam ilmu ekonomi, bunga itu timbul dari sejumlah uang

    pokoknya, yang lazim disebut dengan istilah “kapital” atau “modal” berupa uang.

    Dan bunga itu juga dapat disebut dengan istilah “rente” juga dikenal dengan

    “interest”.25

    Persoalan halal tidaknya bunga (interest) sebagai instrumen keuangan

    merupakan sumber kontroversi di seluruh dunia Islam sejak lama. Sumber

    kontroversi ini adalah ayat-ayat al-Qur'an yang melarang riba – sebuah praktek

    24

    Syahirin Harahap, Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka al-

    Husna), 1993, h. 18 25

    Syahirin Harahap, Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam, h. 18

  • 36

    Arab kuno – yakni apabila seseorang berhutang, hutangnya akan berlipat jika ia

    menunggak lagi, hutangnya akan berlipat lagi. Selama berabad-abad, banyak

    kaum muslim yang menyimpulkan ayat-ayat tersebut bahwa kontrak pinjaman

    yang menetapkan keuntungan tertentu bagi si pemberi pinjaman adalah perbuatan

    yang tidak bermoral, tidak sah atau haram-terlepas dari tujuan, jumlah pinjaman,

    maupun lembaga yang terlibat.26

    Bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank

    yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau

    menjual produknya. Bunga juga dapat diartikan sebagai harga kepada deposan

    (yang memiliki simpanan) dan kreditur (nasabah yang memperoleh pinjaman)

    yang harus dibayar kepada bank. Harga menurut Ibnu Khaldun merupakan nilai

    atau patokan suatu barang yang mendatangkan suatu keuntungan dari berbagai

    bidang27

    . Institusi bunga bank yang dalam hal ini adalah bunga yang bukan

    termasuk riba atau dapat dikatakan dengan bagi hasil menurut syari‟at Islam

    (perbankkan syari‟ah) telah menjadi bagian penting dari sistem perekonomian

    bangsa Arab seperti halnya sistem ekonomi di negara-negara lain (non muslim).

    Sesungguhnya, bunga telah dianggap penting demi keberhasilan

    pengoperasian sistem ekonomi yang ada bagi masyarakat. Tetapi Islam

    mempertimbangkan bunga itu sebagai kejahatan yang menyebarkan kesengsaraan

    dalam kehidupan. Al-Qur'an mengakui bahwa meminum-minuman keras itu

    bukan tidak ada manfaatnya sama sekali, tetapi Islam mengharamkannya karena

    26

    Eva Y.N., Femmy S., Jarot W., Poerwanto, Rofik S., Ensiklopedi-Oxford Dunia Dalam

    Islam, Diterjemahkan dari The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, Bandung:

    Mizan, Jilid 6, 2001, h. 313. 27

    Ibnu Khaldun, Muqadimah, Terj. Ahmadie Thoha, Muqoddimah Ibnu Khaldun,

    (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2000, h. 473

    http://s-hukum.blogspot.com/search/label/Bankhttp://s-hukum.blogspot.com/search/label/Bank

  • 37

    akibat-akibat buruk yang diakibatkan oleh minuman-minuman keras itu jauh lebih

    besar daripada manfaatnya. Kita mengakui bahwa sistem bunga dalam bank itu

    dalam pelaksanaanya tidak selalu baik, dan dapat mencelakakan nasabah yang

    meminjam uang dari bank, tetapi jumlah yang merasa tertolong oleh sistem bunga

    yang diperlakukan oleh bank-bank konvensional itu jauh lebih banyak dari pada

    mereka yang dirugikan. Maka analog dengan hukumnya minum-minuman keras,

    sistem bunga dalam bank konvensional itu tidak haram.28

    Dalam literatur ulama fiqh klasik tidak dijumpai pembahasan yang

    mengkaitkan antara riba dan bunga perbankan. Sebab lembaga perbankan seperti

    yang berkembang sekarang ini tidak dijumpai dalam zaman mereka. Bahasan

    bunga bank apakah termasuk riba atau tidak, baru ditemukan dalam berbagai

    literatur fiqh kontemporer.

    Berbicara masalah bunga terdapat rumusan yang berbeda sesuai dengan

    pendapat masing-masing para tokoh, diantaranya:

    a. menurut Muhammad bahwa secara leksikal,bunga sebagai terjemahan dari

    kata interest. Secara istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus

    dinyatakan bahwa, interest is a charge for a financial loan, usually a

    precentage of the amount loaned, bunga adalah tanggungan pada pinjaman

    uang, yang biasanya dinyatakan dengan prosentase dari uang yang

    dipinjamkan. Menurut Muhammad , pendapat lain menyatakan “interest yaitu

    sejumlah uang yang dibayar atau dikalkulasi untuk penggunaan modal. Jumlah

    28

    Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid III, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima

    Yasa), cet. II, 2002, h. 76

    http://s-hukum.blogspot.com/search/label/Bank

  • 38

    tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang

    besangkutan dengan itu yang dinamakan suku bunga modal29

    b. menurut Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus, interest (bunga) adalah

    pendapatan yang dibayarkan kepada mereka yang meminjamkan uang kepada

    orang atau peusahaan.30

    c. Menurut Kaslan A.Thohir, bunga yaitu pendapatan yang menjadi keuntungan

    yang mempunyai modal.31

    D. Macam-macam Bunga Bank

    Berdasarkan pengertian bunga bank di atas, bunga bank dibedakan

    menjadi dua macam, yaitu:

    1. Bunga Simpanan

    Yaitu bunga bank yang diberikan kepada nasabahnya, dalam hal ini bunga

    bank sebagai rangsangan atau balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya

    di bank. Bunga simpanan merupakan harga yang harus dibayar bank kepada

    nasabahnya. Sebagai contoh jasa giro, bunga tabungan, dan deposito.

    2. Bunga Pinjaman

    Yaitu bunga bank yang diberikan kepada para peminjam atau harga yang

    harus dibayar oleh nasabah peminjam kepada bank. Sebagai contoh bunga kredit.

    29

    Muhammad, Bank Syariah Analisis Kekuatan, Peluang dan Ancaman, (Yogyakarta:

    Ekonisia), 2003, h. 28 30

    Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus Economics, Alih Bahasa, Jaka Wasana,

    “Ekonomi” (Jakarta: Erlangga), 1998, h. 524 31

    Kaslan A. Thohir, Ekonomi Selayang Pandang, Jilid II, (Bandung: NV. Penerbitan Van

    Hoeve), 1955, h. 299

  • 39

    Kedua macam bunga ini yaitu bunga simpanan dan bunga pinjaman

    merupakan suatu komponen utama dalam faktor biaya dan pendapatan bagi bank

    konvensional. Dalam hal ini bunga simpanan merupakan biaya dana yang harus

    dikeluarkan kepada nasabah sedangkan bunga pinjaman merupakan pendapatan

    yang diterima dari nasabah. Baik bunga simpanan maupun bunga pinjaman

    masing-masing saling terhubung satu sama lainnya. Sebagai contoh seandainya

    bunga simpanan tinggi, maka secara otomatis bunga pinjaman juga terpengaruh

    ikut naik dan demikian pula sebaliknya.32

    E. Hubungan Riba dengan Bunga Bank

    Islam telah menetapkan hukum riba dan larangannya, termasuk di

    dalamnya, praktek-praktek kapitalisme berupa bunga bank, kartu kredit, kredit

    motor, kredit mobil, kredit barang-barang rumah tangga hingga KPR atau kredit

    perumahan. Semua praktek riba tersebut hukumnya haram,33

    pelakunya dihinakan

    Allah jika tidak segera bertaubat, dasarnya sangat tegas terdapat dalam firman

    Allah SWT QS. Al Baqarah (2) ayat 275 :

    32

    Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, h. 112 33

    https://alqandaly.wordpress.com/2013/11/04/hukum-riba-dan-bunga-bank/diakses

    tanggal 02 Mei 2016

    https://alqandaly.wordpress.com/2013/11/04/hukum-riba-dan-bunga-bank/

  • 40

    34

    Artinya: “orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri

    melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan

    lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian

    itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),

    Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah

    menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang

    yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus

    berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah

    diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya

    (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba),

    Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal

    di dalamnya.

    Hukum riba dan bunga bank hingga saat ini masih banyak kaum

    musliminyang memperselisihkannya. Sebagian mengatakan riba itu haram jika

    berlipat-lipat, dan sebagaian mengatakan seberapapun jumlah tambahan dari

    pinjaman itulah definisi riba. Ada yang mengatakan bahwa bunga bank itu tidak

    haram karena hanya kecil bunganya sehingga dianggap sebagai jasa penyimpanan

    saja. Adapun terkait dengan pemotongan oleh pihak Bank yang jumlahnya besar;

    bahkan lebih besar dari bunga yang didapat merupakan hal yang wajar karena

    pihak bank telah memberikan jasa menjaga dan memberikan kemudahan atas

    berbagai transaksi yang kita lakukan. Apalagi hal itu sudah diketahui oleh nasabah

    sebelumnya, sehingga ia tidak bisa dijadikan alasan untuk membolehkan bunga

    (riba).

    34

    QS. Al-Baqarah [2]: 275

  • 41

    Pendapat Ulama Tentang Riba

    Jumhur (mayoritas/kebanyakan) ulama‟ sepakat bahwa bunga bank adalah

    riba, oleh karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama‟ terkemuka

    dalam konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di

    Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai

    macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk

    bunga bank.35

    Abu zahrah, Abu al-A‟la al-Maududi Abdullah al-„Arabi dan Yusuf al-

    Qaradhawi mengatakan bahwa bunga bank itu termasuk riba nasiah yang dilarang

    oleh Islam. Karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang

    memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa. Bahkan

    menurut Yusuf al-Qaradhawi tidak mengenal istilah darurat atau terpaksa, tetapi

    secara mutlak beliau mengharamkannya. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-

    Syirbashi, menurutnya bahwa bunga bank yang diperoleh seseorang yang

    menyimpan uang di bank termasuk jenis riba, baik sedikit maupun banyak.

    Namun yang terpaksa, maka agama itu membolehkan meminjam uang di bank itu

    dengan bunga.36

    Adapun alasan mereka dalam mengharamkan bunga bank antara

    lain:

    a. Bunga bank merupakan bentuk penindasan golongan mampu (kaya) terhadap

    kaum dhuafa

    35

    Ahmad bin Abdul Aziz Al-Hamdana, Kepada Para NasabahdanPegawai Bank,

    (Jakarta: GemaInsani Press, 1993), h. 75 36

    Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta, Gunung Agung), 1997, h. 103

  • 42

    b. Bunga bank akan menciptakan ketidakseimbangan kekayaan. Hal ini

    bertentangan dengan kepentingan sosial dan berlawanan dengan kehendak

    Allah yang menghendaki penyebaran pendapatan kekayaan secara adil.

    c. Bunga dapat menciptakan kondisi manusia penganggur yaitu para penanam

    modal dapat menerima setumpuk kekayaan dari bunganya, sehingga mereka

    tidak lagi bekerja untuk menutupi kebutuhan hidupnya.

    d. Alasan terakhir bunga bank dilarang ialah karena bunga bank bertentangan

    dengan dengan prinsip ajaran Allah yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan

    Nash.37

    Pendapat A. Hasan, pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (Persis)

    berpendapat bahwa bunga bank seperti di negara kita ini bukan riba yang

    diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana yang dinyatakan dalam

    surat Ali Imran ayat 130.38

    Jadi yang termasuk riba menurut A. Hasan adalah

    bunga yang berlipat ganda, bila bunga hanya dua persen dari modal pinjaman itu,

    itu tidak berlipat ganda, maka tidak termasuk riba yang diharamkan.

    Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa‟ (Guru Besar Hukum Islam dan Hukum

    Perdata Universitas Syria), bahwa sistem perbankan yang kita terima sekarang ini

    sebagai realitas yang tak dapat kita hindari. Karenanya umat islam diperbolehkan

    (mubah) bermuamalah dengan bank konvensional itu atas pertimbangan dalam

    keadaan darurat dan bersifat sementara. Sebab umat Islam harus berusaha mencari

    jalan keluar dengan mendirikan bank tanpa adanya system bunga/riba, demi

    37

    Azharuddin Lathif, Fiqih Muamalat, (Jakarta, UIN Jakarta Press), 2005, h. 90 38

    Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah,h. 103

  • 43

    menyelamatkan umat Islam dari cengkraman budaya yang tidak Islami.39

    Dalam

    bukunya ia berpendapat bahwa:

    a. Sistem perbankan yang berlaku hingga saat ini dapat diterima sebagai suatu

    penyimpangan yang bersifat sementara, dengan kata lain bahwa sistem

    perbankan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari, maka umat Islam

    dibolehkan bermuamalat atas dasar pertimbangan darurat, tetapi umat Islam

    harus senantiasa berusaha mencari jalan keluar.

    b. Pengertian riba dibatasi hanya mengenai praktek riba dikalangan Arab

    Jahiliyyah saja, yaitu yang benar-benar merupakan suatu pemerasan dari

    orang-orang mampu (kaya) terhadap orang-orang miskin dalam utang piutang

    yang bersifat komsumtif, bukan utang piutang yang bersifat produktif.

    c. Bank-bank dinasionalisasi sehingga menjadi perusahaan negara yang akan

    menghilangkan unsur-unsur eksploitasi, karena sekalipun bank negara

    mengambil bunga sebagai keuntungan, tetapi penggunaannya bukan untuk

    orang-orang tertentu, melainkan akan menajdi kekayaan negara yang akan

    digunakan untuk kepentingan umum.40

    Pendapat Majelis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo (Jawa Timur) tahun

    1968 yang memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank

    Negara kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya adalah termasuk

    syubhat atau mutasyabihat, artinya tidak/belum jelas halal haramnya. Maka sesuai

    dengan petunjuk Hadits, kita harus berhati-hati menghadapi masalah-masalah

    yang semisal ini. Karena itu, jika kita dalam keadaan terpaksa atau kita dalam

    39

    Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Riba, Untung-Piutang, Gadai, Bandung,

    al-Ma‟arif, 1983, h. 22-23 40

    Azharuddin Lathif, Fiqih Muamalat,h. 91

  • 44

    keadaan hajah, artinya keperluan yang mendesak/penting barulah kita

    diperbolehkan bermuamalah dengan bank yang menggunakan sistem bunga bank

    itu dengan batasan-batasannya yang telah ditetapkan dalam agama.

  • 45

    BAB IV

    BUNGA BANK DALAM PANDANGAN MUHAMMADIYAH

    A. Metode Penetapan Fatwa Muhammadiyah

    Dalam sub bab ini akan dikemukakan beberapa sumber hukum dalam

    Islam yang diterima oleh Muhammadiyah, kemudian akan diuraikan pula secara

    singkat metode-metode berijtihad yang lazim digunakan oleh Muhammadiyah.

    Uraian ini bersifat pengantar terhadap pembahasan inti berikutnnya. Oleh karena

    itu, pembahasannya masih bersifat umum. Kajian ini difokuskan pada apa yang

    tertulis dalam manhaj istinbat majlis tarjih dan himpunan putusan tarjih. Uraian

    awal ini diperlukan untuk melihat lebih lanjut, sejauh mana kosistensi

    muhammadiyah dalam menerapkan metode penetapan hukum yang telah

    digariskannya. Muhammadiyah berpendapat bahwa sumber utama hukum dalam

    Islamadalah Al-Qur‟an dan As-Sunnah As-Shohihah.1 Kemudian untuk

    mengahadapi persoalan-persoalan baru, sepanjang persoalan itu tidak

    berhubungan dengan ibadah mahdoh dan tidak terdapat nash shorih dalam Al-

    Qur‟an dan hadits, digunakan ijtihad dan istinbat dari nash yang ada melalui

    persamaan illat. Pernyataan ini menunjukan bahwa bagi Muhammadiyah ijtihad

    bukan merupakan sumber hukum, melainkan sebagai metode penetapan hukum

    dalam Islam. Dalam hal ini Muhammadiyah sejalan dengan paham kelompok

    Mukhaththi’at,yangmenyatakan bahwa ijtihad adalah metode penemuan hukum,

    bukan sumber hukum dalam Islam.

    1 Fathurahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos

    Publishing House, 1995), h. 70

  • 46

    Al-Qur‟an dan Hadits sebagai sumber hukum dalam Islam tidak hanya

    diyakini oleh Muhamadiyah saja, tetapi juga diyakini oleh seluruh umat Islam

    dalam berbagai madzhab dan aliran. Diantara dua sumber itu, Al-Qur‟an

    merupakan sumber dari segala sumber hukum. Artinya, Al-Qur‟an merupakan

    rujukan utama dalam menetapkan hukum. Sedangkan hadits berfungsi sebagai

    penjelas terhadap Al-Qur‟an. Karena itu, menurut sebagian ahli hadits, salah satu

    tolah ukur untuk menyeleksi hadits adalah harus “diuji” dengan Al-Qur‟an. Kalau

    hadits itu sejalan dengan Al-Qur‟an, maka hadits itu dapat diterima. Tetapi kalau

    hadits itu tidak sejalan, apalagi bertentangan denganAl-Qur‟an maka hadits itu

    tidak dapat diterima. Tolak ukur ini dimasukkan pada kritik matan hadits.

    Agaknya Muhammadiyah tidak begitu mengembangkan tolak ukur diatas.

    Sebagai indikatornya adalah terdapat beberapa Hadits yang dijadikan dasar

    putusan tarjih, yang diduga oleh sementara pihak sebagai “tidak sejalan” dengan

    Al-Qur‟an. Muhammadiyah secara tegas menyatakan bahwa ijtihad hanyalah

    metode penetapan hukum.2 Muhammadiyah pada dasarnya menerima metode

    ijtihad yang telah ditetapkan oleh para ahli ushul fiqih terdahulu, namun disana

    sini terdapat modifikasi atau lebih tepat lagi disebut kombinasi seperlunya. Ijma

    yang dibahas dalam ushul fiqh kelihatannya tidak dalam setiap periode diterima

    oleh Muhammadiyah. Organisasi ini hanya menerima konsep ijma yang terjadi

    dikalangan sahabat nabi. Hal ini mengisyaratkan, bahwa menurut Muhammadiyah

    ijma tidak mungkin terjadi lagi setelah masa sahabat. Pada masa sahabat

    dimungkinkan adanya ijma, karena umat Islam masih sangat sedikit jumlahnya.

    2 H.M Djuwaini, Ketarjihan, (Jakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, tth), h. 26

  • 47

    Memang sulit untuk menerima konsep terjadinya ijma‟ pada masa

    sekarang ini. Ahmad Ibn Hanbal secara prioritas menyatakan bahwa “siapa yang

    mengklaim adanya ijma berarti ia telah berdusta.3 Banyak faktor yang

    menyebabkan ia menolak terjadinya ijma pada masa sekarang ini. Salah satu

    diantaranya karena jumlah umat Islam sekarang ini cukup banyak dan mereka

    tersebar diberbagai belahan dunia yang berjauhan. Lebih dari itu, menentukan

    kriteria mujtahid seperti yang terdapat dalam definisi ijma, juga tidak mudah.

    Belum lagi adanya perbedaan aliran dan sekte dalam Islam, yang pada gilirannya

    akan menpersulit proses ijma itu. Pendapat Ahmad Ibn Hanbal ini didukung oleh

    beberapa pengikut madzhabnya, seperti Al-Thufi dan Ibnul Qayyim. Bahkan yang

    disebut terakhir ini menegaskan bahwa pengetahuan seseorang tentang

    kesepakatan umat Islam yang berada diberbagai dunia ini, kalau tidak boleh

    dikatakan mustahil, dapat dikatakan merupakan hal yang paling sulit terjadi.4

    Kecenderungan Hanabilah ini diterima oleh Muhammadiyah. Hal ini menguatkan

    asumsi sebagian pengamat yang menyatakan, bahwa Muhammadiyah lebih

    berorientasi “Hanbalisme”. Sebenarnya sikap Muhammadiyah tentang ijma ini

    tidak hanya sejalan dengan Hanabilah, tetapi juga dengan ulama lain. Ibn Hazm

    dan As-Syafi‟i termasuk yang mempunyai pendapat demikian.

    Qiyas sebagai metode penetapan hukum, pada dasarnya diterima oleh

    Muhammadiyah, dengan catatan tidak mengenai masalah ibadah mahdah. Ketika

    Muhammadiyah mengadakan pembahasan tentang qiyas sebagai