analisis kebijakan relokasi pengungsi korban konflik antar-etnis di sambas

51
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Konflik antar-etnis yang terjadi di Sambas merupakan konflik yang kompleks sehingga sangat sulit bagi Pemerintah untuk menyelesaikan konflik tersebut secara tuntas. Kompleksitas permasalahan yang timbul pada konflik tersebut dimulai pada krisis moneter yang mulai terasa dampaknya di Indonesia pada saat itu, dilanjutkan dengan sub-kultur etnis dayak yang beringas dan dipicu lagi dengan perilaku masyarakat pendatang, yang menurut masyarakat lokal, yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat lokal. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, pemda sebagai birokrasi yang berwenang pada sektor lokal, harus mengeluarkan kebijakan yang berjangka panjang atau berkesinambungan. Dari gambaran yang dipaparkan Achmad Ridwan, penulis mengutip bahwa ada beberapa karakteristik kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah dalam rangka penyelesaian konflik yang sustainable atau berjangka panjang, diantaranya adalah: pertama, Kebijakan harus bersifat Participation, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung atau melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasi. 1

Upload: thefebsmypoetz

Post on 19-Jun-2015

799 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

bagaimana memahami kebijakan relokasi yang dilakukan pemerintah terhadap korban konflik antar-etnis di sambas kalimantan barat

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konflik antar-etnis yang terjadi di Sambas merupakan konflik yang

kompleks sehingga sangat sulit bagi Pemerintah untuk menyelesaikan konflik

tersebut secara tuntas. Kompleksitas permasalahan yang timbul pada konflik

tersebut dimulai pada krisis moneter yang mulai terasa dampaknya di Indonesia

pada saat itu, dilanjutkan dengan sub-kultur etnis dayak yang beringas dan dipicu

lagi dengan perilaku masyarakat pendatang, yang menurut masyarakat lokal, yang

tidak dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat lokal. Untuk menyelesaikan

permasalahan tersebut, pemda sebagai birokrasi yang berwenang pada sektor

lokal, harus mengeluarkan kebijakan yang berjangka panjang atau

berkesinambungan. Dari gambaran yang dipaparkan Achmad Ridwan, penulis

mengutip bahwa ada beberapa karakteristik kebijakan yang harus diambil oleh

pemerintah dalam rangka penyelesaian konflik yang sustainable atau berjangka

panjang, diantaranya adalah: pertama, Kebijakan harus bersifat Participation,

keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung

maupun tidak langsung atau melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan

aspirasi. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan

berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. Kedua, Kebijakan harus

berlandaskan Rule of Law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa

pandang bulu. Consensus Orientation, berorientasi pada kepentingan masyarakat

yang lebih luas dan tidak berpihak pada satu golongan saja. Equity, setiap

masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan

keadilan. Faktor ini sangat berpengaruh pada masyarakat Indonesia (Kalbar) yang

majemuk, karena hukum ditempatkan pada tingkat paling tinggi.1

1 Achmad Ridwan Blog, “Refleksi Sepuluh Tahun Konflik Sambas”, http://achmadridwan.blogspot.com/2009/01/tiga-waktu-tiga-peristiwa.html, diakses pada tanggal 3 April 2009.

1

Page 2: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

Terdapat beberapa faktor yang secara umum menyebabkan terjadinya

konflik etnik di Sambas, faktor-faktor tersebut antara lain adalah sebagai berikut.

Pertama, meningkatnya angka kriminalitas yang diyakini dilakukan oleh bagian

tertentu kelompok pemuda Madura, dan ketidak mampuan aparat keamanan

dalam mengatasi tindak kriminalitas tersebut. Kedua, Tekanan ekonomi yang

dirasakan oleh masyarakat lokal. Tekanan ini disebabkan oleh masuknya pemilik

modal besar dalam pengelolaan produksi jeruk dan hasil laut. Ketiga, tekanan

kependudukan yang dirasakan oleh masyarakat lokal akibat membanjirnya migran

Madura ke Sambas. Dua tekanan ini mengakibatkan menciutnya sumber ekonomi

mereka. Suku Madura, dipandang oleh masyarakat lokal, yaitu suku Melayu dan

Dayak, sebagai kelompok yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan tradisi

lokal, khususnya dalam kegiatan ekonomi, menjadi target kemarahan mereka.

Pandangan ini telah mengubur kohesi sosial di tingkat komuniti antara masyarakat

lokal dengan Madura yang telah lama hidup di sambas. Tingkat kemarahan

masyarakat lokal yang sudah memuncak tersebut menimbulkan stereotipe tentang

masyarakat Madura oleh masyarakat lokal sebagai “masyarakat yang berkarakter

kasar, arogan, keras, mudah tersinggung dan mau menang sendiri”, apalagi

ditambah dengan kebiasaan unik masyarakat Madura yang selalu membawa

celurit dan sering menyelesaikan permasalahan dengan kekerasan.2 Hal itu

menyebabkan masyarakat lokal memiliki anggapan bahwa dimanapun masyarakat

Madura berada mereka akan menyebabkan kekacauan, sehingga akibatnya

pascakonflik antar-etnis di Sambas masyarakat lokal cenderung tidak mau

menerima kehadiran masyarakat Madura di daerah mereka. Hal ini ditegaskan

dengan pernyataan empat suku yang bermukim di Sambas, yaitu Melayu, Dayak,

Bugis dan Cina, yang menolak warga suku Madura berada di wilayah mereka

(Kompas edisi Jumat, 26 Mar 1999 “Pangab: Sambas Tak Akan Jadi DOM”). Hal

ini menimbulkan persoalan baru dalam penanganan korban konflik Sambas.

Persoalan yang muncul yaitu bagaimana kebijakan pemerintah baik pada level

lokal maupun pusat merelokasi pengungsi korban konflik Sambas dalam kondisi

2 Setiadi, “Korban Menjadi Korban: Perempuan Madura Pascakonflik Sambas (Seri Laporan no. 161) ”, PSKK UGM dan Ford Foundation, Yogyakarta:2005, hal. 37-40.

2

Page 3: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

masyarakat lokal yang tidak mau menerima kehadiran masyarakat Madura sebagai

korban konflik?.

Salah satu kebijakan yang penting dalam tahapan penyelesaian konflik

adalah kebijakan relokasi pengungsi. Kebijakan relokasi harus didukung dengan

pemilihan tempat relokasi yang tepat. Pada konteks relokasi pengungsi Sambas

yang kehadirannya tidak diterima oleh masyarakat lokal, seperti yang telah

dipaparkan di atas, pemerintah harus menyiapkan tempat pengungsian yang

masyarakatnya lebih bersahabat dengan para pengungsi. Usaha relokasi juga harus

menyertakan pendapat masyarakat lokal yang bersangkutan. Jika masyarakat tidak

dilibatkan untuk menerima kehadiran pengungsi tersebut, relokasi hanya akan

memindahkan masalah ke tempat yang baru. Penolakan terhadap etnis pendatang

ini juga terjadi di kabupaten Ketapang, yang ditunjukkan dengan pernyataan

menolak menerima kehadiran transmigran yang sebelumnya pengungsi dari

Kabupaten Sambas oleh 120 tokoh masyarakat, pemuda dan mahasiswa di

Kabupaten Ketapang, Kalbar. Akibatnya, satu-satunya solusi untuk relokasi

pengungsi korban konflik Sambas adalah memindahkan para pengungsi tersebut

ke sebuah pulau atau kawasan lain yang belum berpenduduk.3 Hal itu menegaskan

kepada pemerintah provinsi agar bersikap hati-hati dan bijaksana dalam memilih

tempat pengungsian, hal itu penting agar tidak terjadi permasalahan baru di

tempat pengungsian yang baru. Dan hal tersebut ditanggapi pemerintah provinsi

dengan menyiapkan dua pulau yang memiliki potensi sebagai tempat relokasi

pengungsi.

Pada umumnya kebijakan pemerintah terhadap masalah relokasi korban

konflik Sambas, menurut penulis, sebagian besar telah benar. Kebijakan-kebijakan

yang dikeluarkan pemerintah pada umumnya antara lain, yaitu: Keputusan cepat

yang diambil oleh pemerintah pusat untuk mengerahkan kapal-kapal TNI-AL dan

PELNI untuk mengangkut korban-korban konflik etnis yang ingin mengungsi

keluar Kalbar, terutama kembali ke tanah Madura di Jawa Timur, merasa

keberatan dengan membanjirnya pengungsi ke daerahnya. Selanjutnya kebijakan

Pemerintah Daerah melalui Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor :

3 Kompas edisi Jumat 26 Mar 1999 hal. 7, “Pangab: Sambas Tak Akan Jadi DOM”,

3

Page 4: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

143 Tahun 2002 tentang Pembentukan Team Gabungan Penanggulangan

Pengungsi Pasca Kerusuhan Sosial di Kalimantan Barat dan Perda No. 10 tahun

2005 tentang RPJMD Provinsi Kalimantan Barat tahun 2006 – 2008 tanggal 31

Oktober 2005; khususnya pada Bab tentang Agenda Mewujudkan Kalimantan

Barat Harmonis dalam Etnis. Selain itu, dalam penanganan pengungsi, pemprov

menyiapkan anggaran 5 Milyar untuk relokasi sementara di stadion Sultan Syarief

Abdurrachman, Gedung Olah Raga (GOR) Pangsuma, GOR Bulutangkis Bumi

Khatulistiwa, Stadion Universitas Tanjung Pura, Asrama Haji, gudang Sei. Jawi

dan rumah-rumah penduduk di kawasan Siantan, Pontianak Utara. Dan

menyiapkan tempat pengungsian tetap di empat kecamatan di Kabupaten

Pontianak dan dua pulau yaitu Tebangkacang dan Padang Tikar yang masih

banyak memiliki lahan tidur untuk digarap oleh pengungsi dengan bantuan

donatur.

Permasalahan yang muncul pada kebijakan relokasi korban konflik Sambas

tersebut terletak pada kebijakan yang terlambat diambil, terutama kebijakan pada

level Pemerintah daerah, yang menyebabkan banyak korban konflik tersebut

terabaikan, ditambah lagi dengan masyarakat lokal yang menolak masyarakat

Madura kembali ke Sambas dan kantung-kantung konflik lain di wilayah Kalbar.

Permasalahan lain yaitu para pengungsi yang terabaikan di pengungsian

sementara tersebut menolak rencana relokasi mereka ke Tebangkacang,

alasannya, selain kawasan yang jauh dari kota, masyarakat yakin bahwa lahan

tidur di pulau tersebut tidak cocok untuk bercocok tanam. Jika dilihat

hubungannya pada relokasi pengungsi konflik Sambas, terdapat ketentuan-

ketentuan dalam merelokasi pengungsi, dalam ketentuan dari UNHCR tahun

2006, kebijakan relokasi pengungsi hendaknya memenuhi tiga persyaratan, yaitu:

(1) mempromosikan kebebasan dan Hak Azasi Manusia; (2) membangun indikasi

terhadap fleksibilitas kebijakan pemerintah dalam penanganan pengungsi, seperti

akses terhadap pendidikan, baik formal maupun non-formal; (3) mempromosikan

akses pengungsi pada peluang untuk mendapatkan penghasilan. Sekadar informasi

yang dikutip dari Kompas edisi Selasa, 06 Jul 1999 Halaman: 17, praktik relokasi

pengungsi di pengungsian sementara yang disediakan pemerintah belum

4

Page 5: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

memenuhi ketentuan UNHCR tersebut, kondisi di pengungsian benar-benar

memperihatinkan, hal ini ditunjukkan dengan mulai mewabahnya penyakit paru-

paru, diare, dan tifus, Keadaan ini diperparah dengan kurangnya perhatian

terhadap sanitasi, kesehatan individu, serta buruknya gizi dan kebersihan

lingkungan di pengungsian, akibatnya, total 163 pengungsi di seluruh lokasi

pengungsian di Kalbar meninggal dunia. Belum lagi ditambah akses pendidikan

yang hanya mengandalkan LSM-LSM dan masyarakat sekitar yang prihatin serta

kurangnya akses pekerjaan yang mengharuskan para pengungsi mengemis di

jalan-jalan dan rumah-rumah sekitar untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

Jadi, meskipun perencanaan pemerintah cukup bagus dalam kebijakan

relokasi, penulis menilai implementasi kebijakan pemerintah provinsi dan

pemerintah daerah dalam menangani program relokasi ini cenderung kurang

berhasil. Hal tersebut menarik perhatian penulis untuk menganalisa mengapa

kebijakan-kebijakan relokasi pengungsi yang dikeluarkan dan diimplementasikan

oleh Pemprov tidak berhasil secara efektif. Sebagai asumsi awal dari penulis, hal

ini ditunjukkan dengan adanya indikator-indikator kurangnya efektivitas

implementasi kebijakan relokasi tersebut, antara lain yaitu: Pertama, lambatnya

respon dan tanggapan pemerintah pada level provinsi dalam proses relokasi

pengungsi korban konflik Sambas. Kedua, para pengungsi Madura dan

masyarakat lokal tidak diikut sertakan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan

program relokasi, sehingga kebijakan tersebut tidak transparan dan partisipatif.

Ketiga, adanya bias etnis yang terjadi pada seluruh lapisan masyarakat. Hal ini

menyebabkan kesulitan dalam pemilihan tempat relokasi, yang sebagian besar

masyarakat lokal tidak mau menerima para pengungsi Madura. Keempat,

lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah provinsi dan lembaga independen

lain dalam proses implementasi kebijakan, sehingga masing-masing lembaga

memiliki agenda sendiri. Tujuan penelitiannya yaitu untuk membuat rekomendasi

kebijakan relokasi alternatif yang efektif dalam permasalahan relokasi pengungsi

korban konflik antar-etnis di Sambas.

5

Page 6: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

RUMUSAN PERMASALAHAN

Dari paparan diatas, batasan permasalahan dan pertanyaan penelitian yang

akan diteliti antara lain, yaitu:

Mengapa implementasi kebijakan relokasi pengungsi korban konflik Sambas

yang dikeluarkan oleh pemprov tidak berjalan secara efektif?

6

Page 7: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

Lambatnya respon dan tanggapan dari pemprov dalam proses relokasi

Sistem penanganan pengungsi yang tidak transparan dan partisipatif

anefektifitas kebijakan relokasi pengungsi

korban konflik Sambas

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Teoritis

Dalam permasalahan ‘kebijakan relokasi koban konflik antar-etnis di

Sambas yang tidak berjalan secara efektif ini’, abstraksi permasalahan yang

didapat adalah ‘anefektifitas kebijakan relokasi pengungsi korban konflik

Sambas’. Anefektifitas yang dimaksud adalah tidak efektifnya kebijakan relokasi

pengungsi yang ditunjukkan dengan adanya indikator-indikator tertentu.

Indikator-indikator tersebut ditunjukkan di dalam kerangka konseptual di bawah.

Framework / kerangka konseptual:

ANEFEKTIFITAS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN

KONFLIK SAMBAS

Dari kerangka konseptual tersebut, permasalahan anektifitas kebijakan

relokasi pengungsi korban konflik Sambas sangat dipengaruhi oleh lambatnya

respon pemerintah dalam penanganan pengungsi dan kebijakan pemerintah pada

level lokal yang tidak melibatkan masyarakat Kalbar. Hal ini menyebabkan

7

Bias etnis yang terjadi pada seluruh lapisan masyarakat lokal

Lemahnya koordinasi antar-lembaga pemerintah dan lembaga independen lain pada level lokal

Page 8: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

pemerintah gagal mencegah terjadinya penolakan-penolakan yang dilakukan oleh

masyarakat lokal terhadap para pengungsi yang ingin mengungsi di wilayah

mereka hal ini juga menyebabkan lemahnya koordinasi antara pemerintah dan

lembaga-lembaga independen lain.

Permasalahan umum yang terjadi adalah persoalan tata pemerintahan yang

baik. Kebijakan yang seharusnya diambil untuk menyelesaikan permasalahan

relokasi pengungsi ini adalah kebijakan yang sesuai dengan tahapan kebijakan

Good Governance. Dari tahapan kebijakan yang didapat penulis dari mata kuliah

Tata Pemerintahan yang diampu oleh Dr. Purwo Santoso dan Riza Noer Arfani,

MA. Tipe kebijakan Domestik ini merupakan salah satu dari tiga tipe kebijakan

lain, yaitu: tipe Kebijakan Pertahanan Keamanan dan Luar negeri dan tipe

Kebijakan Krisis. Tipe kebijakan Domestik adalah Kebijakan yang dibuat untuk

memecahkan persoalan di dalam negeri, yang terdiri dari empat tipe kebijakan,

diantaranya yaitu:

Distributive

Competitive regulatory

Protective regulatory

Redistributive

Distributive Policy

Adalah kebijakan dan program-program yang dibuat oleh pemerintah

dengan tujuan untuk mendorong kegiatan di sektor swasta atau kegiatan-kegiatan

masyarakat yang membutuhkan intervensi pemerintah dalam bentuk subsidi atau

sejenisnya di mana kegiatan tersebut tidak akan berjalan tanpa adanya campur

tangan pemerintah tersebut. Subsidi yang diberikan oleh pemerintah bisa

mengambil beberapa bentuk: Cash atau in-kind (hadiah, pinjaman dengan bunga

lunak, penurunan pajak, dsb.). Subsidi yang diberikan oleh pemerintah dapat

dimaksudkan untuk mendatangkan efek: (1) Positif (masyarakat mau melakukan

aktivitas yang dikendaki pemerintah); (2) Negatif (masyarakat tidak melakukan

aktivitas yang tidak disukai pemerintah).

8

Page 9: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

Persoalan yang muncul dalam pembuatan kebijakan distributif adalah

asumsi yang dipakai selama ini seolah antara kebijakan distributif yang satu

dengan yang lain tidak berhubungan. Persoalan lain yang muncul adalah dalam

kenyataannya anggaran pemerintah sangat terbatas, sehingga kebijakan distributif

yang dibuat oleh pemerintah dapat bersifat zero sum game di mana pembuatan

kebijakan yang satu akan berimplikasi pada hilangnya kebijakan yang lain.

Kebijakan Kompetitif Regulatif

Kebijakan atau program yang dimaksudkan untuk membatasi siapa yang

boleh menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Asumsi

yang dipakai adalah: Barang dan jasa yang dibutuhkan merupakan barang langka

sehingga tidak mungkin mengijinkan semua masuk di dalamnya contoh frekuensi

radio. Asumsi lain yaitu ada keperluan untuk menstandardisasi jenis barang/jasa

demi keselamatan konsumen.

Kebijakan Protektif Regulatif

Kebijakan atau program-progran yang bersifat protektif dibuat oleh

pemerintah dengan maksud untuk melindungi masyarakat dengan mengatur apa

yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh sektor swasta. Aktivitas-aktivitas yang

dapat merugikan atau membahayakan masyakarat tidak akan diijinkan untuk

dijual di pasar oleh sektor swasta. Kondisi yang dipertimbangan sangat diperlukan

untuk melindungi kepentingan masyarakat harus diatur oleh pemerintah.

Kebijakan Redistributif

Kebijakan redistributif adalah kebijakan atau program yang dibuat oleh

pemerintah dengan tujuan dapat meredistribusikan kekayaan, hak kepemilikan,

dan nilai-nilai yang lain diantara berbagai klas sosial masyarakat atau etnisitas di

dalam masyarkat. Tujuan kebijakan redistributif adalah untuk mencegah

ketimpangan yang makin lebar pada masyarakat. Asumsi yang dipakai dalam

pembuatan kebijakan ini adalah bahwa kompetisi yang terjadi di dalam

masyarakat akan menghasilkan “pemenang” dan “pecundang”.

9

Page 10: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

Hubungan tipe kebijakan ini dengan permasalahan kebijakan relokasi

pengungsi korban konflik Sambas ada pada tahapan kebijakan redistributif. Pada

permasalahan yang dibahas, kebijakan pemerintah untuk meredistribusikan nilai-

nilai etnisitas dalam rangka menyelesaikan konflik Sambas ini sampai tuntas.

Ketimpangan yang terjadi adalah tidak diterimanya kembali etnis pendatang yang

dalam tipe ini disebut sebagai “pecundang” oleh masyarakat lokal. Disini

pemerintah pada level lokal dituntut untuk menyelesaikan permasalahan ini

dengan menerapkan kebijakan yang dapat meminimalisasikan ketimpangan-

ketimpangan tersebut, sehingga konflik susulan dapat dihindari.

Anektifitas kebijakan relokasi pengungsi korban konflik Sambas ini

disebabkan karena tata kelola pemerintahan yang tidak cukup baik. Teori-teori

yang sesuai dengan permasalahan ini yaitu:

1. Teori Good Governance4

A. United Kingdom Overseas Development Administration (UK/ODA), 1993

UK/ODA menjelaskan karakteristik good governance, yaitu: legitimasi,

akuntabilitas, kompetensi, penghormatan terhadap hukum/ hak-hak asasi manusia.

Pengertian dari karakteristik-karakteristik yang dimaksud, ialah :

Legitimasi

Menekankan pada kebutuhan terhadap sistem pemerintahan yang

mengoperasikan jalannya pemerintahan dengan persetujuan dari yang

diperintah (rakyat), dan juga menyediakan cara untuk memberikan atau

tidak memberikan persetujuan tersebut.

Akuntabilitas

Mencakup eksistensi dari suatu mekanisme (baik secara konstitusional

maupun keabsahan dalam bentuknya) yang meyakinkan politisi dan

pejabat pemerintahan terhadap aksi perbuatannya dalam penggunaan

sumber-sumber publik dan performan perilakunya. Akuntabilitas

4 Indo Skripsi Online, “Beberapa Pemikir Tentang Good Governance”, www.indoskripsi.com, diakses pada tanggal 26 Juni 2009.

10

Page 11: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

membutuhkan keterbukaan dan kejelasan serta keterhubungannya dengan

kebebasan media.

Kompetensi

Pemerintah harus menunjukkan kapasitasnya untuk membuat kebijakan

yang efektif dalam setiap proses pembuatan keputusannya, agar dapat

mencapai pelayanan publik yang efisien. Pemerintah yang baik

membutuhkan kapabilitas manajemen publik yang tinggi, dan menghindari

penghamburan dan pemborosan, khususnya pada anggaran militer yang

tinggi. Pemerintah harus menunjukkan perhatiannya pada biaya

pembangunan sosial seperti: anti-kemiskinan, kesehatan, dan program-

program pendidikan.

Penghormatan terhadap hukum/hak-hak asasi manusia

Pemerintah memiliki tugas (bukan hanya yang terdapat pada konvensi-

konvensi internasional) untuk menjamin hak-hak individu atau kelompok

dalam mengekspresikan hak-hak sipil dan politik yang berhubungan

dengan kemajemukan institusi.

Dalam pandangan UK/ODA, istilah good governance atau good government

tidak dibedakan. Keduanya dianggap sama-sama merujuk aspek-aspek normatif

pemerintahan yang digunakan dalam menyusun berbagai kriteria dari yang

bersifat politik hingga ekonomi. Kriteria tersebut digunakan dalam merumuskan

kebijaksanaan pemberian bantuan luar negeri, khususnya kepada negara-negara

berkembang.

B. United Nations Development Program (UNDP)

UNDP merekomendasikan beberapa karakteristik governance, yaitu:

legitimasi politik, kerjasama dengan institusi masyarakat sipil, kebebasan

berasosiasi dan partisipasi, akuntabilitas birokratis dan keuangan (finansial),

manajemen sektor publik yang efisien, kebebasan informasi dan ekspresi, sistem

yudisial yang adil dan dapat dipercaya.

Karakteristik yang dibangun UNDP melalui anggapan dasar sebagai berikut :

11

Page 12: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

Gejala-gejala dari kegagalan pemerintah terlihat sebagai keseluruhan yang

sama, yaitu: pelayanan yang rendah, kapabilitas kebijakan yang rendah,

manajemen keuangan yang lemah, peraturan yang terlalu berbelit-belit dan

sewenang-wenang, alokasi sumber-sumber yang tidak tepat. Tetapi UNDP kurang

menekankan pada asumsi mengenai superioritas majemuk, multipartai, sistem

orientasi pemilihan umum, dan pemahaman bahwa perbedaan bentuk kewenangan

politik dapat dikombinasikan dengan prinsip efisiensi dan akuntabilitas dengan

cara-cara yang berbeda.

o Hal-hal tersebut juga berkaitan terhadap argumentasi mengenai nilai-nilai

kebudayaan yang relatif; sistem penyelenggaraan pemerintahan yang

mungkin bervariasi mengenai respon terhadap perbedaan kumpulan nilai-nilai

ekonomi, politik, dan hubungan sosial, atau dalam hal-hal seperti: partisipasi,

individualitas, perintah dan kewenangan.

o UNDP menganggap bahwa good governance dapat diukur dan dibangun dari

indikatorindikator yang komplek dan masing-masing menunjukkan

tujuannya.

Berdasarkan Dokumen Kebijakan UNDP dalam “Tata Pemerintahan

Menunjang Pembangunan Manusia Berkelanjutan”, Januari 1997, yang dikutip

dari buletin informasi Program Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Pemerintahan

di Indonesia (Partnership for Governance Reform in Indonesia), 2000,

disebutkan:

Tata pemerintahan adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan

administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata

pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga di

mana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan

mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani

perbedaan-perbedaan di antara mereka.

Tata Pemerintahan yang baik (good governance) memiliki ciri-ciri sebagai

berikut:

Mengikutsertakan semua;

Transparan dan bertanggung jawab;

12

Page 13: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

Efektif dan adil;

Menjamin adanya supremasi hukum;

Menjamin bahwa prioritas-prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan

pada konsensus masyarakat;

Memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam

proses pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumber daya

pembangunan.

C. World Bank (Bank Dunia)

World Bank, “Development in Practice, Governance: The World Bank

Experience, World Bank Publication, Washington D.C, 1994” Bank Dunia

mengungkapkan sejumlah karakteristik good governance, yaitu: masyarakat sipil

yang kuat dan partisipatoris; terbuka; pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi;

eksekutif yang bertanggung Jawab; birokrasi yang profesional; dan aturan hukum.

Karakterisik yang dimaksud Bank Dunia memiliki perbedaan dengan

ODA/UNDP. Bank Dunia menghindari pernyataan mengenai sistem politik dan

hak-hak, dan lebih mengacu kepada manajemen ekonomi suatu negara, sumber-

sumber sosial untuk pembangunan, dan kebutuhan untuk kerangka kerja aturan

dan institusi yang dapat diperhitungkan dan jelas (terbuka). Hal demikian banyak

ditempatkan untuk manajerial pemerintah dan kapabilitas kebijakan, serta sebagai

sumbangan penting terhadap pembangunan ekonomi dan sosial. Meskipun

demikian, Bank Dunia juga memberikan catatan terhadap kebutuhan untuk

masyarakat sipil yang kuat dan partisipatoris dan pelaksanaan terhadap aturan

hukum.

Bank Dunia lebih suka menggunakan istilah good (public) governance.

Dalam perspektif Bank Dunia, governance adalah sifat dari kekuasaan yang

dijalankan melalui manajemen sumber ekonomi dan sosial negara yang digunakan

untuk pembangunan. Bank Dunia mengidentifikasi tiga aspek yang terkait dengan

governance, yaitu:

Bentuk rejim politik (the form of political regime);

13

Page 14: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

Proses dimana kekuasaan digunakan di dalam manajemen sumber daya sosial

dan ekonomi bagi kegiatan pembangunan;

Kemampuan pemerintah untuk mendisain, memformulasikan, melaksanakan

kebijakan, dan melaksanakan fungsi-fungsinya.

Dari ketiga aspek tersebut, Bank Dunia memfokuskan pada aspek kedua dan

ketiga sesuai dengan kapasitas kelembagaannya.

D. OECD’s Development Assistance Committee (DAC)

Good governance memiliki kriteria yang mencakup ruang lingkup sebagai

berikut:

Pembangunan partisipatoris (participatory development);

Hak-hak azasi manusia (human rights);

Demokratisasi (democratization).

Secara lebih spesifik, ketiganya dijabarkan dalam tolok ukur sebagai berikut:

a) Pemerintahan yang mendapat legitimasi (legitimacy of government

mencerminkan degree of democratization) ;

b) Akuntabilitas politik dan perangkat pejabat pemerintahan (tercermin dari

kebebasan pers, pengambilan keputusan yang transparan, mekanisme

akuntabilitas);

c) Kemampuan pemerintah untuk menyusun kebijakan dan mendistribusikan

pelayanan yang baik;

d) Komitmen yang nyata terhadap masalah hak asasi manusia dan aturan

hukum (baik yang berkaitan dengan hak-hak individu dan kelompok,

keamanan, aktivitas sosial dan ekonomi, serta partisipasi masyarakat).

E. Ir. Erna Anastasjia Witoelar

Dikutip dari bulletin informasi Program Kemitraan untuk Pembaharuan Tata

Pemerintahan di Indonesia (Partnership for Governance Reform in Indonesia),

kerja sama antara UNDP, World Bank, ADB beserta negara-negara sahabat,

masyarakat madani dan pemerintah Indonesia. Dalam pandangan Erna Witoelar,

governance atau tata pemerintahan mempunyai makna yang jauh lebih luas dari

14

Page 15: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

pemerintahan. Tata pemerintahan menyangkut cara-cara yang disetujui bersama

dalam mengatur pemerintahan dan kesepakatan yang dicapai antara individu,

masyarakat madani, lembaga-lembaga masyarakat, dan pihak swasta. Ada dua hal

penting dalam hubungan ini:

Semua pelaku harus saling tahu apa yang dilakukan oleh pelaku lainnya.

Adanya dialog agar para pelaku saling memahami perbedaan-perbedaan di

antara mereka.

Melalui proses di atas diharapkan akan tumbuh konsensus dan sinergi di

dalam masyarakat. Perbedaan yang ada justru menjadi salah satu warna dari

berbagai warna yang ada dalam tata pengaturan tersebut. Ukuran tata

pemerintahan yang baik adalah tercapainya suatu pengaturan yang dapat diterima

sektor publik, sektor swasta dan masyarakat madani.

Pengaturan di dalam sektor publik antara lain menyangkut keseimbangan

kekuasaan antara badan eksekutif (presiden), legislatif (DPR dan MPR),

dan yudikatif (pengadilan). Pembagian kekuasaan ini juga berlaku antara

pemerintah pusat dan daaerah.

Sektor swasta mengelola pasar berdasarkan kesepakatan bersama,

termasuk mengatur perusahaan dalam negeri, besar maupun kecil,

perusahaan multinasional, koperasi, dan sebagainya.

Masyarakat madani mencapai kesepakatan bersama guna mengatur

kelompok-kelompok yang berbeda seperti kelompok agama, kelompok

olahraga, kelompok kesenian, dan sebagainya.

Menurut Erna, masyarakat dapat terlibat dalam tata pemerintahan yang baik,

antara lain: Pertama, dengan mengawasi sektor publik dan sektor swasta, dan juga

memberikan masukan-masukan yang konstruktif pada pemerintah dan sektor

swasta demi berlangsungnya pelayanan yang baik bagi masyarakat luas. Kedua,

terlibat langsung dalam proses-proses pembangunan yang menyangkut diri sendiri

dan masyarakat. Warga masyarakat misalkan saja dapat membentuk paguyuban-

paguyuban lokal atau bergabung dengan LSM-LSM yang ikut ambil bagian aktif

dalam pembangunan di daerah setempat.

F. Prof. Bintoro Tjokroamidjojo

15

Page 16: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

Prof.Bintoro Tjokroamidjojo, “Good Governance, (Paradigma Baru

Manajemen Pembangunan)”, Jurnal Manajemen Pembangunan No.30 Tahun IX,

Mei 2000. Bintoro Tjokroamidjojo memandang good governance sebagai suatu

bentuk manajemen pembangunan, yang juga disebut administrasi pembangunan,

yang menempatkan peran pemerintah sentral yang menjadi agent of change dari

suatu masyarakat berkembang/developing di dalam negara berkembang. Agent of

change dan karena perubahan yang dikehendakinya, menjadi planned change

(perubahan yang berencana), maka disebut juga agent of development. Agent of

development diartikan pendorong proses pembangunan dan perubahan masyarakat

bangsa. Pemerintah mendorong melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan dan

program-program, proyek-proyek, bahkan industri-industri, dan peran

perencanaan dan anggaran penting. Dengan perencanaan dan anggaran juga

menstimulusi investasi sektor swasta. Kebijaksanaan dan persetujuan penanaman

modal di tangan pemerintah.

Dalam good governance peran pemerintah tidak lagi dominan, tetapi juga

citizen, masyarakat dan terutama sektor usaha/ swasta yang berperan dalam

governance. Pemerintah bertindak sebagai regulator dan pelaku pasar untuk

menciptakan iklim yang kondusif dan melakukan investasi prasarana yang

mendukung dunia usaha. Usaha pembangunan dilakukan melalui

koordinasi/sinergi (keselarasan kerja) antara pemerintah-masyarakat-swasta).

Masyarakat dan dunia usaha mempunyai peran lebih dalam perubahan

masyarakat.

G. Drs. Setia Budi, M.A.

“Aparatur Pemerintah yang Profesional: Dapatkah diciptakan?”, hal. 7-9,

Jurnal Perencanaan Pembangunan, No.17, Oktober 1999. Setia Budi

mengungkapkan bahwa sedikitnya terdapat lima ciri sebagai prinsip utama yang

harus dipenuhi dalam kriteria good public governance sebagai prinsip yang saling

terikat, yaitu:

Akuntabilitas (accountabilty), ialah kewajiban untuk

mempertanggungjawabkan;

16

Page 17: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

Keterbukaan dan transparan (openess and transparency);

Ketaatan pada aturan hukum;

Komitmen yang kuat untuk bekerja bagi kepentingan bangsa dan negara,

dan bukan pada kelompok atau pribadi;

Komitmen untuk mengikutsertakan dan memberi kesempatan kepada

masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

Penjabaran kelima prinsip tersebut sebagai berikut:

a) Akuntabilitas

Aparatur pemerintah harus mampu mempertanggung-jawabkan pelaksanaan

kewenangan yang diberikan di bidang tugas dan fungsinya. Aparatur pemerintah

harus dapat mempertanggung -jawabkan kebijaksanaan, program dan kegiatannya

yang dilaksanakan atau dikeluarkannya termasuk pula yang terkait erat dengan

pendayagunaan ketiga komponen dalam birokrasi pemerintahan, yaitu

kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan, dan sumber daya manusianya.

Prinsip akuntabilitas mensyaratkan adanya perhitungan cost and benefit analysis

(tidak terbatas dari segi ekonomi, tetapi juga sosial, dan sebagainya tergantung

bidang kebijaksanaan atau kegiatannya) dalam berbagai kebijaksanaan dan

tindakan aparatur pemerintah. Selain itu, akuntabiltas juga berkaitan erat dengan

pertanggungjawaban terhadap efektivitas kegiatan dalam pencapaian sasaran atau

target kebijaksanaan atau program. Dengan demikian, tidak ada satu

kebijaksanaan, program, dan kegiatan yang dilaksanakan oleh aparatur

pemerintahan yang dapat lepas dari prinsip ini.

b) Keterbukaan dan transparan (openess and transparency)

Masyarakat dan sesama aparatur pemerintah dapat mengetahui dan memperoleh

data dan informasi dengan mudah tentang kebijaksanaan, program, dan kegiatan

aparatur pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah, atau data dan

informasi lainnya yang tidak dilarang menurut peraturan perundang-undangan

yang disepakati bersama. Keterbukaan dan transparan juga dalam arti masyarakat

atau sesama aparatur dapat mengetahui atau dilibatkan dalam perumusan atau

17

Page 18: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dengan pengendalian pelaksanaan

kebijaksanaan publik yang terkait dengan dirinya.

Data dan informasi yang berkaitan dengan tugas/fungsi aparatur pemerintah

(instansi) yang bersangkutan harus disediakan secara benar, misalnya data PNS

oleh BAKN, data guru oleh Depdiknas, data realisasi panen padi oleh Departemen

Pertanian, dan sebagainya. Perlunya dihindari adanya data dan informasi yang

bersifat “menyenangkan” tetapi menutupi yang sebenarnya. Sebab keputusan atau

kebijakan publik (public policy) yang diambil pimpinan yang tidak didasarkan

pada data dan informasi yang sebenarnya, maka keputusan atau kebijaksanaan

tersebut akan menimbulkan masalah baru seperti masalah lingkungan, anggaran

(pemborosan), dan penderitaan transmigran yang ditempatkan di sana.

c) Ketaatan pada aturan hukum

Aparatur pemerintah menjunjung tinggi dan mendasarkan setiap tindakannya pada

aturan hukum, baik yang berkaitan dengan lingkungan eksternal (masyarakat luas)

maupun yang berlaku terbatas di lingkungan internalnya, misalnya: aturan

kepegawaian dan aturan pengawasan fungsional. Prinsip ini juga mensyaratkan

terbukanya kesempatan kepada masyarakat luas untuk terlibat dan berpartisipasi

dalam perumusan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

masyarakat.

d) Prinsip komitmen yang kuat untuk bekerja bagi kepentingan bangsa dan

negara, dan bukan pada kelompok, pribadi atau partai yang menjadi idolanya.

Prinsip ini merupakan hal yang mutlak dimiliki oleh aparatur pemerintahan. Hal

ini sesuai dengan tugas dan fungsi pemerintah, sebagai pembina, pengarah, dan

penyelenggara pemerintahan umum dan pembangunan (dalam batas -batas

tertentu).

e) Prinsip komitmen untuk mengikutsertakan dan memberi kesempatan

kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan Prinsip ini

menegaskan bahwa tanpa komitmen ini, maka yang timbul bukan partisipasi

18

Page 19: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

masyarakat tetapi antipati dan ketidaksukaan dalam diri masyarakat terhadap

perilaku dan kebijaksanaan aparatur pemerintah. Pada saat yang sama, dalam diri

aparatur pemerintah akan tumbuh secara perlahan tetapi pasti sikap mendominasi,

anggapan atau perasaan paling tahu, paling bisa dan paling berkuasa, dan

cenderung tidak mau tahu kondisi dan pendapat orang lain, yang pada akhirnya

menimbulkan arogansi birokrasi pemerintah.

2. Teori Bias5

Teori ini dikemukakan oleh Gunnar Myrdal (1944) dalam tulisan klasiknya

An American Dillemma. Pada dasarnya tulisan Myrdal ini bahasannya terbatas

pada konflik antar-ras kulit hitam dan kulit putih yang terjadi di Amerika sampai

pada akhir tahun 1960-an. Menurut teori ini, stratifikasi sosial ras atau etnis

muncul karena kelompok minoritas, dalam permasalahan konflik Sambas yaitu

etnis Madura, seolah-oleh menerima kekurangan mereka atas tekanan yang

dilakukan oleh pihak mayoritas, dalam hal ini masyarakat lokal Kalbar. Tekanan

atau intimidasi pihak mayoritas diperkuat dengan adanya stereotipe yang

diberikan kepada pihak minoritas tersebut. Proses intimidasi tersebut terjadi

secara terus menerus sehingga membentuk persepsi yang permanen pada pihak

mayoritas kepada pihak minoritas.

Dalam kaitannya dengan permasalahan anfektifitas kebijakan relokasi

korban konflik Sambas terletak pada bias etnis yang sudah sampai pada level

birokrasi lokal. Hal ini ditunjukkan dengan adanya Hidden Agenda Pemda

Sambas kepada masyarakat lokal untuk menolak datangnya kembali masyarakat

Madura. Kebijakan yang bias etnis seperti ini seharusnya dapat dihindari oleh

pemerintah pada level manapun. Apabila bias tersebut masih melekat pada

masyarakat, persepsi negatif yang permanen pada masyarakat pendatang bisa saja

muncul dan melekat erat pada masyarakat lokal sampai beberapa generasi.

3. Teori Diskriminasi Struktural6

5 Prof. Dr. Alo Liliweri, M.S., “Prasangka Dan Konflik”, PT. LKiS Printing Cemerlang, Yogyakarta: 2005 (hal: 169-171).6 Ibid, (hal: 171-177).

19

Page 20: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

Teori ini merupakan kritik dari teori Bias, dalam teori ini salah satu sosiolog

Parenti (1978) memaparkan bahwa masalah-masalah yang terjadi antar-etnis

sebenarnya dibentuk oleh masyarakat mayoritas dalam pola intitusionalisasi yang

salah dari masyarakat mayoritas yang berkuasa. Karena kekuasaannya, mereka

mendominasi sehingga memperbesar potensi konflik. Hal ini kemudian sebut

dengan “Institusionalisasi rasisme” atau “Institusionalisasi etnisitas”, yang

menyebabkan persepsi pada kaum mayoritas tentang subordinasi masyarakat

minoritas.

Pandangan lain yang masih dalam cakupan teori diskriminasi struktural

dikemukakan oleh Carmichael dan Hamilton (1967). Menurut mereka, ada dua

tipe diskriminasi, yaitu diskrimasi individual dan diskriminasi institusional.

Diskriminasi individual terjadi ketika seseorang yang berasal dari etnis atau ras

tertentu membuat aturan yang merugikan atau bertidak kasar dan keras kepada

orang dari etnis atau ras lain, karena orang dari etnis atau ras lain tersebut berada

dalam kekuasaannya. Sedangkan diskriminasi institusional adalah tindakan

kelompok mayoritas terhadap minoritas yang dilembagakan atau

diintitusionalkan. Dalam dua tipe diskriminasi ini masyarakat secara keseluruhan,

baik mayoritas maupun minoritas, terikat dan berada dalam suatu sistem

masyarakat yang sudah dikolusi oleh keadaan prasangka antar-ras atau antar-etnis.

Dalam hubungannya dengan diskriminasi institusional, terdapat pandangan

yang dikemukakan oleh Benokraitis dan Feagin (1974). Menurut mereka ada

empat tema yang berkaitan erat dengan diskriminasi intitusional, diantaranya

yaitu:

Sejarah hidup suatu masyarakat yang mempengaruhi atau membentuk

persepsi atau prasangka dalam suatu sistem sosial.

Adanya dukungan dari masyarakat itu sendiri, dengan kata lain,

masyarakat dan pemerintah sadar dengan adanya diskriminasi tersebut,

namun tidak ada tindakan pencegahan dari masyarakat tersebut.

Kekuatan diskriminasi yang melemahkan intitusi yang telah ada. Dalam

hal ini dengan adanya diskriminasi dalam sebuah institusi masyarakat

akan melemahkan kinerja instituusi tersebut.

20

Page 21: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

Batasan yang ditetapkan oleh diskriminasi itu. Dalam hal ini,

masyarakat mayoritas membatasi ekspresi dan hak dari masyarakat

minoritas karena adanya diskriminasi tersebut.

Dari teori-teori yang telah dipaparkan diatas menurut penulis, teori yang

sesuai dan efektif untuk menjelaskan permasalahan analisis kebijakan relokasi

pengungsi korban konflik Sambas adalah Teori Good Governance dari UK/ODA

dan dari UNDP. Asumsi dasar permasalahan dalan penelitian ini adalah tidak

efektifnya implementasi kebijakan relokasi dari pemerintah provinsi yang

diindikasikan dengan adanya tata pemerintahan (Governance) yang tidak baik dan

beberapa indikasi lain yang menyangkut faktor Bias pada masyarakat lokal. Untuk

itu dalam penyelesaian permasalahan ini diperlukan Good Governance yang

benar-benar menjangkau seluruh lapisan masyarakat termasuk birokrasi-birokrasi

kecil dan lembaga-lembaga independen lain sehingga koordinasi antara lembaga-

lembaga tersebut dapat terlaksana secara efektif.

Tinjauan Empiris

Dalam permasalahan kebijakan relokasi pengungsi korban konflik Sambas

pernah ada satu penelitian yang dilakukan yang di ketahui oleh penulis. Laporan

penelitian yang pertama di tulis oleh Setiadi dari Pusat Studi Kependudukan dan

Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM) pada tahun 2005 dengan judul

“Korban Menjadi Korban (Perempuan Madura Pascakonflik Sambas)”.

Peneltiannya sendiri dilakukan pada tahun 2003 dengan adanya kerjasama antara

PSKK UGM dengan Ford Foundation. Laporan penelitian ini memiliki fokus

penelitian pada nasib perempuan Madura di lokasi pengungsian korban konflik

Sambas. Di sini dibahas bentuk-bentuk eksploitasi perempuan Madura di

pengungsian baik oleh masyarakat sekitar maupun oleh sesama pengungsi. Bentuk

eksploitasi ini dapat berupa prostitusi di pengungsian, warung-warung remang-

remang, prostitusi anak dibawah umur dan lain-lain. Penelitian ini juga

mengkalkulasi jumlah pengungsi korban konflik Sambas yang tersebar di

21

Page 22: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

Kalimantan Barat. Tiga tabel persebaran pengungsi dibawah ini merupakan

sebagian dari data kalkulasi penelitian terdahulu.

Tabel

Jumlah dan Persebaran Pengungsi Korban Kerusuhan Sambas

Per 30 Maret 1999

Lokasi pengungsiJumlah jiwa

1999 2002

Kota Pontianak Asrama Haji Gudang Sei. Jawi GOR Pangsuma Stadion Sultan Syarif Abdurrahman GOR Bulutangkis GOR Untan Rumah Penduduk

3.297243

5.6226.3502000

-4.321

7.179-

5.0285.8861.081848

-

Kabupaten Pontianak K1-B Arang Limbung Zenibang Ton Intel Gedung Wajok Hulu Gg. Jariah Kompi B 643

24610156

2.204--

---

5.705434315

Kota Sambas K1-B Pemangkat K1-B Sambas Lanud Sanggau Ledo PMI Singkawang Luar Kamp Marhaban

535.9311.438

8--

----

26.7723.684

Total terdata 32.451 56.932

Sunber : Dokumentasi Arsip Posko Tk I Kalimantan Barat / Maret 1999. Posko penanggulangan Pengungsi

(data 23 April 2002)

Tabel

Kamp Penampungan dan Data Pengungsi Kerusuhan Sambas

Januari-April 1999

Lokasi pengungsijumlah

jiwa KK

22

Page 23: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

Kabupaten SambasBarak: MarhabanNonbarak (Masyarakat)

Kecamatan Tujuh Belas Kecamatan Pasiran Kecamatan Roban

4.227

3.338611

2.145

905

554131284

Kabupaten PontianakBarak

Wajok Denzibang/Kompi B

Nonbarak (masyarakat) Sei. Pinyuh Mempawah Hilir Sei. Kunyit Siantan Sei. Raya Sei. Kakap Sebangki Kuala Mandor B Sei. Ambawang

6.385370

2.3541.213593808

5.00090056100

1.099

1.20271

4301361361619021721816303

Kota PontianakBarak

Gg. Jariayah Gudang Sei. Jawi Asrama Haji GOR Pangsuma Sultan Abdurrahman GOR Bumi Khatulistiwa* GOR Untan

Nonbarak (masyarakat) Kec. Pontianak Utara Kec. Pontianak Barat Kec. Pontianak Timur Kec. Pontianak Selatan

249228

5.9797.4126.0431.7921.190

10.0132.3151.4943.020

5959

1.1211.1781.017343257

1.977440145455

Jumlah Pengungsi di Kota PontianakJumlah Pengungsi di Kabupaten PontianakJumlah Pengungsi di Kabupaten SambasJumlah Keseluruhan

39.73518.87810.32168.934

7.0513.5471.87412.472

Sumber : Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, 2001.*. Dibakar massa pada kerusuhan 24 Juni 2001

Tabel Daerah Relokasi dengan Pola Sisipan

Lokasi Target (KK)Realisasi Penempatan (KK)

(KK) (jiwa)

Tb. Kacang SP.2 500 333 1.692

23

Page 24: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

Parit Haji Ali

P. Sabar Bahagia

P. Sido Mulyo

Pulau Nyamuk

Tanjung Saleh

Puguk

300

400

200

200

150

250

111

333

-

36

-

-

537

1.720

-

161

-

-

jumlah 2.000 869 4.379

Sumber: Dinas Tenaga Kerja & Kependudukan, Prov. Kalimantan Barat, 2003.

BAB III

METODE PENELITIAN

24

Page 25: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

Jenis Penelitian

Metode penelitian digunakan untuk menjawab permasalahan dalam

penelitian dan metode penelitian yang digunakan harus tepat dan sesuai dengan

masalah penelitian. Namun demikian, karena setiap metode pasti memiliki

kelemahan dan kelebihan, maka untuk menjawab permasalahan penelitian

menggunakan beberapa metode yang berbeda untuk saling mengisi dan

melengkapi. Untuk menggali informasi yang dibutuhkan dalam upaya menjawab

pertanyaan penelitian sebagaimana telah diformulasikan di atas, penulis

menggunakan metode evaluasi deskripif dengan mengkombinasikan pendekatan

kualitatif, analisis data sekunder dan wawancara mendalam secara langsung

(indepth interview) untuk menggali data-data primer.

Menurut Nawawi (1998 : 63) metode deskiptif dapat diartikan sebagai

prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan

keadaan subyek/obyek penelitian (seorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain)

pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana

adanya. Sedangkan Moleong (1989) mengemukakan bahwa metode deskriptif

adalah penelitian yang bertujuan mendeskripsikan atau menjelaskan sesuatu hal

seperti apa adanya. Metode deskriptif ini terdiri dari dua jenis analisis penelitian,

yaitu analisis kuantitatif dan analisis kualitatif.

Dalam permasalahan ini penulis tertarik untuk menggunakan teknik

penelitian analisis deskriptif kualitatif, yaitu teknik analisis yang dilakukan

dengan mengumpulkan data dan fakta, kemudian berdasarkan kerangka teori

disusun secara sistematis sehingga dapat memperlihatkan korelasi antara fakta

yang satu dengan yang lainnya. Penelitian deskriptif kualitatif digunakan

berdasarkan pertimbangan sebagai berikut : 1) Menyesuaikan metode kualitatif

lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan; 2) Metode ini menyajikan

secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dengan responden; dan 3)

Metode ini lebih peka dan dapat lebih menyesuaikan diri dengan banyak

penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. Namun,

pada batasan-batasan kualitatif yang lemah terhadap data statisik, penulis juga

25

Page 26: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan teknik analisis kuantitatif

terhadap data-data statistik yang penting dalam penelitian ini.

Pemilihan Lokasi Penelitian

Penelitian ini pada rencananya akan dilaksanakan di beberapa lokasi

pengungsian di Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, sebagai lokasi

tujuan utama relokasi pengungsi korban konflik antar-etnis di Sambas. Pemilihan

lokasi penelitian ini juga didasarkan pada keputusan Gubernur Provinsi

Kalimantan Barat melalui Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor :

143 Tahun 2002 tentang Pembentukan Team Gabungan Penanggulangan

Pengungsi Pasca Kerusuhan Sosial di Kalimantan Barat yang menetapkan

Kabupaten dan Kota Pontianak sebagai lokasi pengungsian sementara dan lokasi

pengungsian tetap korban pascakonflik Sambas. Pemilihan lokasi pengungsian

tetap tersebut oleh Pemprov didasarkan pada banyaknya lahan tidur yang dapat

digarap oleh para pengungsi dan sebagian besar lokasi pengungsian tersebut

belum banyak yang menghuni, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya

konflik di masa yang akan datang.

Penentuan Sumber dan Jenis Data

Data primer penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara terhadap

beberapa informan dan pengungsi yang masih ada dilokasi penelitian. Selain itu,

dilakukan pula observasi lapangan untuk melengkapi data yang diperlukan. Data

sekunder diperoleh melalui dokumentasi dari instansi terkait, literatur dan bahan

referensi lainnya. Instansi-instansi tersebut meliputi: Kantor Badan Perencanaan

Daerah (Bappeda) Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Sambas, Kantor

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Sambas,

Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat dan

Kabupaten Sambas, Sahbandar dan Administrasi Pelabuhan Pontianak, Kepolisian

dan TNI Daerah yang terkait dengan penelitian, dan Satkorlak Penanggulangan

Bencana Alam dan Pengungsi (PBP) Propinsi Kalimantan Barat dan PBP

Kabupaten Sambas.

26

Page 27: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

Penentuan Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data yang diperlukan adalah

sebagai berikut. Untuk data primer dilakukan wawancara mendalam terhadap

informan dengan menggunakan tape recorder atau video camera recorder dan

interview guide dan pada pengungsi yang masih berdomisili di lokasi

pengungsian, penulis akan menyebarkan kuisioner sederhana kepada beberapa

pengungsi (sampel) yang dipilih dengan cara sistem acak sederhana (simple

random sampling) untuk kemudian diisi dan dianalisis oleh penulis. Sedangkan

data sekunder diperoleh melalui dokumentasi dari instansi terkait. Selain dari

kedua cara tersebut, peneliti melakukan pula observasi lapangan untuk

melengkapi data yang diperlukan.

Metode Pencakupan Data

Dalam penelitian ini metode yang digunakan dalam pencakupan data yang

meliputi data primer dan sekunder yaitu menggunakan teknik wawancara,

observasi, dokumentasi dan menggunakan kuisioner. Yang dimaksud data primer

adalah data yang langsung dan segera diperoleh dari sumber data untuk tujuan

khusus. Sedangkan data sekunder adalah data yang terlebih dahulu dikumpulkan

dan dilaporkan oleh seseorang diluar peneliti sendiri, walaupun data yang

dikumpulkan itu adalah data yang asli. Adapun penjelasan teknik pencakupan

data yang digunakan antara lain :

1. Wawancara adalah salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan untuk

mendapatkan informasi dengancara bertanya langsung kepada informan.

Wawancara dilakukan dengan cara tatap muka dengan menggunakan daftar

pertanyaan dalam kaitannya dengan penelitian ini. Menggunakan teknik

wawancara mendalam (indepth intervieuw) yaitu mendapatkan informasi

dengan cara bertanya langsung atau komunikasi langsung kepada pihak-pihak

yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang akan diteliti.

Maksud mengadakan wawancara, seperi ditegaskan oleh Lincoln dan Guba

(Moleong, 1989 : 135) antara lain :

27

Page 28: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

“Mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motiasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain kebulatan; merekonstruksi kebulatan-kebulatan demikian sebagai yang dialami masa lalu; memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang telah diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang; memverifikasi, mengubah dan memperluas informasi dari orang lain, baik manusia maupun bukan manusia (trianglasi); dan memverifikasi, mengubah dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota”.

Keuntungan menggunakan wawancara mendalam dalam suatu penelitian dapat

menghasilkan data yang kaya, rinci, penuh hal-hal baru, memungkinkan tatap

muka dengan informan, memungkinkan dilakukan eksplorasi topik secara

mendalam dan memungkinkan klarifikasi atas jawaban yang kurang/tidak

jelas.

2. Observasi merupakan teknik pengumpulan informasi melalui pengamatan

pada saat proses penelitian sedang berjalan. Observasi dalam penelitian ini

meliputi data tentang proses pemilihan lokasi pengungsian dan proses relokasi

pengungsi korban konflik Sambas.

3. Dokumentasi digunakan untuk memperoleh data sekunder, yakni dengan cara

menelaah dokumen dan kepustakaan yang dikumpulkan dari berbagai

dokumen. Dalam penelitian ini penulis menggunakan data statistik mengenai

jumlah korban yang direlokasi pada tiap-tiap lokasi pengungsian serta data-

data lainnya yang berkaitan dengan tujuan penelitian.

4. Kuisioner merupakan metode dalam wawancara yang menggunakan daftar

pertanyaan untuk disebarkan kepada para responden. Dalam penelitian ini

penulis menggunakan kuisioner pada para pengungsi yang ada di lokasi

pengungsian.

Manajemen Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, manajemen data yang digunakan oleh penulis

antara lain yaitu:

1. Data cleaning, yaitu mengedit data-data yang telah diperoleh. Pada data

primer, yang berbentuk interview video dan interview audio, cleansing data

28

Page 29: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

dilakukan dengan menghilangkan bagian-bagian yang rusak dan tidak perlu.

Pada data sekunder cleansing dilakukan dengan menghilangkan data-data

atau dokumen-dokumen yang rusak dan tidak perlu.

2. Data sorting, yaitu tahapan setelah data cleansing yang dilakukan dengan

menyortir atau mengelompokkan data-data tersebut menurut fungsi dan

manfaatnya pada analisis yang akan dilakukan.

3. Data storing, yaitu tahapan terakhir yang dilakukan penulis sebelum

menganalisis data yang telah disortir, dilakukan dengan menyimpan dan

mengamankan data-data tersebut dengan cara membuat data back up

sehingga data tersebut dapat terus dimanfaatkan walaupun terjadi hal-hal

yang tidak diinginkan.

4. Pengolahan data digunakan penulis pada data-data statistik diperoleh penulis

dari Badan Pusat Statistik. Diproses dengan menggunakan tabel dan

ditampilkan dalam bentuk tabel maupun grafik.

Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif dan

kuntitatif pada data-data statistik. Pada metode kualitatif analisis yang digunakan

adalah dengan cara melakukan interpretasi terhadap data, fakta dan informasi

yang telah dikumpulkan melalui pemahaman intelektual dan pemahaman empiris,

berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Penilaian data, yang dilakukan berdasarkan prinsip validitas, obyektivitas,

reliabilitas melalui cara mengkategorikan data dengan sistem pencatatan yang

relevant dan melakukan kritik atas data yang telah dikumpulkan dengan teknik

triangulasi.

2. Interpretasi data, yang dilakukan dengan cara menganalisis data dengan

pemahaman intelektual yang dibangun atas dasar pengalaman empiris

terhadap data, fakta, dan informasi yang telah dikumpulkan dan

disederhanakan dalam bentuk tabel dan grafik.

3. Penyimpulan terhadap hasil interpretasi data.

29

Page 30: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

Sedangkan metode kuantitatif, data statistik yang diperoleh penulis akan dianalisis

dengan menggunakan software SPSS 17.0 dan Microsoft Excel 2007. Namun

penulis tidak menutup kemungkinan lain untuk menggunakan metode analisis dan

software-software lain dalam menganalisis data yang telah didapat dalam

penelitian.

Batasan Operasional

Dalam membahas dan menganalisis kebijakan relokasi pengungsi korban

konflik, operasionalisasi dibutuhkan untuk mengurangi ketidakjelasan makna.

Dasar dari operasionalisasi adalah definisi yang konsisten dan jelas dari variabel

yang akan diteliti, karena definisi memungkinkan pengguna informasi atau hasil

penelitian dapat memahami dan mengambil manfaat dari penelitian yang

dilakukan.

1. Implementasi kebijakan relokasi.

Apakah ada kesesuaian antara mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan

dalam kebijakan Pemerintah Daerah melalui Surat Keputusan Gubernur

Kalimantan Barat Nomor : 143 Tahun 2002 tentang Pembentukan Team

Gabungan Penanggulangan Pengungsi Pasca Kerusuhan Sosial di Kalimantan

Barat dan Perda No. 10 tahun 2005 tentang RPJMD Provinsi Kalimantan

Barat tahun 2006 – 2008 tanggal 31 Oktober 2005; khususnya pada Bab

tentang Agenda Mewujudkan Kalimantan Barat Harmonis dalam Etnis dengan

kenyataan di lapangan.

Indikatornya antara lain :

a. Pemenuhan prosedur dalam proses relokasi apakah sesuai dengan

ketentuan yang ditetapkan.

b. Proses relokasi apakah sudah dilakukan secara terbuka dan transparan.

c. Dampak pelaksanaan relokasi secara langsung maupun tidak langsung

terhadap masyarakat sekitar.

2. Keterlibatan Pemerintah dalam proses relokasi.

30

Page 31: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

Yang menjadi fokus perhatian adalah bagaimana keterlibatan birokrasi

pemerintah daerah yang terkait dalam proses relokasi pengungsi korban

konflik Sambas di Kabupaten Pontianak.

Indikatornya antara lain :

a. Peran langsung birokrasi dalam proses relokasi, khususnya dalam

pengawasan proses relokasi.

b. Jumlah personil birokrat yang terlibat dalam proses relokasi dan periode

pengawasan yang dilakukan oleh personil birokrat tersebut.

3. Sikap masyarakat non-pengungsi di sekitar lokasi pengungsian.

Adalah sikap dan perilaku masyarakat non-pengungsi di sekitar lokasi

pengungsian dalam memperlakukan pengungsi.

Indikatornya antara lain :

a. Perbandingan jumlah masyarakat yang menolak dan menerima adanya

relokasi di kawasan tempat tinggal mereka.

b. Sikap dan perlakuan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut kepada para

pengungsi.

c. Penyimpangan dan tindak kriminalitas yang dilakukan oleh masyarakat

sekitar kepada para pengungsi.

4. Sikap pengungsi terhadap masyarakat di sekitar lokasi pengungsian.

Adalah kebalikan dari batasan di atas yang merupakan sikap dan perilaku

pengungsi kepada masyarakat yang berdomisili di sekitar lokasi pengungsian.

Indikatornya antara lain :

a. Perbandingan tingkat kriminalitas di lingkungan sekitar lokasi

pengungsian sebelum dan setelah ada relokasi pengungsi.

b. Perilaku pengungsi terhadap warga dan lingkungan sekitar lokasi

pengungsian.

5. Tingkat kesejahteraan pengungsi

Yang menjadi fokus perhatian adalah bagaimana tingkat kesejahteraan

pengungsi selama tinggal di lokasi pengungsian.

Indikatornya antara lain :

31

Page 32: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

a. Tingkat asupan gizi dan makanan, tingkat pendidikan, penghasilan, dan

kedekatan dengan akses birokrasi pengungsi.

b. Tingkat kematian ibu dan anak, tingkat kebersihan tempat, dan

ketersediaan fasilitas penunjang di lokasi pengungsian.

Pertimbangan Etis

Dalam melakukan penelitian, penulis juga mempertimbangkan faktor etis

yang termasuk di dalamnya pertimbangan terhadap karakteristik etnis dan

stereotipe yang berkembang terhadap suatu etnis, yang dalam permasalahan

relokasi pengungsi korban konflik Sambas ini yaitu etnis Madura dan etnis-etnis

lain yang terlibat dalam permasalahan ini, pertimbangan tersebut antara lain:7

1. Stereotipe dan karakteristik etnis Dayak

Dalam kehidupan sehari-hari etnis ini yang mayoritas beragama Nasrani,

dikenal bersikap toleran terhadap pemeluk agama lain. Orang Dayak juga

dikenal penyabar, tetapi kesabaran mereka akan hilang bila harga diri dan

adat-istiadat mereka terinjak-injak oleh orang lain. Apabila hal itu terjadi,

etnis ini dapat berbuat apa saja, termasuk anarkis dan sadisme, untuk

memperoleh kembali harga diri dan mempertahankan adat-istiadat suku

mereka.

2. Stereotipe dan karakteristik etnis Melayu

Stereotipe yang berkembang pada etnis Melayu adalah pengalah, pemalu,

patuh pada adat-istiadat dan taat beragama. Stereotipe yang lain adalah

penakut (Petebang dan Sutrisno, 2000). Pada sisi lain, mereka dikenal santun

budi bahasanya dan tidak terpengaruh oleh hasutan. Sifat gotong-royong

sesama warga baik sesama etnis maupun antar-etnis sangat tinggi. Demikian

juga halnya rasa solidaritas antarsuku mereka juga tinggi. Mereka juga

dikenal sebagai pekerja keras dan penyabar sehingga jika marah cukup

berekspresi melalui pantun. Secara umum, masyarakat Melayu menguasai

sektor politik (birokrasi).

3. Stereotipe dan karaktersitik etnis Madura7 Setiadi, “Korban Menjadi Korban (Perempuan Madura Pascakonflik Sambas)”, seri laporan no. 161, PSKK UGM dan Ford Foundation, Yogyakarta: 2005, hal: 33-37.

32

Page 33: ANALISIS KEBIJAKAN RELOKASI PENGUNGSI KORBAN KONFLIK ANTAR-ETNIS DI SAMBAS

Stereotipe yang berkembang pada etnis Madura adalah berkarakter kasar,

keras, mudah tersinggung, arogan dan mau menang sendiri. Hal ini dikuatkan

oleh kesan beberapa pengamat (Royce, 1980, Tim Peneliti UNAIR, 1982)

yang menggambarkan mereka sebagai orang kasar (crude), kurang sopan (ill-

mannered), gugup (nervous), selalu ingin tahu (curious), dan keras kepala

(stubborn) (lihat Alqadri, 1999: 53). Kesan atau karakter tersebut disebabkan

dan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan daerah asal mereka di pulau

Madura yang keras. Dalam kesehariannya, masyarakat Madura yang tinggal

di Kabupaten Sambas dikenal memiliki kebiasaan unik, seperti suka

membawa celurit dan mudah tersinggung.

Pertimbangan-pertimbangan stereotipe dan karaktersitik etnis tersebut menurut

penulis sangat penting dalam penelitian ini karena dengan adanya hal itu, penulis

dapat mempersiapkan bagaimana cara menghadapi informan-informan yang

berasal dari berbagai etnis.

Kelemahan Penelitian

Kelemahan-kelemahan dari penelitian ini adalah pemaparan yang

kemungkinan bias etnis. Dalam hal ini, penulis akan banyak memaparkan sisi

negatif dari etnis Madura. Hal ini tidak dapat dihindari oleh penulis mengingat

hampir semua referensi yang digunakan oleh penulis menyudutkan etnis Madura

sebagai ‘biang keladi’ konflik antar-etnis di Sambas.

33