analisis nilai tambah dan daya saing serta dampak ... · analisis nilai tambah dan daya saing serta...
TRANSCRIPT
ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK
KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE
DI KABUPATEN BOGOR
(Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup)
Oleh:
MERIKA SONDANG SINAGA
A14304029
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBER DAYA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN
MERIKA SONDANG SINAGA . Analisis Nilai Tambah dan Daya Saing serta
Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Indusri Tempe di Kabupaten Bogor
(Kasus: Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup). Dibimbing oleh YAYAH K.
WAGIONO
Indonesia merupakan negara sedang berkembang dengan karakteristik laju
pertumbuhan penduduk yang pesat. Pertambahan jumlah penduduk ini tentu
diiringi pula dengan pertambahan kebutuhan akan pangan. Di samping itu terjadi
perubahan pola pangan, dari tinggi karbohidrat dan rendah protein menjadi
cenderung rendah karbohidrat dan tinggi protein. Fenomena tersebut
mengakibatkan permintaan terhadap sumber protein menjadi semakin meningkat.
Berdasarkan data dari BPS, diketahui bahwa konsumsi protein penduduk
Indonesia per kapita pada tahun 1999, 2002, 2005, dan 2007 secara berturut-turut
adalah 50.21 gram, 56.31 gram, 58.63 gram, dan 59.38 gram.
Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang tinggi tingkat
permintaannya. Permintaan kedelai sangat tinggi sedangkan produksi kedelai
dalam negeri belum mampu mencukupi permintaan terhadap komoditi tersebut.
Adanya kesenjangan antara jumlah konsumsi dengan jumlah produksi
mengakibatkan Indonesia melakukan impor kedelai. Pemenuhan kebutuhan
kedelai Indonesia dilakukan secara impor sekitar 60-65 persen dari total
kebutuhan yang ada, sedangkan sisanya sekitar 35-40 persen melalui produksi
dalam negeri.
Komoditi kedelai yang pemenuhan kebutuhannya didominasi impor
seharusnya digunakan bagi kegiatan yang mampu memberikan nilai tambah yang
tinggi. Kedelai tidak hanya digunakan bagi kegiatan konsumsi secara langsung
akan tetapi lebih mengarah pada aktifitas yang dapat meningkatkan nilai tambah
bagi komoditi tersebut. Pengolahan kedelai pada industri tempe merupakan
bentuk alternatif usaha dalam rangka meningkatkan nilai tambah komoditi
tersebut.
Industri tempe merupakan industri yang terkait langsung dengan komoditi
kedelai. Selain memiliki prospek pasar yang cukup baik akibat tingginya tingkat
permintaan, keberadaan industri tempe juga memiliki pengaruh yang cukup besar
terhadap penyerapan tenaga kerja. Keunggulan aktifitas pengolahan kedelai ini
penting untuk diperhatikan terkait dengan kondisi bahan baku yang didominasi
impor.
Demikian halnya dengan Kabupaten Bogor, menurut Dinas Perindustrian
Kabupaten Bogor, kebutuhan kedelai untuk industri olahan di wilayah tersebut
tergolong tinggi yaitu 33.960 kg tiap harinya. Sampai dengan Januari 2008
terdapat sekitar 202 pengrajin tempe di kabupaten ini. Dihadapkan pada fenomena
tingginya tingkat konsumsi kedelai impor pada industri olahan berbahan baku
kedelai, maka tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu menganalisis nilai tambah
yang mampu dihasilkan industri tempe; menganalisis keunggulan komparatif dan
kompetitif industri tempe; serta menganalisis dampak kebijakan pemerintah pada
industri tempe di Kabupaten Bogor. Desa Citeureup dipilih untuk mewakili
industri tempe Kabupaten Bogor karena daerah tersebut merupakan sentra
produksi tempe terbesar di Kabupaten Bogor dengan jumlah 100 unit usaha
tempe.
Tujuan penelitian pertama dijawab dengan menggunakan analisis nilai
tambah Meode Hayami. Perhitungan nilai tambah ini didasarkan pada satu satuan
bahan baku utama yaitu satu kilogram kedelai. Selain itu, digunakan pula alat
analisis Policy Analysis Matrix dan analisis sensitivitas. Melalui pendekatan ini
akan dilihat bagaimana keunggulan kompetitif dan komparatif yang dimiliki
industri tempe di Kabupaten Bogor sekaligus dampak kebijakan yang diterapkan
pemerintah terkait dengan kegiatan produksi pada industri tersebut. PAM bersifat
statis sehingga untuk melihat seberapa besar pengaruh dan tingkat kepekaan
apabila terjadi perubahan-perubahan baik pada input yang digunakan maupun
pada ouput yang dihasilkan akibat perubahan yang terjadi, maka dilakukan
analisis sensitivitas sebagai langkah lanjutan.
Perhitungan nilai tambah pada industri tempe di desa Citeureup dilakukan
pada periode produksi Maret 2008. Pada dasarnya, pengrajin tempe di daerah
penelitian melakukan kegiatan produksinya setiap hari sehingga strukur biaya
yang digunakan merupakan struktur biaya produksi rata-rata setiap hari dikali tiga
puluh. Struktur biaya produksi pada industri tempe terdiri atas biaya pengadaan
bahan baku kedelai (78,44 persen), bahan baku lainnya (5,67 persen), tenaga kerja
(8,30 persen), penyusutan peralatan (6,06 persen), pajak (0,78 persen), dan sewa
tempat (0,75 persen).
Hasil perhitungan analisis nilai tambah menunjukkan bahwa nilai faktor
konversi pada industri tempe sebesar 1,6. Nilai ini menunjukkan bahwa setiap
satu kilogram kedelai yang diolah akan menghasilkan 1,6 kilogram tempe.
Industri pengolahan kedelai menjadi tempe di Desa Citeureup menunjukkan
bahwa industri tersebut mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 2.198,91
per kilogram input kedelai. Rasio nilai tambah yang dimiliki yaitu 21,14 persen.
Nilai koefisien tenaga kerja yang diperoleh yaitu 0,02. Nilai ini dapat
diinterpretasikan sebagai jumlah Hari Orang Kerja yang diperlukan untuk
memproduksi satu kilogram kedelai hingga menjadi tempe adalah 0,02 HOK
(1HOK = 7 jam kerja). Apabila nilai koefisien tenaga kerja tersebut dikali dengan
banyaknya unit usaha tempe di Indonesia maka dapat dilihat banyaknya jumlah
tenaga kerja yang dapat terserap oleh industri tempe.
Industri tempe di desa Citeureup layak untuk dijalankan baik berdasarkan
perhitungan pada analisis finansial maupun analisis ekonomi. Di samping itu,
industri tersebut dapat dikatakan memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan
kompratif. Hal ini terlihat dari nilai PCR dan DRC nya yang lebih kecil dari satu.
Berdasarkan analisis kebijakan pemerintah pada sisi output, industri tempe di
daerah penelitian memiliki TO dan NPCO masing-masing senilai Rp -1.555,14
dan 0,8699 (NPCO < 1). Pada analisis kebijakan pemerintah pada sisi input
diketahui TI senilai Rp 180,25, NPCI sebesar 1,0765, dan transfer faktor senilai
Rp 261,91. Analisis kebijakan input-output dapat didekati dengan menggunakan
indikator EPC, TB, PC, dan SRP. Nilai keempat indikator tersebut masing-masing
secara berurutan adalah 0,8192; Rp –1.997,30; 0,5274; dan -0,2540.
Apabila terjadi kenaikan harga kedelai sebesar 60 persen dengan asumsi
faktor lain dianggap tidak berubah, maka industri tempe di daerah penelitian tidak
lagi memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini terlihat dari keuntungan privat yang
bernilai negatif dan nilai PCR yang lebih besar dari satu. Sebaliknya,berdasarkan
analisis ekonomi, meskipun terjadi perubahan harga kedelai industri tempe di
daerah penelitian masih tetap memiliki keunggulan komparatif. Hal ini terlihat
dari keuntungan sosial senilai Rp 263,69 dengan nilai DRC 0,9680 (DRC < 1).
Jika kenaikan harga input kedelai sebesar 60 persen diimbangi pula dengan
kenaikan harga output sebesar 46 persen, industri tempe di Desa Citeureup
ternyata layak untuk diteruskan baik secara finansial maupun ekonomi. Di
samping itu, industri tempe juga efisien secara finansial maupun ekonomi. Hal ini
dapat dilihat dari nilai PCR dan DRC yang dihasilkan lebih kecil dari satu, dengan
kata lain indusri tersebut masih memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.
ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK
KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE
DI KABUPATEN BOGOR
(Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup)
MERIKA SONDANG SINAGA
A14304029
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBER DAYA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Judul : Analisis Nilai Tambah dan Dayasaing serta Dampak
Kebijakan Pemerintah terhadap Industri Tempe di
Kabupaten Bogor (Kasus: Desa Citeureup, Kecamatan
Citeureup)
Nama : Merika Sondang Sinaga
Nomor Registrasi Pokok : A14304029
Menyetujui,
Dosen Pembimbing,
Ir. Yayah K. Wagiono, MEc
NIP. 130 350 044
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian, IPB
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr
NIP. 131 124 019
Tanggal kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Mei 2008
Merika Sondang Sinaga
A14304029
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Merika Sondang Sinaga, lahir pada tanggal 25 April 1986 di
Desa Poncowarno, Kecamatan Kalirejo, Kabupaten Lampung Tengah, Lampung.
Penulis merupakan anak ketiga dari enam bersaudara, dari pasangan Elyas Sinaga
dan Maria Turnip.
Riwayat pendidikan penulis dimulai dari menamatkan sekolah di TK
Xaverius Kalirejo. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan di Sekolah Dasar
(SD) Fransiskus Kalirejo yang diselesaikan pada tahun 1998. Penulis kemudian
melanjutkan sekolah ke SLTP Xaverius Kalirejo, lulus pada tahun 2001. Setelah
itu penulis kembali melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Kalirejo, Lampung
Tengah dan lulus pada tahun 2004.
Pada tahun 2004 penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi. Penulis diterima di Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk (USMI) IPB. Selama pendidikan, penulis aktif di beberapa kegiatan
kampus. Penulis juga aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Persekutuan
Mahasiswa Kristen (PMK) IPB pada Komisi Pelayanan Khusus sebagai Kepala
Bidang Pelayanan Responsi tahun 2006-2007. Pada tahun ajaran 2007-2008
penulis menjadi asisten Mata Kuliah Agama Kristen Protestan bagi mahasiswa
Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”
Analisis Nilai Tambah dan Daya Saing serta Dampak Kebijakan Pemerintah
terhadap Industri Tempe di Kabupaten Bogor (Kasus: Desa Citeurep, Kecamatan
Citeureup). Topik ini menarik untuk dianalisis dengan latar belakang bahwa
tingkat ketergantungan Indonesia terhadap kedelai sebagai bahan baku utama
industri tempe sangatlah tinggi.
Berdasarkan fenomena tingginya tingkat ketergantungan industri tempe
terhadap bahan baku impor, maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah
menghitung besaran nilai tambah yang mampu diciptakan industri tempe. Di
samping itu, dilakukan pula analisis terhadap daya saing serta dampak kebijakan
pemerintah terhadap industri tersebut.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Yayah. K. Wagiono, M.Ec atas
materi dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan
skripsi. Akhir kata, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca mengenai tulisan ini agar dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Mei 2008
Merika Sondang Sinaga
A14304029
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-singginya, penulis
sampaikan kepada:
1. Bapa, Putra, dan Roh Kudus untuk penyertaan dan kasih karunia yang
penulis boleh rasakan sepanjang hidup. Penulis percaya bahwa tidak ada
yang mustahil bagi-Mu Bapa.
2. Ayahanda Elyas Sinaga dan Ibunda Maria Turnip atas segala kasih sayang,
dukungan, doa, motivasi, serta bimbingan sehingga penulis bisa menjadi
seperti sekarang.
3. Ir. Yayah K Wagiono, M.Ec yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan
pikiran untuk membimbing penulis selama penyusunan skripsi. Dr. Ir. Ahyar
Ismail, M.Agr selaku dosen penguji utama dan Etriya, SP, MM selaku dosen
penguji wakil departemen atas saran dan kritik dalam rangka penyempurnaan
tugas akhir penulis. Dr. Ir. M. Parulian. Hutagaol selaku dosen pembimbing
akademik atas masukan selama penulis menempuh pendidikan di IPB.
4. Saudara-saudara penulis yang terkasih: Yohannes Sinaga beserta keluarga,
Jonser Sinaga, Ferdinan Sinaga, Fernando Sinaga, Mawar Sari Sinaga.
Terimakasih atas dukungan dan kasih sayang yang diberikan. Semoga
masing-masing kita menjadi manusia yang berguna dan bisa menjadi saluran
berkat bagi lingkungan sekitar.
5. Rolas TE. Silalahi, Martyanti RB. Sianturi, Lenny J. Sinaga, Marlina TJ.
Siahaan, Rocky DF. Silalahi, Jimmy A. Siahaan, dan Natalia atas
kebersamaan, sukacita dan persahabatan yang ditawarkan kepada penulis
selama pendidikan. Selamat berjuang di dunia yang baru!
6. Agus Frans Manalu atas dukungan, motivasi, persahabatan dan kasih sayang
yang telah diberikan sejak tingkat satu hingga kini. Terimakasih untuk setiap
proses yang boleh kita lewati bersama. Semoga apa yang kita jalani bisa
menjadikan kita saling membangun, saling mendukung, saling melengkapi
dan saling mendewasakan.
7. Keluarga Atalia: Joel, Sriyo, Waldemar, Lisbhet, Bambang, Natalina, Tio
Panta, Bertha, Rhoma, Nonly.
8. Lestari Girsang, Enie Sidabutar, Mega Indah, Fransius Silitonga atas
kebersamaan, keceriaan, dan persahabatannya selama ini. Sukses buat kita
semua.
9. Gadis-gadis cantik di Malibu: Margareth, Grace, Febri, Risma, Yuli, Anggie.
10. Rekan-rekan seperjuangan di EPS angkatan 41 yang tidak dapat disebutkan
satu per satu. Sampai bertemu lagi pada 4 Januari 2014!
11. Teman-teman sepelayanan di Kopelkhu yang berperan besar dalam
pembentukan karakter penulis.
12. Wanatirta’s crew: Riyanti, Bagus, Arman, Dian Sastrow, Tri Utami.
13. Para pengrajin tempe di Desa Citeurep yang telah bersedia menjadi
responden dalam penelitian dan seluruh pihak yang telah berpartisipasi dalam
penyusunan skripsi penulis.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ....................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ............................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vi
I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ............................................................................................. 1
1.2 Perumusan masalah ..................................................................................... 4
1.3 Tujuan penelitian ........................................................................................ 8
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi industri dan agroindusri .............................................................. 10
2.2 Produksi tempe......................................................................................... 11
2.3 Studi terdahulu ......................................................................................... 12
2.3.1 Studi mengenai industri tempe ......................................................... 12
2.3.2 Studi mengenai analisis nilai tambah ............................................... 13
2.3.3 Studi menganai analisis keunggulan kompetitif dan komparatif ....... 14
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka teoritis ..................................................................................... 16
3.1.1 Definisi daya saing ......................................................................... 16
3.1.2 Keunggulan komparatif .................................................................. 16
3.1.3 Keunggulan kompetitif ................................................................... 18
3.1.4 Kebijakan pemerintah ..................................................................... 19
3.1.4.1 Kebijakan output ................................................................. 22
3.1.4.2 Kebijakan input ................................................................... 26
3.1.5 Policy Analysis Matix ..................................................................... 28
3.1.6 Harga bayangan .............................................................................. 33
3.1.7 Sensitivitas ..................................................................................... 34
3.1.8 Konsep nilai tambah ....................................................................... 34
3.2 Kerangka Operasional ............................................................................ 35
IV METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan waktu penelitian ................................................................... 39
4.2 Jenis dan sumber data ............................................................................. 39
4.3 Metode pengumpulan data ...................................................................... 39
4.4 Metode analisis data ............................................................................... 40
4.4.1 Analisis nilai tambah ...................................................................... 40
4.4.2 Policy Analysis Matrix ................................................................... 41
4.4.3 Analisis sensitivitas ........................................................................ 47
V GAMBARAN UMUM
5.1 Kondisi umum Kabupaten Bogor ............................................................ 48
5.2 Kondisi umum Desa Citeureup ................................................................ 49
5.3 Kondisi umum industri tempe di Desa Citeureup ..................................... 50
5.3.1 Karakteristik responden ................................................................... 50
5.3.2 Keragaan bahan baku ....................................................................... 53
5.3.3 Gambaran kegiatan produksi ........................................................... 56
5.3.4 Pemasaran ....................................................................................... 60
VI PEMBAHASAN
6.1 Analisis nilai tambah pada indusatri tempe di Desa Citeureup. .................. 62
6.2 Analisis daya saing indusatri tempe di Desa Citeureup .............................. 66
6.2.1 Analisis keunggulan kompetitif ........................................................ 68
6.2.2 Analisis keunggulan komparatif........................................................ 69
6.2.3 Analisis kebijakan pemerintah .......................................................... 70
6.3 Analisis sensitivitas pada indusatri tempe di Desa Citeureup .................... 74
VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan ............................................................................................... 78
7.2 Saran ......................................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 80
DAFTAR TABEL
No. Hal 1. Rata-rata Konsumsi Protein Per Kapita Sehari (dalam gram) 1
2. Data Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Indonesia
Tahun 1997-2006 2
3. Data Perkembangan Kebutuhan, Produksi dan Impor Kedelai Indonesia
Tahun 2003-2006 3
4. Jumlah Kebutuhan Kedelai Harian untuk Industri Olahan Kabupaten
Bogor Januari 2008 7
5. Jumlah Industri Tempe di Kabupaten Bogor Januari 2008 7
6. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditi 20
7. Matriks Analisis Kebijakan (PAM) 29
8. Kerangka Analisis Nilai Tambah 41
9. Kontribusi Kelompok Sektor dalam Perekonomian Kabupaten Bogor
tahun 2003-2006 49
10. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur 50
11. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan 51
12. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Usaha 51
13. Distribusi Responden Berdasarkan Skala Usaha 52
14. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga 52
15. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja 53
16. Biaya Produksi pada Industri Tempe dengan Skala Usaha Seratus
Kilogram Kedelai Per Hari 56
17. Harga Tempe Menurut Ukuran pada Harga Pasar 61
18. Hasil Analisis Nilai Tambah pada Industri Tempe di Desa Citeureup
Maret 2008 64
19. Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup,
Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus
Kilogram per hari (Rp/kg) 67
20. Indikator Penilaian Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe
di Desa Citeureup 67
21. Indikator Penilaian Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe
di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala
Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai
naik 60 Persen. 76
22. Indikator Penilaian Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe
di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala
Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai
Naik 60 Persen diimbangi Harga Output Naik 46 Persen. 77
DAFTAR GAMBAR
No. Hal.
1. Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang impor
(S+PI) dan (S+CI). 24
2. Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang ekspor
(S+PE) dan (S+CE). 25
3. Dampak hambatan perdagangan pada komoditi impor 26
4. Pajak dan subsidi pada input tradable. 27
5. Pajak dan subsidi pada input non tradable. 28
6. Bagan kerangka pemikiran operasional 38
7. Proses perebusan kedelai 56
8. Kedelai dicuci dan diberi ragi 57
9. Kedelai dibungkus dengan daun dan plastik 58
10. Tempe diperam dan siap dipasarkan 58
11. Persentase empat komponen biaya penting dalam industri tempe 63
DAFTAR LAMPIRAN
No. Hal
1. Alokasi Biaya Input dan Output dalam Komponen Domestik Asing 82
2. Perhitungan Standar Convertion Factor dan Shadow Exchange Rate
(SER) tahun 2001-2007 (Milyar Rupiah) 83
3. Biaya Produksi Industri Tempe dengan Skala Usaha Seratus Kilogram
Kedelai Per Hari 84
4. Biaya Produksi Industri Tempe dengan Skala Usaha Seratus Kilogram
Kedelai Per Hari 85
5. Perhitungan Biaya Penyusutan Peralatan 86
6. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik
dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kg Per Hari
Maret 2008 (Rp/kg) 87
7. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik
dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kilogram Per Hari
Maret 2008 (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai Naik 60 Persen 88
8. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik
dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kilogram Per Hari
pada Maret 2008 (Rp/kg) apabila Harga Output Naik 46 Persen 89
9. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik
dan Asing Industri Tempe Skala Usaha 100 kilogram Per Hari
pada Maret 2008 (Rp/kg) jika Harga Input Kedelai Naik 60 persen
dan Harga Output Naik 46 Persen 90
10. Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup,
Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha
Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai
Naik 60 Persen 91
11. Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup,
Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha
Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai
Naik 60 Persen diimbangi dengan Kenaikan Harga Output 46 Persen 91
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara sedang berkembang yang memiliki karakteristik
laju pertumbuhan penduduk yang pesat. Peningkatan jumlah penduduk ini
berpengaruh pada peningkatan permintaan atau kebutuhan akan pangan. Di
samping itu terjadi pula peningkatan pendapatan masyarakat yang berdampak
pada perubahan pola pangan, dari tinggi karbohidrat dan rendah protein menjadi
cenderung rendah karbohidrat dan tinggi protein. Fenomena perubahan pola
pangan tersebut mengakibatkan permintaan terhadap sumber protein menjadi
semakin meningkat. Hal ini tercermin pada tabel berikut.
Tabel 1. Rata-rata Konsumsi Protein Per Kapita Sehari
Uraian Konsumsi (gram)
1999 2002 2005 2007 Perkotaan (rural) 48,61 56,55 59,33 59,69
Perdesaan (urban) 51,68 56,05 57,84 58,95
Rural + Urban 50,21 56,31 58,63 59,38
Sumber: BPS, 2007
Kedelai tergolong ke dalam kategori “secondary crop” atau sebagai tanaman
pangan kedua setelah padi. Komoditi ini merupakan salah satu sumber protein
nabati yang tinggi tingkat permintaannya. Permintaan kedelai akan terus
meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, pendapatan, serta pengetahuan
kesehatan masyarakat (Amang, 1996). Jumlah permintaan terhadap kedelai
meningkat baik untuk pemenuhan kebutuhan protein nabati bagi konsumsi pangan
masyarakat, bagi kebutuhan bahan baku industri olahan maupun bagi bahan pakan
ternak.
Pertumbuhan permintaan kedelai sangat tinggi sedangkan di sisi lain produksi
kedelai dalam negeri belum mampu mencukupi permintaan terhadap komoditi
tersebut. Sejak tahun 2000-2006, produksi kedelai domestik terus menerus
mengalami penurunan. Hal ini disebabkan berkurangnya luasan panen. Luasan
panen yang berkurang didukung pula oleh faktor iklim Indonesia yang kurang
mendukung bagi pertumbuhan tanaman kedelai. Pada dasarnya, kedelai
merupakan tanaman subtropis yang membutuhkan lama penyinaran yang panjang.
Hal ini tidak ditemui di wilayah Indonesia yang beriklim tropis. Kemampuan
Indonesia dalam hal penyediaan kebutuhan kedelai dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 2. Data Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Indonesia
Tahun 1997-2006
Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (ton) Produktivitas (kw/ha)
1997 1.119.079 1.356.891 12,13
1998 1.095.071 1.305.640 11,92
1999 1.151.079 1.382.848 12,01
2000 824484 1.017.634 12,34
2001 678.848 826.932 12,18
2002 544.522 673.056 12,36
2003 526.796 671.600 12,75
2004 565.155 723.483 12,80
2005 621.541 808.353 13,01
2006 580.534 747.611 12,88
Sumber: BPS, 2007 Kondisi yang terjadi di Indonesia yaitu produksi kedelai dalam negeri belum
mampu memenuhi total kebutuhan masyarakat. Adanya kesenjangan antara
jumlah konsumsi dengan jumlah produksi mengakibatkan Indonesia melakukan
impor kedelai. Pemenuhan kebutuhan kedelai Indonesia dilakukan secara impor
sekitar 60-65 persen dari total kebutuhan yang ada, sedangkan sisanya sekitar 35-
40 persen melalui produksi dalam negeri. Rata-rata impor kedelai selama tahun
2000-2005 mencapai 1,218 juta ton atau senilai US $358,366 juta. Nilai impor
kedelai yang cukup tinggi mengakibatkan Indonesia berpotensi kehilangan devisa
sebesar Rp 3 triliun1. Data perkembangan impor kedelai Indonesia dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 3. Data Perkembangan Kebutuhan, Produksi dan Impor Kedelai di
Indonesia Tahun 2003-2006
Kedelai (ribu ton) Tahun 2003 2004 2005 2006
Kebutuhan 1.863 1.838 2.184 2.023
Produksi 671 723 808 747
Impor 1.192 1.115 1.376 1.276
Sumber: BPS, 2007
Kebutuhan akan kedelai meningkat setiap tahunnya sejalan dengan
meningkatnya pertumbuhan penduduk dan perkembangan pabrik pakan ternak.
Konsumsi kedelai per kapita saat ini berkisar 8 kg/kapita/tahun. Melihat
kandungan gizi yang dimiliki, kedelai memiliki potensi yang amat besar sebagai
sumber utama protein nabati bagi masyarakat Indonesia. Sebagai sumber protein
yang tidak mahal, kedelai telah lama dikenal dan digunakan dalam beragam
produk makanan. Pada dasarnya penggunaan kedelai untuk pangan dapat
dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu : (i) pangan yang diolah melalui proses
fermentasi seperti tempe, oncom, tauco, dan kecap; (ii) pangan yang diolah tanpa
melalui proses fermentasi, seperti tahu, tauge, dan kedelai rebus (Amang, 1996).
Kedelai yang didatangkan secara impor banyak digunakan sebagai bahan
baku utama pada industri olahan, salah satunya tempe. Industri tempe merupakan
industri yang terkait langsung dengan komoditi kedelai. Tempe telah dikonsumsi
oleh masyarakat Indonesia sejak lama. Selain memiliki prospek yang cukup baik
akibat selalu adanya permintaan dari pasaran, keberadaan industri tempe juga
memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap penyerapan tenaga kerja. Industri
1 Farid Akwan. 2007. Kedelai Impor Meningkat. http://www.klipingekonomi.com. Diakses tanggal 9 Desember 2007.
tempe mampu menyerap sejumlah tenaga kerja baik yang terkait secara langsung
dalam proses produksi maupun yang terkait dengan perdagangan masukan dan
keluaran industri pengolahan tersebut (Amang, 1996).
Pada umumnya industri pengolahan kedelai tersebut menggunakan kedelai
impor dan kedelai lokal dengan komposisi 65-35 persen2. Kondisi ini tentu terkait
erat dengan kebijakan mengenai impor kedelai yang ditetapkan pemerintah.
Ketika pemerintah menetapkan kebijakan bea masuk terhadap impor kedelai,
kelompok industri yang bahan bakunya didominasi impor ini mengalami
guncangan sehingga sangat berpengaruh terhadap kelangsungan produksi mereka.
Besarnya impor kedelai yang terjadi di Indonesia pada akhirnya berpengaruh pada
besarnya devisa yang dihabiskan. Oleh karena itu, studi mengenai keunggulan
kompetitif dan komparatif pada industri berbahan baku kedelai seperti industri
tempe perlu dilakukan. Perlu diketahui pula seberapa besar nilai tambah yang
dapat diciptakan dari aktifitas produksi serta bagaimana dampak perubahan
kebijakan pemerintah terhadap industri tersebut.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan data dari Badan Pusat Satistik (BPS), produksi kedelai dalam
negeri hanya mampu mencapai 671 ribu ton kedelai pada tahun 2003. Sedangkan
pada tahun yang sama, kebutuhan kedelai jauh lebih besar dari nilai tersebut yaitu
1.863 ribu ton. Perbedaan antara jumlah permintaan dengan penawaran kedelai
dalam negeri mengkibatkan impor kedelai sebesar 1.192 ribu ton kedelai. Begitu
pula dengan tahun 2004, produksi kedelai domestik yaitu 723 ribu ton sedangkan
total kebutuhan kedelai sekitar 1.838 ribu ton dan impor kedelai 1.115 ribu ton
2 Anonim. 2007. Rencana Pengenaan Tarif BM Kedelai dapat Membebani Pengusaha Tempe. http://www.kompas.com. Diakses tanggal 9 Desember 2007.
kedelai. Tidak berbeda jauh dengan kondisi pada tahun 2005, produksi kedelai
dalam negeri hanya mampu mencapai 808 ribu ton dari total kebutuhan kedelai
sebanyak 2.184 ribu ton sehingga total impor 1.376 ribu ton kedelai. Tahun 2006
nilai kebutuhan, produksi dalam negeri dan impor kedelai secara berturut-turut
adalah 2.023 ribu ton, 747 ribu ton dan 1.276 ribu ton kedelai
Fenomena seperti di atas menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan
Indonesia terhadap kedelai impor sangat tinggi. Kebutuhan kedelai yang mampu
dipenuhi melalui produksi dalam negeri hanya sekitar 35-40 persen sedangkan
sisanya yaitu sebanyak 60-65 persen dari total kebutuhan masyarakat dipenuhi
melalui impor. Padahal permintaan terhadap komoditi tersebut terus meningkat
seiring dengan pertumbuhan penduduk, pendapatan serta pengetahuan masyarakat
akan kesehatan.
Kedelai baik lokal maupun impor digunakan untuk beberapa kepentingan
diantaranya konsumsi pangan rumah tangga, sebagai bahan baku industri olahan,
serta sebagai pakan ternak. Kebutuhan kedelai sebagai bahan baku industri olahan
merupakan yang paling tinggi, kemudian pakan ternak dan yang terakhir
konsumsi rumah tangga. Tingginya tingkat konsumsi kedelai dalam industri
olahan seharusnya diimbangi dengan kegiatan yang mampu menghasilkan nilai
tambah yang sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan. Penelitian ini akan
membahas mengenai daya saing industri yang berbahan baku kedelai, dalam hal
ini industri tempe. Perlu dianalisis keunggulan komparatif dan kompatitif industri
tempe terkait biaya yang harus dikeluarkan bagi pengadaan bahan baku industri
tersebut.
Kedelai yang pemenuhan kebutuhannya didominasi impor seharusnya
digunakan bagi kegiatan yang mampu memberikan nilai tambah yang tinggi.
Kedelai tidak hanya digunakan bagi kegiatan konsumsi secara langsung akan
tetapi lebih mengarah pada aktifitas yang dapat meningkatkan nilai tambah bagi
komoditi tersebut. Pengolahan kedelai pada industri tempe merupakan bentuk
alternatif usaha dalam rangka meningkatkan nilai tambah komoditi tersebut.
Keunggulan aktifitas pengolahan kedelai ini penting untuk diperhatikan terkait
dengan kondisi bahan baku yang didominasi impor.
Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi
pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50 persen dari konsumsi kedelai
Indonesia dilakukan dalam bentuk tempe, 40 persen tahu, dan 10 persen dalam
bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain-lain). Konsumsi tempe rata-rata
per orang per tahun di Indonesia saat ini diduga sekitar 6,45 kg3. Konsumsi ini
setara dengan 4,76 kg kedelai. Di samping itu, permintaan terhadap tempe
cenderung akan tetap ada karena komoditi ini memang telah dikonsumsi
masyarakat Indonesia sebagai sumber protein nabati sejak lama.
Industri tempe pada umumnya padat karya dan merupakan industri rumah
tangga. Jumlah pengusaha tempe yang telah berproduksi selama ini berpengaruh
pula pada banyaknya tenaga kerja berpenghasilan rendah yang dapat ditampung
oleh industri ini.
Di Kabupaten Bogor terdapat beberapa indusri pengolahan kedelai, termasuk
industri tempe. Hal ini tentu berpengaruh pula pada tingginya tingkat kebutuhan
3 Made Astawan. 2007. Tempe Sumber Antioksidan dan Antibiotika. http://www.gizi.net. Diakses tanggal 18 Desember 2007
kedelai di daerah tersebut. Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa kebutuhan kedelai
untuk industri olahan di Kabupaten Bogor sebanyak 33.960 kg tiap harinya.
Tabel 4. Jumlah Kebutuhan Kedelai Harian untuk Indusri Olahan di
Kabupaten Bogor
No Kecamatan Kebutuhan kedelai (kg/hari) 1 Dramaga 710
2 Cibungbulang 4.985
3 Cisarua 685
4 Citeureup 11.750
5 Leuwiliyang 1.830
6 Ciampea 955 7 Tajurhalang 4.000
8 Ciomas 100
9 Megamendung 480
10 Ciseeng 800
11 Cibinong 1.795
12 Cileungsi 2.760
13 Tamansari 160 14 Parung 2.960
JUMLAH 33.960
Sumber: Disperindag Kabupaten Bogor, 2008.
Menurut Dinas Perindustrian Kabupaten Bogor, sampai dengan Januari 2008
terdapat sekitar 202 pengrajin tempe di kabupaten ini. Jumlah ini merupakan
jumlah pengrajin yang masih dapat bertahan dengan kondisi naiknya harga bahan
baku kedelai akibat penerapan bea masuk impor kedelai pada akhir tahun 2007.
Kecamatan Citeureup, khususnya Desa Citeureup merupakan sentra produksi
tempe terbesar di Kabupaten Bogor dengan jumlah 100 unit usaha tempe. Berikut
disajikan data industri tempe yang terdapat di wilayah Kabupaten Bogor.
Tabel 5. Jumlah Industri Tempe di Kabupaten Bogor Januari 2008
No Kecamatan Jumlah industri
1 Cibungbulang 21
2 Cisarua 6
3 Citeureup 100
4 Leuwiliyang 16
5 Ciampea 7
6 Ciseeng 8
7 Cibinong 4
8 Cileungsi 16
9 Parung 8
JUMLAH 202
Sumber: Disperindag Kabupaten Bogor, 2008
Dihadapkan pada fenomena tingginya tingkat konsumsi kedelai impor pada
industri olahan berbahan baku kedelai, maka permasalahan yang akan dibahas
dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana nilai tambah yang mampu dihasilkan industri tempe di
Kabupaten Bogor?
2. Bagaimana keunggulan komparatif dan kompetitif industri tempe di
Kabupaten Bogor?
3. Bagaimana dampak kebijkan pemerintah terhadap industri tempe di
Kabupaten Bogor?
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dijelaskan,
maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1. menghitung besaran nilai tambah yang dihasilkan industri tempe di
Kabupaten Bogor;
2. menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif industri tempe di
Kabupaten Bogor;
3. menganalisis dampak kebijakan pemerintah pada industri tempe di
Kabupaten Bogor.
Adapun kegunaan dari penelitian ini diantaranya sebagai referensi bagi kalangan
akademisi untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan industri
berbahan baku utama kedelai dan bahan pertimbangan serta sumber informasi
bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan
industri tersebut.
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Industri dan Agroindustri
Menurut Badan Pusat Statistik (2007), industri pengolahan merupakan suatu
kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah barang dasar menjadi
barang jadi atau setengah jadi dan atau barang yang kurang nilainya menjadi
barang yang lebih tinggi nilainya. Penggolongan industri oleh BPS menurut
banyaknya tenaga kerja adalah sebagai berikut:
1. industri besar, dengan jumlah tenaga kerja 100 orang atau lebih;
2. industri sedang, dengan jumlah tenaga kerja antara 20 sampai 99 orang;
3. industri kecil, dengan jumlah tenaga kerja antara 5 sampai 19 orang;
4. industri rumah tangga, dengan jumlah tenaga kerja 1 sampai 4 orang.
Agroindustri merupakan suatu bentuk kegiatan atau aktifitas yang mengolah
bahan baku yang berasal dari tanaman maupun hewan. Soekartawi (2000)
mendefinisikan agroindustri dalam dua hal, yaitu pertama agroindustri sebagai
industri yang berbahan baku utama dari produk pertanian dan kedua agroindustri
sebagai suatu tahapan pembangunan sebagai kelanjutan dari pembangunan
pertanian tetapi sebelum tahapan pembangunan tersebut mencapai tahapan
pembangunan industri.
Soekartawi (2000) juga menyebutkan bahwa agroindustri memiliki peranan
yang sangat penting dalam pembangunan pertanian. Hal ini dapat dilihat dari
kontribusinya dalam hal meningkatkan pendapatan pelaku agribisnis, menyerap
tenaga kerja, meningkatkan perolehan devisa, dan mendorong tumbuhnya industri
lain.
Meskipun peranan agroindustri sangat penting, pembangunan agroindustri
masih dihadapkan pada berbagai tantangan. Terdapat beberapa permasalahan yang
dihadapi agroindustri dalam negeri, antara lain: 1) kurang tersedianya bahan baku
yang cukup dan kontinu; 2) kurang nyatanya peran agroindustri di perdesaan
karena masih berkonsentrasinya agroindustri di perkotaan; 3) kurang konsistennya
kebijakan pemerintah terhadap agroindustri; 4) kurangnya fasilitas permodalan
(perkreditan) dan kalaupun ada prosedurnya amat ketat; 5) keterbatasan pasar; 6)
lemahnya infrastruktur; 7) kurangnya perhatian terhadap penelitian dan
pengembangan; 8) lemahnya keterkaitan industri hulu dan hilir; 9) kualitas
produksi dan prosesing yang belum mampu bersaing; 10) lemahnya
entrepreneurship (Soekartawi, 2000).
2.2 Produksi Tempe
Tempe merupakan makanan tradisional yang telah dikenal masyarakat
Indonesia sejak dulu terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa,
khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Produk ini berbahan baku utama kedelai
dan merupakan hasil dari proses fermentasi. Terdapat tiga faktor pendukung
dalam proses pembuatan tempe yaitu bahan baku yang diurai, mikroorganisme,
dan keadaan lingkungan tumbuh. Bahan baku yang dimaksud yaitu keping-keping
biji kedelai yang telah direbus, mikroorganisme berupa kapang tempe Rhizopus
oligosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, dan yang terakhir yaitu
keadaan lingkungan tumbuh seperti suhu 30° C, pH awal 6,8 serta kelembapan
nisbi 70-80 % (Sarwono, 1994).
Terdapat dua kelompok vitamin pada tempe, yaitu larut air (Vitamin B kompleks)
dan larut lemak (vitamin A, D, E, dan K). Selain itu, keistimewaan lain yang
dimiliki tempe adalah mengandung viamin B12 yang umumnya terdapat pada
produk-produk hewani, tetapi tidak dijumpai pada makanan nabati (sayuran, buah,
dan biji-bijian)4. Dibandingkan dengan kedelai mentah, nilai gizi tempe lebih baik
karena pada kedelai mentah terdapat zat-zat antinutrisi seperti antitripsin dan
oligosakarida penyebab flatulensi. Proses fermentasi yang dilakukan dapat
menghilangkan kedua senyawa tersebut sehingga meningkatkan daya cerna
kedelai (Cahyadi, 2007).
2.3 Studi Terdahulu
2.3.1 Studi Mengenai Indusri Tempe
Studi yang bertujuan untuk menganalisis pendapatan serta nilai tambah yang
diciptakan industri tahu dan tempe di Kota Bogor serta kebijakan yang
berpengaruh terhadapnya dilakukan oleh Dermawan (1999). Berdasarkan studi
tersebut, nilai tambah industri tahu sebesar Rp 2.445,10 per kg kedelai sedangkan
nilai tambah industri tempe sebesar Rp 1.741,07 per kg kedelai. Kebijakan
pemerintah yang diterapkan selama ini secara konseptual cukup baik namun
mengalami kendala dalam pelaksanaannya.
Apretty (2000) melakukan studi mengenai analisis dampak krisis ekonomi
pada industri tempe skala kecil di Desa Citeureup, Kabupaten Bogor. Berdasarkan
penelitian Apretty, dampak krisis ekonomi bagi industri tempe di daerah
penelitian yaitu penurunan produksi. Nilai tambah yang diciptakan pada saat krisis
ekonomi meningkat namun tidak diikuti dengan keuntungan bagi pengusaha
tempe. Strategi yang dilakukan untuk menghadapi krisis ekonomi yaitu melalui
diversifikasi produk dan diversifikasi pasar.
4 Anonim. 2007. Khasiat dan Kandungan Gizi Tempe. http://id.wikipedia.org/wiki/Tempe. Diakses tanggal 18 Desember 2007.
Berdasarkan penelitian mereka, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
industri tempe secara umum adalah kedelai sebagai bahan baku utama, ragi, bahan
pengemas, bahan bakar, air, listrik, peralatan, dan tenaga kerja. Skala produksi
industri tempe pada umumnya tergantung pada ketersediaan bahan baku,
permintaan pasar, serta ketersediaan modal.
2.3.2 Studi Mengenai Analisis Nilai Tambah
Berbagai studi mengenai analisis nilai tambah telah dilakukan oleh beberapa
akademisi. Studi mengenai analisis usaha dan nilai tambah pengolahan ikan pada
industri kerupuk ikan/udang di Indramayu dilakukan oleh Apriyadi (2003).
Menurut Apriyadi, usaha ini layak untuk dikembangkan dengan nilai R/C atas
biaya tunai maupun biaya total yang lebih besar dari satu. Berdasarkan analisis
nilai tambah dapat disimpulkan bahwa semakin besar output yang diproduksi
maka semakin besar nilai tambah yang diperoleh, semakin efisien produsen dalam
berusaha, serta semakin besar pula dayasaing tenaga kerja.
Analisis nilai tambah pada pengolahan kain tenun sutera alam di Kabupaten
Garut dilakukan oleh Muflikh (2003). Untuk menghitung besarnya nilai tambah
yang dihasilkan perusahaan, digunakan analisis nilai tambah Metode Hayami.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa nilai tambah yang dihasilkan perusahaan
adalah 60 persen dari nilai output. Penggunaan benang sutera alam dalam negeri
memberikan nilai tambah dan tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan
penggunaan benang sutera impor. Nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan
kain tenun ikat paling tinggi karena harga jualnya paling mahal.
Jati (2005) melakukan studi mengenai analisis pendapatan dan nilai tambah
industri kecil keripik dan sale hasil produk olahan pisang di Banten. Analisis yang
digunakan yaitu analisis pendapatan dan analisis nilai tambah. Nilai R/C atas
biaya tunai dan biaya total usaha tersebut lebih besar dari satu, yang berarti kedua
kegiatan pengolahan sudah efisien, menguntungkan, dan layak untuk
dilaksanakan. Kegiatan pengolahan pisang menjadi keripik memberikan nilai
tambah yang lebih besar dibandingkan sale.
2.3.3 Studi Mengenai Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif
Penelitian yang menggunakan analisis keunggulan komparatif dan kompetitif
telah banyak dilakukan. Dewi (2004) menggunakan Policy Analysis Matrix dan
analisis sensitivitas untuk mengetahui keunggulan komparatif dan kompetitif serta
dampak kebijakan pemerintah pada pengusahaan kedelai di Kabupaten Boyolali,
Jawa Tengah. Berdasarkan studi Dewi, diperoleh kesimpulan bahwa pengusahaan
kedelai di daerah penelitian memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif
dengan nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu. Melemahnya nilai tukar rupiah
sebesar empat persen tidak begitu berpengaruh terhadap keunggulan komparatif
dan kompetitif pengusahaan kedelai sedangkan kebijakan subsidi mendorong
produsen untuk meningkatkan produksinya.
Dhuhana (2004) melakukan penelitian untuk melihat keunggulan komparatif
dan kompetitif usaha emping melinjo di Kabupaten Serang. Kesimpulan studi
Dhuhana yaitu keuntungan usaha emping melinjo baik dengan intervensi maupun
tanpa intervensi berada di atas normal dengan nilai DRC dan PCR lebih kecil dari
satu. Selain itu, diketahui pula bahwa melemahnya nilai tukar rupiah terhadap
dolar Amerika berdampak pada peningkatan keunggulan komparatif dan
kompetitif. Meningkatnya suku bunga dan upah tenaga kerja berdampak pada
penurunan keuntungan sosial dan privat serta peningkatan sumberdaya domestik
dan rasio biaya privat pada usaha emping melinjo.
Studi mengenai analisis dayasaing dan dampak perubahan kebijakan
pemerintah terhadap komoditi susu sapi di Desa Tajurhalang, Kabupaten Bogor
dilakukan oleh Kuraisin (2006). Analisis yang digunakan pada penelitian ini
adalah PAM dan analisis sensitivitas. Berdasarkan penelitian Kuraisin
disimpulkan bahwa pengusahaan susu sapi menguntungkan dan efisien secara
finansial dan ekonomi dengan nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu. Perubahan
kebijakan pemerintah seperti peningkatan harga pakan sebesar 30 persen, harga
susu sapi sebesar 5 persen serta gabungan keduanya tidak mempengaruhi
keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas susu sapi di daerah penelitian.
Studi terdahulu yang telah dilakukan pada industri tempe di beberapa daerah
pada umumnya terkait dengan perkembangan industri, permintaan dan penawaran,
pola konsumsi, serta analisis usaha pada industri tersebut. Penelitian mengenai
dayasaing industri tempe di Kabupaten Bogor dengan menggunakan Policy
Analysis Matrix (PAM) belum dilakukan. Mengingat tingginya ketergantungan
Indonesia terhadap kedelai impor dalam hal pemenuhan bahan baku industri
olahan, maka diperlukan penelitian untuk menganalisis keunggulan kompetitif dan
komparatif pada industri tersebut. Selain itu perlu dihitung besaran nilai tambah
yang dapat ditimbulkan akibat kegiatan pengolahan kedelai menjadi tempe.
Kedelai yang didatangkan secara impor sebaiknya digunakan pada kegiatan yang
dapat memberikan nilai tambah yang lebih tinggi agar sebanding dengan biaya
yang telah dikeluarkan bagi pengadaan bahan bakunya.
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Teoritis
3.1.1 Definisi Dayasaing
Suatu negara dikatakan memiliki dayasaing pada komoditi tertentu apabila
negara tersebut mampu memproduksi suatu komoditi dengan lebih efisien
dibanding negara lain pada komoditi yang sejenis. Pendekatan yang sering
digunakan untuk mengukur dayasaing suatu komoditi adalah tingkat keuntungan
serta efisiensi dalam pengelolaan komoditi tersebut. Tingkat keuntungan dapat
dilihat dari dua sisi, yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sedangkan
efisiensi meliputi keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif.
3.1.2 Keunggulan Komparatif
Perbedaan ketersediaan faktor sumberdaya alam dan sumberdaya manusia
pada setiap negara mengakibatkan masing-masing negara memiliki kemampuan
yang berbeda dalam memproduksi suatu komoditi. Kondisi ini akan mendorong
terjadinya pemenuhan kebutuhan melalui perdagangan dengan negara lain. Adam
Smith mendasarkan teori perdagangan internasional pada keunggulan absolut
(absolute advantage). Jika sebuah negara lebih efisien daripada (atau memiliki
keunggulan absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi,
namun kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara
lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat
memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi
dalam memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut dan
menukarkannya dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut (Salvatore,
1997).
Pada tahun 1817, David Ricardo menerbitkan buku yang berjudul Principles
of Political Economy and Taxation yang memberikan penjelasan mengenai teori
perdagangan internasional berdasarkan hukum keunggulan komparatif. Menurut
hukum ini, meskipun suatu negara memiliki kerugian absolut terhadap negara lain
dalam memproduksi kedua komoditi, akan tetapi masih terdapat kemungkinan
bagi kedua negara untuk melakukan perdagangan internasional yang saling
menguntungkan (Salvatore, 1997). Suatu negara akan melakukan spesialisasi
dengan memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut
yang lebih kecil (komoditi dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor
komoditi yang memiliki kerugian absolut yang lebih besar (komoditi dengan
kerugian komparatif).
Asumsi yang digunakan dalam teori perdagangan internasional berdasarkan
hukum keunggulan komparatif yaitu : 1. hanya terdapat dua negara dan dua
komoditi; 2. perdagangan bersifat bebas; 3. terdapat mobilitas tenaga kerja yang
sempurna di dalam negara namun tidak ada mobilitas antar keduanya; 4. biaya
produksi konstan; 5. tidak terdapat biaya transportasi; 6. tidak ada perubahan
teknologi; 7. menggunakan teori nilai tenaga kerja. Asumsi satu sampai enam
dapat diterima dengan mudah, asumsi tujuh (teori nilai tenaga kerja) tidaklah
berlaku dan seharusnya tidak digunakan untuk menjelaskan keunggulan
komparatif (Salvatore, 1997).
Ricardo menjelaskan bahwa keunggulan komparatif muncul dari perbedaan
dalam produktivitas tenaga kerja, tetapi tidak menjelaskan secara memuaskan
mengapa produktivitas tenaga kerja berbeda-beda antar negara (Cho and Moon,
2003). Kemudian pada tahun 1933 Heckscher-Ohlin melakukan pengembangan
terhadap teori perdagangan internasional berdasarkan keunggulan komparatif
yang dicetuskan oleh David Ricardo. Heckscher-Ohlin dalam teoremanya
menyebutkan bahwa suatu negara akan mengekspor komoditi yang produksinya
lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di
negara tersebut dan dalam waktu yang bersamaan akan mengimpor komoditi yang
produksinya memerlukan sumberdaya yang relatif langka dan mahal di negara
tersebut.
Keunggulan komparatif merupakan salah satu ukuran dayasaing suatu negara
dalam memproduksi komoditi tertentu berdasarkan analisis ekonomi. Dalam
perhitungannya, konsep ini menggunakan harga sosial atau harga bayangan yang
merupakan harga yang terjadi pada kondisi pasar persaingan sempurna atau
dengan kata lain apabila perekonomian tidak terdistorsi sama sekali. Akan tetapi
pada kenyataanya, kondisi tanpa distorsi tentu tidak akan ditemui dalam dunia
nyata. Oleh karena itu diperlukan juga ukuran dayasaing suatu aktifitas produksi
pada kondisi perekonomian yang aktual.
3.1.3 Keunggulan Kompetitif
Keunggulan kompetitif merupakan ukuran dayasaing pada kondisi
perekonomian aktual. Konsep ini pada mulanya dikembangkan oleh Porter. Porter
menyebutkan bahwa faktor penentu keunggulan bersaing industri nasional
dipengaruhi oleh kondisi fakor; kondisi permintaan, industri pendukung dan
terkait; persaingan, struktur dan strategi perusahaan. Keempat faktor ini didukung
oleh faktor lainnya yaitu peluang dan peran pemerintah. Konsep keunggulan
kompetitif digunakan untuk mengetahui kelayakan suatu aktifitas serta
keuntungan privat yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha berdasarkan harga
pasar.
Konsep keunggulan kompetitif bukanlah suatu konsep yang sifatnya saling
menggantikan dengan dengan konsep keunggulan komparatif, akan tetapi suatu
konsep yang sifatnya saling melengkapi. Konsep keunggulan komparatif
menggambarkan kelayakan suatu kegiatan usaha secara ekonomi dan
perhitungannya didasarkan pada harga sosial, sedangkan konsep keunggulan
kompetitif menggambarkan kelayakan suatu kegiatan usaha secara finansial dan
didasarkan pada harga pasar. Suatu komoditi dapat memiliki keunggulan
kompetitif sekaligus keunggulan komparatif, yang mengindikasikan bahwa
komoditi tersebut layak untuk diproduksi dan dapat bersaing di pasar
internasional.
3.1.4 Kebijakan Pemerintah
Sering kali mekanisme pasar tidak dapat berfungsi secara efisien karena
adanya kegagalan pasar sehingga memerlukan suatu bentuk campur tangan dari
pemerintah. Kebijakan pemerintah ditujukan untuk peningkatan ekspor ataupun
sebagai usaha perlindungan terhadap produk dalam negeri. Intervensi pemerintah
ini dapat diterapkan baik pada output maupun input yang pada akhirnya akan
menimbulkan perbedaan harga output dan input secara finansial dan secara
ekonomi.
Klasifikasi kebijakan harga komoditi dapat dilihat pada Tabel 5 yang dapat
membantu untuk menjelaskan dampak perubahan kebijakan. Tabel tersebut
membedakan tipe kebijakan berdasarkan tiga kriteria yaitu tipe instrumen,
kelompok penerimaan dan tipe komoditi (Monke and Pearson, 1989). Berikut
disajikan tabel klasifikasi kebijakan harga komoditi.
Tabel 6. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditi
Instrumen Dampak pada Produsen Dampak pada Konsumen
Kebijakan subsidi a. tidak merubah harga
pasar dalam nageri b. merubah harga pasar
dalam negeri
Subsidi kepada produsen b. pada barang impor (S + PI ; S – PI) b. pada barang ekspor (S + PE ; S – PE)
Subsidi kepada konsumen c. pada barang impor (S + CI ; S – CI) b. pada barang ekspor (S + CE ; S – CE)
Kebijakan perdagangan (merubah harga pasar dalam negeri)
Hambatan pada barang-barang impor (TPI)
Hambatan pada barang-barang ekspor (TCE)
Sumber: Monke and Pearson, 1989.
Keterangan :
S + = Subsidi
S - = Pajak
PE = Produsen barang orientasi ekspor
PI = Produsen barang substitusi impor
CE = Konsumen barang orientasi ekspor
CI = Konsumen barang substitusi impor
TPI = Hambatan barang impor
TCE = Hambatan barang ekspor
Tipe Instrumen
Dalam tipe instrumen, subsidi dan kebijakan perdagangan merupakan dua hal
yang dibedakan. Apabila dibayarkan dari pemerintah maka disebut subsidi.
Tujuan dan dampak subsidi yaitu menciptakan harga domestik berbeda dengan
harga dunia. Sedangkan kebijakan perdagangan merupakan pembatasan atau
hambatan yang diberlakukan baik pada komoditi impor maupun ekspor.
Hambatan perdagangan ini dapat diterapkan pada harga komoditi (dalam bentuk
tarif) maupun pada jumlah yang diperdagangkan (dalam bentuk kuota). Kebijakan
perdagangan dan subsidi dapat berbeda dalam tiga hal yaitu:
a. implikasinya pada anggaran pemerintah.
Kebijakan perdagangan tidak berpengaruh pada anggaran pemerintah
sedangkan subsidi akan mengurangi anggaran pemerintah apabila berupa
subsidi positif dan menambah anggaran pemerintah apabila berupa subsidi
negatif.
b. tipe alternatif kebijakan.
Intervensi pemerintah dapat dibedakan menjadi delapan tipe subsidi dan dua
hambatan perdagangan (Monke and Pearson, 1989). Delapan tipe subsidi
untuk produsen dan konsumen pada barang ekspor maupun impor yaitu:
1. subsidi positif pada produsen barang impor (S+PI)
2. subsidi negatif pada produsen barang impor (S-PI)
3. subsidi positif pada produsen barang ekspor (S+PE)
4. subsidi negatif pada produsen barang ekspor (S-PE)
5. subsidi positif pada konsumen barang impor (S+CI)
6. subsidi negatif pada konsumen barang impor (S-CI)
7. subsidi positif pada konsumen barang ekspor (S+CE)
8. subsidi negatif pada konsumen barang ekspor (S-CE)
Pada hambataan perdagangan hanya terdapat dua tipe yaitu hambatan
perdagangan pada barang ekspor dan hambatan perdagangan barang impor.
c. tingkat kemampuan penerapan.
Kebijakan subsidi dapat diterapkan pada setiap komoditi baik komoditi
tradable maupun non tradable sedangkan hambatan perdagangan hanya
dapat diterapkan pada komoditi tradable.
Kelompok Penerimaan
Klasifikasi kelompok penerimaan pada kebijakan pemerintah dibedakan
menjadi dua bagian yaitu bagi produsen dan bagi konsumen. Adanya subsidi
maupun kebijakan perdagangan mengakibatkan terjadinya transfer diantara
produsen, konsumen, dan pemerintah. Anggaran pemerintah yang tidak
dibayarkan seluruhnya mengakibatkan produsen diuntungkan dan konsumen
dirugikan, demikian pula sebaliknya. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa
keuntungan yang diterima oleh satu pihak merupakan transfer dari kerugian yang
diderita oleh pihak lain. Akan tetapi transfer ini disertai pula dengan efisiensi
ekonomi yang hilang sehingga keuntungan yang diterima lebih kecil daripada
kerugian yang diderita.
Tipe Komoditi
Tipe komoditi dibedakan menjadi komoditi ekspor dan komoditi impor.
Apabila tidak ada kebijakan harga, maka harga domestik akan sama dengan harga
dunia. Pada kondisi ini, harga yang digunakan untuk barang ekspor adalah harga
fob (free on board) sedangkan untuk barang impor digunakan harga cif (cost
insurance freight).
3.1.4.1 Kebijakan Output
Kebijakan harga terhadap output dapat berupa subsidi (subsidi positif dan
subsidi negatif) maupun hambatan perdagangan (tarif dan kuota). Perubahan yang
terjadi akibat adanya intervensi pemerintah baik berupa subsidi maupun hambatan
perdagangan yaitu perubahan pada harga barang, jumlah barang, surplus produsen
serta surplus konsumen (Monke and Pearson, 1989). Ilustrasi penerapan subsidi
baik pada barang impor maupun ekspor dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Gambar 1(a) menunjukkan subsidi positif untuk produsen barang impor.
Harga yang diterima produsen lebih tinggi dibandingkan harga dunia. Subsidi
positif sebesar Pd-Pw mengakibatkan output yang diproduksi dalam negeri
meningkat dari Q1 ke Q2 dengan tingkat konsumsi tetap pada Q3. Subsidi ini
menyebabkan impor turun dari Q3 - Q1 menjadi Q3 – Q2. Transfer total dari
pemerintah ke produsen yaitu sebesar Q2 x (Pd-Pw) atau PdABPw. Subsidi
menyebabkan barang yang seharusnya diimpor menjadi diproduksi sendiri dengan
biaya korbanan sebesar Q1Q2AC sedangkan jika barang tersebut diimpor biaya
korbanan yang seharusnya yaitu Q1Q2BC sehingga efisiensi ekonomi yang hilang
sebesar CAB.
Gambar 1(b) memperlihatkan subsidi positif untuk konsumen barang impor.
Adanya subsidi yang diberikan pemerintah mengakibatkan harga di pasar
internasional lebih tinggi dibandingkan harga domestik. Subsidi positif sebesar
Pw-Pd mengakibatkan peningkatan konsumsi dari Q3 ke Q4 sedangkan output
produksi dalam negeri menurun dari Q2 ke Q1 sehingga impor mengalami
peningkatan dari Q3-Q2 menjadi Q4-Q1. Transfer yang terjadi sebesar PwGHPd
terdiri dari dua bagian yaitu transfer dari pemerintah pada konsumen sebesar
AGHB dan transfer dari produsen pada konsumen sebesar PwABPd. Hal ini
menunjukkan bahwa terjadi kehilangan efisiensi ekonomi pada sisi produksi dan
konsumsi. Pada sisi produksi, penurunan output dari Q2 ke Q1 mengakibatkan
B
A
C
Q1 Q2 Q3 Q4 Q3 Q2 Q1
A F E G Pw
Pd
Pd
Pw
kehilangan pendapatan sebesar Pw x (Q1-Q2) atau Q1AFQ2 sedangkan input yang
dihemat sebesar Q2Q1BF sehingga terdapat efisiensi ekonomi yang hilang sebesar
FAB. Pada sisi konsumsi, opportunity cost akibat peningkatan konsumsi dari Q3
ke Q4 yaitu Pw x (Q4-Q3) atau sebesar Q3EGQ4 sedangkan kempuan konsumen
untuk membayar sebesar Q3EHQ4 sehingga efisiensi ekonomi yang hilang sebesar
EGH.
P S P S
D B H D
Q Q
(a) S + PI (b) S + CI
Gambar 1. Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang impor (S+PI) dan (S+CI)
Sumber: Monke and Pearson, 1989
Gambar 2(a) menerangkan subsidi bagi produsen barang ekspor. Sama
dengan subsidi pada produsen barang impor, harga domestik lebih tinggi daripada
harga dunia. Hal ini berdampak pada peningkatan jumlah output yang diproduksi
dari dari Q3 ke Q4 dan penurunan konsumsi dari Q2 ke Q1 sehingga jumlah ekspor
pun berubah dari Q3-Q2 menjadi Q4-Q1. Subsidi yang diberikan pemerintah yaitu
sebesar GBAH. Gambar 2(b) merupakan ilustrasi pemberian subsidi bagi
konsumen barang ekspor. Gambar tersebut menunjukkan bahwa harga di pasar
internasional lebih tinggi dibanding harga domestik sehingga konsumsi barang
ekspor meningkat dari Q1 ke Q2. Biaya korbanan dari peningkatan konsumsi yaitu
B H
Q1 Q2 Q3 Q2 Q1
C B
Pw
Pd Pw
Pd
Q4
sebesar Pw x (Q2-Q1) atau sebesar Q1CBQ2 sedangkan kemampuan membayar
konsumen sebesar Q1CAQ2 sehingga efisiensi ekonomi yang hilang sebesar CAB.
P S P
G E F A A
D
Q Q
(a) S + PE (b) S + CE
Gambar 2. Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang ekspor (S+PE) dan (S+CE)
Sumber: Monke and Pearson, 1989
Ilustrasi penerapan hambatan perdagangan dengan mengambil contoh pada
komoditi impor dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 memperlihatkan bahwa
hambatan perdagangan pada barang impor mengakibatkan peningkatan harga baik
bagi produsen maupun konsumen. Kondisi harga yang tinggi ini menyebabkan
output domestik meningkat dari Q1 ke Q2 dan konsumsi turun dari Q3 ke Q4
sehingga impor berkurang dari Q3-Q1 menjadi Q4-Q2. Terjadi transfer pendapatan
dari konsumen sebesar (Pd-Pw) x Q4 atau PdABPw. Transfer ini terdiri atas transfer
yang diterima produsen sebesar PdEFPw dan yang diterima pemerintah sebesar
FEAB. Efisiensi ekonomi yang hilang dari sisi konsumen yang merupakan
perbedaan antara opportunity cost dari perubahan konsumsi Q4BCQ3 dengan
kesediaan membayar Q4ACQ3 adalah sebesar daerah ABC, sedangkan efisiensi
ekonomi yang hilang pada sisi produksi yaitu sebesar EFG.
Gambar 3. Dampak hambatan perdagangan pada komoditi impor Sumber: Monke and Pearson, 1989
3.1.4.2 Kebijakan Input
Input merupakan fakor yang berperan penting dalam aktifitas produksi. Input
dapat digolongkan menjadi input tradable dan input non tradable. Kebijakan yang
berlaku bagi input tradable dapat berupa kebijakan subsidi baik itu positif
maupun negatif dan hambatan perdagangan, sedangkan bagi input non tradable
hanya berlaku kebijakan subsidi baik itu positif maupun negatif. Kebijakan
hambatan perdagangan tidak berlaku pada input non tradable karena input
tersebut diproduksi dan digunakan dalam domestik.
1. Kebijakan input tradable.
Gambar 4 di bawah ini memperlihatkan dampak kebijakan subsidi negatif
(pajak) dan subsidi positif pada input tradable. Pada Gambar 4(a), pajak yang
dikenakan pemerintah bagi input tradable mengakibatkan peningkatan biaya
produksi pada tingkat ouput yang sama sehingga terjadi penurunan produksi
output domestik dari Q1 ke Q2 atau kurva supply bergeser ke kiri atas. Efisiensi
ekonomi yang hilang yaitu seluas daerah segitiga ABC; daerah ini merupakan
S
D
Q Q3 Q4 Q2 Q1
A E
G F B
C
P
perbedaan antara nilai output yang hilang atau Q2CAQ1 dengan biaya untuk
memproduksi output tersebut atau Q2BAQ1.
Dampak penerapan subsidi positif bagi input tradable dapat dilihat pada
Gambar 4(b). Pada gambar ini, terlihat bahwa kebijakan tersebut menyebabkan
peningkatan penggunaan input dari Q1 ke Q2 atau kurva supply bergeser ke kanan
bawah. Efisiensi ekonomi yang hilang yaitu sebesar ABC yang merupakan
perbedaan biaya produksi yang semakin bertambah atau Q1ACQ2 dengan
kenaikan nilai output atau Q1ABQ2.
(a) (b)
Gambar 4. Pajak dan subsidi pada input tradable Sumber: Monke and Pearson, 1989
2. Kebijakan input non tradable.
Efek pengenaan subsidi positif dan negatif pada input non tradable dapat
dilihat pada Gambar 5. Pada Gambar 5(a) terlihat bahwa pengenaan pajak (subsidi
negatif) sebesar Pc-Pp mengakibatkan produksi turun dari Q1 ke Q2. Harga di
tingkat produsen turun menjadi Pp sedangkan harga di tingkat konsumen naik
menjadi Pc. Efisiensi ekonomi yang hilang dari sisi produsen yaitu sebesar DBA
dan dari sisi konsumen sebesar BCA.
A
C
B
Q1 Q2
S
Q
B
A
Q1 Q2
S
C
Pw
P S’
Pw
P
Q
S’
Gambar 5(b) menerangkan dampak subsidi positif pada input non tradable.
Kebijakan tersebut berdampak pada peningkatan produksi dari Q1 ke Q2. Harga
yang diterima produsen meningkat dari Pd menjadi Pp sedangkan harga yang
diterima konsumen menurun dari Pd menjadi Pc. Efisiensi ekonomi yang hilang
diukur dari perbedaan biaya produksi akibat meningkatnya output yang dihasilkan
atau Q1ABQ2 dengan kesediaan membayar konsumen. Total efisiensi yang hilang
yaitu seluas daerah ACD yang terdiri dari inefisiensi ekonomi dari sisi produsen
(ACB) dan dari sisi konsumen (ABD).
(a) (b)
Gambar 5. Pajak dan subsidi pada input non tradable Sumber: Monke and Pearson, 1989
3.1.5 Policy Analysis Matrix
Policy Analysis Matrix (PAM) pertama kali diperkenalkan oleh Eric. A.
Monke dan Scott Pearson pada tahun 1989. Hasil analisis PAM ini dapat
digunakan untuk melihat dampak kebijakan pemerintah pada suatu sistem
komoditi. Menurut Pearson and Gotsch (2004), tiga tujuan utama dari metode
PAM pada hakekatnya ialah memberikan informasi dan analisis untuk membantu
pengambil kebijakan pertanian terkait dengan isu-isu penting bidang pertanian,
menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani, serta menghitung
S
A
D
Q
P
C
B
D
Q2 Q1 Q3
Pd
Pp
Pc
Pp’
P S
D
D
B
C A
Q1 Q2
Pd
Pp
Pc
Q
transfer effects. Matriks PAM terdiri dari dua identitas yaitu identitas tingkat
keuntungan atau profitability identity dan identitas penyimpangan atau
divergences identity (Pearson and Gotsch, 2004).
Asumsi dasar yang digunakan dalam analisis PAM yaitu:
1.pada analisis finansial, perhitungan didasarkan pada harga pasar yang
merupakan harga yang benar-benar terjadi dan diterima oleh produsen dan
konsumen setelah adanya kebijakan;
2.pada analisis ekonomi, perhitungan didasarkan pada harga sosial yang
merupakan harga bayangan atau harga pada kondisi PPS (apabila tidak
terdapat distorsi sama sekali);
3.ouput bersifat tradable dan input dapat dipisahkan dalam komponen asing
dan domestik;
4. eksternalitas positif dan negatif saling meniadakan.
PAM merupakan suatu analisis yang dapat mengidentifikasi tiga analisis
yaitu analisis keuntungan (privat dan sosial); analisis dayasaing (keunggulan
kompetitif dan komparatif); analisis dampak kebijakan. Berkut disajikan matriks
analisis PAM.
Tabel 7. Matriks Analisis Kebijakan (PAM)
Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan
Input
tradable Input
nontradable
Harga Privat A B C D
Harga Sosial E F G H
Dampak kebijakan I J K L
Sumber: Pearson and Gotsch, 2004
A. Analisis keuntungan
1. Keuntungan Privat (D) = A – B – C
Keuntungan privat menunjukkan selisih antara penerimaan dengan seluruh
biaya yang dikeluarkan yang dihitung dengan menggunakan harga pasar. Nilai
keuntungan privat yang lebih besar dari nol berarti secara finansial komoditi
tersebut layak untuk diusahakan. Demikian sebaliknya, jika nilai keuntungan
privat kurang dari nol maka kegiatan usaha tersebut tidak menguntungkan pada
kondisi adanya intervensi pemerintah.
2. Keuntungan sosial (H) = E – F – G
Keuntungan sosial merupakan selisih antara penerimaan dengan seluruh
biaya yang dikeluarkan yang dihitung dengan menggunakan harga bayangan.
Apabila nilai keuntungan sosial lebih besar dari nol berarti pada kondisi pasar
persaingan sempurna, aktifitas pengusahaan komoditi tersebut menguntungkan
secara ekonomi.
B. Analisis keunggulan kompetitif dan komparatif
1. Rasio Biaya Privat (PCR) = BA
C
−
Rasio biaya privat merupakan rasio antara biaya input domestik privat
dengan selisih antara penerimaan privat dengan biaya input tradable privat. Jika
nilai PCR lebih kecil dari satu berarti aktifitas pengusahaan komoditi tersebut
efisien secara finansial atau memiliki keunggulan kompetitif pada kondisi terdapat
intervensi pemerintah. Berlaku sebaliknya jika nilai PCR lebih besar dari satu.
2. Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) = FE
G
−
Apabila nilai Domestic Resousce Cost lebih kecil dari satu, maka kegiatan
pengusahaan suatu komoditi dikatakan efisien pada kondisi tanpa ada kebijakan
pemerintah atau memiliki keunggulan komparatif. Demikian sebaliknya apabila
hasil perhitungan DRC lebih besar dari satu.
C. Analisis dampak kebijakan
1. Kebijakan output
~ Transfer output (I) = A – E
Transfer output merupakan selisih antara nilai penerimaan berdasarkan harga
finansial dan penerimaan berdasarkan harga sosial. Nilai transfer output positif
mencerminkan besarnya transfer dari masyarakat ke produsen karena masyarakat
membeli output dengan harga di atas harga yang seharusnya. Sedangkan nilai
transfer output negatif menunjukkan bahwa kebijakan yang berlaku
mengakibatkan harga output yang diterima produsen lebih rendah dari harga
seharusnya.
~ Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = E
A
Koefisien proteksi output nominal merupakan rasio antara penerimaan
berdasarkan harga finansial dan penerimaan berdasarkan harga sosial. Apabila
nilai NPCO lebih besar dari satu berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan
harga output di pasar lokal lebih tinggi dibandingkan harga di pasar dunia.
2. Kebijakan input
~ Transfer input (J) = B – F
Transfer input merupakan selisih antara biaya berdasarkan harga finansial
dan biaya berdasarkan harga sosial. Nilai transfer input menunjukkan adanya
kebijakan pemerintah pada input tradable. Nilai transfer input positif
mencerminkan bahwa produsen harus membayar inputnya lebih mahal. Apabila
nilai transfer input negatif berarti bahwa produsen tidak perlu membayar secara
penuh korbanan sosial yang seharusnya dibayarkan.
~ Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) = F
B
Koefisien proteksi input nominal merupakan rasio antara biaya input tradable
berdasarkan harga finansial dan biaya input tradable berdasarkan harga sosial.
Nilai NPCI yang lebih besar dari satu menunjukkan adanya proteksi dari
pemerintah terhadap produsen input sehingga sektor yang menggunakan input
tersebut terpaksa dirugikan dengan tingginya biaya produksi.
~ Transfer fakor (K) = C – G
Transfer fakor merupakan indikator yang digunakan untuk menganalisis
dampak kebijakan pemerintah terhadap input non tradable. Apabila transfer fakor
bernilai positif berarti terdapat kebijakan pemerintah yang sifatnya melindungi
produsen input domestik. Nilai transfer faktor diperoleh dari selisih antara biaya
input non tradable privat dengan biaya input non tradable sosial.
3. Kebijakan Input-Output
~ Transfer bersih = D – H
Transfer bersih merupakan selisish antara keuntungan bersih yang benar-
benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya.
~ Koefisien Proteksi Efektif (EPC) = FE
BA
−
−
Nilai EPC menggambarkan arah kebijakan pemerintah apakah bersifat
melindungi atau justru menghambat kegiatan pengusahaan suatu komoditi.
~ Koefisien keuntungan = H
D
Apabila nilai koefisien keuntungan lebih besar dari satu, maka berarti secara
keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen.
Sebaliknya apabila nilai koefisien keuntungan lebih kecil dari satu, berarti
kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima produsen lebih
kecil dibandingkan tidak ada intervensi pemerintah.
~ Rasio Subsidi bagi Podusen (SRP) = BA
L
−
Nilai SRP yang lebih kecil dari satu menunjukkan bahwa kebijakan
pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya
di atas biaya sosial yang seharusnya dikeluarkan.
3.1.6 Harga Bayangan
Menurut Gittinger (1986), harga bayangan atau shadow prices adalah harga
yang terjadi dalam suatu perekonomian bila pasar berada pada keadaan persaingan
sempurna dan kondisi keseimbangan. Gray (1993) menyebutkan bahwa shadow
prices dari suatu produk atau faktor produksi merupakan social opportunity cost,
yaitu nilai tertinggi suatu produk atau faktor produksi dalam penggunaan alternatif
terbaik.
Pada kenyataanya kondisi biaya imbangan sama dengan harga pasar sulit
ditemukan. Oleh karena itu, untuk memperoleh nilai yang mendekati harga sosial
diperlukan penyesuaian terhadap harga yang berlaku. Alasan digunakan harga
bayangan dalam Dewi (2004) yaitu:
1. harga pasar tidak mencerminkan apa yang sebenarnya dikorbankan seandainya
sejumlah sumberdaya yang dipilih dipakai dalam aktifitas tertentu, tetapi tidak
digunakan dalam aktifitas lain yang masih memungkinkan bagi masyarakat;
2. harga yang berlaku di pasar tidak mencerminkan apa yang sebenarnya
diperoleh masyarakat melalui produksi yang dihasilkan dari aktifitas tersebut.
3.1.7 Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas merupakan suatu analisis yang dapat membantu untuk
mengetahui tingkat kepekaan suatu aktifitas produksi apabila terjadi perubahan-
perubahan dalam perhitungan biaya maupun manfaat. Kadariah (2001)
menyebutkan bahwa analisis sensitivitas dapat membantu menemukan variabel-
variabel penting dalam suatu proyek yang harus diperhatikan untuk memperbaiki
perkiraan-perkiraan dan memperkecil bidang ketidakpastian.
Menurut Kadariah (2001), cara melakukan analisis sensitivitas yaitu:
1. mengubah besarnya variabel-variabel penting, masing-masing terpisah, atau
beberapa dalam kombinasi, dengan suatu persentase, dan menentukan berapa
pekanya hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut;
2. menentukan dengan berapa sesuatu variabel harus berubah untuk sampai ke
hasil perhitungan yang membuat proyek tidak dapat diterima.
3.1.8 Konsep Nilai Tambah
Menurut Hayami dalam Ibnu (2001), definisi nilai tambah adalah
pertambahan nilai suatu komoditi karena adanya input fungsional yang
diberlakukan pada komoditi yang bersangkutan. Input fungsional tersebut berupa
proses mengubah bentuk (form utility), memindahkan tempat (place utility),
maupun menyimpan (time utility).
Terdapat beberapa variabel penting yang terkait dengan analisis nilai tambah
yaitu faktor konversi yang menunjuk pada banyaknya output yang dihasilkan dari
satu satuan input; faktor koefisien tenaga kerja yang menunjuk pada banyaknya
tenaga kerja langsung yang diperlukan untuk mengolah satu satuan input; dan
nilai produk yang menunjuk pada nilai output yang dihasilkan dari satu satuan
input (Hayami dalam Jati 2005).
3.2 Kerangka Operasional
Kedelai merupakan komoditi yang strategis dilihat dari peranannya dalam
perekonomian nasional. Sebagai salah satu sumber protein nabati yang banyak
diminati, komoditi ini memiliki tingkat permintaan yang tinggi baik untuk
konsumsi masyarakat, kebutuhan bahan baku industri makanan olahan, serta
pakan ternak. Permintaan kedelai akan terus meningkat seiring dengan
pertumbuhan penduduk, pendapatan, serta pengetahuan kesehatan masyarakat
(Amang, 1996).
Dari sisi penawaran, tingkat produksi kedelai dalam negeri belum mampu
mengimbangi tingginya tingkat permintaan. Terdapat kesenjangan antara jumlah
yang diproduksi dengan jumlah kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu, dalam
pemenuhan kebutuhan kedelai pemerintah melakukan impor dari luar negeri.
Total impor kedelai di Indonesia yaitu sebesar 60-65 persen dari keseluruhan
kebutuhan dalam negeri, sisanya yaitu hanya 35-40 persen yang dapat dipenuhi
melalui produksi domestik.
Permintaan kedelai paling tinggi yaitu bagi pemenuhan kebutuhan bahan
baku industri makanan olahan seperti tempe, kecap, tahu, tauco dan sebagainya.
Menurut data Depperin, jumlah industri kecil dan menengah (IKM) pengolah
kedelai di dalam negeri tercatat 92.400 yang terbagi menjadi 56.760 unit usaha
tempe, 28.600 unit usaha tahu, 1.500 unit usaha kecap, 2.100 unit usaha tauco,
dan 3.430 unit usaha aneka olahan. Industri-indusri tersebut pada umumnya
menggunakan kedelai impor sebagai bahan baku sehingga perkembangannya
berdampak pada volume impor kedelai yang semakin meningkat.
Dihadapkan pada kondisi bahan baku yang didominasi barang impor,
aktifitas industri berbahan baku kedelai seharusnya diarahkan pada kegiatan yang
mampu menciptakan nilai tambah yang tinggi sehingga dapat sebanding dengan
biaya yang telah dikeluarkan untuk mengimpor komoditi tersebut. Akan lebih
baik apabila kedelai yang didatangkan secara impor digunakan pada aktifitas
ekonomi yang dapat berkontribusi pada perekonomian, misalnya dalam hal
penciptaan lapangan pekerjaan maupun dalam hal peningkatan harga jual dan nilai
tambah dari komoditi itu sendiri.
Aktifitas pengolahan kedelai menjadi tempe merupakan salah satu usaha
dalam rangka peningkatan nilai tambah bagi komoditi kedelai. Permintaan
terhadap tempe selalu ada mengingat kandungan gizi yang terkandung di
dalamnya (sumber protein nabati) dan harga yang relatif terjangkau. Industri
tempe yang pada umumnya berupa usaha skala kecil (home insustry) mampu
menciptakan lapangan pekerjaan karena industri ini merupakan industri yang
padat karya. Hal ini merupakan salah satu bentuk kontribusi industri tempe bagi
perekonomian. Oleh karena itu perlu diketahui seberapa besar nilai tambah yang
mampu dihasilkan akibat aktifitas pengolahan kedelai pada industri tempe terkait
dengan biaya yang telah dikeluarkan bagi pengadaan bahan baku industri tersebut.
Pada umumnya industri tempe menggunakan kedelai impor dengan
komposisi 65-35 persen. Hal ini tentu berpengaruh pada besarnya biaya yang
harus dikeluarkan untuk melakukan impor kedelai. Oleh karena itu perlu dianalisis
keunggulan kompetitif dan komparatif dari industri makan olahan berbahan baku
kedelai, dalam hal ini industri industri tempe.
Ketersediaan dan harga bahan baku kedelai yang didatangkan secara impor,
sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang diterapkan pemerintah. Ketika pemerintah
memberlakukan kebijakan pada komoditi kedelai, maka akan sangat
mempengaruhi kegiatan produksi industri industri tempe. Oleh karena itu perlu
dianalisis dampak kebijakan pemerintah pada industri tempe.
Alat analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian pertama
adalah analisis nilai tambah. Analisis ini diperlukan untuk mengetahui nilai
tambah yang mampu diciptakan indutri tempe. Sedangkan untuk menjawab tujuan
penelitian yang kedua digunakan Policy Analysis Matrix (PAM). Alat analisis ini
dipilih karena melalui analisis ini dapat diketahui keunggulan kompetitif dan
komparatif serta dampak kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan industri
tersebut. PAM bersifat statis dan tidak memungkinkan untuk melihat pengaruh
perubahan yang terjadi pada fakor-faktor yang penting dalam industri. Oleh
karena itu, sebagai langkah lanjutan diperlukan analisis sensitivitas untuk
mengetahui tingkat kepekaan industri terkait dengan perubahan-perubahan yang
terjadi baik pada input maupun output.
Keterangan : : di luar batasan penelitian
Gambar 6. Bagan kerangka pemikiran operasional
35-40 persen domestik 60-65 persen impor
Industri Makanan Olahan berbahan baku kedelai
Kebutuhan Kedelai Indonesia
Industri Tempe
Analisis finansial dan ekonomi
Keunggulan Kompetitif ~ Keuntungan Privat ~ PCR
Analisis Nilai Tambah dengan Metode Hayami
Dampak kebijakan pemerintah: 1. Kebijakan Input : IT, NPCI, dan TF. 2. Kebijakan Output : OT dan NPCO. 3. Kebijakan Input-output : NT, EPC, PC, SRP
Analisis nilai tambah yang mampu diciptakan
PAM
Keunggulan Komparatif ~ Keuntungan Sosial ~ DRC
Analisis Sensitivitas : Kenaikan harga kedelai 60 persen Kenaikan harga output 46 persen Sensitivitas gabungan
Industri Pakan Ternak Konsumsi RT
IV METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di daerah industri tempe di Kabupaten Bogor.
Pengambilan data dilakukan pada bulan Maret sampai April 2008. Kecamatan
Citeureup, khususnya Desa Citeureup dipilih untuk mewakili industri tempe
Kabupaten Bogor karena daerah tersebut merupakan sentra produksi tempe
terbesar di Kabupaten Bogor.
4.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan pengisian kuisioner oleh
pengrajin tempe yang berada di daerah penelitian. Data sekunder yang digunakan
berupa literatur yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Dinas Perindustrian,
Perpustakaan LSI, Perpustakaan Fakultas Pertanian, serta website dan situs
terkait. Data yang diperlukan diantaranya data jumlah industri, kapasitas produksi,
struktur biaya produksi dan pendapatan pada industri tempe, serta data penting
lainnya.
4.3 Metode Pengumpulan Data
Sampel yang dipilih untuk menganalisis indusri tempe dalam penelitian ini
yaitu para pengrajin tempe yang berproduksi di daerah penelitian. Desa Citeureup
dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan desa tersebut merupakan
sentra pengrajin tempe di Kabupaten Bogor. Pengambilan sampel dilakukan
dengan menggunakan metode purposive yaitu metode pengambilan sampel secara
sengaja dengan jumlah responden sebanyak 20 pengrajin tempe. Jumlah tersebut
dipilih dengan pertimbangan bahwa data yang diperlukan lebih mengarah pada
struktur biaya produksi pada industri tempe yang umumnya relatif sama
(homogen) antar pengrajin sehingga banyaknya responden tidak begitu
berpengaruh terhadap analisis data.
4.4 Metode Analisis Data
Tujuan penelitian menghitung besaran nilai tambah yang mampu diciptakan
industi tempe di Kabupaten Bogor dijawab dengan menggunakan analisis nilai
tambah Meode Hayami. Pengukuran nilai tambah ini bertujuan untuk mengetahui
besaran nilai tambah yang mampu diciptakan sebagai akibat proses pengolahan
kedelai menjadi tempe. Perhitungan nilai tambah ini didasarkan pada satu satuan
bahan baku utama yaitu satu kilogram kedelai.
Penelitian ini menggunakan alat analisis Policy Analysis Matrix dan analisis
sensitivitas untuk menjawab tujuan penelitian kedua dan ketiga. Melalui
pendekatan ini akan dilihat bagaimana keunggulan kompetitif dan komparatif
yang dimiliki industri tempe di Kabupaten Bogor sekaligus dampak kebijakan
yang diterapkan pemerintah terkait dengan kegiatan produksi pada industri
tersebut. PAM bersifat statis sehingga untuk melihat seberapa besar pengaruh dan
tingkat kepekaan masing-masing industri diperlukan analisis sensitivitas sebagai
langkah lanjutan.
4.4.1 Analisis Nilai Tambah
Seperti telah disebutkan di atas, definisi nilai tambah adalah pertambahan
nilai suatu komoditi karena adanya input fungsional yang berupa form utility,
place utility, time utility. Telah disebutkan pula bahwa variabel yang terkait dalam
analisis nilai tambah yaitu faktor konversi, koefisien tenaga kerja, nilai produk,
dan nilai input lain. Pada penelitian ini, faktor konversi menunjuk pada banyaknya
tempe yang dapat dihasilkan dari satu kilogram kedelai. Koefisien tenaga kerja
sebagai ukuran jam kerja yang diperlukan untuk mengolah satu kilogram kedelai.
Nilai produk dan nilai input lain diinterpretasikan secara berurutan sebagai nilai
tempe per kilogram kedelai yang digunakan dan nilai input lain selain kedelai dan
tenaga kerja yang langsung digunakan bagi kegiatan produksi. Berikut disajikan
tabel kerangka analisis nilai tambah.
Tabel 8. Kerangka Analisis Nilai Tambah
No Variabel Nilai
Output, Input dan Harga
1 Output (kg/tahun) a
2 Bahan baku (kg/tahun) b
3 Tenaga kerja (HOK/tahun) c
4 Faktor konversi (1/2) d = a/b
5 Koefisien tenaga kerja (3/2) e = c/b
6 Harga output (Rp/kg) f
7 Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/HOK) g
Pendapatan dan keuntungan (Rp/kg bahan baku)
8 Harga bahan baku h
9 Sumbangan input lain i 10 Nilai output (4 x 6) j = d x f
11a Nilai tambah (10 – 9 – 8) k = j – h – i
b Rasio nilai tambah ((11a/10) x 100%) l % = (k/j) x 100%
12a Imbalan tenaga kerja (5 x 7) m = e x g
b Bagian tenaga kerja ((12a/11a) x 100%) n % = (m/k) x 100%
13a Keuntungan (11a – 12a) o = k – m
b Tingkat Keuntungan ((13a/11a) x 100%) p % = (o/k) x 100% Balas Jasa Faktor Produksi
14 Marjin (10 – 8) q = j - h
a Pendapatan tenaga kerja r % = (m/q) x 100%
b Sumbangan input lain s % = (i/q) x 100%
c Keuntungan perusahaan t % = (o/q) x 100%
Sumber : Hayami, et.al., dalam Dermawan, 1999
4.4.2 Policy Analysis Matrix
Policy Analysis Matrix merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk
melihat keunggulan kompetitif dan komparatif serta pengaruh intervensi
pemerintah pada suatu komoditas. Kelebihan dari analisis ini yaitu perhitungan
dapat dilakukan secara keseluruhan, sistematis, output beragam serta dapat
digunakan pada sistem komoditas dengan berbagai daerah, tipe dan teknologi
yang digunakan. Kelemahan dari analisis ini yaitu kurang membahas masing-
masing analisis secara mendalam serta tidak memungkinkan untuk melihat
pengaruh perubahan yang terjadi pada fakor-faktor yang penting dalam aktifitas
produksi.
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam analisis PAM yaitu:
1. Menentukan input dan output
Input merupakan faktor baik berupa barang ataupun jasa yang diperlukan
untuk memproduksi suatu komoditi sedangkan output dapat didefinisikan sebagai
barang dan jasa yang dihasilkan dari suatu aktifitas produksi. Input yang
digunakan dalam kegiatan produksi pada industri tempe yaitu kedelai sebagai
bahan baku utama, ragi, pewarna, bahan pengemas, peralatan, tenaga kerja, bahan
bakar. Output yang dihasilkan yaitu tempe.
2. Mengalokasikan komponen biaya domesik dan asing
Menurut Monke and Pearson (1989), terdapat dua pendekatan yang dapat
digunakan untuk mengalokasikan komponen biaya domesik dan asing yaitu
pendekatan langsung dan pendekatan total. Pendekaan langsung mengasumsikan
bahwa seluruh biaya input tradable, baik impor maupun domestik dinilai sebagai
komponen biaya asing. Pendekatan ini dapat digunakan jika tambahan permintaan
input tradable tersebut dapat dipenuhi melalui perdagangan internasional.
Di sisi lain, pendekatan total mengasumsikan bahwa setiap biaya input
tradable dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing dan penambahan
input tradable dapat dipenuhi dari produksi domestik jika input tersebut memiliki
kemungkinan untuk diproduksi di dalam negeri Monke and Pearson (1989).
Penelitian ini menggunakan pendekatan total dalam analisisnya.
3. Alokasi Biaya Tataniaga
Biaya tataniaga merupakan biaya yang diperlukan untuk menambah nilai
suatu barang yaitu kegunaan tempat, bentuk, waktu termasuk di dalamnya
penanganan dan pengangkutan. Dalam penelitian ini, biaya tataniaga ditentukan
dengan cara menghitung biaya yang dikeluarkan untuk mengangkut output hasil
produksi dari produsen hingga ke konsumen. Biaya tataniaga dalam penelitian ini
yaitu sebesar Rp 150,00 per kilogram tempe.
4. Menentukan Harga Bayangan Input dan Output
Harga bayangan merupakan harga yang benar-benar terjadi pada kondisi
keseimbangan dalam kondisi pasar persaingan sempurna. Dalam penelitian ini
akan ditentukan harga bayangan baik pada ouput masing-masing industri serta
input penting yang terkait di dalamnya. Harga bayangan yang digunakan adalah
harga perbatasan (border prices) yaitu tingkat harga internasional yang berlaku di
perbatasan negara yang bersangkutan terhadap luar negeri (Kadariah, 2001).
Output yang diekspor atau memiliki potensi untuk diekspor menggunakan
harga fob (free on board) dalam perhitungan harga bayangannya sedangkan
output yang diimpor menggunakan harga cif (cost insurance freight). Input
dibedakan menjadi input tradable dan non tradable. Input tradable pun dinilai
berdasarkan border prices. Rumus perhitungan harga bayangan yang akan
digunakan sebagai berikut:
Harga bayangan komponen ekspor = ( fob x SER ) – biaya tataniaga
Harga bayangan komponen impor = (cif x SER ) + biaya tataniaga
a. harga bayangan output
Ouput dalam penelitian ini yaitu tempe. Output tersebut termasuk ke dalam
komponen ekspor sehingga perhitungan harga bayangannya menggunakan harga
perbatasan fob yang dikonversikan dengan nilai tukar rupiah bayangan dikurangi
biaya tataniaga. Harga perbatasan fob pada penelitian ini yaitu US$ 1,489 per
kilogram tempe sehingga dengan perhitungan rumus diperoleh harga bayangan
tempe sebesar Rp 12.105,14 per kilogram tempe.
b. harga bayangan input kedelai
Sebagai bahan baku utama, kedelai merupakan komoditi yang dikategorikan
sebagai komponen impor. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan
pendekatan harga bayangan dengan harga perbatasan cif dikali nilai tukar rupiah
bayangan atau SER ditambah biaya tataniaga. Harga cif pada penelitian ini yaitu
US$ 0,515 per kilogram kedelai. Melalui hasil perhitungan diperoleh harga
bayangan untuk komoditi kedelai sebesar Rp 6.500,00 per kilogram kedelai.
c. harga bayangan input ragi
Ragi merupakan bahan baku lain yang juga berperan penting dalam kegiatan
produksi tempe. Ragi ini digolongkan sebagai input non tradable sehingga harga
bayangannya sama dengan harga aktual.
d. harga bayangan peralatan
Kegiatan produksi pada industri tempe tidak terlepas dari input peralatan.
Pemenuhan kebutuhan peralatan pada industri ini ditentukan oleh pasar domestik
dan termasuk kategori input non tradable sehingga harga bayangannya sama
dengan harga aktual.
e. harga bayangan kemasan
Industri tempe menggunakan daun dan plastik sebagai kemasan produk.
Bahan kemasan ini termasuk input non tradable sehingga harga bayangannya
sama dengan harga aktual.
f. harga bayangan bahan bakar
Bahan bakar yang digunakan dalam industri tempe pada umumnya yaitu kayu
bakar dan serbuk kayu sisa furniture. Kedua bahan bakar yang digunakan
termasuk ke dalam komponen input non tradable sehingga harga bayangannya
sama dengan harga aktual.
g. harga bayangan tenaga kerja
Pada umumnya tenaga kerja yang digunakan dalam indusri tempe merupakan
tenaga kerja yang tidak terdidik. Berdasarkan hasil penelusuran studi-studi
terdahulu, rata-rata harga bayangan untuk tenaga kerja tidak terdidik yang
digunakan yaitu 70-80 persen dari tingkat upah yang berlaku di masing-masing
lokasi penelitian. Dalam penelitian ini diasumsikan harga bayangan tenaga kerja
yaitu sebesar 75.29 persen dari tingkat upah yang berlaku di daerah penelitian.
h. harga bayangan tempat
Tempat merupakan salah satu faktor lain yang juga berperan penting dalam
aktifitas produksi pada industri tempe. Dalam penelitian ini, harga bayangan
tempat sama dengan harga aktual karena termasuk komponen non tradable.
i. harga bayangan nilai tukar
Penentuan harga bayangan nilai tukar didasarkan pada formula yang telah
dirumuskan Squire dan Van Der Tak dalam Gittinger (1986) sebagai berikut:
SER = SCF
OER
dengan:
SER = Shadow Exchange Rate (nilai tukar bayangan)
OER = Official Exchange Rate (nilai tukar resmi)
SCF = Standar Exchange Rate (faktor konversi standar)
Nilai faktor konversi standar dapat ditentukan sebagai barikut:
SCF = )()( TXtXtTMtMt
XtMt
−++
+
dengan:
M = Nilai impor pada tahun t
X = Nilai ekspor pada tahun t
TMt = Pajak impor pada tahun t
TXt = Pajak ekspor pada tahun t
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia
pada tahun 2007 adalah Rp580.629,59 milyar sedangkan nilai impornya Rp
364.134,35 milyar. Pada tahun yang sama, penerimaan pemerintah dari pajak
ekspor dan impor secara berturut-turut adalah Rp 453 milyar dan Rp 14.417
milyar. Nilai tukar resmi pada bulan Juli 2007 yaitu Rp 9.141,00 per dolar.
Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai faktor konversi standar (SCF) yaitu
0,9845 dan nilai SER yaitu Rp 9.284,00.
5. Penyusunan Matriks PAM
Matriks PAM terdiri dari tiga baris. Baris pertama merupakan perhitungan
berdasarkan harga privat, baris kedua sebagai perhitungan berdasarkan harga
sosial, serta baris terakhir sebagai selisih antara nilai privat dengan nilai sosial. Di
samping itu, matriks PAM juga terdiri atas empat kolom yaitu kolom pertama
sebagai kolom penerimaan, kolom kedua merupakan kolom biaya input tradable,
kolom ketiga merupakan kolom biaya input non tradable dan kolom terakhir
merupakan kolom keuntungan.
4.4.3 Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas digunakan untuk melihat tingkat kepekaan suatu aktifitas
ekonomi apabila terjadi perubahan-perubahan baik pada input yang digunakan
maupun pada ouput yang dihasilkan serta melihat pula pengaruh yang ditimbulkan
sebagai akibat perubahan yang terjadi.
Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis sensitivitas sebagai berikut:
1. Bila terjadi kenaikan harga kedelai sebesar 60 persen. Hal ini didasarkan
pada pertimbangan di daerah penelitian pernah terjadi kenaikan harga kedelai
dari Rp 3.200 per kilogram menjadi Rp 8000 per kilogram pada Januari 2008.
2. Bila terjadi kenaikana harga input kedelai 60 persen diimbangi kenaikan
harga output 46 persen.
V GAMBARAN UMUM
5.1 Kondisi Umum Kabupaten Bogor
Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung
dengan Ibukota Republik Indonesia. Secara geografis, kabupaten ini terletak
antara 6,19°-6,47° Lintang Selatan dan 106°1’-107°103’ Bujur Timur dengan luas
wilayah sekitar 2.301,95 Km2. Batas wilayah Kabupaten Bogor sebagai berikut:
a. sebelah utara : Kota depok
b. sebelah barat : Kabupaten Lebak dan Kabupaten Tangerang
c. sebelah timur : Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Bekasi
d. sebelah selatan : Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur
Jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2006 yaitu 4.215.436 jiwa.
Jumlah tersebut terdiri atas penduduk laki-laki sebanyak 2.163.853 jiwa dan
penduduk perempuan 2.051.583 jiwa dengan rasio jenis kelamin 1,05. Dari segi
struktur penduduk, Kabupaten Bogor memiliki struktur penduduk muda sehingga
akan mengakibatkan semakin besarnya jumlah angkatan kerja (Kabupaten Bogor
dalam Angka, 2007)
Struktur perekonomian Kabupaten Bogor pada tahun 2006 didominasi oleh
sektor industri pengolahan 64,30 persen kemudian perdagangan, hotel dan
restoran 15,48 persen, dan sektor pertanian 4,69 persen. Kelompok sektor yang
paling banyak berkontribusi terhadap perekonomian Kabupaten Bogor adalah
kelompok sektor sekunder yang terdiri atas sektor industri, listrik, gas, air, dan
sektor bangunan. Hal ini dapat dilihat pada tabel kontribusi kelompok sektor
dalam perekonomian Kabupaten Bogor di bawah ini.
Tabel 9. Kontribusi Kelompok Sektor dalam Perekonomian Kabupaten
Bogor tahun 2003-2006
Kode Lapangan usaha Tahun
Sektor 2003 2004 2005 2006
I PRIMER 7,51 7,01 6,13 5,83
1 Pertanian 5,98 5,65 5,03 4,69
2 Pertambangan 1,53 1,36 1,1 1,14
II SEKUNDER 70,03 70,5 70,56 70,79
3 Industri 63,35 63,73 64,13 64,30
4 Listrik, gas, dan air 3,58 3,63 3,28 3,27
5 Bangunan 3,1 3,14 3,15 3,23
III TERSIER 22,45 22,49 23,31 23,38
6 Perdagangan 14,15 14,21 15,2 15,48
7 Angkutan 2,56 2,58 2,85 2,9
8 Keuangan 1,65 1,64 1,59 1,48
9 Jasa 4,09 4,06 3,66 3,52
PDRB 100 100 100 100
Sumber: BPS Kabupaten Bogor, 2006
5.2 Kondisi Umum Desa Citeureup
Desa Citeureup terletak di wilayah Pembangunan Bogor Timur dan
merupakan salah satu desa di Kecamatan Citeureup. Luas wilayah desa ini sekitar
311 ha. Jarak desa dari ibukota Kecamatan Citeureup yaitu 0,5 km; jarak dari
ibukota Pemerintahan Kabupaten Bogor yaitu 11 km; jarak dari ibukota Provinsi
Jawa Barat yaitu 150 km; dan jarak dari ibukota Negara Republik Indonesia yaitu
50 km.
Bentuk wilayah Desa Citeureup berupa daratan rendah, berbukit, bergunung-
gunung dengan kemiringan 99,80-125°. Desa ini berada pada ketinggian 99,80-
125 di atas permukaan laut dengan curah hujan sekitar 3.000-3.500 mm/tahun.
Batas wilayah Desa Citeureup sebagai berikut:
a. sebelah utara : Desa Gunung Putri, Kecamatan Gunung Putri dan Desa
Bantar Jati, Kecamatan Klapanunggal;
b. sebelah selatan : Desa Karang Asem Timur dan Desa Tarikolot,
Kecamatan Citeureup;
c. sebelah barat : Desa Kelurahan Kar-bar dan Puspanegara, Kecamatan
Citeureup;
d. sebelah timur : Desa Gunung Sari, Kecamatan Citeureup dan Desa
Lulut, Kecamatan Klapanunggal.
Jumlah penduduk Desa Citeureup pada tahun 2006 adalah 17.014 orang
dengan kepala keluarga sebanyak 4.351 orang. Penduduk desa ini terdiri dari
penduduk produktif 9.469 orang, penduduk bekerja 7.156 orang, dan
pengangguran 2.339 orang.
5.3 Kondisi Umum Industri Tempe di Desa Citeureup
5.3.1 Karakteristik Responden
Pengrajin tempe yang terdapat di Desa Citeureup merupakan pendatang dari
Jawa Tengah. Pengrajin yang diambil sebagai responden sebanyak 20 orang,
semuanya berjenis kelamin laki-laki. Responden terbanyak termasuk dalam
kelompok umur 30-39 tahun sebanyak 12 orang atau sekitar 60 persen. Sisanya
termasuk dalam kelompok umur 40-49 tahun sebanyak 6 orang atau 30 persen,
50-59 tahun dan ≥ 60 tahun masing-masing sebanyak 1 orang atau sekitar 5
persen. Berikut disajikan tabel distribusi responden berdasarkan kelompok umur.
Tabel 10. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur
Umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)
30-39 12 60
40-49 6 30
50-59 1 5
≥ 60 1 5
TOTAL 20 100
Kegiatan produksi tempe merupakan mata pencaharian utama bagi para
responden. Faktor utama yang mempengaruhi responden memilih bidang usaha
ini yaitu tidak tersedianya lapangan pekerjaan lain. Hal ini dipengaruhi pula oleh
latar belakang pendidikan responden yang mayoritas hanya sampai di tingkat
Sekolah Dasar (SD) dan tingkat pendidikan tertinggi yaitu Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK). Responden yang mengenyam pendidikan sampai tingkat SD
sebanyak 12 orang, SLTP sebanyak 7 orang dan SMK hanya 1 orang. Berikut
disajikan tabel distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan.
Tabel 11. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)
SD 12 60
SLTP 7 35
SMK 1 5
TOTAL 20 100 Keterampilan dalam membuat tempe yang dimiliki pengrajin pada umumnya
merupakan warisan turun temurun. Pengalaman berusaha para responden yaitu
minimal 7 tahun dan maksimal 25 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa, responden
sangat berpengalaman di bidang usahanya. Berikut disajikan tabel distribusi
responden berdasarkan lamanya usaha.
Tabel 12. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Usaha Lama usaha (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)
≤ 10 6 30
11-20 11 55
≥ 21 3 15
TOTAL 20 100
Skala usaha pada industri tempe di daerah penelitian bervariasi. Paling
sedikit jumlah kedelai yang diolah menjadi tempe oleh responden yaitu sebanyak
30 kilogram per hari sedangkan yang paling banyak yaitu 250 kilogram per hari.
Responden dengan skala usaha < 100 kilogram kedelai per hari yaitu sebanyak 11
orang (55 persen), skala usaha 100-199 kilogram kedelai per hari sebanyak 5
orang (25 persen), dan skala usaha ≥ 200 kilogram kedelai per hari sebanyak 4
orang (20 persen).
Tabel 13. Distribusi Responden Berdasarkan Skala Usaha
Skala usaha (kg kedelai per hari) Jumlah (orang) Persentase (%)
< 100 11 55
100-199 5 25
≥ 200 4 20
TOTAL 20 100
Semua pengrajin tempe yang diambil sebagai responden memiliki status
sudah menikah dengan jumlah tanggungan keluarga beragam. Responden yang
memiliki jumlah tanggungan keluarga 4-6 orang sebesar 70 persen. Sedangkan
sebesar 25 persen memiliki tanggungan keluarga < 3 orang dan sisanya sebesar 5
persen memiliki jumlah tanggungan keluarga ≥ 7 orang.
Tabel 14. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga Tanggungan keluarga Jumlah (orang) Persentase (%)
≤ 3 orang 5 25
4-6 orang 14 70
≥ 7 orang 1 5
TOTAL 20 100
Tenaga kerja yang digunakan dalam industri tempe di daerah penelitian
berasal dari dalam keluarga maupun luar keluarga. Responden dengan skala usaha
relatif kecil atau ≤ 100 kilogram kedelai per hari pada umumnya hanya
menggunakan tenaga kerja dalam keluarga yang terdiri atas tenaga suami dan istri.
Alasan penggunaan tenaga kerja dalam keluarga yaitu untuk menekan biaya
produksi. Skala usaha yang relatif besar cenderung membutuhkan lebih banyak
tenaga kerja sehingga di samping tenaga kerja dalam keluarga digunakan pula
tenaga kerja dari luar keluarga. Rata-rata upah yang harus dibayarkan untuk satu
orang pekerja adalah Rp 35.000,00 – Rp 50.000,00 per hari.
Jumlah tenaga kerja yang digunakan beragam mulai dari satu orang hingga
empat orang pada tiap industri. Sebanyak 14 orang atau 70 persen dari total
responden menggunakan 2 orang tenaga kerja yang keduanya merupakan tenaga
kerja dalam keluarga. Sebesar 10 persen responden hanya menggunakan satu
orang tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga dan 20 persen sisanya
menggunakan 4 orang tenaga kerja yang terdiri atas satu orang tenaga kerja dalam
keluarga dan tiga orang tenaga kerja luar keluarga. Berikut disajikan tabel
distribusi responden berdasarkan jumlah tenaga kerja.
Tabel 15. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja
Tenaga kerja Jumlah (orang) Persentase (%)
1 orang 2 10
2 orang 14 70
3 orang 0 0 4 orang 4 20
TOTAL 20 100
5.3.2 Keragaan Bahan Baku
Pengrajin tempe di daerah penelitian menggunakan kedelai impor sebagai
bahan baku utama. Seluruh responden tidak ada yang menggunakan kedelai lokal
dalam kegiatan produksi mereka. Terdapat beberapa alasan responden memilih
kedelai impor, diantaranya mutu kedelai tersebut lebih baik dan ukuran yang lebih
besar, harga kedelai impor lebih murah, serta kedelai impor memang lebih mudah
ditemui di pasaran dibandingkan kedelai lokal. Harga kedelai impor rata-rata yaitu
Rp 6.900,00 – Rp 7.200,00 per kilogram sedangkan kedelai lokal mencapai Rp
8.000,00 – Rp 9.000,00 per kilogram. Penggunaan kedelai impor sebagai bahan
baku tempe akan menghasilkan tempe dengan kualitas dan tekstur yang lebih
baik.
Kedelai impor yang digunakan para pengrajin tempe di daerah penelitian
pada umumnya merupakan kedelai dari Amerika Serikat, China, dan Argentina.
Pada awalnya pemenuhan kebutuhan kedelai tersebut merupakan tanggung jawab
KOPTI Kabupaten Bogor. Akan tetapi sejak tahun 2007, KOPTI tersebut sudah
tidak aktif lagi sehingga peranan pemasok kedelai diambil alih oleh pedagang
besar di sekitar daerah penelitian. Pengrajin tempe dengan skala usaha di bawah
100 kilogram kedelai per hari pada umumnya membeli kedelai dari gudang atau
pedagang besar tersebut sedangkan pengrajin dengan skala usaha relatif besar
memilih untuk membeli langsung dari pedagang besar dari Jakarta.
Sebagian responden melakukan pembelian kedelai disesuaikan dengan
kapasitas produksi per hari. Namun terdapat juga responden yang membeli kedelai
selain untuk kebutuhan satu kali produksi tapi juga untuk persediaan produksi
selanjutnya. Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan modal yang
dimiliki masing-masing responden.
Bahan baku lain yang juga penting dalam kegiatan produksi yaitu ragi. Ragi
ini dapat diperoleh dari pasar -pasar terdekat. Meskipun diperlukan dalam jumlah
yang tidak terlalu banyak, peragian merupakan tahap yang sangat penting dalam
pembuatan tempe. Banyaknya ragi yang digunakan sangat dipengaruhi oleh faktor
cuaca. Apabila hari panas maka ragi yang dipergunakan semakin sedikit
sedangkan apabila hari hujan berlaku sebaliknya. Rata-rata untuk 100 kilogram
kedelai hanya diperlukan ragi sebanyak 2-3 ons saja. Kisaran harga ragi yaitu Rp
15.000,00 per kilogram.
Selain kedua bahan baku di atas, responden juga menggunakan bahan
pewarna. Pewarna yang digunakan tidaklah terlalu banyak. Untuk 100 kilogram
kedelai hanya dibutuhkan sekitar 4-5 bungkus pewarna. Penggunaan bahan ini
dimaksudkan agar tempe yang dihasilkan berwarna kekuning-kuningan sehingga
terkesan lebih cerah dan menarik. Pewarna ini dapat diperoleh di pasar tedekat
dengan harga Rp 500,00 per bungkus.
Pada awalnya, para pengrajin tempe menggunakan minyak tanah sebagai
bahan bakar. Seiring dengan semakin meningkatnya harga minyak tanah,
pengrajin tempe beralih menggunakan kayu bakar. Akan tetapi sejak awal tahun
2008, kayu bakar semakin sulit ditemukan dan harganya pun meningkat. Dalam
rangka menekan biaya produksi, beberapa pengrajin mulai mengganti bahan
bakarnya menjadi serbuk kayu sisa furniture. Rata-rata kayu bakar yang
diperlukan untuk merebus 100 kilogram kedelai sebanyak satu karung dengan
harga Rp 7.000,00 per karung. Apabila menggunakan serbuk kayu sisa furniture
hanya dibutuhkan 0,75 karung dengan harga rata-rata Rp 5.000,00 per karung.
Responden yang menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya yaitu sebesar 80
persen sedangkan sisanya yaitu sebesar 20 persen menggunakan serbuk kayu sisa
furniture.
Sebagai bahan pengemas, responden menggunakan plasik dan daun.
Kemasan plastik lebih banyak digunakan dengan alasan harga plastik lebih murah
dibandingkan harga daun tanpa mempengaruhi kualitas tempe yang dihasilkan.
Harga daun yaitu Rp 2.000,00 - Rp 2.200,00 per ikat sedangkan harga plastik
yaitu Rp 20.000,00 per kilogram. Di samping faktor harga, masalah ketersediaan
daun yang terbatas juga mempengaruhi dominasi plastik sebagai kemasan. Berikut
disajikan tabel struktur biaya produksi pada industri tempe dengan skala usaha
100 kilogram per hari.
Tabel 16. Biaya Produksi pada Industri Tempe dengan Skala Usaha Seratus
Kilogram Kedelai Per Hari
No Uraian Nilai (Rp)
1 Kedelai 701.500,00
2 Ragi 3.909,70
3 Daun 16.681,37
4 Plastik 22.284,31 5 Bahan bakar 5.647,05
6 Pewarna 2.230,39
7 Tenaga kerja 74.250,00
8 Penyusutan alat 54.188,65
9 Pajak 5.066,67
10 Sewa Tempat 6.666,67
TOTAL 894.358,14
5.3.3 Gambaran Kegiatan Produksi
Kegiatan produksi tempe di daerah penelitian dilakukan setiap hari. Aktivitas
produksi tidak pernah berhenti agar selalu tersedia tempe untuk dijual setiap
harinya. Responden hanya berhenti berproduksi pada saat Hari Raya Idul Fitri
karena sebagian besar responden memilih untuk pulang ke daerah asalnya di Jawa
Tengah.
Proses pembuatan tempe di daerah penelitian terdiri atas beberapa tahapan.
Hal yang pertama kali dilakukan adalah proses perebusan kedelai selama kurang
lebih dua jam. Perebusan ini bertujuan untuk melunakkan kedelai sehingga
mempermudah dalam proses fermentasi. Selanjutnya kedelai rebus tersebut
direndam 12 jam, selama perendaman telah berlangsung pengasaman.
Gambar 7. Proses perebusan kedelai
Keesokan harinya kedelai dicuci dan dibilas kemudian digiling agar terpisah
biji dengan kulit. Kemudian kedelai tersebut disaring agar benar-benar bersih dari
kulitnya. Setelah bersih kedelai diberi ragi. Terdapat dua metode dalam peragian.
Cara yang pertama yaitu ragi diberikan pada kedelai sambil direndam dalam air.
Cara yang kedua, ragi diberikan pada kedelai yang sudah ditiriskan airnya terlebih
dahulu. Perbedaan kedua metode tersebut tidak begitu berpengaruh terhadap
kualitas tempe, masing-masing cara tergantung pada kebiasaan pengrajin. Namun
pada umumnya responden lebih banyak yang menggunakan cara peragian kedua.
Gambar 8. Kedelai dicuci dan diberi ragi
Selanjutnya kedelai dibungkus dan dibentuk kemudian diperam sampai
matang. Proses pemeraman ini biasanya memerlukan waktu kurang lebih 36 jam.
Apabila sudah matang, tempe sudah dapat dipasarkan ke konsumen. Pembuatan
tempe dari awal hingga dapat dipasarkan memerlukan waktu sekitar 3 hari.
Gambar 9. Kedelai dibungkus dengan daun dan plastik
Kedelai yang telah melalui serangkaian proses di atas mengalami
penambahan bobot. Rata-rata seratus kilogram kedelai dapat menghasilkan 160 -
200 kilogram tempe. Perbedaan hasil ini tergantung pada keterampilan yang
dimiliki masing-masing pengrajin selama proses pembuatan.
Gambar 10. Tempe diperam dan siap dipasarkan
Pembuatan tempe di daerah penelitian masih tergolong sederhana. Hal ini
dapat dilihat dari peralatan yang juga relatif sederhana. Peralatan yang digunakan
selama proses pembuatan tempe diantaranya drum, penggilingan, tungku,
saringan, rak (kerai) dari bambu untuk menyimpan tempe, ember, pisau.
Masing-masing responden memiliki minimal 3 buah drum yang digunakan
untuk mencuci, merebus dan merendam kedelai. Skala usaha yang relatif besar
tentu membutuhkan jumlah drum yang lebih banyak. Reponden yang terbesar
skala usahanya memiliki 11 buah drum dalam aktivitas produksinya. Harga satu
buah drum berkisar antara Rp 80.000,00 – Rp 100.000,00. Drum yang digunakan
untuk mencuci dan merendam kedelai relatif lebih tahan lama dibanding drum
yang digunakan untuk merebus. Drum cuci dan rendam dapat bertahan selama 5
tahun sedangkan daya tahan drum rebus hanya sekitar 1 tahun.
Penggilingan di sini berfungsi untuk memecah kedelai dan memisahkan biji
dari kulit. Setiap pengrajin memiliki paling tidak satu unit penggilingan. Terdapat
dua jenis penggilingan yaitu penggilingan mesin dan penggilingan manual.
Penggilingan mesin dapat diperoleh dengan membeli seharga Rp 1.500.000,00 per
unit sedangkan penggilingan manual seharga Rp 400.000,00 per unit. Pada
umumnya pengrajin dengan skala usaha relatif besar menggunakan penggilingan
mesin dengan pertimbangan daya kerja lebih lebih cepat sehingga dapat
menghemat waktu dan tenaga kerja. Sedangkan pengrajin dengan skala usaha
relatif kecil memilih penggilingan manual dengan pertimbangan harga yang lebih
murah. Daya tahan penggilingan tersebut rata-rata mencapai 2-3 tahun.
Tungku merupakan alat yang digunakan untuk proses perebusan kedelai.
Pengrajin umumnya hanya memiliki satu unit tungku. Tungku tersebut merupakan
tungku semi permanen yang umur pakainya hanya mencapai satu tahun. Harga
satu unit tungku yaitu sekitar Rp 50.000,00-Rp 150.000,00.
Untuk memisahkan dan membersihkan kedelai dari biji sebelum peragian
dilakukan penyaringan terlebih dahulu. Saringan ini terbuat dari bambu dan sangat
mudah rusak karena penggunaannya yang selalu berada pada keadaan basah dan
lembab. Daya tahan saringan bambu tersebut maksimal dua minggu sehingga
pengrajin minimal mengganti saringan sebanyak dua kali sebulan. Harga saringan
bambu relatif murah yaitu Rp 5.000,00 per buah.
Alat yang digunakan untuk proses penyimpanan pada saat tempe diperam
yaitu rak (kerai). Alat ini terbuat dari anyaman bambu dan merupakan peralatan
yang memiliki daya tahan paling lama dibanding peralatan lainnya yaitu bisa
mencapai 8 tahun. Banyaknya rak (kerai) yang dimiliki tergantung besarnya skala
usaha masing-masing pengrajin. Kepemilikian rak (kerai) dalam satu industri
rumah tangga paling sedikit yaitu 25 buah sedangkan yang paling banyak
mencapai 400 buah. Rata-rata harga rak (kerai) adalah Rp 20.000,00 per buah.
Peralatan lain yang juga diperlukan diantaranya ember dan pisau. Masing-
masing pengrajin umumnya minimal memiliki satu buah pisau dan dua buah
ember. Daya tahan kedua alat ini relatif lama yaitu bisa mencapai tiga tahun.
Harga ember rata-rata yaitu Rp 15.000,00 per buah sedangkan harga pisau sekitar
Rp 7.500,00 per buah.
5.3.4 Pemasaran
Beberapa cara pemasaran tempe di daerah penelitian yaitu dengan dijual
berkeliling ke desa sekitar dan dijual ke pasar-pasar terdekat. Responden yang
berjualan keliling umumnya sudah memiliki pelanggan tetap di desa tujuan.
Pelanggan mereka adalah warung kelontong dan pedagang sayur.
Cara pemasaran lainnya yaitu di pasar-pasar terdekat, seperti pasar Citeureup,
Cileungsi, Cibinong, Jonggol, dan Wanaherang. Pengrajin yang menjual
produknya ke pasar terdekat umumnya menghadapi pembeli yang terdiri atas
pedagang, rumah makan dan konsumen rumah tangga. Di samping itu, apabila ada
permintaan dari katering rumah tangga maka responden akan berproduksi
melebihi kapasitas biasa per hari untuk memenuhi permintaan tersebut.
Perbedaan harga antara produk yang dijual berkeliling dengan produk yang
dijual di pasar yaitu rata-rata Rp 300,00 – Rp 500,00 per bungkus. Tempe tersebut
dijual dalam berbagai ukuran diantaranya ukuran 12 x 25, ukuran 13 x 25, ukuran
14 x 25, ukuran 14 x 35, ukuran 15 x 30, ukuran 20 x 30 dan ukuran 25 x 35.
Berikut disajikan tabel harga tempe menurut ukuran dengan harga pasar.
Tabel 17. Harga Tempe Menurut Ukuran pada Harga Pasar
Ukuran tempe (cm) Harga per bungkus (Rp)
12 x 25 1.500,00
13 x 25 2.000,00
14 x 25 2.500,00
14 x 35 3.500,00
15 x 30 4.000,00
20 x 30 5.000,00
25 x 35 6.500,00
VI PEMBAHASAN
6.1 Analisis Nilai Tambah pada Industri tempe di Desa Citeureup
Aktifitas pengolahan kedelai pada industri tempe merupakan salah satu
bentuk kegiatan yang mengakibatkan bertambahnya nilai komoditi kedelai.
Besaran nilai tambah tersebut dapat diketahui melalui analisis nilai tambah
Metode Hayami. Melalui analisis ini dapat diuraikan proses produksi tempe
menurut sumbangan masing-masing faktor produksi dan diketahui pula distribusi
nilai tambah terhadap tenaga kerja dan pengrajin.
Perhitungan analisis nilai tambah dilakukan pada periode produksi Maret
2008. Pada dasarnya, pengrajin tempe di daerah penelitian melakukan kegiatan
produksinya setiap hari sehingga strukur biaya yang digunakan merupakan
struktur biaya produksi rata-rata setiap hari dikali tiga puluh.
Struktur biaya produksi pada industri tempe terdiri atas biaya pengadaan
bahan baku utama, bahan baku lainnya, tenaga kerja, penyusutan peralatan, pajak,
dan sewa tempat. Bahan baku utama pada industri tempe yaitu kedelai sedangkan
bahan baku lain diantaranya ragi, daun, plastik, bahan bakar, dan pewarna.
Masing-masing komponen biaya memiliki persentase kontribusi terhadap total
biaya yang berbeda. Kedelai sebagai bahan baku utama memiliki persentase
kontribusi yang paling tinggi yaitu sebesar 78,44 persen. Selanjutnya pada urutan
kedua dengan kontribusi sebesar 8,30 persen ditempati oleh biaya tenaga kerja.
Biaya penyusutan alat dan bahan baku lainnya secara berurutan masing-masing
memberikan kontribusi sebesar 6,06 persen dan 5,67 persen. Selain keempat
komponen biaya di atas, terdapat dua komponen biaya lainnya yaitu pajak dan
sewa tempat. Pajak memberikan kontribusi sebesar 0,78 persen sedangkan sewa
tempat sebesar 0,75 persen dari total biaya produksi.
Kedelai, 78.44%Bahan baku
lainnya, 5.67%
Tenaga kerja,
8.30%
Penyusutan alat,
6.06%
Kedelai
Bahan baku lainnya
Tenaga kerja
Penyusutan alat
Gambar 11. Persentase Empat Komponen biaya penting dalam industri tempe
Analisis nilai tambah yang dilakukan pada penelitian ini dimulai dari
pengadaan bahan baku kedelai sampai dengan produk tempe dapat dipasarkan.
Dasar perhitungan dalam analisis nilai tambah pada industri tempe menggunakan
per satuan kilogram kedelai sebagai bahan baku utama. Harga rata-rata bahan
baku kedelai di daerah penelitian yaitu Rp 7.015,00 per kilogram.
Tabel 19 memperlihatkan hasil perhitungan analisis nilai tambah pada
industri tempe di Desa Citeureup dengan menggunakan Metode Hayami. Rata-
rata setiap harinya pengrajin tempe di daerah tersebut memproduksi tempe
sebanyak 163,2 kilogram sehingga dalam satu bulan dapat dihasilkan tempe
sebanyak 4.896 kilogram. Output tersebut dipasarkan dengan harga rata-rata per
satuan Rp 6.500,00. Dari sisi bahan baku, jumlah kedelai yang digunakan yaitu
3.060 kilogram per bulan. Berdasarkan hasil pembagian besaran total output dan
input bahan baku utama didapatkan nilai faktor konversi sebesar 1,6. Nilai ini
menunjukkan bahwa setiap satu kilogram kedelai yang diolah akan menghasilkan
1,6 kilogram tempe.
Tabel 18. Hasil Analisis Nilai Tambah pada Industri Tempe di Desa
Citeureup Maret 2008
URAIAN NILAI
OUTPUT, INPUT, HARGA
1. Total output (kg/bulan) 4.896
2. Input bahan baku (kg/bulan) 3.060
3. Tenaga kerja (HOK/bulan) 61,71
4. Faktor konversi (1/2) 1,60
5. Koefisien tenaga kerja (3/2) 0,02
6. Harga output rata-rata (Rp/kg) 6.500
7. Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/HOK) 36.096,25
PENDAPATAN DAN KEUNTUNGAN
8. Harga bahan baku (Rp/kg) 7.015
9. Sumbangan input lain (Rp/kg kedelai) 1.186,08
10. Nilai output (4 x 6) 10.400
11. a. Nilai tambah (10 - 9 - 8) 2.198,91
b. Rasio nilai tambah (11a/10) x 100% 21,14
12. a. Pendapatan tenaga kerja (5 x 7) 727,94
b. Pangsa tenaga kerja (12a/11a) x 100% 33,10
13. a. Keuntungan (11a - 12a) 1.470,97 b. Tingkat keuntungan (13a/11a) x 100% 66,89
BALAS JASA FAKTOR PRODUKSI
14. Margin (10 - 8) 3.385
a. Pendapatan tenaga kerja (12a/14) x 100% 21,50
b. Sumbangan input lain (9/14) x 100% 35,03
c. Keuntungan (13a/14) x 100% 43,45
Proses produksi pada industri tempe tentu tidak terlepas dari komponen
tenaga kerja. Rata-rata industri tempe dengan skala usaha seratus kilogram kedelai
per hari menggunakan hanya dua orang tenaga kerja dimana keduanya berasal dari
dalam keluarga. Apabila digunakan tenaga kerja dari luar keluarga maka sistem
pengupahan yang berlaku adalah sistem harian sebesar Rp 41.250,00 per orang.
Tenaga kerja tersebut bekerja selama delapan jam per hari yang terdiri dari 1,143
HOK bagi tenaga kerja pria dan 0,914 HOK bagi tenaga kerja wanita dengan
asumsi 1HOK = 7 jam dan 1HOK pria = 0,8 HOK wanita. Atau dengan kata lain,
upah yang diterima pekerja adalah sebesar Rp 36.096,25 per HOK. Total
pemakaian jasa tenaga kerja selama satu bulan periode produksi adalah 61,71
HOK.
Nilai koefisien tenaga kerja diperoleh dari hasil pembagian jumlah total Hari
Orang Kerja (HOK) selama satu bulan periode produksi dengan jumlah input
bahan baku yang diolah dalam satu bulan. Hasil perhitungan tersebut
menunjukkan nilai koefisien tenaga kerja pada industri tempe di daerah penelitian
adalah 0,02. Nilai ini dapat diinterpretasikan sebagai jumlah Hari Orang Kerja
(HOK) yang diperlukan untuk memproduksi satu kilogram kedelai hingga
menjadi tempe adalah 0,02 HOK (1HOK = 7 jam kerja).
Sumbangan input lain adalah biaya-biaya yang juga dikeluarkan industri
selain biaya bahan baku kedelai dan tenaga kerja. Sumbangan input lain pada
kegiatan pengolahan kedelai menjadi tempe terdiri dari biaya bahan baku lainnya
(ragi, daun, plastik, pewarna, dan bahan bakar), biaya penyusutan alat, pajak dan
sewa tempat. Nilai total sumbangan input lain pada industri tempe dengan skala
usaha seratus kilogram per hari yaitu Rp 118.608,10. Nilai tersebut kemudian
dibagi dengan jumlah input bahan baku utama yang digunakan sehingga diperoleh
sumbangan input lain per satuan kilogram kedelai sebesar Rp 1.186,08.
Nilai output diperoleh dari hasil perkalian rata-rata harga output per kilogram
dengan faktor konversi. Nilai output pada industri tempe disini yaitu sebesar Rp
10.400,00. Nilai output tersebut memberikan nilai tambah sebesar Rp 2.198,91
dengan rasio nilai tambah 21,14 persen. Nilai ini dapat diinterpretasikan bahwa
sebesar 21,14 persen merupakan nilai tambah dari pengolahan produk. Nilai
tambah disini merupakan nilai tambah kotor karena belum memperhitungkan
imbalan tenaga kerja.
Imbalan tenaga kerja yang merupakan perkalian dari koefisien tenaga kerja
dengan upah rata-rata tenaga kerja per HOK adalah sebesar Rp 727,94 dan pangsa
tenaga kerja sebesar 33,10 persen. Hal ini berarti 33,10 persen dari nilai tambah
merupakan imbalan yang diterima oleh tenaga kerja.
Industri tempe pada penelitian ini berhasil memperoleh keuntungan sebesar
Rp 1.470,97 per kilogram. Tingkat keuntungan yang dimiliki yaitu 66,89 persen
yang berarti bahwa 66,89 persen dari nilai tambah merupakan keuntungan
pengrajin/pengusaha. Keuntungan ini merupakan keuntungan bersih karena sudah
memperhitungkan imbalan tenaga kerja.
Berdasarkan tabel hasil analisis nilai tambah di atas dapat diketahui bahwa
margin dari pengolahan kedelai pada industri tempe adalah sebesar Rp 3.385,00.
Nilai ini diperoleh dari selisih harga atau nilai output dengan nilai input bahan
baku utama. Margin ini kemudian didistribusikan menjadi imbalan bagi tenaga
kerja, sumbangan input lain serta keuntungan pengusaha/pengrajin. Margin yang
didistribusikan sebagai imbalan bagi tenaga kerja sebesar 21,50 persen. Margin
bagi sumbangan input lain sebesar 35,03 persen dan margin bagi keuntungan
pengrajin sebesar 43,45 persen.
6.2 Analisis Daya Saing
Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan pendekatan yang digunakan untuk
menganalisis daya saing serta dampak kebijakan pemerintah pada industri tempe
di Desa Citeureup. Matriks tersebut disusun berdasarkan data penerimaan, biaya
produksi baik bersifat tradable maupun non tradable dengan menggunakan
perhitungan harga privat dan harga sosial. Berikut disajikan hasil perhitungan
matriks analisis kebijakan pada industri tempe di Desa Citeureup.
Tabel 19. Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa
Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan
Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg)
Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan
Input tradable Input nontradable
Harga Privat 10.400,00 2.536,95 5.634,54 2.228,50
Harga Sosial 11.955,14 2.356,70 5.372,62 4.225,80
Dampak kebijakan -1.555,14 180,25 261,91 -1.997,30
Matriks PAM terdiri dari dua identitas yaitu identitas tingkat keuntungan atau
profitability identity dan identitas penyimpangan atau divergences identity.
Berdasarkan matriks di atas, selanjutnya dapat dilakukan perhitungan untuk
memperoleh sejumlah indikator penilaian tabel PAM. Indikator-indikator tersebut
terdiri atas keuntungan privat, keuntungan sosial, rasio biaya privat, biaya
sumberdaya domestik, transfer output, koefisien proteksi output nominal, transfer
input, koefisien proteksi input nominal, transfer faktor, koefisien proteksi efektif,
transfer bersih, koefisien keuntungan, dan rasio subsidi produsen.
Tabel 20. Indikator Penilaian Matriks Analisis Kebijakan pada Industri
Tempe di Desa Citeureup dengan Skala Usaha Seratus Kilogram
Kedelai per Hari
No Indikator Penilaian Nilai
1 Keuntungan Privat 2.228,50
2 Keuntungan Sosial 4.225,80
3 Rasio Biaya Privat (PCR) 0,7166
4 Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) 0,5597
5 Transfer Output (TO) -1.555,14
6 Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) 0,8699
7 Transfer Input (TI) 180,25
8 Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) 1,0765
9 Transfer Faktor (TF) 261,91
10 Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 0,8192
11 Transfer Bersih (TB) -1.997,30
12 Koefisien Keuntungan 0,5274
13 Rasio Subsidi Produsen (SRP) -0,2540
6.2.1 Analisis Keunggulan Kompetitif
Analisis keunggulan kompetitif dapat dilihat dari analisis keuntungan privat
atau Private Profitability (PP) dan analisis rasio biaya privat atau Private Cost
Rasio (PCR). Keuntungan privat merupakan keuntungan yang dihitung
berdasarkan harga yang sesungguhnya diterima pengrajin, telah dipengaruhi oleh
kebijakan pemerintah. Nilai ini diperoleh dari penerimaan finansial dikurangi
biaya finansial baik yang bersifat tradable maupun non tradable. Berdasarkan
hasil perhitungan pada tabel PAM, terlihat bahwa aktifitas pengolahan kedelai
menjadi tempe memiliki keuntungan privat (private profitabiliy) senilai Rp
2.228,50 per kilogram. Jika nilai keuntungan privat lebih besar dari nol berarti
industri tempe di daerah penelitian layak secara finansial untuk diusahakan dalam
kondisi kebijakan dan kegagalan pasar yang ada.
Bagaimana alokasi sumberdaya diarahkan untuk mencapai efisiensi finansial
dapat diukur dengan menggunakan rasio biaya privat (PCR). PCR merupakan
rasio antara biaya input non tradable dengan selisih antara penerimaan dan input
tradable pada tingkat harga finansial (harga privat). Suatu aktifitas dikatakan
efisien secara finansial atau dapat dikatakan juga memiliki keunggulan kompetitif
apabila nilai PCR lebih kecil dari satu (PCR < 1). Semakin kecil nilai PCR maka
semakin tinggi tingkat keunggulan kompetitif suatu aktifitas usaha.
Analisis yang dilakukan pada industri tempe menghasilkan PCR dengan nilai
0,7166 (PCR < 1). Hal ini berarti bahwa industri tempe di Desa Citeureup efisien
secara finansial atau dengan kata lain memiliki keunggulan kompetitif. Nilai PCR
sebesar 0,7166 dapat diinterpretasikan bahwa untuk meningkatkan nilai tambah
output sebesar satu satuan pada harga finansial maka dibutuhkan tambahan biaya
faktor domestik senilai 0,7166.
6.2.2 Analisis Keunggulan Komparatif
Analisis keunggulan komparatif diukur dengan pendekatan nilai keuntungan
sosial atau Social Profitability (SP) dan rasio biaya sumberdaya domestik atau
Domestic Resource Cost (DRC). Berbeda dengan analisis keunggulan kompetitif,
perhitungan pada analisis keunggulan komparatif didasarkan pada harga sosial
atau shadow prices. Keuntungan sosial merupakan selisih antara penerimaan
sosial dengan biaya-biaya sosial baik yang bersifat tradable maupun non tradable.
Rasio sumberdaya domestik diperoleh dari rasio antara biaya input non tradable
dengan selisih antara penerimaan dan input tradable pada tingkat harga sosial
(analisis ekonomi).
Berdasarkan hasil analisis, industri tempe di daerah penelitian memiliki
keuntungan sosial sebesar Rp 4.225,80. Hal ini dapat diartikan bahwa pada
kondisi pasar yang tidak mengalami distorsi kebijakan pun, industri tempe tetap
menguntungkan secara ekonomi.
Selain itu, analisis yang dilakukan pada industri tempe di Desa Citeurep
menghasilkan nilai DRC sebesar 0,5597. Apabila nilai DRC suatu usaha lebih
kecil dari satu maka dapat dikatakan usaha tersebut efisien secara ekonomi atau
memiliki keunggulan komparatif. Demikian halnya dengan industri tempe yang
nilai DRC nya 0,5597 (DRC < 1). Semakin kecil nilai DRC maka usaha tersebut
semakin memiliki keunggulan komparatif dalam kondisi tanpa adanya intervensi
pemerintah atau kondisi pasar persaingan sempurna.
Keuntungan privat yang diterima oleh pengrajin tempe di daerah penelitian
lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan sosialnya (PP < SP). Kondisi
tersebut mengindikasikan bahwa adanya intervensi pemerintah yang berupa
distorsi pasar tidak memberikan insentif yang baik kepada para pengrajin tempe
sehingga keuntungan yang diterima pada kondisi tanpa adanya intervensi lebih
tinggi dibandingkan dengan adanya intervensi pemerintah.
Perbedaan yang terjadi antara analisis finansial dan analisis ekonomi
disebabkan oleh adanya perbedaan nilai penerimaan, biaya domestik dan biaya
input tradable akibat kebijakan pemerintah. Perbedaan penerimaan dikarenakan
pada analisis ekonomi menggunakan harga output berdasarkan harga perbatasan
fob yang nilainya lebih tinggi dibandingkan harga finansial (harga privat). Selain
itu, dari sisi komponen biaya domestik terdapat perbedaan nilai akibat dari
perbedaan upah tenaga kerja tidak terdidik yang digunakan pada industri tempe
dimana nilainya dipengaruhi oleh tingkat pengangguran di desa. Pada biaya input
tradable, kedelai sebagai bahan baku dihitung berdasarkan harga perbatasan cif
pada analisis ekonomi. Nilai cif kedelai tersebut lebih rendah dibandingkan harga
finansial sehingga biaya produksi pada analisis ekonomi pun menjadi lebih rendah
dibandingkan pada analisis finansial.
6.2.3 Analisis Kebijakan Pemerintah
Pada dasarnya suatu kebijakan bagi aktifitas ekonomi tertentu dapat
memberikan dampak positif maupun dampak negatif terhadap para pelaku
ekonomi. Melalui analisis matriks kebijakan dapat diketahui dampak kebijakan,
baik kebijakan input (transfer input, koefisien proteksi input nominal dan transfer
faktor), kebijakan output (transfer output dan koefisien proteksi output nominal),
maupun kebijakan input-output (koefisien proteksi efektif, transfer bersih,
koefisien keuntungan, dan rasio subsidi produsen).
Kebijakan pemerintah pada sisi output dapat dilihat dari nilai transfer output,
dan koefisien proteksi output nominal. Nilai transfer output positif menunjukkan
besarnya insentif masyarakat terhadap produsen. Dengan kata lain masyarakat
(konsumen) membeli dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga yang
seharusnya mereka bayarkan. Demikian sebaliknya apabila transfer output bernilai
negatif.
Analisis pada indusri tempe di Desa Citeureup menghasilkan nilai transfer
output yang negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumen membayar dengan
harga yang lebih rendah dibandingkan harga yang seharusnya konsumen
bayarkan. Nilai transfer output sebesar Rp -1.555,14 memiliki pengertian bahwa
terdapat transfer dari produsen kepada konsumen sebesar nilai tersebut.
Koefisien proteksi output nominal merupakan hasil pembagian antara
penerimaan pada analisis finansial dengan penerimaan pada analisis ekonomi.
Apabila nilai NPCO lebih besar dari satu (NPCO > 1) berarti terdapat proteksi
harga oleh pemerintah sehingga harga output di pasar domestik yang diterima oleh
produsen lebih tinggi dibandingkan harga bayangan (harga dunia), demikian pula
sebaliknya. Berdasarkan analisis, diketahui bahwa nilai NPCO pada industri
tempe di daerah penelitian yaitu sebesar 0,8699 (NPCO < 1). Nilai tersebut
menunjukkan bahwa terdapat kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga
privat lebih rendah dibandingkan harga dunia. Kondisi ini juga dapat diartikan
bahwa produsen atau pengrajin tidak memperoleh insentif dari pemerintah untuk
peningkatan produksinya.
Transfer input merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk
menganalisis kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable. Nilai
transfer input diperoleh dari selisih antara biaya berdasarkan harga finansial dan
biaya berdasarkan harga sosial. Apabila nilai transfer input yang dihasilkan positif
berarti terdapat kebijakan subsidi negatif atau pemberlakuan pajak pada input
produksi. Demikian sebaliknya, nilai transfer input negatif memperlihatkan bahwa
terdapat kebijakan subsidi pada input produksi sehingga pengrajin atau produsen
membeli input pada harga finansial yang lebih rendah dibandingkan harga
ekonomi. Industri tempe di Desa Citeureup menunjukkan nilai transfer input yang
positif yaitu Rp 180,25. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan
pemerintah terhadap input tradable mengakibatkan pengrajin mengalami kerugian
senilai Rp 180,25 per kilogram tempe.
Koefisien proteksi input nominal (NPCI) menunjukkan tingkat distorsi yang
dibebankan pemerintah terhadap input tradable. Pada industri tempe di Desa
Citeureup, dihasilkan nilai NPCI 1,0765. Nilai NPCI yang lebih besar dari satu
menunjukkan bahwa terdapat kebijakan pemerintah yang memproteksi produsen
input sehingga harga input tradable di pasar domestik akan meningkat menjadi
lebih tinggi dibandingkan harga efisiennya. Sementara sektor usaha yang
menggunakan input tersebut akan mengalami kerugian karena harus membayar
input produksi dengan harga yang lebih tinggi.
Selain input produksi yang bersifat tradable terdapat pula input produksi
yang bersifat non tradable. Transfer faktor yang merupakan analisis bagi
kebijakan pemerintah pada input domestik diperoleh dari selisih antara biaya input
non tradable pada analisis finansial dengan biaya input non tradable pada analisis
ekonomi. Hasil analisis menunjukkan transfer faktor pada industri tempe di Desa
Citeureup sebesar Rp 261,91. Nilai tersebut menunjukkan bahwa harga input non
tradable yang dikeluarkan pemerintah pada tingkat harga finansialnya lebih tinggi
dibandingkan harga input non tradable pada tingkat harga sosial. Hal ini juga
mengindikasikan terdapat kebijakan pemerintah yang bersifat melindungi input
domestik sehingga pengrajin atau produsen harus membayar input domestik
dengan harga yang lebih inggi dibandingkan harga sosialnya.
Koefisien proteksi efektif (EPC) merupakan indikator yang digunakan untuk
melihat sejauh mana kebijakan pemerintah dalam melindungi ataupun
menghambat produksi domestik. EPC ini diperoleh dari rasio antara selisih
penerimaan dan biaya input tradable pada analisis finansial dengan selisih
penerimaan dan biaya input tradable pada analisis ekonomi. Nilai EPC pada
industri tempe di desa Citeureup yaitu 0,8192 (EPC < 1). EPC sebesar 0,8192
dapat diinterpretasikan bahwa kebijakan yang ada mengakibatkan pengrajin tempe
tidak memperoleh tambahan keuntungan sebesar 81,92 persen dari harga
bayangannya. Atau dengan kata lain pengrajin tempe di daerah penelitian hanya
memperoleh sedikit manfaat subsidi sebagai akibat kebijakan pemerintah yang
kurang melindungi para pengrajin tempe.
Selisih antara keuntungan finansial dengan keuntungan sosial menghasilkan
nilai transfer bersih. Transfer bersih disini menyatakan adanya tambahan surplus
produsen atau sebaliknya berkurangnya surplus produsen sebagai akibat adanya
kebijakan pemerintah. Berdasarkan hasil analisis, transfer bersih di daerah
penelitian bernilai Rp –1.997,30. Tranfer bersih yang bernilai negatif
menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah mengakibatkan berkurangnya surplus
produsen sebesar Rp 1.997,30.
Dari tabel indikator penilaian matriks analisis kebijakan terlihat bahwa nilai
koefisien keuntungan pada industri tempe di Desa Citeureup yaitu sebesar 0,5274.
PC yang merupakan rasio antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan
bersih sosial menunjukkan pengaruh keseluruhan dari kebijakan yang
mengakibatkan keuntungan sosial berbeda dengan keuntungan finansial. PC
senilai 0,5274 memiliki arti bahwa kerugian ynag diterima pengrajin dengan
adanya kebijakan pemerintah adalah 52,74 persen lebih tinggi dibandingkan
kerugian yang diterima pada kondisi tanpa adanya kebijakan pemerintah.
Rasio subsidi produsen (SRP) merupakan rasio antara transfer bersih dengan
penerimaan berdasarkan analisis ekonomi. SRP lebih besar dari nol berarti bahwa
adanya kebijakan pemerintah mengakibatkan produsen mengeluarkan biaya
produksi yang lebih rendah dibandingkan biaya imbangan untuk berproduksi.
Sebaliknya, SRP lebih kecil dari nol menunjukkan adanya kebijakan pemeritah
berdampak pada lebih tingginya biaya produksi yang dikeluarkan produsen
dibandingkan opportunity costnya. SRP yang diterima pengrajin tempe di Desa
Citeureup adalah -0,2540. Nilai rasio subsidi produsen ini berarti bahwa kebijakan
yang berlaku selama ini mengakibatkan pengrajin tempe mengeluarkan biaya
produksi lebih tinggi 25,40 persen dibandingkan biaya opportunity cost untuk
berproduksi.
6.3 Analisis Sensitivitas pada Industri Tempe di Desa Citeureup
Analisis sensitivitas diperlukan untuk melihat sejauh mana pengaruh yang
akan ditimbulkan apabila terjadi goncangan atau perubahan-perubahan pada
sejumlah variabel pada industri tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup,
Kabupaten Bogor. Perubahan yang terjadi tentu akan berpengaruh pula pada hasil
matriks analisis kebijakan atau dengan kata lain mempengaruhi daya saing yang
dimiliki industri tersebut. Analisis sensitivitas yang dilakukan yaitu dengan
menaikkan harga kedelai sebesar 60 persen, menaikkan harga input 60 persen
diimbangi kenaikan harga output sebesar 46 persen.
Kenaikan harga input kedelai sebanyak 60 persen tentu berdampak pada
besarnya biaya produksi pada industri tempe baik dalam analisis finansial maupun
analisis ekonomi. Peningkatan harga kedelai tersebut mengakibatkan keuntungan
privat yang dimiliki pengrajin di sentra industri tempe Desa Citeureup bernilai
negatif. Keuntungan privat senilai Rp -1.770,04 menunjukkan bahwa kenaikan
harga kedelai sebesar 60 persen mengakibatkan usaha pengolahan kedelai menjadi
tempe tidak layak secara finansial. Hal ini didukung pula oleh nilai PCR sebesar
1,277. Nilai PCR yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa aktifitas usaha
pada industri tempe tidaklah efisien secara finansial atau dengan kata lain tidak
memiliki keunggulan kompetitif.
Di lain pihak, meskipun terjadi kenaikan harga kedelai sebanyak 60 persen
industri tempe di Desa Citeureup masih tetap memiliki keuntungan sosial yang
bernilai positif. Keuntungan sosial yang bernilai Rp 263,69 dapat diartikan bahwa
pada kondisi pasar yang tidak mengalami distorsi kebijakan, industri tempe tetap
menguntungkan secara ekonomi.
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa pada kondisi kenaikan harga
kedelai sebanyak 60 persen, industri tempe di daerah penelitian memiliki nilai
DRC 0,968 (DRC < 1). Aktifitas usaha dengan nilai DRC yang lebih kecil dari
satu menunjukkan bahwa aktifitas tersebut mempunyai keunggulan komparatif.
Semakin kecil nilai DRC maka usaha tersebut semakin memiliki keunggulan
komparatif dalam kondisi tanpa adanya intervensi pemerintah atau kondisi pasar
persaingan sempurna.
Tabel 21. Indikator Penilaian Matriks Analisis Kebijakan pada Industri
Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten
Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg)
apabila Harga Input Kedelai naik 60 Persen
No Indikator Penilaian Nilai
A Keunggulan Kompetitif
Keuntungan Privat -1.770,049
Rasio Biaya Privat (PCR) 1,277
B Keunggulan Komparatif
Keuntungan Sosial 263,695
Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) 0,968
Seperti telah disebutkan di atas bahwa kenaikan harga kedelai sebanyak 60
persen mengakibatkan usaha pengolahan kedelai menjadi tempe tidaklah layak
atau menguntungkan secara finansial. Oleh karena itu, strategi yang mungkin
dilakukan untuk menghadapi situasi tersebut yaitu dengan menaikkan harga
output. Kenaikan harga output sebanyak 46 persen didasarkan pada pertimbangan
bahwa di daerah penelitian pernah terjadi kenaikan harga output sekitar 46 persen.
Kenaikan harga input kedelai yang diimbangi juga dengan kenaikan harga
output memberikan hasil analisis bahwa industri tempe di Desa Citeureup layak
untuk dijalankan dengan nilai keuntungan privat sebesar Rp 3.013,951. Nilai PCR
yang dimiliki industri tempe pada kondisi seperti ini yaitu 0,730. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar satu satuan
pada harga finansial maka dibutuhkan tambahan biaya faktor domestik senilai
0,730. Nilai PCR yang lebih kecil dari satu juga menunjukkan bahwa industri
tempe kembali memiliki keunggulan kompetitif.
Analisis keunggulan komparatif pada industri tempe dapat dilihat dari nilai
keuntungan sosial maupun nilai biaya sumberdaya domestik. Pada kondisi seperti
di atas, industri tempe di daerah penelitian tetap memiliki keuntungan sosial yang
tinggi. Keuntungan sosial pada indusatri tempe dengan kondisi kenaikan harga
kedelai yang diimbangai kenaikan harga output adalah sebesar Rp 5.763,00.
Seperti terlihat pada tabel 22, rasio biaya sumberdaya domestik industri
tempe pada kondisi terjadi kenaikan harga kedelai yang diimbangi kenaikan harga
output adalah 0,580. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa industri tempe di
daerah penelitian tetap memiliki keunggulan komparatif meskipun terjadi
perubahan baik pada komponen biaya maupun penerimaan.
Tabel 22. Indikator Penilaian Matriks Analisis Kebijakan pada Industri
Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten
Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg)
apabila Harga Input Kedelai naik 60 Persen diimbangi harga
output naik 46 Persen
No Indikator Penilaian Nilai
A Keunggulan Kompetitif
Keuntungan Privat 3.013,951
Rasio Biaya Privat (PCR) 0,730
B Keunggulan Komparatif
Keuntungan Sosial 5763,001
Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) 0,580 Selain itu, kemungkinan terjadinya kesalahan dalam perhitungan dan
analisis data tidak akan mengubah kesimpulan yang diperoleh. Hal ini
berdasarkan pada pertimbangan bahwa pada struktur biaya baik pada analisis
finansial maupun analisis ekonomi industri tempe Desa Citeureup telah dilakukan
analisis sensitivitas. Komponen biaya bahan baku kedelai telah disensitivitas
dengan kenaikan sebesar 60 persen dan ternyata industri tempe masih memiliki
keunggulan komparatif. Sementara kemungkinan kesalahan yang dilakukan
peneliti tidaklah lebih tinggi dari sensitivitas yang dilakukan.
VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Analisis nilai tambah pada industri pengolahan kedelai menjadi tempe di
Desa Citeureup menunjukkan bahwa industri tersebut mampu menghasilkan nilai
tambah sebesar Rp 2.198,91 per kilogram input kedelai. Rasio nilai tambah yang
dimiliki yaitu 21,14 persen. Nilai koefisien tanaga kerja yang diperoleh sebesar
0,02. Apabila nilai koefisien tenaga kerja tersebut dikali dengan banyaknya unit
usaha tempe di Indonesia maka dapat dilihat banyaknya jumlah tenaga kerja yang
dapat terserap oleh industri tempe.
Industri tempe di desa Citeureup layak untuk dijalankan baik berdasarkan
perhitungan pada analisis finansial maupun analisis ekonomi. Di samping itu,
industri tersebut dapat dikatakan memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan
kompratif. Hal ini terlihat dari nilai PCR dan DRC nya yang lebih kecil dari satu.
Berdasarkan analisis kebijakan pemerintah pada sisi output, industri tempe di
daerah penelitian memiliki TO dan NPCO masing-masing senilai Rp -1.555,14
dan 0,8699 (NPCO < 1). Pada analisis kebijakan pemerintah pada sisi input
diketahui TI senilai Rp 180,25, NPCI sebesar 1,0765, dan transfer faktor senilai
Rp 261,91. Analisis kebijakan input-output dapat didekati dengan menggunakan
indikator EPC, TB, PC, dan SRP. Nilai keempat indikator tersebut masing-masing
secara berurutan adalah 0,8192; Rp –1.997,30; 0,5274; dan -0,2540.
Apabila terjadi kenaikan harga kedelai sebesar 60 persen dengan asumsi
faktor lain dianggap tidak berubah, maka industri tempe di daerah penelitian tidak
lagi memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini terlihat dari keuntungan privat yang
bernilai negatif dan nilai PCR yang lebih besar dari satu. Sebaliknya,berdasarkan
analisis ekonomi, meskipun terjadi perubahan harga kedelai industri tempe di
daerah penelitian masih tetap memiliki keunggulan komparatif. Hal ini terlihat
dari keuntungan sosial senilai Rp 263,69 dengan nilai DRC 0,9680 (DRC < 1).
Jika kenaikan harga input kedelai sebesar 60 persen diimbangi pula dengan
kenaikan harga output sebesar 46 persen, industri tempe di Desa Citeureup
ternyata layak untuk diteruskan baik secara finansial maupun ekonomi. Di
samping itu, industri tempe juga efisien secara finansial maupun ekonomi. Hal ini
dapat dilihat dari nilai PCR dan DRC yang dihasilkan lebih kecil dari satu, dengan
kata lain indusri tersebut masih memiliki keunggulan komparatif dan kompetif.
7.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan peneliti berdasarkan hasil analisis yaitu:
1. Perlu dilakukan upaya peningkatan ketersediaan bahan baku kedelai.
Pemenuhan bahan baku tersebut hendaknya berasal dari produksi domestik
sehingga dapat menghemat devisa yang dikeluarkan pemerintah bagi
pengadaan bahan baku industri pengolahan kedelai. Hal ini didasarkan
pertimbangan tingginya ketergantungan pengrajin tempe terhadap kedelai
impor serta kurang tersedianya bahan baku yang cukup dan kontinu.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dampak aktivitas usaha
industri tempe terhadap lingkungan. Apakah nilai tambah dan penyerapan
tenaga kerja yang dihasilkan aktivitas pengolahan kedelai menjadi tempe
tersebut sebanding dengan biaya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
DAFTAR PUSTAKA
Amang, Bedu. 1996. Ekonomi Kedelai. Institut Pertanian Bogor (IPB Press).
Bogor. Andriani. 1999. Analisis Keunggulan Komparatif, Kompetiif dan Dampak
Kebijakan Pemerintah pada Usaha Meubel Rotan (Kasus Sentra Industtri Rotan Tegalwangi dan CV Khalim Rattan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Apretty, Butet. J. Analisis Dampak Krisis Ekonomi Pada Industri Tempe Skala
Kecil (Studi Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Apriyadi, Andi. 2003. Analisis Usaha dan Nilai Tambah Pengolahan Ikan pada
Industri Kerupuk Udang/Ikan di Indramayu. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Badan Pusat Statistik. 2006. Kabupaten Bogor dalam Angka. Bogor. _________________. 2002-2006. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia
Jilid I. Jakarta. _________________. 2007. Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia
Jilid I. Jakarta. _________________. 2007. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia
dan Provinsi. Jakarta. Cahyadi, Wisnu. 2007. Kedelai Khasiat dan Teknologi. Bumi Aksara. Jakarta. Cho and Moon. 2003. From Adam Smith to Michael Porter Evolusi Teori Daya
Saing. Penerbit Salemba Empat. Jakarta. Dermawan, Ahmad. 1999. Analisis Pendapatan Usahatani Kedelai serta Nilai
Tambah Industri Tahu dan Tempe (Kasus Desa Sindangratu dan Situgede di Kabupaten Garut serta Kotamadya Bogor. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Dewi, Retno. Puspo. 2004. Analisis Keunggulan Kompetitif dan Komparatif serta
Dampak Kebijakan Pemerintah pada Pengusahaan Kedelai di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Dhuhana. 2004. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usaha Emping
Melinjo di Kabupaten Serang (Studi Kasus di Desa Sukadalem, Kecamatan Waringin Kurung). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Gittinger, J.P. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Edisi Kedua. Terjemahan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Gray, Clive et. al. 1993. Pengantar Evaluasi Proyek. Penerbit Gramedia Pustaka
Uama. Jakarta. Handayani, Riyandini. Siswi. 2007. Analisis Keunggulan Komparatif dan
Kompetitif Usahatani Bawang Merah Konvensional dan Organik di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Jati, Elmi. Sipta. 2005. Analisis Pendapatan dan Nilai Tambah Industri Kecil
Keripik dan Sale Hasil Produk Olahan Pisang (Kasus Industri Kecil Keripik dan Sale Pisang di Desa Sawarna, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Kadariah. 2001. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomi. Edisi 2001. Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Kuraisin, Vivin. 2006. Analisis Dayasaing dan Dampak Perubahan Kebijakan
Pemerintah terhadap Komoditi Susu Sapi (Kasus di Desa Tajurhalang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Monke, E.A and Scott. Pearson. 1989. The Policy Analisys Matrix for
Agricultural Development. Cornell University Press. Itacha and London. Muflikh, Yanti. Nuraeni. 2003. Analisis Nilai Tambah Pengolahan dan
Optimalisasi Produksi Kain Tenun Sutera Alam (Studi Kasus: Pengrajin Sutera Alam “Aman Sahuri”, Kabupaten Garut). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Pearson, Scott and Carl Gotsch. Penterjemah Sjaiful Bahri. 2004. Aplikasi Policy
Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Sarwono, B. 1994. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya. Jakarta. Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional. Penebar Swadaya. Jakarta. Sefiyansyah. 2004. Analisis Preferensi dan Pola Konsumsi Kecap Rumah Tangga
(Studi Kasus di Kota Cirebon). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Soekartawi. 2000. Pengantar Agroindustri. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Alokasi Biaya Input dan Output dalam Komponen Domestik dan Asing
No Uraian Domestik Asing Pajak (%) (%) (%)
A Penerimaan
Tempe 100 0 0
B Biaya Produksi
1 Kedelai 60 35 5 2 Ragi 100 0 0
3 Bahan bakar
Kayu bakar 100 0 0
Serbuk kayu 100 0 0
4 Pewarna 100 0 0
5 Peralatan
Drum rendam/cuci/rebus 100 0 0 Mesin giling 100 0 0
Ember/pisau/saringan 100 0 0
6 Tenaga kerja 100 0 0
7 Bahan pengemas
Daun 100 0 0
Plastik 100 0 0
8 Biaya tataniaga 44,32 54,47 1,21 9 Sewa tempat 100 0 0
10 Pajak 100 0 0
Lampiran 2. Perhitungan Standar Convertion Factor dan Shadow Exchange Rate (SER) tahun 2001-2007 (Milyar Rupiah)
Tahun Xt Mt Txt Tmt OERt SCFt SERt
2001 585.737,40 322.005,80 397,00 9.975,00 10.400,00 0,989 10.515,67
2002 510.954,90 279.722,80 349,00 12.249,00 8.940,00 0,985 9.075,14
2003 516.857,60 275.541,70 438,00 11.960,00 8.465,00 0,986 8.585,19
2004 524.436,00 340.489,30 315,00 11.636,00 9.042,00 0,987 9.161,09
2005 785.501,00 529.117,10 317,90 14.927,10 9.170,00 0,989 9.271,86
2006 539.400,00 539.300,00 377,70 12.141,70 9.020,00 0,989 9.120,37
2007 580.629,59 364.134,35 453,00 14.417,00 9.141,00 0,984 9.284,87
Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2007)
SERt = SCFt
OERt
SCFt = )()( TXtXtTMtMt
XtMt
−++
+
Keterangan:
SERt = Shadow Exchange Rate (nilai tukar bayangan) pada tahun t
OERt = Official Exchange Rate (nilai tukar resmi) pada tahun t
SCF t = Standar Exchange Rate (faktor konversi standar) pada tahun t
Mt = Nilai impor pada tahun t
Xt = Nilai ekspor pada tahun t
TMt = Pemerimaan pemerintah dari pajak impor pada tahun t
TXt = Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor pada tahun t
Contoh perhitungan pada tahun 2007:
SCFt = )45359.580629()1441735.364134(
59.58062935.364134
+++
+
= 0.9845
SER = 984.0
9141
= 9284.874
Lampiran 3. Biaya Produksi Industri Tempe dengan Skala Usaha Seratus Kilogram Kedelai Per Hari
No Kedelai per hari Ragi per hari Kayu bakar/Serbuk kayu per hari Pewarna per hari
Pemakaian Harga Nilai Pemakaian Harga Nilai Pemakaian Harga Nilai Pemakaian Harga Nilai Total nilai Pemakaian Harga Nilai
(kg) (Rp/kg) (Rp) (kg) (Rp/kg) (Rp) kayu (krg)
(Rp/krg) (Rp) serbuk(krg) (Rp/krg) (Rp) pemakaian (bks) (Rp/bks) (Rp)
1 30 7.000 210.000 0,10 15.000 1.500 0,3 7.000 2.100 0 0 0 2.100 1,0 500 500
2 70 7.000 490.000 0,20 15.000 3.000 0,5 7.000 3.500 0 0 0 3.500 3,0 500 1.500
3 75 7.000 525.000 0,20 15.000 3.000 0,5 7.500 3.750 0 0 0 3.750 3,0 500 1.500
4 100 7.200 720.000 0,25 13.500 3.375 1,0 8.000 8.000 0 0 0 8.000 5,0 500 2.500
5 250 7.000 1.750.000 0,70 15.000 10.500 0 0 0 2.0 5.000 10.000 10.000 12 500 6.000
6 75 6.900 517.500 0,20 14.000 2.800 1,0 8.000 8.000 0 0 0 8.000 3,0 500 1.500
7 100 7.000 700.000 0,33 16.000 5.280 1,0 7.000 7.000 0 0 0 7000 4,0 500 2.000
8 230 7.000 1.610.000 0,50 15.000 7.500 0 0 0 2.0 5.000 10.000 10.000 10 500 5.000
9 250 6.700 1.675.000 0,50 13.000 6.500 0 0 0 2.0 6.000 12.000 12.000 15 500 7.500
10 40 7.500 300.000 0,10 15.000 1.500 0,3 7.000 2.100 0 0 0 2.100 1,0 500 500
11 35 7.000 245.000 0,10 15.000 1.500 0,3 7.500 2.250 0 0 0 2.250 1,0 500 500
12 100 7.000 700.000 0,30 16.000 4.800 1,0 8.000 8.000 0 0 0 8.000 5,0 500 2.500
13 200 7.200 1.440.000 0,50 13.500 6.750 0 0 0 1.5 6.000 9.000 9.000 10 500 5.000
14 40 7.000 280.000 0,10 15.000 1.500 0,3 8.000 2.400 0 0 0 2.400 2,0 500 1.000
15 100 7.000 700.000 0,30 15.000 4.500 1,0 7.000 7.000 0 0 0 7.000 5,0 500 2.500
16 50 6.900 345.000 0,15 16.000 2.400 0,4 7.000 2.800 0 0 0 2.800 1,0 500 500
17 70 7.000 490.000 0,20 15.000 3.000 0,5 7.000 3.500 0 0 0 3.500 2,0 500 1.000
18 50 7.000 350.000 0,15 14.500 2.175 0,4 7.000 2.800 0 0 0 2.800 1,0 500 500
19 100 6.900 690.000 0,30 15.000 4.500 1,0 7.500 7.500 0 0 0 7.500 5,0 500 2.500
20 75 7.000 525.000 0,20 15.000 3.000 0,5 7.000 3.500 0 0 0 3.500 2,0 500 1.000
Rata-
rata 102 7.015 715.530 0,269 148.250 3.987,93 10 7.5 5.760 4,55 500 2.275
Lampiran 4. Biaya Produksi Indusri Tempe dengan Skala Usaha Seratus Kilogram Kedelai per Hari
No Plastik/hari Daun/hari T.kerja/hari
Pemakaian Harga Nilai Pemakaian Harga Nilai Pemakaian Harga Nilai Penyusutan (kg) (Rp/kg) (Rp) (ikat) (Rp/ikat) (Rp) (org) (Rp/org) (Rp) (Rp)
1 0,30 20.000 6.000 0 2.200 0 1 40.000 40.000 39.885,42
2 0,60 20.000 12.000 3 2.200 6.600 2 40.000 80.000 41.263,89
3 1,00 18.000 18.000 4 2.000 8.000 2 40.000 80.000 37.541,67 4 1,00 20.000 20.000 5 2.000 10.000 2 40.000 80.000 77.402,78
5 2,00 20.000 40.000 25 2.000 50.000 4 40.000 160.000 143.965,28
6 1,00 20.000 20.000 1,5 2.200 3.300 2 40.000 80.000 46.513,89
7 1,25 20.000 25.000 5 2.000 10.000 2 40.000 80.000 59.869,20
8 2,00 20.000 40.000 10 2.000 20.000 4 35.000 140.000 112.555,56
9 3,00 20.000 60.000 15 1.800 27.000 4 50.000 200.000 95.138,89
10 0,25 22.000 5.500 0 2.000 0 2 40.000 80.000 36.111,11 11 0,50 20.000 10.000 1 2.500 2.500 2 50.000 100.000 46.944,44
12 2,00 20.000 40.000 2,5 2.000 5.000 2 40.000 80.000 60.771,83
13 2,50 20.000 50.000 70 2.000 140.000 4 50.000 200.000 79.972,22
14 0,75 20.000 15.000 2 2.000 4.000 1 40.000 40.000 38.208,33
15 1,28 20.000 25.600 5 2.000 10.000 2 40.000 80.000 47.638,89
16 0,50 20.000 10.000 2 2.200 4.400 2 40..000 80.000 40.027,78
17 0,60 20.000 12.000 3 2.200 6.600 2 40.000 80.000 41.902,78 18 0,50 20.000 10.000 2 2.000 4.000 2 40.000 80.000 37.347,22
19 1,00 20.000 20.000 5 2.000 10.000 2 40.000 80.000 44.930,56
20 0,70 20.000 14.000 3 2.200 6.600 2 40.000 80.000 42.388,89 Rata-rata 1,14 20.000 22.730 8,2 2.075 17.015 2 41.250 82.500 55272,43
Lampiran 5. Perhitungan Biaya Penyusutan Peralatan
No Peralatan Jumlah Harga Umur Nilai Penyusutan (buah) Beli (Rp) Pakai (bln) Sisa (Rp) per bulan (Rp)
1 Penggilingan 1 617.500 26 44.250 22.048,08
2 Drum cuci & rendam 3 66.750 60 7.500 2.962,50
3 Drum rebus 1 60.750 12 7.000 4.479,17
4 Tungku 1 64.750 13 5.000 4.596,15
5 Rak (kerai) dari bambu 87 14.950 96 3.000 10.829,69
6 Saringan 1 5.000 0,471 500 9.554,14
7 Ember 2 13.250 36 2.000 625,00
8 Pisau 1 8.075 37 1.500 177,70
Total biaya penyusutan peralatan 55.272,43
Penyusutan peralatan per bulan = harga beli - nilai sisa x jumlah pemakaian
umur pakai
Lampiran 6. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kilogram Per Hari pada Bulan Maret 2008 (Rp/kg)
No Uraian Aspek Finansial Aspek Sosial
Domestik Asing Pajak Total Domestik Asing Total
A Penerimaan - - - 10.400 - - 11.955,14
B Biaya Produksi
1 Kedelai 4.209 2455,25 350,75 7.015 4.225 2.275 6.500
2 Ragi 39,09 0 0 39,09 39,09 0 39,09
3 Bahan bakar 56,47 0 0 56,47 56,47 0 56,47
4 Pewarna 22,30 0 0 22,30 22,30 0 22,30
5 Peralatan
Drum rendam/cuci/rebus 1,21 0 0 1,21 1,21 0 1,21
Mesin giling 7,20 0 0 7,20 7,20 0 7,20
Tungku 1,50 0 0 1,50 1,50 0 1,50
Ember/pisau/saringan 1,12 0 0 1,12 1,12 0 1,12
Rak (kerai) bambu 3,53 0 0 3,53 3,53 0 3,53
6 Tenaga kerja 742,50 0 0 742,50 559,02 0 559,02
7 Bahan pengemas
Daun 166,81 0 0 166,81 166,81 0 166,81
Plastik 222,84 0 0 222,84 222,84 0 222,84
8 Biaya tataniaga 66,48 81,70 1,815 150 66,48 81,705 148,18
9 Sewa tempat 66,66 0 0 66,66 0 0 0
10 Pajak 27,78 0 0 27,78 0 0 0
TOTAL 5.634,54 2.536,95 352,56 8524,06 5372,62 2356.705 7729,33
Lampiran 7. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kilogram Per Hari pada Bulan Maret 2008 (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai Naik 60 Persen
No Uraian Aspek Finansial Aspek Sosial
Domestik Asing Pajak Total Domestik Asing Total
A Penerimaan - - - 10.400,00 - - 11.955,14
B Biaya Produksi
1 Kedelai 6734,40 3.928,4 561,2 11.224,00 6.760,00 3.640 10.400,00
2 Ragi 39,10 0 0 39,10 39,10 0 39,10
3 Bahan bakar 56,47 0 0 56,47 56,47 0 56,47
4 Pewarna 22,30 0 0 22,30 22,30 0 22,30
5 Peralatan
Drum rendam/cuci/rebus 1,22 0 0 1,22 1,22 0 1,22
Mesin giling 7,21 0 0 7,21 7,21 0 7,21
Tungku 1,50 0 0 1,50 1,50 0 1,50
Ember/pisau/saringan 1,13 0 0 1,13 1,13 0 1,13
Rak (kerai) bambu 3,54 0 0 3,54 3,54 0 3,54
6 Tenaga kerja 742,50 0 0 742,50 559,03 0 559,03
7 Bahan pengemas
Daun 166,81 0 0 166,81 166,81 0 166,81
Plastik 222,84 0 0 222,84 222,84 0 222,84
8 Biaya tataniaga 66,48 81,705 1,815 150,00 66,48 81,705 148,19
9 Sewa tempat 66,67 0 0 66,67 0 0 0
10 Pajak 27,78 0 0 27,78 0 0 0
TOTAL 8.159,94 4.010,10 563,01 12.733,06 7.907,63 3.721,705 11.629,33
Lampiran 8. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kilogram Per Hari pada Bulan Maret 2008 (Rp/kg) apabila Harga Output Naik 46 Persen
No Uraian Aspek Finansial Aspek Sosial
Domestik Asing Pajak Total Domestik Asing Total
A Penerimaan - - - 1.5184,00 - - 17.454,45
B Biaya Produksi
1 Kedelai 4.209,00 2.455,25 350,75 7.015,00 4.225,00 2.275 6.500,00
2 Ragi 39,10 0 0 39,10 39,10 0 39,10
3 Bahan bakar 56,47 0 0 56,47 56,47 0 56,47
4 Pewarna 22,30 0 0 22,30 22,30 0 22,30
5 Peralatan
Drum rendam/cuci/rebus 1,22 0 0 1,22 1,22 0 1,22
Mesin giling 7,21 0 0 7,21 7,21 0 7,21
Tungku 1,50 0 0 1,50 1,50 0 1,50
Ember/pisau/saringan 1,13 0 0 1,13 1,13 0 1,13
Rak (kerai) bambu 3,54 0 0 3,54 3,54 0 3,54
6 Tenaga kerja 825,00 0 0 825,00 621,14 0 621,14
7 Bahan pengemas
Daun 166,81 0 0 166,81 166,81 0 166,81
Plastik 222,84 0 0 222,84 222,84 0 222,84
8 Biaya tataniaga 66,48 81,70 1.81 150,00 66,48 81,70 148,19
9 Sewa tempat 66,67 0 0 66,67 0 0 0
10 Pajak 27,78 0 0 27,78 0 0 0
TOTAL 5.717,04 2536,95 352,56 8.606,56 5.434,74 2356,70 7.791,44
Lampiran 9. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Industri Tempe Skala Usaha 100 kilogram Per Hari pada Bulan Maret 2008 (Rp/kg) jika Harga Input Kedelai Naik 60 persen dan Harga Output Naik 46 Persen
No Uraian Aspek Finansial Aspek Sosial
Domestik Asing Pajak Total Domestik Asing Total
A Penerimaan - - - 15.184,00 - - 17.454,45
B Biaya Produksi
1 Kedelai 6.734,40 3.928,40 561,20 11.224,00 6.760,00 3.640 10.400,00
2 Ragi 39,10 0 0 39,10 39,10 0 39,10
3 Bahan bakar 56,47 0 0 56,47 56,47 0 56,47
4 Pewarna 22,30 0 0 22,30 22,30 0 22,30
5 Peralatan
Drum rendam/cuci/rebus 1,22 0 0 1,22 1,22 0 1,22
Mesin giling 7,21 0 0 7,21 7,21 0 7,21
Tungku 1,50 0 0 1,50 1,50 0 1,50
Ember/pisau/saringan 1,13 0 0 1,13 1,13 0 1,13
Rak (kerai) bambu 3,54 0 0 3,54 3,54 0 3,54
6 Tenaga kerja 742,50 0 0 742,50 559,03 0 559,03
7 Bahan pengemas
Daun 166,81 0 0 166,81 166,81 0 166,81
Plastik 222,84 0 0 222,84 222,84 0 222,84
8 Biaya tataniaga 66,48 81,70 1,81 150,00 66,48 81,70 148,19
9 Sewa tempat 66,67 0 0 66,67 0 0 0
10 Pajak 27,78 0 0 27,78 0 0 0
TOTAL 8.159,94 4.010,11 563.01 12.733,06 7.907,63 3.721,70 11.629,33
Lampiran 10. Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai naik 60 Persen
Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan
Input tradable Input nontradable
Harga Privat 10.400,00 4.010,11 8.159,94 -1.770,05
Harga Sosial 11.955,14 3.721,71 7.969,74 263,70
Dampak kebijakan -1.555,14 288,40 190,20 -2.033,74
Lampiran 11. Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup,
Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai Naik 60 Persen diimbangi dengan Kenaikan Harga Output 46 Persen.
Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan
Input tradable Input nontradable
Harga Privat 15.184,00 4.010,11 8159,94 3.013,95
Harga Sosial 17.454,45 3.721,71 7969,74 5.763,00
Dampak kebijakan -2.270,45 288,40 190,20 -2.749,05