analisis masalah pembiayaan kesehatan (2)

Upload: any-tiwi-pujiani

Post on 05-Oct-2015

12 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

n

TRANSCRIPT

A. Istilah-istilah yang belum dipahami Implementasi, Reformasi, Celah fiskal, APBN, APBD, NHA, PHCFBS, Infrastruktur.Artinya :1. Implementasi Impelentasi berarti pelaksanaan, penerapan.2. Reformasi Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa.3. Celah fiskalCelah fiskal adalah kebutuhan daerah yang dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah, kebutuhan daerah dihitung berdasarkan variabel-variabel yang ditetapkan Undang-undang.4. APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negaraIndonesiayang disetujui olehDewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan denganUndang-Undang.5. APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah)APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yangdibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan ditetapkan dengan peraturan daerah.6. NHA (National Health Accounts)NHA adalah alat penting yang menunjukkan bagaimana sumber daya kesehatan di suatu negara, pelayanan apa yang diberikan, dan siapa yang membayar untuk mereka.

7. PHCFBSPHCFBS (Primary Health Care) adalah streategi yang dapat dipakai untuk menjamin tingkat minimal dari pelayanan kesehatan untuk semua penduduk8. InfrastrukturMenurut Grigg (1988) infrastruktur adalah siistem fisik yang menyediakan transportasi, pengairan, darinase, bangunan gedung dan fasilitas public lainnya, yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia baik kebutuhan social maupun kebutuhan ekonomi.

B. Analisis Masalah dan Dampak 1. Analisis masalah :a. Anggaran pemerintah pusat dari tahun ke tahun rawan ada pemotongan anggaran karena keterbatasan celah fiskal.b. Anggaran biaya untuk pelayanan kesehatan preventif dan promotif masih rendah.2. Dampak yang akan timbul :a. Berkuranganya anggaran yang akan diterima oleh pemerintah daerah karena adanya pemotongan anggaran dari pemerintah pusat.b. Kurangnya biaya operasional Puskesmas diberbagai daerah.c. Kurangnya pelayanan kesehatan promotif dan preventif di masyarakat.d. Kurangnya upaya promotif dan preventif pada masyarakat.e. Rendahnya kesehatan lingkungan pada masyarakat.f. Meningkatnya status sakit dan kematian pada masyarakat.g. Rendahnya derajat kesehatan masyarakat.

C. Ringkasan Jurnal1. Jurnal 1ANALISIS PEMBIAYAAN KESEHATAN YANG BERSUMBER DARI PEMERINTAH MELALUI DISTRICT HEALTH ACCOUNT DI KABUPATEN SINJAIAkhirani1, Laksono Trisnantoro21Dinas Kesehatan Kabupaten Sinjai2Magister Manajemen Pelayanan Kesehatan, UGM, Yogyakarta

Selama ini belum pernah dilakukan analisis terhadap pembiayaan kesehatan di Kabupaten Sinjai, sehingga tidak diketahui berapa besar biaya kesehatan yang ada dan bagaimana penggunaannya dan berdampak pada sulitnya pengambil kebijakan dalam menyusun dan mengalokasikan anggaran kesehatan. Dampak adanya desentralisasi terhadap aspek keuangan dalam pelayanan kesehatan menurut Trisnantoro adalah : a) cara pemerintah mengalokasikan anggaran, b) cara pemerintah daerah membelanjakan anggaran untuk berbagai sektor, c) bagaimana masyarakat setempat membelanjakan uang untuk kebutuhan hidupnya.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pembiayaan kesehatan sebelum dan sesudah desentralisasi (tahun 1998-2002), dengan subyek penelitian adalah data sekunder anggaran kesehatan di Kabupaten Sinjai tahun 1998-2002. Instrumen yang digunakan adalah format tabel yang diadopsi dari format tabel National Health Account (NHA), dan dilakukan perhitungan menurut sumber pembiayaan yaitu dari pusat, provinsi, kabupaten, dam Bantuan Luar Negeri (BLN).

Hasil penelitian berdasarkan sumber pembiayaan kesehatan menunjukkan adanya penurunan pembiayaan dari pusat dan peningkatan pembiayaan yang bersumber dari kabupaten, juga peningkatan peran dinas kesehatan dan rumah sakit sebagai agen pembiayaan kesehatan. Pembiayaan untuk pelayanan kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, penyuluhan, pengawasan kualitas air, dan pemeliharaan kesehatan) cenderung menurun. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa menggunakan DHA (District Health Account) ternyata lebih memudahkan dalam membuat analisis pembiayaan kesehatan.Kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya peningkatan pembiayaan kesehatan di Kabupaten Sinjai sebelum dan setelah desentralisasi (1998-2002), adanya penurunan peran pusat dan peningkatan peran pemerintah kabupaten setelah desentralisasi, adanya peningkatan peran rumah sakit sebagai agen pembiayaan meskipun dinas kesehatan masih merupakan agen pembiayaan utama di Kabupaten Sinjau, adanya peningkatan alokasi biaya untuk rumah sakit dan penurunan alokasi biaya untuk puskesmas sebagai pemberi pelayanan kesehatan, serta pemanfaatan data dari akuntansi keuangan kabupaten (district helath account) yang disusun berdasarkan sumber pembiayaan dan alokasi biaya menurut jenis pelayanan memberikan gambaran yang lebih akurat tentang keadaan pembiayaan kesehatan suatu daerah. Peneliti menyarankan kepada pemerintah Kabupaten Sinjai untuk meningkatkan alokasi anggaran bagi Puskesmas dan pustu sebagai fungsi kesehatan masyarakat, memperhatikan komposisi anggaran yang berimbang antara anggaran untuk kegiatan administrasi, dan operasional. Serta kepada Dinas Kesehatan dan rumah sakit perlu meningkiatkn advokasi kepada pengambil kebijakan dalam penganggaran kesehatan.

2. Jurnal 2Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 02, No. 3 September 2013STUDI PELAKSANAAN KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH JAMINAN KESEHATAN DAERAH SUMATERA BARAT SAKATO DALAM MENGHADAPI UNDANG-UNDANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL DAN UNDANG-UNDANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL TAHUN 2013Tuty ErnawatiBalai Kesehatan Indera Masyarakat, Sumatera Barat

Pengantar Undang-Undang No. 32/2004 pasal 22 h, bahwa daerah berkewajiban menyelenggarakan/mengembangkan sistem jaminan sosial, Undang-Undang No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Undang-Undang No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Peraturan Pemerintah No 38/2007 dalam lampirannya menyatakan provinsi dapat menyelenggarakan jaminan kesehatan skala provinsi dan kabupaten/kota dapat menyelenggarakan jaminan kesehatan sesuai kondisi lokal, sampai dengan peraturan daerah masing-masing sebagai landasan hukum lebih lanjut bagi pelaksanaan system jaminan kesehatan masyarakat di daerah. Provinsi Sumatra Barat Jaminan Kesehatan (JKD) telah mulai dikembangkan tahun 2007 dengan mengemban strategi pembangunan kesehatan sebagai arah kebijakan nasional untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Penyelenggaraan Jamkesda Sumatera Barat Sakato melibatkan pihak ketiga sebagai Badan Penyelenggaran (Bapel) yaitu PT. Askes, Pemberi Pelayanan kesehatan (PPK) di puskesmas maupun PPK II/III Rumah Sakit dan Balai Kesehatan yang bekerjasama dengan Bapel yang ditunjuk dalam penyelenggaraan Jamkesda Sumatera Barat Sakato, adapun peserta jamkesda Sakato adalah masyarakat yang mempunyai identitas kepesertaan Jamkesda, yang iurannya dibayar oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan Provinsi Sumatera Barat, masyarakat miskin yang belum mempunyai jaminan kesehatan. Pembiayaan Jaminan Kesehatan daerah Sumatera Barat Sakato merupakan dana sharing dari APBD Provinsi dan APBD kabupaten/kota sampai tahun 2012 untuk pelaksanaan program Jamkesda mengacu pada peraturan Gubenur No. 40/2007 dan No. 41/2007 tentang penyelenggaraan Jamina Kesehatan daerah Sumatera Barat sakato, pelaksanaan tahun 2013 mengacu pada Peraturan Gubenur No. 90/2012, Peraturan Gubenur No. 91/2013 dan Peraturan Gubenur No. 41/2013. Bahan dan Cara PenelitianPenelitian ini merupakan penelitian analisis diskriptif dengan pendekatan kualitatif dengan rancangan studi kasus. Pengumpulan data di lakukan di Dinas Kesehatan Provinsi/Dinas Kesehatan Kab/Kota terpilih, PT Askes, Bappeda, PPK. Data kualitatif dikumpulkan melalui wawancara mendalam, sedangkan data sekunder didapatkan melalui telaah dokumen yang terkait pelaksanaan Jamkesda. Hasil Penelitian dan Pembahasan Kepesertaan Peraturan daerah bahwa peserta Jamkesda Sumatera Barat Sakato adalah setiap orang yang belum mempunyai jaminan, berdomisili di Provinsi Sumatera Barat sekurang-kurangnya enam bulan yang dibuktikan dengan KTP dan/ atau terdaftar dalam kartu keluarga dan telah membayar iuran. Jumlah Peserta Jamkesda sampai tahun 2013 adalah sebesar 24.90%, hal ini cukup siginifikan kenaikan jumlah Jamkesda yang sebelumnya hanya berjumlah 6,1% disebabkan karena premi menurun dibanding tahun sebelumnya, sehingga cakupan peserta Jamkesda Sumatera Barat Sakato meningkat. Peserta jaminan kesehatan Sumatera Barat Sakato yang dibayarkan iurannya oleh pemerintah daerah adalah: 1) Prioritas I pendapatan keluarga lebih kecil dari Upah Minimal Provinsi, 2) Prioritas II pendapatan keluarga satu sampai dengan setengah kali dari Upah Minimal Provinsi, dan 3) Prioritas utama diberikan kepada masyarakat dengan kriteria pendapatan keluarga lebih kecil dari Upah Minimal Provinsi mempunyai balita, ibu hamil, tidak mempunyai jaminan kesehatan lain dan bersedia memenuhi ketentuan. Penduduk mampu dapat menjadi peserta jaminan kesehatan Sumatera Barat Sakato dengan membayar iuran sendiri ke Bapel. Sistem Pembiayaan dan Pengorganisasian Jaminan Kesehatan Sumatera Barat SakatoSumber pembiayaan Jamkes Sumatera Barat Sakato berasal dari APBD Provinsi, APBD kabupaten/kota, dan masyarakat serta pembiayaan lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. PemerintahDaerah Provinsi secara bersama dengan pemerintah kabupaten/Kota membiayai Jamkes Sumatera Barat Sakato terhadap penduduk miskin dengan komposisi yang disepakati bersama, yaitu: 1) Iuran kepesertaan Jamkes Sumatera Barat sakato sebesar Rp72.000,- per-peserta/tahun dan dibayarkan sekali setahun kepada Bapel mulai tahun 2012 dan sebelumnya Rp120.000,- per-peserta/tahun, dan 2) Dana ditempatkan dalam satu rekening Bapel. Besaran iuran yang disepakati bersama yaitu dana sharing provinsi 40% dan kabupaten/kota 60% dengan sasaran peserta yaitu masyarakat tidak mampu. Jika terjadi defisit pada anggaran, maka kabupaten/kota wajib membayar kekurangan pada Anggaran Perubahan atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun berikutnya. Mekanisme PembayaranPeraturan Gubernur Provinsi Sumatera Barat No. 91/2012 bahwa dana pelayanan kesehatan bagi peserta Jamkes Sumatera Barat Sakato untuk puskesmas dan jaringannya disalurkan oleh Bapel ke puskesmas dan jumlah dana yang disalurkan Bapel ke Puskesmas sesuai dengan jumlah peserta yang mendaftar dengan pembayaran sistem kapitasi. Dana yang disalurkan terdiri dari kegiatan pelayanan kesehatan dasar untuk: 1) Rawat Jalan Tingkat Pertama, 2) Rawat Inap Tingkat Pertama, 3) Persalinan dan 4) Opersional/Managemen Puskesmas. Penyaluran dana dari Bapel ke rumah sakit dan balai kesehatan disalurkan oleh Bapel melalui sitem klaim setelah selesai memberikan pelayanan peserta jamkesda, Bapel transfer ke rekening rumah sakit/balai kesehatan setelah klaim disetujui, dan selanjutnya disetor ke kas daerah sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pengorganisasian Jamina Kesehatan Sumatera Barat SakatoBerdasarkan telaah dokumen Peraturan Daerah No. 10/2010 menyebutkan bahwa untuk pelaksanaa monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan Jamkes Sumatera Barat sakato dibentuk tim yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur, adapun tim tersebut anggotanya terdiri dari: 1) Sekretaris Daerah sebagai Ketua, 2) Kepala Dinas Kesehatan sebagai Sekretaris, 3) Kepala DPRD sebagai Anggota, 4) Kepala Inspektorat sebagai Anggaota, dan 4) Kepala Biro Hukum sebagai Anggota. PPK dan Manfaat Pelayanan Kesehatan di Pemberi Pelayanan KesehatanPemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) Jamkes Sumatera Barat Sakato terdiri dari: 1) Dokter keluarga, 2) Puskesmas dan jaringannya, 3) RSUD/RS Khusus milik Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah Kabupaten /Kota, serta RS milik Pemerintah yang beroperasi di Sumatera Barat, dan 4) PPK lain yang memenuhi syarat pelayanan Jamkes Sumatera Barat Sakato. Manfaat medis di fasilitas kesehatan tingkat pertama untuk semua pelayanan kesehatan rawat jalan maupun rawat inap, kecuali biaya transportasi rujukan dan surat keterangan kesehatan, surat keterangan sakit dll, sedangkan untuk pelayanan kesehatan rujukan semua tindakan medis dengan maksimal biaya Rp10.000.000,- juta setahun dengan batasan pada penyakit kanker, HIV, tindakan haemodialisa dan batasan terhadap alat bantu, sedangkan pelayanan kesehatan dengan rujukan tertinggi ke RSUP M. Djamil Padang. Manfaat yang tidak dijamin yaitu pelayanan yang tidak sesuai dengan prosedur, penyakit akibat perilaku, tindakan untuk kosmetika, mendapatkan keturunan dll hal ini disebabkan keterbatasan dana dan untuk efisiensi. Masalah-masalah yang Ada di Pemberi Pelayanan KesehatanHasil wawancara dan observasi bahwa, masalah di pelayanan dasar belum berarti, karena peserta Jamkesda belum memanfaatkan fasilitas kesehatan dasar secara optimal karena kebanyakan peserta Jamkesda Sumatera Barat sakato yang datang hanya peserta yang sudah jatuh sakit sehingga di puskesmas/di fasilitas pelayanan dasar hanya untuk meminta rujukan saja, Pada rumah sakit peserta masih ada yang iuran biaya seperti membeli obat, alat kesehatan dan lainnya sesuai kebutuhan medis yang kebanyakan tidak ditanggung oleh Rumah Sakit sehingga peserta masih banyak yang mengeluh. Kesiapan Daerah dalam Pelaksanaan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tahun 2014Pelaksanaan Undang-Undang SJSN dan BPJS Tahun 2014, perlu adanya rencana aksi pemerintah yaitu dilakukan pembenahan infrastruktur fasilitas pelayanan kesehatan dan standar pelayanan medis baik mulai di puskesmas sampai rujukan lanjutan. Sarana dan PrasaranaJumlah rumah sakit yang ada di Provinsi Sumatera Barat sebanyak 59 buah dengan jumlah RSU/khusus milik pemerintah sebanyak 26 buah dan jumlah puskesmas sebanyak 260 buah dengan Puskesmas rawatan sebanyak 89 buah. Jumlah Tenaga KesehatanJumlah tenaga kesehatan, yaitu: 1) Rasio Dokter Umum 20,1 /100.000 penduduk, 2) Rasio Dokter Gigi 7,6 / 100.000 penduduk. 3) Rasio Perawat 133,1/100.000 penduduk, dan 4) Rasio Bidan 88,9/100.000 penduduk. Kesiapan menghadapi berlakuknya UU BPJS dan universal coverage di Provinsi Sumatera Barat akan diprioritaskan pada kabupaten yang masih belum merata penyebaran tenaga kesehatan seperti dokter, bidan dan perawat.

Dana Pemerintah daerah tetap akan mendukung/membantu dalam penyediaan dana untuk Jaminan Kesehatan Sosial sesuai yang tertuang dalam RPJMD Provinsi Sumatera Barat 2010 2015 untuk mencapai total coverage yaitu pada tahun 2015 di Provinsi Sumatera Barat. KesimpulanPelaksanaan Jamkes Sumatera Barat Sakato belum berjalan sesuai kebijakan yang ada, antara lain penetapan kepesertaan, kualitas pelayanan kesehatan, premi yang rendah, fasilitas kesehatan terbatas, tenaga kesehatan belum merata, serta Tim monev belum di susun sesuai pedoman.Saran : Perlu dievaluasi kebijakan Jamkesda Sumatera Barat Sakato, agar kebijakan yang disusun tidak saling bertentangan. Perlu dukungan Pemda untuk membentuk Tim Monev Jamkesda sehingga semua pihak mempunyai rasa tanggung jawab bersama.3. Jurnal 3SATUAN, KEMAMPUAN MEMBAYAR, DAN KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT DI KOTA SAMARINDA

Kebijakan pembiayaan kesehatan yang dialokasikan dari APBD ini oleh Pemerintah Kota Samarinda sejak tahun 2006, sudah menyelenggarakan program Asuransi Sejahtera (ASTRA) yang merupakan jaminan kesehatan bagi masyarakat samarinda secara gratis di Puskesmas dan Jaminan Kesehatan Rawat Inap di Rumah Sakit kelas 3, dengan premitiap penduduk di tetapkan Rp. 5.000,-/ bulan untuk 1 tahun dengan 300.000 penduduk yang di cover dalam program ini, jadi anggaran yang dialokasikan oleh Pemerintah Kota Samarinda dalam 1 tahun adalah Rp. 18.000.000 (Delapan Belas Milyar Rupiah). Biaya ini di bayarkan ke PT. ASKES mencakup seluruh kebutuhan program termasuk biaya sosialisasi (Nurrachmawati, 2006).Tujuan penelitian ini adalah Menganalisis biaya satuan pelayanan kesehatan di Puskesmas, dan besar kemampuan membayar serta kemauan membayar masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di Kota Samarinda.Penelitian ini dilaksanakan di Sarana Pelayanan kesehatan (Puskesmas) di Kota Samarinda, yakni Puskesmas Temindung (Puskesmas Rawat Jalan) mewakili daerah urban dan Puskesmas Palaran (Puskesmas Rawat Inap) mewakili daerah rural. Jenis penelitian adalah penelitian Survey Deskriptif yang memberikan gambaran mengenai seberapa besar biaya satuan, kemampuan dan kemauan membayar masyarakat di Sarana pelayanan kesehatan di Kota Samarinda (Notoatmodjo, 2002) Penelitian ini yang menjadi populasi untuk analisis unit cost populasi yang dipakai adalah seluruh transaksi keuangan yang terjadi di Puskesmas di Kota Samarinda pada tahun 2011. Untuk studi kemampuan dan kemauan membayar, populasi yang dipakai adalah seluruh pasien yang berkunjung di Puskesmas di Kota Samarinda tahun 2012. Untuk analisis unit cost, sampel yang dipakai adalah semua transaksi biaya yang berkaitan dengan biaya investasi, biaya operasional dan biaya pemeliharaan pada pusat biaya, baik itu pusat biaya penunjang maupun pusat biaya produksi di dua Puskesmas terpilih di Kota Samarinda yakni Puskesmas Temindung (Puskesmas Rawat Jalan) mewakili daerah urban dan Puskesmas Palaran (Puskesmas Rawat Inap) mewakili daerah rural Untuk studi kemampuan dan kemauan membayar pasien rawat jalan pengambilan sampel dilakukan secara acak dengan besar sampel 385.Hasil Penelitian menunjukkan bahwa biaya satuan (Unit cost) pelayanan kesehatan di Kota Samarinda Rp 8.338Rp 24.708,-. Kemampuan masyarakat untuk membayar biaya pelayanan kesehatan di Kota Samarinda adalah Rp 20.001 -40.000 (43,6%). Kemauan masyarakat untuk membayar biaya pelayanan kesehatan di Kota Samarinda adalah Rp 15.000-30.000 (42,1%). Jamkesda dengan Premi Rp.8.000,-/orang/bulan, masih sanggup dibayar secara mandiri oleh masyarakat tanpa adanya subsidi dari Pemerintah Kota Samarinda. Kami menyarankan Kepada Pemerintah Kota Samarinda perlu mempertimbangkan anggaran pembiayaan JAMKESDA, dengan mengurangi subsidi secara bertahap menuju pembiayaan kesehatan secara mandiri. Mekanisme monitoring ditingkatkan terhadap pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Daerah agar masyarakat yang diberi jaminan kesehatan tepat sasaran, dan mampu memanfaatkan potensi dana di masyarakat dengan melihat kemampuan dan kemauan untuk mambayar biaya pelayanan kesehatan dalam rangka keberlanjutan program.

Sumber : SubirmanFakultas Kesehatan Masyarakat , Universitas Hasanuddin, Makassar

4. Jurnal 4Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol 01, No 2 Juni 2012EVALUASI MANFAAT PROGRAM JAMINAN KESEHATAN DAERAH BAGI MASYARAKAT KOTA YOGYAKARTARohadanti, Sigit Riyarto, Retna Siwi Padmawati PengantarProgram Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) Kota Yogyakarta diselenggarakan untuk meningkatkan pembiayaan kesehatan sehingga pelayanan kesehatan masyarakat dapat dilaksanakan dengan optimal, kendali mutu dan biaya. Tujuan yang ingin dicapai adalah mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat, dimana kesehatan adalah tanggungjawab bersama dari setiap individu, masyarakat,pemerintah dan swasta sehingga tercapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pelayanan klaim Jamkesda Kota Yogyakarta berupa bantuan biaya pengobatan dan perawatan,yaitu klaim perorangan dengan sistem reimbursement dan klaim kelompok dari PPK. Klaim reimbursement ditujukan untuk masyarakat yang menjadi sasaran Jamkesda yang menjalani rawat jalan baik ke dokter umum maupun dokter spesialis (kecuali bagi masyarakat dengan rekomendasi Dinsosnakertrans). Biaya perawatan dan pengobatan dibayar keseluruhan oleh masyarakat kepada PPK yang dituju, kemudian semua kuitansi yang disertai dengan kelengkapan lain (surat rujukan, fotocopy kartu peserta bagi yang mendapatkan kartu Jamkesda atau rekomendasi instansi lain yang berlaku, fotocopy KTP dan KK, serta surat diagnosa penyakit) dikumpulkan ke UPT PJKD maksimal 1 bulan sejak tanggal yang tertera di kuitansi. Jika telah memenuhiKlaim kelompok merupakan klaim yang diajukan oleh PPK dengan ketentuan untuk puskesmas adalah seluruh biaya atas pengobatan dan perawatan yang diberikan kepada peserta (sesuai Peraturan Daerah tentang retribusi puskesmas), sedangkan untuk RS adalah seluruh biaya yang tertera dalam surat jaminan yang dikeluarkan oleh UPT PJKD atas biaya rawat inap di RS bagi masing- masing peserta Jamkesda yang menggunakan haknya. Tidak terdapat ketentuan pasti tentang besar cost sharing. Hal ini karena pedoman tarif untuk melakukan verifikasi biaya sama untuk semua jenis penyakit dan sama untuk semua rumah sakit sehingga untuk rawat inap, besar cost sharing akan diketahui setelah dilakukan verifikasi (sebelum pasien pulang/ keluar rawat inap). Pada penyelenggaraan jaminan kesehatan, diperkenankan menerapkan mekanisme iur bayar/ cost sharing (biaya yang ditanggung peserta jaminan kesehatan) sebagai bentuk pengendalian biaya. Cost sharing dibagi menjadi 2 yaitu secara langsung dan tidak langsung. Cost sharing secara langsung dibagi menjadi 3 yaitu: 1) copayment (jumlah biaya tertentu yang harus dibayar oleh peserta, di atas jumlah tersebut baru diganti), 2) coinsurance (persentase biaya yang harus dibayar oleh peserta dan sisanya dibayar oleh badan penyelenggara), dan 3) deductible (jumlah biaya tertentu dalam suatu termin yang harus dikeluarkan oleh peserta sebelum badan penyelenggara membayar kewajibannya). Cost sharing tidak langsung misalnya berobat di PPK yang tidak dikontrak oleh badan penyelenggara, kelebihan biaya obat, tanpa surat rujukan saat berobat ke PPK II dan III, pelayanan yang tidak ditanggung serta premi. Bahan dan Cara PenelitianPenelitian ini adalah penelitian observasional dengan metode kuantitatif dan kualitatif. Responden kuantitatif (n=154) dipilih secara accidental ketika pasien sedang berobat di dua rumah sakit di Yogyakarta dan didasarkan pada rekapitulasi klaim pada bulan sebelumnya. Responden kualitatif (n=10) dipilih dengan purposive sampling yaitu pasien dengan penyakit kronis dan yang mempunyai klaim sangat tinggi. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan pedoman wawancara mendalam kepada peserta Jamkesda yang sedang atau telah dirawat di dua RS tersebut. Hasil Penelitian dan PembahasanSurat rekomendasi Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) diberikan kepada masyarakat Kota Yogyakarta yang belum memiliki jaminan kesehatan dan membutuhkan bantuan biaya perawatan dan pengobatan. Untuk mendapatkan surat ini masyarakat harus mengajukan surat permohonan keringanan biaya ke RT, RW, Kelurahan dan Kecamatan yang selanjutnya dibawa ke Dinsosnakertras, kemudian dilakukan verifikasi lapangan terhadap kelayakan untuk menerima bantuan biaya kesehatan dan jika dinyatakan layak menerima bantuan biaya maka masyarakat tersebut akan diberikan surat rekomendasi dan dibawa ke UPT PJKD sebagai identitas kepesertaaan. Karakteristik RespondenSebagian besar responden (61,04%) menggunakan identitas surat rekomendasi Dinsosnakertrans yang menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Kota Yogyakarta belum memiliki jaminan kesehatan, hal ini seperti dalam penelitian sebelumnya yang mengungkapkan sebanyak 50,4% masyarakat Kota Yogyakarta tidak memiliki asuransi kesehatan. Pengetahuan Tentang JamkesdaSebagian besar responden mengetahui bahwa jaminan yang diberikan Jamkesda bersifat bantuan atau tidak gratis, hal ini memberi kesadaran responden bahwa ada sebagian biaya yang harus ditanggung oleh keluarga, namun besaran biaya yang ditanggung dan dilayani oleh Jamkesda kurang dimengerti oleh responden. Kemudahan, Kesulitan Pengurusan dan Manfaat Identitas Kepesertaan Jamkesda. Hal ini menunjukkan bahwa prosedur yang berlaku di Jamkesda Kota Yogyakarta cukup dapat di terima dan di jalani oleh sebagian masyarakat. Sebagian besar responden pada wawancara mendalam mengungkapkan bahwa Jamkesda cukup bermanfaat membantu meringankan beban biaya. Hal ini menunjukkan masyarakat secara umum menganggap jaminan kesehatan yang ada bermanfaat. Besar Cost SharingTerdapat 73,38% responden yang masih haru membayar cost sharing lebih dari 10% dari keseluruhan biaya atau 99,35% responden dan semua pada wawancara mendalam mengeluarkan biaya cost sharing lebih dari 40% pengeluaran rumah tangga yang telah dikurangi pengeluaran kebutuhan pokok. Pendapat Tentang Besar Cost SharingSebanyak 51,30 % responden dan semua pada wawancara mendalam menyatakan keberatan dengan cost sharing, selain itu keluarga pasien yang dirawat di rumah sakit juga harus mengeluarkan biaya kebutuhan lain seperti biaya makan, transportasi dan foto copy administrasi yang diperlukan. Sehingga biaya yang harus dikeluarkan dari kantong sendiri untuk pelayanan kesehatan belum proporsional dengan kemampuan ekonomi. Kesimpulan dan SaranCost sharing yang besar dapat berakibat pengeluaran katastrofik sehingga perlu dikaji kembali benefit package Jamkesda agar perlindungan terhadap keuangan rumah tangga dapat dicapai.Saran : Perlu dikaji kembali besar benefit atau jaminan berdasarkan kemampuan ekonomi dan jenis penyakit sehingga anggaran dapat dialihkan untuk pelayanan rawat inap terutama penyakit kronis dan yang membutuhkan biaya besar. Sarana penyampaian informasi tentang Jamkesda kepada masyarakat. perlu dievaluasi kembali. Pengembangan program Jamkesda yang dapat mencakup seluruh masyarakat Kota Yogyakarta dengan mekanisme yang disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.5. Jurnal 5DAMPAK PEMBIAYAAN KESEHATAN TERHADAP ABILITY TO PAY DAN CATASTROPHIC PAYMENT

Rien Gloria Sihombing, Thinni Nurul R.Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, SurabayaJurnal Administrasi Kesehatan Indonesia Volume 1 Nomor 1 Januari-Maret 2013

Biaya pelayanan rumah sakit di Indonesia, baik rawat jalan maupun rawat inap, merupakan biaya yang paling tinggi tingkat ketidakpastiannya. Tingginya tingkat ketidakpastian biaya pelayanan kesehatan tersebut, serta terbatasnya kemampuan ekonomi seseorang sering kali menjadi alasan sulitnya memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan yang disediakan. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga termiskin atau terkaya untuk pengobatan dapat membebani perekonomian rumah tangga. Hal ini akan mengarah ke pengeluaran katastropik. Pengeluaran katastropik menurut Pradhan dan Prescott (2002) terjadi ketika total pengeluaran medis dari rumah tangga melebihi (exceed) 10% dari total pengeluaran rumah tangga tersebut untuk pengeluaran non medis.Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kemampuan membayar atau ability to pay pasien dan kejadian catastrophic payment yang dialami oleh pasien umum (khusus di poli jantung poli penyakit dalam) RSUD dr. M. Soewandhie Surabaya.Hasil Penelitian bahwa Pengeluaran medis pasien untuk 1 bulan pada penelitian ini tergolong cukup tinggi dengan rerata sebesar Rp. 236.278,-, dan sebagian besar adalah pasien yang memiliki ability to pay rendah yaitu antara Rp. 55.000,- s.d. Rp. 141.667,-. Pembiayaan kesehatan (out of pocket) masih berdampak pada catastrophic payment atau dapat membebani keadaan perekonomian rumah tangga. Jika dilihat dari karateristiknya, pasien yang mengalami catastrophic payment sebagian besar memiliki kepala keluarga yang tidak bekerja, dengan tingkat pendapatan keluarga pada kategori sedang, berasal dari ukuran keluarga kecil, dan umumnya mengalami penyakit kronis. Biaya pengobatan terbesar yang mendorong terjadinya catastrophic payment yang dialami pasien kebanyakan dialokasikan untuk membeli obat dan pemeriksaan laboratorium namun mayoritas pasien yang mengalami catastrophic payment memiliki ability to pay yang rendah. Catastropic payment dapat dicegah dengan meningkatkan program kesehatan yang sifatnya promotif dan preventif sebagai bentuk pencegahan kesakitan di masyarakat. Hal ini bisa dilakukan dengan menyediakan promosi kesehatan di masyarakat, penyediaan sarana kesehatan yang dapat dijangkau secara merata oleh masyarakat terutama dari kalangan ekonomi menengah ke bawah serta penyediaan jaminan biaya kesehatan bagi pasien dengan penyakit kronis yang lebih besar. Pemerintah juga perlu memberlakukan sistem asuransi kesehatan sebagai salah satu langkah mencegah banyaknya keluarga jatuh miskin karena sakit. Pemberlakuan sistem asuransi tersebut tetap harus didasari dengan pengendalian dan pengawasan dengan sebaik mungkin untuk mencegah adanya penyimpangan dan peningkatan taraf hidup masyarakat secara bertahap dari sektor lain (sektor konsumsi pangan, pendidikan dan ekonomi).

D. Identifikasi permasalahan pembiayaan kesehatan di Indonesia 1. Selama ini belum pernah dilakukan analisis terhadap pembiayaan kesehatan, tidak diketahui berapa besar biaya kesehatan yang ada dan bagaimana penggunaannya dan berdampak pada sulitnya pengambil kebijakan dalam menyusun dan mengalokasikan anggaran kesehatan.2. Pelaksanaan kebijakan peraturan daerah tentang jaminan kesehatan dalam menghadapi undang-undang sistem jaminan sosial nasional dan undang-undang badan penyelenggara jaminan sosial tahun 2013.3. Analisis biaya satuan pelayanan kesehatan di Puskesmas, dan besar kemampuan membayar serta kemauan membayar masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Kebijakan pembiayaan kesehatan yang dialokasikan dari APBD. 4. Evaluasi manfaat program jaminan kesehatan daerah bagi masyarakat. Pelayanan klaim Jamkesda berupa bantuan biaya pengobatan dan perawatan, yaitu klaim perorangan dengan sistem reimbursement dan klaim kelompok dari PPK.5. Dampak pembiayaan kesehatan terhadap ability to pay dan catastrophic payment. Biaya pelayanan rumah sakit di Indonesia, baik rawat jalan maupun rawat inap, merupakan biaya yang paling tinggi tingkat ketidakpastiannya. Tingginya tingkat ketidakpastian biaya pelayanan kesehatan tersebut, serta terbatasnya kemampuan ekonomi seseorang sering kali menjadi alasan sulitnya memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan yang disediakan. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga termiskin atau terkaya untuk pengobatan dapat membebani perekonomian rumah tangga.E. Rekomendasi untuk penyusun kebijakan pembiayaan kesehatan1. Meningkatkan atau menambah anggaran biaya untuk pelayanan kesehatan preventif dan promotif, karena status kesehatan masyarakat (sakit dan sehat) tergantung pada upaya promotif dan preventif.2. Pelayanan kesehatan preventif dan promotif yang memenuhi atau memadai akan meningkatkan kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat, sehingga akan tercipta masyarakat yang sehat dan jauh dari penyakit.3. Perlunya dilakukan analisis terhadap pembiayaan kesehatan, agar diketahui berapa besar biaya kesehatan yang ada, bagaimana penggunaannya, dan mengatasi dampak sulitnya pengambil kebijakan dalam menyusun dan mengalokasikan anggaran kesehatan.4. Perlunya dilakukan evaluasi manfaat program jaminan kesehatan daerah bagi masyarakat.5. Perlunya melakukan evaluasi dan tindak lanjut terhadap ability to pay dan catastrophic payment. Agar tidak memberatkan rumah tangga termiskin maupun terkaya. Sehingga pembiayaan kesehatan tidak memberatkan masyarakat diberbagai kalangan baik miskin maupun kaya.