orasipengukuhan ahlipenelitiutama peranilmu ...kesepakatan sps memberikan dampak positif yang nyata...
TRANSCRIPT
Berita Biologi, Volume 8 , Nomor I, April 2006
ORASIPENGUKUHAN AHLIPENELITIUTAMA
PERANILMU BIOTAKSONOMISERANGGADALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN
DI ERA GLOBALISASI[The Role of Science on Insect Biotaxonomy for Sustainable Agricultural
Development in the Era of Globalization]
Sri Suharni SiwiBalai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi
dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Badan Litbang Pertanian.Jalan Tentara Pelajar 3 A, Bogor 16111
ABSTRACTDiagnostic materials have been recently faced by more complexity species due to the evolution's accelerated in agro ecosystem.Biotaxonomy is needed for searching solutions technology of sustainable agriculture, and anticipating problems that may appearedduring the agricultural development proses. Biotaxonomy is a tool for integrating biological aspects, beginning of inventory,description, cataloging, study of distribution and the perspective evolution. The contribution to applied sciences has often suppliedthe key to the solution of problems for IPM and biological control provided accurate identification of the exact country of originof insect pests and their total fauna of parasites and predator.Since the establishment of the World Trade Organization in 1995, volume and intensity of trade in agricultural product increasedtremendously. To prevent the entry or spread of a pest, rules based on health and safety ground had been set out internationallyunder the agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (the SPS Agreement). In the context ofinternational trade, the exporting country obliged to provide a list of pests likely to be associated with the commodity to be ableimporting country to conduct pest risk analysis and establish phytosanitary regulations. In order to meet these obligations,however, the developing countries have not benefited as developed countries, due to unabilily to provide an adequate descriptionof health status of agricultural industries and pest-records based on voucher specimens held in properly well curated collection.The extensive specimen-based pest record held in the reference insect collection Bogor is an asset national that can provide themost reliable evidence of the plant health status of the country that have been long time ago neglected. The collection can providea country with a powerful tool to assist bids for market access and to justify measures to exclude potentially harmful exotic pestsentering the country. Therefore, such insect collection should be security well managed, and database digitally for easily accesses.Sectors of interest should worked together to realize that hopes. Without such efforts, global policy market has just only moreimpoverish our farmers and the possibility our commodities products pursued internationally on the other hand our local marketsfelled with product commodities import as has been seen at this time.
Kata Kunci: Biotaksonomi, serangga, pertanian berkelanjutan, globalisasi
PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian di Indonesia telahmengalami proses yang panjang, dimulai denganprogram intensifikasi massal untuk peningkatanproduksi dan adopsi teknologi menuju prosesdinamisasi dan komersialisasi usaha tani kecil. Dalammenghadapai tantangan arus globalisasi, pendekatanpembangunan pertanian diarahkan padapengembangan sistem dan usaha agribisnis terpadu,agar mampu menghasilkan produk pertanian berdayasaing tinggi, peningkatan kualitas produk, danpenekanan pada berkelanjutan dan pelestarianlingkungan (DEPTAN, 2001).
Aspek penting pertanian berkelanjutan antaralain, bagaimana sistem budidaya pertanian tetapmemelihara kesehatan tanaman dengan kapasitasproduksi maksimum, serta mengurangi dampak kegiatanpertanian yang dapat menimbulkan pencemaran danpenurunan kualitas lingkungan hidup (Aryantha,2004). Berbagai jenis organisme pengganggu tanaman(OPT) dapat mengganggu kesehatan tanaman, yangmengakibatkan penurunan hasil produksi danpenurunan kualitas produk. Pimentel (1991)memperkirakan rata-rata kerugian hasil pertanian didunia akibat gangguan berbagai jenis OPT sekitar 35-37 %. Kerugian hasil pertanian tersebut akan lebih tinggi
Siwi - Pidato Pengukuhan APU: Biotaksonomi Serangga dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
untuk daerah tropika yang mempunyai iklim yang cocokuntuk berkembang biak nya berbagai jenis OPT.
Pengelolaan hama teipadu (PHT) yang menjadidasar kebijakan pengendalian OPT merupakan salahsatu komponen penting dalam pertanian berkelanjutanagar pembangunan pertanian tidak merusaklingkungan. Kecenderungan untuk mendapatkan hasilpengendalian yang cepat dan cara yang mudah seringmengakibatkan kebijakan pengendalian dilakukandengan jalan pintas menuju pemberantasan hamadengan pestisida. Dampak kegiatan pertanian denganmempergunakan cara pengendalian itu telahmengakibatkan masalah OPT menjadi lebih kompleksdan generasi baru OPT sasaran menjadi tahan terhadappestisida dan mampu lebih beradaptasi denganlingkungannya. Akibatnya, pengendalian OPTdihadapkan pada semakin kompleksnya materidiagnostik karena proses evolusi serangga sangatmudah terjadi di agroekosistem (Dent, 1995). Harusdiakui bahwa keberhasilan PHT masih terbatas padasejumlah OPT tertentu dan penerapannya masihmengalami berbagai keterbatasan (Badan LitbangPertanian, 1999). Dukungan ilmu pengetahuan dasardan teknologi (IPTEK), yang mampu menghasilkankomponen-komponen pengendalian yang memilikikompatibilitas antar komponen yang tinggi diperlukanuntuk penerapan dan pengembangan PHT.Peningkatan sumber daya manusia (SDM) yangmemahami mekanisme terjadinya proses evolusi diagroekosistem dan mampu mengantisipasi masalahyang aka,n timbul menjadi sebuah kebutuhan yangsangat mendesak.
Dengan lahiraya liberalisasi perdagangan duniadan dihapuskannya tarif perdagangan (bea masuk),produk agribisnis dari luar terbuka lebar memasuki pasardomestik. Meningkatnya volume dan intensitasperdagangan produk pertanian dari luar, memungkinkanmeningkatnya invasi organisme pengganggu tanamankarantina (OPTK), yang dapat mengancam lingkunganhidup dan usaha agribisnis dalam negeri. Perundang-undangan dan peraturan-peraturan perkarantinaantumbuhan seperti Undang-Undang (UU) No. 16 tahun1992, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah(PP) No. 14 tahun 2002 adalah dasar-dasar hukum untuk
v'tiendukung operasional perkarantinaan nasional dalam
mencegah introduksi OPTK dari dan keluar negerimaupun dari suatu area ke area lain dalam wilayahIndonesia (Sudarisman, 2003).
World Trade Organization (WTO) atauOrganisasi Perdagangan Dunia, yang mulai beroperasipada tahun 1995 merupakan badan internasional yangmengatur masalah perdagangan antarnegara.Penerapan pemberlakuan Sanitary andPhytosanitary
Agreements (kesepakatan SPS) yang tertuang padapasal 14 WTO-Agreements on Agriculture, merupakankebijakan perdagangan global untuk melindungikeselamatan / kesehatan konsumen di dunia, yangharus ditaati oleh setiap negara anggota WTO.Kesepakatan SPS, meliputi sanitari (sanitary) yangmenyangkut keamanan produk pangan, pelabelan,bebas residu pestisida dan ramah lingkungan, danfitosanitari {phytosanitary) yang berarti bebas OPT.Kualitas produk komoditas pertanian yang memenuhiISPM (International Standard for Phytosanitary
Measures) merupakan persyaratan utama untukmemperoleh akses pasar global (FAO-ISPM, 1995-1999). Persaingan antarnegara terjadi untukmeningkatkan daya saing produk pertanian di pasarglobal dalam menghadapi tuntutan konsumen duniadengan preferensi kesehatan (higienis) dan lingkunganhidup. Oleh sebab itu hanya agribisnis yangmenerapkan IPTEK secara maksimal yang akanbertahan dalam persaingan global (Mentan, 2004).
Bagi banyak negara maju yang secara umumsudah mempunyai keunggulan di bidang IPTEK,kesepakatan SPS memberikan dampak positif yangnyata terhadap penguatan daya saing produknya dipasar internasional. Bahkan kesepakatan tersebutsering dipakai alasan untuk makin memperketatperaturan masuk produk-produk dari luar ke pasardalam negerinya (disguised on trade) sebagai proteksipertanian dan usaha agribisnis negaranya (PSA,DEPTAN, 2002). Berarti, kesepakatan SPS dapat dipakaisebagai instrumen pendukung untuk melindungibiosekuritas tanaman dalam negeri, dengan catatanbahwa kebijakan yang diambil harus berdasarkankeilmuan melalui analisis potensi ancaman OPT ataupest risk analysis (PRA) (FAO, 2001). Hasil PRAberperan secara efektif dalam merumuskan kebijakan.agar hak pengaturan karantina tumbuhan terhadap
Berita Biologi, Volume 8 , Nomor 1, April 2006
proses pemasukan media pembawa OPT tidak dianggapsebagai hambatan akses pasar yang dilarang olehprinsip-prinsip perdagangan bebas (PP No. 14, pasal 5,tahun 2002).
Bagi negara berkembang termasuk Indonesia,banyak kendala yang dihadapi dalam memenuhikesepakatan SPS. Kesepakatan SPS, tidak sebandingdengan sarana teknologi informasi, khususnya dalaminfrastruktur dasar (basic infrastructure) yangmenopang database kesehatan tanaman (plant health
database) dan kapasitas diagnostik. Kemampuansumber daya manusia (SDM) untuk mendeskripsisecara benar status OPT masih rendah (Siwi dan Dikin,2001).
Akses pasar global produk-produk komoditaspertanian, terkait erat dengan biotaksonomi, karenadalam memenuhi kesepakatan SPS, pengetahuanbiotaksonomi diperlukan oleh kelompok SDM yangberkewajiban mendiagnosis OPT secara benar danakurat (Siwi, 2002). Akan tetapi, penelitian ilmu dasaritu kurang memperoleh apresiasi dari pembuatkebijakan, sehingga pengembangannya sangatterbatas. Jalur panjang yang harus ditempuh olehpenelitian itu, menghasilkan output yang tidak dapatsegera dilihat dan dirasakan, sehingga dianggapkurang bermanfaat. Lebih parah lagi, pembelajarantaksonomi yang keliru di Indonesia selama berpuluhtahun, telah mengakibatkan kekeliruan pemahamanakan fungsi sebenarnya dari ilmu biotaksonomi sebagaialat utama untuk mengelola keanekaragaman organismedi alam. Akibatnya, kesadaran akan kebutuhaninformasi biotaksonomi dalam pelaksanaanpembangunan menjadi pudar (Adisoemarto, 2003).
Serangga, merupakan salah satu kelompok OPTdi antara kelompok lainnya seperti nematoda,fitoplasma, virus, bakteri, cendawan, siput dan gulma.Pembahasan OPT dalam pidato ilmiah ini terbatas padaperan ilmu biotaksonomi serangga, gunamengmaksimalkan sumbangannya bagi pembangunanpertanian berkelanjutan di era globalisasi, khususnyaperan strategis dalam proteksi agribisnis dalam negeri.
UNGKUPBIOTAKSONOMI SERANGGATaksonomi (Taxonomy) berasal dari kata Yunani
taxis (arrangement) yang berarti pengaturan dan
nomos (law) yang berarti hukum. Komaruddin (1982)menyebut taksonomi sebagai: "Klasifikasi atau
penggolongan yang teratur dan bernorma mengenai
organisme-organisme di alam ke dalam kategoriyang
tepat dan penerapan nama-nama yang sesuai dan
benar ".
Sebenarnya taksonomi tidak terbatas hanyakepada klasifikasi atau sekedarpemberian nama denganbenar, akan tetapi taksonomi merupakan alat utamadalam mengelola keanekaragaman organisme di alamdan mempunyai peran dalam disiplin-disiplin ilmubiologi lainnya. Sebagai contoh, kegiatan inventarisasiatau dokumenstasi keanekaragaman serangga di suatudaerah yang dilakukan dalam suatu survei faunistik,pada dasarnya merupakan aspek taksonomi yangdiperlukan untuk menangani masalah konservasi,taksiran (assess) lingkungan, evaluasi sumber-sumberdaya genetis dan manajemen hayati seperti yangdilakukan oleh Bridgewater (1986) di Australia, Danks(1986) di Kanada dan Kim & Knutson (1986) di AmerikaSerikat.
Klasifikasi, yaitu kegiatan penggolongan danpengaturan taksa (taxa) pada kategori yang lebih tinggiyang menunjukkan persamaan atau perbedaan ciri-cirikarakteristik fenetik (phenetic) kemudianmemprosesnya sesuai aturan baku di dalam sistemklasifikasi (Kelas-Ordo-Famili-Genus-Spesies), seringdisebut taksonomi makro (macrotaxonomy). Sistempenggolongan ini merupakan dasar ilmu biologi (Mayr,1968; Watt, 1979).
Taksonomi mikro (microtaxonomy), berkaitandengan kegiatan klasifikasi, identifikasi varietas danpopulasi. Dalam melakukan kegiatan identifikasi, makaspesies satu dengan spesies yang lain dibedakan denganpenelusuran kunci-kunci identifikasi dan deskripsi untukmengenai keanekaragaman dan hubungan kekerabatanunit taksa yang dekat (closely related species). Apabilaidentifikasi dapat dilakukan sampai tingkat spesies, makakehadiran dan kelimpahan spesies yang ditemukanmerupakan kunci untuk melihat lebih jauh mekanismeyang berlaku dalam dinamika proses ekologi dilingkungan tersebut. Studi lebih lanjut tentang biologiunit taksa tersebut akan memperoleh informasi lebih lanjuttentang stadia, distribusi, inang, pemencaran(dispersal), atau pemanfaatannya secara berkelanjutan.
Siwi - Pidato Pengukuhan APU: Biotaksonomi Serangga dalarn Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Simpson (1961) mendefinisikan ilmu taksonomisebagai: "ilmu untuk mempelajari keanekaragamanorganisme di alam, klasifikasi, hubungankekerabatannya, distribusi, dan perspekstif evolusi".Ross (1974), menyebut taksonomi dengan istilahbiotaksonomi atau biosistematika, yaitu: "ilmu yangmerupakan integrasi berbagai aspek biologi danmensintesis semua pengetahuan biologi sejak awalmenemukan, kemudian melakukan deskripsi danmemberi nama, mendaftar (pembuatan katalog), studipersebaran dan perspektif evolusi". Konsep dariSimpson (1961) dan Ross (1974), membuat ilmubiotaksonomi mempunyai peran baik dalam segi terapan(applied) maupun segi konsep perkembangan ilmumisalnya adaptasi lingkungan dan proses evolusi.
Kenyataan yang kini dihadapi di Indonesiaadalah bahwa taksonomi masih difahami sekedarpekerjaan klasifikasi dan mengenal urutan hierarkidalam klasifikasi. Kerancuan pemahaman akan fungsisebenarnya dari ilmu itu mengakibatkan kesadaran akankebutuhan informasi biotaksonomi dalam pelaksanaanpembangunan menjadi pudar (Adisoemarto, 2003). Olehsebab itu, pemahaman secara benar perlu ditegakkanterutama dalam menghadapi semakin kompleksnyamateri diagnostik, agar ilmu itu dapat diterapkan secarabermanfaat dalam pendekatan secara holistik untukpembangunan pertanian yang berkelanjutan.
Prosedur pengaturan taksaPada awalnya, pengaturan kategori taksa
mempergunakan konsep tipologi spesies dengananalisis struktur anatomi dan morfologi fenetik(phenetic), sering disebut taksonomi konvensionalatau taksonomi alfa. Akan tetapi pada saat sampelpopulasi diambil dari berbagai daerah geografi yangberbeda, terlihat adanya variasi intraspesifik. Hal itubanyak mempengaruhi pemikirin konsep spesies darikonsep tipologi menjadi konsep politipik (polytypic),
yaitu spesies yang tersusun dari unit populasi yangberbeda dalam dimensi tempat dan waktu (Huxley,1940). Di tahun-tahun 1950-an, taksonomi konvensionalbanyak dipengaruhi ilmu sistematika baru berdasarkanpendekatan biologi (biological approach) yangmerupakan titik awal menuju modernisasi taksonomi.Taksonomi kemudian berkembang menjadi taksonomi
moderen yang disebut biotaksonomi. Bukan berarti,dengan berkembangnya taksonomi moderen kemudiantidak menghargai taksonomi konvensional, akan tetapitaksonomi moderen merupakan kombinasi teknikkonvensional dengan elemen penting lain seperti analisisgenetik (biomolekuler), tingkah laku (behaviour), suara(acoustics), fisiologi, biokimia dan ekologi, terutamadalam menghadapi masalah semakin bertambahkompleksnya materi diagnostik (Schuch, 2000).
Taksonomi gamma merupakan analisis variasiintraspesifik apabila ada kemungkinan spesies kompleks(sibling, biotipe, ras geografi), yang membantu untukklarifikasi pemikiran terjadinya proses evolusi di tingkatspesies dan merupakan instrumen menuju keperkembangan ilmu misalnya adaptasi lingkungan danproses evolusi (Mayr and Ashlock, 1991).Kecenderungan, bahwa identifikasi spesies denganteknik molekular dipergunakan untuk mengganti teknikkonvensional adalah sebuah kekeliruan, karena keduateknik itu tidak dapat berjalan sendiri-sendiri.
Pengaturan taksa secara makro, sering disebuttaksonomi beta. Walaupun taksonomi beta merupakanilmu yang terabaikan seperti halnya taksonomi alfa, akantetapi secara dramatis ilmu itu berkembang sejakbangkitnya taksonomi numerikal (numerical taxonomy),
yang dikembangkan oleh Adanson (1763) kemudiandibangkitkan kembali oleh Sokal dan Sneath (1963).
Sebagai contoh, Siwi (1986) melakukan penelitiandengan metode numerikal secara morfometrik terhadappopulasi wereng hijau Nephotettix virescens (Distant)di Indonesia (gambar 1).
Gambar 1. Variasi Fenetik Wereng Hijau Nepholettikvirescens {PRINCIPAL COMPONENTANALYSIS) (Siwi, 1996)
Berita Biologi, Volume 8 . Nomor I, April 2006
Populasi wereng hijau tersebut di koleksi dariberbagai daerah pertanaman padi secara intensifdengan input teknologi tinggi (misalnya varietasunggul, pupuk, pestisida dsb) dibandingkan denganpopulasi wereng hijau yang di koleksi dari pertanamanpadi tradisional dari Papua. Hasil penelitianmenunjukkan adanya variasi parametrik terhadap keduapopulasi wereng hijau N. virescens tersebut. Dengananalisis prinsip komponen (PCA-Principal Compo-
nent Analysis) dan diskriminasi fungsi, populasiwereng hijau N. virescens dari Papua terpisah secarajelas dari populasi wereng hijau dari pertanaman padiintensif. Metode itu merupakan pendekatan untukmenampilkan data fenetik secara kuantitatif dan secaragrafis.
Menurut Hennig (1966), perbedaan yangkontras dalam variasi fenetik merupakan refleksiinformasi tentang hasil proses evolusi, sehingga dapatdigunakan untuk orientasi taksonomi lebih lanjutberkaitan masalah genetik kuantitatif atau kekerabatan(phylogenetic). Dari aspek evolusi, apabila hasilpenelitian kekerabatan dapat dikorelasikan dengan ciri-ciri fenetik, hal itu merupakan faktor penentu untukanalisis perbedaan tingkah laku (behaviour) serangga,adaptasi serangga dengan lingkungannya, dankemampuan sebagai vektor virus (Quartau, 1983).
Peran biotaksonomi dari segi terapanDari segi terapan, biotaksonomi serangga
merupakan focal points pengembangan ilmu serangga(entomologi) pertanian dan kesehatan serta yangberhubungan dengan lingkungan hidup. Biotaksonomimemungkinkan pengenalan berbagai nama spesies atauunit taksa dan analisis nilai kekerabatannya(phylogeny), peran dan kedudukan takson dalamhabitatnya, bionomi, persebaran geografi serta maknatakson terhadap susunan kehidupan di suatu kawasan(Adisoemarto, 2003). Dengan kata lain, pengetahuanekosistem yang luas dan keanekaragaman biota lokalhanya dapat dikuasai apabila informasi taksonomicukup memadai.
Kasus entomologi kesehatan, merupakan salahsatu contoh yang baik tentang terjadinya kerugianfinansial yang tidak kecil jumlahnya dalampengendalian epidemi penyakit malaria yang ditularkan
oleh nyamuk Anopheles maculipennis, akibatkurangnya pengetahuan hubungan antara persebaranpopulasi vektor dan penyakit yang ditularkan. Melaluipenelitian taksonomi secara seksama diketahui bahwanyamuk A maculipennis merupakan kompleks spesies,terdiri dari beberapa spesies sibling yang mempunyaipreferensi habitat dan cara berkembang biak (breeding
habits) yang berbeda. Tidak semua spesies siblingtersebut mampu menularkan penyakit malaria, sehinggapengendalian cukup diarahkan ke spesies yangberbahaya, sehingga pengendalian dapat dilakukanlebih selektif (Mayr & Ashlock, 1991).
Kemajuan penelitian ekologi sangat tergantungpada ketelitian identifikasi spesies (Elton, 1958). Faktor-faktor yang menekan atau menunjang populasi,memegang peranan penting di dalam dinamika populasidi alam. Interaksi antara berbagai komponen dan carapengelolaan agroekosistem yang beragam telahmenyebabkan beragamnya dinamika agroekosistemdari satu daerah ke daerah lain. Dengan bantuanpemantauan, tingkat populasi dapat di deteksi.Misalnya hubungan antara serangga hama-parasitoid-predator-patogen, perlu diklasifikasi secara akurat,sebab identifikasi yang benar serta analisis salinghubungannya merupakan kunci keberhasilanpengendalian hama secara terpadu (PHT) danpengendalian hayati.
Persebaran populasi serangga dipengaruhioleh iklim, makanan, ruang, populasi spesies lain ataupopulasi spesies yang sama. Populasi-populasitersebut saling mempengaruhi dan menentukankeseimbangan hayati pada ekosistem tempat merekaberada (Boughey, 1973; Odum, 1971). Banyakspesies yang terintroduksi dari negari lain dapatdianalisis berdasarkan informasi persebaran geografispesies asli (indigenous) dan perubahan di dalampersebaran spesies berikutnya. Misalnya parsitoidichneumonid Acrotomus succinctus, merupakanspesies asli dari Eropa yang telah masuk ke AmerikaUtara bagian Timur. Ichneumonid tersebut olehMason (1978) diklasifikasikan ke dalam jenisintroduksi. Informasi persebaran geografi spesiesasli dan perubahannya biasanya di database-kan
dalam monografi taksonomi (Allen, 1980 dan Ross,1958).
Siwi - Pidato Pengukuhan APU: Biotaksonomi Serangga dalam Pembanguiian Pertanian Berkelanjiitan
Kemampuan diagnostik
Rendahnya kemampuan SDM dalampengetahuan taksonomi alfa merupakan kendala utamayang dihadapi para peneliti di Indonesia untuk mampumengidentifikasi serangga yang menjadi obyekpenelitiannya secara benar dan akurat. Hal tersebutdapat menghambat pekerjaan diagnostik selanjutnya.
Menurut Merriman et al. (2001), ilmu diagnostiksecara fundamental mempunyai dua tahapan yaitutahapan diagnostik awal, yang memerlukanpengetahuan dasar ilmu taksonomi alfa karena akanmenentukan pekerjaan diagnostik selanjutnya. Banyakjenis OPT dengan gejala unik dan ciri morfologi spesifikdapat dengan mudah diidentifikasi dalam diagnostikawal. Biasanya ciri-ciri morfologi dapat dibandingkandengan ciri-ciri spesimen di koleksi referensi untukmembantu identifikasi dengan cepat, sehingga ilmudiagnostik perlu ditopang oleh beberapa komponeninfrastruktur seperti koleksi referensi, informasibiotaksonomi dan literatur.
Apabila ditemukan gejala yang tidak sepertibiasanya (unusual), maka protokol bantuan spesialisdiperlukan untuk tahapan diagnostik akhir, khususnyadalam menghadapi semakin kompleksnya materidiagnostik masa kini. Uji serial samples biasanyadigunakan oleh spesialis untuk karakterisasi seranggayang tidak mudah dikenal melalui ciri morfologi.Kecermatan prima dan mata terlatih diperlukan untukmembedakan berbagai keragaman organisme dankeluarga terdekatnya. Untuk kompleks spesies (sibling,ras geografis, subspecies atau ekotipe), pendekatansering dilakukan dengan mempergunakan analisismolekular (taksonomi gamma), seperti teknikpengurutan (sequencing) DNA, elektroforesis gelprotein, evolusi karyotipe (nucleus pattern), danmorfologi kromosom (Bhattacharya dan Biswas, 1986;Hollander, 1982;Mitsuhashi, 1966;Demayoetal, 1988).Teknik ini sekarang banyak dipergunakan oleh parapeneliti bioevolusi untuk meneliti variasi gen daripopulasi organisme di alam, dan telah menghasilkanpenemuan-penemuan yang memperkuat konsep alirangen di antara populasi spesies. Kerjasama multidisiplindiperlukan karena pendekatan diagnostik menyangkutciri karakteristik morfologi, anatomi komparatif danpalaentologi, dan erat kaitannya dengan cabang ilmu
biologi yang lain seperti ekologi, biogeografi,
embriologi, sito-genetika, bio-molekular, perilaku,
adaptasi dan sejarah evolusi (Simpson, 1961; Mayr,
1969; Ross, 1974; Anderson, 1975; Hamilton, 1983;Siwi
et al., 1997).
PERAN BIOTAKSONOMI SERANGGADI
SEKTORPERTANIAN DAN KARANTTVA
TUMBUHAN
Serangga, merupakan salah satu kelompok OPTyang dapat secara langsung merusak pertanaman atausecara tidak langsung sebagai vektor penyakittanaman. Banyak anggapan, bahwa serangga sebagaiOPT harus diberantas habis. Semua jenis racun OPTdisebut PESTISIDA yang berarti pembunuh OPT.Produk komersial dengan nama "obat serangga"berperan memperburuk citra serangga dan mendorongseringnya pemakaian insektisida untuk membunuhserangga hama.
Sebenarnya masih lebih banyak serangga yangbermanfaat dari pada yang merugikan, baik untukkehidupan manusia, binatang atau tumbuhan yanghanya dapat dideterminasi dan dipastikan melaluipenelitian biotaksonomi secara berkesinambungan(Siwi et al., 1997). Di dalam ekosistem, banyakmekanisme alami yang bekerja secara efektif dan efisiendalam menjaga kelestarian dan keseimbangan ekologi.Namun untuk mengembangkan strategi dalammenggunakan mekanisme alami tersebut memerlukanpengetahuan dan penguasaan yang komprehensif danlengkap tentang informasi dasar biotaksonomi (Untungdan Sudomo, 1997). Pentingnya kesinambunganpenelitian biotaksonomi serangga dan kebenaranidentifikasi telah banyak ditulis di berbagai publikasi(Clausen, 1942; Delucchi et al., 1976; Gordh, 1977;Knutson, 1981;Siwi, 1983; Wilson, 1985;Rosen, 1986;Sabrosky, 1975; Schlinger and Doutt, 1964;Sosromarsono dan Untung, 2000) yang menambahwawasan dengan berbagai contoh implementasikeberhasilan PHT, keberhasilan pengendalian hayati,karantina dan informasi lain tentang keanekaragamanfauna serangga, ekologi serta proses evolusi.
Beberapa contoh serangga yang bermanfaat disektor pertanian seperti yang tersebut dibawah ini.
Berita Biologi, Volume 8 , Nomor I, April 2006
Serangga penyerbukBerpindahnya serbuk sari dari satu bunga ke
bunga yang lain tidak terjadi dengan sendirinya, namundengan perantaraan agens hayati atau secara fisik.Tumbuhan yang penyerbukannya khusus olehserangga disebut entomofil {entomophyli), misalnyatanaman kelapa sawit. Kelapa sawit adalah tanamaneksotik dari Afrika Barat tropis yang di introduksi keIndonesia dan Malaysia. Pada habitatnya yang baru,kelapa sawit yang berasal dari Afrika itu tidakmempunyai serangga penyerbuk yang efektif, sehinggapenyerbukan terpaksa dilakukan secara manual (dengantangan). Beberapa spesies kumbangmoncong(Curculionidae) Elaedobius diketahui berperan sebagaiagens penyerbuk dari daerah asal yang paling efektif(Wahid et al, 1984).
Dari hasil penelitian biotaksonomi, ekologidan perilaku Elaedobius spp. diketemukan bahwaspesies E. kamerunicus yang paling cocok untuk diintroduksi di Malaysia. Pelepasan E. kamerunicus
berhasil menetap {established) sebagai penyerbukdi seluruh perkebunan kelapa sawit di Malaysia,sehingga penyerbukan dengan tangan dapatdihentikan. Keberhasilan serangga penyerbuktersebut dapat menghemat beaya produksi senilaiUS $ 115 juta per tahun bagi petani kelapa sawit diMalaysia (Anon, 1982). Melihat keberhasilan diMalaysia tersebut E. kamerunicus dimasukkan keIndonesia dari Malaysia dan dilepas dalam tahun1983 setelah dilakukan studi kekhususan inang danbiologi E. kamerunicus untuk pembiakan masal(Pardede, 1990).
Pengendalian HayatiKeberhasilan pengendalian hayati sangat
bergantung dari biotaksonomi untuk dapatmengidentifikasi serangga yang ingin dikendalikan danpenentuan musuh alami yang akan digunakan. Daristudi biotaksonomi dapat diketahui sifat-sifatkeanekaragaman hayati musuh alami untukpengembangan penggunaan musuh alami secaraefektif dan melindunginya (Sosromarsono & Untung,2000). Perencanaan awal, sangat tergantung dariinformasi klasifikasi, spesies asli (native species),
distribusi, variasi inang, informasi dasar keadaan fauna
di di tempat asal (origin) dan kunci identifikasi spesiesuntuk eksplorasi agens hayati tersebut.
Kecermatan taksonomi untuk kelompokkompleks parasitoid seperti chalcidoids, ichneumonidsdan braconids merupakan dasar terpenting dalampengendalian hayati, sebab kebanyakan parasitoidtersebut mempunyai inang dan habitat yang spesifik.Misalnya, parasitoid telur kupu-kupu (Lepidoptera),Trichogramma (Hymenoptera: Trichogrammatidae)terdiri dari banyak spesies yang mempunyai inang danhabitat spesifik, sehingga kecermatan taksonomidiperlukan untuk mengidentifikasi spesies denganbenar. Demikian pula jenis Muscidifurax
(Hymenoptera: Pteromalidae) yang merupakanparasitoid lalat synanthropic yang berasosiasi dengankehidupan manusia. Dengan kecermatan taksonomi,spesimen yang semula hanya diidentifikasi sebagaisatu spesies, kiranya terdiri dari 5 spesies yang berbeda(Kogan dan Legner, 1970). Banyak contoh-contohkerugian finansial yang tidak kecil jumlahnya dalamusaha pengendalian hayati karena kurangnya informasibiotaksonomi serangga hama dan musuh alaminya(Clausen, 1978; Delucchi et al, 1976; Gordth, 1977;Knutson, 1981; Rosen, 1986; Rosen and de Bach, 1973;Sabrosky, 1975; Schlinger dan Doutt, 1964).
Clausen (1978) memberikan contoh kegagalanpengendalian hayati pada hama jeruk Aleurocanthus
woglumi (Hemiptera: Aleyrodidae). Hama inimenyerupai coccids (scale insect) pada stadia nimfadan pupa. Semula, pengendalian denganmempergunakan parasitoid yang didatangkan daridaerah oriental telah gagal karena informasi dasarbiotaksonomi tentang parasitoid hama tersebut tidaktersedia. Kemudian dilakukan revisi taksonomiterhadap hama tersebut dengan hasil bahwa spesiesitu sebenarnya adalah California red scale (kutuperisai merah), Aonidiella auranti (Hemiptera:Diaspididae). Parasitoid yang efektif kemudianditemukan dari Cina, dan pelepasan parasitoid ituberhasil mengendalikan kutu perisai merah diperkebunan jeruk di California. Contoh lain diberikanoleh Adisoemarto (1990) tentang kegagalan akibatkurangnya pengetahuan keragaman spesiesparasitoid telur Trichogramma untuk pengendalianhayati, yang mengakibatkan introduksi dan pelepasan
Siwi - Pidato Pengukuhan APU: Biotaksonomi Serangga dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
spesies yang salah dan tidak mengenai sasaran
pengendalian.
Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
Pada masa permulaan pelaksanaan programintensifikasi pertanian di Indonesia pada tahun 1960-1970-an, pengendalian hama pertanian lebih banyakdilakukan dengan cara membunuh dengan racun kimiasintetik (insektisida). Cara itu dianggap paling mudahdan efektif yang dapat menjamin keberhasilanproduksi pangan. Sebagai contoh, penggunaaninsektisida yang semakin meningkat dan meluasdengan adanya penyemprotan dari udara melaluiproyek CIBA-BIMAS dan program BIMAS GotongRoyong (Mufid, 1997j untuk pengendalian penggerekbatang padi dan kemudian juga hama wereng batangcoklat (WBC) yang muncul di awal tahun 1970-an.Kiranya cara pengendalian itu tidak pernah bisamengatasi masalah, bahkan menimbulkanpermasalahan baru yaitu reserjens WBC ataupeningkatan populasi secara nyata sesudah diaplikasidengan insektisida, meningkatnya populasi seranggayang sebelumnya secara ekonomis tidak pentingkarena matinya musuh alami dan pencemaranlingkungan (Aquino and Heinrichs, 1979; Kenmore,1980; Heinrichs and Mochida, 1984, Denno andPerfect, 1997). Karena akibat samping itu timbulkesadaran pentingnya penerapan Integrated Pest
Management (IPM) yang sekarang dikenal denganpengelolaan hama terpadu (PHT). Kebijakan barupenerapan PHT dalam pengendalian hama padikhususnya WBC dan pelarangan penggunaan 57formulasi insektisida di pertanaman padi tertuangdalam Inpres No. 3 Th. 1986 (Oka, 1994). Landasanutama PHT lebih dititik beratkan pada pengelolaanagroekosistem dan memprioritaskan penggunaan carapengendalian yang ramah lingkungan denganmengurangi pemakaian pestisida yang bertujuanuntuk mempertahankan populasi hama pada aras yangtidak merugikan (Untung, 1993). Dalam perancanganPHT peran biotaksonomi sangat besar, karenakeanekaragaman hayati ekosistem pertanian itu perludiketahui dan dipahami, terutama keanekaragamanmusuh alami dan hubungannya dengan hama danspesies lain di ekosistem itu.
Menurut Dent (1995), pengendalian kimiawiyang bertujuan untuk menekan populasi hama ataupengendalian dengan mempergunakan varietas tahanuntuk mengurangi kemampuan reproduksi hama dapatbertindak sebagai penyeleksi sehingga populasiserangga berubah sifatnya, dengan kata lain terjadievolusi yang dipercepat di agroekosistem. Untuk dapatmemahami terjadinya proses evolusi di agroekosistem,dukungan biotaksonomi merupakan faktor penting.Peningkatan SDM yang mampu mengantisipasimasalah yang akan timbul dan memahami mekanismeterjadinya proses evolusi di agroekosistem menjadisebuah kebutuhan yang sangat mendesak.
Kebijakan Karantina
Di era globalisasi, perubahan secara cepat telahterjadi di sektor turisme dan perdagangan. Peningkatandan kecepatan perpindahan manusia, binatang danbarang terjadi dari satu lokasi ke lokasi yang lain ataudari negeri satu ke negeri lain. Kuantitas impor produk-produk pertanian yang memasuki pasar domestik jugameningkat (Lampiran tabel 1). Peluang masuknyaorganisme pengganggu tanaman karantina (OPTK) kesuatu negeri, termasuk Indonesia menjadi semakinbesar, melalui impor tanaman, benih atau bahanpembiakan (propagative material), produk lain atauterbawa oleh manusia, paket, surat dan sebagainya.Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2002 tentangkarantina tumbuhan pasal 5 telah mengatur persyaratanteknis analisis risiko OPT atau pest risk analysis (PRA)untuk pemasukan produk komoditas tertentu dari luarnegeri ke dalam wilayah RI. OPTK dinyatakan sahih(valid) sebagai barrier apabila telah dikaji berdasarkanhasil analisis resiko untuk taksiran kerusakan yangditimbulkannya apabila terintroduksi dari negari lain(FAO, 1995-1999). Ini berarti bahwa PR A dapat secaraefektif berperan dalam merumuskan kebijakan agar hakpengaturan karantina tumbuhan terhadap prosespemasukan media pembawa OPT tidak dianggapsebagai hambatan akses pasar yang dilarang olehprinsip-prinsip perdagangan bebas.
Penguatan perkarantinaan nasional melaluiproses tindakan pemeriksaan karantina, sistemsurveillance dan pemantauan (monitoring) untukdeteksi dini OPT eksotik (invasive plant pest) harus
Berita Biologi, Volume 8 , Nomor I, April 2006
dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan(Siwi, 2002). Peningkatan kemampuan SDM dalamteknik deteksi dan pemantauan sangat ditekankanuntuk menghadapi dan merespons kemungkinanserbuan OPTK, yang dapat membahayakan tidak sajasektor pertanian tetapi juga lingkungan hidup secarakeseluruhan (Siwi, 2000; 2001; 2003). Dukungan ilmudasar biotaksonomi diperlukan agar mampumendiagnosis secara akurat bahwa suatu produk tidaktercemar OPT berbahaya, sehingga keputusan dantindakan karantina {quarantine measure) yang diambildapat dilakukan dengan tepat.
Kebenaran identifikasi merupakan kunci untukmengetahui lebih lanjut informasi habitat, sehinggatingkah laku {behaviour) jenis serangga yang sedangditeliti dapat di prediksi. Dikaitkan dengan informasipersebaran geografis dapat dimanfaatkan untuk PRA,apakah serangga tersebut menunjukkan pola toleranterhadap habitat baru sehingga mampu menyebardengan luas, atau sebaliknya tidak akan menyebarsecara luas (Danks, 1979;EPPO, 1999). Sebagai contohpada tahun 1942, di California, telah di identifikasiadanya invasi larva Grapholitha molesta (Lepidoptera:Tortricidae), sejenis ulat buah dari daerah Oriental.Penemuan tersebut telah mengundang respons untukinvestigasi lebih lanjut, sehingga eradikasi dapatdilakukan sebelum ulat tersebut menghancurkan kebunbuah-buahan komersial di sana (Keifer, 1944). Sebuahbukti bahwa PRA perlu ketelitian identifikasi yangberlandaskan penelitian dasar ilmu biotaksonomi, agardapat digunakan untuk proteksi usaha agribisnis dalamnegeri dan keamanan sumberdaya hayati nasional.
Kebijakan karantina dan protokol untuk kriteriamutu produk secara teknis harus mengikuti prosedurstandar internasional {ISPM-International Standard
for Phytosanitry Measures). Proses sertifikasifitosanitari mengacu pada pedoman ketentuan standarinternasional yang diterapkan. Misalnya acuan untukperlindungan kesehatan manusia, hewan dan tumbuhanialah International Office of Epizootic (IOE) danInternational Plant Protection Convention (IPPC)(FAO, 2001; PSA DEPTAN, 2002).
Sejak 1997 Amerika Serikat memberlakukansistem jaminan mutu produk pertanian pangan denganpola HACCP {The Hazard Analysis Critical Control
Point) bagi importir dan eksportir yang akanmemasarkan produknya di Amerika Serikat (FAO, 2001).Pola ini merupakan sistem jaminan untuk melindungikonsumen dari bahaya produk yang tercemar organismemikro penyebab penyakit atau kontaminasi zat kimiadan toksin berbahaya. Demikian pula AQIS {Australian
Quarantine and Inspection System) mempersyaratkanimpor beberapa komoditas hortikultura Indonesia keAustralia melampirkan rekord daftar OPT {pests list
record) yang ada selama sepuluh tahun terakhir (PSA,DEPTAN, 2002).
Rendahnya apresiasi terhadap ilmubiotaksonomi sebagai dasar penguatan kemampuandiagnostik dan sistem manajemen data kesehatantanaman merupakan hambatan utama dalam meresponsdengan cepat permintaan rekord daftar OPT {pests list
record) yang diperlukan pada komoditas tertentu olehnegara mitra dagang. Contoh, informasi daftar OPTtanaman mangga diminta oleh National Plant
Quarantine Service /MAF, sehubungan dengan ekspormangga Indonesia ke Korea, akan tetapi informasi yangdiperlukan tidak tersedia. Hambatan berupa penolakanatau pemusnahan ekspor produk pertanian di pasarinternasional karena tercemar OPT yang tidakdikehendaki juga terjadi seperti kasus penolakanproduk komoditas ekspor yang dilaporkan terhadap 52produk hortikultura Indonesia di Taiwan akibat kurangmemenuhi standar ISPM {International Standard for
Phytosanitary Measures) (BARANTAN, 2002).
Untuk negosiasi perdagangan dunia, daftar OPTsebagai catatan kesehatan tanaman pertanian {pest list
record) hanya dipercaya apabila validitasnya dapatdiklarifikasi dengan awetan bukti spesimen yangtersimpan di koleksi sehingga dapat dijamin kebenaranidentifikasinya. (APEC Workshop, 2001; APECWorkshop, 2002; ASEAN Workshop, 2003). Karena ituspesimen koleksi merupakan asset nasional sebagaisumber referensi dan sumber informasi yang perludikelola dengan baik dan secara digital di databasekem
agar mudah di akses.
Dengan sangat langkanya SDM dan sulitnyamemperoleh dana untuk manajemen koleksi dan risetbiotaksonomi serangga pertanian, mengakibatkaninformasi keragaman jenis-jenis OPT/OPTK, distribusi,kisaran inang atau informasi lain tidak mudah diakses
Siwi - Pidato Pengukuhan APU: Biotaksonomi Serangga dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
dengan cepat. Berdasarkan kenyataan di atas perlu
kiranya meningkatkan SDM pertanian yang mempunyai
pengetahuan luas tentang biotaksonomi baik serangga,
penyakit maupun tumbuhan.
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
BIOTAKSONOMI SERANGGADI INDONESIA
Ilmu yang mempelajari serangga (entomologi)baru dimulai pada abad ke-17, walaupun -ebenarnyaserangga telah dipelajari sejak 4.000 SM. Sekitar1.500.000 spesies yang hidup di dunia sekarang ini telahdiketahui dan masih ada jutaan spesies yang belumdideskripsi (Borror, 1992). Deskripsi spesies terusberlanjut dan spesies baru terus bertambah dari tahunke tahun. Keberadaan ilmu entomologi mencuat drastisdengan diterbitkannya buku buah karya Charles RobertDarwin (1859) berjudul "The Origin of Species by
Means of Natural Selection, or The Preservation of
Favoured Races in The Struggle for Life ", dan AlfredRussel Wallace (1876) dengan teori evolusiorganismenya yang tertuang dalam esai berjudul "On
the tendencies of varieties to depart indefinitely from
the original type ".
Darwin dan Wallace mengemukakan teorievolusi yang disampaikan pada kongres LinnaeanSociety di London (1859) yang menyatakan bahwaspesies mengalami perkembangan, melalui prosesterpolakan, dengan faktor penentu berupa mutasi,kompetisi dan seleksi. Teori evolusi dari kedua tokohini merupakan revolusi ilmu yang memungkinkanpengembangan pengetahuan baru, antara lainadaptasi ekologi, tingkah laku dan proses spesiasi.
Wallace yang menjelajahi Indonesia padapertengahan abad ke-19 telah menemukan posisiIndonesia sangat penting dalam persebaranserangga (biogeography). Sebagai negeri kepulauan(lebih 17.000 pulau-pulau) yang terletak di antaradua benua Asia dan Australia, Indonesia memilikikeanekaragaman fauna serangga yang amat besar.Faktor geografi dan isolasi, telah memperkaya jenisdan perilaku serangga Indonesia sesuai denganhabitatnya. Informasi tersebut hanya dapat digalidengan melakukan penelitian ilmu dasarbiotaksonomi secara berkesinambungan. Pada saatWallace (1880) banyak mengungkapkan keadaan
fauna serangga di Indonesia, taksonomi memegangperan penting dan mempunyai kedudukan strategisdalam penelitian entomologi. Walau demikian, awalperkembangan dan pemekaran biotaksonomi yangmengungkap adanya takson, peran dan kedudukantakson dalam habitatnya serta makna taksonterhadap susunan kehidupan di suatu kawasan barumulai berkembang pada dua dasa warsa awal abadke-20 (Adisoemarto, 2003).
Di sektor pertanian di awal abad lalu, penelitiantingkahlaku (behaviour) dan peran serangga yangmenyangkut segi terapan, dilakukan oleh Instituut voor
Plantenziekten, Departement voor Landbouw,Buitenzorg yang awalnya merupakan bagian dariLandbouw Zoologisch Museum (sekarang MuseumZoologi Bogor disingkat MZB). MZB diresmikanberdirinya pada tahun 1901, berkat usaha Dr. J.C.Koningsberger yang kemudian menjabat sebagaidirektur pertamanya. Pada saat itu MZB statusnyamasih di bawah administrasi Kebun Raya Bogor yangterkenal dengan nama 'sLands Plantentuin atauBotanical Garden (Satu Abad Museum Zoologi,Bogor, 1994). Dr. J.C. Koningsberger adalahentomologiwan Belanda pertama yang berada di Jawa,yang telah memulai kegiatan museum dan penelitianhama dan penyakit pertanian di Indonesia. Hal itumengundang banyak perhatian dari pakar bidangpertanian maupun kalangan pejabat pemerintah padasaat itu. (Dammerman, 1929).
Pada akhirnya, Instituut voor Plantenziekten
menjadi lembaga tersendiri pada tahun 1911 lepas dariMZB. Penelitian yang menyangkut entomologipertanian yang sebelumnya dikerjakan oleh KebunRaya dan MZB, sejak tahun 1914 terakomodasi di dalamInstituut voor Plantenziekten, dengan Dr C.J.J. vanHall sebagai direktur pertama (1912-1926). MenurutAdisoemarto (2003b) peristiwa ini telah mengawali danmendasari terpisahnya entomologi dasar (basic) danentomologi terapan (applied) di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan Instituut voor
Plantenziekten di antaranya adalah penelitian untukmencari solusi masalah hama dan penyakit yang lebihterfokus pada pengembangan komoditas ekspor danpertanian pangan serta sektor kehutanan yangmerupakan andalan pemerintah kolonial Belanda.
10
Berita Biologi, Volume 8 , Nomor I, April 2006
Pengendalian serangga hama dengan memanfaatkanparasitoid di sektor pertanian telah dimulai sejak zamanitu. Parasitoid dan serangga predator yang dipakaiuntuk pengendalian hayati ada yang dari lokal atauyang di introduksi dari luar negeri (exotic). Antaratahun 1932-1933, parasitoid Tetrastichus brontispae
(Hymenoptera: Eulophidae) dari Jawa Barat telahberhasil secara nyata untuk mengendalikan hamakelapa Brontispa longissima (Coleoptera: Hispidae) diSulawesi Utara. Pengendalian hama kelapa denganparasitoid itu masih berlangsung sampai sekarang.Parasitoid Diadegma eucerophaga (Hymenoptera:Ichneumonidae) yang didatangkan dari New Zealandtahun 1950 berhasil menanggulangi hama kobis Plutella
xylostella (Lepidoptera: Yponomeutidae) di Jawa, Balidan Sumatra di pertanaman yang tidak banyakpenyemprotan insektisida (Sosromarsono, 1988)
Sesudah Indonesia Merdeka, Instituut voor
Plantenziekten berada di bawah naungan Balai BesarPenyelidikan Pertanian Bogor yang pada awalpemerintahan orde baru menjadi Bagian Hama PenyakitLembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3). RencanaPembangunan Lima Tahun (REPELITA) PemerintahRepublik Indonesia yang dimulai pada tahun 1969,telah membangkitkan berbagai kegiatan penelitian,termasuk penelitian serangga. Pada waktu itu,kelompok penelitian hama komoditas pertanian sangatmenonjol, walaupun arah penelitian masih lebih banyakterfokus pada cara pengendalian dengan bahan kimia(Laporan Kemajuan Penelitian Seri Hama Penyakit,1970-an).
Upaya pengendalian dengan memanfaatkanmusuh alami kemudian lebih diefektifkan dalam upayapengembangan konsep PHT yang menjadi kebijakanbaru pengendalian OPT sesudah tahun 1970-an. Lebihdari 25 spesies agens hayati di impor dari luar negerisejak tahun 1975-1995, di antaranya adalah predatorCurinus coeruleus (Homoptera: Coccinellidae) yangdi impor dari Hawai untuk pengendalian kutu loncat(Leucaena psyllids), Heteropsyla cubana
(Homoptera: Psyllidae) (Sosromarsono, 1988). DiIndonesia, lebih dari 5 spesies parasitod telahdilaporkan sebagai musuh alami wereng coklatNilaparvata lugens, 4 spesies parasitoid wereng hijauNephotettix spp. dan 10 spesies merupakan parasitoid
penggerek batang padi Scirpophaga spp.(Sastrosiswojoe/a/., 1995).
Koleksi Referensi Serangga PertanianSejarah panjang keberadaan koleksi serangga
pertanian di Balai Besar Penelitian Bioteknologi danSumber Daya Genetik Pertanian Bogor, berawal darikoleksi Instituut voor Plantenziekten. Di bawahkepemimpinan Mr. H.C.N. Pendlebury seorang ahlisistematika serangga pertama yang ditugaskan diIndonesia, kemajuan penelitian yang berarti telahdicapai oleh Instituut voor Plantenziekten dengankoleksi spesimen bukti (voucher) yang sangat prima(excellent).
Di dalamnya terdapat koleksi seranggapertanian, kehutanan, musuh alami dan kelompokserangga lain yang merupakan bukti spesimen(voucher) beberapa buku entomologi dan artikel yangdipublikasi di Mededeelingen van het Instituut voor
Plantenziekten (1913-1936), dan buku-buku yangditulis oleh Dammerman (1929), Franssen (1934; 1936),Voute (1944) dan Kalshoven yang terbit dalam bahasaBelanda dalam duajilid (1950, 1951), TjoaTjien Mo(1952) dan Laporan Hasil Penelitian pada Balai BesarPenyelidikan Pertanian Bogor (1953). Buku Kalshovenberjudul "De plagen van de cultuurgewassen in In-
donesia ", kemudian di revisi dalam bahasa Inggris olehP.A.van der Laan (1981) dengan judul "The pests of
crops in Indonesia ".
Sayang revisi itu tidak sepenuhnyamenyertakan seluruh jenis serangga yang diuraikan dibuku lama. Menurut S. Sosromarsono (personalkomunikasi, 2004), van der Laan pernah menyatakansewaktu berkunjung ke Indonesia dalam rangkapenulisan revisi itu, bahwa merevisi seluruh isi bukuKalshoven (1950/1951) akan memakan waktu yangsangat lama. Sedangkan kebutuhan akan informasiserangga Indonesia yang penting dan ekonomis sangatmendesak. Edisi yang berbahasa Inggris itu sebenarnyamerupakan edisi yang tidak lengkap, padahal buku inimasih menjadi acuan utama penelitian seranggaIndonesia sampai sekarang. Buku Kalshoven yangberbahasa Belanda dan terdiri dari duajilid (volume)itu lebih baik sebagai buku acuan, meskipun namailmiahnya sudah harus banyak yang divalidasi (S.
11
Siwi - Pidato Pengukuhan APU: Biotaksonomi Serangga dalam Pembangunaji Pertanian Berkelanjutan
Sosromarsono, komunikasi personal, 2004). Kegunaankoleksi referensi spesimen dipakai sebagai materipembanding untuk memastikan nama spesies denganbenar, dan menjaga kesinambungan antara parapeneliti terdahulu dengan peneliti generasi penerusyang ingin yakin bahwa ia sedang bekerja denganspesies yang sama dengan peneliti sebelumnya.
Kembali ke tahun 70-an, timbulnya kesadaranpentingnya penerapan PHT, telah banyak membukakesadaran akan pentingnya ketelitian identifikasisebagai langkah awal keberhasilan PHT. Konsep PHTmengharuskan dikenalnya berbagai kelompokserangga dan arthropoda lain yang terlibat baik secaralangsung maupun tidak langsung dalam prosespengendalian hama serangga. Hal itu memerlukanwawasan ilmu dasar biotaksonomi serangga secaraluas. ,
Seiring dengan itu, usaha rehabilitasi koleksireferensi mulai dirintis oleh penulis di tahun 1975,melalui beberapa tahapan bantuan teknik luar negeri(Gambar 2). Bantuan teknik taksonomi diberikan olehpemerintah Belanda di tahun 1976 dan 1978, dandengan Pemerintah Jepang (JICA), di tahun 1977 dan1978 (Siwi, 1975; Siwi 1976 a; 1976 b; Van Doesburg,1976 and 1977; Siwi & Hattori, 1978). Pada tahun 1978,koleksi dipindah ke gedung baru bantuan JICA, yangletaknya berdampingan dengan ruanganperpustakaan bagian hama/penyakit pada saat itu,untuk memfasilitasi peneliti dalam ilmu taksonomi dan
Gambar 2. Koleksi serangga di Balai Besar Penelitiandan Pengembangan Bioteknologi danSumberdaya Genetik Pertanian
kemampuan diagnostik hama pertanian. Koleksi mulaibertambah dengan awetan jenis-jenis wereng daun,wereng batang, walang sangit, penggerek batang danserangga hama lain pada tanaman padi, hama gudangdan hama tanaman kedele/palawija. Dalam kurunwaktu tahun 1990-2003, koleksi bertambah dari hasilsurvei kerjasama dengan Australia QuarantineInspection Service (AQIS) terutama dari Papua (Siwi& J.Turner, 1992) dan koleksi lalat buah yang saat inimerupakan hama utama tanaman hortikultura dariberbagai daerah di Indonesia.
TANTANGANDANARAHKEDEPANBerdasarkan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia no. 6 tahun 1995 pasal 4 tentangperlindungan tanaman disebutkan bahwa:"Perlindungan tanaman dilaksanakan denganmenggunakan sarana dan cara yang tidak mengganggukesehatan dan kerusakan sumberdaya alam ataulingkungan hidup" (Anon, 1995). Untuk maksudtersebut yang paling cocok pertanian masa depanadalah pertanian berkelanjutan {sustainableagriculture) dengan prinsip-prinsip pengendalianhama terpadu (PHT). Dalam perancangan PHT, peranbiotaksonomi sangat besar, karena keanekaragamanhayati ekosistem pertanian itu perlu diketahui dandipahami. Hubungan antara serangga hama-parasitoid-predator-patogen di ekosistem perlu diklasifikasisecara akurat, sebab identifikasi yang benar sertaanalisis saling hubungannya merupakan kuncikeberhasilan PHT dan keberhasilan pengendalianhayati. Peran biotaksonomi menjadi lebih penting dalamera globalisasi untuk mendiagnosis OPT/OPTK secaraakurat.
Dengan sangat langkanya tenaga taksonomisdan kurangnya minat SDM dalam menekuni risetbiotaksonomi, maka informasi keragaman jenis-jenisOPT yang sahih, persebaran, kisaran inang atauinformasi lain tidak mudah diakses dengan cepat.Kendala itu dapat merupakan hambatan dalammemenuhi kesepakatan WTO-SPS. Banyak koleksiserangga yang tersimpan di berbagai institusi termasukkoleksi serangga di Balai Besar Bioteknologi danSumberdaya Genetik Pertanian masih belum memenuhipersyaratan standar internasional karena masih
12
Berita Biologi, Volume 8 . Nomor I, April 2006
memerlukan validasi untuk dipergunakan sebagairujukan dan klarifikasi kebenaran identifikasi (Naumannet al., 2003). Pembuat kebijakan perlu memberikanperhatian terhadap pengembangan riset biotaksonomiserangga. Koleksi referensi serangga yang ada diBadan Litbang Pertanian perlu dikelola dan dijagakeamanannya, selalu ditingkatkan {upgrade) dandivalidasi oleh ahli taksonomi di bidangnya sesuaistandar baku internasional dan secara rlektonik didatabase kan agar informasi mudah di akses.
PELUANGRehabilitasi Koleksi Referensi Serangga Pertanian
Pada tahun 2002, melalui kerjasama Indonesia-Australia di bawah proyek Government Sector
Linkage Programme (GSLP) koleksi referensi seranggapertanian mulai direhabilitasi kembali (Siwi, 2002).Validasi sesuai standar internasional dilakukanterhadap ratusan spesies khususnya jenis-jenisHemiptera (kebanyakan merupakan hama dan vektorpenyakit tanaman), lalat buah (Diptera) danHymenoptera (kebanyakan serangga parasitoid)dengan bantuan ahli taksonomi Australia yangdidatangkan ke Indonesia. Validasi taksonomi untukkelompok serangga lain masih diperlukan agar koleksiini dapat dimanfaatkan sebagai rujukan. Validasi untukjenis kumbang (Coleoptera) yang kebanyakanmerupakan hama gudang akan dilakukan pada tahun2004(GSLP-2004).
Penulis sendiri dikirim ke Australia untukmengembangkan sistem web-based diagnostic key,
suatu teknologi identifikasi melalui internet.Diharapkan dengan teknologi internet, kemampuanSDM dalam diagnostik dapat ditingkatkan (Siwi, 2002).Buku petunjuk lapangan untuk identifikasi jenis-jenislalat buah penting di Indonesia dan jenis-jenis lalatbuah yang perlu diwaspadai serta informasi bio-ekologidan pengendaliannya sedang dalam persiapan untukdicetak (Siwi dan Purnama, 2004).
Digitalisasi Data dengan perangkat lunak Bio-LinkPenelitian biotaksonomi merupakan komponen
penting dalam pengembangan digitalisasi sistem
manajemen database kesehatan tanaman. Revolusi
bio-informasi, yang menghadirkan teknologi komputer
dan internet, telah memfasilitasi penyimpanan danpenelusuran (retrieval) data dengan cepat. Data-datadi koleksi referensi Bogor sedang dalam proseskomputerisasi dengan program database Bio-Link (Siwi,2002).
Program ini merupakan perangkat lunak yangdirancang untuk mempermudah digitalisasi informasitaksa (taxa) bagi para peneliti atau kurator koleksiserangga / patogen dalam mengelola data kesehatantanaman. Pemanfaatan dan pengembangan programdatabase dengan sistem ini diharapkan dapatmendorong terciptanya kerjasama antar peneliti dalamdan lintas institusi dalam upaya merealisasipengembangan database kesehatan tanaman diIndonesia.
Beberapa digitalisasi informasi data yang telahselesai dilakukan adalah jenis-jenis lalat buah dan jenis-jenis wereng batang (planthoppers) dan wereng daun(leaflioppers) di Indonesia serta daerah sebarannya(Siwi, 2002). Sampai dengan akhir tahun 2002 jumlahspesies serangga yang tersimpan di koleksi referensimeliputi hampir 5.000, terdiri dari 134 famili yangmewakili 9 ordo serangga. Jumlah seluruh spesimenkuranglebih 100.000.
Komunikasi dan bantuan spesialis di bidangnyamasing-masing sangat diperlukan untuk memperolehberbagai penjelasan atau prediksi yang diperlukandalam proses klarifikasi diagnostik. Komunikasi daripara pakar di bidangnya sering dilakukan melaluiinternet, melalui PESTNET(<t>yahoogroup.com (Siwi,2002).
Kerja Sama Nasional / InternasionalDari hasil berbagai pertemuan APEC di Brisbane
(2001) dan Taiwan (2002) telah direkomendasikanbeberapa peluang kerjasama antara lain: (1)pengembangan mekanisme kerjasama dengan institusidiagnostik baik nasional maupun regional untukmengatasi keterbatasan tenaga ahli taksonomi; (2)pengembangan strategi dalam memperkuat basisinfrastruktur data kesehatan tanaman dari anggotanegara ekonomi APEC, khususnya untuk negaraberkembang; (3) perlunya negara ASEAN memberikanprioritas terhadap keberadaan koleksi referensi,meningkatkan kemampuan dalam survei dan diagnostik
13
S/wi - Pidato Pengukuhan APU: Biotaksonomi Serangga dalam Pembangunan Penanian Berkelanjutan
OPT untuk memperoleh teknik identifikasi yang akurat/ sahih dalam membangun kapasitas SPS (ASEANWorkshop, Kualalumpur, 2003). Dengan demikiandiharapkan akses pasar global untiik usaha agribisnisproduk pertanian dapat lebih ditingkatkan khususnyauntuk negara berkembang termasuk Indonesia.
Kebangkitan Organisasi "Masyarakat TaksonomiFauna Indonesia" (MTFI)
Menyadari akan perlunya biotaksonomisebagai ilmu pengetahuan yang menata makhluk hidupdan langkanya tenaga ahli di bidang ilmu ini sertakurang memadai dan kurang berkelanjutannya danayang dialokasikan pemerintah untuk penelitianbiotaksonomi, maka pada tahun 2004 ditandai dengankelahiran organisasi profesi untuk mengembangkantaksonomi fauna Indonesia dengan nama "MasyarakatTaksonomi Fauna Indonesia" (MTFI). Bersama denganPerhimpunan Penggalang Taksonomi Indonesia (PPTI)dan Kelompok Kerja Inisiatif Taksonomi Indonesia,Kementerian Lingkungan Hidup (Pokja INTI-KLH),MTFI berusaha mengembalikan pamor taksonomi ditanah air.
Visi MTFI ialah: "Bangkit dan berkembangnyakembali taksonomi fauna di Indonesia". MTFImerupakan organisasi profesi yang independen, dantidak bergantung dan tidak mengikuti institusimanapun. Misinya ialah: Mengembangkan jaringankerja antar lembaga, taksonomiwan dan pemerhatitaksonomi fauna; menyebarkan informasi;mengembangkan kerja sama ilmiah; menyelenggarakanpertemuan ilmiah dan menyediakan pelayanan ilmiah.
Dengan bangkit dan berkembangnya organisasiMTFI, bersama PPTI dan Pokja INTI - KLHdiharapakan pemahaman asas ilmu taksonomi secarabenar dapat ditegakkan di Indonesia sehingga ilmu inidapat diterapkan secara bermanfaat dan menjadi alatutama dalam mengelola keanekaragaman hayati, dankeberhasilan pembangunan pertanian yangberkelanjutan.
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapasimpulan sebagai berikut:
Peran aktif ilmu pengetahuan biotaksonomi
diperlukan dalam mencari solusi teknologi untukkeberhasilan pengembangan pertanian berkelanjutan.khususnya dalam pengendalian OPT yang ramahlingkungan (PHT) dan mengantisipasi masalah yangakan timbul akibat kemungkinan dampak kegiatanpertanian yang mengakibatkan percepatan prosesevolusi di agroekosistem.
Selama ini, ilmu biotaksonomi telah kehilanganfungsinya sebagai alat utama untuk mengelolakeanekaragaman organisme di alam. Oleh sebab itu.sistem pendidikan ilmu biotaksonomi perlu ditingkatkanuntuk mencetak taksonomis yang berkualitas.Pemahaman secara benar perlu terus menerusditegakkan terutama dalam menghadapi semakinkompleksnya materi diagnostik, agar ilmu itu dapatditerapkan secara bermanfaat untuk pembangunanpertanian yang berkelanjutan di era pasar global.Pemahaman itu perlu dilakukan secara konseptualdengan rencana dan strategi yang tepat. Pemikiran daripara ahli sangat diharapkan untuk terlaksananyarencana dan strategi tersebut.
Peran biotaksonomi menjadi lebih pentingdalam era globalisasi untuk mendiagnosis OPT/OPTKsecara akurat. Kerjasama baik nasional maupuninternasional, khususnya dengan institusi diagnostikperlu dilakukan untuk mengatasi keterbatasan tenagaahli taksonomi. Kerjasama lintas institusi dan disiplinlintas komoditas untuk tukar menukar informasisangat diperlukan dalam membangun basisinfrastuktur database kesehatan tanaman (plant
health database) di tanah air.
Sektor dan pemangku kepentingan yangbersangkutan kiranya perlu bekerjasama untukmewujudkan harapan itu. Tanpa usaha-usaha tersebutdi atas, kebijakan global hanya akan memiskinkanpetani kita karena tidak mustahil bahwa akses pasarglobal untuk produk pertanian dapat terhambat.sebaliknya pasar lokal dipenuhi produk komoditasimpor seperti yang sudah terlihat pada saat ini.
BAHANPUSTAKAAdanson M. 1763. Families des Plants. Vincen, Paris.
Adisoemarto S. 2003". Pembelajaran taksonomi yang benar
Presentasi pada Sosialisasi Taksonomi di hadapan
Guru-guru Biologi di Solo, 2003.
14
Berila Biologi, Volume 8 , Nomor !, April 2(106
2003h. L;ntomologi. Asas dan metode untuk memaham
serangga. Manuscript
1990. Memunculkan warna entomologi dengan
biosistematika: Apa maksudnya?. PEI
Allen RT. 1980. A review of the subtribe MyAdi:
Description of a new genus and species,
phylogenetic relationships, and biogeography
(Coleoptera: Carabidae: Pterostichini). Coleop.
Bull. 34, 1-29.
Anderson NM. 1978. Some principles and methods of
cladistic analysis with notes on the use of cladistics
in classification and biogeography. Z.Zoo.Syst,
Evollutio-forsch. 16,243-255.
Anon. 1982. Weevil worth US $ 115 million per annum.
Wallington, UK: CAB International.
1995. Peraturan pemerintah Rl No. 6 Th. 1995
tentangPerlindungan Tanaman, DitjenPerkebunan.
Aryantha IN. 2004. Membangun sistem pertanian
berkelanjutan. Pusat Penelitian Antar Universitas
Ilmu Hayati LPPM-1TB.
APEC. 1999. Workshop on Phytosanitary Risk Assessment.
Cairns. Australia.
2001. APEC Workshop to Contain Transborder
Movement of Plant Pests: Diagnostic. Brisbane,
Australia.
2002. Symposium on Detection, Monitoring and
Management of Invasive Plant Pests. Chinese Taipei.
Aquino G. and EH Heinrichs. 1979. Brown planthopper
populations on resistant varieties heated with a
resurgence causing insecticide. IRRI Newsletter 4,
11.
Badan Litbang Pertanian. 1999. RENSTRA 1999-2004.
Badan Litbang Pertanian.
Balai Besar Penyelidikan Pertanian Bogor. 1953. Hama-
hama tanam-tanaman kita. N.V. Penerbit W.van
Hoeve, Bandung's Gravenhage, 1953.
BARANTAN. 2002. Laporan Tahunan Pusat Karantina
Pertanian 2002.
2002. Peraturan Perundang-undangan Karantina
ertanian & Sanitary and Phytosanitary Measures
(SPS).
Bhattacbarya AK and A. Biswas. 1986. The environmental
and genetic interaction of the green leafhopper of
rice. Proceeding National Seminar on Rice Hoppers,
Hopper-borne Viruses and Their Integrated
Management. Bidhan Chandra Krishi
Viswavidyalaya. Mohanpur. W. Bengal.
Borror DJ. 1992. An Introduction the Study of Insects.
Houghton Mifflin Company, Boston.
Boughey AS. 1973. Ecology of Population. Second edition.
The Macmillan Company, New York, 182 pp.
Bridgewater PB. 1986. The Australian Biological Resources
Study: 1973-1985, 187 - 201. in: Kim and Knutson
(Eds.)(lihat Kim KC and L Knutson)
Clausen CP. 1942. The Relation of taxonomy to biological
control../. Econ.Entomol. 35, 744-748.
CP. 1978. Aleyrodidae. In. Clausen CP, ed. Introduced
Parasites and Predators of Arthropod Pests and
Weeds; a world revive. Agriculture Handbook No.
480. Washington D.C., USA: United States
Department of Agriculture, 30-35.
Dammernian KW. 1929. The Agricultural Zoology of the
Malay Archipelago. Amsterdam, J.H. de Bussy.
Danks HV. 1979. Terrestrial habitats and distributions of
Canadian Insects. Entomol. Soc. Can. 108, 195-210.
1986. Biological Survey of Canada (Terrestrial
Arthropods), 203-208. In Kim and Knutson (Eds.)
(lihat Kim KC and L Knutson)
Darwin C. 1859. On the Origin of Species by Means of
Natural Selection, or the Preservation of Favoured
Races in the Struggle of Life. John Murray, London.
Dent DR. 1995. Integrated Pest Management. Chapman &
Hall, London, UK: 355 him.
Delucchi V, D Rosen, and El Schlinger. 1976. Relationship
of systematics to biological Control: 81-91. ITK
Theory and Practice of Biological Control. C.B.
Huffkafer and P.S. Messenger (Eds.).New York/
London: Academic.
Demayo CG, RC Saxena and AA Barrion. 1988.
Morphological, cytological and biochemical
differences among three species Nephotettix
(Homoptera, Cicadellidae) in the Philippines.
Philipp. Ent. 7 (4), 359-385.
Denno RF and Perfect TJ. 1997. Planthoppers their ecology
and Management. Chapman & Hall, London.
DEPTAN. 2002. Pusat Standardisasi Pertanian. Peraturan
Perundang-undangan Karantina Pertanian dan SPS.
SPS, Deptan 2002.
, 2002. Sekilas tentang Sanitary and Phytosanitary.
PSA, Deptan, 2002.
15
Siwi - Pidato Pengukuhan APU: Biotaksonomi Serangga dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
2002. Implikasi globalisasi terhadap penyelenggaraan
perkarantinaan Nasional. Disampaikan oleh Kepala
Badan Karantina Pertanian, pada Apresiasi
Perkarantinaan Nasional, 28 Nopember 2002 di
Jakarta.
2001. REPER TA. Pendahuluan RA PBN 2002 Sektor
Pertanian, 2001.
2001. Laporan Tahunan Pusat Karantina Tumbuhan,
2001. Badan Karantina Pertanian, Deptan.
2002. Laporan Tahunan Pusat Karantina Tumbuhan,
2001. Badan Karantina Pertanian, Deptan.
2002. PP. No. 14 Tahun 2002 tentang Persyaratan
Pemasukan (impor) dan Pengeluaran (ekspor)
(Phytosanitary Certificate) dariNegaraAsai ITujuan
Elton CS. 1958. The Ecology of Invasion by Animals and
Plants. London
EPPO. 1999. PQR database, Paris
FAO. 1995. Principles of Plant Quarantine as Related to
International Trade. International Standards for
Phytosanitary Measures (ISPM), 1995.
_____ 1996. Requirements for the Etablishment of Pest free
Areas ISPM.
1997. Export Certification System. ISPM, 1997.
1995-1999. International Standard for Phytosanitary
Measures. FAO.
2001. Manual on the application of the HACCP system
in mycotoxinprevention and control.
Franssen CJH. 1934. Insecten Shadelijk aan Het Bataten-
Gewas op Java. Buitenzorg, Archipel (withsummary in English).
1936. Insecten Shadelijk aan het Maisgewas op Java.
Buitenzorg, Archipel. (with summary in English).
Gordh G. 1977. Biosystematics of Natural Enemies. In
T.L. Ridgway and S.B. Vinson (Eds.). Biological
Control by Augmentation of Natural Enemies. 125-
148. New York. 480 him.
Goot, P. van der, (1925). Levenswijze en bestrijding van
den witten rijstboorder op Java.
Meded.Inst.Plantez., Buitenzorg 66, 308 him.
Hardy DE. 1982. The role of taxonomy and systematics in
' , integrated pest management programmes. Proc. Ecol.,
4,231-238.
Hamilton KGA. 1983. Introduced and Native Leafhoppers
Common to Old and New Worlds (Rhynchota:
Homoptera: Cicadellidae). Can.Entomol.ll5, 473
511
Heinrichs EA and A Mochida. 1984. From secondary to
major pest status. The case of insecticide-induced
rice brown planthopper, Nilaparvata ltigens,
resurgence. Protection Ecology 1, 201-218.
Hennig W. 1966. Phylogenetic Systematics. University of
Illinois Press, Urbana. 263 pp.
Huxley J. 1940. The New Systematics. Oxford University
Press: 583 him.
Hollander DJ. 1982. The chromosomes of Nilaparvata
lugens Stal and some other reletad species,
Auchenorrhyncha Cytologia. 47, 227-236.
Kalshoven. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Revised
and translated by PA Van Der Laan. PT Ichtiar Baru-
Van Hoeve, Jakarta, 1981.
1950 /1951. De Plagen Van De Cultuurgewassen in
Indonesia Part I and II. N.V. Uit Gevery W Van
Hoeve's Gravenhage, Bandung 1950.
Keifer HH. 1944. Applied entomological taxonomy. Pan-
Pac. Entomol. 20, 1-6.
Kenmore PE. 1991. Getting policies right, keeping policies
right.: Indonesia's Integrated Pest Management
Policy, Production, and Environment. ARPE
Environment and Agriculture Officers' Conference.
Colombo, Sri Lanka.
1980. Ecology and outbreaks of a tropical insect pest
of the green revolution. Ph.D Thesis, University of
California, USA.
Knutson LV. 1981. Symbiosis of bio-systematics and
biological control. lr_ Beltsville Symposia, 61-78.
GC Papavizas et al. (Edts.) Biological control in
crop production. Agricultural Researh 5. 461 him.
KoganM and EFLegner. 1970. Abiosystematic revision
of the genus Muscidifurax (Hymenoptera:
Pteromalidae) with descriptions of four new species.
Can Entomol. 102,1.268-1.290.
Komaruddin, 1982. Kamus Riset. Penerbit Angkasa,
Bandung.
Kim KC and L Knutson. 1986. Foundation for a National
Biological Survey. Lawrence, Kansas. Assoc Syst.
Collect.
Kosztarab M. 1975. Role of systematics collection in pest
management. Bull. Ent.Soc. America 21 (2), 95-98.
16
crita Biologi. loluiih1 S , Xtwior I. April ^O
Mason WRM. 1978. Ichneumonid parasites (Hymenoptera)
accidentally introduced into Canada. Can. Entomol.
110,h03-608.
Mayr E and PD Ashlock. 1991. Principles of Systematic
Zoology. Second Edition. McGraw-Hill.
1968. The Role of Systematics in Biology. Science
159, 595-599.
1969. Animal Species and Evolution. The Belknap
Press of Harvard University, Cambridge,
Massachustts.
Mededeelingen van het Instituut voor Plantenziekten,
1913-1936. Ziekten en Plagen der Cultuur Gewassen
in AWeWaHrf5c/i-/;K//e.Landsdrukkery-Batavia,
Serial: 1913-1936.
MENTAN. 2004. Kata sambutan pada pelantikan Kepala
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Merriman, PJ Moran and B Todoni. 2001. Diagnostic
delivery1 platforms. APEC Workshop, Brisbane.
Mitsuhashi J. 1966. Chromosome numbers of the green
leafhoppers, Nephotettix cincticeps Uhler (Homoptera:
Cicadellidae). Appl. Ent. Zool I, 103-104.
Munroe E. 1964. Biosystematics and Dynamic Ecology.
R.Om.Mus.Life Sci. Contrib. 59, 17 pp.
Mufid A Busyairi. 1997. Membangun Pengetahuan
Emansipatoris. Bumi Tani Kalensari, Indramayu.
Naumann ID, MMd Jusoh and E Lumb. 2003. Arthropod
Collection of South East Asia. Australian
Government, DAFF.
Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology. Third edition.
WB Saunders, Philadelphia.
Oka IN. 1993. Pertanian Berkelanjutan: Pengalaman
Penerapan Konsep PHT dan Prospek
Pengembangannya dalam Pendidikan Tinggi
Pertanian. IPB. .
Pardede DB. 1990. Bioekologi Elaeidobius kamerunicus
Faust (Coleoptera: Curculionidae) Dalam
Hubungan Dengan Penyerbukan Bunga Kelapa
Sawit. IPB.
Pimentel D. 1991. Diversification of biological control
strategies in agriculture. Crop Protection 10 (4), 243
-253.
Quartau JA. 1983. An evaluation of several methods of
principal component and coordinate anaysis applied
to the taxonomy of Bactracomorphus (Homoptera,
Cicadellidae). First International Workshop on
Leafhoppers and Planthoppcrs of Economic
Importance. C1E 135-163.
Rosen D and P de Bach. 1973. Systematics. morphology
and biological control. Entomophaga 18,215-222.
Rosen D. 1986. The role of taxonomy in effective biological
control programs. Agric. Ecosvs. Environ. 15, 121-
129.
Ross HH. 1974. Biological Systematics. Addison-Wesley,
Reading, Massachusetts.
1958. The relationship of systematics and the principle
of organic evolution. Proc. Iff1' Int. Congr. Entomol.
Montreal 1, 423-429.
Sabrosky CV. 1955. The interrelation of biological control
and taxonomy. J. Econ. Entomol. 48, 710-714.
Sastrosiswojo S, P Bangun, H Siswomihardjo and M
Surachmat. 1995. Biological control in Indonesia.
Iri Biological Control As A Cornerstone of
Integrated Pest Management for Sustainable
Agriculture in Southeast Asia. 31-41 ,MARDI and
ACIAR.
Schlinger El and RL Doutt. 1964. Systematics in relation
to biological control, him, . In P. de Bach(Ed.).
Biological Control of Insect Pests and Weeds. 247-
280, Chapman and Hall. London.
Sampurno Kadarsan, M Djajasasmita, P M artodihardjo
dan S Somadikarta. 1994. Satu Abad Museum
Zoologi Bogor, 1894-1994. PuslitbangBiologi, LIP1.
Schuh RT. 2000. Biological Systematics: Principles and
Aplications. Comstock Cornell University. Ithaca
and London.
Simpson GG. 1961. Principles of Animal Taxonomy.
Columb. Univ.New York, USA
Siwi SS. 2002. Development of Database and Upgrading
of Associated Reference Collection of Agriculturally
Important Insect. Laporan Akhir. BALITPA,
Badan Litbang Pertanian.
2002 Monitoring and management of invasive plant
pests. APEC Workshop, Taipei.
and A Dikin, 2001. The capability to diagnose pests
and mange plant health data. APEC Workshop-
Containtment of Transborder Movement of Plant
Pests. Brisbane, 2001.
2001. Diagnostik Hama dan Penyakit dan negosiasi
pasar global produk pertanian. Berita Puslithangtan,
21,5-7.
17
Siwi - Pidato Pengukuhan APU: Biotaksonomi Serangga dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
_ and M Schneider. 2000. Strengthening Quarantine
in Papua. Kerjasama Karantina Indonesia -
Australia (AQIS).
_ 1997. Pengenalan Serangga. Museum Serangga
Taman Mini Indonesia Indah, 1997.
_ Alqbal, D Damayanti dan Trisnaningsih. 1997.
Peranan penelitian biosistematika untuk program
pengendalian hama dan pengembangan penelitian
biomolekuler. Buletin AGROBIO 1,2,1997: 1-8.
_ WTengkano dan I Prasadja. 1997. Peranan serangga
dalam kehidupan manusia. Warta Serangga Th. IV,
Nomor Khusus. Museum Serangga TMII.
_ 1986. Studies on Green Leafhoppers Genus
Nephotettix Matsumura (Homoptera: Euscelidae) in
Indonesia with Special Reference to Morphological
Aspects. Ph.D. Thesis. Tokyo University of
Agriculture: 238 him.
_ 1986. Variation in morphological characteristic of
Nephotettix vireseens (Distant) (Homoptera,
Euscelidae) from different islands in Indonesia.
Contr. Cent.Res.Ins.Food Crops, Bogor, No.75.
_ 1983. Taksonomi dan biosistmatik.Tulang punggung
penelitian biologi yang terlupakan. Procceeding
Kongres Entomologi II, 25-35 Jakarta.
_ 1975. The Insect Collection of Pests and Disease
Division of CRIA. Seminar intern Hama & Penyakit
Tanaman.
_ 1976 a. Ruang lingkup taksonomi serangga untuk
penelitian dan pengembangan. Bahan Pelajaran
Penataran Karantina Tumbuhan. Ciawi, Bogor.
_ 1976 b. Progress Report of the Insect Collection
Program Parti.
_ 1977. Progress Report of the Insect Collection
Program. Part II.
and van Doesburg. 1977. Report on the
rehabilitation of insect collection of LP3, Bogor.
Laporan Kemajuan Penelitian Seri Hama & Penyakit
No. 11.
. and I Hattori. 1978. Inventory of rice stemborers in
Indonesia. Seminar Hama & Penyakit Tanaman
1978.
Sudarisman S. 2003. Taksonomi dalam perkarantinaan
tumbuhan di Indonesia. Disampaikan pada
Lokakarya Taksonomi, Bogor.
Sosromarsono S. 1988. Biological control of agricultural
pests in Indonesia. In. Biological Control of Pests in
Tropical Agricultural Ecosystems.B/O77?QP Special
Publication No.36. 349,69-83.
Sosromarsono S dan K Untung. 2000. Keaneka-ragaman
hayati artropoda, predator, dan parasit di Indonesia
dan pemanfaatannya. Makalah Utama Simposium
Keaneka-ragaman Hayati Artropoda pada Sistem
Produksi Pertanian. Cipayung.
Sokal RR. and PHA Sneath. 1963. Principal of Numerical
Taxonomy. WH Freeman, San Fransisco.
Tjoa Tjien Mo 1952. Memberantas Hama-Hama Padi di
Sawah dan di Gudang. Noordhoff, Jakarta.
UntungK. 1993.KonsepPengendalian Hama Terpadu. Andi
offset, Yogyakarta.
dan M Sudomo. 1997. Pengelolaan serangga secara
berkelanjutan. Simposium Entomologi, Bandung.
Voute AD. 1944. De Plagen van Djeruk Cultuur in
Nederlandsch-Indie. Batavia, Landsdrukkery.
Wahid MB, YPTan, SS Liau, Hj.Abd. Halim Hassan, My
Hussein, MT H Dolmat, S Ismail, CC Tan, YT
Quah, CT Ho, WI Ali. 1984. The population cencus
and ,the pollination efficiency of the Weevil,
Eldeidobius kamerunicus Faust in Peninsular
Malaysia, 1983- A preliminary Report. IIK
Symposium Impact of the pollinating Weevil on the
Malaysian Oil Palm Industry. PORIM & MOPGC.
Wallace AR. 1876. The Geographical Distribution of Animals.
McMillan, London.
Watt JC. 1979. Biosystematics: The Neglected Science.
Nz.Sci.Rev. 36, 68-72.
WOson EO. 1985. The Biological Diversity Crisis. A Challenge
to Science Issues. Sci.Technol, 20-29.
18