analisis pendapatan dan tingkat risiko...
TRANSCRIPT
ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU
(Saccharum officinarum L)
(Studi di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri)
Oleh:
RENI DWI ASTUTIK
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU
(Saccharum officinarum L)
(Studi di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri)
Oleh
RENI DWI ASTUTIK
135040118133011
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Pertanian Strata Satu (S-1)
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa segala pernyataan skripsi ini merupakan hasil
penelitian saya sendiri, dengan bimbingan komisi pembimbing. Skripsi ini tidak
pernah diajukan untuk memperoleh gelar di perguruan tinggi manapun dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan
rujukannya dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Malang, 01 Agustus 2017
Reni Dwi Astutik 135040118133011
LEMBAR PERSEMBAHAN Bismillahirrohmanirrohim
Dengan rahmat Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, dengan ini
saya persembahkan skripsi ini untuk:
Kedua orangtua tercinta saya yang selalu mendoakan, mendukung dan
memberikan arahan dalam setiap langkah yang saya lalui hingga saat ini, dan syukur
alhamdulillah sampai juga pada tahap di mana saya mampu memperoleh gelar
sarjana. Tanpa mereka saya tidak akan dapat seperti ini. Semoga suatu saat saya
mampu membuat kalian bahagia dan bangga dengan saya.
Kakak tercinta, walaupun kita sering bertengkar hanya gara-gara masalah sepele,
tapi kebersamaan itulah yang tidak dapat tergantikan, dan kamu selalu ada di saat
aku butuh bantuan. Terimakasih semangatnya…..
My best friends, do’a dan dukungan kalian sangat luar biasa. Maafkan reni ya
yang selalu ngrepotin. Hehe……. Untuk Rico Yosa Perdana trimakasih
semangatnya dan bantuannya, selalu mendukung dalam susah senangku. Untuk
Thalia Eka Vatikasari, Vidia Oktavia Sari dan Lilis Setioningsih terimakasih
sudah menjadi sahabat terbaik ku selama ini. Semoga persahabatan kita selalu
terjaga sampai nanti. Kalian yang terbaik pokoknya…….
Agribisnis 2013, terimakasih atas kebersamaannya selama ini, canda tawa, lembur
bareng, sedih bareng gara-gara tugas akhirnya udah kita lewati bersama. Nano
nano rasanya saat kuliah bersama kalian….. Semangat kalian luar biasa. Semoga
kita semua sukses selalu ya guys………
i
RINGKASAN
RENI DWI ASTUTIK 135040118133011. Analisis Pendapatan dan Tingkat Risiko Usahatani Tebu (Saccharum officinarum L) (Studi di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri). Di bawah bimbingan Dr. Ir. Agustina Shinta MP, sebagai Pembimbing Utama.
Tebu sebagai bahan baku industri gula merupakan salah satu komoditi perkebunan yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian di Indonesia. Menurut Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (2016), sentra penanaman tebu di Indonesia tahun 2012-2016 terdapat di Propinsi Jawa Timur dengan luas 45,06% dari luas panen tebu Indonesia dan pada periode yang sama, Propinsi Lampung dengan kontribusi 25,30% dari luas panen tebu di Indonesia. Adapun 7 propinsi penghasil tebu lainnya adalah propinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Gorontalo, dan DI Yogyakarta.
Salah satu daerah penghasil tebu yang ada di Jawa Timur adalah di Kabupaten Kediri, menurut Badan Pusat Statistik kabupaten Kediri (2016), tanaman tebu merupakan komoditi andalan sektor perkebunan di Kabupaten Kediri. Produksi yang terus meningkat selama beberapa tahun terakhir, diikuti peningkatan produktivitas membuat petani seakan enggan untuk berpindah ke tanaman lain. Tanaman tebu dari segi perawatan memang relatif lebih mudah dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya. Kebutuhan gula nasional yang terus bertambah dari tahun ke tahun membuat pemerintah memacu produktivitas tanaman perkebunan ini.
Sentra penghasil tebu di Kabupaten Kediri adalah di Desa Setonorejo. Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Kediri (2016), Desa Setonorejo memiliki luas 2,45 km2 yang terdiri dari dua dusun dengan jumlah penduduk 3.591 jiwa dan mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Salah satu tanaman yang dibudidayakan di desa tersebut adalah tanaman tebu. Tanaman tebu di desa ini setiap musim tanamnya memiliki harga jual yang berbeda-beda, sehingga hal ini mempengaruhi tingkat pendapatan petani dan mampu menimbulkan risiko pendapatan untuk petani tebu, apalagi di desa ini sistem penjualannya dengan cara tebasan, sehingga harga terbentuk dari proses tawar-menawar antara petani dengan penebas. Hal inilah yang mengakibatkan pendapatan petani satu dengan yang lain memiliki gap yang tinggi, sehingga mengakibatkan tingkat risikonya pun juga tinggi.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk 1) Menganalisis Usahatani Tebu di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri, 2) Menganalisis tingkat risiko pendapatan tebu di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri. Penelitian ini difokuskan pada tebu dengan varietas PS-862 (tebu 62 atau tebu hijau) dengan sistem tanam keprasan tanpa dibedakan jenis keprasannya.
Penelitian ini dilakukan di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri dengan penentuan sampelnya dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling) yakni setiap responden memiliki kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel penelitian. Jumlah sampel yang akan diteliti sebanyak 39 responden petani tebu dengan menggunakan analisis deskriptif dan kuantitatif.
ii
Pendekatan deskriptif untuk mengetahui karakteristik atau gambaran umum petani tebu yang ada di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri. Sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk analisis usahatani tebu dengan menggunakan perhitungan biaya, penerimaan, dan pendapatan, sedangkan untuk analisis risiko menggunakan Koefisien Variasi (CV), Batas Bawah Pendapatan (L).
Hasil penelitian ini adalah petani di Desa Setonorejo memperoleh pendapatan dari usahatani tebunya sebesar Rp 44.012.792/Ha/Musim Tanam, sedangkan hasil perhitungan tingkat risiko diperoleh nilai harapan (E) sebesar Rp 24.431.791, yang artinya bahwa rata-rata pendapatan yang diterima petani di Desa Setonorejo pada masa tanam yang akan datang sebesar Rp 24.431.791. Nilai simpangan baku (nilai fluktuasi pendapatan) sebesar Rp 34.550.470, sedangkan nilai koefisien variasi (CV) atau tingkat risikonya sebesar 1,41 dari hasil yang diharapkan. Nilai batas bawah (L) sebesar Rp -44.669.148, artinya dalam proses usahatani tebu musim berikutnya petani harus berani menanggung kerugian karena berkurangnya nilai pendapatan sebesar Rp -44.669.148.
Kondisi di lapang yang mampu mengakibatkan turunnya pendapatan dan risiko pendapatan yang tinggi dapat berupa tebu roboh akibat adanya hujan yang disertai dengan angin, biasanya tebu roboh ini dapat dijadikan tempat sembunyi tikus, sehingga semakin lama tebu tersebut dapat rusak, selain itu harga tebu yang menurun setiap bulannya membuat petani satu dengan yang lain memperoleh pendapatan yang berbeda jauh sehingga tingkat variasi pendapatan tinggi, tebu berbunga, adanya hama berupa embug (uret), adanya jamur upas, dan kurangnya perawatan tanaman tebu saat di lahan yang mampu mengakibatkan tebu menjadi kecil, sehingga air tebu yang dihasilkan juga sedikit.
iii
SUMMARY
RENI DWI ASTUTIK 135040118133011. The Analysis Farming and Risk Level of Sugarcane (Saccharum officinarum L) (Study at Setonorejo Village, Kras Sub District, Kediri Regency). Supervised by Dr. Ir. Agustina Shinta HW.,MP
Sugarcane as a raw material for sugar industry is one of the plantation commodities that have a strategic role in the economy in Indonesia. According to the Center for Agricultural Data and Information Systems (2016), the center of sugarcane planting in Indonesia 2012-2016 located in East Java Province with an area of 45,06% of the total harvest of sugarcane Indonesia. In the same period, Lampung Province contributed 25,30% of the total harvest of sugarcane in Indonesia. The 7 other sugarcane producing provinces are Central Java, West Java, South Sumatra, South Sulawesi, North Sumatra, Gorontalo and DI Yogyakarta.
One of the sugar cane areas in East Java is Kediri Regency, according to the Central Bureau of Statistics of Kediri Regency (2016), sugarcane is a commodity mainstay of plantation sector in Kediri Regency. Production has steadily increased over the past few years, followed by increased productivity making farmers seem reluctant to move to other crops. Sugarcane plant is easier to care than other food crops. The national sugar demand that continues to grow from year to year make the government spur the productivity of this plantation crop.
The center of sugar cane in Kediri Regency is in Setonorejo Village. According to the Central Bureau of Statistics of Kediri Regency (2016), Setonorejo Village has an area of 2,45 km2 consisting of two hamlets with a population of 3.591 people and the majority of the population livelihood as farmers. One of the crops cultivated in the village is sugarcane crops. The sugarcane crop in this village each season has different selling price, so this affects the income level of farmers and can cause income risk of sugarcane farmer's, in this village sales system by way of slash, so the price formed from the process of bargaining between farmer with slasher. This phenomenon can result in the income of farmers one with another has a high gap
Based on the explanation, this research is aimed at 1) Analyzing Sugarcane farming in Setonorejo Village, Kras Subdistrict, Kediri Regency, 2) Analyzing the risk level of sugarcane income in Setonorejo Village, Kras Subdistrict, Kediri Regency. This research focused on sugarcane with PS-862 varieties (sugar cane 62 or green sugarcane) with keprasan system.
This research was conducted in Setonorejo Village, Kras Subdistrict, Kediri Regency with simple random sampling to sample determination which each respondent had the same opportunity to be a research sample. The number of samples to be researched are 39 respondents of sugar cane farmers by using deskriptive and quantitative analysis. Descriptive analysis to know the characteristics or general description of sugar cane farmers in Setonorejo Village, Kras Subdistrict, Kediri Regency. While quantitative analysis is used for sugar cane farming analysis by using cost calculation, acceptance, and profit or income, while for risk analysis using Coefficient of Variation (CV), and the Lower Limit of Income (L).
iv
The result of this research is the farmer in Setonorejo village on average get the profit from the sugarcane farming is Rp 44.012.792/Ha/Planting Season and risk level obtained by expectation value (E) equal is Rp 24.431.791, which mean that average income earned by sugarcane farmers at Setonorejo Village in the upcoming plating season is Rp 24.431.791. Value of standard deviation (income fluctuation value) is Rp 34.550.470, while the value of Coefficient Variation (CV) or the risk level is 1,41 from the expected result. Lower limit value (L) of Rp -44.669.148, meaning that in the process of sugarcane farming the next season farmers must dare to bear losses due to reduced revenue value of Rp -44.669.148.
Conditions in the field that can lead to lower revenue and high income risks can be sugarcane collapsed due to rain with wind, usually if sugarcane collapsed can be a place to mouse hides, so the longer it can be damaged sugarcane, other than that the price of sugar cane is decreased every month to make farmers one with another to earn a much different income so the level of income variation is high, flowering sugarcane, embug pest (uret), jamur upas, and less care so small cane, this phenomenon cause water from sugarcane to materials to sugar industry is low and level risk of sugarcane income is high.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan baik dan lancar.
Penelitian ini berjudul “Analisis Pendapatan dan Tingkat Risiko Usahatani Tebu
(Saccharum officinarum L) (Studi di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras,
Kabupaten Kediri)” yang disusun sebagai salah satu persyaratan dalam
memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Agribisnis Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya Malang.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:
1. Orang tua penulis yang selalu memberikan dukungan dan do’a selama
perkuliahan hingga dalam penyusunan skripsi yang telah dilakukan.
2. Dr. Ir. Agustina Shinta HW.,MP, selaku dosen pembimbing dan Ketua
Program Studi Agribisnis, yang telah membimbing penyusunan skripsi.
3. Mangku Purnomo, SP.,M.Si.,Ph.D, selaku Ketua Jurusan Sosial Ekonomi
Pertanian di Universitas Brawijaya.
4. Silvana Maulidah., SP., MP, selaku dosen penguji ujian skripsi yang telah
memberikan masukan dan arahan perbaikan draft skripsi.
5. Nur Baladina.,SP.,MP, selaku dosen penguji sekaligus Ketua Program Studi
Agribisnis di Universitas Brawijaya Kediri yang telah memberikan arahan
mengenai penyusunan skripsi.
6. Bapak Marnani selaku kepala desa dan seluruh perangkat desa yang telah
membantu penelitian, sehingga penelitian ini dapat berjalan lancar
7. Teman-teman yang selalu memberikan dukungan dan semangat dalam
penyusunan skripsi ini.
Penelitian ini dilakukan di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras, Kabupaten
Kediri, alasan pemilihan di Desa Setonorejo karena desa tersebut merupakan salah
satu desa dengan sentra tanaman tebu, di mana penjualan tebu di daerah ini
melalui penebas, yaitu dengan sistem tawar menawar, sehingga harga yang
terbentuk ditingkat petani sama dengan penerimaan. Setiap komoditas pertanian
pasti memiliki risiko sendiri-sendiri, hal tersebut juga dirasakan oleh petani tebu,
jika harga gula turun maka petani tebu juga akan merasakan dampaknya karena
harga tebu yang mereka jual juga akan turun, sebaliknya jika harga gula naik
vi
maka harga tebu ditingkat petani juga akan naik. Ketidakpastian inilah yang
nantinya mengakibatkan risiko.
Risiko dalam usahatani tebu terdiri dari 3 macam, yaitu risiko harga, risiko
produksi dan risiko pendapatan, namun pada penelitian ini lebih difokuskan ke
risiko pendapatan yang didapatkan oleh petani dalam satu kali masa tanam, karena
harga jual per ton dan jumlah produksi tebu tidak diketahui secara pasti oleh
petani (sistemnya sudah borongan). Penelitian dilakukan untuk mengetahui sejauh
mana tingkat pendapatan yang didapat oleh petani tebu terhadap usahatani
tebunya, selain itu untuk mengetahui besarnya tingkat risiko yang dihadapi oleh
petani tebu dalam satu kali musim tanam, yaitu musim tanam tahun 2015-2016.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi tambahan bagi
petani untuk memutuskan tetap menanam tebu atau tidak, mengingat risiko
pendapatan yang diterima oleh petani tinggi.
Namun penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi masih
terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat diharapkan penulis demi perbaikan skripsi yang telah
dilakukan penulis, agar penelitian selanjutnya dapat lebih baik lagi.
Malang, 01 Agustus 2017
Penulis
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Reni Dwi Astutik dilahirkan di Kediri pada tanggal 28 Juli
1994 yang merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari Bapak Sodir dan Ibu
Yamini. Bapak Sodir bekerja sebagai petani sedangkan Ibu Yamini bekerja
sebagai ibu rumah tangga dan memiliki kakak laki-laki Aris Siswantoro.
Penulis menempuh pendidikan di SDN Setonorejo I di Desa Setonorejo,
Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri pada tahun 2001 dan selesai pendidikan dasar
tahun 2007, kemudian penulis melanjutkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di
SMPN 1 Kras, di Desa Kras, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri pada tahun 2007
hingga tahun 2010. Sedangkan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMAN 1 Kras
di Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri pada tahun 2010-2013. Pada tahun 2013
penulis terdaftar sebagai mahasiswa Strata-1 Prodi Agribisnis, Fakultas Pertanian
di Universitas Brawijaya melalui jalur bidikmisi Universitas Brawijaya Kampus
III Kediri.
Selama menjadi mahasiswa penulis pernah mengikuti kegiatan kepanitiaan
diantaranya kegiatan Brawijaya Fun Togeher (Ju fun get), Sayembara Garis Pena
dan Seminar Nasional Wira Nagara, selain itu penulis juga mengikuti kegiatan
kemahasiswaan Brawijaya Inspairing Academy, Penanaman Seribu Pohon di
Keraton, Mojo dan Party Agri yang diselenggarakan oleh Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya Kediri.
viii
DAFTAR ISI
RINGKASAN..................................................................................................... i
SUMMARY........................................................................................................ iii
KATA PENGANTAR........................................................................................ v
RIWAYAT HIDUP............................................................................................ vii
DAFTAR ISI...................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL............................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang.................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................... 5
1.3. Tujuan Penelitian................................................................................ 8
1.4. Kegunaan Penelitian........................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 9
2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu............................................................ 9
2.2. Gambaran Umum Tebu....................................................................... 11
2.3. Budidaya Tebu.................................................................................... 12
2.3.1. Teknis Budidaya Tebu................................................................... 13
2.3.2. Budidaya Keprasan........................................................................ 17
2.4. Konsep Usahatani............................................................................... 17
2.5. Pola Pemasaran Tebu.......................................................................... 18
2.6. Analisis Usahatani............................................................................... 21
2.7. Konsep Risiko...................................................................................... 25
2.8. Pengukuran Risiko............................................................................... 30
BAB III KERANGKA TEORITIS...................................................................... 33
3.1. Kerangka Pemikiran............................................................................ 33
3.2. Hipotesis.............................................................................................. 37
3.3. Batasan Masalah................................................................................. 37
3.4. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel.................................. 37
BAB IV METODE PENELITIAN...................................................................... 41
4.1. Pendekatan Penelitian.......................................................................... 41
4.2. Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian............................................. 41
4.3. Teknik Penentuan Sampel................................................................... 41
4.4. Teknik Pengumpulan Data.................................................................. 42
4.5. Teknik Analisis Data........................................................................... 44
4.5.1. Analisis Deskriptif......................................................................... 44
4.5.2. Analisis Kuantitatif........................................................................ 44
ix
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................. 49
5.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian................................................... 49
5.1.1. Letak Geografis dan Batas Administrasi........................................ 49
5.1.2. Luas Wilayah Berdasarkan Penggunaan Lahan............................. 49
5.1.3 Keadaan Penduduk.......................................................................... 50
5.2. Karakteristik Responden...................................................................... 51
5.2.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia................................... 51
5.2.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan........... 52
5.2.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Berusahatani Tebu.. 53
5.2.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Luas Lahan........................ 53
5.2.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Frekuensi Keprasan........... 54
5.2.6. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan. 55
5.3. Analisa Usahatani Tebu....................................................................... 56
5.3.1. Analisis Biaya Usahatani Tebu...................................................... 56
5.3.2. Analisis Penerimaan Usahatani Tebu............................................. 57
5.3.3. Analisis Pendapatan Usahatani...................................................... 59
5.4. Analisis Risiko Pendapatan Tebu........................................................ 60
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN............................................................. 65
6.1. Kesimpulan.......................................................................................... 65
6.2. Saran.................................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 66
LAMPIRAN......................................................................................................... 69
x
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Teks
Tabel 1. Data luas panen tebu, produksi dan permintaan gula di Indonesia........ 2
Tabel 2. Kabupaten Sentra Produksi Tebu di Jawa Timur tahun 2014................ 2
Tabel 3. Pengukuran Variabel dan Definisi Operasinal...................................... 38
Tabel 4. Biaya yang dikeluarkan untuk usahatani tebu....................................... 45
Tabel 5. Batas Wilayah Desa Setonorejo............................................................ 49
Tabel 6. Luas Wilayah berdasarkan Penggunaan Lahan.................................... 50
Tabel 7. Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian............................ 51
Tabel 8. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia........................................... 52
Tabel 9. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan................... 52
Tabel 10. Karakteristik Responden Berdasakan Lama Usahatani Tebu.............. 53
Tabel 11. Karakteristik Responden Berdasarkan Luas Lahan Tebu................... 54
Tabel 12. Karakteristik Responden Berdasarkan Frekuensi Keprasan Tebu....... 54
Tabel 13. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan..... 55
Tabel 14. Total Biaya Usahatani Tebu Musim Tanam 2015-2016..................... 56
Tabel 15. Pendapatan Petani Responden Musim Tanam 2015-2016................... 59
Tabel 16. Hasil Perhitungan Tingkat Risiko Pendapatan Tebu........................... 61
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Teks
Gambar 1. Kurva Biaya Tetap............................................................................ 22
Gambar 2. Kurva Total Biaya Variabel.............................................................. 23
Gambar 3. Kurva Total Biaya............................................................................. 24
Gambar 4. Rangkaian kejadian berisiko dengan kejadian ketidakpastian.......... 26
Gambar 5. Hubungan antara risk dan return....................................................... 30
Gambar 6. Kerangka Pemikiran Analisis Usahatani dan Tingkat Risiko
Pendapatan Tebu (Saccharum officinarum L) (Studi di
Desa Setonorejo, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri)……………. 36
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
Teks
Lampiran 1. Identitas Responden........................................................................ 71
Lampiran 2. Total Biaya Tetap Musim Tanam 2015-2016/Ha........................... 73
Lampiran 3. Total Biaya Variabel Musim Tanam 2015-2016/Ha...................... 75
Lampiran 4. Total Biaya Usahatani Tebu Musim Tanam 2015-2016/Ha........... 77
Lampiran 5. Penerimaan Usahatani Tebu Musim Tanam 2015-2016/Ha........... 79
Lampiran 6. Pendapatan Usahatani Tebu Musim Tanam 2015-2016/Ha........... 81
Lampiran 7. Risiko Pendapatan Tebu Musim Tanam 2015-2016...................... 83
Lampiran 8. Data Penerimaan Petani Tebu Musim Tanam 2016-2017
fHingga Bulan Mei 2017................................................................... 85
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya dengan keragaman flora dan
memiliki iklim yang sangat cocok untuk tumbuh berbagai jenis tanaman, salah
satu tanaman yang dinilai berprospek baik adalah komoditas perkebunan.
Tanaman perkebunan mempunyai peranan penting dalam pembangunan
perekonomian di Indonesia. Komoditas tanaman ini telah mampu mendatangkan
devisa bagi negara, membuka lapangan pekerjaan dan menjadi sumber pendapatan
penduduk, serta berkontribusi dalam upaya melestarikan lingkungan. Salah satu
jenis tanaman perkebunan yang menjadi unggulan di Indonesia adalah tanaman
tebu, (Suwarto dan Octavianty, 2010).
Tebu merupakan tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tanaman
ini dapat tumbuh di daerah beriklim tropis, tanaman ini termasuk jenis rumput-
rumputan yang biasanya tumbuh di dataran rendah. Tebu diperkirakan berasal dari
Papua dan mulai dibudidayakan sejak 8.000 SM. Tanaman ini menyebar seiring
dengan migrasi manusia. Tebu menyebar mulai dari Papua ke Kepulauan
Solomon, New Hibride, dan Kaledonia Baru, (Suwarto dan Octavianty, 2010).
Tebu atau Saccharum officinarum L. termasuk tanaman jenis rumput-rumputan
yang dimanfaatkan air dari dalam batangnya untuk bahan baku gula, (Pusat Data
dan Sistem Informasi Pertanian, 2016).
Tebu sebagai bahan baku industri gula merupakan salah satu komoditi
perkebunan yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian di Indonesia,
(Badan Pusat Statistik, 2015). Hal ini karena setiap rumah tangga memerlukan
gula untuk kebutuhan sehari-hari, bahkan perusahaan-perusahaan pun juga banyak
yang membutuhkan gula untuk bahan pembuatan produknya. Selain itu luas
tanam, tingkat produksi dan permintaan gula dari tahun ke tahun juga berbeda,
bahkan pada tahun 2016 diperkirakan permintaannya meningkat dari tahun
sebelumnya, sehingga inilah salah satu alasan bahwa tebu merupakan tanaman
perkebunan yang strategis untuk dikembangkan. Perkembangan luas tanam,
produksi dan permintaan gula dapat dilihat pada tabel 1.
2
Tabel 1. Data luas panen tebu, produksi dan permintaan gula di Indonesia
Tahun Luas panen (Ha)
Produksi (ton)
Produktivitas (ton/Ha)
Permintaan gula (ton)
2007 427.799 2.517.374 5,70 1.946.033 2008 436.505 2.694.227 6,00 1.926.792 2009 422.953 2.517.374 5,70 1.828.943 2010 432.715 2.290.116 5,04 1.834.465 2011 450.833 2.267.887 4,87 1.786.721 2012 449.148 2.591.687 5,77 1.589.409 2013 466.641 2.551.026 5,47 1.654.196 2014 477.123 2.579.173 5,41 1.616.238 2015 461.732 2.623.931 5,68 1.578.481 2016* 472.693 2.715.883 5,75 3.011.887
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, diolah Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (2016)
*) Angka estimasi
Sentra penanaman tebu di Indonesia terdapat di Propinsi Jawa Timur. Hal
ini dapat dibuktikan berdasarkan data rata-rata luas panen tebu selama tahun
2012-2016, seluas 45,06% luas panen tebu Indonesia berada di Propinsi Jawa
Timur. Pada periode yang sama, Propinsi Lampung dengan kontribusi 25,30%
dari luas panen tebu di Indonesia. Adapun 7 propinsi penghasil tebu lainnya
adalah propinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan,
Sumatera Utara, Gorontalo, dan DI Yogyakarta, (Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian, 2016). Sementara itu untuk di Jawa Timur sentra penanaman tebu dapat
dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Kabupaten Sentra Produksi Tebu di Jawa Timur tahun 2014
No. Kabupaten/Kota Produksi (ton)
1. Kabupaten Malang 273.540 2. Kabupaten Kediri 215.805 3. Kabupaten Lumajang 121.600 4. Kabupaten Jombang 57.749 5. Kabupaten Mojokerto 54.342
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, diolah Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (2016)
Berdasarkan tabel 2 tersebut dapat diketahui salah satu sentra penanaman
tebu di Jawa Timur adalah di Kabupaten/Kota Kediri. Menurut Badan Pusat
Statistik Kabupaten Kediri (2016), tanaman tebu merupakan salah satu komoditi
andalan sektor perkebunan di Kabupaten Kediri. Produksi yang terus meningkat
selama beberapa tahun terakhir, diikuti peningkatan produktivitas yang membuat
3
petani seakan enggan untuk berpindah ke tanaman lain. Memang dari segi
perawatan, tanaman tebu relatif lebih mudah dibandingkan dengan tanaman
lainnya. Di sisi lain kebutuhan gula nasional yang terus bertambah membuat
pemerintah memacu produktivitas tanaman perkebunan ini, agar antara kebutuhan
nasional dengan tingkat produktivitas mampu seimbang, sehingga Indonesia tidak
perlu impor gula dari negara lain.
Peningkatan produktivitas tebu tidaklah mudah, karena setiap usahatani
memiliki risiko sendiri-sendiri tergantung jenis komoditas yang ditanamnya, salah
satunya usahatani tebu, tanaman ini memang perawatannya lebih mudah apabila
dibandingkan dengan tanaman yang lain, namun dalam usahatani tebu memiliki
risiko diantaranya risiko produksi, risiko harga dan risiko pendapatan. Risiko
produksi dapat dipengaruhi oleh adanya hujan dan angin yang mampu
mengakibatkan tebu roboh, risiko harga dipengaruhi oleh ketidakpastian harga
yang didapat oleh petani pada saat musim panen tiba, sedangkan risiko
pendapatan dapat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya biaya usahatani yang
dikeluarkan setiap musim tanam, harga jual dan tingkat produksi yang didapat
oleh petani. Ketiga risiko tersebut mampu mengakibatkan kerugian bagi petani
jika tidak segera dilakukan penanganan yang baik.
Desa Setonorejo merupakan salah satu desa di Kecamatan Kras, Kabupaten
Kediri dengan luas 2,45 km2 yang terdiri dari dua dusun yaitu Dusun Demangan
dan Dusun Setonorejo dengan jumlah penduduk hingga Maret 2017 sebanyak
3.591 jiwa dan mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai petani,
adapun jumlah penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani sebesar
61,57%. Tanaman perkebunan yang ditanam di desa ini mayoritas adalah tanaman
tebu dengan luas 46 hektar, (Tingkat Perkembangan Desa dan Kelurahan, 2017).
Secara umum, harga tebu di tingkat petani dipengaruhi oleh harga gula yang
berlaku pada saat itu yang nantinya berpengaruh terhadap pendapatan petani,
semakin tinggi harga gula maka semakin tinggi pula harga tebu dan pendapatan
yang diterima oleh petani. Perkembangan harga gula dalam negeri tahun 2007
rata-rata sebesar Rp 10.502 per kg, tahun 2011 sebesar Rp 10.011 per kg, tahun
2012 sebesar Rp 11.513 per kg, tahun 2013 Rp 11.923 per kg, dan tahun 2014
turun menjadi Rp 10.859 per kg, (Direktorat Jenderal Perkebunan dalam Pusat
4
Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2016). Harga gula yang berbeda-beda ini
tentunya menimbulkan ketidakpastian harga tebu, sehingga dengan adanya
ketidakpastian harga tebu maka dapat berpengaruh pada pendapatan.
Petani tebu di Desa Setonorejo dalam sistem penjualan tebunya tidak
langsung kepada pabrik gula, namun petani tebu menjualnya kepada penebas tebu
dengan sistem tebas baik kepada pengepak tebu maupun kepada industri gula
merah. Harga yang diterima petani tidak berdasarkan rendemen, melainkan harga
tebu didapat dari sistem tawar-menawar petani dengan penebas tebu yang
didasarkan pada luasan lahan yang digunakan untuk budidaya tebu, kualitas tebu
di lahan, dan berdasarkan harga rata-rata tebu per hektar nya. Harga jual yang
diterima petani di desa ini sama dengan penerimaan usahatani tebu karena
menggunakan sistem tebasan, karena sistem tebas maka sebagian besar petani
tidak mengetahui jumlah produksi yang didapatnya dari hasil usahatani tebu,
tentunya hal ini mampu mempengaruhi penerimaan petani dan menimbulkan
risiko pendapatan yang tinggi.
Ketidakpastian penerimaan tebu dapat dibuktikan berdasarkan hasil
wawancara yang telah dilakukan dengan seorang petani di desa tersebut, dan
didapatkan data harga tebu beberapa tahun terakhir yang dibeli oleh penebas tebu
yaitu pada tahun 2012 rata-rata harga tebu sebesar Rp 75.000.000 per Ha, tahun
2013 harga tebu Rp 67.000.000-70.000.000 per Ha, tahun 2014 sebesar Rp
35.000.000-45.000.000 per Ha, tahun 2015 sebesar Rp 75.000.000 per Ha, tahun
2016 sebesar Rp 70.000.000 per Ha, sedangkan awal Mei ini harganya masih
turun menjadi Rp 50.000.000-55.000.000 per Ha dan harga tersebut kemungkinan
masih bisa turun pada bulan berikutnya. Petani mengatakan bahwa penerimaan
yang menurun ini kemungkinan akibat adanya impor gula dari luar negeri.
Penerimaan petani yang tidak menentu mampu mempengaruhi pendapatan
yang diperoleh petani yang nantinya dapat menimbulkan risiko pendapatan.
Penerimaan tebu yang tidak menentu membuat petani sering mengeluh karena
kadang tidak mampu menutupi biaya usahatani yang telah dilakukan, padahal
tujuan petani menanam tebu adalah mendapatkan pendapatan yang nantinya dapat
digunakan kembali untuk menanam komoditas selanjutnya. Biasanya petani
menjual hasil tebunya saat pabrik gula sudah buka giling, namun saat itu
5
merupakan panen raya sehingga harga tebu terkadang anjlok yang mampu
mempengaruhi penerimaan petani dan pendapatan petani menurun bahkan merugi.
Berdasarkan fenomena di atas maka perlu dilakukan penelitian terkait
tingkat risiko usahatani tebu. Penelitian ini nantinya difokuskan pada perhitungan
usahatani tebu untuk mengetahui seberapa besar tingkat pendapatan petani tebu di
Desa Setonorejo dan dapat diketahui tingkat risiko pendapatan tebu tahun 2016.
Perhitungan usahatani ini sebagai salah satu bukti bahwa tebu merupakan
komoditas strategis untuk dikembangkan karena mampu menguntungkan,
sementara itu risiko yang dianalisis adalah risiko pendapatan karena risiko
tersebut yang sering dialami oleh petani tebu di Desa Setonorejo, Kecamatan
Kras, Kabupaten Kediri, dengan adanya penelitian ini maka dapat diketahui
besarnya risiko yang dihadapi oleh petani tebu dalam usahataninya.
Penelitian ini penting untuk dilakukan karena adanya ketidakpastian
penerimaan ditingkat petani yang mengakibatkan tingkat pendapatan petani pun
juga menurun. Hasil penelitian ini nantinya mampu menghasilkan tingkat
pendapatan tebu dan risiko pendapatan tebu. Penelitian ini bermanfaat untuk dapat
dijadikan masukan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan terkait harga
gula yang berpengaruh terhadap penerimaan dan pendapatan petani tebu dan
berguna bagi mahasiswa untuk menambah wawasan terkait pendapatan yang
diperoleh petani tebu dan risiko pendapatan tebu.
1.2. Rumusan Masalah
Tanaman tebu merupakan salah satu tanaman perkebunan yang menjadi
bahan baku pembuatan gula, pembudidayaan tanaman ini cukup mudah apabila
dibandingkan dengan tanaman lain, seperti sayur-sayuran maupun tanaman
pangan. Tanaman tebu merupakan komoditas yang strategis untuk dikembangkan
di Indonesia, sehingga masih banyak petani yang membudidayakan tanaman ini.
Pembudidayaan tanaman ini membutuhkan input berupa bibit, pupuk, pestisida,
alsintan (alat dan mesin pertanian seperti cangkul), dan biaya untuk tenaga kerja
selama proses budidaya. Tanaman tebu memiliki umur 8-12 bulan, tergantung dari
jenis tebu yang ditanam.
6
Desa Setonorejo merupakan salah satu desa di Kabupaten Kediri yang
merupakan sentra tanaman tebu, wilayah ini menjadi sentra budidaya tebu karena
dekat dengan penebas tebu dan dekat dengan pabrik gula yaitu PG. Ngadirejo.
Tebu merupakan tanaman yang mampu menguntungkan jika dibudidayakan
dengan baik, sehingga perlu adanya perhitungan pendapatan untuk mengetahui
besarnya tingkat pendapatan yang diterima oleh petani tebu. Jika penerimaan yang
diterima petani melebihi biaya yang dikeluarkan dalam satu kali masa tanam,
maka petani akan mengalami untung dari usahatani tebu yang dilakukan, namun
sebaliknya jika total biaya melebihi penerimaan, maka petani merugi dan harus
mampu mencari solusi yang terbaik dari permasalahan tersebut.
Selain berdasarkan besarnya pendapatan yang diperoleh petani, usahatani
tebu juga memiliki berbagai kendala yang harus dihadapi oleh petani, sehingga
mampu menyebabkan risiko, salah satunya adalah risiko pendapatan, risiko
pendapatan merupakan risiko yang dihasilkan dari jumlah penerimaan petani
dengan jumlah biaya yang dikeluarkan petani dalam satu kali masa tanam. Risiko
pendapatan ini dapat diukur dengan menggunakan Koefisien Variasi (CV), di
mana jika koefisien variasinya besar, maka risikonya besar dan jika koefisien
variasinya kecil maka risiko pendapatan tebu juga kecil selama satu kali masa
tanam.
Penjualan tebu di Desa Setonorejo yakni sistem tebas di lahan. Tebasan ini
biasanya dilakukan oleh pengepak tebu dan industri gula merah. Biasanya petani
menjual hasil tebunya kepada penebas dengan sistem tawar-menawar yang
disesuaikan dengan luasan lahan yang digunakan untuk budidaya tebu, kualitas
tebu di lahan, dan berdasarkan harga rata-rata tebu per Ha nya. Sehingga harga
yang diterima sama dengan penerimaan yang didapatkan oleh petani, oleh sebab
itu antara petani satu dengan yang lain mendapatkan penerimaan yang berbeda
yang mampu menimbulkan risiko pendapatan usahatani tebu.
Penelitian ini difokuskan pada risiko pendapatan saja karena yang dianalisis
merupakan tebu dengan sistem penjualan tebasan dan sistem budidayanya adalah
kepras, di mana pada sistem tebas ini tidak diketahui secara pasti harga tebu per
kuintalnya maupun jumlah produksinya. Sistem budidaya kepras merupakan
sistem budidaya pada tebu tanpa membeli bibit kembali dari penjual bibit,
7
biasanya petani memilih sistem ini untuk lebih menghemat biaya usahatani. Hal
ini juga dilakukan oleh sebagian besar petani yang ada di Desa Setonorejo, sebab
di Desa Setonorejo banyak petani tebu yang sering menunda penjualan tebu dan
sering mengeluh akibat adanya ketidakpastian atau anjloknya harga tebu
(penerimaan tebu). Padahal penundaan penjualan mampu mempengaruhi kualitas
tebu, sehingga mampu menyebabkan risiko pendapatan tebu.
Risiko pendapatan merupakan risiko yang sulit untuk dikendalikan, sebab
risiko pendapatan dipengaruhi oleh harga per luasan lahan petani dan kualitas
tebunya dan harga tebu sudah diatur oleh pemerintah, sehingga sebagai petani
hanya dapat menerima harga tersebut sesuai yang berlaku pada saat itu, dan hal ini
tentunya berpengaruh pada pendapatan petani tebu juga. Selain itu harga gula juga
diatur berdasarkan harga lelang, sehingga petani sebagai produsen tidak bisa
untuk mengendalikan kondisi tersebut.
Menurut Idris (2017), Kementerian Perdagangan baru saja mengeluarkan
izin impor gula mentah atau raw sugar kepada 8 pabrik gula sebesar 400.000 ton.
Gula mentah nantinya akan diolah menjadi Gula Kristal Putih (GKP) untuk dijual
sebagai gula konsumsi. Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia
(APTRI), Sumitro Samadikun mengungkapkan pihaknya khawatir harga tebu
akan kembali anjlok dengan masuknya gula impor tersebut, karena pasokan gula
dalam negeri masih sangat mencukupi untuk satu tahun ke depan.
Anjloknya harga tebu yang diakibatkan adanya impor gula dari luar negeri
mampu menyebabkan risiko harga bagi petani, terutama petani tebu yang ada di
Desa Setonorejo, hal inilah yang ditakuti petani jika saat panen tebu tiba, yakni
harga tebu anjlok, padahal petani sudah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit
untuk usahataninya yang nantinya berpengaruh pada tingkat pendapatan petani
tebu. Namun jika harganya anjlok maka petani akan mendapatkan pendapatan
sedikit, impas atau bahkan merugi. Sehingga dengan adanya ketidakpastian harga
ini mampu menimbulkan risiko pendapatan tebu. Berdasarkan kondisi yang telah
dijabarkan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pendapatan petani tebu di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras,
Kabupaten Kediri?
8
2. Bagaimana tingkat risiko pendapatan tebu di Desa Setonorejo, Kecamatan
Kras, Kabupaten Kediri?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan di
atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis pendapatan usahatani tebu di Desa Setonorejo, Kecamatan
Kras, Kabupaten Kediri.
2. Menganalisis tingkat risiko pendapatan tebu di Desa Setonorejo, Kecamatan
Kras, Kabupaten Kediri.
1.4. Kegunaan Penelitian
1. Berguna bagi petani sebagai acuan dalam menanam tebu, yakni dengan
adanya risiko pendapatan tebu maka petani dapat memilih mengambil risiko
atau berpindah untuk menanam komoditas lain yang mungkin lebih
menguntungkan.
2. Berguna bagi pemerintah untuk lebih menstabilkan harga gula dalam negeri,
karena harga gula mampu mempengaruhi pendapatan petani tebu. Sehingga
dapat dijadikan informasi atau tolok ukur dalam mengambil kebijakan terkait
harga komoditas pertanian, khususnya tebu.
3. Berguna bagi aparat desa agar dapat dijadikan patokan dan tolok ukur untuk
menjadikan Desa Setonorejo sebagai sentra tanaman tebu dengan cara
mengintensifkan budidaya tanaman tebu yang ada di desa tersebut agar
pendapatan petani pun juga meningkat dan diaktifkannya kelompok tani yang
ada di desa ini agar informasi-informasi terkait harga tebu lebih mudah
tersalurkan.
4. Berguna bagi mahasiswa dan peneliti selanjutnya untuk menambah wawasan
dan pengetahuan serta sebagai bahan rujukan dalam penelitian selanjutnya
yang mungkin akan dilakukan.
II.…TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan oleh pihak lain dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan yang berkaitan dengan masalah penelitian.
Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Prastanti (2014) mengenai perilaku
petani terhadap risiko usahatani padi organik. Permasalahan yang dikaji yaitu
pengembangan usahatani padi organik yang memiliki berbagai risiko. Analisis
yang digunakan yaitu analisis usahatani, koefisien variasi (CV) dan batas bawah
(L). Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani padi organik pada hasil
analisis risiko harga menunjukkan tingkat risiko yang kecil dan terhindar dari
kerugian dan pada analisis risiko produksi dan pendapatan menunjukkan tingkat
risiko yang besar dan berpeluang mengalami kerugian.
Ratnasari (2013) mengenai perilaku petani terhadap risiko usahatani sayuran
organik. Permasalahan yang dikaji yaitu budidaya sayuran organik berpotensi
mengalami risiko. Metode analisis yang digunakan adalah metode koefisien
variasi (CV) dan batas bawah (L) untuk menganalisis risiko usahatani. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa komoditas kailan berpotensi mengalami
kerugian (berisiko lebih besar) dibandingkan dengan tiga komoditas lainnya
(kangkung, bayam hijau, bayam merah).
Shinta (2016) mengenai capaian pendapatan didasarkan pada preferensi
petani terhadap risiko usahatani padi. Masalah yang dikaji terkait preferensi petani
terhadap risiko dan melakukan pengelompokan berdasarkan penggunaan input
usahatani dan pendapatan. Metode analisis data menggunakan expected utility of
income dan pendapatan. Adapun hasil dari penelitian ini adalah jumlah terbanyak
preferensi petani padi di wilayah penelitian adalah risk averter (petani
menghindari risiko) sebanyak 77,7%. Petani risk averter menggunakan input
(benih, tenaga kerja dan pupuk) paling sedikit dibandingkan jenis preferensi yang
lain, namun karena produksi yang dihasilkan juga paling sedikit, maka pendapatan
yang diperoleh paling sedikit dibandingkan yang lain.
Shinta.,dkk (2016) mengenai penggabungan risiko petani preferensi dan
teknologi dengan analisis total faktor produktivitas usahatani padi. Permasalahan
yang dikaji terkait risiko alam dan teknologi serta penggunaan input dan
10
pendapatan. Metode analisis data dengan menggunakan Expected Utility of
Income, hasil penelitian menunjukkan bahwa 77,7% petani preferensi memilih
menghindari risiko. Petani yang menghindari risiko menggunakan input (benih,
tenaga kerja, dan pupuk) lebih rendah dari pada yang lain, kecuali pestisida.
Meskipun biaya yang dikeluarkan petani yang menghindari risiko lebih kecil,
namun karena produksi yang dihasilkan juga sedikit, maka pendapatan yang
didapat juga sedikit dari pada yang lain.
Shinta.,dkk (2016) mengenai pengukuran efisiensi teknis yang melibatkan
petani preferensi terhadap risiko usahatani padi. Permasalahan yang dikaji terkait
efisiensi teknis, risiko alam dan teknologi yang harus dihadapi oleh petani.
Metode yang digunakan adalah Expected Utility of Money untuk mengukur
peferensi petani terhadap risiko. Hasil penelitian ini adalah 77,7% petani
menghindari risiko.
Shinta, (2016) mengenai pengaruh tingkat inefisiensi teknis melibatkan
peilaku petani terhadap risiko menuju pendapatan dalam produksi padi.
Permasalahan yang dikaji adalah adanya inefisiensi teknis pada usahatani padi
mampu mempengaruhi pendapatan yang diterima petani. Metode analisis data
dengan menggunakan translog stochastic profit frontier and share of expenditure
untuk input terhadap pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
pengaruh negatif tingkat inefisiensi teknis dan signifikan dengan pendapatan 2,61.
Hal ini berarti semakin tinggi tingkat inefisiensi teknis satu digit maka maka akan
terjadi penurunan pendapatan sebesar 2,61.
Rohmah.,dkk (2014), terkait pendapatan dan tingkat kesejahteraan petani
tebu tanam dan keprasan. Permasalahan yang dikaji yaitu adanya risiko dalam
berusahatani tebu mampu mempengaruhi tingkat kesejahteraan petani tebu.
Sehingga perlu dilakukan analisis terkait tingkat pendapatan tebu dan tingkat
risiko produksi dan pendapatan tebu, serta tingkat kesejahteraan rumah tangga
petani tebu di Kabupaten Bantul. Metode analisis yang digunakan untuk
menganalisis tingkat risiko adalah dengan Koefisien Variasi (CV). Hasil
penelitian ini tingkat risiko yang paling tinggi adalah risiko produksi usahatani
tebu sistem keprasan 2 dengan CV 0,15. Sedangkan untuk tingkat risiko
11
pendapatan yang paling tinggi adalah risiko pendapatan petani tebu keprasan 2
dengan CV 3,76.
Toledo (2011), terkait evaluasi faktor-faktor risiko dalam pertanian.
Permasalahan yang dikaji adalah setiap komoditas pertanian memiliki risiko, baik
tanaman pangan, sayur-sayuran maupun tanaman perkebunan, untuk mengetahui
tingkat risikonya perlu dilakukan analisis tingkat risiko iklim, harga, biaya, dan
manusia dengan menggunakan Analytical Hierarchical Process (AHP). Hasil
penelitian ini adalah rata-rata tingkat risiko harga dan biaya lebih tinggi dari pada
risiko manusia, yaitu 0,30 dan 0,26. Sedangkan rata-rata tingkat risiko yang
diakibatkan oleh iklim sebesar 0,20.
Berdasarkan penelitian terdahulu tersebut terdapat kesamaan dan perbedaan
yang menjadi ciri khas dari penelitian ini. Adapun persamaannya adalah sama-
sama melakukan penelitian terkait tingkat risiko usahatani dengan Koefisien
Variasi (CV) dan sama-sama melakukan perhitungan pendapatan usahatani.
Namun perbedaannya dengan penelitian yang akan dilakukan ini adalah penelitian
ini difokuskan pada tanaman perkebunan yaitu tanaman tebu, pada penelitian
sebelumnya tanaman yang diteliti kebanyakan tanaman sayuran bahkan tanaman
pangan. Selain itu daerah yang digunakan penelitian belum pernah diteliti
sebelumnya.
1.2. Gambaran Umum Tebu
Menurut Suwarto dan Octavianty (2010), tebu adalah tanaman yang ditanam
untuk bahan baku gula. Tebu diperkirakan berasal dari Papua dan mulai
dibudidayakan sejak 8.000 SM. Tanaman ini menyebar seiring dengan migrasi
manusia. Tebu menyebar mulai dari Papua ke Kepulauan Solomon, New Hibride,
dan Kaledonia Baru. Daerah penghasil tebu terutama di Jawa, Sumatera Selatan,
Sumatera Barat, Lampung dan Nusa Tenggara. Tanaman ini juga memiliki
manfaat lain selain digunakan untuk bahan baku gula yakni digunakan untuk
pakan ternak daunnya. Berdasarkan klasifikasinya, tanaman tebu dikelompokkan
sebagai berikut.
Divisi : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
12
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Graminales
Famili : Gramineae
Genus : Saccharum
Spesies : Saccharum officinarum L.
Tanaman tebu memiliki sistem perakaran serabut. Batangnya berbentuk
silinder, beruas-ruas, dan berwarna hijau hingga hijau kekuningan. Di sepanjang
batang terdapat lapisan lilin yang licin dan agak mengkilap. Batangnya memiliki
cincin yang tumbuh melingkar. Selain itu, ada bagian tanaman yang disebut mata.
Mata terletak pada bekas pangkal pelepah. Umumnya mata berbentuk bulat
hingga oval. Mata memiliki sayap yang berukuran sama lebar atau tidak.
Daun berbentuk panjang dengan tulang daun sejajar, seperti daun padi, dan
daun memiliki bulu-bulu yang berfungsi untuk menghalau serangga pengganggu.
Warna daun umumnya hijau, tetapi ada juga yang berwarna hijau tua atau hijau
kekuningan. Ukuran lebar daun sekitar 4-7 cm, biasanya daun-daun yang sudah
tua/kering diklentek atau dikupas saat umur 7 bulan atau 4 minggu sebelum
panen.
Tanaman tebu tumbuh optimal pada daerah dataran rendah yang kering
dengan ketinggian kurang dari 500 mdpl dan ikilm panas yang lembap pada suhu
25-28oC. Agar tanaman tebu mengandung kadar gula yang tinggi, harus
diperhatikan musim tanamnya. Saat masih muda, tanaman tebu memerlukan
banyak air, sedangkan saat mulai tua memerlukan musim kemarau yang panjang.
Tanah yang cocok adalah bersifat kering-kering basah, yaitu curah hujan kurang
dari 2.000 mm per tahun. Selain itu, tebu cocok ditanam pada tanah yang tidak
terlalu masam dengan PH di atas 6,4, (Suwarto dan Octavianty, 2010).
1.3. Budidaya Tebu
Budidaya tebu merupakan suatu cara untuk mengelola tanaman tebu untuk
diambil hasilnya, pengelolaan tanaman tebu ini dilakukan di lahan mulai dari
penyediaan bibit hingga pemanenan, namun terdapat teknis budidaya tebu yang
tidak membeli bibit lagi, sehingga tebu yang sudah dipanen di lahan ditumbuhkan
kembali.
13
1.3.1. Teknis Budidaya Tebu
Secara umum, budidaya tebu menggunakan bibit baru untuk dibudidayakan,
bibit baru ini berasal dari bibit unggul agar tebu yang dihasilkan memiliki kualitas
yang bagus, adapun tahap-tahap sistem budidaya tebu adalah sebagai berikut:
1. Penyediaan Bibit
Menurut Suwarto dan Octavianty (2010), ada tiga jenis bibit tebu, yaitu
bibit stek pucuk, bibit rayungan dan bibit bonggol. Bibit sebaiknya diseleksi di
luar kebun. Bibit stek sebaiknya ditanam berhimpitan agar mendapatkan jumlah
anakan semaksimal mungkin. Satu hektar umumnya terdapat sekitar 70.000 bibit.
Bibit stek pucuk adalah bibit yang diambil dari pucuk tebangan tebu dengan
panjang sekitar 3 ruas, bibit rayungan adalah bibit yang telah tumbuh, biasanya
bibit ini memliki 2 atau 3 mata, dan bibit bonggol adalah bibit yang diambil dari
bagian bawah tebu yang habis ditebang.
2. Persiapan Lahan
Menurut Suwarto dan Octavianty (2010), persiapan lahan untuk budidaya
tebu di lahan sawah dimulai dengan pembuatan got dan dilanjutkan dengan
pembuatan juringan. Ukuran got standar, yaitu got keliling/mujur lebar 60 cm
dengan dalam 70 cm, sedangkan got malang/palang lebar 50 cm dengan dalam 60
cm. Buangan tanah got diletakkan disebelah kiri got. Apabila got diperdalam lagi
setelah tanam, tanah buangannya diletakkan di sebelah kanan got supaya masih
ada jalan mengontrol tanaman. Juringan cemplongan (lubang tanam) baru dapat
dibuat setelah got-got malang mencapai kedalaman 60 cm dan tanah galian got
sudah diratakan. Ukuran standar juringan, yaitu lebar 50 cm dan dalam 30 cm
untuk tanah basah, 25 cm untuk tanah kering..
Selain di lahan sawah, tanaman tebu juga dibudidayakan di lahan kering.
Persiapan lahan dimulai dengan pembersihan gulma sampai dengan pembuatan
kairan atau alur tanam. Rumput dan gulma yang ada di lahan dibabat. Selanjutnya
dilakukan pengolahan tanah. Pengolahan tanah dilakukan sebanyak 3 kali dengan
menggunakan bajak atau garu yang ditarik traktor. Pada pengolahan tanah
pertama menggunakan bajak bertujuan untuk memecah dan membalik tanah. Arah
bajak 45 derajat dari alur tanaman yang dibongkar sehingga akan meratakan lahan
bekas guludan lama. Hal ini akan memberikan kesempatan proses oksidasi dan
14
membusukkan bahan organik yang masih mentah. Pengolahan tanah yang kedua
menggunakan garu (harrow) yang arah kerjanya tegak lurus dengan kegiatan
bajak, tujuannya adalah untuk mencacah ulang saresah dan sisa tebangan yang
masih terdapat di dalam tanah dan menghancurkan bongkahan tanah. Kemudian
setelah 7 hari dilanjutkan pengolahan tanah ketiga (garu II) supaya bongkahan
tanah memiliki tekstur remah.
Selanjutnya dilakukan pembuatan karir/alur tanaman dengan jarak pusat ke
pusat (PKP) juring 1,20 meter dan kedalaman juring 40 cm, setelah alur tanaman
berbentuk, kegiatan berikutnya adalah membuat jalan infield dengan
menggunakan alat ridgers. Jalan infield kebun dibuat dengan panjang row ±50 m
dan lebar jalan infield 2-3 m.
3. Penanaman
Penanaman bibit-bibit ditanam dengan cara menidurkannya dengan sedikit
ditimbun tanah. Tunas harus diletakkan di sebelah kiri dan kanan. Sebelum
dilakukan penanaman, harus disiapkan lubang tanam terlebih dahulu. Lubang-
lubang tanam yang telah disiapkan harus dikeringkan terlebih dahulu untuk
mengurangi tingkat keasaman tanah. Jika lubang tanam telah ditumbuhi rumput,
sebaiknya disiangi terlebih dahulu. Tanah guludan dimasukkan ke dalam lubang
tanam yang telah diberi sedikit air. Kedalaman lubang tanam sekitar 35 cm.
Sebelum dilakukan penanaman bibit, sebaiknya lubang tanam didiamkan terlebih
dahulu sehari semalam.
4. Pemeliharaan
Setelah penanaman, tanaman tebu harus dilanjutkan dengan pemeliharaan
agar tumbuh optimal. Berikut beberapa kegiatan pemeliharaan.
a. Irigasi
Irigasi tidak boleh berlebihan supaya tidak merusak struktur tanah. Setelah
beberapa hari tidak ada hujan, tanaman segera diberi pengairan.
b. Penyulaman
1. Sulam sisipan, dilakukan 5-7 hari setelah tanam, yaitu untuk tanaman
rayungan bermata satu.
2. Sulaman ke-1, dilakukan pada umur 3 minggu dengan daun 3-4 helai.
Bibit dari rayungan bermata dua atau pembibitan.
15
3. Penyulaman yang berasal dari ros/pucukan tebu dilakukan ketika tanaman
berumur sekitar 1 bulan.
4. Penyulaman ke-2 harus selesai sebelum pembumbunan, bersamaan dengan
pemberian air kedua atau pupuk kedua yaitu umur 1,5 bulan.
5. Penyulaman ekstra jika perlu, yaitu sebelum bumbun ke-2.
c. Pembumbunan Tanah
1. Pembumbunan ke-1 dilakukan pada umur 3-4 minggu, yaitu ketika
tanaman berdaun 3-4 helai. Pembumbunan dilakukan dengan cara
membersihkan rumput-rumputan, membalik guludan, dan menghancurkan
tanah serta menambahkan tanah ke tanaman sehingga tertimbun tanah.
2. Pembumbunan ke-2 dilakukan jika anakan tebu sudah lengkap dan cukup
besar dengan tinggi mencapai sekitar 20 cm atau telah berumur 2 bulan.
Tujuannya agar tidak rusak atau patah sewaktu ditimbun tanah.
3. Pembumbunan ke-3 dilakukan pada umur 3 bulan, semua got harus
diperdalam. Got mujur sedalam 70 cm dan got malang 60 cm.
d. Garpu Muka Gulud
Penggarpuan harus dikerjakan sampai ke pinggir got sehingga air dapat
mengalir. Biasanya dikerjakan pada bulan Oktober/Nopember ketika tebu
mengalami kekeringan.
e. Klentek
Kegiatan melepaskan daun kering yang harus dilakukan 3 kali, yaitu sebelum
gulud akhir, umur 7 bulan, dan 4 minggu sebelum tebang.
f. Tebu Roboh
Batang tebu yang roboh atau miring perlu diikat, baik silang dua maupun
silang empat. Ruas-ruas tebu yang terdiri dari satu deretan tanaman disatukan
dengan rumpun-rumpun dari deretan tanaman di sisinya sehingga berbentuk
menyilang.
g. Pemupukan
1. Tanah dipupuk dengan TSP 1 kuintal/ha sebelum tanam atau sesuai dosis
rekomendasi.
16
2. Pupuk organik padat yang telah dicampur air disemprotkan secara merata
di atas juringan dengan dosis dekitar 1-2 botol/1.000 m2. Ada dua
alternatif cara, yaitu sebagai berikut:
a. Alternatif 1
b. Satu botol pupuk organik cair diencerkan dalam 3 lite air dijadikan
larutan induk. Selanjutnya, setiap 50 liter air diberi 200 cc larutan induk
untuk menyiram juringan.
c. Alternatif 2
Setiap 1 gembor 10 liter diberi 1 peres sendok makan pupuk organik
padat untuk menyiram 5-10 m juringan.
3. Tanaman dipupuk saat umur 25 hari dengan ZA sebanyak 0,5-1 kuintal/ha.
Pemupukan ditaburkan disamping kanan rumpun tebu.
4. Tanaman dipupuk ZA sebanyak 0,5-1 kuintal/ha dan KClsebanyak 1-2
kuintal/ha saat berumur 1,5 bulan setelah tanam. Pemupukan ditaburkan di
sebelah kiri rumpun tebu.
5. Pupuk organik yang mengandung ZPT disemprotkan untuk mendapatkan
rendemen dan produksi tebu tinggi. Dosis yang diberikan sebanyak 4-6
tutup dicampur ZPT sebanyak 1-2 tutup per tangki pada umur 1 dan 3
bulan.
5. Panen Tebu
Proses kemasakan tebu merupakan proses yang berjalan dari ruas ke ruas.
Tingkat kemasakannya tergantung pada ruas yang bersangkutan. Tebu yang sudah
mencapai umur masak, keadaan kadar gula disepanjang batang seragam, kecuali
beberapa ruas dibagian pucuk dan pangkal batang. Panen dilakukan dengan cara
ditebang. Diusahakan tebu ditebang pada saat rendemen pada posisi optimal, yaitu
umur sekitar 10 bulan atau tergantung jenis tebu. Tebu yang berumur 10 bulan
akan mengandung saccharose 10%, sedangkan yang berumur 12 bulan bisa
mencapai 13%.
2.6. Pascapanen
Setelah pemanenan, kegiatan dilanjutkan dengan pengangkutan. Tebu yang
telah dipanen harus sesegera mungkin diangkut ke tempat penggilingan. Tebu-
tebu yang akan diangkut diikat terlebih dahulu. Satu ikatan tebu kurang lebih
17
terdapat 30 batang tebu dengan panjang sekitar 2,5-3 m. Sebaiknya tempat
penggilingan tebu tidak terlalu jauh dari kebun tebu. Jika terlalu lama di
perjalanan, kadar gula tebu akan menurun.
1.3.2. Budidaya Keprasan
Tebu kepras adalah menumbuhkan kembali bekas tebu yang ditebang, baik
bekas tebu giling atau tebu bibitan. Tebu yang akan dikepras harus dibersihkan
dari kotoran bekas tebangan yang lalu. Sebelum mengepras, sebaiknya tanah yang
terlalu kering diairi dahulu. Petak-petak tebu dikepras secara berurutan. Setelah
dikepras, pupuk organik cair disiramkan. Lima hari atau seminggu setelah
dikepras, tanaman diairi dan dilakukan penggarapan sebagai bumbun ke-1 dan
pembersihan rumput, penyemprotan ZPT dilakukan pada umur 1, 2, dan 3 bulan
sesuai dosis yang direkomendasikan. Pemeliharaan selanjutnya sama dengan
tanam tebu pertama.
1.4. Konsep Usahatani
Menurut Soekartawi (2002), ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari
bagaimana seseorang mengalokasikan sumber daya yang ada secara efektif dan
efisien untuk memperoleh pendapatan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan
efektif bila pemanfaatan sumber daya dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya dan
dikatakan efisien jika output yang dihasilkan lebih besar daripada input yang
dikeluarkan dalam usahatani. Perlunya analisis usahatani memang bukan untuk
kepentingan petani saja, tetapi juga untuk para penyuluh pertanian seperti
Penyuluh Pertanian Lapang (PPL), Penyuluh Pertanian Madya (PPM), dan
Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS), para mahasiswa atau pihak-pihak lain yang
berkepentingan untuk melakukan analisis usahatani.
Analisis usahatani dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan
seseorang, yaitu untk apa analisis usahatani yang dilakukannya. Dalam banyak
pengalaman analisis usahatani yang dilakukan oleh petani atau produsen memang
dimaksudkan untuk tujuan mengetahui dan meneliti:
a. Keunggulan komparatif
b. Kenaikan hasil yang semakin menurun (law of diminishing returns)
c. Substitusi
18
d. Pengeluaran biaya usahatani
e. Biaya yang diluangkan
f. Pemilikan cabang usaha (jenis tanaman lain yang dapat diusahakan)
g. Baku-timbang tujuan
Maksud dari tujuh analisis usahatani tersebut pada dasarnya sama, yaitu
mencari informasi tentang keragaan suatu usahatani yang dilihat dari berbagai
aspek. Usahatani pada skala usaha yang luas umumnya bermodal besar,
berteknologi tinggi, manajemennya modern, dan lebih bersifat komersial, namun
sebaliknya pada usahatani dengan skala kecil umumnya bermodal pas-pasan
dengan teknologi yang digunakan masih tradisional, dan biasanya lebih bersifat
untuk memenuhi konsumsi sendiri, (Soekartawi, 2002). Menurut Shinta (2011),
usahatani di Indonesia termasuk dalam kategori usahatani skala kecil, hal ini
dikarenakan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Berusahatani dalam lingkungan tekanan penduduk lokal yang meningkat.
b. Mempunyai sumber daya terbatas sehingga menciptakan tingkat hidup yang
rendah.
c. Bergantung seluruhnya atau sebagian kepada produksi yang subsisten.
d. Kurang memperoleh pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelayanan lainnya.
Usahatani tebu ada yang dimiliki oleh rakyat dan ada pula usahatani oleh
perkebunan besar nasional maupun swasta. Menurut Shinta (2011), pertanian
rakyat adalah suatu sistem pertanian yang dikelola oleh rakyat pada lahan/tanah
garapan seseorang untuk memenuhi kebutuhan makanan/pangan dalam negeri,
sedangkan usahatani yang dimiliki oleh perusahaan pertanian merupakan karakter
pertanian yang menggunakan sistem secara lebih luas dan terbuka untuk
meningkatkan hasil produk pertanian.
1.5. Pola Pemasaran Tebu
Menurut Basuki.,dkk (2010), terdapat beberapa pola atau cara untuk dapat
menjual tebu hasil panen petani, di mana petani tebu dalam melakukan penjualan
tebu dibagi menjadi 3 pola yaitu petani tebu dengan sistem bagi hasil (bermitra
dengan Pabrik Gula.), kemitraan dengan industri gula merah dan sistem mandiri
(tebas di lahan).
19
a. Pola Kemitraan (Bagi Hasil dengan Pabrik Gula)
Pola kemitraan ini petani memperoleh fasilitasi modal dan bimbingan teknis
dengan kewajiban mengolahkan tebu produksinya di PG yang memberi fasilitas
tersebut, petani menanggung biaya tebang dan angkut serta ditambah biaya jasa
pengolahan sebesar 30-34% atau memperoleh bagi hasil gula 64-70% sesuai
rendemen yang diperoleh dan bagi hasil tetes sebanyak 2kg/kw, (Basuki.,dkk,
2010). Pendapatan petani dari sistem bagi hasil merupakan pendapatan petani
yang diperoleh dari bagi hasil gula dan bagi hasil tetes. Tebu yang diolah di pabrik
gula menghasilkan gula (hablur), tetes, blotong, dan ampas. Bagi hasil hanya
meliputi bagi hasil gula (hablur) dan tetes. Sedangkan untuk blotong dan ampas
tidak termasuk dalam nilai bagi hasil, (Hasan, 2006).
Menurut Hasan (2006), sistem bagi hasil gula untuk petani tergantung dari
besar rendemen tebu yang dihasilkan. Tebu petani yang rendemennya ≤ 6, maka
nilai bagi hasil gula yang diperoleh sebesar 66 persen untuk petani dan 34 persen
untuk pabrik gula. Sedangkan untuk tebu petani yang rendemennya > 6 maka nilai
bagi hasil gula yang diperoleh sebesar 66 persen untuk petani dan 34 persen untuk
pabrik gula kelebihan 6 persen 70 persen petani dan 30 persen untuk pabrik gula.
Adapun rumusan pendapatan dari bagi hasil gula:
Jika rendemen ≤ 6 = besar rendemen x 66 persen X tebu (Kw) X harga gula
Jika rendemen > 6 = [besar rendemen x 66 persen + {kelebihan rendemen 6
persen x 70 persen x tebu (kw)} tebu (Kw)] 8 harga gula.
b. Pola Kemitraan dengan Industri Gula Merah
Pola penjualan ini juga masih ada sampai saat ini, dalam pola penjualan ini
petani bekerjasama dengan industri gula merah. Pihak industri melakukan proses
produksi hingga menjadi produk gula merah dan mengupayakan pemasarannya.
Petani dibebani biaya tebang, angkut, dan jasa pengolahan sebesar rata-rata 19%,
(Basuki.,dkk, 2010). Sedangkan menurut Priyono (2006), sumber bahan baku tebu
yang diproses menjadi gula merah berasal dari hasil tanam sendiri, membeli, dan
titip giling. Tebu yang berasal dari hasil tanam sendiri terbagi menjadi dua
kelompok yaitu tebu yang ditanam di lahan milik dan lahan sewa, sementara tebu
yang dibeli berasal dari perkebunan Tebu Rakyat Bebas (TRB), sedangkan
pengolahan gula merah titip giling, tebu berasal dari pemilik tebu baik tebu sendiri
20
atau pemborong tebu yang tidak memiliki pabrik gula merah tebu untuk kemudian
diolah menjadi gula merah tebu dengan kesepakatan terlebih dahulu antara petani
dan pemilik industri gula merah.
Pemilihan tebu yang dibeli dari tebu rakyat bebas (TRB) dilakukan oleh
pengusaha atau pemilik modal dengan memperhatikan pertumbuhan tanaman.
Tebu dipilih berdasarkan bentuk batang, kondisi perkebunan, dan umur tanaman.
Berdasarkan bentuk batang tebu yang baik adalah tebu yang memiliki batang
besar dan lurus. Tebu bengkok atau roboh, belum cukup umur, dan tidak
memenuhi teknis pemeliharaan tanaman tebu akan menurunkan mutu produk gula
merah tebu yang dihasilkan. Sistem pembelian tebu yang dilakukan pengusaha
industri gula merah melalui sistem borongan dimana tebu dijual tidak berdasarkan
bobot melainkan per luas areal (dalam terminologi responden adalah kotak).
Berdasarkan pengalaman petani tebu pada musim panen harga tebu akan terus
meningkat sampai pada puncaknya antara bulan Agustus – September dan setelah
bulan tersebut harga tebu akan menurun. Penurunan harga tebu ini disebabkan
umur tebu sudah terlalu tua dan sudah masuk musim penghujan sehingga
rendemen yang dihasilkan menurun, (Priyono, 2006).
c. Pola Tebasan
Pola tebasan merupakan salah satu pola yang masih berjalan sampai saat ini
pola ini menggunakan sistem pembayaran langsung tunai, sehingga dirasa petani
lebih cepat jika dibandingkan yang lainnya. Harga tebu dijual berdasarkan
kesepakatan antara petani dengan penebas, untuk proses tebang, transportasi, dan
bongkar muat ditanggung oleh pihak pembeli. Pola ini masih diterapkan oleh
banyak petani terutama petani kecil karena petani membutuhkan uang yang cepat
meskipun masih ada pola lain yang lebih menguntungkan, (Basuki.,dkk, 2010).
Menurut Wiradi (2009), tebasan merupakan penjualan secara borongan,
dalam artian tanaman masih berada di sawah, yakni pada saat tanaman sudah siap
untuk dilakukan pemanenan dan yang menyelenggarakan pemanenan adalah
pembeli (penebas). Pada sistem ini penebas menaksir hasilnya, jika tepat dia
untung dan jika salah dia akan merugi, karena harganya didasarkan atas taksiran
hasil dari luasan tertentu (bukan ditimbang dulu). Misalnya sawah 1 Ha ditebas
dengan harga sekian rupiah dengan harapan (atas taksiran) hasilnya sekian ton.
21
Biasanya penebas membawa tenaga kerja sendiri yaitu dengan membayar
sekelompok orang. Jadi, dalam proses panen tebasan ini sistem panennya tertutup.
Pada sistem tebu rakyat murni berlaku secara individual, petani tidak
mempunyai akses langsung untuk menjual tebunya ke PG karena dijual secara
tebasan kepada pedagang tengkulak. Petani tidak perlu melakukan penebangan
dan pengangkutan tebu miliknya, karena sepenuhnya akan dilakukan oleh
penebas. Namun bagi petani yang memiliki lahan cukup luas, umumnya mereka
juga memiliki transportasi sendiri (bahkan sebagian dari mereka sekaligus sebagai
penebas), sehingga memungkinkan mereka untuk menjual tebu miliknya langsung
ke pihak Pabrik Gula. Pedagang inilah yang kemudian menjadi pemasok tebu bagi
PG, (Toyamah.,dkk, 1999). Dalam prakteknya petani tebu skala kecil umumnya
tidak memiliki akses secara langsung ke pabrik gula tetapi melalui penebang
(pemborong), (Susilo.,dkk, 2016).
1.6. Analisis Usahatani
Analisis usahatani merupakan suatu analisis atau perhitungan yang
digunakan untuk mengetahui suatu usaha yang dikelola untung atau tidak, dalam
analisa usahatani ini dilakukan perhitungan biaya yang dikeluarkan dalam satu
kali masa tanam (biaya terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel), penerimaan
biasanya diperoleh berdasarkan harga jual per satuan yang dikalikan dengan hasil
produksi, dan pendapatan yang merupakan selisih antara penerimaan dengan
biaya yang dikeluarkan dalam satu kali masa tanam, (Soekartawi, 2002). Adapun
perhitungan usahatani dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Biaya
Menurut Maulidah (2012), Biaya dapat dikatakan sebagai pengorbanan yang
dikeluarkan oleh pihak produsen untuk menghasilkan produk. Terdapat beberapa
biaya dalam aktivitas produksi, namun pada intinya biaya produksi terdiri atas dua
bagian utama, yakni biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost).
Menurut Maulidah (2012), biaya produksi merupakan seluruh pengeluaran
perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi yang akan digunakan untuk
menghasilkan barang-barang produksi perusahaan tersebut. Besarnya biaya
produksi jelas berhubungan dengan banyak sedikitnya jumlah produk yang
22
dihasilkan. Dengan menambah jumlah barang yang dihasilkan, maka biaya
produksi akan ikut bertambah. Bertambahnya jumlah produk menyebabkan biaya
per satuan menjadi semakin rendah karena beban biaya tetap dibagi atas
banyaknya jumlah produk, sehingga hasilnya menjadi lebih kecil. Selama cara
berproduksi masih sederhana, dengan modal tetap yang sedikit pun akan membuat
biaya produksi rendah. Menurut Maulidah (2012), biaya produksi terdiri dari:
1. Biaya Tetap (Fixed Cost)
Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya relatif tetap, dan secara tetap
dikeluarkan meskipun jumlah produksi banyak atau sedikit. Sehingga besarnya
biaya tetap tidak terpengaruh oleh besar kecilnya produksi yang dijalankan.
Menurut Shinta (2011), Total Fixed Cost (TFC) merupakan biaya yang
dikeluarkan perusahaan atau petani yang tidak mempengaruhi hasil
output/produksi. Sementara itu menurut Maulidah (2012), rumus dari TFC adalah
sebagai berikut:
TFC = �Xi. Pxi
�
���
Keterangan:
TFC = total biaya tetap (Rp)
Xi = jumlah fisik dari input yang membentuk biaya tetap
Pxi = harga input (Rp)
n = jumlah atau banyaknya input
Berikut ini merupakan gambar kurva biaya tetap pada usahatani.
Gambar 1. Kurva Biaya Tetap Sumber: Maulidah, 2012
P
Q
TFC
23
2. Biaya Variabel (Variabel Cost)
Untuk tujuan perencanaan dan pengawasan, biaya variabel dibedakan menjadi:
- Engineered variabel cost
Engineered variabel cost adalah biaya yang memiliki hubungan fisik
tertentu dengan ukuran kegiatan tertentu atau biaya yang antara masukan dan
keluarannya mempunyai hubungan yang erat dan nyata. Contohnya: biaya bahan
baku.
- Discretionary cost
Discretionary variabel cost adalah biaya-biaya yang jumlah totalnya
sebanding dengan perubahan volume kegiatan sebagai akibat kebijakan
manajemen. Menurut Shinta (2011), total biaya variabel adalah biaya yang
besarnya berubah searah dengan berubahnya jumlah output yang dihasilkan.
Menurut Maulidah (2012), total biaya variabel dapat dirumuskan sebagai berikut:
TVC = ���
�
���
Keterangan:
VC = variable cost/ biaya variabel (Rp)
TVC = total variable cost/ jumlah dari biaya variabel (Rp)
Berikut ini merupakan grafik biaya variabel, yaitu biaya yang berubah-ubah sesuai
jumlah output yang dihasilkan.
Gambar 2. Kurva Total Biaya Variabel Sumber: Mauildah, 2012
P
TVC
Q
24
3. Biaya Total (TC)
Menurut Maulidah (2012), biaya total (total cost) dapat diperoleh dari
penjumlahan biaya tetap dan biaya variabel, dapat dirumuskan sebagai berikut:
TC = TFC + TVC
Keterangan:
TC = Total Cost (Biaya total (Rp)
TFC = Total Fixed Cost (Biaya tetap total (Rp)
TVC = Total Variable Cost (Biaya variabel total (Rp)
Berikut merupakan jumlah total biaya yang digambarkan dalam kurva, adapun
gambarnya adalah sebagai berikut.
Gambar 3. Kurva Total Biaya Sumber: Maulidah, 2012
b. Penerimaan
Kadarsan (1993) (dalam Maulidah, 2012) menyatakan bahwa usahatani
pada akhirnya akan menghasilkan produk atau output yang merupakan
penerimaan bagi petani jika dikalikan dengan harga produk. Kelebihan
penerimaan dari total biaya biaya merupakan pendapatan usahatani. Besar
kecilnya pendapatan yang diperoleh tergantung pada tinggi rendahnya biaya
produksi, harga komoditas, dan jumlah produk yang dihasilkan. Semakin kecil
biaya dan semakin tinggi penerimaan yang didapat, maka semakin tinggi pula
keuntungan usahatani tebu yang telah dilakukan, begitu juga sebaliknya. Menurut
Soekartawi (2002), penerimaan merupakan merupakan perkalian antara produksi
yang dihasilkan dengan harga jual, dapat dirumuskan sebagai berikut:
P TC
TVC
TFC
Q
25
TR = P x Q
Keterangan:
TR = Penerimaan Total (Rp)
P = Harga Produk (Rp/ unit)
Q = Jumlah Produksi (unit)
c. Pendapatan
Menurut Hernanto (1992) (dalam Maulidah, 2012), pendapatan usahatani
merupakan selisih antara penerimaan dengan total biaya yang digunakan. Semakin
besar pendapatan yang diperoleh, maka dapat dikatakan bahwa perusahaan terus
berkembang dengan baik karena pada prinsipnya, tujuan perusahaan secara umum
adalah mencari laba maksimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan
usahatani, antara lain: luas lahan, tingkat produksi, pilihan dan kombinasi cabang
usaha, intensitas pengusaha pertanaman, dan efisiensi tenaga kerja. Sedangkan
menurut Mulyadi (1992) (dalam Maulidah, 2012), pendapatan merupakan
pendapatan yang diperoleh para pengusaha sebagai pembayaran dari melakukan
kegiatan sebagai berikut:
a. Menghadapi risiko ketidakpastian dimasa yang akan datang.
b. Melakukan inovasi/pembaharuan di dalam kegiatan ekonomi.
c. Mewujudkan kekuasaan monopoli di dalam pasar.
Menurut Maulidah (2012), pendapatan memiliki rumus sebagai berikut:
Π = TR – TC
Keterangan:
Π = Pendapatan (Rp)
TR = Total Revenue (Penerimaan total (Rp)
TC = Total Cost (Biaya total (Rp)
1.7. Konsep Risiko
Menurut Darmawi (2014), risiko merupakan penyimpangan hasil aktual
dari hasil yang diharapkan. Risiko ini dihubungkan dengan kemunginan terjadinya
akibat buruk (kerugian) yang tak diinginkan, atau tidak terduga. Dengan kata lain
“kemungkinan” itu sudah menunjukkan adanya ketidakpastian. Ketidakpastian itu
26
merupakan kondisi yang menyebabkan tumbuhnya risiko. Kondisi ketidakpastian
tersebut biasanya timbul karena berbagai sebab.
a. Jarak waktu dimulai perencanaan atas kegiatan sampai kegiatan itu berakhir.
Makin panjang jarak waktu makin besar ketidakpastian.
b. Keterbatasan tersedianya informasi yang diperlukan.
c. Keterbatasan pengetahuan/ketrampilan/teknik mengambil keputusan.
Menurut Soekartawi (1993), risiko dan ketidakpastian merupakan dua hal
yang saling berkaitan, risiko berhubungan dengan kejadian yang peluang
terjadinya dapat diketahui, namun ketidakpastian merupakan kondisi atau situasi
yang hasil dan akibatnya tidak dapat diprediksi. Di mana pengertian risiko dan
ketidakpastian dapat digambarkan pada gambar 4 berikut.
Gambar 4. Rangkaian kejadian berisiko dengan kejadian ketidakpastian Sumber: Soekartawi.,dkk, 1993
Gambar 4. tersebut menjelaskan bahwa peristiwa di dunia dapat
digolongkan menjadi dua situasi ekstrim, yaitu peristiwa atau kejadian yang
mengandung risiko atau risk events dan dalam keadaan ekstrim lainnya adalah
kejadian yang tidak pasti atau uncertainty events. Suatu peristiwa lingkungan
disebut kejadian berisiko jika hasil akhir dan probabilitas terjadinya dapat
diketahui, namun disebut ketidakpastian jika hasil akhir ataupun probabilitas tidak
dapat diketahui.
Untuk membedakan risiko dan ketidakpastian, Gunawan dan Iswara
(1987) (dalam Soekartawi.,dkk, 1993) memberikan contoh terkait banjir yang
melanda suatu lahan pertanian. Apabila banjir tersebut sering terjadi dan jika
petani relatif mengetahui frekuensi banjir itu, misalnya setiap lima tahun sekali,
maka banjir tersebut bisa disebut sebagai risiko. Sebaliknya jika petani tersebut
tidak mengetahui informasi mengenai frekuensi banjir, maka terjadinya banjir
Risk Events (Kejadian berisiko)
Uncertainty Events (Kejadian tidak pasti)
Probabilitas dan hasil akhir diketahui
Probabilitas dan hasil akhir tidak diketahui
27
tersebut merupakan kondisi ketidakpastian. Dengan kata lain, jika petani tidak
mengetahui probabilitas banjir itu sama sekali, maka banjir itu disebut
ketidakpastian dan sebaliknya.
Kenyataannya tidak ada orang yang mampu secara tepat memprediksi apa
yang akan terjadi di masa yang akan datang. Di sektor pertanian, setiap aktivitas
proses produksi selalu dihadapkan dengan situasi risiko (risk) dan ketidakpastian
(uncertainty). Sumber ketidakpastian yang penting di sektor pertanian adalah
fluktuasi hasil pertanian dan fluktuasi harga (Dillon, 1997; Doll dan Orazen,
1978; dan Soekartawi, 1990) (dalam Soekartawi.,dkk, 1993).
Menurut Salim (2007), risiko merupakan ketidaktentuan atau uncertainty
yang mungkin melahirkan kerugian (loss). Unsur ketidaktentuan ini bisa
mendatangkan kerugian. Ketidaktentuan tersebut dapat dibagi menjadi:
a. Ketidaktentuan ekonomi (economic uncertainty), yaitu kejadian yang timbul
sebagai akibat dari perubahan sikap konsumen, umpama perubahan selera
atau minat konsumen atau terjadinya perubahan pada harga, teknologi atau
didapatnya penemuan baru, dan lain sebagainya.
b. Ketidaktentuan yang disebabkan oleh alam (uncertainty of nature) misalnya
kebakaran, badai, topan, banjir, dan lain-lain.
c. Ketidaktentuan yang disebabkan oleh perilaku manusia (human uncertainty),
umpama peperangan, pencurian, perampokan, dan pembunuhan.
Diantara ketiga jenis ketidaktentuan di atas, yang bisa diperhitungkan ialah
ketidaktentuan alam dan manusia. Sedangkan yang pertama tidak bisa
diasuransikan karena bersifat spekulatif (unsur ekonomis) dan sulit untuk diukur
keparahannya (severity). Menurut Firdaus (2009), risiko dapat dibagi menjadi 2
golongan, yaitu risiko fisis dan risiko pasar. Risiko fisis dapat berupa kebakaran,
angin, banjir, penyusutan berat, dan kerusakan. Sedangkan risiko pasar mencakup
kemungkinan penyimpangan atau fluktusi harga, perubahan selera konsumen atau
perubahan sifat dasar persaingan, sehingga risiko pasar sulit untuk ditangani.
Fluktuasi harga merupakan salah satu risiko pasar yang sangat penting bagi
produsen. Produsen sering berharap untuk memperbaiki efisiensi pemasaran
dengan memeproleh harga yang lebih tinggi, tetapi hal ini sulit terlaksana.
28
Kurangnya informasi, keputusan yang lemah atau kesulitan uang tunai memaksa
pihak penjual berada posisi tawar (bargaining position) yang rendah di pasar.
Menurut Firdaus (2009), pada dasarnya ada beberapa teknik untuk
membantu para produsen dan pemasar (marketer) dalam mengalihkan atau
mengurangi risiko pasar, yaitu sebagai berikut:
1. Diversifikasi (penganekaragaman), yaitu teknik penambahan beberapa lini
bisnis kepada lini bisnis yang sudah ada dengan risiko yang berbeda, sehingga
kemungkinan kerugian dalam satu lini dapat ditutupi oleh kemungkinan
pendapatan dari lini lainnya. Para petani menanam beberapa komoditi di lahan
yang dimilikinya agar risiko di satu jenis tanaman tertentu berkurang.
2. Integrasi vertikal. Integrasi vertikal terjadi apabila perusahaan melaksanakan
fungsi lain sebagai tambahan kepada fungsi utamanya sehingga perusahaan
menjadi kurang/tidak tergantung pada perusahaan lain. Integrasi vertikal dapat
berupa integrasi ke muka atau ke belakang.
3. Pengadaaan kontrak di muka. Pengadaan kontrak di muka (forward
contracting) sebenarnya hanya proses pembuatan persetujuan antara pembeli dan
penjual guna menetapkan harga untuk beberapa pengiriman pada masa yang akan
datang yang sudah ditentukan sejak awal, penentuan kontrak dimuka ini untuk
mengurangi atau berusaha mengendalikan risiko yang tidak diinginkan suatu saat.
Persetujuan ini sepenuhnya meniadakan risiko fluktuasi harga, baik bagi
pembeli maupun penjual. Dikarenakan produsen sudah mengetahui harga yang
akan diperoleh untuk produknya maka hanya risiko produksi yang perlu
diperhatikan. Sedangkan pihak perusahaan (pemroses) akan mendapat jaminan
bahwa bahan baku yang diperlukan akan tersedia secukupnya dengan harga yang
telah diketahui sehingga kemungkinan beroperasi secara lebih efisien.
Menurut Firdaus (2009), tentu saja harga pasar akan berfluktuasi, mungkin
lebih tinggi atau lebih rendah. Kedua belah pihak dapat memperoleh laba atau
kerugian berdasarkan harga kontrak jika dibandingkan dengan harga pasar. Akan
tetapi karena harga telah ditetapkan sebelumnya dalam kontrak maka untung atau
rugi tersebut hanya bersifat teoritis saja, yaitu jika dikaitkan dengan adanya
kesempatan yang hilang (lost opportunity).
29
Menurut Soedjana (2007), masalah risiko dan ketidakpastian harga di
bidang pertanian bukan merupakan hal baru. Risiko harga dan pasar biasanya
dikaitkan dengan keragaman dan ketidaktentuan harga yang diterima petani dan
yang harus dibayarkan untuk input produksi. Jenis keragaman harga yang tidak
dapat diduga adalah trend harga, siklus harga, dan variasi harga berdasarkan
musim. Tingkat harga dapat berpengaruh pada harapan pedagang, spekulasi,
program pemerintah, dan permintaan konsumen.
Soedjana menambahkan bahwa risiko dan ketidakpastian menjadi masalah
karena dapat menyebabkan sistem ekonomi menjadi kurang efisien. Sebagai
contoh, karena meningkatnya ketidakpastian, petani tidak memberikan pupuk
pada takaran yang dianjurkan, sehingga hasil yang dicapai rendah, apalagi jika
harga suatu produk juga rendah pasti petani akan mengalami kerugian.
Ketidakpastian juga berimplikasi pada tata laksana bagi petani. Oleh karena itu
diperlukan beberapa pendekatan dalam pengambilan keputusan yang melibatkan
risiko, yaitu:
1) Melakukan analisis terhadap keputusan yang akan diambil dari berbagai
pilihan yang tersedia, kemungkinan kejadiannya, serta manfaatnya bila
keputusan itu harus ditentukan.
2) Memperkirakan peluang yang akan terjadi dengan tingkat manfaat yang akan
diperoleh.
3) Mempertimbangkan perilaku, kemampuan, dan tujuan pengambil keputusan
berkaitan dengan tingkat risiko yang harus dihadapi karena keputusan yang
telah diambil.
Menurut Barron’s, 1993 (dalam Tarigan, 2009), fluktuasi harga dan hasil
produksi akan menyebabkan fluktuasi pendapatan bersih. Ukuran yang dapat
digunakan untuk melihat besarnya risiko yang dihadapi oleh produsen adalah
dengan mengetahui besarnya ragam atau simpangan baku dari pendapatan bersih
per periode atau return, yaitu jika risiko tinggi maka return juga akan meningkat
dan sebaliknya jika risiko rendah maka return juga akan semakin rendah, karena
hubungan antara risiko dan return positif atau berbanding lurus. Berikut ini
merupakan gambar hubungan antara risiko dan return.
30
Gambar 5. Hubungan antara risk dan return Sumber: Barron’s, 1993 (dalam Tarigan, 2009)
1.8. Pengukuran Risiko
Menurut Darmawi (2014), sesudah risiko diidentifikasi oleh suatu
perusahaan atau petani dalam usahataninya, maka selanjutnya risiko itu harus
diukur. Perlunya diukur adalah untuk memperoleh informasi yang akan menolong
untuk menetapkan kombinasi peralatan manajemen risiko yang cocok untuk
menanganinya. Adapun dimensi yang harus diukur adalah frekuensi atau jumlah
kerugian yang akan terjadi dan keparahan dari kerugian tersebut.
Menurut Ichsa (1998) (dalam Shinta, 2011), untuk menganalisis risiko yang
dialami dalam usahatani, dapat dilakukan melalui pendekatan kualitatif dan
kuantitatif. Pendekatan kualitatif lebih berdasarkan pada penelitian subjektif dari
pengambilan keputusan. Sedangkan pendekatan kuantitatif dapat dihitung dengan
menggunakan nilai hasil yang diharapkan sebagai indikator probabilitas dari
investasi dan ukuran ragam (variance) dan simpangan baku (standard deviation)
sebagai indikator risikonya.
Menurut Kadarsa (1995) (dalam Shinta, 2011), pengetahuan tentang
hubungan antara risiko dengan pendapatan merupakan bagian yang penting dalam
pengelolaan usahatani. Hubungan ini biasanya diukur dengan koefisien variasi
atau tingkat risiko terendah dan batas bawah. Koefisien variasi atau tingkat risiko
terendah merupakan perbandingan antara risiko yang harus ditanggung oleh petani
dengan jumlah pendapatan yang akan diperoleh sebagai hasil dari sejumlah modal
yang ditanamkan dalam proses produksi, koefisien variasi dapat juga digunakan
Return
Risk
Risk return
31
untuk memilih alternatif yang memberikan risiko paling sedikit dalam
mengharapkan suatu hasil. Sedangkan batas atas pendapatan menurut Hernanto
(1998) (dalam Shinta, 2011), menunjukkan nilai nominal pendapatan terendah
yang mungkin diterima oleh petani.
Penilaian risiko dapat dilakukan dengan mengukur nilai penyimpangan yang
terjadi. Parameter yang dapat digunakan untuk mengukur penyimpangan adalah:
a. Hasil yang diharapkan (E)
Menurut Nugroho (2012), nilai harapan (expected value), merupakan nilai
yang diharapkan dari berbagai alternatif hasil yang dapat terjadi. Sedangkan
menurut Hernanto (1991), hasil yang diharapkan dari usahatani dapat dihitung
dari rata-rata produksi (Kg); harga (Rp) dan pendapatan (Rp) yang diperoleh saat
panen.
b. Keragaman dan Standar Deviasi
Menurut Nugroho (2012), risiko (risk) dari suatu alternatif dapat dilihat dari
simpangan baku atau penyebaran dari nilai harapan tersebut untuk alternatif yang
lain yang mempunyai nilai harapan yang sama besarnya, semakin besar
penyebarannya, semakin besar risikonya. Simpangan baku dalam statistik adalah
deviasi standar yang merupakan akar dari variansi (variance). Menurut Hernanto
(1991), untuk mengukur risiko secara statistik digunakan ukuran ragam (variance)
dan simpangan baku (standart deviation). Risiko dalam hal ini berarti besarnya
fluktuasi harga, sehingga semakin besar fluktuasi maka semakin besar
ketidakpastian (risiko), sehingga dengan adanya risiko yang semakin besar
mampu mempengaruhi pengambilan keputusan petani dalam berusahatani yaitu
tetap menanam komoditas tersebiut dan berani menanggung risiko atau tidak.
c. Tingkat risiko atau Koefisien Variasi (CV)
Menurut Nugroho (2012) untuk membandingkan risiko dari alternatif yang
mempunyai nilai harapan (ekspektasi) digunakan koefisien dari variasi. Koefisien
variasi adalah suatu ukuran untuk mengukur risiko relatif, dimana alternatif yang
mempunyai koefisien variasi lebih kecil mempunyai risiko yang relatif lebih kecil,
namun apabila hasil koefisien variasi tersebut besar, maka tingkat risiko yang
harus dihadapi oleh petani juga semakin besar.
32
d. Batas Bawah (L)
Batas bawah (L) merupakan nilai rata-rata terendah yang mungkin diterima
oleh petani. Jika nilai L ≥ 0, maka petani yang berusahatani tebu akan terhindar
dari kerugian. Sebaliknya apabila nilai L < 0, maka dalam proses usahatani
terdapat peluang kerugian yang akan dialami oleh petani. Menurut Elton dan
Gruber (1995) (dalam Tarigan, 2009), terdapat hubungan antara nilai Koefisien
Variasi (CV) dengan nilai Batas Bawah Pendapatan (L), yaitu apabila nilai CV >
0,5 maka nilai L< 0, begitu pula jika nilai CV ≤ 0,5 maka nilai L ≥ 0. Hal ini
menunjukkan bahwa apabila CV > 0,5 maka risiko pendapatan yang ditanggung
petani semakin besar dengan menanggung kerugian sebesar L, sedangkan nilai
CV ≤ 0,5 maka petani akan selalu untung atau impas dengan pendapatan sebesar
L.
III. KERANGKA TEORITIS
3.1. Kerangka Pemikiran
Tebu merupakan komoditas perkebunan yang berpotensi untuk
dikembangkan di Indonesia. Tebu berasal dari Pasifik Selatan dan Papua,
menyebar ke Jawa. Tebu merupakan komoditas yang banyak dibutuhkan oleh
masyarakat, baik untuk konsumsi langsung maupun sebagai bahan baku industri
makanan dan minuman. Secara nasional konsumsi gula di Indonesia semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Perkembangan tebu di Jawa Timur pada dasarnya
tergantung dari kemampuan dalam pengelolaan tebu dan kemampuan dalam
menangani risiko yang ditimbulkan dalam usahtani tebu, (Subiyono dan Wibowo,
2005).
Usahatani tebu merupakan suatu usaha untuk membudidayakan tebu dengan
tujuan diambil hasilnya atau pendapatannya. Usahatani tebu membutuhkan input
berupa bibit, pupuk, pestisida dan membutuhkan tenaga kerja yang mana untuk
membudidayakan tebu mulai dari penanaman hingga pemanenan. Umur tebu
biasanya berkisar antara 8-12 bulan tergantung jenis tebu yang ditanam. Setalah
dilakukan pemanenan, maka tebu diangkut ke pabrik gula untuk dilakukan proses
produksi lanjutan agar menjadi produk gula.
Petani dalam berusahatani tebu seringkali mengalami kendala yang mampu
mempengaruhi pendapatan petani tebu, salah satu kendala yang dihadapi oleh
petani adalah ketidakpastian harga yang mengakibatkan ketidakpastian
pendapatan. Harga merupakan salah satu faktor yang sulit untuk dikendalikan oleh
petani, seringkali petani tebu mengalami pendapatan yang sedikit atau bahkan
merugi akibat harga tebu yang tidak pasti. Ketidakpastian harga tersebut mampu
menyebabkan ketidakpastian penerimaan dan mengakibatkan risiko pendapatan.
Risiko harga biasanya dipengaruhi oleh mekanisme pasar yang dikendalikan oleh
pemerintah, karena penentuan harga merupakan kebijakan pemerintah, dan
ketidakseimbangan supply dan demand. Risiko ini tentunya mengakibatkan risiko
terhadap pendapatan, dimana risiko terhadap pendapatan dipengaruhi oleh biaya
yang dikeluarkan petani, harga jual tebu dan jumlah produksi yang dihasilkan oleh
petani atau risiko yang diakibatkan dari selisih antara penerimaan dengan total
34
biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam satu kali masa tanam pada tahun
tertentu.
Petani tebu memiliki 3 alternatif dalam melakukan penjualan tebu hasil
usahataninya, diantaranya adalah penjualan tebu sistem bagi hasil dengan pabrik
gula, penjualan tebu dengan sistem tebas ke pengepak tebu dan penjualan tebu ke
industri gula merah. Biasanya petani kecil yang tidak memiliki relasi dengan
pabrik gula mereka cenderung memilih penjualan tebu ke penebas tebu baik ke
pengepak tebu maupun ke industri gula merah karena pendapatan yang didapatnya
lebih cepat cair apabila dibandingkan menjual tebu ke pabrik gula, namun di sisi
lain pendapatan petani tersebut juga cenderung lebih rendah karena harga tebu
cenderung lebih murah. Pada sistem penjualan sistem tebas, biasanya tebu dibeli
berdasarkan kualitas yang nampak (misalnya besar tebu, manis atau tidak, dan
segar atau tidak), dan berdasarkan luas petakan tebu yang digunakan untuk
usahatani yang dibandingkan dengan harga gula pada saat itu, sehingga
pendapatan pun juga akan tinggi.
Hal ini serupa yang dialami oleh petani tebu di Desa Setonorejo Kecamatan
Kras Kabupaten Kediri, petani di desa tersebut saat panen raya sering mengalami
permasalahan dalam penjualan tebu karena terkadang harga tebu murah, sehingga
petani mengeluh akibat pendapatan yang didapatnya hanya memperoleh
pendapatan sedikit bahkan rugi. Di desa tersebut sistem penjualan tebu mayoritas
adalah sistem tebas, karena petani tebu pada daerah tersebut adalah petani kecil,
sehingga kurang adanya relasi langsung antara petani tebu dengan pabrik gula,
yang menyebabkan petani menjual hasil panennya kepada penebas. Sehingga
perlu dilakukan pemutusan rantai penjualan antara petani, penebas dan pabrik
gula. Agar pendapatan petani meningkat, namun untuk petani kecil yang memiliki
lahan sempit memanglah tidak mudah untuk langsung menjual hasilnya ke pabrik,
sehingga dibutuhkan kelompok tani yang lebih aktif lagi agar mampu menjual
hasil usahataninya langsung ke pabrik gula dengan biaya yang dapat ditekan
karena dilakukan bersama-sama.
Kelompok tani di daerah ini memang kurang aktif, sehingga bantuan-
bantuan terhadap usahatani tebu juga tidak ada seperti bantuan bibit sampai saat
ini masih belum ada, yang ada hanyalah bantuan benih untuk tanaman palawija.
35
Dengan adanya risiko yang tinggi diharapkan kelompok tani di desa ini aktif dan
mampu melakukan pengajuan bantuan bibit unggul tebu ke pemerintah,
mengingat bahwa tebu merupakan salah satu komoditas strategis yang perlu
dikembangkan agar Indonesia tidak melakukan impor gula dari luar negeri,
sehingga swasembada gula dapat dilakukan oleh Indonesia dengan adanya
bantuan-bantuan usahatani khususnya bibit tebu unggul.
Berdasarkan penjabaran di atas, maka dalam penelitian ini akan dianalisis
pendapatan petani tebu dalam satu kali masa tanam, yakni musim tanam 2015-
2016, selain itu juga dianalisis tingkat risiko dengan menggunakan Koefisien
Variasi (CV) dan Batas Bawah Pendapatan (L) untuk mengetahui tingkat risiko
yang dihadapi petani. Sebelum diketahui Koefisien Variasi (CV) maka dihitung
terlebih dahulu Variance (V2) dan Simpangan Baku (V). Nilai koefisien variasi
semakin tinggi maka semakin tinggi pula risiko yang harus dihadapi, sedangkan
batas bawah pendapatan yaitu kemungkinan kerugian yang dialami petani dengan
tingkat risiko yang dihitung dari CV (Koefisien Variasi).
Berdasarkan analisis tersebut nantinya akan diketahui rata-rata pendapatan
tebu dan tingkat risiko pendapatannya. Selain itu dapat dijadikan acuan bagi
pemerintah untuk menentukan kebijakan bagi petani tebu terutama petani kecil.
Hasil analisisnya dapat dijadikan acuan petani untuk memanajemen risiko yang
mungkin terjadi pada masa tanam selanjutnya dan kelompok tani yang ada di
daerah ini agar dihidupkan kembali untuk memacu tingkat pendapatan petani tebu,
agar dapat memotong rantai pemasaran tebu.
Namun untuk meminimalisir risiko dalam usahatani khususnya yang
berkaitan dengan harga jual tebu itu sangat sulit, sebab petani tidak tahu perkiraan
harga jual tebu saat panen nantinya, sehingga petani hanya menerima harga jual
berdasarkan harga yang berlaku di pasar dengan sistem tawar menawar. Apalagi
petani kecil yang memiliki pendidikan menengah ke bawah seringkali mereka
kurang mengakses informasi terkait harga tebu saat itu, sehingga mereka hanya
tahu harga dari pengepak tebu atau dari tetangga sekitar yang mengakibatkan
adanya risiko pendapatan yang tinggi. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka
dapat dijadikan kerangka berpikir seperti berikut:
36
Keterangan:
= Alur berpikir
= Alur analisis
= Tidak dianalisis
Gambar 6. Kerangka Pemikiran Analisis Pendapatan dan Tingkat Risiko Usahatani Tebu (Saccharum officinarum L) (Studi di Desa Setonorejo,
Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri)
Usahatani Tebu
Input budidaya tebu
Output tebu
Permasalahan: Harga tebu naik turun yang berpengaruh pada pendapatan
Risiko
Usahatani
- Bibit - Tenaga kerja
- Pupuk - Alsintan
- Pestisida - Lahan
Analisis Risiko 1. Nilai yang Diharapkan (E) 2. Variance (V) 3. Standar Deviasi (SD) 4. Koefisien Variasi (CV) 5. Batas Bawah Pendapatan (L)
Risiko Tinggi: CV>0,5 Risiko Rendah: CV≤0,5
Peningkatan hasil usahatani dan
aktifnya kembali kelompok tani tebu
Kendala: Ketidakpastian dalam usahatani tebu, baik ketidakpastian harga dan pendapatan
Potensi: - Tebu salah satu tanaman
strategis untuk dikembangkan di Indonesia.
- Peningkatan kebutuhan gula
Tebasan di lahan
Proses pembentukan harga dengan sistem tawar menawar
Produksi Harga Pendapatan Analisis Usahatani: Π= TR-TC
37
3.2. Hipotesis
Berdasarkan kerangka penelitian yang telah dibuat sebelumnya, maka dapat
disusun hipotesis terkait penelitian yang akan dilakukan. Hipotesis merupakan
dugaan sementara terhadap masalah yang akan diteliti, adapun hipotesis penelitian
ini adalah:
1. Diduga usahatani tebu di Desa Setonorejo Kecamatan Kras Kabupaten Kediri
menguntungkan.
2. Diduga tingkat risiko pendapatan tebu tinggi, sehingga petani berpeluang
mengalami kerugian dalam usahataninya.
3.3. Batasan Masalah
Batasan masalah dilakukan untuk menentukan ruang lingkup permasalahan
yang akan diteliti. Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Risiko usahatani yang dianalisis adalah risiko pendapatan saja.
2. Data yang digunakan adalah data usahatani tebu musim tanam 2015-2016
dengan sistem keprasan yang dijual pada tahun 2016.
3. Varietas tebu yang dianalisis adalah tebu seri PS-862 (tebu 62 atau tebu hijau)
tanpa membedakan jenis keprasan.
3.4. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Variabel yang diamati adalah data dan informasi mengenai perilaku petani
terhadap risiko harga tebu di Desa Setonorejo. Variabel tersebut didefinisikan
terlebih dahulu untuk mempermudah pengumpulan data.
1. Pendapatan diperoleh dari selisih penerimaan tebu dengan biaya yang
dikeluarkan selama musim tanam tebu, pendapatan pada penelitian ini
dihitung berdasarkan harga jual tebu pada musim tanam 2015-2016 dengan
satuan rupiah per hektar.
2. Risiko yang dianalisis adalah risiko pendapatan dengan sistem penjualan
tebasan dengan satuan rupiah per hektar.
3. Tingkat risiko digunakan untuk mengetahui risiko pendapatan yang dihitung
dengan Koefisien Variasi (CV), risiko tinggi jika CV>0,5 dan risiko rendah
jika CV≤0,5. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Pengukuran Variabel dan Definisi Operasional
Konsep Variabel Definisi Operasional Variabel Pengukuran Variabel Pendapatan usahatani Harga tebu Harga yang diterima petani responden
saat petani menjual tebu dengan sistem tebasan, sehingga harga tebu sama dengan penerimaan.
Harga tebu dalam satuan rupiah per hektar.
Biaya penyusutan alat Nilai semua penyusutan yang dikeluarkan petani dalam berusahatani tebu per musim tanam. Diperoleh dari selisih antara harga beli peralatan dengan harga jual setelah pemakaian dibagi umur ekonomis.
Dinyatakan dengan satuan rupiah.
Biaya bibit Biaya yang dikeluarkan untuk tebu keprasan yang dihitung dari biaya beli bibit dibagi dengan jumlah keprasan petani.
Dinyatakan dalam satuan rupiah per hektar.
Biaya pajak Pajak yang harus dibayarkan untuk usahatani tebu pada tahun lalu.
Dinyatakan dalam satuan rupiah per hektar
Biaya sewa lahan Biaya yang dibayarkan kepada pemilik lahan untuk penyewaan lahan pada usahatani tebu musim tanam 2015-2016.
Dinyatakan dalam satuan rupiah per hektar
Harga pupuk Biaya yang dikeluarkan untuk pembelian pupuk dari toko pertanian. Pupuk yang dipakai di Desa Setonorejo adalah pupuk subsidi.
Dinyatakan dalam satuan rupiah per kuintal.
Kuantitas pupuk Jumlah pupuk yang digunakan oleh Dinyatakan dalam satuan
38
Konsep Variabel Definisi Operasional Variabel Pengukuran Variabel
petani dalam satu kali musim tanam tahun 2015-2016.
kuintal.
Tetes Salah satu hasil olahan tebu yang dapat digunakan untuk pupuk pada tebu.
Dinyatakan dalam satuan rupiah per liter.
Harga pestisida Biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk membeli obat pembasmi hama dan penyakit di lahan yang digunakan untuk usahatani tebu.
Dinyatakan dalam satuan rupiah.
Kuantitas pestisida Jumlah pestisida yang dibutuhkan dalam satu kali musim tanam tebu.
Dinyatakan dalam satuan liter
Harga herbisida Harga pembelian pembasmi gulma yang ada di lahan untuk usahatani tebu.
Dinyatakan dalam satuan rupiah.
Kuantitas herbisida Jumlah pembasmi gulma yang dibutuhkan dalam satu kali masa tanam tebu.
Dinyatakan dalam satuan liter.
Upah tenaga kerja Biaya yang harus dibayarkan kepada tenaga kerja dalam berusahatani. Upah ini disesuaikan dengan sistem yang berlaku di Desa Setonorejo.
Dinyatakan dalam rupiah per HOK (Hari Orang Kerja).
Kuantitas tenaga kerja Jumlah tenaga kerja yang bekerja dalam usahatani tebu dalam satu kali masa tanam.
Dinyatakan dalam satuan orang per HOK (Hari Orang Kerja).
Biaya irigasi Biaya yang dikeluarkan untuk pengairan tanaman tebu dalam satu kali masa tanam.
Dinyatakan dalam satuan rupiah
39
Konsep Variabel Definisi Operasional Variabel Pengukuran Variabel
Risiko pendapatan Tingkat pendapatan Hasil dari penjualan tebu dengan sistem tebasan.
Penerimaan petani dikurangi dengan jumlah total biaya usahatani dalam satu kali masa tanam.
Analisis risiko Hasil yang diharapkan (E) Nilai rata-rata (harga dan pendapatan) yang mungkin diterima petani pada setiap periode pada masa tanam yang akan datang.
Hasil yang diharapkan dari harga dan pendapatan satuannya rupiah
Ragam (V2) Variasi dari harga dan pendapatan tebu di Desa Setonorejo.
Ragam harga dan pendapatan satuannya rupiah.
Simpangan baku (V) Akar dari ragam Dinyatakan dalam satuan rupiah
Koefisien variasi (CV) Angka yang menunjukkan besarnya risiko yang harus ditanggung petani dalam satu kali masa tanam, baik risiko harga maupun risiko pendapatan.
Nilai simpangan baku dibagi nilai rata-rata (nilai rata-rata harga dan pendapatan). Tidak memiliki satuan.
Batas bawah pendapatan (L) Nilai nominal terendah yang diperoleh petani dalam satu kali masa tanam.
Dinyatakan dalam satuan rupiah.
40
Lanjutan tabel 3.
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan analisis kuantitatif.
Analisis deskriptif untuk mengetahui karakteristik atau gambaran umum petani
tebu yang ada di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri dan
digunakan untuk mendeskripsikan hasil perhitungan usahatani dan tingkat risiko
yang telah dilakukan berdasarkan data yang diperoleh di lapang. Sedangkan
analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis usahatani tebu (memperoleh
pendapatan atau tidak), selain itu juga digunakan untuk menganalisis tingkat
risiko pendapatan tebu yang dialami oleh petani, yakni dengan menggunakan
perhitungan Hasil yang Diharapkan (E), Keragaman (V), Standar Deviasi (SD),
Koefisien Variasi (CV), dan Batas Bawah Pendapatan (L).
4.2. Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras,
Kabupaten Kediri yang merupakan salah satu sentra budidaya tanaman tebu yang
ada di Kabupaten Kediri, di mana sebagian besar penduduknya bermata
pencaharian sebagai petani, khususnya petani tebu, sehingga penentuan lokasi ini
dilakukan secara sengaja (purposive). Penelitian ini dilakukan pada bulan April-
Mei 2017.
4.3. Teknik Penentuan Sampel
Penentuan sampel ini digunakan untuk mengetahui jumlah sampel yang
diteliti. Sampel ini ditentukan berdasarkan rumus slovin. Menurut Siregar (2014),
teknik penentuan sampel dengan slovin memiliki rumus sebagai berikut.
� =�
1 + ���
Di mana:
n = sampel
N = populasi
E = perkiraan tingkat kesalahan
42
Jumlah populasi petani tebu sistem keprasan di Desa Setonorejo berjumlah
295 petani, dengan menggunakan perkiraan tingkat kesalahan 15%, maka
dihasilkan perhitungan sebagai berikut.
� =�
1 + ���
� =295
1 + 295(0,15)�
� =295
1 + 6,637
� = 38,6
Berdasarkan hasil tersebut jumlah sampel dibulatkan menjadi 39 petani
tebu. Petani tebu ini nantinya dipilih secara acak sederhana (simple random
sampling) yakni setiap responden yang memenuhi kriteria memiliki kesempatan
yang sama untuk dijadikan sampel penelitian. Pemilihan acak sederhana ini
dilakukan di dua dusun yang ada di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras, Kabupaten
Kediri yaitu Dusun Demangan dan Dusun Setonorejo. Jumlah sampel penelitian
adalah 39 responden dengan kriteria petani sampel sebagai berikut:
a. Petani sampel tidak aktif mengikuti Gabungan Kelompok Tani
(GAPOKTAN) yang ada di Desa Setonorejo dan tidak mengikuti kemitraan
dengan pabrik gula terdekat.
b. Usia responden antara umur 30-75 tahun
c. Petani sampel sudah berusahatani minimal 5 tahun.
d. Petani yang diteliti menanam tebu varietas PS-862 (tebu 62 atau tebu hijau)
4.4. Teknik Pengumpulan Data
Data merupakan keterangan-keterangan suatu hal, dapat berupa sesuatu
yang diketahui atau yang dianggap atau anggapan. Dengan kata lain suatu fakta
yang digambarkan lewat angka. Data yang berkaitan dengan penelitian ini ada 2,
yaitu:
1. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di
lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang
memerlukannya. Data primer ini disebut juga data asli atau data baru. Misalnya
43
seperti data kuisioner (data yang diperoleh melalui kuisioner), data survey, data
observasi, dan sebagainya. Data primer yang dibutuhkan pada penelitian ini
berupa data biaya usahatani tebu dan data terkait harga tebu pada musim tanam
2015-2016.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang
yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Data ini biasanya
diperoleh dari perpustakaan atau dari laporan-laporan penelitian terdahulu.
Misalnya data yang berasal dari jurnal, BPS, dan buku yang berkaitan dengan
topik penelitian ini.
Sedangkan untuk pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui:
1. Wawancara secara langsung
Pengumpulan data ini dilakukan dengan mendatangi responden dan
melakukan kegiatan wawancara yang dipandu dengan kuisioner yang telah
dibuat sebelumnya, sehingga hal-hal yang perlu ditanyakan ditulis dikuisioner
agar wawancara terarah. Wawancara ini dilakukan untuk mengetahui biaya
input usahatani tebu, harga tebu dan juga perilaku petani menghadapi risiko
harga tebu. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data primer di lapang.
Menurut Narbuko dan Achmadi (2013), wawancara merupakan proses
tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan antara dua orang
atau lebih bertatap muka dan mendengarkan secara langsung informasi-
informasi atau keterangan-keterangan.
2. Observasi (Pengamatan)
Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara mengamati kondisi lapang
secara langsung yang nantinya didokumentasikan sebagai bukti observasi.
Menurut Narbuko dan Achmadi (2013), pengamatan merupakan alat
pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara
sistematik gejala-gejala yang diselidiki.
3. Dokumentasi
Dokumentasi ini diambil pada saat melakukan penelitian langsung di
lapang yang digunakan sebagai salah satu bukti penelitian yang telah
44
dilakukan. Hal-hal yang perlu didokumentasikan seperti data-data yang ada di
desa yang berkaitan dengan penelitian.
4.5. Teknik Analisis Data
4.5.1. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif digunakan untuk memaparkan suatu keadaan di lapang
dalam bentuk kata-kata atau kalimat ilmiah, sehingga mudah dipahami oleh
pembaca. Analisis ini nantinya digunakan untuk memaparkan kondisi lapang yang
diteliti, sehingga kondisi secara umum dapat digambarkan pada penelitian ini.
Misalnya memaparkan terkait karakteristik desa yang saat ini dijadikan penelitian
dan karakteristik petani tebu yang dijadikan sampel. Selain itu analisis deskriptif
ini digunakan untuk menjelaskan hasil analisis yang telah dilakukan baik
berdasarkan hasil analisis usahatani maupun hasil analisis tingkat risiko
pendapatan.
4.5.2. Analisis Kuantitatif
1. Analisis Pendapatan
Analisis pendapatan digunakan untuk mengetahui suatu usahatani
menguntungkan atau tidak, jika usahatani tersebut menguntungkan, maka dapat
dilanjutkan usahataninya, namun jika tidak menguntungkan perlu adanya
perbaikan manajemen usahatani agar budidayanya lebih menguntungkan.
Penelitian ini berkaitan dengan pendapatan karena harga tebu yang tidak menentu
dapat mempengaruhi pendapatan dari petani. Adapun langkah-langkah untuk
dapat memperoleh hasil pendapatan dari petani tebu adalah sebagai berikut:
a. Penentuan Total Biaya (TC)
Penentuan total biaya dalam penelitian ini didapatkan dari hasil
penjumlahan total biaya variabel dan total biaya tetap, di mana biaya variabel dan
biaya tetap ini masing-masing petani berbeda, tergantung cara pengelolaannya dan
tergantung luasan lahan yang dimiliki petani, semakin luas lahan yang dimiliki,
maka semakin tinggi juga total biaya yang harus dikeluarkan untuk usahatani
tebu, begitu pula sebaliknya. Biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh petani
dalam usahatani tebu dapat dilihat pada tabel 4.
45
Tabel 4. Biaya yang Dikeluarkan untuk Usahatani Tebu
No. Jenis Biaya Uraian Biaya Keterangan 1. TFC (Total Fix
Cost) Biaya Tetap (P0):
1. Cangkul 2. Sabit 3. Ganco 4. Ganthol 5. Diesel 6. Lahan
TFC = P0 + P1
Bibit (P1)
2. TVC (Total Variable Cost)
Pupuk (P2) 1. Urea 2. ZA 3. Phonska 4. Organik 5. Tetes
TVC = P2 + P3 + P4 +P5
Pestisida (P3)
Herbisida (P4)
Tenaga Kerja (P5): 1. Pengolah tanah 2. Penanaman 3. Pemeliharaan 4. Panen
Sehingga, TC = TFC + TVC TC = (P0 + P1) + (P2 + P3 + P4 +P5)
Berdasarkan tabel 4. di atas dapat diketahui bahwa bibit tetap masuk dalam
perhitungan biaya walaupun sistem keprasan, karena walaupun biaya beli bibit
tidak dihitung tetapi dalam perhitungan usahatani tetap dimasukkan karena
usahatani harus memperhitungkan pembelian bibit dengan cara biaya pembelian
bibit dibagi dengan jumlah keprasan yang dilakukan oleh petani. Karena
menggunakan pembagian jumlah keprasan, maka biaya bibit dimasukkan ke
dalam biaya tetap, yakni sistemnya seperti penyusutan alat menggunakan umur
ekonomis bibit.
b. Penerimaan
Penelitian ini komoditas yang diteliti merupakan komoditas tebu dengan
sistem budidaya keprasan dan sistem penjualan dengan tebasan, sehingga
penerimaan petani dihitung secara langsung berdasarkan harga jual petani pada
saat itu, karena petani yang diteliti merupakan PTM (Petani Tebu Mandiri) yang
menjual hasil usahataninya kepada tengkulak, sehingga sistem penjualannya
46
adalah tebas langsung di lahan. Sebagian besar petani tebu di daerah ini memang
tidak bermitra dengan pabrik gula, sehingga risiko harganya juga semakin tinggi.
c. Pendapatan
Pendapatan usahatani tebu dihitung dari selisih antara penerimaan petani
tebu dengan biaya total yang dikeluarkan untuk usahatani hingga pemanenan tebu.
Rumus yang dapat dipakai dalam penelitian ini adalah:
Πtebu = TR - TC
Π tebu = TR - (TFC + TVC)
Π tebu = TR - ((P0 + P1) + (P2 +P3 + P4 + P5))
2. Analisis Tingkat Risiko
a. Hasil yang Diharapkan (E)
Menurut Hernanto (1991), hasil yang diharapkan diperoleh dari hasil
perbandingan antara pendapatan pada periode tertentu dengan jumlah responden
yang diteliti, dihitung dengan rumus:
E = ∑ Ei����
n
Dimana:
E : rata-rata pendapatan tebu (Rp)
Ei : pendapatan tebu ke-i (Rp)
n : jumlah responden petani tebu yang diteliti
b. Keragaman (Variance) dan Simpangan Baku
Menurut Hernanto (1991), keragaman diperoleh berdasarkan pendapatan
periode tertentu dengan rata-rata pendapatan tebu dibagi dengan jumlah responden
dikurangi 1, dengan rumus sebagai berikut:
V� =∑ (Ei − E)�����
(n − 1)
Dimana:
V2 : ragam (variance) (Rp)
E : rata-rata pendapatan tebu (Rp)
Ei : pendapatan tebu ke-i (Rp)
n : jumlah responden petani tebu
47
Sedangkan simpangan baku diperoleh dari akar kuadrat dari keragaman
(variance), rumus untuk simpangan baku sebagai berikut:
V = �V�
Dimana:
V : simpangan baku (Rp)
V2 : ragam (Rp)
c. Koefisien Variasi dan Batas Bawah Pendapatan
Koefisien variasi merupakan analisis untuk mengetahui tingkat risiko yang
dihadapi oleh petani, semakin besar nilai koefisien variasi maka semakin besar
risiko yang dihadapi, namun semakin kecil nilai koefisien variasi maka semakin
kecil pula tingkat risiko yang dihadapi oleh petani tebu. Koefisien variasi
diperoleh dari perbandingan antara simpangan baku dengan rata-rata pendapatan
tebu. Terdapat hubungan antara koefisien variasi dengan batas bawah, yaitu
apabila nilai CV > 0,5 maka nilai L< 0, begitu pula jika nilai CV ≤ 0,5 maka nilai
L ≥ 0. Hal ini menunjukkan bahwa apabila CV > 0,5, maka risiko pendapatan
yang ditanggung petani semakin besar dengan menanggung kerugian sebesar L.
Menurut Hernanto (1991), rumus koefisien variasi yaitu:
CV =V
E
Dimana:
CV : koefisien variasi
V : simpangan baku (Rp)
E : rata-rata pendapatan tebu (Rp)
Batas bawah merupakan nilai rata-rata terendah yang mungkin diterima oleh
petani tebu terkait kondisi risiko pendapatan tebu. Batas bawah ini diperoleh dari
selisih antara rata-rata pendapatan dengan dua kali simpangan baku. Adapun
rumus batas bawah adalah sebagai berikut:
L = E – 2V
48
Di mana:
L : batas bawah pendapatan (Rp)
E : rata-rata pendapatan tebu (Rp)
V : simpangan baku (Rp)
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian
5.1.1. Letak Geografis dan Batas Administrasi
Desa Setonorejo merupakan salah satu desa di Kecamatan Kras, Kabupaten
Kediri. Wilayahnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian tempat 96
mdpl, curah hujan 300,00 mm/per tahun dengan jumlah bulan hujan secara normal
6 bulan. Desa ini memiliki suhu rata-rata sekitar 26oC. Desa Setonorejo terdiri
dari 2 dusun, yaitu Dusun Setonorejo dan Dusun Demangan. Desa ini memiliki 5
RW dan 20 RT. Adapun batas-batas wilayah desa ini adalah sebagai berikut:
Tabel 5. Batas Wilayah Desa Setonorejo
Sumber: Potensi Desa dan Kelurahan (2017)
Desa Setonorejo termasuk salah satu desa yang ada di Kabupaten Kediri,
namun desa ini merupakan desa perbatasan, sehingga batas-batas desanya pun
juga berbatasan dengan salah satu desa yang ada di Kabupaten Tulungagung dan
Kabupaten Blitar. Hal ini dapat diketahui dari tabel tersebut, yaitu batas desa
sebelah selatan merupakan Desa Jaten (Kabupaten Blitar) dan batas barat
merupakan Desa Pojok (Kabupaten Tulungagung).
5.1.2. Luas Wilayah Berdasarkan Penggunaan Lahan
Desa Setonorejo memiliki luas sebesar 245 Ha yang terdiri dari tanah
sawah, tanah kering, dan fasilitas umum. Tanah sawah ini digunakan untuk
menanam berbagai komoditas tanaman, baik komoditas tanaman pangan,
holtikultura maupun tanaman perkebunan rakyat. Tanaman perkebunan rakyat
yang ditanam di desa ini mayoritas adalah tanaman tebu, alasan penanaman tebu
selain lahannya cocok juga karena dekat dengan penebas tebu, sehingga penjualan
tebu lebih mudah, selain itu budidaya tebu juga lebih mudah dari komoditas
lainnya. Berdasarkan penjabaran tersebut di bawah ini telah tersaji luas wilayah
berdasarkan penggunaan lahan.
Batas Desa/Kelurahan Kecamatan Sebelah utara Rejomulyo Ngadiluwih Sebelah selatan Jaten Wonodadi (Kabupaten Blitar) Sebelah timur Pelas Ringinrejo Sebelah barat Pojok Ngantru (Kabupaten
Tulungagung)
50
Tabel 6. Luas Wilayah berdasarkan Penggunaan Lahan
Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%) Luas tanah sawah 131,45 53,65 Luas tanah kering 99,00 40,41 Luas tanah basah 0,00 0,0 Luas tanah perkebunan 0,00 0,0 Luas fasilitas umum 14,55 5,94 Luas tanah hutan 0,00 0,0
Total Luas 245,00 100
Sumber: Potensi Desa dan Kelurahan (2017)
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan lahan yang
paling luas adalah penggunaan untuk tanah sawah sebesar 53,65% atau 131,45
Ha, tanah sawah yang ada di desa ini adalah sawah irigasi teknis, sedangkan untuk
tanah kering digunakan sebagai pemukiman dengan luas 99 Ha atau 40,41% dan
penggunaan lahan yang ketiga adalah untuk fasilitas umum sebesar 14,55 Ha atau
5,94% yang digunakan untuk tanah bengkok, sawah desa, perkantoran
pemerintah, tempat pemakaman umum desa, dan bangunan sekolah. Dari data
tersebut luas lahan untuk sawah lebih tinggi apabila dibandingkan dengan
penggunaan lahan yang lainnya, luas lahan yang tinggi ini digunakan untuk
pertanian, sehingga di Desa Setonorejo memiliki potensi yang besar dalam
pengembangan usahatani tebu.
5.1.3. Keadaan Penduduk
Desa Setonorejo hingga Maret 2017 memiliki jumlah penduduk sebesar
3.591 jiwa yang terdiri dari 2.183 jiwa penduduk laki-laki dan 1.408 jiwa
penduduk perempuan. Tahun 2016 jumlah penduduknya sebanyak 2.798 jiwa,
mayoritas agama yang dianut oleh penduduk Desa Setonorejo adalah Agama
Islam dengan total 2.798 jiwa, sedangkan untuk agama kristen jumlahnya 1 orang.
Penduduk di Desa Setonorejo sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani,
karena luas lahan pertanian di wilayah ini masih luas sehingga dapat digunakan
sebagai usahatani terutama usatahatani tebu. Tingginya penduduk yang
bermatapencaharian sebagai petani merupakan salah satu aset yang dapat
dimanfaatkan untuk dapat memajukan desa ini di bidang pertanian. Distribusi
penduduk berdasarkan matapencaharian dapat terlihat pada tabel di bawah ini.
51
Tabel 7. Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
Jenis Pekerjaan Laki-laki (jiwa)
Perempuan (jiwa)
Total Persentase
Petani 543 138 681 61,57 Buruh Tani 47 9 56 5,06 Pegawai Negeri Sipil 13 9 22 1,99 Peternak Lain-lain
132 122
18 75
150 197
13,56 17,81
Jumlah Total Penduduk
857 249 1.106 100
Sumber: Potensi Desa dan Kelurahan (2017)
Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa mayoritas penduduk di desa ini
bermatapencaharian sebagai petani dengan persentase 61,57%, sedangkan urutan
ke dua ditempati oleh penduduk yang bermatapencaharian lain-lain sebesar 17,81
(terdiri dari TNI, polri, pedagang keliling, tukang kayu, tukang batu, pembantu
rumah tangga, arsitektur/desainer, karyawan perusahaan swasta, karyawan
perusahaan pemerintahan, pensiunan dan tukang jahit), dan yang paling sedikit
adalah penduduk dengan matapencaharian sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS)
dengan persentase 1,99%. Tingginya penduduk yang bermatapencaharian sebagai
petani ini menjadikan daerah tersebut sebagai salah satu daerah yang berpotensi
dalam pengembangan usaha di bidang pertanian, khususnya usaha yang terkait
dengan tebu.
5.2. Karakteristik Responden
5.2.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Karakteristik responden berdasarkan usia ini digunakan untuk mengetahui
respnden yang diteliti termasuk usia produktif atau tidak, jika usianya masih
produktif, maka petani memiliki kesempatan untuk mampu meningkatkan
pendapatan usahatani tebunya. Adapun umur responden disajikan pada tabel
berikut 8.
Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui umur responden yang diteliti lebih
dari 30 tahun hingga lebih dari 60 tahun. Dari total responden yang diteliti
sebagian besar petani berumur antara 51-60 tahun, di mana rata-rata umur petani
responden adalah 52,4 tahun. Umur ini masih dapat dikatakan umur produktif
dalam melakukan usahatani tebu, dengan umur yang produktif ini dapat
52
disimpulkan bahwa petani masih mampu meningkatkan pendapatan usahatani
tebunya dengan melakukan pembudidayaan yang baik agar tebu yang dihasilkan
memiliki kualitas yang bagus, dan jika harga tebu pada saat itu naik pasti petani
dapat memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Tabel 8. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Umur Responden (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%) 31 s/d 40 7 17,95 41 s/d 50 7 17,95 51 s/d 60 17 43,59 >60 8 20,51
Total 39 100
Rata-rata umur responden 52,4
Sumber: Data primer diolah (2017)
5.2.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pendidikan masing-masing sampel penelitian berbeda, terdapat petani
yang memiliki pendidikan rendah, menengah hingga tinggi, sehingga hal ini
mampu mempengaruhi usahatani tebu yang dilakukannya, perbedaan tingkat
pendidikan formal ini dapat diketahui dari tabel berikut.
Tabel 9. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pendidikan Terakhir Jumlah (orang) Persentase (%) SD 24 61,54 SMP 5 12,82 SMA/SMK 7 17,95 Perguruan Tinggi 3 7,69
Total 39 100
Sumber: Data primer diolah (2017)
Mayoritas tingkat pendidikan responden adalah SD sebesar 61,54% atau
24 responden memiliki pendidikan SD, sedangkan untuk sisanya terbagi menjadi
pendidikan SMP, SMA/SMK, dan Perguruan Tinggi. Masing-masing responden
pada penelitian ini memiliki tingkat pendidikan berbeda-beda, begitu pula tingkat
pengetahuan dan ketrampilan petani berbeda juga, sehingga hasil yang didapat
dari usahatani tebu juga berbeda. Rata-rata pendidikan yang rendah ini biasanya
juga mempengaruhi dalam proses budidaya tebu, petani di daerah ini dalam
pembudidayaan tebu mayoritas berdasarkan pengalaman yang telah diajarkan oleh
orang tua mereka atau berdasarkan cara budidaya yang ada di lingkungan mereka,
bahkan penyuluhan terkait tebu masih belum ada di desa ini. Sehingga petani
53
dengan tingkat pendidikan rata-rata rendah dapat berusahatani sesuai dengan
pengalaman mereka saja tanpa ada pendampingan dari pihak penyuluh.
5.2.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Berusahatani Tebu
Responden pada penelitian ini memiliki pengalaman dalam usahatani tebu
yang berbeda-beda, ada yang masih 5 tahun ada juga yang lebih dari 30 tahun.
Adapun data terkait lamanya berusahatani petani tebu dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 10. Karakteristik Responden Berdasakan Lama Usahatani Tebu
Lama Berusahatani Jumlah (Tahun) Persentase (%)
5-10 tahun 5 12,82 11-20 tahun 10 25,64 21-30 tahun 10 25,64 >30 tahun 14 35,90
Total 39 100
Rata-rata lama berusahatani 26,13
Sumber: Data primer diolah (2017)
Berdasarkan tabel tersebut, petani responden memiliki rata-rata
pengalaman usahatani 26,13 tahun. Hal ini berarti petani responden sudah lama
dalam berusahatani tebu dan mengetahui susah senangnya berusahatani tebu.
Sehingga lamanya berusahatani ini sesuai dengan batasan masalah yang telah
ditentukan yakni minimal 5 tahun pengalaman dalam berusahatani. Petani yang
diwawancarai paling banyak sudah memiliki pengalaman usahatani lebih dari 30
tahun, yaitu sebanyak 14 orang dengan persentase 35,90%, sehingga banyak
petani yang sudah mampu berusahatani tebu dengan baik sesuai dengan
pengalamannya.
5.2.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Luas Lahan
Lahan merupakan tempat yang digunakan oleh petani untuk
membudidayakan tebu, luas lahan yang dimiliki oleh petani responden berbeda-
beda, luas lahan yang berbeda-beda ini nantinya mempengaruhi biaya yang
dikeluarkan dalam usahatani tebu. Biasanya semakin luas lahan yang dimiliki
petani, maka semakin banyak biaya yang dikeluarkan, namun biasanya juga
mampu memperoleh produksi yang lebih tinggi. Luas lahan petani sampel dapat
dilihat pada tabel 11.
54
Tabel 11. Karakteristik Responden Berdasarkan Luas Lahan Tebu
Luas Lahan (L) (Ha) Jumlah (orang) Persentase (%)
0-0,5 27 69,23
0,5<L≥1 8 20,51
L>1 4 10,26
Total 39 100
Sumber: Data primer diolah (2017)
Petani tebu di desa ini mayoritas masih memiliki lahan 0-0,5 Ha, sehingga
sebagian besar petaninya adalah petani kecil atau petani gurem. Namun petani
besar maupun petani kecil di desa ini dalam menjual hasil tebunya tetap kepada
penebas (tidak langsung ke pabrik gula) dengan alasan petani memperoleh uang
hasil panennya lebih cepat, dan petani tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk
pemanenan tebu dan pengangkutan tebu ke pabrik. Karena semua risiko yang
dialami setelah penjualan adalah risiko bagi penebas (pembeli tebu).
5.2.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Frekuensi Keprasan
Responden yang diteliti adalah petani tebu dengan sistem budidaya tebu
keprasan, masing-masing petani memiliki frekuensi keprasan sendiri-sendiri, ada
yang kurang dari 3 kali, lebih dari 3 kali bahkan ada yang lebih dari 7 kali.
Frekuensi keprasan bisanya berpengaruh terhadap produksi tebu yang dihasilkan.
Petani melakukan keprasan beberapa kali biasanya untuk menghemat biaya
usahatani tebu dalam pembelian bibit, selain itu juga untuk menghemat biaya
tenaga kerjanya. Adapun data terkait frekuensi keprasan yang telah dilakukan
petani tebu di desa ini dapat disajikan pada tabel berikut.
Tabel 12. Karakteristik Responden Berdasarkan Frekuensi Keprasan Tebu
Frekuensi Keprasan (kali) Jumlah (orang) Persentase (%)
1-3 18 46,15 4-7 16 41,03 >7 5 12,82
Total 39 100
Sumber: Data primer diolah (2017)
Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa frekuensi petani melakukan
budidaya keprasan yang paling tinggi adalah 1-3 kali dengan persentase 46,15%
atau 18 orang, sedangkan yang paling sedikit yaitu lebih dari 7 kali sebanyak
55
12,82% atau hanya 5 orang. Untuk yang lebih dari 7 kali sebaiknya segera
melakukan sistem tanam dengan bongkar ratoon atau dilakukan rotasi tanaman
agar hasil produksinya tidak semakin menurun, karena semakin banyak dikepras
maka dapat menghasilkan penurunan kualitas ataupun produksi. Biasanya petani
di daerah ini melakukan budidaya dengan keprasan untuk menghemat biaya, baik
biaya pembelian bibit maupun biaya tenaga kerja.
5.2.6. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan
Masing-masing petani sampel memiliki luas lahan berbeda-beda, namun
status kepemilikan lahan ada yang sewa dan ada yang lahan milik sendiri. Berikut
ini data status kepemilikan lahan petani sampel di Desa Setonorejo:
Tabel 13. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan
Status Kepemilikan Lahan
Jumlah (orang) Persentase(%)
Milik sendiri 34 87,18 Sewa 3 7,69 Milik sendiri + sewa 2 5,13
Total 39 100
Sumber: Data primer diolah (2017)
Lahan yang dimiliki petani sampel ada yang lahan milik sendiri dan biaya
yang dikeluarkan per tahunnya dihitung berdasarkan pajak pertahun, sedangkan
untuk lahan sewa dihitung berdasarkan harga sewa per tahunnya. Untuk lahan
sewa, biasanya lahan tersebut berasal dari tanah desa yang disewakan atau berasal
dari petani lain yang menyewakan kepada petani sampel. Harga sewa saat ini 125
ru atau 0,17 Ha/tahun adalah Rp 4.500.000-5.000.000 baik lahan yang di sewa
dari petani lain maupun lahan yang disewa dari desa, karena di desa ini terdapat
lahan desa yang dikhususkan untuk petani yang tidak memiliki lahan agar di sewa
untuk berusahatani, biasanya dua tahun sekali proses penyewaannya dilakukan.
Berdasarkan tabel tersebut mayoritas petani sampel memiliki lahan sendiri
dengan persentase 87,18% atau berjumlah 34 petani sampel. Status kepemilikan
lahan yang lainnya masing-masing hanya 7,16% dan 5,13% dari jumlah total
100% atau 39 petani responden. Dari data yang telah tersaji tersebut dapat
disimpulkan bahwa mayoritas petani sampel memiliki lahan sendiri dalam
berusahatani, karena milik sendiri maka mayoritas pengeluaran biaya usahatani
56
lahan dihitung berdasarkan pajak per tahun lahan tersebut. Untuk lebih jelasnya
terkait karakteristik responden dapat dilihat pada lampiran 1.
5.3. Analisis Usahatani Tebu
5.3.1. Analisis Biaya Usahatani Tebu
Biaya dalam usahatani tebu merupakan biaya yang harus dikeluarkan
selama satu musim tanam tebu, di mana ada 2 jenis biaya, yaitu biaya tetap dan
biaya variabel. Biaya tetap merupakan biaya yang dikeluarkan dalam satu kali
musim tanam tebu yang tidak dipengaruhi seberapa besar hasil produksi yang
dihasilkan. Biaya tetap pada usahatani tebu misalnya biaya pajak per tahun atau
sewa lahan dan biaya penyusutan alat. Sedangkan biaya variabel merupakan biaya
yang berubah-ubah sesuai dengan kondisi yang ada di lapang, semakin luas lahan
maka semakin banyak input variabel yang dibutuhkan. Biaya variabel yang
dikeluarkan pada usahatani tebu misalnya biaya pembelian bibit tebu, biaya
pembelian pupuk, pestisida, dan tenaga kerja. Namun untuk sistem keprasan tidak
mengeluarkan biaya pembelian bibit, karena keprasan merupakan menumbuhkan
kembali bekas tanaman tebu yang sudah ditebang.
Biaya yang paling besar biasanya adalah biaya tenaga kerja, karena biaya
tenaga kerja ini meliputi biaya tenaga kerja penyulaman, penyiangan, pemupukan,
pembumbunan, perompesan maupun lepas. Biaya tenaga kerja pemanenan tidak
dihitung karena sistem penjualan tebu secara tebasan. Untuk Perhitungan rata-rata
biaya usahatani dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 14. Total Biaya Usahatani Tebu Musim Tanam 2015-2016
No. Uraian Nilai (Rp/Ha) 1. Total Biaya Tetap 5.592.149 2. Total Biaya Variabel 20.801.645
Total Biaya 26.393.793
Sumber: Data primer diolah (2017)
Berdasarkan tabel 14 diketahui bahwa jumlah biaya tetap sebesar Rp
5.592.149/Ha/Musim Tanam dengan total biaya variabel sebesar Rp
20.801.645/Ha/Musim Tanam, sehingga didapatkan total biaya sebesar Rp
26.393.793/Ha/Musim Tanam. Total biaya tetap ini dikeluarkan oleh petani tebu
di Desa Setonorejo dalam satu kali masa tanam yaitu musim tanam tahun 2015-
57
2016 dengan luasan lahan 1 Ha. Satu kali musim tanam berkisar antara 8-12
bulan, sehingga dalam satu tahun hanya dapat ditanami tebu satu kali. Adapun
perhitungan secara terperinci dapat dilihat pada lampiran 2 hingga lampiran 4.
Total biaya tersebut dapat berubah-ubah dari musim tanam satu ke musim
tanam yang lain, sebab dalam berusahatani terdapat kondisi yang tidak
diharapkan, sehingga terkadang biaya yang dikeluarkan dalam berusahatani dapat
bertambah maupun berkurang sesuai kondisi di lahan. Contoh kondisi yang
mengakibatkan adanya penurunan biaya usahatani adalah pada masa tanam tahun
2016-2017, banyak petani sampel yang mengaku bahwa tidak mengeluarkan biaya
untuk irigasi, sebab saat musim tanam tersebut terjadi hujan sehingga pengairan
langsung dari air hujan saja, hal inilah salah satu fenomena yang mampu
mengurangi biaya, namun ada juga petani yang justru harus menambah biaya
dalam usahataninya misalnya karena tebu yang di tanam mengalami kebusukan
akibat hujan akibatnya petani harus membeli tambahan bibit dan membayar
tenaga kerja lagi.
Pembengkakan biaya usahatani tebu sebenarnya dapat ditekan oleh petani
dengan cara adanya manajemen biaya yang baik, namun mayoritas petani sampel
tidak memperhitungkan jumlah biaya yang dikeluarkannya, dan biasanya mereka
baru menyadari bahwa biaya yang dikeluarkan banyak saat panen tiba dan
pendapatan mereka ternyata berkurang. Memang ada petani yang di catat jumlah
pengeluarannya dalam berusahatani, namun itu hanya beberapa saja. Biasanya
mereka yang mencatat biaya usahataninya digunakan sebagai patokan untuk
usahatani selanjutnya. Selain itu dalam memanajemen keuangan usahatani juga
dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan, untuk itu tingkat pendidikan juga
mampu mempengaruhi petani dalam melakukan pemanajemenan tersebut.
5.3.2. Analisis Penerimaan Usahatani Tebu
Penerimaan usahatani tebu yang dianalisis ini berbeda dengan penerimaan
pada usahatani lainnya, karena penerimaan yang diterima sama dengan harga beli
dari petani. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan maka didapatkan rata-
rata penerimaan usahatani tebu sebesar Rp 70.406.586/Ha/Musim Tanam.
Penerimaan ini diperoleh berdasarkan harga borongan yang telah ditentukan oleh
penebas dengan petani dengan sistem borongan. Hal ini sesuai dengan pendapat
58
dari Wiradi (2009) yang menyatakan bahwa sistem tebasan merupakan pembelian
dengan cara ditebas di lahan, di mana tanaman yang dibeli masih ada di lahan dan
siap untuk dipanen dengan sistem taksiran, misalnya 1 Ha dibeli dengan sekian
rupiah dengan harapan mampu menghasilkan sekian ton. Rincian penerimaan
usahatani dapat dilihat pada lampiran 5.
Pada umumnya penerimaan masing-masing petani di desa tersebut
berbeda, hal ini tergantung dari luasan lahan yang dimiliki petani, kualitas tebu
dan rata-rata harga gula yang berlaku saat itu. Petani di desa ini mengetahui harga
(penerimaan) dari petani lain yang kemudian melakukan penawaran dengan
penebas, padahal informasi harga (penerimaan) dari petani lain tersebut belum
tentu valid atau benar, sehingga disinilah kemampuan petani dalam mengakses
informasi sangat dibutuhkan agar petani tidak merasa dirugikan dengan harga
yang terbentuk dari proses negosiasi tersebut.
Proses pembentukan harga (penerimaan) ini dibutuhkan pengetahuan dan
ketrampilan dalam bernegosiasi dengan penebas. Apalagi petani di desa ini
mayoritas pendidikan petaninya masih rendah, sehingga sangat mungkin jika
harga yang terbentuk jauh diharga pasaran yang telah ditentukan oleh pihak pabrik
gula setempat. Untuk itulah pendidikan yang dimiliki petani ini penting, karena
dengan memiliki pendidikan tinggi, maka petani mampu dengan mudah mencari
informasi secara cermat agar tidak mudah percaya dengan isu harga tebu saat itu.
Selain itu, penerimaan masing-masing petani berbeda juga dipengaruhi
dari kualitas tebu yang dihasilkan. Rata-rata penerimaan per hektar di desa ini
sebesar Rp 70.406.586/Ha/Musim Tanam, namun salah seorang petani justru
mendapatkan penerimaan sebesar Rp 125.000.000/Ha/Musim Tanam (jauh dari
penerimaan rata-rata petani sampel), hal ini dapat terjadi kemungkinan karena
beliau sudah lumayan sepuh dan menjadi petani tebu sudah 40 tahun lebih,
sehingga banyak pengalaman yang didapat selama berusahatani dan petani
tersebut mau introspeksi terkait usahatani tebunya agar hasil tebu yang didapatkan
menjadi lebih bagus.
Di sisi lain terdapat juga petani yang memiliki pengalaman usahatani 53
tahun, namun mendapatkan penerimaan yang paling rendah diantara petani
lainnya, hal ini kemungkinan karena kurangnya informasi usahatani tebu yang
59
mengakibatkan beliau dalam berusahatani sesuai kemampuannya saja, di mana
beliau dalam berusahatani sesuai yang diajari orang tuanya saja, apalagi jika
beliau tidak mau introspeksi hal-hal yang mengakibatkan penerimaannya rendah
dan tidak mau memperbaiki cara usahatani tebunya, sehingga perlu adanya
penyuluhan terkait usahatani tebu dan pemasaran tebu agar petani yang seperti ini
mampu memperoleh informasi yang dibutuhkan dan petani ini mampu
memperoleh penerimaan yang layak.
Adapun informasi yang dibutuhkan petani adalah informasi terkait cara
budidaya tebu yang benar, jumlah keprasan yang bagus agar tidak menurunkan
tingkat produksi tebu, dan informasi terkait pemasaran tebu. Dengan adanya aliran
informasi yang baik, maka penerimaan petani tebu mampu meningkat, namun
tentunya dengan adanya kesadaran petani untuk mau merubah usahatani tebunya
sesuai yang telah diinformasikan tersebut.
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa penerimaan usahatani
tebu yang diterima oleh petani mampu meningkat, hal ini tergantung dari
pengetahun, pengalaman, kemauan untuk introspeksi hal-hal yang masih kurang
dalam beusahatani dan jumlah keprasan yang dilakukan oleh petani. Jumlah
keprasan ini berpengaruh karena semakin banyak jumlah keprasan yang dilakukan
maka dapat menurunkan kualitas tebu yang dihasilkan.
5.3.3. Analisis Pendapatan Usahatani
Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan yang diterima
petani dengan jumlah total biaya yang dikeluarkan selama satu kali musim tanam,
petani tebu dapat dikatakan untung jika penerimaan lebih dari total biaya yang
dikeluarkan, namun petani dikatakan rugi jika total biaya melebihi penerimaan.
Pendapatan yang diperoleh oleh petani di Desa Setonorejo disajikan pada tabel
berikut.
Tabel 15. Pendapatan Petani Responden Musim Tanam 2015-2016
No. Uraian Nilai (Rp/Ha)
1. Penerimaan 70.406.586 2. Total Biaya 26.393.793 3. Pendapatan 44.012.792
Sumber: Data primer diolah (2017)
60
Hasil analisis pendapatan yang telah dilakukan di Desa Setonorejo
menunjukkan bahwa petani tebu pada daerah ini pada musim tanam 2015-2016
mendapatkan pendapatan sebesar Rp 44.012.792/Ha/Musim Tanam. Hal ini
berarti bahwa usahatani tebu dapat dikatakan layak untuk dikembangkan karena
petani memperoleh pendapatan. Hernanto (1992) (dalam Maulidah, 2012)
menyatakan bahwa pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan
dengan total biaya yang digunakan. Semakin besar pendapatan yang diperoleh,
maka dapat dikatakan bahwa usahatani dapat terus berkembang dengan baik
karena pada prinsipnya, tujuan usahatani secara umum adalah mencari laba
maksimal. Rincian perhitungan pendapatan usahatani dapat dilihat pada lampiran
6.
Berdasarkan perhitungan tersebut dapat diketahui rata-rata petani tebu di
daerah ini memperoleh pendapatan, hal inilah yang menjadi salah satu faktor
petani mau menanam tebu setiap tahunnya, namun disisi lain setiap usatani tebu
memiliki berbagai kendala baik kendala saat budidaya tebu maupun kendala saat
proses pemasaran tebu. Salah satu kendala yang dialami petani adalah
ketidakpastian harga, apalagi semua petani di Desa Setonorejo dalam menjual
hasil tebunya kepada penebas, di mana informasi harga hanya diketahui
berdasarkan informasi dari petani lain dan berdasarkan informasi dari tengkulak
saja, sehingga tingkat risiko yang dihadapi petani juga akan tinggi. Adapun
perhitungan terkait tingkat risiko dapat dianalisis pada sub bab 5.4.
5.4. Analisis Risiko Pendapatan Tebu
Analisis risiko pendapatan dihitung berdasarkan pendapatan yang didapat
oleh petani pada musim tanam 2015-2016. Pendapatan ini diperoleh berdasarkan
perhitungan penerimaan dengan total biaya masing-masing petani responden,
harga jual tebu yang dihitung adalah harga jual dengan sistem tebasan, bukan
harga jual dari petani kepada pabrik gula. Harga yang diteliti ini adalah harga
sistem tebasan karena pada sistem tebasan harga ditentukan berdasarkan harga
gula, luas lahan dan berdasarkan kondisi tebu di lahan. Biasanya pembentukan
harga ini dilakukan dengan sistem tawar menawar antara petani dengan penebas,
sehingga harga yang terbentuk cenderung berbeda-beda, apalagi harga tebu juga
naik turun, sehingga petani harus mengetahui harga tebu saat itu agar saat
61
penjualan bisa melakukan proses tawar menawar dengan baik. Harga tebu tebasan
ini nantinya akan berpengaruh terhadap pendapatan, namun pendapatan ang
diterima oleh masing-masing petani berbeda, sehingga hal tersebut mampu
menimbulkan risiko. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan dengan
menggunakan Microsoft Excel, maka didapat perhitungan tingkat risiko
pendapatan tebu sebagai berikut.
Tabel 16. Hasil Perhitungan Tingkat Risiko Pendapatan Tebu Musim Tanam
2015-2016
No. Uraian Nilai 1. Hasil yang Diharapkan (E) 24.431.791 2. Simpangan Baku (V) 34.550.470 3. Koefisien Variasi (CV) 1,41 4. Batas Bawah Pendapatan (L) -44.669.148
Sumber: Data primer diolah (2017)
Berdasarkan perhitungan tersebut dapat diketahui bahwa pada tebu
didapatan hasil yang diharapkan (E) sebesar Rp 24.431.791. Artinya rata-rata
pendapatan yang diterima petani di Desa Setonorejo pada masa tanam yang akan
datang sebesar Rp 24.431.791. Nilai simpangan baku (nilai fluktuasi pendapatan)
sebesar Rp 34.550.470, sedangkan nilai Koefisien Variasi (CV) atau tingkat
risikonya sebesar 1,41 dari hasil yang diharapkan. Nilai Batas Bawah Pendapatan
(L) sebesar Rp -44.669.148, artinya dalam proses usahatani tebu musim
berikutnya petani harus berani menanggung kerugian karena berkurangnya nilai
pendapatan sebesar Rp -44.669.148.
Berdasarkan indikator yang telah dikemukakan oleh Elton dan Gruber
(1995) (dalam Tarigan, 2009), maka hasil Koefisien Variasi (CV) pada penelitian
ini masuk ke dalam kategori CV>0,5 dan L<0, yaitu CV=1,41 dan L=Rp -
44.669.148, sehingga tingkat risiko pendapatan pada usahatani tebu tinggi, dan
petani dapat berpeluang mengalami kerugian pada musim tanam selanjutnya.
Risiko pendapatan yang tinggi ini dipengaruhi oleh jumlah penerimaan petani satu
dengan yang lain berbeda dalam satu kali masa tanam, selain itu pendapatan
tersebut juga dipengaruhi oleh biaya-biaya yang dikeluarkan dalam berusahatani
tebu. Semakin banyak variasi pendapatan yang ada di desa tersebut, maka
semakin tinggi risiko yang harus dihadapi oleh petani.
62
Berdasarkan hasil analisis usahatani dan tingkat risiko pendapatan
menunjukkan bahwa petani tebu rata-rata pendapatan per hektar/musim tanam
pada tahun 2016 memperoleh pendapatan, namun di sisi lain tingkat risiko
pendapatannya tinggi, hal ini karena antara pendapatan yang diterima petani
dengan tingkat risiko berbanding lurus, yaitu jika pendapatan tinggi maka risiko
yang harus dihadapi oleh petani juga tinggi. Hal ini sesuai pernyataan dari
Barron’s, 1993 (dalam Tarigan, 2009) bahwa fluktuasi harga dan hasil produksi
akan menyebabkan fluktuasi pendapatan bersih. Ukuran yang dapat digunakan
untuk melihat besarnya risiko yang dihadapi oleh produsen adalah dengan
mengetahui besarnya ragam atau simpangan baku dari pendapatan bersih per
periode atau return, yaitu jika risiko tinggi maka return juga akan meningkat dan
sebaliknya.
Petani tebu di desa ini, walaupun pendapatan tebunya tinggi tetapi
risikonya tinggi, mereka tetap lebih menyukai tanaman tebu hijau atau tebu 62
dibandingkan tebu varietas lain seperti Tebu BR (tebu 64 atau tebu merah),
walaupun tebu 62 ini lebih rentan jika dibandingkan dengan tebu merah atau tebu
BR, sebab tebu hijau jika dijual lebih mahal dan dapat dipanen saat masih muda
maupun sudah tua, di mana saat masih muda dapat dijual kepada penebas es tebu
sedangkan pada saat sudah tua dapat dijual kepada penebas tebu yang dibawa ke
pabrik untuk diolah menjadi gula dan tebu BR hanya dapat dijual saat sudah tua
saja dan umurnya 11-12 bulan, namun untuk tebu hijau hanya berkisar antara 8-12
bulan sudah bisa dipanen.
Pendapatan yang diterima masing-masing petani berbeda karena cara
pengelolaannya pun juga berbeda, misalnya terdapat petani yang menggunakan
pupuk urea dan SP36, namun ada juga petani yang lebih menyukai tetes untuk
pupuknya. Penggunaan pupuk urea dan SP36 ini untuk mampu meningkatkan
hasil produksi tebu, namun penggunaan tetes untuk pupuk biasanya karena untuk
menghemat biaya. Namun di sisi lain tetes dan pupuk kimia padat tersebut juga
memiliki efek jangka panjang jika tidak dilakukan sesuai dosis yang dianjurkan.
Menurut petani yang menggunakan pupuk berupa urea dan SP36, penggunaan
tetes tidak bagus untuk tanah, sebab tetes mampu meningkatkan tingkat keasaman
tanah, sehingga tanah nantinya kurang bagus untuk ditanami tebu. Walaupun tetes
63
lebih murah tetapi mayoritas petani lebih memilih menggunakan pupuk seperti
urea dan SP36.
Selain dari variasi pendapatan, tingginya tingkat risiko ini juga dapat
dipengaruhi dari sistem penjualan tebu yaitu dengan tebasan, karena sistem
tebasan ini kualitas tebu tidak dipertimbangkan secara terperinci. Petani di Desa
ini melakukan penjualan dengan sistem tebasan dengan alasan lebih mudah, selain
itu di desa ini sistem informasi terkait budidaya tebu dan penjualan tebu juga
masih kurang, bahkan belum adanya penyuluhan khusus tanaman tebu baik dari
segi budidaya maupun dari segi pemasaran. Hal ini kemungkinan dikarenakan
wilayah desa ini merupakan perbatasan antara Kediri dengan Kabupaten
Tulungagung dan Perbatasan antara Kabupaten Kediri dengan Kabupaten Blitar,
sehingga akses informasi dari pusat sedikit mengalami kendala karena wilayahnya
lumayan jauh dari kota.
Kondisi di lapang yang mampu mengakibatkan turunnya pendapatan dan
risiko pendapatan yang tinggi dapat berupa tebu roboh akibat adanya hujan yang
berkepanjangan disertai dengan angin, biasanya tebu roboh ini dapat dijadikan
tempat sembunyi tikus, sehingga semakin lama tebu tersebut dapat rusak, selain
itu harga tebu yang menurun setiap bulannya membuat petani satu dengan yang
lain memperoleh pendapatan yang berbeda jauh sehingga tingkat variasi
pendapatan tinggi, tebu berbunga, adanya hama berupa embug (uret), adanya
jamur upas, dan kurangnya perawatan tanaman tebu saat di lahan yang mampu
mengakibatkan tebu menjadi kecil, sehingga air yang dihasilkan untuk bahan baku
gula juga sedikit.
Namun untuk sistem tebasan, biasanya yang paling berpengaruh dari
beberapa masalah di atas adalah tebu yang roboh, tebu berbunga, tebu kecil-kecil
dan adanya harga jual tebu menurun. Jika petani menghadapi hal demikian dapat
dipastikan bahwa petani dapat mengalami kerugian dalam usahataninya. Saat
kondisinya seperti ini petani hanya berharap balik modal saja sudah alhamdulillah.
Namun kondisi musim tanam 2015-2016 masih lebih bagus jika dibandingkan
kondisi masa tanam 2016-2017, sebab harga tebu tahun 2017 lebih rendah lagi
dibandingkan musim sebelumnya. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan hasil
64
wawancara yang telah dilakukan di lapang yang secara terperinci dapat dilihat
pada lampiran 8.
Penurunan harga tebu mampu membuat petani semakin merugi, apalagi
saat ini akan diterapkan sistem PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 10% untuk
petani tebu, petani yang sudah merugi akan dikenai PPN sebesar 10%, hal ini
membuat petani semakin disudutkan terutama petani tebu. Karena tebunya rugi
namun malah dikenai pajak tambahan 10% dari hasil produksi tebunya. Menurut
Malang Today (2017), petani tebu di Kabupaten Malang menolak keras dengan
rencana adanya penerapan PPN sebesar 10%, karena jika hal tersebut dapat
berlaku, maka akan memberatkan dan merugikan petani tebu. Ichwanul juga
menambahkan ke Malang Today (2017), saat ini nasib petani tebu sudah berada
pada kondisi kritis, di mana harga lelang tebu rendah, rendemen rendah. Jika
penerapan PPN 10% tersebut dilakukan, hal ini tidak akan sebanding dengan
pengeluaran petani untuk operasional sejak masa tanam sampai panen. Ichwanul
juga menambahkan bahwa pemerintah sebaiknya mengkaji ulang penerapan PPN
10% tersebut bagi petani dan berhaap agar pemerintah bisa pro dengan nasib
rakyat terutama petani tebu.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Petani di Desa Setonorejo dalam berusahatani tebu musim tanam 2015-
2016 mampu memperoleh pendapatan sebesar Rp 44.012.792,- per Ha/Musim
Tanam yang diperoleh dari selisih antara penerimaan dengan biaya usahatani tebu
dalam satu kali masa tanam, namun tingkat risiko pendapatan tebu di Desa
Setonorejo tinggi, yaitu Koefisien Variasi (CV) sebesar 1,41, sedangkan Batas
Bawah Pendapatan (L) sebesar Rp -44.012.792, sehingga petani tebu di Desa
Setonorejo berpeluang mengalami kerugian pada musim tanam selanjutnya, hal
ini karena variasi pendapatan dan tingkat risiko memiliki hubungan positif, di
mana semakin tinggi variasi pendapatan yang diperoleh maka semakin tinggi
tingkat risiko yang harus dihadapi.
6.2. Saran
Meskipun pendapatan tinggi, namun mengingat bahwa budidaya tebu
sistem keprasan berpeluang mengalami kerugian dengan tingkat koefisien variasi
yang tinggi, dengan demikian perlu diaktifkannya kembali kelompok tani yang
ada di Desa Setonorejo agar informasi, keluhan dan pendapat petani dapat
tersalurkan, selain itu penjualan tebu dilakukan langsung kepada pabrik gula agar
penerimaan petani lebih tinggi, dan pemerintah sebaiknya lebih memperhatikan
lagi penyuluhan budidaya tebu, karena selama ini petani di Desa Setonorejo dalam
pembudidayaan tebu masih secara manual (berdasarkan pengalaman saja) dan
tidak pernah ada pendampingan dari pihak penyuluh. Selain itu, bantuan seperti
bibit unggul tebu juga sangat diharapkan, karena belum ada bantuan terkait bibit
unggul tebu, dan pemerintah sebaiknya mengkaji ulang terkait pemberlakuan PPN
10%, karena hal tersebut mampu memberatkan petani tebu.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Kediri. 2016. Statistik Daerah Kabupaten Kediri.
Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Tebu Indonesia (Indonesian Sugar Cane Statistics). BPS-Statistik Indonesia.
Basuki Seno.,dkk. 2010. Pengembangan Teknopreneur Berbasis Pertanian untuk Meningkatkan Pemberdayaan Masyarakat: Analisis Pendapatan Kompetitif Usahatani Tebu di Kabupaten Blora. ISBN: 978-602-99470-2-1. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah.
Darmawi, Herman. 2014. Manajemen Risiko. Edisi 1 Cetakan ke 14. Jakarta: Bumi Aksara.
Firdaus, Muhammad. 2009. Manajemen Agribisnis. Edisi 1 Cetakan ke-2. Jakarta: Bumi Aksara.
Hasan, Nasrodin. 2006. Analisis Harga Pokok Produksi Gula pada Petani Tebu Rakyat yang Tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat PG. Soedhono Kabupaten Ngawi Propinsi Jawa Timur. Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Hernanto, Fadholi. 1991. Ilmu Usaha Tani. Jakarta: Penebar Swadaya.
Idris, Muhammad. 2017. Harga Tebu Bisa Anjlok Gara-gara Swasta Boleh Impor Gula. https://finance.detik.com/industri/d-3399154/harga-tebu-bisa-anjlok-gara-gara-swasta-boleh-impor-gula. Diakses pada tanggal 29 Maret 2017 pukul 20.20 WIB.
Malang Today. 2017. Penerapan PPN 10 Persen Bakal Tambah Derita Petani Tebu. https://malangtoday.net/malang-raya/kabupaten-malang/penerapan-ppn-10-persen-bakal-tambah-derita-petani-tebu/. Diakses pada tanggal 12 Juli 2017 Pukul 14.00 WIB.
Maulidah, Silvana. 2012. Biaya, Penerimaan dan Pendapatan (Ilmu Usahatani). Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya.
Narbuko dan Achmadi. 2013. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.
Nugroho Bernardus.,dkk. 2012. Metode Kuantitatif (Pendekatan Pengambilan Keputusan untuk Ilmu Sosial dan Bisnis. Jakarta: Salemba Humanika.
Potensi Desa dan Kelurahan. 2017. Profil Desa dan Kelurahan. Pemerintah Kabupaten Kediri Kecamatan Kras Desa Setonorejo.
Prastanti, Gita Dwi. 2014. Analisis Perilaku Petani Terhadap Risiko Usahatani Padi Organik (Studi Pada Kelompok Tani Sumber Makmur I, Desa Sumberngepoh, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur). Skripsi Universitas Brawijaya. Tidak Dipublikasikan.
67
Priyono, Santo. 2006. Analisa Kondisi Usaha dan Rancang Ulang Tata Letak Industri Gula Merah Tebu (Studi Kasus di Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun). Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2016. Outlook Tebu Komoditas Pertanian Subsektor Perkebunan. Sekretariat Jenderal-Kementerian Pertanian.
Ratnasari, Ika. 2013. Analisis Perilaku Petani terhadap Risiko Usahatani Sayuran Organik. (Studi Kasus pada Komunitas Organik Brenjonk, Desa Penanggungan, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur). Skripsi Universitas Brawijaya. Tidak Dipublikasikan.
Rohmah Wasilatur.,dkk. 2014. Analisis Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Petani Tebu Tanam dan Keprasan di Kabupaten Bantul. Agro Ekonomi Vol. 24 No. 1 Juni 2014. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada.
Salim, Abbas. 2007. Asuransi dan Manajemen Risiko. Edisi ke 2 Cetakan ke 9. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Shinta, Agustina. 2011. Ilmu Usahatani. Malang: UB Press.
Shinta, Agustina. 2016. Keputusan Penggunaan Input dan Capaian Pendapatan Didasarkan Pada Preferensi Petani Terhadap Risiko Usahatani Padi di Kabupaten Malang. Departemen Agribisnis Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya.
Shinta, Agustina. 2016. The influence of Technical Inefficiency Level that Involve Farmer’s Behaviour on Risk Towards Profit in Rice Production of Indonesia. Faculty of Agriculture. University of Brawijaya. Indonesia.
Shinta, Agustina.,dkk. 2016. Incorporating Risk Preferences of Farmers and Technology in Analysing the Total Faktor Productivity of Rice Farming in Malang, Indonesia. Fakulty Agriculture. University of Brawijaya. Indonesia.
Shinta, Agustina.,dkk. 2016. Measurement of Technical Efficiency that Involving Farmers Preferences Towards Risk of Rice Farming in Malang (Indonesia). Faculty of Agriculture. Universitas Brawijaya. Indonesia.
Siregar, Syofian. 2014. Statistik Parametrik untuk Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Bumi Aksara.
Soedjana, Tjeppy. 2007. Sistem Usahatani Terintegrasi Tanaman-Ternak Sebagai Respons Petani Terhadap Faktor Risiko. Jurnal Litbang Pertanian 26(2). Pusat Penelitian dan Pengembangan. Peternakan.
68
Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Soekartawi.,dkk. 1993. Risiko dan Ketidakpastian dalam Agribisnis (Teori dan Aplikasi). PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Subiyono dan Wibowo. 2005. Agribisnis Tebu (Membuka Ruang Masa Depan Industri Berbasis Tebu Jawa Timur). Jakarta: PERHEPI (Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia.
Susilo, Djoko. 2016. Model Pengembangan Tata Niaga Gula Berbasis Kesejahteraan Petani Tebu. Universitas Jember.
Suwarto dan Octavianty Yuke. 2010. Budidaya 12 Tanaman Perkebunan Unggulan. Jakarta: Penerbiat Swadaya.
Tarigan. 2009. Analisis Risiko Produksi Sayuran Organik pada Permata Hati Organic Farm di Bogor, Jawa Barat. Program Sarjana Penyelenggaraan Khusus Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor.
Tingkat Perkembangan Desa dan Kelurahan. 2017. Profil Desa dan Kelurahan. Pemerintah Kabupaten Kediri Kecamatan Kras Desa Setonorejo.
Toledo Roger.,dkk. 2011. Evaluation of Risk Factors in Agriculture: An Application of the Analitycal Hierarchical Process (AHP) Methodology. Chilean Journal of Agricultural Research 71(1) :114-121.
Toyamah.,dkk. 1999. Deregulasi Perdagangan Regional dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian Daerah. Kasus: Jawa Timur. SMERU: Laporan Lapang. Edisi Perbaikan.
Wiradi, Gunawan. 2009. Studi Agraria. Bogor: Sajogyo Institute.