analisis penerapan continuous coal...
TRANSCRIPT
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2012) ISSN: 2301-9271
1
Abstrak— Secara harfiah arti dari Continuous
Coal Transport Mode adalah moda transportasi batubara
secara kontinyu atau berulang-ulang. Kalimantan
Tengah terdapat sumber cadangan batubara yang
cukup besar. Distribusi batubara mengalami kendala
berupa keadaan sungai yang sudah tidak baik lagi untuk
dilayari. Pada musim kemarau banyak kapal tongkang
kandas dan pada musim hujan debit air meningkat
sehingga ada larangan dari dinas perhubungan
mengenai tidak diijinkannya tongkang untuk menyusuri
sungai. Alternatif moda transportasi yang menjadi
pilihan dalam penelitian ini adalah pipa dan conveyor
belt. Tujuan makalah ini adalah untuk mendapatkan
moda transportasi batubara yang sesuai dengan keadaan
di Kalimantan Tengah dan dampak dari penerapan
moda transportasi tersebut. Metode yang digunakan
adalah dengan model simulasi untuk mencari kapasitas
maksimum sungai. Setelah itu melakukan desain
konseptual serta perhitungan investasi coal slurry
pipeline dan conveyor belt. Dari hasil simulasi
menunjukkan bahwa akan terjadi kepadatan di sungai
pada tahun 2013. Hal ini dikarenakan angka produksi
lebih besar dari pada kapasitas maksimum angkutan
batubara. Ditinjau dari unit cost, moda trasportasi yang
tepat untuk angkutan batubara di sungai adalah coal
slurry pipeline.
Kata Kunci— Alternatif, Produksi, Tongkang, Unit
Cost
I. PENDAHULUAN
alimantan merupakan pusat produksi batubara
Indonesia, yang menghasilkan lebih dari 90% produksi
batubara di tanah air. Cadangan batubara Kalimantan
sebenarnya hanyalah sekitar 51% dari cadangan batubara
(resources) di tanah air [1], sementara daerah lain, terutama
Sumatera, juga memiliki cadangan batubara dalam jumlah
besar, khususnya yang terbukti (proven reserves).
Kegiatan pertambangan tidak lepas dari kegiatan
distribusi hasil tambang tersebut. Infrastruktur menjadi kunci
penting dalam kegiatan distribusi batubara ini. Minimnya
infrastruktur menjadi kendala bagi kegiatan pertambangan
batubara. Prasarana transportasi merupakan pendukung
perekonomian suatu daerah. Demikian pula bagi perusahaan
tambang batubara. Prinsip efisiensi, efektif, dan ekonomis
sangat erat dengan dunia usaha ini yang berorientasi pada
keuntungan. Oleh karena itu, sebagian besar perusahaan
memanfaatkan prasarana yang telah ada. Prasarana tersebut
adalah melalui sungai menggunakan tongkang sebagai alat
angkut batubara.
Dengan meningkatnya permintaan dan produksi batubara
ini dapat menyebabkan kepadatan lalu lintas di sungai
meningkat. Jika kepadatan lalu lintas bertambah, maka olah
gerak tug boat dan tongkang lebih terbatas sehingga dapat
memperlambat proses pengangkutan batubara. Angkutan
batubara melalui sungai juga memiliki kelemahan.
Kelemahan tersebut adalah surutnya air pada saat musim
kemarau. Surutnya air tentu mengurangi draft dan
memperbesar kemungkinan terjadinya kandas. Pada musim
kemarau yang mengakibatkan surutnya sungai menyebabkan
tongkang tidak bisa melewati sungai dan kegiatan
pengangkutan batubara menjadi berhenti.
Untuk mengatasi permasalahan pada distribusi batubara
menggunakan prasarana sungai dan alat angkut tongkang
tersebut, maka dibutuhkan alternatif lain untuk distribusi
batubara tersebut. Dalam makalah ini dilakukan penelitian
terhadap dua alternatif angkutan batubara yang mungkin
diterapkan di daerah Kalimantan, yaitu pipa (coal slurry
pipeline system) dan conveyor belt.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tongkang
Tongkang digunakan untuk mengangkut barang pada
perairan yang tidak terlalu bergelombang atau perairan yang
tenang, seperti di sungai atau kanal. Tongkang memiliki
bentuk yang hampir menyerupai balok, sehingga hambatan
tongkang di air menjadi besar. Jika hambatan besar, maka
dibutuhkan tenaga atau power dar tug boat yang besar. Jika
tongkang ditarik pada area laut, maka dibutuhkan tenaga tug
boat yang lebih besar dibandingkan dengan tongkang yang
ditarik oleh tug boat di sungai. Hal ini dikarenakan di laut
memiliki gelombang yang dapat menambah hambatan
tongkang dalam berlayar.
B. Alur Pelayaran
Alur pelayaran adalah perairan yang dari segi kedalaman,
lebar, dan bebas hambatan pelayaran lainnya dianggap aman
dan selamat untuk dilayari oleh kapal di laut, sungai atau
danau. Alur pelayaran dicantumkan dalam peta navigasi dan
buku petunjuk-pelayaran serta diumumkan oleh instansi
yang berwenang. Alur pelayaran digunakan untuk
mengarahkan kapal dilintasan sungai atau danau. Penguasa
alur berkewajiban untuk melakukan perawatan terhadap alur
pelayaran, perambuan dan pengendalian penggunaan alur.
Persyaratan perawatan harus menjamin keselamatan
ANALISIS PENERAPAN CONTINUOUS COAL
TRANSPORT MODE UNTUK ANGKUTAN
BATUBARA DI SUNGAI
Erzad Iskandar Putra dan Ir. Tri Achmadi, Ph.D
Jurusan Teknik Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia
e-mail: [email protected]
K
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2012) ISSN: 2301-9271
2
berlayar, kelestarian lingkungan, tata ruang perairan dan tata
pengairan untuk pekerjaan di sungai dan danau. Perencanaan
Alur Pelayaran sangat penting untuk menjaga keselamatan
pelayaran. Perencanaan alur pelayaran yang baik dapat
mempercepat produktivitas bongkar muat di pelabuhan,
lancarnya pergerakan kapal dan dan yang paling utama
adalah faktor keselamatan kapal yang berlayar. Data-data
yang diperlukan dan harus diketahui untuk mengetahui
kondisi hidrografi alur pelayaran perairan daratan adalah
kedalaman alur, pasang surut, lebar alur, perubahan
geometri/alignment alur, dan ruang bebas diatas permukaan
air.
Gambar 1. Potongan Melintang Alur Pelayaran
C. Coal Slurry Pipeline
Coal Slurry Pipeline adalah salah satu jenis transportasi
batubara yang menggunakan pipa. Teknologi ini pertama
kali digunakan pada tahun 1957 untuk mengangkut batubara
dari tambang di Ohio, Amerika Serikat menuju pembangkit
listrik di Cleveland [2]. Proses pengangkutan batubara
dengan sistem ini mencampur batubara dengan air sehingga
berubah bentuk menyerupai bubur. Secara garis besar,
proses pengangkutan batubara dengan coal slurry pipeline
dibagi menjadi tiga tahap, yaitu slurry preparation,
transmission, dan dewatering and delivery.
D. Simulasi
Simulasi merupakan suatu teknik meniru operasi-operasi
atau proses- proses yang terjadi dalam suatu sistem dengan
bantuan perangkat komputer dan dilandasi oleh beberapa
asumsi tertentu sehingga sistem tersebut bisa dipelajari
secara ilmiah. Pendekatan simulasi diawali dengan
pembangunan model sistem nyata. Model tersebut harus
dapat menunjukkan bagaimana berbagai komponen dalam
sistem saling berinteraksi sehingga benar-benar
menggambarkan perilaku sistem. Setelah model dibuat maka
model tersebut ditransformasikan ke dalam program
komputer sehingga memungkinkan untuk disimulasikan.
E. Object Oriented Programming (OOP)
OOP (Object Oriented Programming) adalah suatu
metode pemrograman yang berorientasi kepada objek.
Tujuan dari OOP diciptakan adalah untuk mempermudah
pengembangan program dengan cara mengikuti model yang
telah ada di kehidupan sehari-hari. Jadi setiap bagian dari
suatu permasalahan adalah objek, objek itu sendiri
merupakan gabungan dari beberapa objek yang lebih kecil
lagi [3].
F. Peramalan
Situasi peramalan sangat beragam dalam horison waktu
peramalan, faktor yang menentukan hasil sebenarnya, tipe
pola data dan berbagai aspek lainnya. Untuk menghadapi
penggunaan yang luas seperti itu, beberapa teknik telah
dikembangkan. Teknik tersebut dibagi ke dalam dua
kategori utama, yaitu metode kuantitatif dan metode
kualitatif atau teknologis. Metode kuantitatif dapat dibagi ke
dalam deret berkala (time series) dan metode kausal,
sedangkan metode kualitatif atau teknologis dapat dibagi
menjadi eksploratoris dan normatif [4]. Peramalan
kuantitatif dapat diterapkan bila terdapat tiga kondisi
berikut:
1. Tersedia informasi tentang masa lalu.
2. Informasi tersebut dapat dikuantitatifkan dalam
bentuk data numerik.
3. Dapat diasumsikan bahwa beberapa aspek pola masa
lalu akan terus berlanjut di masa mendatang.
III. METODE PENELITIAN
A. Metode Pengumpulan Data
Dalam pengerjaan makalah ini, penulis melakukan
pengumpulan data yang relevan dengan permasalahan yang
dibahas. Pada dasarnya terdapat dua metode pengumpulan
data, yaitu pengumpulan data secara langsung atau primer
dan pengumpulan data secara tidak langsung atau sekunder.
Selama penelitian, penulis tidak melakukan pengumpulan
data secara primer, hal ini dikarenakan keterbatasan penulis
dalam waktu, biaya, dan lokasi pengambilan data primer
yang terlalu jauh. Pengumpulan data yang dilakukan oleh
penulis selama penelitian dalah pengumpulan data secara
sekunder. Adapun data-data yang dikumpulkan adalah
sebagai berikut :
1. Data produksi batubara nasional
2. Data produksi batubara Kalimantan Tengah
3. Data pemasaran batubara dari Kalimantan Tengah
4. Data karakteristik sungai barito
5. Data tug dan barge
B. Analisis Data
Selama pengerjaan makalah ini, penulis membagi
beberapa tahap pengerjaan dalam mengolah data. Tahapan
pengerjaan makalah ini adalah :
a. Identifikasi supply dan demand batubara. Pada tahap ini
dilakukan identifikasi dari hasil produksi batubara di
Kalimantan Tengah dan permintaan batubara. Program Minitab 16 digunakan untuk memilih model peramalan
(forecasting) berdasarkan nilai MAD (Mean Absolute
deviation) terkecil dari tiga model peramalan. Tiga
model peramalan tersebut adalah Linear Trend Model,
Quadratic Trend Model, dan Exponential Trend Model.
b. Identifikasi sarana dan prasarana angkutan batubara di
sungai. Identifikasi sarana dengan mengumpulkan data
angkutan batubara di sungai yaitu tongkang. Sedangkan
untuk prasarana yaitu mengidentifikasi karakteristik
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2012) ISSN: 2301-9271
3
sungai yang meliputi panjang, lebar, kedalaman rata-rata,
dan pasang surut sungai.
c. Identifikasi kapasitas dan kepadatan lalu lintas di sungai.
Pada tahap ini diidentifikasi berapa jumlah maksimal
tongkang yang dapat melalui sengai barito. Selain itu
diidentifikasi kepadatan dan jumlah tongkang sebagai
dampak produksi batubara.
d. Tahap desain Coal Slurry Pipeline dan Conveyor belt
e. Analisis throughput dan unit cost. Analisis dilakukan
terhadap tiga sarana angkutan batubara, yaitu tongkang,
pipeline, dan conveyor belt. Produktivitas dari masing-
masing alat angkut menjadi perhatian utama dalam
analisis ini.
f. Analisis Investasi. Berdasarkan desain jaringan pipa dan
ban berjalan (conveyor belt), maka dihitung berapa
modal yang dibutuhkan.
IV. ANALISIS PENELITIAN
A. Peramalan
Berdasarkan hasil running forecast batubara, diperoleh
nilai MAPE, MAD, dan MSD untuk masing-masing model
forecasting . Dari hasil peramalan diperoleh nilai MAD
terkecil adalah peramalan menggunakan Quadratic Trend
Model dengan nilai 405.778. Tabel 1.
Peramalan Produksi Batubara
Linear Trend Model Quadratic Trend Model Exponential Trend Model
2012 10,655,779 14,552,173 19,147,496
2013 11,883,407 17,905,106 28,571,857
2014 13,111,035 21,612,257 42,634,872
2015 14,338,662 25,673,626 63,619,676
2016 15,566,290 30,089,212 94,933,162
2017 16,793,917 34,859,015 141,659,086
2018 18,021,545 39,983,036 211,383,424
2019 19,249,172 45,461,275 315,425,950
2020 20,476,800 51,293,732 470,678,013
2021 21,704,427 57,480,406 702,344,852
2022 22,932,055 64,021,298 1,048,037,675
2023 24,159,682 70,916,407 1,563,879,860
2024 25,387,310 78,165,734 2,333,618,604
2025 26,614,937 85,769,278 3,482,221,318
2026 27,842,565 93,727,040 5,196,164,142
Forecast Demand (ton)Tahun
B. Kapasitas Sungai dan Jumlah Tongkang
Sesuai dengan kondisi eksisting, proses pengiriman
batubara menggunakan tongkang dilakukan dengan dua
tahap. Tahap pertama batubara diangkut menggunakan
tongkang berukuran 270 feet dari daerah pedalaman sungai
barito di Muarateweh menuju Damparan. Setelah sampai di
Damparan, batubara ditimbun di area ISP (Intermediate
Stockpile). Tahap kedua yaitu batubara dari ISP dimuat
dengan tongkang yang lebih besar, yaitu 300 – 330 feet
menuju transhipment point di Taboneo untuk diekspor dan
menuju konsumen dalam negeri. Karena pengiriman
batubara terjadi dalam dua tahap, maka peneliti membagi
proses pengiriman dalam dua zona, yaitu zona 1 dan zona 2.
Gambar 2. Pembagian Zona Pengiriman Batubara
Untuk menghitung kapasitas sungai, dilakukan dengan
menggunakan pemodelan. Model yang dirancang
disesuaikan dengan kondisi riil saat ini. Setelah model
dirancang, penyelesaian perhitungan kapasitas sungai
diselesaikan dengan metode simulasi. Metode simulasi
dipilih karena penyelesaian masalah dengan metode
matematis tidak bisa dilakukan. Masalah perhitungan
kapasitas terlalu kompleks jika diselesaikan dengan model
matematis.
Berdasarkan kondisi eksisting, lebar masing-masing
sungai hanya dapat dilayari oleh dua kapal secara sejajar.
Setiap zona memiliki empat buah dermaga untuk bongkar
dan muat. Untuk menyerdahanakan model yang dibuat,
empat kapal yang dapat dilayani secara bersama-sama dalam
satu dermaga dikelompokkan menjadi 1 yang diberi nama
paket.
Untuk menentukan panjang paket, dihitung terlebih dulu
spacing antara kapal satu dengan kapal lainnya. Spacing
dihitung untuk mencari jarak aman antara dua kapal yang
beriiringan agar tidak terjadi tubrukan. Konsep perhitungan
spacing menganut konsep gerak lurus berubah beraturan, di
mana akan dihitung jarak yang dibutuhkan oleh tongkang
dari kecepatan 3 knot sampai berhenti.
Gambar 3. Spacing antar barge
Untuk melakukan simulasi, dilakukan pembuatan program
simulasi menggunakan bahasa pemrograman C# yang
dikerjakan menggunakan perangkat lunak Microsoft Visual
Studio 2010.
Simulasi dilakukan dengan melakukan input pada setiap
kolom input yang ada pada program simulasi yang telah
dibuat. Simulasi dilakukan lebih dari satu kali dengan tujuan
mendapatkan nilai kapasitas maksimum sungai yang
dihitung. Apabila input dimasukkan dan simulasi dijalankan
lalu terjadi stuck, maka simulasi dihentikan dan diperoleh
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2012) ISSN: 2301-9271
4
hasil kapasitas maksimum sungai untuk masing-masing zona.
Berikut ini adalah ringkasan hasil simulasi. Tabel 2.
Ringkasan Hasil Simulasi
Jumlah
Paket
Jumlah Set Tug &
Barge
Jumlah Batubara Yang
Diangkut (ton) Keterangan
Zona 1 129 516 -
Stuck /
Penuh
128 512 14.729.000 Berjalan
Zona 2 98 392 -
Stuck /
Penuh
97 388 15.592.200 Berjalan
Berdasarkan hasil simulasi, kapasitas angkut maksimum
yang dapat dilayani pada zona 1 adalah 14.729.000 ton dan
pada zona 2 adalah 15.592.200 ton. Produksi batubara pada
tahun 2013 sebesar 17.905.106 ton tidak dapat terangkut
seluruhnya, hal ini dikarenakan jumlah produksi batubara
lebih besar dari pada kapasitas angkut maksimum batubara
dengan tongkang melalui sungai.
Gambar 4. Produksi Batubara dan Kapasitas Angkut
C. Biaya Pelayaran Tongkang
Biaya pengangkutan batubara menggunakan tongkang
dibagi menjadi empat komponen, yaitu biaya modal (capital
cost), biaya operasional (operational cost), biaya pelayaran
(voyage cost), dan biaya bongkar muat (cargo handling
cost) [5]. Pada penelitian ini terdapat dua jenis tongkang
yang beroperasi pada masing-masing zona. Ukuran tongkang
yang digunakan untuk menghitung biaya pengangkutan
batubara adalah tongkang berukuran 270 feet pada zona 1
dan 180, 230, 270, 300, 330 feet pada zona 2.
Biaya modal untuk setiap kapal pada kedua zona berbeda-
beda. Besar pinjaman dari bank adalah 75% dari harga kapal
dan sisanya adalah ekuitas. Besar bunga pinjaman adalah
8,5%.
Biaya operasional kapal terdiri dari biaya gaji ABK, biaya
perawatan kapal, premi asuransi dan biaya perbekalan dan
minyak pelumas.
Biaya bongkar muat diasumsikan sebesar Rp 15.000 per
ton. Total biaya bongkar muat per tahun didapat dari hasil
perkalian antara total muatan yang dapat diangkut dalam
satu tahun dan biaya bongkar muat setiap tonnya. Total
biaya pelayaran setiap tahunnya dihitung dengan :
Keterangan :
Loan Repayment = Cicilan pembayaran kapal setiap tahun
OC = Operating Cost / Biaya Operasional
VC = Voyage Cost / Biaya Pelayaran
CHC = Cargo Handling Cost / Biaya Bongkar Muat
Total cost dihitung hingga umur ekonomis kapal berakhir.
Dalam kenyataannya harga atau nilai suatu barang tidak akan
selalu tetap setiap tahunnya, hal ini dikarenakan adanya
inflasi dan faktor lainnya. Dalam penelitian ini total cost
diasumsikan meningkat setiap dua tahun sebesar 3%.
Pendapatan atau revenue diperoleh dari perkalian antara
muatan batubara dalam satu tahun dengan unit cost. Revenue
diasumsikan meningkat 1.5% setiap dua tahun sekali.
Berikut adalah tahap-tahap dalam menentukan besarnya unit
cost :
Total Cost Revenue
Pendapatan Sebelum Pajak
Pajak
Pendapatan Setelah Pajak
NPVNPV = 0, Untuk
Mencari unit Cost
Gambar 5. Diagram perhitungan unit cost dengan tongkang
Besarnya pajak adalah 30% dari selisih antara total
pendapatan dengan depresiasi kapal per tahun. Unit cost
didapat ditentukan pada nilai tertentu sehingga NPV bernilai
0. Dengan bantuan fasilitas ”goal seek” pada Ms Excel maka
unit cost masing-masing zona adalah :
Tabel 3.
Unit Cost Angkutan Batubara Dengan Tongkang
Zona Barge Size Unit Cost/Ton
Zona 1 270 16.73$
180 3.88$
230 4.78$
270 5.80$
300 6.90$
330 9.73$
Zona 2
D. Desain Coal Slurry Pipeline
Desain dari coal slurry pipeline divariasikan dengan lima
jenis ukuran diameter dalam yang berbeda, yaitu 150, 250,
300, 400, dan 500 mm. desain dilakukan dengan melakukan
perhitungan specific gravity of slurry, limit settling velocity,
friction head pipe, equivalent water total dynamic head, dan
pemilihan pompa beserta jumlah pump station [6].
Specific gravity of slurry adalah, konstanta yang
dipengaruhi oleh perbandingan volume benda solid dengan
air dan massa jenis benda solid itu sendiri. Pada umumnya,
pengiriman batubara dengan pipa memiliki konsentrasi
volume (Cv) sebesar 50%, Limit settling velocity dihitung
dengan tujuan untuk mencari besaran minimum kecepatan
aliran di dalam pipa. Besaran minimum diperlukan untuk
menghindari terjadinya pengendapan di dalam pipa dan
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2012) ISSN: 2301-9271
5
menyumbatnya. Friction head dan head loss dihitung untuk
mengetahui seberapa jauh fluida di dalam pipa dapat
mengalir [7]. Dalam penelitian ini, sistem pipa yang
dirancang memiliki panjang 710 km.. Jarak antar stasiun
pompa diasumsikan 50.000 m. Material pipa yang akan
digunakan adalah carbon steel. Pada umumnya allowable
stress untuk carbon steelpipe adalah 10.000 psi. Untuk
memenuhi standar schedule 160 dilakukan koreksi pada
jarak antar stasiun pompa. Asumsi jarak stasiun pompa
sebesar 50.000 m dianggap tidak memenuhi kriteria pipa
schedule 160. Jarak stasiun pompa dikurangi agar nilai
schedule pipa berada di bawah atau sama dengan 160.
Peneliti menghitung jarak antar stasiun pompa menggunakan
fasilitas goal seek pada Microsoft Excel 2010. Hasil jarak
antar stasiun pompa yang didapt adalah sebagai berikut: Tabel 4.
Jarak Antar Stasiun Pompa
Inside Diatemer (mm)
Pipe Length (m)
Head (ft)
SGsl Pressure
(psi) Schedule
Pipe
150 24920 2633 1.4 1600 160
250 29285 2633 1.4 1600 160
300 30914 2633 1.4 1600 160
400 33558 2633 1.4 1600 160
500 35669 2633 1.4 1600 160
Setelah nilai total head untuk masing-masing ukuran pipa
diketahui, maka dihitung besaran equivalent water total
dynamic head dengan tujuan untuk memilih pompa.
Tabel 5.
Equivalent Water Total Dynamic Head
Total Head (m)
Head Ratio Water Total Dynamic Head
(m)
802.8 0.82 979.1
802.8 0.82 979.1
802.8 0.82 979.1
802.8 0.82 979.1
802.8 0.82 979.1
Dalam pemilihan pompa berdasarkan nilai water total
dynamic head pada Tabel 5 tidak ada satu pompa yang
memenuhi kriteria head yang dibutuhkan. Oleh karena itu
dilakukan penyusunan pompa secara seri sehingga nilai head
yang didapat adalah jumlah dari head masing-masing pompa
yang disusun tersebut.
Tabel 6.
Debit Aliran Slurry
Inside Diatemer (mm)Inside Diatemer
(m)Q (m3/s) Q (L/s) Q (m3/h)
150 0.15 0.0325 32.55 117.17
250 0.25 0.1153 115.29 415.05
300 0.30 0.1812 181.19 652.29
400 0.40 0.3700 370.01 1,332.02
500 0.50 0.6441 644.06 2,318.60
Biaya investasi untuk pembangunan coal slurry pipeline
dibagi menjadi dua bagian [2]:
1. Slurry Facility First Cost yang terdiri atas Pump
Station Facility, Slurry Preparation Facility, dan
Dewatering Facility.
2. Pipeline First Cost
Sedangkan untuk biaya operasi dan pemeliharaan sistem
terbagi menjadi empat bagian :
1. Electrical Cost yang terdiri atas kebutuhan listrik
untuk pompa, kebutuhan listrik untuk preparation
facility, dan kebutuhan listrik untuk dewatering
facility.
2. Biaya operasi dan perawatan untuk preparation
facility
3. Biaya operasi dan perawatan untuk dewatering
facility
4. Biaya operasi dan perawatan untuk setiap pump
station atau stasiun pompa.
Seluruh data yang dibutuhkan untuk menghitung besarnya
biaya investasi (capital cost), biaya perawatan, dan biaya
operasi bersumber dari penelitian yang telah dilakukan oleh
General Research Corp pada tahun 1977. Nilai uang yang
berlaku pada tahun tersebut tentu mengalami perubahan
sampai saat ini, maka dilakukan perhitungan future value
pada data-data biaya investasi, biaya perawatan, dan biaya
operasi.
Tabel 6.
Total Biaya Investasi, Operasi, dan Perawatan Coal Slurry
Pipeline
Pipe ID (mm)Capacity
(Mton/Year)
Total Operating &
Maintenance Cost Per
Year
Capital Cost
150 1.44 40,184,561$ 181,626,539$
250 5.09 82,152,052$ 275,279,319$
300 8.00 108,979,863$ 349,304,607$
400 16.34 187,864,813$ 524,246,821$
500 28.44 287,756,282$ 875,580,176$
Untuk menghitung besaran unit cost, maka perlu
dilakukan analisis cash flow dari operasional coal slurry
pipeline. Komponen-komponen biaya yang berperan dalam
analisis cash flow adalah biaya investasi, biaya operasional,
dan pajak. Tabel 7.
Unit Cost Coal Slurry Pipeline Pipe ID (mm) Unit cost ($/ton)
150 60.24
250 30.75
300 25.53
400 20.66
500 18.62
E. Desain Conveyor Belt
Deain conveyor belt yang didesain memiliki panjang 710
km. Spesifikasi teknis dari conveyor belt dapat dilihat pada
Tabel 8. Tabel 8.
Unit Cost Coal Slurry Pipeline Capital Cost 1 Conveyor 280,000,000$
Distance 1 Conveyor 40 km
Power Requirements 40 Mw
Capacity 3000 t/h
Running time/day 14.7 h
Distance Requirements 710 km
Capacity/Year 16,096,500 Ton
Operating Cost 1,565,550
Model desain conveyor belt adalah multi stage conveyor.
Hal ini dikarenakan jarak pengiriman batubara sangat jauh
yaitu 710 km. Data yang dimiliki oleh peneliti adalah
conveyor belt sepanjang 40 km. Sehingga conveyor belt
sepanjang 40 km akan dihubungkan dengan hopper agar
muatan dapat diangkut conveyor belt selanjutnya.
Investasi pembangunan conveyor belt sepanjang 710 km
diasumsikan sebesar $ 280 juta dolar untuk setiap 40 km.
Hal ini berdasarkan investasi yang dilakukan oleh PT. Berau
Coal untuk pembangunan conveyor belt sepanjang 40 km
[8]. Total investasi yang dibutuhkan untuk membangun
sistem conveyor sepanjang 710 km adalah $ 4,9 milyar
dolar. Dengan suku bunga (i) 8.5% dan lama proyek (n) 15
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2012) ISSN: 2301-9271
6
tahun, maka total biaya per tahun selama 15 tahun untuk
pengembalian biaya investasi adalah $ 212,76 juta dolar.
Sedangkan untuk biaya operasi setiap tahun diasumsikan
sebesar biaya kebutuhan untuk listrik atau electrical. Dari
hasil perhitungan unit cost, untuk mengangkut batubara
sejauh 710 km dari Muarateweh menuju Taboneo, biaya
yang diperlukan adalah $ 72.28 per tonnya dengan kapasitas
angkut 16 juta ton per tahun
F. Komparasi Antar Moda
Untuk unit cost tongkang, terdapat lima macam unit cost.
Lima macam unit cost tersebut terdiri atas kombinasi antara
unit cost tongkang 270 feet di zona 1 dengan tongkang 180,
230, 270, 300, dan 330 feet di zona 2.
Gambar 6. Grafik Unit Cost
Pada grafik di atas terlihat bahwa unit cost conveyor
memiliki nilai yang tinggi. Sedangkan kurva unit cost
pipeline dengan kurva unit cost tongkang saling
berpotongan. Kurva unit cost tongkang memiliki persamaan
Y = 27,136X-0,084
. Sedangkan kurva unit cost pipeline
memiliki persamaan Y = 63,745X-0,398
. Perpotongan dua
kurva tersebut terjadi pada titik (15.15;21,60). Dapat
disimpulkan bahwa apabila produksi batubara lebih besar
dari 15,15 juta ton per tahun, armada yang paling murah
untuk mengangkut batubara adalah pipa.
V. KESIMPULAN
1. Berdasarkan hasil simulasi dapat disimpulkan bahwa
kapasitas maksimum sungai pada zona 1 adalah 512
kapal dan pada zona 2 adalah 388 kapal. Hasil simulasi
juga menunjukkan besarnya batubara yang dapat
diangkut. Pada hasil simulasi terlihat bahwa kapasitas
maksimum sungai hanya dapat mengangkut produksi
batubara sampai tahun 2013. Produksi batubara yang
terus meningkat tidak dapat terangkut oleh tongkang
karena kapasitas angkut maksimum dengan tongkang
lebih kecil dari pada angka produksi batubara.
Sehingga dapat disimpulkan 5 tahun ke depan
kepadatan tongkang mencapai nilai maksimum.
2. Perbandingan unit cost antara tongkang, pipa, dan
conveyor belt adalah : Tabel 9.
Perbandingan Unit Cost Capacity (Mton/Year) Coal Slurry Pipeline Conveyor Belt Barge
1 61.00$ -$ 26.47$
5 30.75$ 151.95$ 23.64$
8 25.53$ 110.79$ 22.53$
16 20.66$ 72.28$ 21.51$
28 18.62$ -$ 20.61$
3. Berdasarkan hasil simulasi kapasitas angkut maksimum
menggunakan tongkang adalah 14.729.000 ton dan
pada akhir tahun 2013 nilai produksi batubara sudah
melebihi kapasitas angkut maksimum tongkang.
Ditinjau dari unit cost, pipa merupakan pilihan yang
tepat untuk menggantikan tongkang batubara sebagai
alat angkut batubara di sungai.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT
karena atas karunianya penelitian ini dapat selesai. Tak lupa
penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
membantu penelitian ini terutama Ir. Tri Achmadi, Ph.D atas
bimbingannya kepada penulis selama penelitian dan Jurusan
Teknik Perkapalan yang telah memfasilitasi penulis selama
penelitian berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Nugroho, Hanan. Tinjauan terhadap infrastruktur
transportasi batubara di Kalimantan (Bappenas), Juni
2006.
[2] Assesment, Office of Technology. "A Technology
Assessment of Coal Slurry." 1978: 27-59.
[3] Coad, Peter, and Jill Nicola. Object-Oriented
Programming. New Jersey: PTR Prentice Hall, 1993.
[4] Makridakis, Spyros, Steven C. Wheelwright, dan Victor
E. McGee. Metode dan Aplikasi Peramalan. 2nd. Vol.
I. Jakarta: Erlangga, 1999.
[5] Stopford, Martin. Maritime Economics. London:
Routledge, 1997
[6] International, Warman. Warman Slurry Pumping
Handbook. Australia, Februari 2000.
[7] Flygt. Flygt Slurry Handbook. New York, 2010.
[8] Today, Indonesia Finance. Berau Bangun Conveyor
Belt dan Pembangkit. Agustus 15, 2012