analisis peran mikroorganisme m.sadiqul iman (h1e108059)
TRANSCRIPT
ANALISIS PERAN MIKROORGANISME :
STUDI KASUS BAKTERI KARANG PENDEGRADASI SENYAWA
HERBISIDA MCPA DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA
DOSEN PEMBIMBING :
NOPI STIYATI P., S.Si, M.T
OLEH :
M. SADIQUL IMAN H1E108059
PROGAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2010
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan petunjuk yang dicurahkan-Nya saya dapat menyelesaikan
penulisan ini.
Penulisan Analisis Peran Mikroorganisme: Studi Kasus Bakteri Karang
Pendegradasi Senyawa Herbisida MCPA ini merupakan tugas yang diberikan
oleh ibu Nopi Stiyati P., S.Si, M.T, yang mana tujuan yang saya ambil dari
kegiatan penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang peran
mikroorganisme dalam kehidupan sehari-hari serta mengembangkan daya
kreativitas remaja khususnya mahasiswa dalam mengembangkan daya cipta untuk
melakukan suatu perubahan dalam upaya sumbangan pikiran untuk pengetahuan
yang berguna dan bermanfaat bagi masyarakat.
Penulisan laporan ini dapat diselesaikan karena berkat bimbingan secara
terpadu oleh ibu Nopi Stiyati P., S.Si, M.T,dan dukungan dari semua pihak. Untuk
itu dalam kesempatan kali ini saya mengucapkan terima kasih yang sedalam-
dalamnya. Dan akhirnya diharapkan agar penulisan laporan ini dapat berguna bagi
kita semua serta kemajuan ilmu pengetahuan. Penulisan ini tentunya tidak lepas
dari kritik dan saran yang besifat membangun.
Banjarbaru, Februari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang................................................................................. 1
1.2 Tujuan dan Manfaat......................................................................... 1
1.3 Metode Penulisan............................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 2
2.1 Pencemaran Laut......................................................................... 3
2.2 Dampak Pencemaran Laut.......................................................... 6
2.3 Pengertian Mikrobiologi............................................................. 9
2.4 Peran Mikroorganisme................................................................ 9
BAB III PEMBAHASAN.............................................................................. 13
3.1 Studi Kasus.................................................................................. 13
3.2 Isolasi Bakteri Karang................................................................. 13
3.3 Proses Uji Degradasi oleh Bakteri Karang.................................. 14
3.4 Faktor yang Mempengaruhi......................................................... 15
BAB IV PENUTUP....................................................................................... 16
4.1 Kesimpulan.................................................................................. 16
4.2 Saran............................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 17
LAMPIRAN................................................................................................. 18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Akhir-akhir ini pencemaran laut telah menjadi suatu masalah yang perlu
ditangani secara sungguh-sungguh. Hal ini berkaitan dengan semakin
meningkatnya kegiatan manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Di
samping menghasilkan produk-produk yang diperlukan bagi kehidupannya,
kegiatan manusia menghasilkan pula produk sisa (limbah) yang dapat menjadi
bahan pencemar (polutan). Cepat atau lambat polutan itu sebagian akan sampai di
laut. Hal ini perlu dicegah atau setidak-tidaknya dibatasi hingga sekecil mungkin.
Di Indonesia, teknologi untuk mengolah berbagai polutan dengan
menggunakan bahan-bahan kimia masih sangat mahal. Oleh karena itu diperlukan
suatu sistem bioteknologi yang cukup selektif dan ekonomis untuk
menghilangkan polutan ini. Bioteknologi merupakan salah satu cara pengolahan
yang sekarang sedang marak digunakan. Dimana dalam hal ini menggunakan
peran mikroorganisme dalam mendegradasi atau menguraikan bahan pencemar
(polutan) dalam perairan.
1.2 Tujuan dan Manfaat
Tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah :
1. Mengetahui peran mikroorganisme, khususnya bakteri karang
dalam mendegradasi senyawa MCPA, yang merupakan bahan polutan di
perairan Pantai Utara Jawa,
2. Bagaimana proses penguraian senyawa MCPA oleh bakteri karang
terjadi, serta
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi proses degradasi senyawa
MCPA tersebut.
Sedangkan manfaat dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan tentang peran mikroorganime dalam penggunaannya di bidang
bioteknologi.
1.3 Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan adalah studi literatur dari buku-buku
maupun jurnal-jurnal yang berkaitan dengan peran mikroorganisme dalam
mendegradasi polutan pada perairan yang informasinya didapat dari internet.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pencemaran Laut
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.19/1999, pencemaran laut diartikan
dengan masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga
kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut
tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya (Pramudianto, 1999 dalam
Misran, 2002). Sedangkan Konvensi Hukum Laut III (United Nations Convention
on the Law of the Sea = UNCLOS III) memberikan pengertian bahwa pencemaran
laut adalah perubahan dalam lingkungan laut termasuk muara sungai (estuaries)
yang menimbulkan akibat yang buruk sehingga dapat merugikan terhadap sumber
daya laut hayati (marine living resources), bahaya terhadap kesehatan manusia,
gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan dan penggunaan laut
secara wajar, memerosotkan kualitas air laut dan menurunkan mutu kegunaan dan
manfaatnya (Siahaan, 1989 dalam Misran, 2002).
2.1.1 Jenis-Jenis Polutan
Bahan-bahan pencemar yang dibuang ke laut dapat diklasifikasikan dalam
berbagai cara. Mannion dan Bowlby (1992) dalam Misran (2002)
menggolongkannya dari segi konservatif/non-konservatif :
a) Golongan non-konservatif terbagi dalam tiga bentuk yaitu :
• buangan yang dapat terurai (seperti sampah dan lumpur), buangan dari
industri pengolahan makanan, proses distilasi (penyulingan), industri-
industri kimia, dan tumpahan minyak;
• pupuk, umumnya dari industri pertanian;
• buangan dissipasi (berlebih), pada dasarnya adalah energi dalam bentuk
panas dari buangan air pendingin, termasuk juga asam dan alkali.
b) Golongan konservatif terbagi dalam dua bentuk yaitu :
• partikulat, seperti buangan dari penambangan (misalnya : tumpahan dari
tambang batubara, debu-debu halus), plastik-plastik inert;
• buangan yang terus-menerus (persistent waste) yang terbagi lagi dalam tiga
bentuk :
(I) logam-logam berat (merkuri, timbal, zinkum);
(ii) hidrokarbon terhalogenasi (DDT dan pestisida lain dari hidrokarbon
terklorinasi, dan PCBs atau polychlorinated biphenyl); dan
(iii) bahan-bahan radioaktif.
Seringkali polutan yang masuk ke laut berbentuk kompleks, dalam arti
dapat mengandung kedua golongan di atas yaitu konservatif dan non-konservatif.
Sebagai contoh adalah buangan yang berasal dari penduduk (limbah domestik)
yang umumnya mengandung buangan organik tetapi juga mengandung bahan
berlogam, minyak dan pelumas, deterjen, organoklorin, dan buangan industri
lainnya.
Sementara itu GESAMP (The Grooup of Experts on Scientific Aspects of
Marine Pollution) memberikan 8 klasifikasi polutan yakni hidrokarbon
terhalogenasi termasuk PCBs dan pestisida, misalnya DDT; minyak bumi dan
bahan-bahan yang dibuat dari minyak bumi; zat kimia organik seperti biotoksin
laut (marine biotoxin), deterjen; pupuk buatan (kimia) maupun alami termasuk
yang terdapat di dalam kotoran yang berasal dari pertanian; zat kimia anorganik,
terutama logam berat seperti merkuri dan timah hitam; benda-benda padat
(sampah) baik organik maupun anorganik; zat-zat radioaktif; dan buangan air
panas (thermal water) (Misran, 2002).
2.1.2 Sumber-Sumber Polutan
Menurut Alamsyah (1999) dalam Misran (2002), pencemaran lingkungan
pesisir dan laut dapat diakibatkan oleh limbah buangan kegiatan atau aktivitas di
daratan (land-based pollution) maupun kegiatan atau aktivitas di lautan (sea-
based pollution). Kontaminasi lingkungan laut akibat pencemaran dapat dibagi
atas kontaminasi secara fisik dan kimiawi. Secara umum, kegiatan atau aktivitas
di daratan (land-based pollution) yang berpotensi mencemari lingkungan pesisir
dan laut antara lain : penebangan hutan (deforestation), buangan limbah industri
(disposal of industrial wastes), buangan limbah pertanian (disposal of
agricultural wastes), buangan limbah cair domestik (sewage disposal), buangan
limbah padat (solid wastes disposal), konversi lahan mangrove dan lamun
(mangrove and swamp conversion), dan reklamasi di kawasan pesisir
(reclamation).
Sedangkan kegiatan atau aktivitas di laut (sea-based pollution) yang
berpotensi mencemari lingkungan pesisir dan laut antara lain : perkapalan
(shipping), dumping di laut (ocean dumping), pertambangan (mining), eksplorasi
dan eksploitasi minyak (oil exploration and exploitation), budidaya laut
(mariculture), dan perikanan (fishing). Lebih jauh lagi, cara masuknya sumber-
sumber polutan ke laut diterangkan oleh Mannion dan Bowlby (1992). Ada
limbah yang dibuang ke laut secara langsung yaitu berupa hasil kegiatan di pantai
maupun lepas pantai, atau secara tidak langsung sebagai bahan yang terbawa
melalui aliran sungai; ada pula limbah yang dengan sengaja dibawa ke laut lepas
untuk ditimbun (dumping). Sumber polutan yang terpenting berasal dari kegiatan
di darat (sekitar 95%), yaitu berupa buangan industri yang dilepas secara reguler
juga berupa limbah cair domestik.
Sementara itu, sumber pencemaran akibat kegiatan di laut terutama berasal
dari buangan kapal-kapal baik karena kegiatan operasional rutin (sengaja) maupun
karena kecelakaan (tidak sengaja). Pencemaran akibat kecelakaan mengakibatkan
masuknya polutan dalam jumlah besar, seperti akibat kebocoran kapal supertanker
minyak yang menyebabkan laut tercemar. Yang lebih penting lagi adalah akibat
kegiatan rutin yang secara reguler membuang polutan ke lingkungan laut karena
hal ini nerupakan cara termurah untuk membuang limbah. Contohnya adalah
pembuangan limbah yang telah diolah sebagian atau belum diolah sama sekali,
limbah cair dan air pendingin dari industri, sludge, tumpahan dari penambangan
dan akibat pengerukan, mesiu yang tidak terpakai lagi, dan buangan radioaktif.
Khusus untuk radioaktif, buangannya bukan saja berasal dari pusat pembangkit
tenaga nuklir, pabrik pengolahan bahan bakar nuklir, dan kegiatan pengolahan
uranium; tetapi juga berasal dari kegiatan umum lainnya seperti pembakaran
batubara. Bila batubara dibakar maka akan memancarkan partikel-partikel
radioaktif ke atmosfer yang akan kembali lagi ke laut. Budidaya laut
(mariculture), yang membutuhkan air segar, dapat tercemar dengan sendirinya
akibat kelebihan pakan yang akhirnya mendorong terjadinya proses eutrofikasi;
dan pestisida yang digunakan agar ikan terhindar dari parasit dapat menyebabkan
matinya invertebrata lainnya.
Kegiatan rekreasi dan kepariwisataan telah menjadi aspek penting dalam
peningkatan ekonomi, khususnya bagi penduduk pesisir. Akan tetapi kegiatan ini
telah membawa dampak lingkungan yang tidak selalu positif. Buangan limbah
dari hotel dan restoran di sepanjang pantai, serta meningkatnya permintaan air
bersih dapat memberi ancaman berupa pencemaran dan kerusakan lingkungan
pesisir. Di sisi lain, tidak ada atau kurangnya titik/tempat tambatan kapal (ponton)
yang dipersiapkan pada kawasan taman wisata alam laut, menyebabkan jangkar
kapal sangat berpeluang merusak terumbu karang (Misran, 2002).
2.2 Dampak Pencemaran Laut
Dampak yang timbul akibat pencemaran oleh berbagai jenis polutan yang
telah disebutkan sebelumnya adalah sangat beragam. Ada beberapa polutan yang
dapat langsung meracuni kehidupan biologis. Ada pula polutan yang menyerap
banyak jumlah oksigen selama proses dekomposisi. Ada polutan yang mendorong
tumbuhnya jenis-jenis binatang tertentu. Dan ada pula polutan yang berakumulasi
di dalam jaringan makanan laut yang tidak dapat dihancurkan oleh sel-sel hidup
(bioaccumulation).
Masalah pencemaran yang paling besar di banyak tempat di Indonesia
adalah limbah cair domestik dan industri. Hal ini umumnya disebabkan tidak atau
kurang memadainya fasilitas untuk menangani dan mengelola limbah tersebut.
GESAMP telah bersepakat mempelajari beberapa polutan yang khusus yaitu
PCBs; pestisida organoklorin; logam berat seperti merkuri, timbal, arsen,
kadmium; deterjen; dan biotoksin laut. Zat-zat ini diberi prioritas yang tinggi
karena toksisitas, persistensi, dan sifatnya yang berakumulasi dalam organisme-
organisme yang hidup di laut dan pengaruhnya pada jaringan makanan laut
menunjukkan kadar yang tinggi. Mereka masuk melalui plankton dan kemudian
dimakan oleh berbagai binatang laut seperti binatang-binatang karang yang dapat
mengumpulkan konsentrasi dari pestisida yang sangat tinggi (Misran, 2002).
2.2.1 Limbah Industri Pertanian
Masalah pencemaran yang dikaitkan dengan pertanian adalah sedimentasi
pestisida dan pupuk. Aliran air hujan dari daerah pertanian juga mengandung
bahan makanan yang besar seperti senyawa nitrogen yang jika sampai ke laut
dapat menyebabkan masalah eutrofikasi. Pestisida digunakan dengan maksud
untuk pembasmian hama dalam pertanian. Hanya saja, sifat toksisitas pestisida
telah diketahui dapat menimbulkan kanker. Selain itu, bahaya utama yang telah
diketahui dari sisa pestisida adalah kemampuan untuk merusak biota laut
dikarenakan daya akumulasinya pada biota laut. Dalam konsentrasi yang rendah
(karena sudah terencerkan), pestisida biasanya memang tidak sampai mematikan
ikan, tetapi menghambat pertumbuhan. Tetapi untuk beberapa organisma laut,
terutama jenis crustacea seperti udang dan kepiting, senyawa-senyawa
organoklorin dan organofosfat telah bersifat letal sekalipun dalam dosis rendah
(Misran, 2002).
2. 2.2 Limbah Industri Minyak dan Gas (Migas)
Minyak bumi terbentuk sebagai hasil akhir dari penguraian bahan-bahan
organik (sel-sel dan jaringan hewan/tumbuhan laut) yang tertimbun selama berjuta
tahun di dalam tanah, baik di daerah daratan atau pun di daerah lepas pantai. Hal
ini menunjukkan bahwa minyak bumi merupakan sumber daya alam yang tidak
dapat diperbaharui. Terbentuknya minyak bumi sangat lambat, oleh karena itu
perlu penghematan dalam penggunaannya.
Minyak bumi kasar (baru keluar dari sumur eksplorasi) mengandung
ribuan macam zat kimia yang berbeda baik dalam bentuk gas, cair maupun
padatan. Bahan utama yang terkandung di dalam minyak bumi adalah
hidrokarbon alifatik dan aromatik. Minyak bumi mengandung senyawa nitrogen
antara 0-0,5%, belerang 0-6%, dan oksigen 0-3,5%. Terdapat sedikitnya empat
seri hidrokarbon yang terkandung di dalam minyak bumi, yaitu seri n-paraffin (n-
alkana) yang terdiri atas metana (CH4) sampai aspal yang memiliki atom karbon
(C) lebih dari 25 pada rantainya, seri iso-paraffin (isoalkana) yang terdapat hanya
sedikit dalam minyak bumi, seri neptena (sikloalkana) yang merupakan komponen
kedua terbanyak setelah n-alkana, dan seri aromatik (benzenoid). Komposisi
senyawa hidrokarbon pada minyak bumi tidak sama, bergantung pada sumber
penghasil minyak bumi tersebut. Minyak bumi berdasarkan titik didihnya dapat
dibagi menjadi sembilan fraksi. Pemisahan ini dilakukan melalui proses destilasi (
Hadi, 2003 dalam Puspitaningrom, 20 0 8 ).
Limbah padat yang dihasilkan industri minyak disebut dengan oil sludge.
Dimana minyak hasil penyulingan (refitnes) dari minyak mentah biasanya
disimpan dalam tangki penyimpanan. Oksidasi proses yangterjadi akibat kontak
antara minyak , udara dan air menimbulkan adanya sedimnetasi pada dasar tangki
penyimpanan, endapan ini adalah oil sludge. Oil sludge terdiri dari, minyak
(hidrocarbon), air , abu, karat tangki, pasir, dan bahan kimia lainnya. Kandungan
hidrocarbon pada oil sludge merupakan limbah B3 karena banyak mengandung
logam-logam berat yang dapat membahayakan. Sehingga dalam pengelolaannya
harus mengacu pada peraturan pemerintah no. 18 tahun 1999, dimana limbah B3
harus diproses untuk mengubah karakteristik dan komposisi limbah B3 menjadi
tidak beracun dan berbahaya.
Sebenarnya banyak teknik pengolahan limbah oil sludge yang dapat
diaplikasikan seperti, incenerasi (pembakaran), centrifugasi (pemisahan), steam
extraction (ekstraksi), dan bioremediation (mikrobiologi). Namun, kenyataannya
dilapangan menunjukkan bahwa teknologi tersebut masih jauh dari yang
diharapkan, ditambah lagi dengan biaya operasional yang masih sangat mahal.
Dewasa ini, teknologi plasma juga diterapkan dalam mengolah limbah oil sludge.
Plasma tidak hanya dapat mengolah oil sludge, tapi sekaligus dapat mendaur
ulang limbah yang umumnya mengandung sekitar 40% minyak. Dengan
mengolah oil sludge akan menghasilkan light oil seperti minyak diesel yang siap
pakai, dan residu dari proses pengolahan siap dan aman untuk dibuang (landfill)
ataupun dimanfaatkan menjadi bahan yang bernilai ekonomis seperti, sebagai
bahan pembuat keramik, batako atau paving blok, genteng (Sugiarto,2004 dalam
Puspitaningrom, 2008).
2.3 Pengertian Mikrobiologi
Mikrobiologi merupakan suatu istilah luas yang berarti studi tentang
organisme hidup yang terlalu kecil untuk dapat dilihat dengan mata telanjang.
Mikrobiologi mencakup studi tentang bakteri (bakteriologi), virus (virologi),
khamir dan jamur (mikologi), protozoa (protozoologi), beberapa ganggang, dan
beberapa bentuk kehidupan yang tidak sesuai untuk dimasukkan ke dalam
kelompok tersebut di atas. Bentuk kehidupan yang kecil seperti itu disebut
mikroorganisme. Kadang-kadang disebut mikroba atau dalam bahasa sehari-hari,
kuman (Volk dan Wheeler, 1993).
2.4 Peran Mikroorganisme
Mikroorganisme merupakan jasad hidup yang mempunyai ukuran sangat
kecil (Kusnadi, dkk, 2003 dalam Ali, 2008). Setiap sel tunggal mikroorganisme
memiliki kemampuan untuk melangsungkan aktivitas kehidupan antara lain dapat
dapat mengalami pertumbuhan, menghasilkan energi dan bereproduksi dengan
sendirinya. Mikroorganisme memiliki fleksibilitas metabolisme yang tinggi
karena mikroorganisme ini harus mempunyai kemampuan menyesuaikan diri
yang besar sehingga apabila ada interaksi yang tinggi dengan lingkungan
menyebabkan terjadinya konversi zat yang tinggi pula. Akan tetapi karena
ukurannya yang kecil, maka tidak ada tempat untuk menyimpan enzim-enzim
yang telah dihasilkan. Dengan demikian enzim yang tidak diperlukan tidak akan
disimpan dalam bentuk persediaan enzim-enzim tertentu yang diperlukan untuk
perngolahan bahan makanan akan diproduksi bila bahan makanan tersebut sudah
ada.
Mikroorganisme ini juga tidak memerlukan tempat yang besar, mudah
ditumbuhkan dalam media buatan, dan tingkat pembiakannya relatif cepat
(Darkuni, 2001 dalam Ali, 2008). Oleh karena aktivitasnya tersebut, maka setiap
mikroorganisme memiliki peranan dalam kehidupan, baik yang merugikan
maupun yang menguntungkan. Sekilas, makna praktis dari mikroorganisme
disadari terutama karena kerugian yang ditimbulkannya pada manusia, hewan,
dan tumbuh-tumbuhan. Misalnya dalam bidang mikrobiologi kedokteran dan
fitopatologi banyak ditemukan mikroorganisme yang pathogen yang
menyebabkan penyakit dengan sifat-sifat kehidupannya yang khas. Walaupun di
bidang lain mikroorganisme tampil merugikan, tetapi perannya yang
menguntungkan jauh lebih menonjol.
Mikroorganisme banyak dimanfaatkan untuk bahan bakar hayati (metanol
dan etanol), bioremediasi, dan pertambangan. Selain itu, mikroorganisme yang
ada di lingkungan berperan dalam perputaran/siklus materi dan energi terutama
dalam siklus biogeokimia dan berperan sebagai pengurai (dekomposer).
Mikroorganisme pada lingkungan alami juga dapat digunakan sebagai indikator
baik buruknya kualitas lingkungan, baik perairan ataupun terrestrial (Ali, 2008).
2.4.1 Bakteri Pengurai Senyawa Halogen
Studi mengenai biodegradasi komponen terhalogenasi dimulai pada awal
abad ke-20 terkait dengan banyaknya limbah dari senyawa terhalogenasi.
Senyawa terhalogenasi bersifat toksik (Slater; J.H; Bull, A.T.; & D.J. Hardman;
1995 dalam Nurhayati, 2008). Senyawa terhalogenasi berpotensi menyebabkan
keracunan, teratogenik serta karsinogenik. Metabolit yang dihasilkan dari hasil
biodegradasi senyawa organoklorin sering bersifat toksik karena menghambat
reaksi-reaksi kunci di metabolisme sel. Salah satu senyawa intermediate yang
toksik adalah floroasetat yang potensial sebagai inhibitor pada siklus asam
trikarboksilat, karena senyawa ini dapat menghambat akonitase yang berperan di
siklus asam sitrat (TCA) (Peters, 1952 dalam Nurhayati, 2008).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti diketahui
bahwa sejumlah mikrobia berhasil diisolasi dan diseleksi berdasarkan kemampuan
tumbuh pada komponen terhalogenasi misalnya genus Pseudomonas, Alcaligenes,
Rhodococcus, Hyphomicrobium (Slater, 1994 dalam Nurhayati, 2008). Beberapa
mikrobia yang memiliki kemampuan tumbuh dan melakukan biodegradasi
senyawa terhalogenasi karena memiliki enzim dehalogenase. Enzim yang
mengkatalisis reaksi dehalogenasi disebut dehalogenase (Jensen, 1960 dan Slater,
et al 1995 dalam Nurhayati, 2008). Mekanisme pemutusan halogen dari
komponen aromatik meliputi berlangsung secara oksidatif, hidrolitik dan reduktif.
Mekanisme biodegradasi pestisida oleh mikrobia secara oksidatif yaitu
proses terlepasnya halogen dari senyawa aromatik terhalogenasi dengan
melibatkan enzim dan oksigen. Dehalogenasi hidrolitik yaitu mekanisme
biodegradasi senyawa terhalogenasi dengan melibatkan enzim dan hidrogen
sedangkan proses dehalogenasi reduktif adalah proses terlepasnya halogen yang
merupakan gugus penentu toksisitas dari senyawa terhalogenasi dengan
melibatkan enzim dan proses reaksi reduksi (Nurhayati, 2008).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati (2008) diketahui
bahwa herbisida 2,4-diklorofenoksiasetat (2,4-D) dapat segera terdegradasi di
tanah, sementara 2,4,5- Trikloroasam asetat (2,4,5-T) dan 4-klor-2- metilfenoksi
asetat (MCPA) lebih perisiten atau tahan. Degradasi MCPA oleh bakteri di dalam
tanah telah diteliti oleh berbagai peneliti dengan mengamati kemampuan melepas
klorida dari subtitusi klorida pada subtrat utama senyawa organoklorin baik dari
pestisida, fungisida dan herbisida (Loos, M.A.; 1975 dalam Nurhayati, 2008).
Pseudomonas sp. merupakan salah satu bakteri yang dapat menggunakan MCPA
sebagai sumber karbon satu-satunya ( Evans, et. al.; 1971 dalam Nurhayati, 2008),
mikrobia lain yang dapat menggunakan herbisida MCPA sebagai sumber karbon
untuk pertumbuhannya adalah Alcaligenes, Azotobacter, Pseudomonas,
Acinetobacter, Xanthobacter dan Flavobacterium ( Balajee & Mahadevan, 1990
dalam Nurhayati, 2008).
Biodegradasi MCPA oleh mikrobia diawali dengan pemutusan secara
oksidatif ikatan eter menghasilkan fenol. Reaksi berikutnya adalah terjadinya
hidrolisasi katekol diikuti dengan pemutusan cincin secara ortho pada isolat
Alcaligenes eutrophus JMP 134. Beberapa strain mikrobia memiliki plasmid yang
memiliki gen mengkode berbagai macam enzim yang dapat mendegradasi MCPA,
yang merupakan mikrobia dengan plasmid “broad range” dan dapat ditransfer
secara bebas antar mikroorganisme di dalam tanah ( Don, & Pemberton, 1981
dalam Nurhayati, 2008). Dari berbagai penelitian diketahui bahwa mikrobia
memiliki serangkaian enzim kunci dari yang memiliki organisasi dan regulasi gen
yang dapat mendegradasi haloaromatik. Adanya limbah terhalogenasi yang
berbahaya dan melimpahnya mikrobia yang memiliki kemampuan untuk
mengkatalisis proses biodegradasi senyawa terhalogenasi maka diharapkan
didapatkan mikrobia yang dapat digunakan sebagai agen pembersih tanah dan air
yang terkontaminasi komponen aromatik terhalogenasi (Nurhayati, 2008).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Studi Kasus
Pencemaran di wilayah pesisir perairan Pantai Utara Jawa di sebabkan
oleh limbah industri dan peningkatan penggunaan bahan petisida dalam bidang
pertanian. Sebagian besar komposisi limbah industri berupa garam-garam dari
berbagai senyawa halogen seperti fluor, chlor, brom, iod dan astatin. Selain itu
senyawa herbisida juga menjadi bahan pencemar perairan Pantai Utara Jawa, yang
mana senyawa herbisida yang sering digunakan adalah 4-klor-2- metilfenoksi
asetat (MCPA).
Pencemaran ini tentunya menimbulkan dampak yang sangat besar bagi
ekosistem perairan Pantai Utara Jawa. Terumbu karang sebagai salah satu
ekosistem wilayah pesisir paling produktif juga mendapat ancaman pencemaran
ini, selain keberadaan makhluk laut lainnya. Untuk itu tentunya diperlukan suatu
pendekatan teknologi dan upaya pelestarian dalam menjaga keberadaan ekosistem
terumbu karang tersebut. Penggunaan bioteknologi, salah satunya bakteri karang
menjadi upaya yang tepat dalam mengurangi pencemaran yang diakibatkan oleh
senyawa MCPA.
Kemajuan ilmu dan teknologi telah berhasil mengembangkan suatu sistem
katalis biologi dalam mengelola limbah berbahaya untuk mendegradasi,
mendetoksifikasi atau mengakumulasikan polutan tersebut, contohnya
penggunaan bakteri karang. WSSA (1989) dalam Harpeni (2006) melaporkan
bahwa MCPA dapat didegradasi di perairan melalui proses biodegradasi dan
fotodegradasi. Sehingga keberadaan bakteri pendegradasi herbisida organoklorin
(MCPA) yang berasosiasi dengan karang dapat menjadi alternatif pemecahan
masalah pencemaran ini.
3.2 Isolasi Bakteri Karang
Metode yang digunakan dalam mengisolasi bakteri karang adalah metode
yang dilakukan oleh Chutiwan (1994) dalam Harpeni (2006). Karang yang diambil
dari lokasi sampling langsung ditempatkan di dalam plastik steril kemudian
jaringannya dikerok 1 gram menggunakan alat pengerok khusus dan dihomogenkan
dengan 9 ml air laut steril yang selanjutnya dilakukan seri pengenceran. Diambil 1 ml
suspensi homogen dari masing-masing karang, kemudian dimasukkan ke dalam
tabung reaksi yang berisi 9 ml air laut steril, dikocok hingga homogen dan diperoleh
pengenceran 10-1. Selanjutnya dari pengenceran 10-1 diambil 1 ml contoh air dengan
menggunakan pipet steril, yang kemudian dimasukkan ke dalam 9 ml air laut steril
dan diperoleh pengenceran 10-2. Masing-masing diambil 80 μl contoh air, dimasukkan
ke dalam masing-masing cawan petri steril yang berisi Zobell 2216E dan disebarkan
hingga merata. Cawan petri tersebut dibungkus dengan kertas pembungkus dan
diinkubasikan selama 2 x 24 jam pada suhu kamar. Koloni bakteri yang tumbuh pada
permukaan agar tersebut, kemudian dipisahkan dengan metode goresan (streak
method) sehingga diperoleh isolat bakteri pembentuk biofilm primer yang berupa
kultur murni (Harpeni, 2006).
Proses isolasi bakteri karang bertujuan untuk mendapatkan kultur murni
dari hasil pengambilan sampel karang dari lokasi sampling. Dimana hal ini
berguna untuk menyeleksi bakteri karang yang berasosiasi dengan karang, untuyk
mendapatkan isolat yang baik. Ini tentunya untuk memudahkan
pengembangbiakan bakteri karang, sehingga pendegradasian senyawa MCPA
menjadi maksimal.
3.3 Proses Uji Degradasi oleh Bakteri Karang
Terdapat 2 uji degradasi penggunaan isolat murni bakteri karang dalam
kemampuannya untuk mendegradasi senyawa MCPA. Yang pertama adalah uji
degradasi kualitatif bakteri karang pada media indikator, dimana isolat murni
dengan indikator media EMBA yang mengandung 200 mg MCPA, yang
kemudian dilarutkan dalam 1 liter air dengan pH 7,0. Isolat murni ditanam pada
media EMBA dan diinkubasi selama 24 jam dan hasilnya terjadi perubahan warna
koloni menjadi merah. Ini menunjukkan bahwa isolat mampu mendegradasi
senyawa MCPA.
Sedangkan yang kedua adalah uji degradasi pada media cair. Media yang
digunakan mengandung 2,5 gram bacto-peptone dan 0,5 gram yeast extract + 80
miligram/liter MCPA per 1 liter air laut. Media tersebut terlebih dahulu dilarutkan
sehingga menjadi homogen dengan cara dipanaskan pada magnetic stirrer hot
plane, dan didapatkan ph antara 7,5 – 7,6.
3.3.1 Proses Penguraian
Biodegradasi MCPA oleh mikrobia, contohnya bakteri karang diawali
dengan pemutusan secara oksidatif ikatan eter menghasilkan fenol. Reaksi
berikutnya adalah terjadinya hidrolisasi katekol diikuti dengan pemutusan cincin
secara ortho pada isolat. Beberapa strain mikrobia memiliki plasmid yang
memiliki gen mengkode berbagai macam enzim yang dapat mendegradasi MCPA,
yang merupakan mikrobia dengan plasmid “broad range” dan dapat ditransfer
secara bebas antar mikroorganisme di dalam tanah ( Don, & Pemberton, 1981
dalam Nurhayati, 2008). Dari berbagai penelitian diketahui bahwa mikrobia
memiliki serangkaian enzim kunci dari yang memiliki organisasi dan regulasi gen
yang dapat mendegradasi haloaromatik. Adanya limbah terhalogenasi yang
berbahaya dan melimpahnya mikrobia yang memiliki kemampuan untuk
mengkatalisis proses biodegradasi senyawa terhalogenasi maka diharapkan
didapatkan mikrobia yang dapat digunakan sebagai agen pembersih tanah dan air
yang terkontaminasi komponen aromatik terhalogenasi.
3.4 Faktor yang Mempengaruhi
Keberadaan pencemaran di laut yang diakibatkan oleh pencemaran
penggunaan bahan herbisida MCPA, menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi dalam proses penguaraian/pendegradasian oleh bakteri karang.
Proses penguraian yang terjadi pada senyawa herbisida MCPA dengan
bakteri karang dipengaruhi oleh kemampuan degradasi yang tinggi dan
sensitivitas yang rendah terhadap MCPA. Hal ini sebelumnya dilakukan
penyeleksian isolat bakteri, gunanya untuk mendapatkan isolat yang memiliki
karakter yang paling baik. Selain itu MCPA merupakan sumber karbon satu-
satunya, sehingga bakteri karang dapat menggunakannya sebagai sumber
makanannya.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari penulisan analisis ini adalah :
1. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.19/1999, pencemaran laut diartikan
dengan masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,
dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia
sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.
2. Masalah pencemaran yang paling besar di banyak tempat di Indonesia
adalah limbah cair domestik dan industri.
3. Salah satu solusi yang sekarang sedang marak digunakan adalah
penggunaan mikoorganisme sebagai pengurai senyawa berbahaya dalam
limbah industri, khususnya pencemaran perairan.
4. Bakteri karang yang berasosiasi dengan terumbu karang diyakini dapat
mendegradasi senyawa herbisida MCPA, hal ini berdasarkan penelitian
yang menunjukkan bahwa kemampuan bakteri karang yang memiliki daya
degradasi tinggi dan sensitivitas yang rendah terhadap senyawa herbisida
MCPA.
4.2 Saran
Peran mikroorganisme dalam mendegradasi limbah tentunya harus diawasi
penggunaannya, agar keberadaan mikroorganisme tersebut tidak mengakibatkan
kerusakan lingkungan dan organisme hidup lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Puspitaningrom, Alvie. 2008. Pemanfaatan Limbah Activated Alumina dan Sand
Blasting PT. PERTAMINA UP IV Cilacap Sebagai Bahan Pembuatan
Souvenir Dengan Teknik Solidifikasi.
http://lemlit.unila.ac.id/file/Prosiding/ProsidingI2006.pdf
Diakses tanggal 27 Februari 2010
Volk, Wesley A., dan Wheeler, Margaret F. 1993. Mikrobiologi Dasar Jilid 1.
Jakarta : Penerbit Erlangga.
Misran, Erni. 2002. Aplikasi Teknologi Berbasiskan Membran Dalam Bidang
Bioteknologi Kelautan: Pengendalian Pencemaran.
http://www.pdfqueen.com/html/aHR0cDovL2xpYnJhcnkudXN1LmFjLml
kL2Rvd25sb2FkL2Z0L2tpbWlhLWVybmkucGRm
Diakses tanggal 28 Februari 2010
Ali, Iqbal. 2008. Peran Mikroorganisme dalam Kehidupan.
http://iqbalali.com/2008/02/18/peran-mikroorganisme-dlm-kehidupan/
Diakses tanggal 28 Februari 2010
Nurhayati. 2008. Uji Ketahanan Bakteri Dehalogenasi pada Subtrat Herbisida
KMCPA Formula.
http://eprints.undip.ac.id/1985/1/Bioma_Nurhayati_Juni_08.pdf
Diakses tanggal 28 Februari 2010