analisis pendapatan dan tingkat risiko...

86
ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri) Oleh: RENI DWI ASTUTIK PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017

Upload: others

Post on 27-Nov-2020

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU

(Saccharum officinarum L)

(Studi di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri)

Oleh:

RENI DWI ASTUTIK

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017

Page 2: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU

(Saccharum officinarum L)

(Studi di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri)

Oleh

RENI DWI ASTUTIK

135040118133011

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Pertanian Strata Satu (S-1)

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017

Page 3: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa segala pernyataan skripsi ini merupakan hasil

penelitian saya sendiri, dengan bimbingan komisi pembimbing. Skripsi ini tidak

pernah diajukan untuk memperoleh gelar di perguruan tinggi manapun dan

sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan

rujukannya dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Malang, 01 Agustus 2017

Reni Dwi Astutik 135040118133011

Page 4: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi
Page 5: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi
Page 6: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

LEMBAR PERSEMBAHAN Bismillahirrohmanirrohim

Dengan rahmat Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, dengan ini

saya persembahkan skripsi ini untuk:

Kedua orangtua tercinta saya yang selalu mendoakan, mendukung dan

memberikan arahan dalam setiap langkah yang saya lalui hingga saat ini, dan syukur

alhamdulillah sampai juga pada tahap di mana saya mampu memperoleh gelar

sarjana. Tanpa mereka saya tidak akan dapat seperti ini. Semoga suatu saat saya

mampu membuat kalian bahagia dan bangga dengan saya.

Kakak tercinta, walaupun kita sering bertengkar hanya gara-gara masalah sepele,

tapi kebersamaan itulah yang tidak dapat tergantikan, dan kamu selalu ada di saat

aku butuh bantuan. Terimakasih semangatnya…..

My best friends, do’a dan dukungan kalian sangat luar biasa. Maafkan reni ya

yang selalu ngrepotin. Hehe……. Untuk Rico Yosa Perdana trimakasih

semangatnya dan bantuannya, selalu mendukung dalam susah senangku. Untuk

Thalia Eka Vatikasari, Vidia Oktavia Sari dan Lilis Setioningsih terimakasih

sudah menjadi sahabat terbaik ku selama ini. Semoga persahabatan kita selalu

terjaga sampai nanti. Kalian yang terbaik pokoknya…….

Agribisnis 2013, terimakasih atas kebersamaannya selama ini, canda tawa, lembur

bareng, sedih bareng gara-gara tugas akhirnya udah kita lewati bersama. Nano

nano rasanya saat kuliah bersama kalian….. Semangat kalian luar biasa. Semoga

kita semua sukses selalu ya guys………

Page 7: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

i

RINGKASAN

RENI DWI ASTUTIK 135040118133011. Analisis Pendapatan dan Tingkat Risiko Usahatani Tebu (Saccharum officinarum L) (Studi di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri). Di bawah bimbingan Dr. Ir. Agustina Shinta MP, sebagai Pembimbing Utama.

Tebu sebagai bahan baku industri gula merupakan salah satu komoditi perkebunan yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian di Indonesia. Menurut Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (2016), sentra penanaman tebu di Indonesia tahun 2012-2016 terdapat di Propinsi Jawa Timur dengan luas 45,06% dari luas panen tebu Indonesia dan pada periode yang sama, Propinsi Lampung dengan kontribusi 25,30% dari luas panen tebu di Indonesia. Adapun 7 propinsi penghasil tebu lainnya adalah propinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Gorontalo, dan DI Yogyakarta.

Salah satu daerah penghasil tebu yang ada di Jawa Timur adalah di Kabupaten Kediri, menurut Badan Pusat Statistik kabupaten Kediri (2016), tanaman tebu merupakan komoditi andalan sektor perkebunan di Kabupaten Kediri. Produksi yang terus meningkat selama beberapa tahun terakhir, diikuti peningkatan produktivitas membuat petani seakan enggan untuk berpindah ke tanaman lain. Tanaman tebu dari segi perawatan memang relatif lebih mudah dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya. Kebutuhan gula nasional yang terus bertambah dari tahun ke tahun membuat pemerintah memacu produktivitas tanaman perkebunan ini.

Sentra penghasil tebu di Kabupaten Kediri adalah di Desa Setonorejo. Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Kediri (2016), Desa Setonorejo memiliki luas 2,45 km2 yang terdiri dari dua dusun dengan jumlah penduduk 3.591 jiwa dan mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Salah satu tanaman yang dibudidayakan di desa tersebut adalah tanaman tebu. Tanaman tebu di desa ini setiap musim tanamnya memiliki harga jual yang berbeda-beda, sehingga hal ini mempengaruhi tingkat pendapatan petani dan mampu menimbulkan risiko pendapatan untuk petani tebu, apalagi di desa ini sistem penjualannya dengan cara tebasan, sehingga harga terbentuk dari proses tawar-menawar antara petani dengan penebas. Hal inilah yang mengakibatkan pendapatan petani satu dengan yang lain memiliki gap yang tinggi, sehingga mengakibatkan tingkat risikonya pun juga tinggi.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk 1) Menganalisis Usahatani Tebu di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri, 2) Menganalisis tingkat risiko pendapatan tebu di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri. Penelitian ini difokuskan pada tebu dengan varietas PS-862 (tebu 62 atau tebu hijau) dengan sistem tanam keprasan tanpa dibedakan jenis keprasannya.

Penelitian ini dilakukan di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri dengan penentuan sampelnya dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling) yakni setiap responden memiliki kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel penelitian. Jumlah sampel yang akan diteliti sebanyak 39 responden petani tebu dengan menggunakan analisis deskriptif dan kuantitatif.

Page 8: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

ii

Pendekatan deskriptif untuk mengetahui karakteristik atau gambaran umum petani tebu yang ada di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri. Sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk analisis usahatani tebu dengan menggunakan perhitungan biaya, penerimaan, dan pendapatan, sedangkan untuk analisis risiko menggunakan Koefisien Variasi (CV), Batas Bawah Pendapatan (L).

Hasil penelitian ini adalah petani di Desa Setonorejo memperoleh pendapatan dari usahatani tebunya sebesar Rp 44.012.792/Ha/Musim Tanam, sedangkan hasil perhitungan tingkat risiko diperoleh nilai harapan (E) sebesar Rp 24.431.791, yang artinya bahwa rata-rata pendapatan yang diterima petani di Desa Setonorejo pada masa tanam yang akan datang sebesar Rp 24.431.791. Nilai simpangan baku (nilai fluktuasi pendapatan) sebesar Rp 34.550.470, sedangkan nilai koefisien variasi (CV) atau tingkat risikonya sebesar 1,41 dari hasil yang diharapkan. Nilai batas bawah (L) sebesar Rp -44.669.148, artinya dalam proses usahatani tebu musim berikutnya petani harus berani menanggung kerugian karena berkurangnya nilai pendapatan sebesar Rp -44.669.148.

Kondisi di lapang yang mampu mengakibatkan turunnya pendapatan dan risiko pendapatan yang tinggi dapat berupa tebu roboh akibat adanya hujan yang disertai dengan angin, biasanya tebu roboh ini dapat dijadikan tempat sembunyi tikus, sehingga semakin lama tebu tersebut dapat rusak, selain itu harga tebu yang menurun setiap bulannya membuat petani satu dengan yang lain memperoleh pendapatan yang berbeda jauh sehingga tingkat variasi pendapatan tinggi, tebu berbunga, adanya hama berupa embug (uret), adanya jamur upas, dan kurangnya perawatan tanaman tebu saat di lahan yang mampu mengakibatkan tebu menjadi kecil, sehingga air tebu yang dihasilkan juga sedikit.

Page 9: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

iii

SUMMARY

RENI DWI ASTUTIK 135040118133011. The Analysis Farming and Risk Level of Sugarcane (Saccharum officinarum L) (Study at Setonorejo Village, Kras Sub District, Kediri Regency). Supervised by Dr. Ir. Agustina Shinta HW.,MP

Sugarcane as a raw material for sugar industry is one of the plantation commodities that have a strategic role in the economy in Indonesia. According to the Center for Agricultural Data and Information Systems (2016), the center of sugarcane planting in Indonesia 2012-2016 located in East Java Province with an area of 45,06% of the total harvest of sugarcane Indonesia. In the same period, Lampung Province contributed 25,30% of the total harvest of sugarcane in Indonesia. The 7 other sugarcane producing provinces are Central Java, West Java, South Sumatra, South Sulawesi, North Sumatra, Gorontalo and DI Yogyakarta.

One of the sugar cane areas in East Java is Kediri Regency, according to the Central Bureau of Statistics of Kediri Regency (2016), sugarcane is a commodity mainstay of plantation sector in Kediri Regency. Production has steadily increased over the past few years, followed by increased productivity making farmers seem reluctant to move to other crops. Sugarcane plant is easier to care than other food crops. The national sugar demand that continues to grow from year to year make the government spur the productivity of this plantation crop.

The center of sugar cane in Kediri Regency is in Setonorejo Village. According to the Central Bureau of Statistics of Kediri Regency (2016), Setonorejo Village has an area of 2,45 km2 consisting of two hamlets with a population of 3.591 people and the majority of the population livelihood as farmers. One of the crops cultivated in the village is sugarcane crops. The sugarcane crop in this village each season has different selling price, so this affects the income level of farmers and can cause income risk of sugarcane farmer's, in this village sales system by way of slash, so the price formed from the process of bargaining between farmer with slasher. This phenomenon can result in the income of farmers one with another has a high gap

Based on the explanation, this research is aimed at 1) Analyzing Sugarcane farming in Setonorejo Village, Kras Subdistrict, Kediri Regency, 2) Analyzing the risk level of sugarcane income in Setonorejo Village, Kras Subdistrict, Kediri Regency. This research focused on sugarcane with PS-862 varieties (sugar cane 62 or green sugarcane) with keprasan system.

This research was conducted in Setonorejo Village, Kras Subdistrict, Kediri Regency with simple random sampling to sample determination which each respondent had the same opportunity to be a research sample. The number of samples to be researched are 39 respondents of sugar cane farmers by using deskriptive and quantitative analysis. Descriptive analysis to know the characteristics or general description of sugar cane farmers in Setonorejo Village, Kras Subdistrict, Kediri Regency. While quantitative analysis is used for sugar cane farming analysis by using cost calculation, acceptance, and profit or income, while for risk analysis using Coefficient of Variation (CV), and the Lower Limit of Income (L).

Page 10: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

iv

The result of this research is the farmer in Setonorejo village on average get the profit from the sugarcane farming is Rp 44.012.792/Ha/Planting Season and risk level obtained by expectation value (E) equal is Rp 24.431.791, which mean that average income earned by sugarcane farmers at Setonorejo Village in the upcoming plating season is Rp 24.431.791. Value of standard deviation (income fluctuation value) is Rp 34.550.470, while the value of Coefficient Variation (CV) or the risk level is 1,41 from the expected result. Lower limit value (L) of Rp -44.669.148, meaning that in the process of sugarcane farming the next season farmers must dare to bear losses due to reduced revenue value of Rp -44.669.148.

Conditions in the field that can lead to lower revenue and high income risks can be sugarcane collapsed due to rain with wind, usually if sugarcane collapsed can be a place to mouse hides, so the longer it can be damaged sugarcane, other than that the price of sugar cane is decreased every month to make farmers one with another to earn a much different income so the level of income variation is high, flowering sugarcane, embug pest (uret), jamur upas, and less care so small cane, this phenomenon cause water from sugarcane to materials to sugar industry is low and level risk of sugarcane income is high.

Page 11: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat

dan hidayah-Nya penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan baik dan lancar.

Penelitian ini berjudul “Analisis Pendapatan dan Tingkat Risiko Usahatani Tebu

(Saccharum officinarum L) (Studi di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras,

Kabupaten Kediri)” yang disusun sebagai salah satu persyaratan dalam

memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Agribisnis Fakultas

Pertanian Universitas Brawijaya Malang.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:

1. Orang tua penulis yang selalu memberikan dukungan dan do’a selama

perkuliahan hingga dalam penyusunan skripsi yang telah dilakukan.

2. Dr. Ir. Agustina Shinta HW.,MP, selaku dosen pembimbing dan Ketua

Program Studi Agribisnis, yang telah membimbing penyusunan skripsi.

3. Mangku Purnomo, SP.,M.Si.,Ph.D, selaku Ketua Jurusan Sosial Ekonomi

Pertanian di Universitas Brawijaya.

4. Silvana Maulidah., SP., MP, selaku dosen penguji ujian skripsi yang telah

memberikan masukan dan arahan perbaikan draft skripsi.

5. Nur Baladina.,SP.,MP, selaku dosen penguji sekaligus Ketua Program Studi

Agribisnis di Universitas Brawijaya Kediri yang telah memberikan arahan

mengenai penyusunan skripsi.

6. Bapak Marnani selaku kepala desa dan seluruh perangkat desa yang telah

membantu penelitian, sehingga penelitian ini dapat berjalan lancar

7. Teman-teman yang selalu memberikan dukungan dan semangat dalam

penyusunan skripsi ini.

Penelitian ini dilakukan di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras, Kabupaten

Kediri, alasan pemilihan di Desa Setonorejo karena desa tersebut merupakan salah

satu desa dengan sentra tanaman tebu, di mana penjualan tebu di daerah ini

melalui penebas, yaitu dengan sistem tawar menawar, sehingga harga yang

terbentuk ditingkat petani sama dengan penerimaan. Setiap komoditas pertanian

pasti memiliki risiko sendiri-sendiri, hal tersebut juga dirasakan oleh petani tebu,

jika harga gula turun maka petani tebu juga akan merasakan dampaknya karena

harga tebu yang mereka jual juga akan turun, sebaliknya jika harga gula naik

Page 12: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

vi

maka harga tebu ditingkat petani juga akan naik. Ketidakpastian inilah yang

nantinya mengakibatkan risiko.

Risiko dalam usahatani tebu terdiri dari 3 macam, yaitu risiko harga, risiko

produksi dan risiko pendapatan, namun pada penelitian ini lebih difokuskan ke

risiko pendapatan yang didapatkan oleh petani dalam satu kali masa tanam, karena

harga jual per ton dan jumlah produksi tebu tidak diketahui secara pasti oleh

petani (sistemnya sudah borongan). Penelitian dilakukan untuk mengetahui sejauh

mana tingkat pendapatan yang didapat oleh petani tebu terhadap usahatani

tebunya, selain itu untuk mengetahui besarnya tingkat risiko yang dihadapi oleh

petani tebu dalam satu kali musim tanam, yaitu musim tanam tahun 2015-2016.

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi tambahan bagi

petani untuk memutuskan tetap menanam tebu atau tidak, mengingat risiko

pendapatan yang diterima oleh petani tinggi.

Namun penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi masih

terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat

membangun sangat diharapkan penulis demi perbaikan skripsi yang telah

dilakukan penulis, agar penelitian selanjutnya dapat lebih baik lagi.

Malang, 01 Agustus 2017

Penulis

Page 13: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

vii

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Reni Dwi Astutik dilahirkan di Kediri pada tanggal 28 Juli

1994 yang merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari Bapak Sodir dan Ibu

Yamini. Bapak Sodir bekerja sebagai petani sedangkan Ibu Yamini bekerja

sebagai ibu rumah tangga dan memiliki kakak laki-laki Aris Siswantoro.

Penulis menempuh pendidikan di SDN Setonorejo I di Desa Setonorejo,

Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri pada tahun 2001 dan selesai pendidikan dasar

tahun 2007, kemudian penulis melanjutkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di

SMPN 1 Kras, di Desa Kras, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri pada tahun 2007

hingga tahun 2010. Sedangkan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMAN 1 Kras

di Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri pada tahun 2010-2013. Pada tahun 2013

penulis terdaftar sebagai mahasiswa Strata-1 Prodi Agribisnis, Fakultas Pertanian

di Universitas Brawijaya melalui jalur bidikmisi Universitas Brawijaya Kampus

III Kediri.

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah mengikuti kegiatan kepanitiaan

diantaranya kegiatan Brawijaya Fun Togeher (Ju fun get), Sayembara Garis Pena

dan Seminar Nasional Wira Nagara, selain itu penulis juga mengikuti kegiatan

kemahasiswaan Brawijaya Inspairing Academy, Penanaman Seribu Pohon di

Keraton, Mojo dan Party Agri yang diselenggarakan oleh Fakultas Pertanian

Universitas Brawijaya Kediri.

Page 14: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

viii

DAFTAR ISI

RINGKASAN..................................................................................................... i

SUMMARY........................................................................................................ iii

KATA PENGANTAR........................................................................................ v

RIWAYAT HIDUP............................................................................................ vii

DAFTAR ISI...................................................................................................... viii

DAFTAR TABEL............................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... xi

DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang.................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah............................................................................... 5

1.3. Tujuan Penelitian................................................................................ 8

1.4. Kegunaan Penelitian........................................................................... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 9

2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu............................................................ 9

2.2. Gambaran Umum Tebu....................................................................... 11

2.3. Budidaya Tebu.................................................................................... 12

2.3.1. Teknis Budidaya Tebu................................................................... 13

2.3.2. Budidaya Keprasan........................................................................ 17

2.4. Konsep Usahatani............................................................................... 17

2.5. Pola Pemasaran Tebu.......................................................................... 18

2.6. Analisis Usahatani............................................................................... 21

2.7. Konsep Risiko...................................................................................... 25

2.8. Pengukuran Risiko............................................................................... 30

BAB III KERANGKA TEORITIS...................................................................... 33

3.1. Kerangka Pemikiran............................................................................ 33

3.2. Hipotesis.............................................................................................. 37

3.3. Batasan Masalah................................................................................. 37

3.4. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel.................................. 37

BAB IV METODE PENELITIAN...................................................................... 41

4.1. Pendekatan Penelitian.......................................................................... 41

4.2. Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian............................................. 41

4.3. Teknik Penentuan Sampel................................................................... 41

4.4. Teknik Pengumpulan Data.................................................................. 42

4.5. Teknik Analisis Data........................................................................... 44

4.5.1. Analisis Deskriptif......................................................................... 44

4.5.2. Analisis Kuantitatif........................................................................ 44

Page 15: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

ix

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................. 49

5.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian................................................... 49

5.1.1. Letak Geografis dan Batas Administrasi........................................ 49

5.1.2. Luas Wilayah Berdasarkan Penggunaan Lahan............................. 49

5.1.3 Keadaan Penduduk.......................................................................... 50

5.2. Karakteristik Responden...................................................................... 51

5.2.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia................................... 51

5.2.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan........... 52

5.2.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Berusahatani Tebu.. 53

5.2.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Luas Lahan........................ 53

5.2.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Frekuensi Keprasan........... 54

5.2.6. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan. 55

5.3. Analisa Usahatani Tebu....................................................................... 56

5.3.1. Analisis Biaya Usahatani Tebu...................................................... 56

5.3.2. Analisis Penerimaan Usahatani Tebu............................................. 57

5.3.3. Analisis Pendapatan Usahatani...................................................... 59

5.4. Analisis Risiko Pendapatan Tebu........................................................ 60

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN............................................................. 65

6.1. Kesimpulan.......................................................................................... 65

6.2. Saran.................................................................................................... 65

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 66

LAMPIRAN......................................................................................................... 69

Page 16: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

x

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

Tabel 1. Data luas panen tebu, produksi dan permintaan gula di Indonesia........ 2

Tabel 2. Kabupaten Sentra Produksi Tebu di Jawa Timur tahun 2014................ 2

Tabel 3. Pengukuran Variabel dan Definisi Operasinal...................................... 38

Tabel 4. Biaya yang dikeluarkan untuk usahatani tebu....................................... 45

Tabel 5. Batas Wilayah Desa Setonorejo............................................................ 49

Tabel 6. Luas Wilayah berdasarkan Penggunaan Lahan.................................... 50

Tabel 7. Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian............................ 51

Tabel 8. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia........................................... 52

Tabel 9. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan................... 52

Tabel 10. Karakteristik Responden Berdasakan Lama Usahatani Tebu.............. 53

Tabel 11. Karakteristik Responden Berdasarkan Luas Lahan Tebu................... 54

Tabel 12. Karakteristik Responden Berdasarkan Frekuensi Keprasan Tebu....... 54

Tabel 13. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan..... 55

Tabel 14. Total Biaya Usahatani Tebu Musim Tanam 2015-2016..................... 56

Tabel 15. Pendapatan Petani Responden Musim Tanam 2015-2016................... 59

Tabel 16. Hasil Perhitungan Tingkat Risiko Pendapatan Tebu........................... 61

Page 17: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

xi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Teks

Gambar 1. Kurva Biaya Tetap............................................................................ 22

Gambar 2. Kurva Total Biaya Variabel.............................................................. 23

Gambar 3. Kurva Total Biaya............................................................................. 24

Gambar 4. Rangkaian kejadian berisiko dengan kejadian ketidakpastian.......... 26

Gambar 5. Hubungan antara risk dan return....................................................... 30

Gambar 6. Kerangka Pemikiran Analisis Usahatani dan Tingkat Risiko

Pendapatan Tebu (Saccharum officinarum L) (Studi di

Desa Setonorejo, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri)……………. 36

Page 18: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Teks

Lampiran 1. Identitas Responden........................................................................ 71

Lampiran 2. Total Biaya Tetap Musim Tanam 2015-2016/Ha........................... 73

Lampiran 3. Total Biaya Variabel Musim Tanam 2015-2016/Ha...................... 75

Lampiran 4. Total Biaya Usahatani Tebu Musim Tanam 2015-2016/Ha........... 77

Lampiran 5. Penerimaan Usahatani Tebu Musim Tanam 2015-2016/Ha........... 79

Lampiran 6. Pendapatan Usahatani Tebu Musim Tanam 2015-2016/Ha........... 81

Lampiran 7. Risiko Pendapatan Tebu Musim Tanam 2015-2016...................... 83

Lampiran 8. Data Penerimaan Petani Tebu Musim Tanam 2016-2017

fHingga Bulan Mei 2017................................................................... 85

Page 19: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya dengan keragaman flora dan

memiliki iklim yang sangat cocok untuk tumbuh berbagai jenis tanaman, salah

satu tanaman yang dinilai berprospek baik adalah komoditas perkebunan.

Tanaman perkebunan mempunyai peranan penting dalam pembangunan

perekonomian di Indonesia. Komoditas tanaman ini telah mampu mendatangkan

devisa bagi negara, membuka lapangan pekerjaan dan menjadi sumber pendapatan

penduduk, serta berkontribusi dalam upaya melestarikan lingkungan. Salah satu

jenis tanaman perkebunan yang menjadi unggulan di Indonesia adalah tanaman

tebu, (Suwarto dan Octavianty, 2010).

Tebu merupakan tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tanaman

ini dapat tumbuh di daerah beriklim tropis, tanaman ini termasuk jenis rumput-

rumputan yang biasanya tumbuh di dataran rendah. Tebu diperkirakan berasal dari

Papua dan mulai dibudidayakan sejak 8.000 SM. Tanaman ini menyebar seiring

dengan migrasi manusia. Tebu menyebar mulai dari Papua ke Kepulauan

Solomon, New Hibride, dan Kaledonia Baru, (Suwarto dan Octavianty, 2010).

Tebu atau Saccharum officinarum L. termasuk tanaman jenis rumput-rumputan

yang dimanfaatkan air dari dalam batangnya untuk bahan baku gula, (Pusat Data

dan Sistem Informasi Pertanian, 2016).

Tebu sebagai bahan baku industri gula merupakan salah satu komoditi

perkebunan yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian di Indonesia,

(Badan Pusat Statistik, 2015). Hal ini karena setiap rumah tangga memerlukan

gula untuk kebutuhan sehari-hari, bahkan perusahaan-perusahaan pun juga banyak

yang membutuhkan gula untuk bahan pembuatan produknya. Selain itu luas

tanam, tingkat produksi dan permintaan gula dari tahun ke tahun juga berbeda,

bahkan pada tahun 2016 diperkirakan permintaannya meningkat dari tahun

sebelumnya, sehingga inilah salah satu alasan bahwa tebu merupakan tanaman

perkebunan yang strategis untuk dikembangkan. Perkembangan luas tanam,

produksi dan permintaan gula dapat dilihat pada tabel 1.

Page 20: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

2

Tabel 1. Data luas panen tebu, produksi dan permintaan gula di Indonesia

Tahun Luas panen (Ha)

Produksi (ton)

Produktivitas (ton/Ha)

Permintaan gula (ton)

2007 427.799 2.517.374 5,70 1.946.033 2008 436.505 2.694.227 6,00 1.926.792 2009 422.953 2.517.374 5,70 1.828.943 2010 432.715 2.290.116 5,04 1.834.465 2011 450.833 2.267.887 4,87 1.786.721 2012 449.148 2.591.687 5,77 1.589.409 2013 466.641 2.551.026 5,47 1.654.196 2014 477.123 2.579.173 5,41 1.616.238 2015 461.732 2.623.931 5,68 1.578.481 2016* 472.693 2.715.883 5,75 3.011.887

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, diolah Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (2016)

*) Angka estimasi

Sentra penanaman tebu di Indonesia terdapat di Propinsi Jawa Timur. Hal

ini dapat dibuktikan berdasarkan data rata-rata luas panen tebu selama tahun

2012-2016, seluas 45,06% luas panen tebu Indonesia berada di Propinsi Jawa

Timur. Pada periode yang sama, Propinsi Lampung dengan kontribusi 25,30%

dari luas panen tebu di Indonesia. Adapun 7 propinsi penghasil tebu lainnya

adalah propinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan,

Sumatera Utara, Gorontalo, dan DI Yogyakarta, (Pusat Data dan Sistem Informasi

Pertanian, 2016). Sementara itu untuk di Jawa Timur sentra penanaman tebu dapat

dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Kabupaten Sentra Produksi Tebu di Jawa Timur tahun 2014

No. Kabupaten/Kota Produksi (ton)

1. Kabupaten Malang 273.540 2. Kabupaten Kediri 215.805 3. Kabupaten Lumajang 121.600 4. Kabupaten Jombang 57.749 5. Kabupaten Mojokerto 54.342

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, diolah Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (2016)

Berdasarkan tabel 2 tersebut dapat diketahui salah satu sentra penanaman

tebu di Jawa Timur adalah di Kabupaten/Kota Kediri. Menurut Badan Pusat

Statistik Kabupaten Kediri (2016), tanaman tebu merupakan salah satu komoditi

andalan sektor perkebunan di Kabupaten Kediri. Produksi yang terus meningkat

selama beberapa tahun terakhir, diikuti peningkatan produktivitas yang membuat

Page 21: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

3

petani seakan enggan untuk berpindah ke tanaman lain. Memang dari segi

perawatan, tanaman tebu relatif lebih mudah dibandingkan dengan tanaman

lainnya. Di sisi lain kebutuhan gula nasional yang terus bertambah membuat

pemerintah memacu produktivitas tanaman perkebunan ini, agar antara kebutuhan

nasional dengan tingkat produktivitas mampu seimbang, sehingga Indonesia tidak

perlu impor gula dari negara lain.

Peningkatan produktivitas tebu tidaklah mudah, karena setiap usahatani

memiliki risiko sendiri-sendiri tergantung jenis komoditas yang ditanamnya, salah

satunya usahatani tebu, tanaman ini memang perawatannya lebih mudah apabila

dibandingkan dengan tanaman yang lain, namun dalam usahatani tebu memiliki

risiko diantaranya risiko produksi, risiko harga dan risiko pendapatan. Risiko

produksi dapat dipengaruhi oleh adanya hujan dan angin yang mampu

mengakibatkan tebu roboh, risiko harga dipengaruhi oleh ketidakpastian harga

yang didapat oleh petani pada saat musim panen tiba, sedangkan risiko

pendapatan dapat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya biaya usahatani yang

dikeluarkan setiap musim tanam, harga jual dan tingkat produksi yang didapat

oleh petani. Ketiga risiko tersebut mampu mengakibatkan kerugian bagi petani

jika tidak segera dilakukan penanganan yang baik.

Desa Setonorejo merupakan salah satu desa di Kecamatan Kras, Kabupaten

Kediri dengan luas 2,45 km2 yang terdiri dari dua dusun yaitu Dusun Demangan

dan Dusun Setonorejo dengan jumlah penduduk hingga Maret 2017 sebanyak

3.591 jiwa dan mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai petani,

adapun jumlah penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani sebesar

61,57%. Tanaman perkebunan yang ditanam di desa ini mayoritas adalah tanaman

tebu dengan luas 46 hektar, (Tingkat Perkembangan Desa dan Kelurahan, 2017).

Secara umum, harga tebu di tingkat petani dipengaruhi oleh harga gula yang

berlaku pada saat itu yang nantinya berpengaruh terhadap pendapatan petani,

semakin tinggi harga gula maka semakin tinggi pula harga tebu dan pendapatan

yang diterima oleh petani. Perkembangan harga gula dalam negeri tahun 2007

rata-rata sebesar Rp 10.502 per kg, tahun 2011 sebesar Rp 10.011 per kg, tahun

2012 sebesar Rp 11.513 per kg, tahun 2013 Rp 11.923 per kg, dan tahun 2014

turun menjadi Rp 10.859 per kg, (Direktorat Jenderal Perkebunan dalam Pusat

Page 22: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

4

Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2016). Harga gula yang berbeda-beda ini

tentunya menimbulkan ketidakpastian harga tebu, sehingga dengan adanya

ketidakpastian harga tebu maka dapat berpengaruh pada pendapatan.

Petani tebu di Desa Setonorejo dalam sistem penjualan tebunya tidak

langsung kepada pabrik gula, namun petani tebu menjualnya kepada penebas tebu

dengan sistem tebas baik kepada pengepak tebu maupun kepada industri gula

merah. Harga yang diterima petani tidak berdasarkan rendemen, melainkan harga

tebu didapat dari sistem tawar-menawar petani dengan penebas tebu yang

didasarkan pada luasan lahan yang digunakan untuk budidaya tebu, kualitas tebu

di lahan, dan berdasarkan harga rata-rata tebu per hektar nya. Harga jual yang

diterima petani di desa ini sama dengan penerimaan usahatani tebu karena

menggunakan sistem tebasan, karena sistem tebas maka sebagian besar petani

tidak mengetahui jumlah produksi yang didapatnya dari hasil usahatani tebu,

tentunya hal ini mampu mempengaruhi penerimaan petani dan menimbulkan

risiko pendapatan yang tinggi.

Ketidakpastian penerimaan tebu dapat dibuktikan berdasarkan hasil

wawancara yang telah dilakukan dengan seorang petani di desa tersebut, dan

didapatkan data harga tebu beberapa tahun terakhir yang dibeli oleh penebas tebu

yaitu pada tahun 2012 rata-rata harga tebu sebesar Rp 75.000.000 per Ha, tahun

2013 harga tebu Rp 67.000.000-70.000.000 per Ha, tahun 2014 sebesar Rp

35.000.000-45.000.000 per Ha, tahun 2015 sebesar Rp 75.000.000 per Ha, tahun

2016 sebesar Rp 70.000.000 per Ha, sedangkan awal Mei ini harganya masih

turun menjadi Rp 50.000.000-55.000.000 per Ha dan harga tersebut kemungkinan

masih bisa turun pada bulan berikutnya. Petani mengatakan bahwa penerimaan

yang menurun ini kemungkinan akibat adanya impor gula dari luar negeri.

Penerimaan petani yang tidak menentu mampu mempengaruhi pendapatan

yang diperoleh petani yang nantinya dapat menimbulkan risiko pendapatan.

Penerimaan tebu yang tidak menentu membuat petani sering mengeluh karena

kadang tidak mampu menutupi biaya usahatani yang telah dilakukan, padahal

tujuan petani menanam tebu adalah mendapatkan pendapatan yang nantinya dapat

digunakan kembali untuk menanam komoditas selanjutnya. Biasanya petani

menjual hasil tebunya saat pabrik gula sudah buka giling, namun saat itu

Page 23: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

5

merupakan panen raya sehingga harga tebu terkadang anjlok yang mampu

mempengaruhi penerimaan petani dan pendapatan petani menurun bahkan merugi.

Berdasarkan fenomena di atas maka perlu dilakukan penelitian terkait

tingkat risiko usahatani tebu. Penelitian ini nantinya difokuskan pada perhitungan

usahatani tebu untuk mengetahui seberapa besar tingkat pendapatan petani tebu di

Desa Setonorejo dan dapat diketahui tingkat risiko pendapatan tebu tahun 2016.

Perhitungan usahatani ini sebagai salah satu bukti bahwa tebu merupakan

komoditas strategis untuk dikembangkan karena mampu menguntungkan,

sementara itu risiko yang dianalisis adalah risiko pendapatan karena risiko

tersebut yang sering dialami oleh petani tebu di Desa Setonorejo, Kecamatan

Kras, Kabupaten Kediri, dengan adanya penelitian ini maka dapat diketahui

besarnya risiko yang dihadapi oleh petani tebu dalam usahataninya.

Penelitian ini penting untuk dilakukan karena adanya ketidakpastian

penerimaan ditingkat petani yang mengakibatkan tingkat pendapatan petani pun

juga menurun. Hasil penelitian ini nantinya mampu menghasilkan tingkat

pendapatan tebu dan risiko pendapatan tebu. Penelitian ini bermanfaat untuk dapat

dijadikan masukan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan terkait harga

gula yang berpengaruh terhadap penerimaan dan pendapatan petani tebu dan

berguna bagi mahasiswa untuk menambah wawasan terkait pendapatan yang

diperoleh petani tebu dan risiko pendapatan tebu.

1.2. Rumusan Masalah

Tanaman tebu merupakan salah satu tanaman perkebunan yang menjadi

bahan baku pembuatan gula, pembudidayaan tanaman ini cukup mudah apabila

dibandingkan dengan tanaman lain, seperti sayur-sayuran maupun tanaman

pangan. Tanaman tebu merupakan komoditas yang strategis untuk dikembangkan

di Indonesia, sehingga masih banyak petani yang membudidayakan tanaman ini.

Pembudidayaan tanaman ini membutuhkan input berupa bibit, pupuk, pestisida,

alsintan (alat dan mesin pertanian seperti cangkul), dan biaya untuk tenaga kerja

selama proses budidaya. Tanaman tebu memiliki umur 8-12 bulan, tergantung dari

jenis tebu yang ditanam.

Page 24: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

6

Desa Setonorejo merupakan salah satu desa di Kabupaten Kediri yang

merupakan sentra tanaman tebu, wilayah ini menjadi sentra budidaya tebu karena

dekat dengan penebas tebu dan dekat dengan pabrik gula yaitu PG. Ngadirejo.

Tebu merupakan tanaman yang mampu menguntungkan jika dibudidayakan

dengan baik, sehingga perlu adanya perhitungan pendapatan untuk mengetahui

besarnya tingkat pendapatan yang diterima oleh petani tebu. Jika penerimaan yang

diterima petani melebihi biaya yang dikeluarkan dalam satu kali masa tanam,

maka petani akan mengalami untung dari usahatani tebu yang dilakukan, namun

sebaliknya jika total biaya melebihi penerimaan, maka petani merugi dan harus

mampu mencari solusi yang terbaik dari permasalahan tersebut.

Selain berdasarkan besarnya pendapatan yang diperoleh petani, usahatani

tebu juga memiliki berbagai kendala yang harus dihadapi oleh petani, sehingga

mampu menyebabkan risiko, salah satunya adalah risiko pendapatan, risiko

pendapatan merupakan risiko yang dihasilkan dari jumlah penerimaan petani

dengan jumlah biaya yang dikeluarkan petani dalam satu kali masa tanam. Risiko

pendapatan ini dapat diukur dengan menggunakan Koefisien Variasi (CV), di

mana jika koefisien variasinya besar, maka risikonya besar dan jika koefisien

variasinya kecil maka risiko pendapatan tebu juga kecil selama satu kali masa

tanam.

Penjualan tebu di Desa Setonorejo yakni sistem tebas di lahan. Tebasan ini

biasanya dilakukan oleh pengepak tebu dan industri gula merah. Biasanya petani

menjual hasil tebunya kepada penebas dengan sistem tawar-menawar yang

disesuaikan dengan luasan lahan yang digunakan untuk budidaya tebu, kualitas

tebu di lahan, dan berdasarkan harga rata-rata tebu per Ha nya. Sehingga harga

yang diterima sama dengan penerimaan yang didapatkan oleh petani, oleh sebab

itu antara petani satu dengan yang lain mendapatkan penerimaan yang berbeda

yang mampu menimbulkan risiko pendapatan usahatani tebu.

Penelitian ini difokuskan pada risiko pendapatan saja karena yang dianalisis

merupakan tebu dengan sistem penjualan tebasan dan sistem budidayanya adalah

kepras, di mana pada sistem tebas ini tidak diketahui secara pasti harga tebu per

kuintalnya maupun jumlah produksinya. Sistem budidaya kepras merupakan

sistem budidaya pada tebu tanpa membeli bibit kembali dari penjual bibit,

Page 25: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

7

biasanya petani memilih sistem ini untuk lebih menghemat biaya usahatani. Hal

ini juga dilakukan oleh sebagian besar petani yang ada di Desa Setonorejo, sebab

di Desa Setonorejo banyak petani tebu yang sering menunda penjualan tebu dan

sering mengeluh akibat adanya ketidakpastian atau anjloknya harga tebu

(penerimaan tebu). Padahal penundaan penjualan mampu mempengaruhi kualitas

tebu, sehingga mampu menyebabkan risiko pendapatan tebu.

Risiko pendapatan merupakan risiko yang sulit untuk dikendalikan, sebab

risiko pendapatan dipengaruhi oleh harga per luasan lahan petani dan kualitas

tebunya dan harga tebu sudah diatur oleh pemerintah, sehingga sebagai petani

hanya dapat menerima harga tersebut sesuai yang berlaku pada saat itu, dan hal ini

tentunya berpengaruh pada pendapatan petani tebu juga. Selain itu harga gula juga

diatur berdasarkan harga lelang, sehingga petani sebagai produsen tidak bisa

untuk mengendalikan kondisi tersebut.

Menurut Idris (2017), Kementerian Perdagangan baru saja mengeluarkan

izin impor gula mentah atau raw sugar kepada 8 pabrik gula sebesar 400.000 ton.

Gula mentah nantinya akan diolah menjadi Gula Kristal Putih (GKP) untuk dijual

sebagai gula konsumsi. Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia

(APTRI), Sumitro Samadikun mengungkapkan pihaknya khawatir harga tebu

akan kembali anjlok dengan masuknya gula impor tersebut, karena pasokan gula

dalam negeri masih sangat mencukupi untuk satu tahun ke depan.

Anjloknya harga tebu yang diakibatkan adanya impor gula dari luar negeri

mampu menyebabkan risiko harga bagi petani, terutama petani tebu yang ada di

Desa Setonorejo, hal inilah yang ditakuti petani jika saat panen tebu tiba, yakni

harga tebu anjlok, padahal petani sudah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit

untuk usahataninya yang nantinya berpengaruh pada tingkat pendapatan petani

tebu. Namun jika harganya anjlok maka petani akan mendapatkan pendapatan

sedikit, impas atau bahkan merugi. Sehingga dengan adanya ketidakpastian harga

ini mampu menimbulkan risiko pendapatan tebu. Berdasarkan kondisi yang telah

dijabarkan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti adalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana pendapatan petani tebu di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras,

Kabupaten Kediri?

Page 26: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

8

2. Bagaimana tingkat risiko pendapatan tebu di Desa Setonorejo, Kecamatan

Kras, Kabupaten Kediri?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan di

atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis pendapatan usahatani tebu di Desa Setonorejo, Kecamatan

Kras, Kabupaten Kediri.

2. Menganalisis tingkat risiko pendapatan tebu di Desa Setonorejo, Kecamatan

Kras, Kabupaten Kediri.

1.4. Kegunaan Penelitian

1. Berguna bagi petani sebagai acuan dalam menanam tebu, yakni dengan

adanya risiko pendapatan tebu maka petani dapat memilih mengambil risiko

atau berpindah untuk menanam komoditas lain yang mungkin lebih

menguntungkan.

2. Berguna bagi pemerintah untuk lebih menstabilkan harga gula dalam negeri,

karena harga gula mampu mempengaruhi pendapatan petani tebu. Sehingga

dapat dijadikan informasi atau tolok ukur dalam mengambil kebijakan terkait

harga komoditas pertanian, khususnya tebu.

3. Berguna bagi aparat desa agar dapat dijadikan patokan dan tolok ukur untuk

menjadikan Desa Setonorejo sebagai sentra tanaman tebu dengan cara

mengintensifkan budidaya tanaman tebu yang ada di desa tersebut agar

pendapatan petani pun juga meningkat dan diaktifkannya kelompok tani yang

ada di desa ini agar informasi-informasi terkait harga tebu lebih mudah

tersalurkan.

4. Berguna bagi mahasiswa dan peneliti selanjutnya untuk menambah wawasan

dan pengetahuan serta sebagai bahan rujukan dalam penelitian selanjutnya

yang mungkin akan dilakukan.

Page 27: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

II.…TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan oleh pihak lain dapat

dijadikan sebagai bahan pertimbangan yang berkaitan dengan masalah penelitian.

Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Prastanti (2014) mengenai perilaku

petani terhadap risiko usahatani padi organik. Permasalahan yang dikaji yaitu

pengembangan usahatani padi organik yang memiliki berbagai risiko. Analisis

yang digunakan yaitu analisis usahatani, koefisien variasi (CV) dan batas bawah

(L). Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani padi organik pada hasil

analisis risiko harga menunjukkan tingkat risiko yang kecil dan terhindar dari

kerugian dan pada analisis risiko produksi dan pendapatan menunjukkan tingkat

risiko yang besar dan berpeluang mengalami kerugian.

Ratnasari (2013) mengenai perilaku petani terhadap risiko usahatani sayuran

organik. Permasalahan yang dikaji yaitu budidaya sayuran organik berpotensi

mengalami risiko. Metode analisis yang digunakan adalah metode koefisien

variasi (CV) dan batas bawah (L) untuk menganalisis risiko usahatani. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa komoditas kailan berpotensi mengalami

kerugian (berisiko lebih besar) dibandingkan dengan tiga komoditas lainnya

(kangkung, bayam hijau, bayam merah).

Shinta (2016) mengenai capaian pendapatan didasarkan pada preferensi

petani terhadap risiko usahatani padi. Masalah yang dikaji terkait preferensi petani

terhadap risiko dan melakukan pengelompokan berdasarkan penggunaan input

usahatani dan pendapatan. Metode analisis data menggunakan expected utility of

income dan pendapatan. Adapun hasil dari penelitian ini adalah jumlah terbanyak

preferensi petani padi di wilayah penelitian adalah risk averter (petani

menghindari risiko) sebanyak 77,7%. Petani risk averter menggunakan input

(benih, tenaga kerja dan pupuk) paling sedikit dibandingkan jenis preferensi yang

lain, namun karena produksi yang dihasilkan juga paling sedikit, maka pendapatan

yang diperoleh paling sedikit dibandingkan yang lain.

Shinta.,dkk (2016) mengenai penggabungan risiko petani preferensi dan

teknologi dengan analisis total faktor produktivitas usahatani padi. Permasalahan

yang dikaji terkait risiko alam dan teknologi serta penggunaan input dan

Page 28: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

10

pendapatan. Metode analisis data dengan menggunakan Expected Utility of

Income, hasil penelitian menunjukkan bahwa 77,7% petani preferensi memilih

menghindari risiko. Petani yang menghindari risiko menggunakan input (benih,

tenaga kerja, dan pupuk) lebih rendah dari pada yang lain, kecuali pestisida.

Meskipun biaya yang dikeluarkan petani yang menghindari risiko lebih kecil,

namun karena produksi yang dihasilkan juga sedikit, maka pendapatan yang

didapat juga sedikit dari pada yang lain.

Shinta.,dkk (2016) mengenai pengukuran efisiensi teknis yang melibatkan

petani preferensi terhadap risiko usahatani padi. Permasalahan yang dikaji terkait

efisiensi teknis, risiko alam dan teknologi yang harus dihadapi oleh petani.

Metode yang digunakan adalah Expected Utility of Money untuk mengukur

peferensi petani terhadap risiko. Hasil penelitian ini adalah 77,7% petani

menghindari risiko.

Shinta, (2016) mengenai pengaruh tingkat inefisiensi teknis melibatkan

peilaku petani terhadap risiko menuju pendapatan dalam produksi padi.

Permasalahan yang dikaji adalah adanya inefisiensi teknis pada usahatani padi

mampu mempengaruhi pendapatan yang diterima petani. Metode analisis data

dengan menggunakan translog stochastic profit frontier and share of expenditure

untuk input terhadap pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada

pengaruh negatif tingkat inefisiensi teknis dan signifikan dengan pendapatan 2,61.

Hal ini berarti semakin tinggi tingkat inefisiensi teknis satu digit maka maka akan

terjadi penurunan pendapatan sebesar 2,61.

Rohmah.,dkk (2014), terkait pendapatan dan tingkat kesejahteraan petani

tebu tanam dan keprasan. Permasalahan yang dikaji yaitu adanya risiko dalam

berusahatani tebu mampu mempengaruhi tingkat kesejahteraan petani tebu.

Sehingga perlu dilakukan analisis terkait tingkat pendapatan tebu dan tingkat

risiko produksi dan pendapatan tebu, serta tingkat kesejahteraan rumah tangga

petani tebu di Kabupaten Bantul. Metode analisis yang digunakan untuk

menganalisis tingkat risiko adalah dengan Koefisien Variasi (CV). Hasil

penelitian ini tingkat risiko yang paling tinggi adalah risiko produksi usahatani

tebu sistem keprasan 2 dengan CV 0,15. Sedangkan untuk tingkat risiko

Page 29: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

11

pendapatan yang paling tinggi adalah risiko pendapatan petani tebu keprasan 2

dengan CV 3,76.

Toledo (2011), terkait evaluasi faktor-faktor risiko dalam pertanian.

Permasalahan yang dikaji adalah setiap komoditas pertanian memiliki risiko, baik

tanaman pangan, sayur-sayuran maupun tanaman perkebunan, untuk mengetahui

tingkat risikonya perlu dilakukan analisis tingkat risiko iklim, harga, biaya, dan

manusia dengan menggunakan Analytical Hierarchical Process (AHP). Hasil

penelitian ini adalah rata-rata tingkat risiko harga dan biaya lebih tinggi dari pada

risiko manusia, yaitu 0,30 dan 0,26. Sedangkan rata-rata tingkat risiko yang

diakibatkan oleh iklim sebesar 0,20.

Berdasarkan penelitian terdahulu tersebut terdapat kesamaan dan perbedaan

yang menjadi ciri khas dari penelitian ini. Adapun persamaannya adalah sama-

sama melakukan penelitian terkait tingkat risiko usahatani dengan Koefisien

Variasi (CV) dan sama-sama melakukan perhitungan pendapatan usahatani.

Namun perbedaannya dengan penelitian yang akan dilakukan ini adalah penelitian

ini difokuskan pada tanaman perkebunan yaitu tanaman tebu, pada penelitian

sebelumnya tanaman yang diteliti kebanyakan tanaman sayuran bahkan tanaman

pangan. Selain itu daerah yang digunakan penelitian belum pernah diteliti

sebelumnya.

1.2. Gambaran Umum Tebu

Menurut Suwarto dan Octavianty (2010), tebu adalah tanaman yang ditanam

untuk bahan baku gula. Tebu diperkirakan berasal dari Papua dan mulai

dibudidayakan sejak 8.000 SM. Tanaman ini menyebar seiring dengan migrasi

manusia. Tebu menyebar mulai dari Papua ke Kepulauan Solomon, New Hibride,

dan Kaledonia Baru. Daerah penghasil tebu terutama di Jawa, Sumatera Selatan,

Sumatera Barat, Lampung dan Nusa Tenggara. Tanaman ini juga memiliki

manfaat lain selain digunakan untuk bahan baku gula yakni digunakan untuk

pakan ternak daunnya. Berdasarkan klasifikasinya, tanaman tebu dikelompokkan

sebagai berikut.

Divisi : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Page 30: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

12

Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Graminales

Famili : Gramineae

Genus : Saccharum

Spesies : Saccharum officinarum L.

Tanaman tebu memiliki sistem perakaran serabut. Batangnya berbentuk

silinder, beruas-ruas, dan berwarna hijau hingga hijau kekuningan. Di sepanjang

batang terdapat lapisan lilin yang licin dan agak mengkilap. Batangnya memiliki

cincin yang tumbuh melingkar. Selain itu, ada bagian tanaman yang disebut mata.

Mata terletak pada bekas pangkal pelepah. Umumnya mata berbentuk bulat

hingga oval. Mata memiliki sayap yang berukuran sama lebar atau tidak.

Daun berbentuk panjang dengan tulang daun sejajar, seperti daun padi, dan

daun memiliki bulu-bulu yang berfungsi untuk menghalau serangga pengganggu.

Warna daun umumnya hijau, tetapi ada juga yang berwarna hijau tua atau hijau

kekuningan. Ukuran lebar daun sekitar 4-7 cm, biasanya daun-daun yang sudah

tua/kering diklentek atau dikupas saat umur 7 bulan atau 4 minggu sebelum

panen.

Tanaman tebu tumbuh optimal pada daerah dataran rendah yang kering

dengan ketinggian kurang dari 500 mdpl dan ikilm panas yang lembap pada suhu

25-28oC. Agar tanaman tebu mengandung kadar gula yang tinggi, harus

diperhatikan musim tanamnya. Saat masih muda, tanaman tebu memerlukan

banyak air, sedangkan saat mulai tua memerlukan musim kemarau yang panjang.

Tanah yang cocok adalah bersifat kering-kering basah, yaitu curah hujan kurang

dari 2.000 mm per tahun. Selain itu, tebu cocok ditanam pada tanah yang tidak

terlalu masam dengan PH di atas 6,4, (Suwarto dan Octavianty, 2010).

1.3. Budidaya Tebu

Budidaya tebu merupakan suatu cara untuk mengelola tanaman tebu untuk

diambil hasilnya, pengelolaan tanaman tebu ini dilakukan di lahan mulai dari

penyediaan bibit hingga pemanenan, namun terdapat teknis budidaya tebu yang

tidak membeli bibit lagi, sehingga tebu yang sudah dipanen di lahan ditumbuhkan

kembali.

Page 31: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

13

1.3.1. Teknis Budidaya Tebu

Secara umum, budidaya tebu menggunakan bibit baru untuk dibudidayakan,

bibit baru ini berasal dari bibit unggul agar tebu yang dihasilkan memiliki kualitas

yang bagus, adapun tahap-tahap sistem budidaya tebu adalah sebagai berikut:

1. Penyediaan Bibit

Menurut Suwarto dan Octavianty (2010), ada tiga jenis bibit tebu, yaitu

bibit stek pucuk, bibit rayungan dan bibit bonggol. Bibit sebaiknya diseleksi di

luar kebun. Bibit stek sebaiknya ditanam berhimpitan agar mendapatkan jumlah

anakan semaksimal mungkin. Satu hektar umumnya terdapat sekitar 70.000 bibit.

Bibit stek pucuk adalah bibit yang diambil dari pucuk tebangan tebu dengan

panjang sekitar 3 ruas, bibit rayungan adalah bibit yang telah tumbuh, biasanya

bibit ini memliki 2 atau 3 mata, dan bibit bonggol adalah bibit yang diambil dari

bagian bawah tebu yang habis ditebang.

2. Persiapan Lahan

Menurut Suwarto dan Octavianty (2010), persiapan lahan untuk budidaya

tebu di lahan sawah dimulai dengan pembuatan got dan dilanjutkan dengan

pembuatan juringan. Ukuran got standar, yaitu got keliling/mujur lebar 60 cm

dengan dalam 70 cm, sedangkan got malang/palang lebar 50 cm dengan dalam 60

cm. Buangan tanah got diletakkan disebelah kiri got. Apabila got diperdalam lagi

setelah tanam, tanah buangannya diletakkan di sebelah kanan got supaya masih

ada jalan mengontrol tanaman. Juringan cemplongan (lubang tanam) baru dapat

dibuat setelah got-got malang mencapai kedalaman 60 cm dan tanah galian got

sudah diratakan. Ukuran standar juringan, yaitu lebar 50 cm dan dalam 30 cm

untuk tanah basah, 25 cm untuk tanah kering..

Selain di lahan sawah, tanaman tebu juga dibudidayakan di lahan kering.

Persiapan lahan dimulai dengan pembersihan gulma sampai dengan pembuatan

kairan atau alur tanam. Rumput dan gulma yang ada di lahan dibabat. Selanjutnya

dilakukan pengolahan tanah. Pengolahan tanah dilakukan sebanyak 3 kali dengan

menggunakan bajak atau garu yang ditarik traktor. Pada pengolahan tanah

pertama menggunakan bajak bertujuan untuk memecah dan membalik tanah. Arah

bajak 45 derajat dari alur tanaman yang dibongkar sehingga akan meratakan lahan

bekas guludan lama. Hal ini akan memberikan kesempatan proses oksidasi dan

Page 32: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

14

membusukkan bahan organik yang masih mentah. Pengolahan tanah yang kedua

menggunakan garu (harrow) yang arah kerjanya tegak lurus dengan kegiatan

bajak, tujuannya adalah untuk mencacah ulang saresah dan sisa tebangan yang

masih terdapat di dalam tanah dan menghancurkan bongkahan tanah. Kemudian

setelah 7 hari dilanjutkan pengolahan tanah ketiga (garu II) supaya bongkahan

tanah memiliki tekstur remah.

Selanjutnya dilakukan pembuatan karir/alur tanaman dengan jarak pusat ke

pusat (PKP) juring 1,20 meter dan kedalaman juring 40 cm, setelah alur tanaman

berbentuk, kegiatan berikutnya adalah membuat jalan infield dengan

menggunakan alat ridgers. Jalan infield kebun dibuat dengan panjang row ±50 m

dan lebar jalan infield 2-3 m.

3. Penanaman

Penanaman bibit-bibit ditanam dengan cara menidurkannya dengan sedikit

ditimbun tanah. Tunas harus diletakkan di sebelah kiri dan kanan. Sebelum

dilakukan penanaman, harus disiapkan lubang tanam terlebih dahulu. Lubang-

lubang tanam yang telah disiapkan harus dikeringkan terlebih dahulu untuk

mengurangi tingkat keasaman tanah. Jika lubang tanam telah ditumbuhi rumput,

sebaiknya disiangi terlebih dahulu. Tanah guludan dimasukkan ke dalam lubang

tanam yang telah diberi sedikit air. Kedalaman lubang tanam sekitar 35 cm.

Sebelum dilakukan penanaman bibit, sebaiknya lubang tanam didiamkan terlebih

dahulu sehari semalam.

4. Pemeliharaan

Setelah penanaman, tanaman tebu harus dilanjutkan dengan pemeliharaan

agar tumbuh optimal. Berikut beberapa kegiatan pemeliharaan.

a. Irigasi

Irigasi tidak boleh berlebihan supaya tidak merusak struktur tanah. Setelah

beberapa hari tidak ada hujan, tanaman segera diberi pengairan.

b. Penyulaman

1. Sulam sisipan, dilakukan 5-7 hari setelah tanam, yaitu untuk tanaman

rayungan bermata satu.

2. Sulaman ke-1, dilakukan pada umur 3 minggu dengan daun 3-4 helai.

Bibit dari rayungan bermata dua atau pembibitan.

Page 33: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

15

3. Penyulaman yang berasal dari ros/pucukan tebu dilakukan ketika tanaman

berumur sekitar 1 bulan.

4. Penyulaman ke-2 harus selesai sebelum pembumbunan, bersamaan dengan

pemberian air kedua atau pupuk kedua yaitu umur 1,5 bulan.

5. Penyulaman ekstra jika perlu, yaitu sebelum bumbun ke-2.

c. Pembumbunan Tanah

1. Pembumbunan ke-1 dilakukan pada umur 3-4 minggu, yaitu ketika

tanaman berdaun 3-4 helai. Pembumbunan dilakukan dengan cara

membersihkan rumput-rumputan, membalik guludan, dan menghancurkan

tanah serta menambahkan tanah ke tanaman sehingga tertimbun tanah.

2. Pembumbunan ke-2 dilakukan jika anakan tebu sudah lengkap dan cukup

besar dengan tinggi mencapai sekitar 20 cm atau telah berumur 2 bulan.

Tujuannya agar tidak rusak atau patah sewaktu ditimbun tanah.

3. Pembumbunan ke-3 dilakukan pada umur 3 bulan, semua got harus

diperdalam. Got mujur sedalam 70 cm dan got malang 60 cm.

d. Garpu Muka Gulud

Penggarpuan harus dikerjakan sampai ke pinggir got sehingga air dapat

mengalir. Biasanya dikerjakan pada bulan Oktober/Nopember ketika tebu

mengalami kekeringan.

e. Klentek

Kegiatan melepaskan daun kering yang harus dilakukan 3 kali, yaitu sebelum

gulud akhir, umur 7 bulan, dan 4 minggu sebelum tebang.

f. Tebu Roboh

Batang tebu yang roboh atau miring perlu diikat, baik silang dua maupun

silang empat. Ruas-ruas tebu yang terdiri dari satu deretan tanaman disatukan

dengan rumpun-rumpun dari deretan tanaman di sisinya sehingga berbentuk

menyilang.

g. Pemupukan

1. Tanah dipupuk dengan TSP 1 kuintal/ha sebelum tanam atau sesuai dosis

rekomendasi.

Page 34: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

16

2. Pupuk organik padat yang telah dicampur air disemprotkan secara merata

di atas juringan dengan dosis dekitar 1-2 botol/1.000 m2. Ada dua

alternatif cara, yaitu sebagai berikut:

a. Alternatif 1

b. Satu botol pupuk organik cair diencerkan dalam 3 lite air dijadikan

larutan induk. Selanjutnya, setiap 50 liter air diberi 200 cc larutan induk

untuk menyiram juringan.

c. Alternatif 2

Setiap 1 gembor 10 liter diberi 1 peres sendok makan pupuk organik

padat untuk menyiram 5-10 m juringan.

3. Tanaman dipupuk saat umur 25 hari dengan ZA sebanyak 0,5-1 kuintal/ha.

Pemupukan ditaburkan disamping kanan rumpun tebu.

4. Tanaman dipupuk ZA sebanyak 0,5-1 kuintal/ha dan KClsebanyak 1-2

kuintal/ha saat berumur 1,5 bulan setelah tanam. Pemupukan ditaburkan di

sebelah kiri rumpun tebu.

5. Pupuk organik yang mengandung ZPT disemprotkan untuk mendapatkan

rendemen dan produksi tebu tinggi. Dosis yang diberikan sebanyak 4-6

tutup dicampur ZPT sebanyak 1-2 tutup per tangki pada umur 1 dan 3

bulan.

5. Panen Tebu

Proses kemasakan tebu merupakan proses yang berjalan dari ruas ke ruas.

Tingkat kemasakannya tergantung pada ruas yang bersangkutan. Tebu yang sudah

mencapai umur masak, keadaan kadar gula disepanjang batang seragam, kecuali

beberapa ruas dibagian pucuk dan pangkal batang. Panen dilakukan dengan cara

ditebang. Diusahakan tebu ditebang pada saat rendemen pada posisi optimal, yaitu

umur sekitar 10 bulan atau tergantung jenis tebu. Tebu yang berumur 10 bulan

akan mengandung saccharose 10%, sedangkan yang berumur 12 bulan bisa

mencapai 13%.

2.6. Pascapanen

Setelah pemanenan, kegiatan dilanjutkan dengan pengangkutan. Tebu yang

telah dipanen harus sesegera mungkin diangkut ke tempat penggilingan. Tebu-

tebu yang akan diangkut diikat terlebih dahulu. Satu ikatan tebu kurang lebih

Page 35: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

17

terdapat 30 batang tebu dengan panjang sekitar 2,5-3 m. Sebaiknya tempat

penggilingan tebu tidak terlalu jauh dari kebun tebu. Jika terlalu lama di

perjalanan, kadar gula tebu akan menurun.

1.3.2. Budidaya Keprasan

Tebu kepras adalah menumbuhkan kembali bekas tebu yang ditebang, baik

bekas tebu giling atau tebu bibitan. Tebu yang akan dikepras harus dibersihkan

dari kotoran bekas tebangan yang lalu. Sebelum mengepras, sebaiknya tanah yang

terlalu kering diairi dahulu. Petak-petak tebu dikepras secara berurutan. Setelah

dikepras, pupuk organik cair disiramkan. Lima hari atau seminggu setelah

dikepras, tanaman diairi dan dilakukan penggarapan sebagai bumbun ke-1 dan

pembersihan rumput, penyemprotan ZPT dilakukan pada umur 1, 2, dan 3 bulan

sesuai dosis yang direkomendasikan. Pemeliharaan selanjutnya sama dengan

tanam tebu pertama.

1.4. Konsep Usahatani

Menurut Soekartawi (2002), ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari

bagaimana seseorang mengalokasikan sumber daya yang ada secara efektif dan

efisien untuk memperoleh pendapatan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan

efektif bila pemanfaatan sumber daya dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya dan

dikatakan efisien jika output yang dihasilkan lebih besar daripada input yang

dikeluarkan dalam usahatani. Perlunya analisis usahatani memang bukan untuk

kepentingan petani saja, tetapi juga untuk para penyuluh pertanian seperti

Penyuluh Pertanian Lapang (PPL), Penyuluh Pertanian Madya (PPM), dan

Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS), para mahasiswa atau pihak-pihak lain yang

berkepentingan untuk melakukan analisis usahatani.

Analisis usahatani dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan

seseorang, yaitu untk apa analisis usahatani yang dilakukannya. Dalam banyak

pengalaman analisis usahatani yang dilakukan oleh petani atau produsen memang

dimaksudkan untuk tujuan mengetahui dan meneliti:

a. Keunggulan komparatif

b. Kenaikan hasil yang semakin menurun (law of diminishing returns)

c. Substitusi

Page 36: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

18

d. Pengeluaran biaya usahatani

e. Biaya yang diluangkan

f. Pemilikan cabang usaha (jenis tanaman lain yang dapat diusahakan)

g. Baku-timbang tujuan

Maksud dari tujuh analisis usahatani tersebut pada dasarnya sama, yaitu

mencari informasi tentang keragaan suatu usahatani yang dilihat dari berbagai

aspek. Usahatani pada skala usaha yang luas umumnya bermodal besar,

berteknologi tinggi, manajemennya modern, dan lebih bersifat komersial, namun

sebaliknya pada usahatani dengan skala kecil umumnya bermodal pas-pasan

dengan teknologi yang digunakan masih tradisional, dan biasanya lebih bersifat

untuk memenuhi konsumsi sendiri, (Soekartawi, 2002). Menurut Shinta (2011),

usahatani di Indonesia termasuk dalam kategori usahatani skala kecil, hal ini

dikarenakan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Berusahatani dalam lingkungan tekanan penduduk lokal yang meningkat.

b. Mempunyai sumber daya terbatas sehingga menciptakan tingkat hidup yang

rendah.

c. Bergantung seluruhnya atau sebagian kepada produksi yang subsisten.

d. Kurang memperoleh pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelayanan lainnya.

Usahatani tebu ada yang dimiliki oleh rakyat dan ada pula usahatani oleh

perkebunan besar nasional maupun swasta. Menurut Shinta (2011), pertanian

rakyat adalah suatu sistem pertanian yang dikelola oleh rakyat pada lahan/tanah

garapan seseorang untuk memenuhi kebutuhan makanan/pangan dalam negeri,

sedangkan usahatani yang dimiliki oleh perusahaan pertanian merupakan karakter

pertanian yang menggunakan sistem secara lebih luas dan terbuka untuk

meningkatkan hasil produk pertanian.

1.5. Pola Pemasaran Tebu

Menurut Basuki.,dkk (2010), terdapat beberapa pola atau cara untuk dapat

menjual tebu hasil panen petani, di mana petani tebu dalam melakukan penjualan

tebu dibagi menjadi 3 pola yaitu petani tebu dengan sistem bagi hasil (bermitra

dengan Pabrik Gula.), kemitraan dengan industri gula merah dan sistem mandiri

(tebas di lahan).

Page 37: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

19

a. Pola Kemitraan (Bagi Hasil dengan Pabrik Gula)

Pola kemitraan ini petani memperoleh fasilitasi modal dan bimbingan teknis

dengan kewajiban mengolahkan tebu produksinya di PG yang memberi fasilitas

tersebut, petani menanggung biaya tebang dan angkut serta ditambah biaya jasa

pengolahan sebesar 30-34% atau memperoleh bagi hasil gula 64-70% sesuai

rendemen yang diperoleh dan bagi hasil tetes sebanyak 2kg/kw, (Basuki.,dkk,

2010). Pendapatan petani dari sistem bagi hasil merupakan pendapatan petani

yang diperoleh dari bagi hasil gula dan bagi hasil tetes. Tebu yang diolah di pabrik

gula menghasilkan gula (hablur), tetes, blotong, dan ampas. Bagi hasil hanya

meliputi bagi hasil gula (hablur) dan tetes. Sedangkan untuk blotong dan ampas

tidak termasuk dalam nilai bagi hasil, (Hasan, 2006).

Menurut Hasan (2006), sistem bagi hasil gula untuk petani tergantung dari

besar rendemen tebu yang dihasilkan. Tebu petani yang rendemennya ≤ 6, maka

nilai bagi hasil gula yang diperoleh sebesar 66 persen untuk petani dan 34 persen

untuk pabrik gula. Sedangkan untuk tebu petani yang rendemennya > 6 maka nilai

bagi hasil gula yang diperoleh sebesar 66 persen untuk petani dan 34 persen untuk

pabrik gula kelebihan 6 persen 70 persen petani dan 30 persen untuk pabrik gula.

Adapun rumusan pendapatan dari bagi hasil gula:

Jika rendemen ≤ 6 = besar rendemen x 66 persen X tebu (Kw) X harga gula

Jika rendemen > 6 = [besar rendemen x 66 persen + {kelebihan rendemen 6

persen x 70 persen x tebu (kw)} tebu (Kw)] 8 harga gula.

b. Pola Kemitraan dengan Industri Gula Merah

Pola penjualan ini juga masih ada sampai saat ini, dalam pola penjualan ini

petani bekerjasama dengan industri gula merah. Pihak industri melakukan proses

produksi hingga menjadi produk gula merah dan mengupayakan pemasarannya.

Petani dibebani biaya tebang, angkut, dan jasa pengolahan sebesar rata-rata 19%,

(Basuki.,dkk, 2010). Sedangkan menurut Priyono (2006), sumber bahan baku tebu

yang diproses menjadi gula merah berasal dari hasil tanam sendiri, membeli, dan

titip giling. Tebu yang berasal dari hasil tanam sendiri terbagi menjadi dua

kelompok yaitu tebu yang ditanam di lahan milik dan lahan sewa, sementara tebu

yang dibeli berasal dari perkebunan Tebu Rakyat Bebas (TRB), sedangkan

pengolahan gula merah titip giling, tebu berasal dari pemilik tebu baik tebu sendiri

Page 38: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

20

atau pemborong tebu yang tidak memiliki pabrik gula merah tebu untuk kemudian

diolah menjadi gula merah tebu dengan kesepakatan terlebih dahulu antara petani

dan pemilik industri gula merah.

Pemilihan tebu yang dibeli dari tebu rakyat bebas (TRB) dilakukan oleh

pengusaha atau pemilik modal dengan memperhatikan pertumbuhan tanaman.

Tebu dipilih berdasarkan bentuk batang, kondisi perkebunan, dan umur tanaman.

Berdasarkan bentuk batang tebu yang baik adalah tebu yang memiliki batang

besar dan lurus. Tebu bengkok atau roboh, belum cukup umur, dan tidak

memenuhi teknis pemeliharaan tanaman tebu akan menurunkan mutu produk gula

merah tebu yang dihasilkan. Sistem pembelian tebu yang dilakukan pengusaha

industri gula merah melalui sistem borongan dimana tebu dijual tidak berdasarkan

bobot melainkan per luas areal (dalam terminologi responden adalah kotak).

Berdasarkan pengalaman petani tebu pada musim panen harga tebu akan terus

meningkat sampai pada puncaknya antara bulan Agustus – September dan setelah

bulan tersebut harga tebu akan menurun. Penurunan harga tebu ini disebabkan

umur tebu sudah terlalu tua dan sudah masuk musim penghujan sehingga

rendemen yang dihasilkan menurun, (Priyono, 2006).

c. Pola Tebasan

Pola tebasan merupakan salah satu pola yang masih berjalan sampai saat ini

pola ini menggunakan sistem pembayaran langsung tunai, sehingga dirasa petani

lebih cepat jika dibandingkan yang lainnya. Harga tebu dijual berdasarkan

kesepakatan antara petani dengan penebas, untuk proses tebang, transportasi, dan

bongkar muat ditanggung oleh pihak pembeli. Pola ini masih diterapkan oleh

banyak petani terutama petani kecil karena petani membutuhkan uang yang cepat

meskipun masih ada pola lain yang lebih menguntungkan, (Basuki.,dkk, 2010).

Menurut Wiradi (2009), tebasan merupakan penjualan secara borongan,

dalam artian tanaman masih berada di sawah, yakni pada saat tanaman sudah siap

untuk dilakukan pemanenan dan yang menyelenggarakan pemanenan adalah

pembeli (penebas). Pada sistem ini penebas menaksir hasilnya, jika tepat dia

untung dan jika salah dia akan merugi, karena harganya didasarkan atas taksiran

hasil dari luasan tertentu (bukan ditimbang dulu). Misalnya sawah 1 Ha ditebas

dengan harga sekian rupiah dengan harapan (atas taksiran) hasilnya sekian ton.

Page 39: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

21

Biasanya penebas membawa tenaga kerja sendiri yaitu dengan membayar

sekelompok orang. Jadi, dalam proses panen tebasan ini sistem panennya tertutup.

Pada sistem tebu rakyat murni berlaku secara individual, petani tidak

mempunyai akses langsung untuk menjual tebunya ke PG karena dijual secara

tebasan kepada pedagang tengkulak. Petani tidak perlu melakukan penebangan

dan pengangkutan tebu miliknya, karena sepenuhnya akan dilakukan oleh

penebas. Namun bagi petani yang memiliki lahan cukup luas, umumnya mereka

juga memiliki transportasi sendiri (bahkan sebagian dari mereka sekaligus sebagai

penebas), sehingga memungkinkan mereka untuk menjual tebu miliknya langsung

ke pihak Pabrik Gula. Pedagang inilah yang kemudian menjadi pemasok tebu bagi

PG, (Toyamah.,dkk, 1999). Dalam prakteknya petani tebu skala kecil umumnya

tidak memiliki akses secara langsung ke pabrik gula tetapi melalui penebang

(pemborong), (Susilo.,dkk, 2016).

1.6. Analisis Usahatani

Analisis usahatani merupakan suatu analisis atau perhitungan yang

digunakan untuk mengetahui suatu usaha yang dikelola untung atau tidak, dalam

analisa usahatani ini dilakukan perhitungan biaya yang dikeluarkan dalam satu

kali masa tanam (biaya terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel), penerimaan

biasanya diperoleh berdasarkan harga jual per satuan yang dikalikan dengan hasil

produksi, dan pendapatan yang merupakan selisih antara penerimaan dengan

biaya yang dikeluarkan dalam satu kali masa tanam, (Soekartawi, 2002). Adapun

perhitungan usahatani dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Biaya

Menurut Maulidah (2012), Biaya dapat dikatakan sebagai pengorbanan yang

dikeluarkan oleh pihak produsen untuk menghasilkan produk. Terdapat beberapa

biaya dalam aktivitas produksi, namun pada intinya biaya produksi terdiri atas dua

bagian utama, yakni biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost).

Menurut Maulidah (2012), biaya produksi merupakan seluruh pengeluaran

perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi yang akan digunakan untuk

menghasilkan barang-barang produksi perusahaan tersebut. Besarnya biaya

produksi jelas berhubungan dengan banyak sedikitnya jumlah produk yang

Page 40: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

22

dihasilkan. Dengan menambah jumlah barang yang dihasilkan, maka biaya

produksi akan ikut bertambah. Bertambahnya jumlah produk menyebabkan biaya

per satuan menjadi semakin rendah karena beban biaya tetap dibagi atas

banyaknya jumlah produk, sehingga hasilnya menjadi lebih kecil. Selama cara

berproduksi masih sederhana, dengan modal tetap yang sedikit pun akan membuat

biaya produksi rendah. Menurut Maulidah (2012), biaya produksi terdiri dari:

1. Biaya Tetap (Fixed Cost)

Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya relatif tetap, dan secara tetap

dikeluarkan meskipun jumlah produksi banyak atau sedikit. Sehingga besarnya

biaya tetap tidak terpengaruh oleh besar kecilnya produksi yang dijalankan.

Menurut Shinta (2011), Total Fixed Cost (TFC) merupakan biaya yang

dikeluarkan perusahaan atau petani yang tidak mempengaruhi hasil

output/produksi. Sementara itu menurut Maulidah (2012), rumus dari TFC adalah

sebagai berikut:

TFC = �Xi. Pxi

���

Keterangan:

TFC = total biaya tetap (Rp)

Xi = jumlah fisik dari input yang membentuk biaya tetap

Pxi = harga input (Rp)

n = jumlah atau banyaknya input

Berikut ini merupakan gambar kurva biaya tetap pada usahatani.

Gambar 1. Kurva Biaya Tetap Sumber: Maulidah, 2012

P

Q

TFC

Page 41: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

23

2. Biaya Variabel (Variabel Cost)

Untuk tujuan perencanaan dan pengawasan, biaya variabel dibedakan menjadi:

- Engineered variabel cost

Engineered variabel cost adalah biaya yang memiliki hubungan fisik

tertentu dengan ukuran kegiatan tertentu atau biaya yang antara masukan dan

keluarannya mempunyai hubungan yang erat dan nyata. Contohnya: biaya bahan

baku.

- Discretionary cost

Discretionary variabel cost adalah biaya-biaya yang jumlah totalnya

sebanding dengan perubahan volume kegiatan sebagai akibat kebijakan

manajemen. Menurut Shinta (2011), total biaya variabel adalah biaya yang

besarnya berubah searah dengan berubahnya jumlah output yang dihasilkan.

Menurut Maulidah (2012), total biaya variabel dapat dirumuskan sebagai berikut:

TVC = ���

���

Keterangan:

VC = variable cost/ biaya variabel (Rp)

TVC = total variable cost/ jumlah dari biaya variabel (Rp)

Berikut ini merupakan grafik biaya variabel, yaitu biaya yang berubah-ubah sesuai

jumlah output yang dihasilkan.

Gambar 2. Kurva Total Biaya Variabel Sumber: Mauildah, 2012

P

TVC

Q

Page 42: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

24

3. Biaya Total (TC)

Menurut Maulidah (2012), biaya total (total cost) dapat diperoleh dari

penjumlahan biaya tetap dan biaya variabel, dapat dirumuskan sebagai berikut:

TC = TFC + TVC

Keterangan:

TC = Total Cost (Biaya total (Rp)

TFC = Total Fixed Cost (Biaya tetap total (Rp)

TVC = Total Variable Cost (Biaya variabel total (Rp)

Berikut merupakan jumlah total biaya yang digambarkan dalam kurva, adapun

gambarnya adalah sebagai berikut.

Gambar 3. Kurva Total Biaya Sumber: Maulidah, 2012

b. Penerimaan

Kadarsan (1993) (dalam Maulidah, 2012) menyatakan bahwa usahatani

pada akhirnya akan menghasilkan produk atau output yang merupakan

penerimaan bagi petani jika dikalikan dengan harga produk. Kelebihan

penerimaan dari total biaya biaya merupakan pendapatan usahatani. Besar

kecilnya pendapatan yang diperoleh tergantung pada tinggi rendahnya biaya

produksi, harga komoditas, dan jumlah produk yang dihasilkan. Semakin kecil

biaya dan semakin tinggi penerimaan yang didapat, maka semakin tinggi pula

keuntungan usahatani tebu yang telah dilakukan, begitu juga sebaliknya. Menurut

Soekartawi (2002), penerimaan merupakan merupakan perkalian antara produksi

yang dihasilkan dengan harga jual, dapat dirumuskan sebagai berikut:

P TC

TVC

TFC

Q

Page 43: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

25

TR = P x Q

Keterangan:

TR = Penerimaan Total (Rp)

P = Harga Produk (Rp/ unit)

Q = Jumlah Produksi (unit)

c. Pendapatan

Menurut Hernanto (1992) (dalam Maulidah, 2012), pendapatan usahatani

merupakan selisih antara penerimaan dengan total biaya yang digunakan. Semakin

besar pendapatan yang diperoleh, maka dapat dikatakan bahwa perusahaan terus

berkembang dengan baik karena pada prinsipnya, tujuan perusahaan secara umum

adalah mencari laba maksimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan

usahatani, antara lain: luas lahan, tingkat produksi, pilihan dan kombinasi cabang

usaha, intensitas pengusaha pertanaman, dan efisiensi tenaga kerja. Sedangkan

menurut Mulyadi (1992) (dalam Maulidah, 2012), pendapatan merupakan

pendapatan yang diperoleh para pengusaha sebagai pembayaran dari melakukan

kegiatan sebagai berikut:

a. Menghadapi risiko ketidakpastian dimasa yang akan datang.

b. Melakukan inovasi/pembaharuan di dalam kegiatan ekonomi.

c. Mewujudkan kekuasaan monopoli di dalam pasar.

Menurut Maulidah (2012), pendapatan memiliki rumus sebagai berikut:

Π = TR – TC

Keterangan:

Π = Pendapatan (Rp)

TR = Total Revenue (Penerimaan total (Rp)

TC = Total Cost (Biaya total (Rp)

1.7. Konsep Risiko

Menurut Darmawi (2014), risiko merupakan penyimpangan hasil aktual

dari hasil yang diharapkan. Risiko ini dihubungkan dengan kemunginan terjadinya

akibat buruk (kerugian) yang tak diinginkan, atau tidak terduga. Dengan kata lain

“kemungkinan” itu sudah menunjukkan adanya ketidakpastian. Ketidakpastian itu

Page 44: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

26

merupakan kondisi yang menyebabkan tumbuhnya risiko. Kondisi ketidakpastian

tersebut biasanya timbul karena berbagai sebab.

a. Jarak waktu dimulai perencanaan atas kegiatan sampai kegiatan itu berakhir.

Makin panjang jarak waktu makin besar ketidakpastian.

b. Keterbatasan tersedianya informasi yang diperlukan.

c. Keterbatasan pengetahuan/ketrampilan/teknik mengambil keputusan.

Menurut Soekartawi (1993), risiko dan ketidakpastian merupakan dua hal

yang saling berkaitan, risiko berhubungan dengan kejadian yang peluang

terjadinya dapat diketahui, namun ketidakpastian merupakan kondisi atau situasi

yang hasil dan akibatnya tidak dapat diprediksi. Di mana pengertian risiko dan

ketidakpastian dapat digambarkan pada gambar 4 berikut.

Gambar 4. Rangkaian kejadian berisiko dengan kejadian ketidakpastian Sumber: Soekartawi.,dkk, 1993

Gambar 4. tersebut menjelaskan bahwa peristiwa di dunia dapat

digolongkan menjadi dua situasi ekstrim, yaitu peristiwa atau kejadian yang

mengandung risiko atau risk events dan dalam keadaan ekstrim lainnya adalah

kejadian yang tidak pasti atau uncertainty events. Suatu peristiwa lingkungan

disebut kejadian berisiko jika hasil akhir dan probabilitas terjadinya dapat

diketahui, namun disebut ketidakpastian jika hasil akhir ataupun probabilitas tidak

dapat diketahui.

Untuk membedakan risiko dan ketidakpastian, Gunawan dan Iswara

(1987) (dalam Soekartawi.,dkk, 1993) memberikan contoh terkait banjir yang

melanda suatu lahan pertanian. Apabila banjir tersebut sering terjadi dan jika

petani relatif mengetahui frekuensi banjir itu, misalnya setiap lima tahun sekali,

maka banjir tersebut bisa disebut sebagai risiko. Sebaliknya jika petani tersebut

tidak mengetahui informasi mengenai frekuensi banjir, maka terjadinya banjir

Risk Events (Kejadian berisiko)

Uncertainty Events (Kejadian tidak pasti)

Probabilitas dan hasil akhir diketahui

Probabilitas dan hasil akhir tidak diketahui

Page 45: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

27

tersebut merupakan kondisi ketidakpastian. Dengan kata lain, jika petani tidak

mengetahui probabilitas banjir itu sama sekali, maka banjir itu disebut

ketidakpastian dan sebaliknya.

Kenyataannya tidak ada orang yang mampu secara tepat memprediksi apa

yang akan terjadi di masa yang akan datang. Di sektor pertanian, setiap aktivitas

proses produksi selalu dihadapkan dengan situasi risiko (risk) dan ketidakpastian

(uncertainty). Sumber ketidakpastian yang penting di sektor pertanian adalah

fluktuasi hasil pertanian dan fluktuasi harga (Dillon, 1997; Doll dan Orazen,

1978; dan Soekartawi, 1990) (dalam Soekartawi.,dkk, 1993).

Menurut Salim (2007), risiko merupakan ketidaktentuan atau uncertainty

yang mungkin melahirkan kerugian (loss). Unsur ketidaktentuan ini bisa

mendatangkan kerugian. Ketidaktentuan tersebut dapat dibagi menjadi:

a. Ketidaktentuan ekonomi (economic uncertainty), yaitu kejadian yang timbul

sebagai akibat dari perubahan sikap konsumen, umpama perubahan selera

atau minat konsumen atau terjadinya perubahan pada harga, teknologi atau

didapatnya penemuan baru, dan lain sebagainya.

b. Ketidaktentuan yang disebabkan oleh alam (uncertainty of nature) misalnya

kebakaran, badai, topan, banjir, dan lain-lain.

c. Ketidaktentuan yang disebabkan oleh perilaku manusia (human uncertainty),

umpama peperangan, pencurian, perampokan, dan pembunuhan.

Diantara ketiga jenis ketidaktentuan di atas, yang bisa diperhitungkan ialah

ketidaktentuan alam dan manusia. Sedangkan yang pertama tidak bisa

diasuransikan karena bersifat spekulatif (unsur ekonomis) dan sulit untuk diukur

keparahannya (severity). Menurut Firdaus (2009), risiko dapat dibagi menjadi 2

golongan, yaitu risiko fisis dan risiko pasar. Risiko fisis dapat berupa kebakaran,

angin, banjir, penyusutan berat, dan kerusakan. Sedangkan risiko pasar mencakup

kemungkinan penyimpangan atau fluktusi harga, perubahan selera konsumen atau

perubahan sifat dasar persaingan, sehingga risiko pasar sulit untuk ditangani.

Fluktuasi harga merupakan salah satu risiko pasar yang sangat penting bagi

produsen. Produsen sering berharap untuk memperbaiki efisiensi pemasaran

dengan memeproleh harga yang lebih tinggi, tetapi hal ini sulit terlaksana.

Page 46: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

28

Kurangnya informasi, keputusan yang lemah atau kesulitan uang tunai memaksa

pihak penjual berada posisi tawar (bargaining position) yang rendah di pasar.

Menurut Firdaus (2009), pada dasarnya ada beberapa teknik untuk

membantu para produsen dan pemasar (marketer) dalam mengalihkan atau

mengurangi risiko pasar, yaitu sebagai berikut:

1. Diversifikasi (penganekaragaman), yaitu teknik penambahan beberapa lini

bisnis kepada lini bisnis yang sudah ada dengan risiko yang berbeda, sehingga

kemungkinan kerugian dalam satu lini dapat ditutupi oleh kemungkinan

pendapatan dari lini lainnya. Para petani menanam beberapa komoditi di lahan

yang dimilikinya agar risiko di satu jenis tanaman tertentu berkurang.

2. Integrasi vertikal. Integrasi vertikal terjadi apabila perusahaan melaksanakan

fungsi lain sebagai tambahan kepada fungsi utamanya sehingga perusahaan

menjadi kurang/tidak tergantung pada perusahaan lain. Integrasi vertikal dapat

berupa integrasi ke muka atau ke belakang.

3. Pengadaaan kontrak di muka. Pengadaan kontrak di muka (forward

contracting) sebenarnya hanya proses pembuatan persetujuan antara pembeli dan

penjual guna menetapkan harga untuk beberapa pengiriman pada masa yang akan

datang yang sudah ditentukan sejak awal, penentuan kontrak dimuka ini untuk

mengurangi atau berusaha mengendalikan risiko yang tidak diinginkan suatu saat.

Persetujuan ini sepenuhnya meniadakan risiko fluktuasi harga, baik bagi

pembeli maupun penjual. Dikarenakan produsen sudah mengetahui harga yang

akan diperoleh untuk produknya maka hanya risiko produksi yang perlu

diperhatikan. Sedangkan pihak perusahaan (pemroses) akan mendapat jaminan

bahwa bahan baku yang diperlukan akan tersedia secukupnya dengan harga yang

telah diketahui sehingga kemungkinan beroperasi secara lebih efisien.

Menurut Firdaus (2009), tentu saja harga pasar akan berfluktuasi, mungkin

lebih tinggi atau lebih rendah. Kedua belah pihak dapat memperoleh laba atau

kerugian berdasarkan harga kontrak jika dibandingkan dengan harga pasar. Akan

tetapi karena harga telah ditetapkan sebelumnya dalam kontrak maka untung atau

rugi tersebut hanya bersifat teoritis saja, yaitu jika dikaitkan dengan adanya

kesempatan yang hilang (lost opportunity).

Page 47: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

29

Menurut Soedjana (2007), masalah risiko dan ketidakpastian harga di

bidang pertanian bukan merupakan hal baru. Risiko harga dan pasar biasanya

dikaitkan dengan keragaman dan ketidaktentuan harga yang diterima petani dan

yang harus dibayarkan untuk input produksi. Jenis keragaman harga yang tidak

dapat diduga adalah trend harga, siklus harga, dan variasi harga berdasarkan

musim. Tingkat harga dapat berpengaruh pada harapan pedagang, spekulasi,

program pemerintah, dan permintaan konsumen.

Soedjana menambahkan bahwa risiko dan ketidakpastian menjadi masalah

karena dapat menyebabkan sistem ekonomi menjadi kurang efisien. Sebagai

contoh, karena meningkatnya ketidakpastian, petani tidak memberikan pupuk

pada takaran yang dianjurkan, sehingga hasil yang dicapai rendah, apalagi jika

harga suatu produk juga rendah pasti petani akan mengalami kerugian.

Ketidakpastian juga berimplikasi pada tata laksana bagi petani. Oleh karena itu

diperlukan beberapa pendekatan dalam pengambilan keputusan yang melibatkan

risiko, yaitu:

1) Melakukan analisis terhadap keputusan yang akan diambil dari berbagai

pilihan yang tersedia, kemungkinan kejadiannya, serta manfaatnya bila

keputusan itu harus ditentukan.

2) Memperkirakan peluang yang akan terjadi dengan tingkat manfaat yang akan

diperoleh.

3) Mempertimbangkan perilaku, kemampuan, dan tujuan pengambil keputusan

berkaitan dengan tingkat risiko yang harus dihadapi karena keputusan yang

telah diambil.

Menurut Barron’s, 1993 (dalam Tarigan, 2009), fluktuasi harga dan hasil

produksi akan menyebabkan fluktuasi pendapatan bersih. Ukuran yang dapat

digunakan untuk melihat besarnya risiko yang dihadapi oleh produsen adalah

dengan mengetahui besarnya ragam atau simpangan baku dari pendapatan bersih

per periode atau return, yaitu jika risiko tinggi maka return juga akan meningkat

dan sebaliknya jika risiko rendah maka return juga akan semakin rendah, karena

hubungan antara risiko dan return positif atau berbanding lurus. Berikut ini

merupakan gambar hubungan antara risiko dan return.

Page 48: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

30

Gambar 5. Hubungan antara risk dan return Sumber: Barron’s, 1993 (dalam Tarigan, 2009)

1.8. Pengukuran Risiko

Menurut Darmawi (2014), sesudah risiko diidentifikasi oleh suatu

perusahaan atau petani dalam usahataninya, maka selanjutnya risiko itu harus

diukur. Perlunya diukur adalah untuk memperoleh informasi yang akan menolong

untuk menetapkan kombinasi peralatan manajemen risiko yang cocok untuk

menanganinya. Adapun dimensi yang harus diukur adalah frekuensi atau jumlah

kerugian yang akan terjadi dan keparahan dari kerugian tersebut.

Menurut Ichsa (1998) (dalam Shinta, 2011), untuk menganalisis risiko yang

dialami dalam usahatani, dapat dilakukan melalui pendekatan kualitatif dan

kuantitatif. Pendekatan kualitatif lebih berdasarkan pada penelitian subjektif dari

pengambilan keputusan. Sedangkan pendekatan kuantitatif dapat dihitung dengan

menggunakan nilai hasil yang diharapkan sebagai indikator probabilitas dari

investasi dan ukuran ragam (variance) dan simpangan baku (standard deviation)

sebagai indikator risikonya.

Menurut Kadarsa (1995) (dalam Shinta, 2011), pengetahuan tentang

hubungan antara risiko dengan pendapatan merupakan bagian yang penting dalam

pengelolaan usahatani. Hubungan ini biasanya diukur dengan koefisien variasi

atau tingkat risiko terendah dan batas bawah. Koefisien variasi atau tingkat risiko

terendah merupakan perbandingan antara risiko yang harus ditanggung oleh petani

dengan jumlah pendapatan yang akan diperoleh sebagai hasil dari sejumlah modal

yang ditanamkan dalam proses produksi, koefisien variasi dapat juga digunakan

Return

Risk

Risk return

Page 49: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

31

untuk memilih alternatif yang memberikan risiko paling sedikit dalam

mengharapkan suatu hasil. Sedangkan batas atas pendapatan menurut Hernanto

(1998) (dalam Shinta, 2011), menunjukkan nilai nominal pendapatan terendah

yang mungkin diterima oleh petani.

Penilaian risiko dapat dilakukan dengan mengukur nilai penyimpangan yang

terjadi. Parameter yang dapat digunakan untuk mengukur penyimpangan adalah:

a. Hasil yang diharapkan (E)

Menurut Nugroho (2012), nilai harapan (expected value), merupakan nilai

yang diharapkan dari berbagai alternatif hasil yang dapat terjadi. Sedangkan

menurut Hernanto (1991), hasil yang diharapkan dari usahatani dapat dihitung

dari rata-rata produksi (Kg); harga (Rp) dan pendapatan (Rp) yang diperoleh saat

panen.

b. Keragaman dan Standar Deviasi

Menurut Nugroho (2012), risiko (risk) dari suatu alternatif dapat dilihat dari

simpangan baku atau penyebaran dari nilai harapan tersebut untuk alternatif yang

lain yang mempunyai nilai harapan yang sama besarnya, semakin besar

penyebarannya, semakin besar risikonya. Simpangan baku dalam statistik adalah

deviasi standar yang merupakan akar dari variansi (variance). Menurut Hernanto

(1991), untuk mengukur risiko secara statistik digunakan ukuran ragam (variance)

dan simpangan baku (standart deviation). Risiko dalam hal ini berarti besarnya

fluktuasi harga, sehingga semakin besar fluktuasi maka semakin besar

ketidakpastian (risiko), sehingga dengan adanya risiko yang semakin besar

mampu mempengaruhi pengambilan keputusan petani dalam berusahatani yaitu

tetap menanam komoditas tersebiut dan berani menanggung risiko atau tidak.

c. Tingkat risiko atau Koefisien Variasi (CV)

Menurut Nugroho (2012) untuk membandingkan risiko dari alternatif yang

mempunyai nilai harapan (ekspektasi) digunakan koefisien dari variasi. Koefisien

variasi adalah suatu ukuran untuk mengukur risiko relatif, dimana alternatif yang

mempunyai koefisien variasi lebih kecil mempunyai risiko yang relatif lebih kecil,

namun apabila hasil koefisien variasi tersebut besar, maka tingkat risiko yang

harus dihadapi oleh petani juga semakin besar.

Page 50: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

32

d. Batas Bawah (L)

Batas bawah (L) merupakan nilai rata-rata terendah yang mungkin diterima

oleh petani. Jika nilai L ≥ 0, maka petani yang berusahatani tebu akan terhindar

dari kerugian. Sebaliknya apabila nilai L < 0, maka dalam proses usahatani

terdapat peluang kerugian yang akan dialami oleh petani. Menurut Elton dan

Gruber (1995) (dalam Tarigan, 2009), terdapat hubungan antara nilai Koefisien

Variasi (CV) dengan nilai Batas Bawah Pendapatan (L), yaitu apabila nilai CV >

0,5 maka nilai L< 0, begitu pula jika nilai CV ≤ 0,5 maka nilai L ≥ 0. Hal ini

menunjukkan bahwa apabila CV > 0,5 maka risiko pendapatan yang ditanggung

petani semakin besar dengan menanggung kerugian sebesar L, sedangkan nilai

CV ≤ 0,5 maka petani akan selalu untung atau impas dengan pendapatan sebesar

L.

Page 51: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

III. KERANGKA TEORITIS

3.1. Kerangka Pemikiran

Tebu merupakan komoditas perkebunan yang berpotensi untuk

dikembangkan di Indonesia. Tebu berasal dari Pasifik Selatan dan Papua,

menyebar ke Jawa. Tebu merupakan komoditas yang banyak dibutuhkan oleh

masyarakat, baik untuk konsumsi langsung maupun sebagai bahan baku industri

makanan dan minuman. Secara nasional konsumsi gula di Indonesia semakin

meningkat dari tahun ke tahun. Perkembangan tebu di Jawa Timur pada dasarnya

tergantung dari kemampuan dalam pengelolaan tebu dan kemampuan dalam

menangani risiko yang ditimbulkan dalam usahtani tebu, (Subiyono dan Wibowo,

2005).

Usahatani tebu merupakan suatu usaha untuk membudidayakan tebu dengan

tujuan diambil hasilnya atau pendapatannya. Usahatani tebu membutuhkan input

berupa bibit, pupuk, pestisida dan membutuhkan tenaga kerja yang mana untuk

membudidayakan tebu mulai dari penanaman hingga pemanenan. Umur tebu

biasanya berkisar antara 8-12 bulan tergantung jenis tebu yang ditanam. Setalah

dilakukan pemanenan, maka tebu diangkut ke pabrik gula untuk dilakukan proses

produksi lanjutan agar menjadi produk gula.

Petani dalam berusahatani tebu seringkali mengalami kendala yang mampu

mempengaruhi pendapatan petani tebu, salah satu kendala yang dihadapi oleh

petani adalah ketidakpastian harga yang mengakibatkan ketidakpastian

pendapatan. Harga merupakan salah satu faktor yang sulit untuk dikendalikan oleh

petani, seringkali petani tebu mengalami pendapatan yang sedikit atau bahkan

merugi akibat harga tebu yang tidak pasti. Ketidakpastian harga tersebut mampu

menyebabkan ketidakpastian penerimaan dan mengakibatkan risiko pendapatan.

Risiko harga biasanya dipengaruhi oleh mekanisme pasar yang dikendalikan oleh

pemerintah, karena penentuan harga merupakan kebijakan pemerintah, dan

ketidakseimbangan supply dan demand. Risiko ini tentunya mengakibatkan risiko

terhadap pendapatan, dimana risiko terhadap pendapatan dipengaruhi oleh biaya

yang dikeluarkan petani, harga jual tebu dan jumlah produksi yang dihasilkan oleh

petani atau risiko yang diakibatkan dari selisih antara penerimaan dengan total

Page 52: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

34

biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam satu kali masa tanam pada tahun

tertentu.

Petani tebu memiliki 3 alternatif dalam melakukan penjualan tebu hasil

usahataninya, diantaranya adalah penjualan tebu sistem bagi hasil dengan pabrik

gula, penjualan tebu dengan sistem tebas ke pengepak tebu dan penjualan tebu ke

industri gula merah. Biasanya petani kecil yang tidak memiliki relasi dengan

pabrik gula mereka cenderung memilih penjualan tebu ke penebas tebu baik ke

pengepak tebu maupun ke industri gula merah karena pendapatan yang didapatnya

lebih cepat cair apabila dibandingkan menjual tebu ke pabrik gula, namun di sisi

lain pendapatan petani tersebut juga cenderung lebih rendah karena harga tebu

cenderung lebih murah. Pada sistem penjualan sistem tebas, biasanya tebu dibeli

berdasarkan kualitas yang nampak (misalnya besar tebu, manis atau tidak, dan

segar atau tidak), dan berdasarkan luas petakan tebu yang digunakan untuk

usahatani yang dibandingkan dengan harga gula pada saat itu, sehingga

pendapatan pun juga akan tinggi.

Hal ini serupa yang dialami oleh petani tebu di Desa Setonorejo Kecamatan

Kras Kabupaten Kediri, petani di desa tersebut saat panen raya sering mengalami

permasalahan dalam penjualan tebu karena terkadang harga tebu murah, sehingga

petani mengeluh akibat pendapatan yang didapatnya hanya memperoleh

pendapatan sedikit bahkan rugi. Di desa tersebut sistem penjualan tebu mayoritas

adalah sistem tebas, karena petani tebu pada daerah tersebut adalah petani kecil,

sehingga kurang adanya relasi langsung antara petani tebu dengan pabrik gula,

yang menyebabkan petani menjual hasil panennya kepada penebas. Sehingga

perlu dilakukan pemutusan rantai penjualan antara petani, penebas dan pabrik

gula. Agar pendapatan petani meningkat, namun untuk petani kecil yang memiliki

lahan sempit memanglah tidak mudah untuk langsung menjual hasilnya ke pabrik,

sehingga dibutuhkan kelompok tani yang lebih aktif lagi agar mampu menjual

hasil usahataninya langsung ke pabrik gula dengan biaya yang dapat ditekan

karena dilakukan bersama-sama.

Kelompok tani di daerah ini memang kurang aktif, sehingga bantuan-

bantuan terhadap usahatani tebu juga tidak ada seperti bantuan bibit sampai saat

ini masih belum ada, yang ada hanyalah bantuan benih untuk tanaman palawija.

Page 53: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

35

Dengan adanya risiko yang tinggi diharapkan kelompok tani di desa ini aktif dan

mampu melakukan pengajuan bantuan bibit unggul tebu ke pemerintah,

mengingat bahwa tebu merupakan salah satu komoditas strategis yang perlu

dikembangkan agar Indonesia tidak melakukan impor gula dari luar negeri,

sehingga swasembada gula dapat dilakukan oleh Indonesia dengan adanya

bantuan-bantuan usahatani khususnya bibit tebu unggul.

Berdasarkan penjabaran di atas, maka dalam penelitian ini akan dianalisis

pendapatan petani tebu dalam satu kali masa tanam, yakni musim tanam 2015-

2016, selain itu juga dianalisis tingkat risiko dengan menggunakan Koefisien

Variasi (CV) dan Batas Bawah Pendapatan (L) untuk mengetahui tingkat risiko

yang dihadapi petani. Sebelum diketahui Koefisien Variasi (CV) maka dihitung

terlebih dahulu Variance (V2) dan Simpangan Baku (V). Nilai koefisien variasi

semakin tinggi maka semakin tinggi pula risiko yang harus dihadapi, sedangkan

batas bawah pendapatan yaitu kemungkinan kerugian yang dialami petani dengan

tingkat risiko yang dihitung dari CV (Koefisien Variasi).

Berdasarkan analisis tersebut nantinya akan diketahui rata-rata pendapatan

tebu dan tingkat risiko pendapatannya. Selain itu dapat dijadikan acuan bagi

pemerintah untuk menentukan kebijakan bagi petani tebu terutama petani kecil.

Hasil analisisnya dapat dijadikan acuan petani untuk memanajemen risiko yang

mungkin terjadi pada masa tanam selanjutnya dan kelompok tani yang ada di

daerah ini agar dihidupkan kembali untuk memacu tingkat pendapatan petani tebu,

agar dapat memotong rantai pemasaran tebu.

Namun untuk meminimalisir risiko dalam usahatani khususnya yang

berkaitan dengan harga jual tebu itu sangat sulit, sebab petani tidak tahu perkiraan

harga jual tebu saat panen nantinya, sehingga petani hanya menerima harga jual

berdasarkan harga yang berlaku di pasar dengan sistem tawar menawar. Apalagi

petani kecil yang memiliki pendidikan menengah ke bawah seringkali mereka

kurang mengakses informasi terkait harga tebu saat itu, sehingga mereka hanya

tahu harga dari pengepak tebu atau dari tetangga sekitar yang mengakibatkan

adanya risiko pendapatan yang tinggi. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka

dapat dijadikan kerangka berpikir seperti berikut:

Page 54: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

36

Keterangan:

= Alur berpikir

= Alur analisis

= Tidak dianalisis

Gambar 6. Kerangka Pemikiran Analisis Pendapatan dan Tingkat Risiko Usahatani Tebu (Saccharum officinarum L) (Studi di Desa Setonorejo,

Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri)

Usahatani Tebu

Input budidaya tebu

Output tebu

Permasalahan: Harga tebu naik turun yang berpengaruh pada pendapatan

Risiko

Usahatani

- Bibit - Tenaga kerja

- Pupuk - Alsintan

- Pestisida - Lahan

Analisis Risiko 1. Nilai yang Diharapkan (E) 2. Variance (V) 3. Standar Deviasi (SD) 4. Koefisien Variasi (CV) 5. Batas Bawah Pendapatan (L)

Risiko Tinggi: CV>0,5 Risiko Rendah: CV≤0,5

Peningkatan hasil usahatani dan

aktifnya kembali kelompok tani tebu

Kendala: Ketidakpastian dalam usahatani tebu, baik ketidakpastian harga dan pendapatan

Potensi: - Tebu salah satu tanaman

strategis untuk dikembangkan di Indonesia.

- Peningkatan kebutuhan gula

Tebasan di lahan

Proses pembentukan harga dengan sistem tawar menawar

Produksi Harga Pendapatan Analisis Usahatani: Π= TR-TC

Page 55: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

37

3.2. Hipotesis

Berdasarkan kerangka penelitian yang telah dibuat sebelumnya, maka dapat

disusun hipotesis terkait penelitian yang akan dilakukan. Hipotesis merupakan

dugaan sementara terhadap masalah yang akan diteliti, adapun hipotesis penelitian

ini adalah:

1. Diduga usahatani tebu di Desa Setonorejo Kecamatan Kras Kabupaten Kediri

menguntungkan.

2. Diduga tingkat risiko pendapatan tebu tinggi, sehingga petani berpeluang

mengalami kerugian dalam usahataninya.

3.3. Batasan Masalah

Batasan masalah dilakukan untuk menentukan ruang lingkup permasalahan

yang akan diteliti. Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Risiko usahatani yang dianalisis adalah risiko pendapatan saja.

2. Data yang digunakan adalah data usahatani tebu musim tanam 2015-2016

dengan sistem keprasan yang dijual pada tahun 2016.

3. Varietas tebu yang dianalisis adalah tebu seri PS-862 (tebu 62 atau tebu hijau)

tanpa membedakan jenis keprasan.

3.4. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Variabel yang diamati adalah data dan informasi mengenai perilaku petani

terhadap risiko harga tebu di Desa Setonorejo. Variabel tersebut didefinisikan

terlebih dahulu untuk mempermudah pengumpulan data.

1. Pendapatan diperoleh dari selisih penerimaan tebu dengan biaya yang

dikeluarkan selama musim tanam tebu, pendapatan pada penelitian ini

dihitung berdasarkan harga jual tebu pada musim tanam 2015-2016 dengan

satuan rupiah per hektar.

2. Risiko yang dianalisis adalah risiko pendapatan dengan sistem penjualan

tebasan dengan satuan rupiah per hektar.

3. Tingkat risiko digunakan untuk mengetahui risiko pendapatan yang dihitung

dengan Koefisien Variasi (CV), risiko tinggi jika CV>0,5 dan risiko rendah

jika CV≤0,5. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3.

Page 56: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

Tabel 3. Pengukuran Variabel dan Definisi Operasional

Konsep Variabel Definisi Operasional Variabel Pengukuran Variabel Pendapatan usahatani Harga tebu Harga yang diterima petani responden

saat petani menjual tebu dengan sistem tebasan, sehingga harga tebu sama dengan penerimaan.

Harga tebu dalam satuan rupiah per hektar.

Biaya penyusutan alat Nilai semua penyusutan yang dikeluarkan petani dalam berusahatani tebu per musim tanam. Diperoleh dari selisih antara harga beli peralatan dengan harga jual setelah pemakaian dibagi umur ekonomis.

Dinyatakan dengan satuan rupiah.

Biaya bibit Biaya yang dikeluarkan untuk tebu keprasan yang dihitung dari biaya beli bibit dibagi dengan jumlah keprasan petani.

Dinyatakan dalam satuan rupiah per hektar.

Biaya pajak Pajak yang harus dibayarkan untuk usahatani tebu pada tahun lalu.

Dinyatakan dalam satuan rupiah per hektar

Biaya sewa lahan Biaya yang dibayarkan kepada pemilik lahan untuk penyewaan lahan pada usahatani tebu musim tanam 2015-2016.

Dinyatakan dalam satuan rupiah per hektar

Harga pupuk Biaya yang dikeluarkan untuk pembelian pupuk dari toko pertanian. Pupuk yang dipakai di Desa Setonorejo adalah pupuk subsidi.

Dinyatakan dalam satuan rupiah per kuintal.

Kuantitas pupuk Jumlah pupuk yang digunakan oleh Dinyatakan dalam satuan

38

Page 57: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

Konsep Variabel Definisi Operasional Variabel Pengukuran Variabel

petani dalam satu kali musim tanam tahun 2015-2016.

kuintal.

Tetes Salah satu hasil olahan tebu yang dapat digunakan untuk pupuk pada tebu.

Dinyatakan dalam satuan rupiah per liter.

Harga pestisida Biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk membeli obat pembasmi hama dan penyakit di lahan yang digunakan untuk usahatani tebu.

Dinyatakan dalam satuan rupiah.

Kuantitas pestisida Jumlah pestisida yang dibutuhkan dalam satu kali musim tanam tebu.

Dinyatakan dalam satuan liter

Harga herbisida Harga pembelian pembasmi gulma yang ada di lahan untuk usahatani tebu.

Dinyatakan dalam satuan rupiah.

Kuantitas herbisida Jumlah pembasmi gulma yang dibutuhkan dalam satu kali masa tanam tebu.

Dinyatakan dalam satuan liter.

Upah tenaga kerja Biaya yang harus dibayarkan kepada tenaga kerja dalam berusahatani. Upah ini disesuaikan dengan sistem yang berlaku di Desa Setonorejo.

Dinyatakan dalam rupiah per HOK (Hari Orang Kerja).

Kuantitas tenaga kerja Jumlah tenaga kerja yang bekerja dalam usahatani tebu dalam satu kali masa tanam.

Dinyatakan dalam satuan orang per HOK (Hari Orang Kerja).

Biaya irigasi Biaya yang dikeluarkan untuk pengairan tanaman tebu dalam satu kali masa tanam.

Dinyatakan dalam satuan rupiah

39

Page 58: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

Konsep Variabel Definisi Operasional Variabel Pengukuran Variabel

Risiko pendapatan Tingkat pendapatan Hasil dari penjualan tebu dengan sistem tebasan.

Penerimaan petani dikurangi dengan jumlah total biaya usahatani dalam satu kali masa tanam.

Analisis risiko Hasil yang diharapkan (E) Nilai rata-rata (harga dan pendapatan) yang mungkin diterima petani pada setiap periode pada masa tanam yang akan datang.

Hasil yang diharapkan dari harga dan pendapatan satuannya rupiah

Ragam (V2) Variasi dari harga dan pendapatan tebu di Desa Setonorejo.

Ragam harga dan pendapatan satuannya rupiah.

Simpangan baku (V) Akar dari ragam Dinyatakan dalam satuan rupiah

Koefisien variasi (CV) Angka yang menunjukkan besarnya risiko yang harus ditanggung petani dalam satu kali masa tanam, baik risiko harga maupun risiko pendapatan.

Nilai simpangan baku dibagi nilai rata-rata (nilai rata-rata harga dan pendapatan). Tidak memiliki satuan.

Batas bawah pendapatan (L) Nilai nominal terendah yang diperoleh petani dalam satu kali masa tanam.

Dinyatakan dalam satuan rupiah.

40

Lanjutan tabel 3.

Page 59: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan analisis kuantitatif.

Analisis deskriptif untuk mengetahui karakteristik atau gambaran umum petani

tebu yang ada di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri dan

digunakan untuk mendeskripsikan hasil perhitungan usahatani dan tingkat risiko

yang telah dilakukan berdasarkan data yang diperoleh di lapang. Sedangkan

analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis usahatani tebu (memperoleh

pendapatan atau tidak), selain itu juga digunakan untuk menganalisis tingkat

risiko pendapatan tebu yang dialami oleh petani, yakni dengan menggunakan

perhitungan Hasil yang Diharapkan (E), Keragaman (V), Standar Deviasi (SD),

Koefisien Variasi (CV), dan Batas Bawah Pendapatan (L).

4.2. Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras,

Kabupaten Kediri yang merupakan salah satu sentra budidaya tanaman tebu yang

ada di Kabupaten Kediri, di mana sebagian besar penduduknya bermata

pencaharian sebagai petani, khususnya petani tebu, sehingga penentuan lokasi ini

dilakukan secara sengaja (purposive). Penelitian ini dilakukan pada bulan April-

Mei 2017.

4.3. Teknik Penentuan Sampel

Penentuan sampel ini digunakan untuk mengetahui jumlah sampel yang

diteliti. Sampel ini ditentukan berdasarkan rumus slovin. Menurut Siregar (2014),

teknik penentuan sampel dengan slovin memiliki rumus sebagai berikut.

� =�

1 + ���

Di mana:

n = sampel

N = populasi

E = perkiraan tingkat kesalahan

Page 60: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

42

Jumlah populasi petani tebu sistem keprasan di Desa Setonorejo berjumlah

295 petani, dengan menggunakan perkiraan tingkat kesalahan 15%, maka

dihasilkan perhitungan sebagai berikut.

� =�

1 + ���

� =295

1 + 295(0,15)�

� =295

1 + 6,637

� = 38,6

Berdasarkan hasil tersebut jumlah sampel dibulatkan menjadi 39 petani

tebu. Petani tebu ini nantinya dipilih secara acak sederhana (simple random

sampling) yakni setiap responden yang memenuhi kriteria memiliki kesempatan

yang sama untuk dijadikan sampel penelitian. Pemilihan acak sederhana ini

dilakukan di dua dusun yang ada di Desa Setonorejo, Kecamatan Kras, Kabupaten

Kediri yaitu Dusun Demangan dan Dusun Setonorejo. Jumlah sampel penelitian

adalah 39 responden dengan kriteria petani sampel sebagai berikut:

a. Petani sampel tidak aktif mengikuti Gabungan Kelompok Tani

(GAPOKTAN) yang ada di Desa Setonorejo dan tidak mengikuti kemitraan

dengan pabrik gula terdekat.

b. Usia responden antara umur 30-75 tahun

c. Petani sampel sudah berusahatani minimal 5 tahun.

d. Petani yang diteliti menanam tebu varietas PS-862 (tebu 62 atau tebu hijau)

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Data merupakan keterangan-keterangan suatu hal, dapat berupa sesuatu

yang diketahui atau yang dianggap atau anggapan. Dengan kata lain suatu fakta

yang digambarkan lewat angka. Data yang berkaitan dengan penelitian ini ada 2,

yaitu:

1. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di

lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang

memerlukannya. Data primer ini disebut juga data asli atau data baru. Misalnya

Page 61: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

43

seperti data kuisioner (data yang diperoleh melalui kuisioner), data survey, data

observasi, dan sebagainya. Data primer yang dibutuhkan pada penelitian ini

berupa data biaya usahatani tebu dan data terkait harga tebu pada musim tanam

2015-2016.

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang

yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Data ini biasanya

diperoleh dari perpustakaan atau dari laporan-laporan penelitian terdahulu.

Misalnya data yang berasal dari jurnal, BPS, dan buku yang berkaitan dengan

topik penelitian ini.

Sedangkan untuk pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui:

1. Wawancara secara langsung

Pengumpulan data ini dilakukan dengan mendatangi responden dan

melakukan kegiatan wawancara yang dipandu dengan kuisioner yang telah

dibuat sebelumnya, sehingga hal-hal yang perlu ditanyakan ditulis dikuisioner

agar wawancara terarah. Wawancara ini dilakukan untuk mengetahui biaya

input usahatani tebu, harga tebu dan juga perilaku petani menghadapi risiko

harga tebu. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data primer di lapang.

Menurut Narbuko dan Achmadi (2013), wawancara merupakan proses

tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan antara dua orang

atau lebih bertatap muka dan mendengarkan secara langsung informasi-

informasi atau keterangan-keterangan.

2. Observasi (Pengamatan)

Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara mengamati kondisi lapang

secara langsung yang nantinya didokumentasikan sebagai bukti observasi.

Menurut Narbuko dan Achmadi (2013), pengamatan merupakan alat

pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara

sistematik gejala-gejala yang diselidiki.

3. Dokumentasi

Dokumentasi ini diambil pada saat melakukan penelitian langsung di

lapang yang digunakan sebagai salah satu bukti penelitian yang telah

Page 62: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

44

dilakukan. Hal-hal yang perlu didokumentasikan seperti data-data yang ada di

desa yang berkaitan dengan penelitian.

4.5. Teknik Analisis Data

4.5.1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif digunakan untuk memaparkan suatu keadaan di lapang

dalam bentuk kata-kata atau kalimat ilmiah, sehingga mudah dipahami oleh

pembaca. Analisis ini nantinya digunakan untuk memaparkan kondisi lapang yang

diteliti, sehingga kondisi secara umum dapat digambarkan pada penelitian ini.

Misalnya memaparkan terkait karakteristik desa yang saat ini dijadikan penelitian

dan karakteristik petani tebu yang dijadikan sampel. Selain itu analisis deskriptif

ini digunakan untuk menjelaskan hasil analisis yang telah dilakukan baik

berdasarkan hasil analisis usahatani maupun hasil analisis tingkat risiko

pendapatan.

4.5.2. Analisis Kuantitatif

1. Analisis Pendapatan

Analisis pendapatan digunakan untuk mengetahui suatu usahatani

menguntungkan atau tidak, jika usahatani tersebut menguntungkan, maka dapat

dilanjutkan usahataninya, namun jika tidak menguntungkan perlu adanya

perbaikan manajemen usahatani agar budidayanya lebih menguntungkan.

Penelitian ini berkaitan dengan pendapatan karena harga tebu yang tidak menentu

dapat mempengaruhi pendapatan dari petani. Adapun langkah-langkah untuk

dapat memperoleh hasil pendapatan dari petani tebu adalah sebagai berikut:

a. Penentuan Total Biaya (TC)

Penentuan total biaya dalam penelitian ini didapatkan dari hasil

penjumlahan total biaya variabel dan total biaya tetap, di mana biaya variabel dan

biaya tetap ini masing-masing petani berbeda, tergantung cara pengelolaannya dan

tergantung luasan lahan yang dimiliki petani, semakin luas lahan yang dimiliki,

maka semakin tinggi juga total biaya yang harus dikeluarkan untuk usahatani

tebu, begitu pula sebaliknya. Biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh petani

dalam usahatani tebu dapat dilihat pada tabel 4.

Page 63: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

45

Tabel 4. Biaya yang Dikeluarkan untuk Usahatani Tebu

No. Jenis Biaya Uraian Biaya Keterangan 1. TFC (Total Fix

Cost) Biaya Tetap (P0):

1. Cangkul 2. Sabit 3. Ganco 4. Ganthol 5. Diesel 6. Lahan

TFC = P0 + P1

Bibit (P1)

2. TVC (Total Variable Cost)

Pupuk (P2) 1. Urea 2. ZA 3. Phonska 4. Organik 5. Tetes

TVC = P2 + P3 + P4 +P5

Pestisida (P3)

Herbisida (P4)

Tenaga Kerja (P5): 1. Pengolah tanah 2. Penanaman 3. Pemeliharaan 4. Panen

Sehingga, TC = TFC + TVC TC = (P0 + P1) + (P2 + P3 + P4 +P5)

Berdasarkan tabel 4. di atas dapat diketahui bahwa bibit tetap masuk dalam

perhitungan biaya walaupun sistem keprasan, karena walaupun biaya beli bibit

tidak dihitung tetapi dalam perhitungan usahatani tetap dimasukkan karena

usahatani harus memperhitungkan pembelian bibit dengan cara biaya pembelian

bibit dibagi dengan jumlah keprasan yang dilakukan oleh petani. Karena

menggunakan pembagian jumlah keprasan, maka biaya bibit dimasukkan ke

dalam biaya tetap, yakni sistemnya seperti penyusutan alat menggunakan umur

ekonomis bibit.

b. Penerimaan

Penelitian ini komoditas yang diteliti merupakan komoditas tebu dengan

sistem budidaya keprasan dan sistem penjualan dengan tebasan, sehingga

penerimaan petani dihitung secara langsung berdasarkan harga jual petani pada

saat itu, karena petani yang diteliti merupakan PTM (Petani Tebu Mandiri) yang

menjual hasil usahataninya kepada tengkulak, sehingga sistem penjualannya

Page 64: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

46

adalah tebas langsung di lahan. Sebagian besar petani tebu di daerah ini memang

tidak bermitra dengan pabrik gula, sehingga risiko harganya juga semakin tinggi.

c. Pendapatan

Pendapatan usahatani tebu dihitung dari selisih antara penerimaan petani

tebu dengan biaya total yang dikeluarkan untuk usahatani hingga pemanenan tebu.

Rumus yang dapat dipakai dalam penelitian ini adalah:

Πtebu = TR - TC

Π tebu = TR - (TFC + TVC)

Π tebu = TR - ((P0 + P1) + (P2 +P3 + P4 + P5))

2. Analisis Tingkat Risiko

a. Hasil yang Diharapkan (E)

Menurut Hernanto (1991), hasil yang diharapkan diperoleh dari hasil

perbandingan antara pendapatan pada periode tertentu dengan jumlah responden

yang diteliti, dihitung dengan rumus:

E = ∑ Ei����

n

Dimana:

E : rata-rata pendapatan tebu (Rp)

Ei : pendapatan tebu ke-i (Rp)

n : jumlah responden petani tebu yang diteliti

b. Keragaman (Variance) dan Simpangan Baku

Menurut Hernanto (1991), keragaman diperoleh berdasarkan pendapatan

periode tertentu dengan rata-rata pendapatan tebu dibagi dengan jumlah responden

dikurangi 1, dengan rumus sebagai berikut:

V� =∑ (Ei − E)�����

(n − 1)

Dimana:

V2 : ragam (variance) (Rp)

E : rata-rata pendapatan tebu (Rp)

Ei : pendapatan tebu ke-i (Rp)

n : jumlah responden petani tebu

Page 65: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

47

Sedangkan simpangan baku diperoleh dari akar kuadrat dari keragaman

(variance), rumus untuk simpangan baku sebagai berikut:

V = �V�

Dimana:

V : simpangan baku (Rp)

V2 : ragam (Rp)

c. Koefisien Variasi dan Batas Bawah Pendapatan

Koefisien variasi merupakan analisis untuk mengetahui tingkat risiko yang

dihadapi oleh petani, semakin besar nilai koefisien variasi maka semakin besar

risiko yang dihadapi, namun semakin kecil nilai koefisien variasi maka semakin

kecil pula tingkat risiko yang dihadapi oleh petani tebu. Koefisien variasi

diperoleh dari perbandingan antara simpangan baku dengan rata-rata pendapatan

tebu. Terdapat hubungan antara koefisien variasi dengan batas bawah, yaitu

apabila nilai CV > 0,5 maka nilai L< 0, begitu pula jika nilai CV ≤ 0,5 maka nilai

L ≥ 0. Hal ini menunjukkan bahwa apabila CV > 0,5, maka risiko pendapatan

yang ditanggung petani semakin besar dengan menanggung kerugian sebesar L.

Menurut Hernanto (1991), rumus koefisien variasi yaitu:

CV =V

E

Dimana:

CV : koefisien variasi

V : simpangan baku (Rp)

E : rata-rata pendapatan tebu (Rp)

Batas bawah merupakan nilai rata-rata terendah yang mungkin diterima oleh

petani tebu terkait kondisi risiko pendapatan tebu. Batas bawah ini diperoleh dari

selisih antara rata-rata pendapatan dengan dua kali simpangan baku. Adapun

rumus batas bawah adalah sebagai berikut:

L = E – 2V

Page 66: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

48

Di mana:

L : batas bawah pendapatan (Rp)

E : rata-rata pendapatan tebu (Rp)

V : simpangan baku (Rp)

Page 67: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian

5.1.1. Letak Geografis dan Batas Administrasi

Desa Setonorejo merupakan salah satu desa di Kecamatan Kras, Kabupaten

Kediri. Wilayahnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian tempat 96

mdpl, curah hujan 300,00 mm/per tahun dengan jumlah bulan hujan secara normal

6 bulan. Desa ini memiliki suhu rata-rata sekitar 26oC. Desa Setonorejo terdiri

dari 2 dusun, yaitu Dusun Setonorejo dan Dusun Demangan. Desa ini memiliki 5

RW dan 20 RT. Adapun batas-batas wilayah desa ini adalah sebagai berikut:

Tabel 5. Batas Wilayah Desa Setonorejo

Sumber: Potensi Desa dan Kelurahan (2017)

Desa Setonorejo termasuk salah satu desa yang ada di Kabupaten Kediri,

namun desa ini merupakan desa perbatasan, sehingga batas-batas desanya pun

juga berbatasan dengan salah satu desa yang ada di Kabupaten Tulungagung dan

Kabupaten Blitar. Hal ini dapat diketahui dari tabel tersebut, yaitu batas desa

sebelah selatan merupakan Desa Jaten (Kabupaten Blitar) dan batas barat

merupakan Desa Pojok (Kabupaten Tulungagung).

5.1.2. Luas Wilayah Berdasarkan Penggunaan Lahan

Desa Setonorejo memiliki luas sebesar 245 Ha yang terdiri dari tanah

sawah, tanah kering, dan fasilitas umum. Tanah sawah ini digunakan untuk

menanam berbagai komoditas tanaman, baik komoditas tanaman pangan,

holtikultura maupun tanaman perkebunan rakyat. Tanaman perkebunan rakyat

yang ditanam di desa ini mayoritas adalah tanaman tebu, alasan penanaman tebu

selain lahannya cocok juga karena dekat dengan penebas tebu, sehingga penjualan

tebu lebih mudah, selain itu budidaya tebu juga lebih mudah dari komoditas

lainnya. Berdasarkan penjabaran tersebut di bawah ini telah tersaji luas wilayah

berdasarkan penggunaan lahan.

Batas Desa/Kelurahan Kecamatan Sebelah utara Rejomulyo Ngadiluwih Sebelah selatan Jaten Wonodadi (Kabupaten Blitar) Sebelah timur Pelas Ringinrejo Sebelah barat Pojok Ngantru (Kabupaten

Tulungagung)

Page 68: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

50

Tabel 6. Luas Wilayah berdasarkan Penggunaan Lahan

Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%) Luas tanah sawah 131,45 53,65 Luas tanah kering 99,00 40,41 Luas tanah basah 0,00 0,0 Luas tanah perkebunan 0,00 0,0 Luas fasilitas umum 14,55 5,94 Luas tanah hutan 0,00 0,0

Total Luas 245,00 100

Sumber: Potensi Desa dan Kelurahan (2017)

Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan lahan yang

paling luas adalah penggunaan untuk tanah sawah sebesar 53,65% atau 131,45

Ha, tanah sawah yang ada di desa ini adalah sawah irigasi teknis, sedangkan untuk

tanah kering digunakan sebagai pemukiman dengan luas 99 Ha atau 40,41% dan

penggunaan lahan yang ketiga adalah untuk fasilitas umum sebesar 14,55 Ha atau

5,94% yang digunakan untuk tanah bengkok, sawah desa, perkantoran

pemerintah, tempat pemakaman umum desa, dan bangunan sekolah. Dari data

tersebut luas lahan untuk sawah lebih tinggi apabila dibandingkan dengan

penggunaan lahan yang lainnya, luas lahan yang tinggi ini digunakan untuk

pertanian, sehingga di Desa Setonorejo memiliki potensi yang besar dalam

pengembangan usahatani tebu.

5.1.3. Keadaan Penduduk

Desa Setonorejo hingga Maret 2017 memiliki jumlah penduduk sebesar

3.591 jiwa yang terdiri dari 2.183 jiwa penduduk laki-laki dan 1.408 jiwa

penduduk perempuan. Tahun 2016 jumlah penduduknya sebanyak 2.798 jiwa,

mayoritas agama yang dianut oleh penduduk Desa Setonorejo adalah Agama

Islam dengan total 2.798 jiwa, sedangkan untuk agama kristen jumlahnya 1 orang.

Penduduk di Desa Setonorejo sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani,

karena luas lahan pertanian di wilayah ini masih luas sehingga dapat digunakan

sebagai usahatani terutama usatahatani tebu. Tingginya penduduk yang

bermatapencaharian sebagai petani merupakan salah satu aset yang dapat

dimanfaatkan untuk dapat memajukan desa ini di bidang pertanian. Distribusi

penduduk berdasarkan matapencaharian dapat terlihat pada tabel di bawah ini.

Page 69: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

51

Tabel 7. Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

Jenis Pekerjaan Laki-laki (jiwa)

Perempuan (jiwa)

Total Persentase

Petani 543 138 681 61,57 Buruh Tani 47 9 56 5,06 Pegawai Negeri Sipil 13 9 22 1,99 Peternak Lain-lain

132 122

18 75

150 197

13,56 17,81

Jumlah Total Penduduk

857 249 1.106 100

Sumber: Potensi Desa dan Kelurahan (2017)

Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa mayoritas penduduk di desa ini

bermatapencaharian sebagai petani dengan persentase 61,57%, sedangkan urutan

ke dua ditempati oleh penduduk yang bermatapencaharian lain-lain sebesar 17,81

(terdiri dari TNI, polri, pedagang keliling, tukang kayu, tukang batu, pembantu

rumah tangga, arsitektur/desainer, karyawan perusahaan swasta, karyawan

perusahaan pemerintahan, pensiunan dan tukang jahit), dan yang paling sedikit

adalah penduduk dengan matapencaharian sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS)

dengan persentase 1,99%. Tingginya penduduk yang bermatapencaharian sebagai

petani ini menjadikan daerah tersebut sebagai salah satu daerah yang berpotensi

dalam pengembangan usaha di bidang pertanian, khususnya usaha yang terkait

dengan tebu.

5.2. Karakteristik Responden

5.2.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

Karakteristik responden berdasarkan usia ini digunakan untuk mengetahui

respnden yang diteliti termasuk usia produktif atau tidak, jika usianya masih

produktif, maka petani memiliki kesempatan untuk mampu meningkatkan

pendapatan usahatani tebunya. Adapun umur responden disajikan pada tabel

berikut 8.

Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui umur responden yang diteliti lebih

dari 30 tahun hingga lebih dari 60 tahun. Dari total responden yang diteliti

sebagian besar petani berumur antara 51-60 tahun, di mana rata-rata umur petani

responden adalah 52,4 tahun. Umur ini masih dapat dikatakan umur produktif

dalam melakukan usahatani tebu, dengan umur yang produktif ini dapat

Page 70: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

52

disimpulkan bahwa petani masih mampu meningkatkan pendapatan usahatani

tebunya dengan melakukan pembudidayaan yang baik agar tebu yang dihasilkan

memiliki kualitas yang bagus, dan jika harga tebu pada saat itu naik pasti petani

dapat memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Tabel 8. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

Umur Responden (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%) 31 s/d 40 7 17,95 41 s/d 50 7 17,95 51 s/d 60 17 43,59 >60 8 20,51

Total 39 100

Rata-rata umur responden 52,4

Sumber: Data primer diolah (2017)

5.2.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pendidikan masing-masing sampel penelitian berbeda, terdapat petani

yang memiliki pendidikan rendah, menengah hingga tinggi, sehingga hal ini

mampu mempengaruhi usahatani tebu yang dilakukannya, perbedaan tingkat

pendidikan formal ini dapat diketahui dari tabel berikut.

Tabel 9. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pendidikan Terakhir Jumlah (orang) Persentase (%) SD 24 61,54 SMP 5 12,82 SMA/SMK 7 17,95 Perguruan Tinggi 3 7,69

Total 39 100

Sumber: Data primer diolah (2017)

Mayoritas tingkat pendidikan responden adalah SD sebesar 61,54% atau

24 responden memiliki pendidikan SD, sedangkan untuk sisanya terbagi menjadi

pendidikan SMP, SMA/SMK, dan Perguruan Tinggi. Masing-masing responden

pada penelitian ini memiliki tingkat pendidikan berbeda-beda, begitu pula tingkat

pengetahuan dan ketrampilan petani berbeda juga, sehingga hasil yang didapat

dari usahatani tebu juga berbeda. Rata-rata pendidikan yang rendah ini biasanya

juga mempengaruhi dalam proses budidaya tebu, petani di daerah ini dalam

pembudidayaan tebu mayoritas berdasarkan pengalaman yang telah diajarkan oleh

orang tua mereka atau berdasarkan cara budidaya yang ada di lingkungan mereka,

bahkan penyuluhan terkait tebu masih belum ada di desa ini. Sehingga petani

Page 71: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

53

dengan tingkat pendidikan rata-rata rendah dapat berusahatani sesuai dengan

pengalaman mereka saja tanpa ada pendampingan dari pihak penyuluh.

5.2.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Berusahatani Tebu

Responden pada penelitian ini memiliki pengalaman dalam usahatani tebu

yang berbeda-beda, ada yang masih 5 tahun ada juga yang lebih dari 30 tahun.

Adapun data terkait lamanya berusahatani petani tebu dapat dilihat pada tabel

berikut.

Tabel 10. Karakteristik Responden Berdasakan Lama Usahatani Tebu

Lama Berusahatani Jumlah (Tahun) Persentase (%)

5-10 tahun 5 12,82 11-20 tahun 10 25,64 21-30 tahun 10 25,64 >30 tahun 14 35,90

Total 39 100

Rata-rata lama berusahatani 26,13

Sumber: Data primer diolah (2017)

Berdasarkan tabel tersebut, petani responden memiliki rata-rata

pengalaman usahatani 26,13 tahun. Hal ini berarti petani responden sudah lama

dalam berusahatani tebu dan mengetahui susah senangnya berusahatani tebu.

Sehingga lamanya berusahatani ini sesuai dengan batasan masalah yang telah

ditentukan yakni minimal 5 tahun pengalaman dalam berusahatani. Petani yang

diwawancarai paling banyak sudah memiliki pengalaman usahatani lebih dari 30

tahun, yaitu sebanyak 14 orang dengan persentase 35,90%, sehingga banyak

petani yang sudah mampu berusahatani tebu dengan baik sesuai dengan

pengalamannya.

5.2.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Luas Lahan

Lahan merupakan tempat yang digunakan oleh petani untuk

membudidayakan tebu, luas lahan yang dimiliki oleh petani responden berbeda-

beda, luas lahan yang berbeda-beda ini nantinya mempengaruhi biaya yang

dikeluarkan dalam usahatani tebu. Biasanya semakin luas lahan yang dimiliki

petani, maka semakin banyak biaya yang dikeluarkan, namun biasanya juga

mampu memperoleh produksi yang lebih tinggi. Luas lahan petani sampel dapat

dilihat pada tabel 11.

Page 72: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

54

Tabel 11. Karakteristik Responden Berdasarkan Luas Lahan Tebu

Luas Lahan (L) (Ha) Jumlah (orang) Persentase (%)

0-0,5 27 69,23

0,5<L≥1 8 20,51

L>1 4 10,26

Total 39 100

Sumber: Data primer diolah (2017)

Petani tebu di desa ini mayoritas masih memiliki lahan 0-0,5 Ha, sehingga

sebagian besar petaninya adalah petani kecil atau petani gurem. Namun petani

besar maupun petani kecil di desa ini dalam menjual hasil tebunya tetap kepada

penebas (tidak langsung ke pabrik gula) dengan alasan petani memperoleh uang

hasil panennya lebih cepat, dan petani tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk

pemanenan tebu dan pengangkutan tebu ke pabrik. Karena semua risiko yang

dialami setelah penjualan adalah risiko bagi penebas (pembeli tebu).

5.2.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Frekuensi Keprasan

Responden yang diteliti adalah petani tebu dengan sistem budidaya tebu

keprasan, masing-masing petani memiliki frekuensi keprasan sendiri-sendiri, ada

yang kurang dari 3 kali, lebih dari 3 kali bahkan ada yang lebih dari 7 kali.

Frekuensi keprasan bisanya berpengaruh terhadap produksi tebu yang dihasilkan.

Petani melakukan keprasan beberapa kali biasanya untuk menghemat biaya

usahatani tebu dalam pembelian bibit, selain itu juga untuk menghemat biaya

tenaga kerjanya. Adapun data terkait frekuensi keprasan yang telah dilakukan

petani tebu di desa ini dapat disajikan pada tabel berikut.

Tabel 12. Karakteristik Responden Berdasarkan Frekuensi Keprasan Tebu

Frekuensi Keprasan (kali) Jumlah (orang) Persentase (%)

1-3 18 46,15 4-7 16 41,03 >7 5 12,82

Total 39 100

Sumber: Data primer diolah (2017)

Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa frekuensi petani melakukan

budidaya keprasan yang paling tinggi adalah 1-3 kali dengan persentase 46,15%

atau 18 orang, sedangkan yang paling sedikit yaitu lebih dari 7 kali sebanyak

Page 73: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

55

12,82% atau hanya 5 orang. Untuk yang lebih dari 7 kali sebaiknya segera

melakukan sistem tanam dengan bongkar ratoon atau dilakukan rotasi tanaman

agar hasil produksinya tidak semakin menurun, karena semakin banyak dikepras

maka dapat menghasilkan penurunan kualitas ataupun produksi. Biasanya petani

di daerah ini melakukan budidaya dengan keprasan untuk menghemat biaya, baik

biaya pembelian bibit maupun biaya tenaga kerja.

5.2.6. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan

Masing-masing petani sampel memiliki luas lahan berbeda-beda, namun

status kepemilikan lahan ada yang sewa dan ada yang lahan milik sendiri. Berikut

ini data status kepemilikan lahan petani sampel di Desa Setonorejo:

Tabel 13. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan

Status Kepemilikan Lahan

Jumlah (orang) Persentase(%)

Milik sendiri 34 87,18 Sewa 3 7,69 Milik sendiri + sewa 2 5,13

Total 39 100

Sumber: Data primer diolah (2017)

Lahan yang dimiliki petani sampel ada yang lahan milik sendiri dan biaya

yang dikeluarkan per tahunnya dihitung berdasarkan pajak pertahun, sedangkan

untuk lahan sewa dihitung berdasarkan harga sewa per tahunnya. Untuk lahan

sewa, biasanya lahan tersebut berasal dari tanah desa yang disewakan atau berasal

dari petani lain yang menyewakan kepada petani sampel. Harga sewa saat ini 125

ru atau 0,17 Ha/tahun adalah Rp 4.500.000-5.000.000 baik lahan yang di sewa

dari petani lain maupun lahan yang disewa dari desa, karena di desa ini terdapat

lahan desa yang dikhususkan untuk petani yang tidak memiliki lahan agar di sewa

untuk berusahatani, biasanya dua tahun sekali proses penyewaannya dilakukan.

Berdasarkan tabel tersebut mayoritas petani sampel memiliki lahan sendiri

dengan persentase 87,18% atau berjumlah 34 petani sampel. Status kepemilikan

lahan yang lainnya masing-masing hanya 7,16% dan 5,13% dari jumlah total

100% atau 39 petani responden. Dari data yang telah tersaji tersebut dapat

disimpulkan bahwa mayoritas petani sampel memiliki lahan sendiri dalam

berusahatani, karena milik sendiri maka mayoritas pengeluaran biaya usahatani

Page 74: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

56

lahan dihitung berdasarkan pajak per tahun lahan tersebut. Untuk lebih jelasnya

terkait karakteristik responden dapat dilihat pada lampiran 1.

5.3. Analisis Usahatani Tebu

5.3.1. Analisis Biaya Usahatani Tebu

Biaya dalam usahatani tebu merupakan biaya yang harus dikeluarkan

selama satu musim tanam tebu, di mana ada 2 jenis biaya, yaitu biaya tetap dan

biaya variabel. Biaya tetap merupakan biaya yang dikeluarkan dalam satu kali

musim tanam tebu yang tidak dipengaruhi seberapa besar hasil produksi yang

dihasilkan. Biaya tetap pada usahatani tebu misalnya biaya pajak per tahun atau

sewa lahan dan biaya penyusutan alat. Sedangkan biaya variabel merupakan biaya

yang berubah-ubah sesuai dengan kondisi yang ada di lapang, semakin luas lahan

maka semakin banyak input variabel yang dibutuhkan. Biaya variabel yang

dikeluarkan pada usahatani tebu misalnya biaya pembelian bibit tebu, biaya

pembelian pupuk, pestisida, dan tenaga kerja. Namun untuk sistem keprasan tidak

mengeluarkan biaya pembelian bibit, karena keprasan merupakan menumbuhkan

kembali bekas tanaman tebu yang sudah ditebang.

Biaya yang paling besar biasanya adalah biaya tenaga kerja, karena biaya

tenaga kerja ini meliputi biaya tenaga kerja penyulaman, penyiangan, pemupukan,

pembumbunan, perompesan maupun lepas. Biaya tenaga kerja pemanenan tidak

dihitung karena sistem penjualan tebu secara tebasan. Untuk Perhitungan rata-rata

biaya usahatani dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 14. Total Biaya Usahatani Tebu Musim Tanam 2015-2016

No. Uraian Nilai (Rp/Ha) 1. Total Biaya Tetap 5.592.149 2. Total Biaya Variabel 20.801.645

Total Biaya 26.393.793

Sumber: Data primer diolah (2017)

Berdasarkan tabel 14 diketahui bahwa jumlah biaya tetap sebesar Rp

5.592.149/Ha/Musim Tanam dengan total biaya variabel sebesar Rp

20.801.645/Ha/Musim Tanam, sehingga didapatkan total biaya sebesar Rp

26.393.793/Ha/Musim Tanam. Total biaya tetap ini dikeluarkan oleh petani tebu

di Desa Setonorejo dalam satu kali masa tanam yaitu musim tanam tahun 2015-

Page 75: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

57

2016 dengan luasan lahan 1 Ha. Satu kali musim tanam berkisar antara 8-12

bulan, sehingga dalam satu tahun hanya dapat ditanami tebu satu kali. Adapun

perhitungan secara terperinci dapat dilihat pada lampiran 2 hingga lampiran 4.

Total biaya tersebut dapat berubah-ubah dari musim tanam satu ke musim

tanam yang lain, sebab dalam berusahatani terdapat kondisi yang tidak

diharapkan, sehingga terkadang biaya yang dikeluarkan dalam berusahatani dapat

bertambah maupun berkurang sesuai kondisi di lahan. Contoh kondisi yang

mengakibatkan adanya penurunan biaya usahatani adalah pada masa tanam tahun

2016-2017, banyak petani sampel yang mengaku bahwa tidak mengeluarkan biaya

untuk irigasi, sebab saat musim tanam tersebut terjadi hujan sehingga pengairan

langsung dari air hujan saja, hal inilah salah satu fenomena yang mampu

mengurangi biaya, namun ada juga petani yang justru harus menambah biaya

dalam usahataninya misalnya karena tebu yang di tanam mengalami kebusukan

akibat hujan akibatnya petani harus membeli tambahan bibit dan membayar

tenaga kerja lagi.

Pembengkakan biaya usahatani tebu sebenarnya dapat ditekan oleh petani

dengan cara adanya manajemen biaya yang baik, namun mayoritas petani sampel

tidak memperhitungkan jumlah biaya yang dikeluarkannya, dan biasanya mereka

baru menyadari bahwa biaya yang dikeluarkan banyak saat panen tiba dan

pendapatan mereka ternyata berkurang. Memang ada petani yang di catat jumlah

pengeluarannya dalam berusahatani, namun itu hanya beberapa saja. Biasanya

mereka yang mencatat biaya usahataninya digunakan sebagai patokan untuk

usahatani selanjutnya. Selain itu dalam memanajemen keuangan usahatani juga

dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan, untuk itu tingkat pendidikan juga

mampu mempengaruhi petani dalam melakukan pemanajemenan tersebut.

5.3.2. Analisis Penerimaan Usahatani Tebu

Penerimaan usahatani tebu yang dianalisis ini berbeda dengan penerimaan

pada usahatani lainnya, karena penerimaan yang diterima sama dengan harga beli

dari petani. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan maka didapatkan rata-

rata penerimaan usahatani tebu sebesar Rp 70.406.586/Ha/Musim Tanam.

Penerimaan ini diperoleh berdasarkan harga borongan yang telah ditentukan oleh

penebas dengan petani dengan sistem borongan. Hal ini sesuai dengan pendapat

Page 76: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

58

dari Wiradi (2009) yang menyatakan bahwa sistem tebasan merupakan pembelian

dengan cara ditebas di lahan, di mana tanaman yang dibeli masih ada di lahan dan

siap untuk dipanen dengan sistem taksiran, misalnya 1 Ha dibeli dengan sekian

rupiah dengan harapan mampu menghasilkan sekian ton. Rincian penerimaan

usahatani dapat dilihat pada lampiran 5.

Pada umumnya penerimaan masing-masing petani di desa tersebut

berbeda, hal ini tergantung dari luasan lahan yang dimiliki petani, kualitas tebu

dan rata-rata harga gula yang berlaku saat itu. Petani di desa ini mengetahui harga

(penerimaan) dari petani lain yang kemudian melakukan penawaran dengan

penebas, padahal informasi harga (penerimaan) dari petani lain tersebut belum

tentu valid atau benar, sehingga disinilah kemampuan petani dalam mengakses

informasi sangat dibutuhkan agar petani tidak merasa dirugikan dengan harga

yang terbentuk dari proses negosiasi tersebut.

Proses pembentukan harga (penerimaan) ini dibutuhkan pengetahuan dan

ketrampilan dalam bernegosiasi dengan penebas. Apalagi petani di desa ini

mayoritas pendidikan petaninya masih rendah, sehingga sangat mungkin jika

harga yang terbentuk jauh diharga pasaran yang telah ditentukan oleh pihak pabrik

gula setempat. Untuk itulah pendidikan yang dimiliki petani ini penting, karena

dengan memiliki pendidikan tinggi, maka petani mampu dengan mudah mencari

informasi secara cermat agar tidak mudah percaya dengan isu harga tebu saat itu.

Selain itu, penerimaan masing-masing petani berbeda juga dipengaruhi

dari kualitas tebu yang dihasilkan. Rata-rata penerimaan per hektar di desa ini

sebesar Rp 70.406.586/Ha/Musim Tanam, namun salah seorang petani justru

mendapatkan penerimaan sebesar Rp 125.000.000/Ha/Musim Tanam (jauh dari

penerimaan rata-rata petani sampel), hal ini dapat terjadi kemungkinan karena

beliau sudah lumayan sepuh dan menjadi petani tebu sudah 40 tahun lebih,

sehingga banyak pengalaman yang didapat selama berusahatani dan petani

tersebut mau introspeksi terkait usahatani tebunya agar hasil tebu yang didapatkan

menjadi lebih bagus.

Di sisi lain terdapat juga petani yang memiliki pengalaman usahatani 53

tahun, namun mendapatkan penerimaan yang paling rendah diantara petani

lainnya, hal ini kemungkinan karena kurangnya informasi usahatani tebu yang

Page 77: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

59

mengakibatkan beliau dalam berusahatani sesuai kemampuannya saja, di mana

beliau dalam berusahatani sesuai yang diajari orang tuanya saja, apalagi jika

beliau tidak mau introspeksi hal-hal yang mengakibatkan penerimaannya rendah

dan tidak mau memperbaiki cara usahatani tebunya, sehingga perlu adanya

penyuluhan terkait usahatani tebu dan pemasaran tebu agar petani yang seperti ini

mampu memperoleh informasi yang dibutuhkan dan petani ini mampu

memperoleh penerimaan yang layak.

Adapun informasi yang dibutuhkan petani adalah informasi terkait cara

budidaya tebu yang benar, jumlah keprasan yang bagus agar tidak menurunkan

tingkat produksi tebu, dan informasi terkait pemasaran tebu. Dengan adanya aliran

informasi yang baik, maka penerimaan petani tebu mampu meningkat, namun

tentunya dengan adanya kesadaran petani untuk mau merubah usahatani tebunya

sesuai yang telah diinformasikan tersebut.

Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa penerimaan usahatani

tebu yang diterima oleh petani mampu meningkat, hal ini tergantung dari

pengetahun, pengalaman, kemauan untuk introspeksi hal-hal yang masih kurang

dalam beusahatani dan jumlah keprasan yang dilakukan oleh petani. Jumlah

keprasan ini berpengaruh karena semakin banyak jumlah keprasan yang dilakukan

maka dapat menurunkan kualitas tebu yang dihasilkan.

5.3.3. Analisis Pendapatan Usahatani

Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan yang diterima

petani dengan jumlah total biaya yang dikeluarkan selama satu kali musim tanam,

petani tebu dapat dikatakan untung jika penerimaan lebih dari total biaya yang

dikeluarkan, namun petani dikatakan rugi jika total biaya melebihi penerimaan.

Pendapatan yang diperoleh oleh petani di Desa Setonorejo disajikan pada tabel

berikut.

Tabel 15. Pendapatan Petani Responden Musim Tanam 2015-2016

No. Uraian Nilai (Rp/Ha)

1. Penerimaan 70.406.586 2. Total Biaya 26.393.793 3. Pendapatan 44.012.792

Sumber: Data primer diolah (2017)

Page 78: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

60

Hasil analisis pendapatan yang telah dilakukan di Desa Setonorejo

menunjukkan bahwa petani tebu pada daerah ini pada musim tanam 2015-2016

mendapatkan pendapatan sebesar Rp 44.012.792/Ha/Musim Tanam. Hal ini

berarti bahwa usahatani tebu dapat dikatakan layak untuk dikembangkan karena

petani memperoleh pendapatan. Hernanto (1992) (dalam Maulidah, 2012)

menyatakan bahwa pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan

dengan total biaya yang digunakan. Semakin besar pendapatan yang diperoleh,

maka dapat dikatakan bahwa usahatani dapat terus berkembang dengan baik

karena pada prinsipnya, tujuan usahatani secara umum adalah mencari laba

maksimal. Rincian perhitungan pendapatan usahatani dapat dilihat pada lampiran

6.

Berdasarkan perhitungan tersebut dapat diketahui rata-rata petani tebu di

daerah ini memperoleh pendapatan, hal inilah yang menjadi salah satu faktor

petani mau menanam tebu setiap tahunnya, namun disisi lain setiap usatani tebu

memiliki berbagai kendala baik kendala saat budidaya tebu maupun kendala saat

proses pemasaran tebu. Salah satu kendala yang dialami petani adalah

ketidakpastian harga, apalagi semua petani di Desa Setonorejo dalam menjual

hasil tebunya kepada penebas, di mana informasi harga hanya diketahui

berdasarkan informasi dari petani lain dan berdasarkan informasi dari tengkulak

saja, sehingga tingkat risiko yang dihadapi petani juga akan tinggi. Adapun

perhitungan terkait tingkat risiko dapat dianalisis pada sub bab 5.4.

5.4. Analisis Risiko Pendapatan Tebu

Analisis risiko pendapatan dihitung berdasarkan pendapatan yang didapat

oleh petani pada musim tanam 2015-2016. Pendapatan ini diperoleh berdasarkan

perhitungan penerimaan dengan total biaya masing-masing petani responden,

harga jual tebu yang dihitung adalah harga jual dengan sistem tebasan, bukan

harga jual dari petani kepada pabrik gula. Harga yang diteliti ini adalah harga

sistem tebasan karena pada sistem tebasan harga ditentukan berdasarkan harga

gula, luas lahan dan berdasarkan kondisi tebu di lahan. Biasanya pembentukan

harga ini dilakukan dengan sistem tawar menawar antara petani dengan penebas,

sehingga harga yang terbentuk cenderung berbeda-beda, apalagi harga tebu juga

naik turun, sehingga petani harus mengetahui harga tebu saat itu agar saat

Page 79: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

61

penjualan bisa melakukan proses tawar menawar dengan baik. Harga tebu tebasan

ini nantinya akan berpengaruh terhadap pendapatan, namun pendapatan ang

diterima oleh masing-masing petani berbeda, sehingga hal tersebut mampu

menimbulkan risiko. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan dengan

menggunakan Microsoft Excel, maka didapat perhitungan tingkat risiko

pendapatan tebu sebagai berikut.

Tabel 16. Hasil Perhitungan Tingkat Risiko Pendapatan Tebu Musim Tanam

2015-2016

No. Uraian Nilai 1. Hasil yang Diharapkan (E) 24.431.791 2. Simpangan Baku (V) 34.550.470 3. Koefisien Variasi (CV) 1,41 4. Batas Bawah Pendapatan (L) -44.669.148

Sumber: Data primer diolah (2017)

Berdasarkan perhitungan tersebut dapat diketahui bahwa pada tebu

didapatan hasil yang diharapkan (E) sebesar Rp 24.431.791. Artinya rata-rata

pendapatan yang diterima petani di Desa Setonorejo pada masa tanam yang akan

datang sebesar Rp 24.431.791. Nilai simpangan baku (nilai fluktuasi pendapatan)

sebesar Rp 34.550.470, sedangkan nilai Koefisien Variasi (CV) atau tingkat

risikonya sebesar 1,41 dari hasil yang diharapkan. Nilai Batas Bawah Pendapatan

(L) sebesar Rp -44.669.148, artinya dalam proses usahatani tebu musim

berikutnya petani harus berani menanggung kerugian karena berkurangnya nilai

pendapatan sebesar Rp -44.669.148.

Berdasarkan indikator yang telah dikemukakan oleh Elton dan Gruber

(1995) (dalam Tarigan, 2009), maka hasil Koefisien Variasi (CV) pada penelitian

ini masuk ke dalam kategori CV>0,5 dan L<0, yaitu CV=1,41 dan L=Rp -

44.669.148, sehingga tingkat risiko pendapatan pada usahatani tebu tinggi, dan

petani dapat berpeluang mengalami kerugian pada musim tanam selanjutnya.

Risiko pendapatan yang tinggi ini dipengaruhi oleh jumlah penerimaan petani satu

dengan yang lain berbeda dalam satu kali masa tanam, selain itu pendapatan

tersebut juga dipengaruhi oleh biaya-biaya yang dikeluarkan dalam berusahatani

tebu. Semakin banyak variasi pendapatan yang ada di desa tersebut, maka

semakin tinggi risiko yang harus dihadapi oleh petani.

Page 80: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

62

Berdasarkan hasil analisis usahatani dan tingkat risiko pendapatan

menunjukkan bahwa petani tebu rata-rata pendapatan per hektar/musim tanam

pada tahun 2016 memperoleh pendapatan, namun di sisi lain tingkat risiko

pendapatannya tinggi, hal ini karena antara pendapatan yang diterima petani

dengan tingkat risiko berbanding lurus, yaitu jika pendapatan tinggi maka risiko

yang harus dihadapi oleh petani juga tinggi. Hal ini sesuai pernyataan dari

Barron’s, 1993 (dalam Tarigan, 2009) bahwa fluktuasi harga dan hasil produksi

akan menyebabkan fluktuasi pendapatan bersih. Ukuran yang dapat digunakan

untuk melihat besarnya risiko yang dihadapi oleh produsen adalah dengan

mengetahui besarnya ragam atau simpangan baku dari pendapatan bersih per

periode atau return, yaitu jika risiko tinggi maka return juga akan meningkat dan

sebaliknya.

Petani tebu di desa ini, walaupun pendapatan tebunya tinggi tetapi

risikonya tinggi, mereka tetap lebih menyukai tanaman tebu hijau atau tebu 62

dibandingkan tebu varietas lain seperti Tebu BR (tebu 64 atau tebu merah),

walaupun tebu 62 ini lebih rentan jika dibandingkan dengan tebu merah atau tebu

BR, sebab tebu hijau jika dijual lebih mahal dan dapat dipanen saat masih muda

maupun sudah tua, di mana saat masih muda dapat dijual kepada penebas es tebu

sedangkan pada saat sudah tua dapat dijual kepada penebas tebu yang dibawa ke

pabrik untuk diolah menjadi gula dan tebu BR hanya dapat dijual saat sudah tua

saja dan umurnya 11-12 bulan, namun untuk tebu hijau hanya berkisar antara 8-12

bulan sudah bisa dipanen.

Pendapatan yang diterima masing-masing petani berbeda karena cara

pengelolaannya pun juga berbeda, misalnya terdapat petani yang menggunakan

pupuk urea dan SP36, namun ada juga petani yang lebih menyukai tetes untuk

pupuknya. Penggunaan pupuk urea dan SP36 ini untuk mampu meningkatkan

hasil produksi tebu, namun penggunaan tetes untuk pupuk biasanya karena untuk

menghemat biaya. Namun di sisi lain tetes dan pupuk kimia padat tersebut juga

memiliki efek jangka panjang jika tidak dilakukan sesuai dosis yang dianjurkan.

Menurut petani yang menggunakan pupuk berupa urea dan SP36, penggunaan

tetes tidak bagus untuk tanah, sebab tetes mampu meningkatkan tingkat keasaman

tanah, sehingga tanah nantinya kurang bagus untuk ditanami tebu. Walaupun tetes

Page 81: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

63

lebih murah tetapi mayoritas petani lebih memilih menggunakan pupuk seperti

urea dan SP36.

Selain dari variasi pendapatan, tingginya tingkat risiko ini juga dapat

dipengaruhi dari sistem penjualan tebu yaitu dengan tebasan, karena sistem

tebasan ini kualitas tebu tidak dipertimbangkan secara terperinci. Petani di Desa

ini melakukan penjualan dengan sistem tebasan dengan alasan lebih mudah, selain

itu di desa ini sistem informasi terkait budidaya tebu dan penjualan tebu juga

masih kurang, bahkan belum adanya penyuluhan khusus tanaman tebu baik dari

segi budidaya maupun dari segi pemasaran. Hal ini kemungkinan dikarenakan

wilayah desa ini merupakan perbatasan antara Kediri dengan Kabupaten

Tulungagung dan Perbatasan antara Kabupaten Kediri dengan Kabupaten Blitar,

sehingga akses informasi dari pusat sedikit mengalami kendala karena wilayahnya

lumayan jauh dari kota.

Kondisi di lapang yang mampu mengakibatkan turunnya pendapatan dan

risiko pendapatan yang tinggi dapat berupa tebu roboh akibat adanya hujan yang

berkepanjangan disertai dengan angin, biasanya tebu roboh ini dapat dijadikan

tempat sembunyi tikus, sehingga semakin lama tebu tersebut dapat rusak, selain

itu harga tebu yang menurun setiap bulannya membuat petani satu dengan yang

lain memperoleh pendapatan yang berbeda jauh sehingga tingkat variasi

pendapatan tinggi, tebu berbunga, adanya hama berupa embug (uret), adanya

jamur upas, dan kurangnya perawatan tanaman tebu saat di lahan yang mampu

mengakibatkan tebu menjadi kecil, sehingga air yang dihasilkan untuk bahan baku

gula juga sedikit.

Namun untuk sistem tebasan, biasanya yang paling berpengaruh dari

beberapa masalah di atas adalah tebu yang roboh, tebu berbunga, tebu kecil-kecil

dan adanya harga jual tebu menurun. Jika petani menghadapi hal demikian dapat

dipastikan bahwa petani dapat mengalami kerugian dalam usahataninya. Saat

kondisinya seperti ini petani hanya berharap balik modal saja sudah alhamdulillah.

Namun kondisi musim tanam 2015-2016 masih lebih bagus jika dibandingkan

kondisi masa tanam 2016-2017, sebab harga tebu tahun 2017 lebih rendah lagi

dibandingkan musim sebelumnya. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan hasil

Page 82: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

64

wawancara yang telah dilakukan di lapang yang secara terperinci dapat dilihat

pada lampiran 8.

Penurunan harga tebu mampu membuat petani semakin merugi, apalagi

saat ini akan diterapkan sistem PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 10% untuk

petani tebu, petani yang sudah merugi akan dikenai PPN sebesar 10%, hal ini

membuat petani semakin disudutkan terutama petani tebu. Karena tebunya rugi

namun malah dikenai pajak tambahan 10% dari hasil produksi tebunya. Menurut

Malang Today (2017), petani tebu di Kabupaten Malang menolak keras dengan

rencana adanya penerapan PPN sebesar 10%, karena jika hal tersebut dapat

berlaku, maka akan memberatkan dan merugikan petani tebu. Ichwanul juga

menambahkan ke Malang Today (2017), saat ini nasib petani tebu sudah berada

pada kondisi kritis, di mana harga lelang tebu rendah, rendemen rendah. Jika

penerapan PPN 10% tersebut dilakukan, hal ini tidak akan sebanding dengan

pengeluaran petani untuk operasional sejak masa tanam sampai panen. Ichwanul

juga menambahkan bahwa pemerintah sebaiknya mengkaji ulang penerapan PPN

10% tersebut bagi petani dan berhaap agar pemerintah bisa pro dengan nasib

rakyat terutama petani tebu.

Page 83: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Petani di Desa Setonorejo dalam berusahatani tebu musim tanam 2015-

2016 mampu memperoleh pendapatan sebesar Rp 44.012.792,- per Ha/Musim

Tanam yang diperoleh dari selisih antara penerimaan dengan biaya usahatani tebu

dalam satu kali masa tanam, namun tingkat risiko pendapatan tebu di Desa

Setonorejo tinggi, yaitu Koefisien Variasi (CV) sebesar 1,41, sedangkan Batas

Bawah Pendapatan (L) sebesar Rp -44.012.792, sehingga petani tebu di Desa

Setonorejo berpeluang mengalami kerugian pada musim tanam selanjutnya, hal

ini karena variasi pendapatan dan tingkat risiko memiliki hubungan positif, di

mana semakin tinggi variasi pendapatan yang diperoleh maka semakin tinggi

tingkat risiko yang harus dihadapi.

6.2. Saran

Meskipun pendapatan tinggi, namun mengingat bahwa budidaya tebu

sistem keprasan berpeluang mengalami kerugian dengan tingkat koefisien variasi

yang tinggi, dengan demikian perlu diaktifkannya kembali kelompok tani yang

ada di Desa Setonorejo agar informasi, keluhan dan pendapat petani dapat

tersalurkan, selain itu penjualan tebu dilakukan langsung kepada pabrik gula agar

penerimaan petani lebih tinggi, dan pemerintah sebaiknya lebih memperhatikan

lagi penyuluhan budidaya tebu, karena selama ini petani di Desa Setonorejo dalam

pembudidayaan tebu masih secara manual (berdasarkan pengalaman saja) dan

tidak pernah ada pendampingan dari pihak penyuluh. Selain itu, bantuan seperti

bibit unggul tebu juga sangat diharapkan, karena belum ada bantuan terkait bibit

unggul tebu, dan pemerintah sebaiknya mengkaji ulang terkait pemberlakuan PPN

10%, karena hal tersebut mampu memberatkan petani tebu.

Page 84: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Kabupaten Kediri. 2016. Statistik Daerah Kabupaten Kediri.

Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Tebu Indonesia (Indonesian Sugar Cane Statistics). BPS-Statistik Indonesia.

Basuki Seno.,dkk. 2010. Pengembangan Teknopreneur Berbasis Pertanian untuk Meningkatkan Pemberdayaan Masyarakat: Analisis Pendapatan Kompetitif Usahatani Tebu di Kabupaten Blora. ISBN: 978-602-99470-2-1. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah.

Darmawi, Herman. 2014. Manajemen Risiko. Edisi 1 Cetakan ke 14. Jakarta: Bumi Aksara.

Firdaus, Muhammad. 2009. Manajemen Agribisnis. Edisi 1 Cetakan ke-2. Jakarta: Bumi Aksara.

Hasan, Nasrodin. 2006. Analisis Harga Pokok Produksi Gula pada Petani Tebu Rakyat yang Tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat PG. Soedhono Kabupaten Ngawi Propinsi Jawa Timur. Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Hernanto, Fadholi. 1991. Ilmu Usaha Tani. Jakarta: Penebar Swadaya.

Idris, Muhammad. 2017. Harga Tebu Bisa Anjlok Gara-gara Swasta Boleh Impor Gula. https://finance.detik.com/industri/d-3399154/harga-tebu-bisa-anjlok-gara-gara-swasta-boleh-impor-gula. Diakses pada tanggal 29 Maret 2017 pukul 20.20 WIB.

Malang Today. 2017. Penerapan PPN 10 Persen Bakal Tambah Derita Petani Tebu. https://malangtoday.net/malang-raya/kabupaten-malang/penerapan-ppn-10-persen-bakal-tambah-derita-petani-tebu/. Diakses pada tanggal 12 Juli 2017 Pukul 14.00 WIB.

Maulidah, Silvana. 2012. Biaya, Penerimaan dan Pendapatan (Ilmu Usahatani). Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya.

Narbuko dan Achmadi. 2013. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.

Nugroho Bernardus.,dkk. 2012. Metode Kuantitatif (Pendekatan Pengambilan Keputusan untuk Ilmu Sosial dan Bisnis. Jakarta: Salemba Humanika.

Potensi Desa dan Kelurahan. 2017. Profil Desa dan Kelurahan. Pemerintah Kabupaten Kediri Kecamatan Kras Desa Setonorejo.

Prastanti, Gita Dwi. 2014. Analisis Perilaku Petani Terhadap Risiko Usahatani Padi Organik (Studi Pada Kelompok Tani Sumber Makmur I, Desa Sumberngepoh, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur). Skripsi Universitas Brawijaya. Tidak Dipublikasikan.

Page 85: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

67

Priyono, Santo. 2006. Analisa Kondisi Usaha dan Rancang Ulang Tata Letak Industri Gula Merah Tebu (Studi Kasus di Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun). Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2016. Outlook Tebu Komoditas Pertanian Subsektor Perkebunan. Sekretariat Jenderal-Kementerian Pertanian.

Ratnasari, Ika. 2013. Analisis Perilaku Petani terhadap Risiko Usahatani Sayuran Organik. (Studi Kasus pada Komunitas Organik Brenjonk, Desa Penanggungan, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur). Skripsi Universitas Brawijaya. Tidak Dipublikasikan.

Rohmah Wasilatur.,dkk. 2014. Analisis Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Petani Tebu Tanam dan Keprasan di Kabupaten Bantul. Agro Ekonomi Vol. 24 No. 1 Juni 2014. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada.

Salim, Abbas. 2007. Asuransi dan Manajemen Risiko. Edisi ke 2 Cetakan ke 9. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Shinta, Agustina. 2011. Ilmu Usahatani. Malang: UB Press.

Shinta, Agustina. 2016. Keputusan Penggunaan Input dan Capaian Pendapatan Didasarkan Pada Preferensi Petani Terhadap Risiko Usahatani Padi di Kabupaten Malang. Departemen Agribisnis Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya.

Shinta, Agustina. 2016. The influence of Technical Inefficiency Level that Involve Farmer’s Behaviour on Risk Towards Profit in Rice Production of Indonesia. Faculty of Agriculture. University of Brawijaya. Indonesia.

Shinta, Agustina.,dkk. 2016. Incorporating Risk Preferences of Farmers and Technology in Analysing the Total Faktor Productivity of Rice Farming in Malang, Indonesia. Fakulty Agriculture. University of Brawijaya. Indonesia.

Shinta, Agustina.,dkk. 2016. Measurement of Technical Efficiency that Involving Farmers Preferences Towards Risk of Rice Farming in Malang (Indonesia). Faculty of Agriculture. Universitas Brawijaya. Indonesia.

Siregar, Syofian. 2014. Statistik Parametrik untuk Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Bumi Aksara.

Soedjana, Tjeppy. 2007. Sistem Usahatani Terintegrasi Tanaman-Ternak Sebagai Respons Petani Terhadap Faktor Risiko. Jurnal Litbang Pertanian 26(2). Pusat Penelitian dan Pengembangan. Peternakan.

Page 86: ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO ...repository.ub.ac.id/5260/1/Reni%20Dwi%C2%A0Astutik.pdfANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT RISIKO USAHATANI TEBU (Saccharum officinarum L) (Studi

68

Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

Soekartawi.,dkk. 1993. Risiko dan Ketidakpastian dalam Agribisnis (Teori dan Aplikasi). PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Subiyono dan Wibowo. 2005. Agribisnis Tebu (Membuka Ruang Masa Depan Industri Berbasis Tebu Jawa Timur). Jakarta: PERHEPI (Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia.

Susilo, Djoko. 2016. Model Pengembangan Tata Niaga Gula Berbasis Kesejahteraan Petani Tebu. Universitas Jember.

Suwarto dan Octavianty Yuke. 2010. Budidaya 12 Tanaman Perkebunan Unggulan. Jakarta: Penerbiat Swadaya.

Tarigan. 2009. Analisis Risiko Produksi Sayuran Organik pada Permata Hati Organic Farm di Bogor, Jawa Barat. Program Sarjana Penyelenggaraan Khusus Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor.

Tingkat Perkembangan Desa dan Kelurahan. 2017. Profil Desa dan Kelurahan. Pemerintah Kabupaten Kediri Kecamatan Kras Desa Setonorejo.

Toledo Roger.,dkk. 2011. Evaluation of Risk Factors in Agriculture: An Application of the Analitycal Hierarchical Process (AHP) Methodology. Chilean Journal of Agricultural Research 71(1) :114-121.

Toyamah.,dkk. 1999. Deregulasi Perdagangan Regional dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian Daerah. Kasus: Jawa Timur. SMERU: Laporan Lapang. Edisi Perbaikan.

Wiradi, Gunawan. 2009. Studi Agraria. Bogor: Sajogyo Institute.