analisis dimensi nilai budaya jawa dalam praktik akuntansi pada umkm

15
ANALISIS DIMENSI NILAI BUDAYA JAWA DALAM PRAKTIK AKUNTANSI PADA UMKM Oleh: Raditya Shinta 125020300111096 Dosen Pembimbing Dr. Zaki Baridwan, SE., M.SI., Ak., CA ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan ide atau gagasan, dan nilai budaya yang muncul dari sebuah praktik akuntansi yang sederhana pada pelaku UMKM bersuku Jawa. Tulisan ini juga dimaksudkan untuk menggali lebih dalam hubungan antara budaya dan akuntansi pada usaha mikro dalam lingkungan masyarakat Jawa. Dimensi-dimensi budaya yang dikemukan oleh Hofstede juga akan dibuktikan dalam penerapan bisnis dan akuntansi pada karakteristik masyarakat Jawa. Sebagian besar pelaku UMKM di Indonesia beranggapan bahwa informasi akuntansi bukan merupakan sesuatu yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan bisnis. Sehingga dalam studi ini akan juga diungkapkan bahwa, karakteristik, nilai, dan makna budaya turut menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi praktik akuntansi dan pengambilan keputusan dalam bisnis yang dilakukan oleh para pelaku UMKM bersuku Jawa. Kata kunci: dimensi budaya, budaya Jawa, Hofstede, praktik bisnis, praktik akuntansi, UMKM ABSTRACT This paper aims to express ideas and cultural values that arise from a simple accounting practices in SMEs Javanese ethnicity. This article is also intended to dig deeper into the relationship between culture and accounting at the micro enterprise within the Java community. Cultural dimensions raised by Hofstede also be evidenced in the application of

Upload: raditya-shinta

Post on 16-Sep-2015

134 views

Category:

Documents


31 download

DESCRIPTION

Teori Akuntansi, Budaya

TRANSCRIPT

ANALISIS DIMENSI NILAI BUDAYA JAWA DALAM PRAKTIK AKUNTANSI PADA UMKMOleh:Raditya Shinta125020300111096Dosen PembimbingDr. Zaki Baridwan, SE., M.SI., Ak., CA

ABSTRAKTulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan ide atau gagasan, dan nilai budaya yang muncul dari sebuah praktik akuntansi yang sederhana pada pelaku UMKM bersuku Jawa. Tulisan ini juga dimaksudkan untuk menggali lebih dalam hubungan antara budaya dan akuntansi pada usaha mikro dalam lingkungan masyarakat Jawa. Dimensi-dimensi budaya yang dikemukan oleh Hofstede juga akan dibuktikan dalam penerapan bisnis dan akuntansi pada karakteristik masyarakat Jawa. Sebagian besar pelaku UMKM di Indonesia beranggapan bahwa informasi akuntansi bukan merupakan sesuatu yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan bisnis. Sehingga dalam studi ini akan juga diungkapkan bahwa, karakteristik, nilai, dan makna budaya turut menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi praktik akuntansi dan pengambilan keputusan dalam bisnis yang dilakukan oleh para pelaku UMKM bersuku Jawa.Kata kunci: dimensi budaya, budaya Jawa, Hofstede, praktik bisnis, praktik akuntansi, UMKMABSTRACTThis paper aims to express ideas and cultural values that arise from a simple accounting practices in SMEs Javanese ethnicity. This article is also intended to dig deeper into the relationship between culture and accounting at the micro enterprise within the Java community. Cultural dimensions raised by Hofstede also be evidenced in the application of business and accounting on the characteristics of the Java community. Most SMEs in Indonesia believe that the accounting information is not something that affects the business decisions. So in this study will also disclosed that, characteristics, value, and meaning of culture contributed to the factors that affect accounting practices and decision-making in business done by the Javanese SMEs.Keywords: cultural dimension, Javanese culture, Hofstede, business practices, accounting practices, SMEs

PENDAHULUANBudaya merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan yang memberikan pengaruh dan kontribusi besar terhadap semua bidang keilmuan. Menurut Hofstede (1999), budaya adalah merupakan keseluruhan pola pemikiran, perasaan dan tindakan dari suatu kelompok sosial, yang membedakan dengan kelompok sosial yang lain. Pola pikir yang sama di sekelompok orang akan menjadi sebuah kebiasaan dan memicu terjadinya suatu adat istiadat, sehingga pada akhirnya menjadi budaya. Budaya yang berkembang dapat membangun cara pandang atau perspektif, tingkah laku, hingga etika dan moral. Budaya tersebut secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi cara berperilaku suatu kelompok masyarakat dalam kehidupan sehari-hari termasuk kehidupan berbisnis. Seperti halnya yang terjadi pada masyarakat Indonesia, bisnis yang dilakukan pada umumnya dipengaruhi oleh suku dan bangsa maupun adat istiadat yang dimiliki masing-masing kelompok masyarakat. Perbedaan cara berbisnis yang dilakukan oleh orang Jawa dan Batak atau etnis Tionghoa dengan etnis Arab merupakan contoh konkrit dari pengaruh budaya yang melekat pada karakteristik setiap kelompok atau suku.Jika dilihat lebih mendalam, pengaruh budaya bisnis tersebut nantinya juga akan mempengaruhi bentuk praktik akuntansi yang dijalankan. Hal ini lah yang menyebabkan praktik akuntansi mengalami sejarah dan perkembangan yang unik seiring dengan perkembangan sosial, budaya, dan ekonomi. Budaya lokal suatu masyarakat akan memberikan gaya praktik akuntansi yang sedang berjalan. Ide-ide yang muncul atas praktik akuntansi yang dipengaruhi oleh budaya lokal suatu kelompok jelas akan berbeda dengan praktik akuntansi yang dipengaruhi budaya lokal kelompok lain. Praktik akuntansi yang berjalan karena pengaruh budaya Jawa misalnya, jelas akan memunculkan gagasan-gagasan di balik praktik akuntansi tersebut dengan sifat alamiah Jawa. Berangkat dari fenomena di atas, ketertarikan untuk mempelajari akuntansi dari sisi sosial dan budaya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penelitian mengenai aspek budaya dalam akuntansi telah memperkaya disiplin akuntansi itu sendiri dan memperlihatkan bahwa akuntansi tidak hanya masalah teknis semata, namun juga berbicara tentang kebiasaan dan perilaku masyarakat yang berbeda-beda dalam menerapkan suatu konsep akuntansi. Di Indonesia, fenomena UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) sudah berkembang dengan pesat sejak UMKM menjadi satu-satunya penyelamat bangsa dari krisis ekonomi global yang pernah melanda Indonesia. Salah satu suku lokal yang memiliki peran besar terhadap perkembangan ekonomi dan bisnis UMKM di Indonesia adalah suku Jawa. Suku Jawa mementingkan pencitraan dalam kehidupan sehari-harinya dan menjunjung tinggi kebersamaan maupun keakraban keluarga. Perkembangan bisnisnya selalu terbawa dengan lingkungan sekitar yang turut mempengaruhi perilaku usaha.Berdasarkan isu budaya di atas, maka tulisan ini bertujuan untuk mengamati dan menganalisis ide, gagasan, dan nilai budaya yang muncul dari sebuah praktik akuntansi yang sederhana pada pelaku UMKM bersuku Jawa.

PEMBAHASANHofstede (1984) mengungkapkan terdapat empat dimensi budaya yang mempengaruhi kegiatan bisnis dan penerapannya terhadap praktek akuntansi yaitu (1) individualisme versus kolektivisme, besar kecilnya keinginan seseorang untuk memiliki kebebasan sendiri atau kebergantungan kepada kelompok; (2) jarak kekuasaan, jarak antara pemimpin dan bawahan yang akan berpengaruh terhadap praktek yang ada; (3) penghindaran ketidakpastian, ketidakpastian mengenai masa depan dianggap sebagai konsekuensi atau risiko dari kehidupan; (4) maskulinitas versus femininitas, nilai maskulin menekankan pada nilai kinerja dan pencapaian yang nampak, sedangkan feminin lebih pada pilihan pada kualitas hidup, mengutamakan hubungan persaudaraan, dan peduli pada yang lemah.Pada industri rumahan, sebagai simbol dari UMKM, yang berkembang di masyarakat Jawa pada umumnya tidak menjadikan laba atau keuntungan operasional sebagai fokus utama, melainkan kebersamaan dan kekeluargaan di dalamnya lah yang menjadi pondasi bisnisnya. Hal ini membuktikan bahwa karakteristik budaya yang berkembang akan berpengaruh kepada karateristik bisnis yang ada.Nilai Kearifan Budaya JawaKarena terdiri dari banyak kelompok suku, masyarakat Jawa memiliki karakteristik budaya yang khas sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Sebagai contoh, suku Tengger dan suku Madura memiliki nilai berbeda dalam menjalankan kehidupan. Suku Tengger berkondisi masyarakat yang lebih sabar daripada orang Madura sehingga etos kerja mereka umumnya tidak setinggi orang Madura. Prabowo (2003: 24) membagi budaya secara garis besar menjadi dua, yaitu: budaya lahir dan budaya batin. Budaya lahir menggambarkan kedudukan seseorang sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sementara budaya batin berhubungan dengan hal-hal yang bersifat gaib atau hal-hal yang tidak dapat dijangkau menurut akal pikiran, namun kedudukannya sangat berpengaruh terhadap pola kehidupan masyarakat Jawa. Menurut Koentjaraningrat (1982: 2) budaya batin dapat terkandung pada sistem religi. Jong (1976) dalam Zulfikar (2008: 3) mengemukakan bahwa unsur sentral kebudayaan Jawa adalah sikap rila (rela), nrima (menerima), dan sabar. Rila disebut juga ikhlas, yaitu kesediaan berpasrah kepada Tuhan akan hasil atas segala usaha yang telah dilakukan. Nrima berarti merasa puas dengan nasib dan kewajiban yang telah ada dan bersyukur atau berterima kasih). Sabar, menggambarkan bahwa ketiadaan nafsu yang bergolak dan berlebihan. Ketiga hal inilah yang akan mendasari pandangan dan perilaku orang Jawa dalam segala sesuatu. Sikap-sikap tersebut diperkenalkan secara turun temurun oleh orang tua kepada anak cucu nya sehingga kelestariannya tetap terjaga hingga saat ini di tengah intervensi budaya global. Maka dari itu, dalam etos berbisnis pun orang Jawa sangat memegang prinsip-prinsip leluhurnya. Karakteristik Masyarakat Jawa dalam Konteks BisnisSebagian besar masyarakat lokal Indonesia membangun dan mengembangkan bisnisnya tidak hanya berlatar belakang kebutuhan ekonomi, melainkan juga sebagai perwujudan budaya dan kreatifitas yang diciptakan oleh masyarakat wilayah tersebut. Begitu pula yang dilakukan orang Jawa dengan bisnis yang digelutinya. Dapat kita jumpai beberapa praktik-praktik bisnis yang dilakukan berdasarkan prinsip budaya yang dijunjung tinggi.Kekeluargaan dan gotong royong merupakan karakteristik pertama yang dapat dilihat secara kasat mata jika kita berada di pemukiman orang Jawa, terutama ketika mereka melakukan interaksi dengan sesamanya. Dalam melakukan bisnis, karakteristik ini pun muncul dan dapat dibuktikan dengan sikap toleran dan saling membantu antara tetangga atau lawan bisnisnya. Sebagai contoh, hubungan kekerabatan yang terjadi antara penjual satu dengan penjual lainnya di pasar tradisional. Ketika persediaan dagangan habis, mereka tidak akan segan untuk menawarkan barang dagangan lawan bisnisnya kepada pembeli walaupun jenis barangnya sama. Dengan cara seperti itu, akan timbul suatu konsep balas budi antar penjual. Fenomena ini turut menjelaskan keberlakuan dimensi budaya yang dikemukakan oleh Hofstede yaitu individualisme versus kolektivisme, dimana tingkat kolektivisme pada praktik bisnis UMKM ternyata cukup tinggi karena pelaku bisnisnya secara tidak sadar memiliki kebergantungan antara satu dengan yang lainnya. Dan juga keberlakuan maskulinitas dan femininitas, dimana orang Jawa cenderung lebih feminin terbukti dengan sikap mereka yang mengutamakan hubungan persaudaraan dan tenggang rasa (tepo slira).Karakteristik selanjutnya adalah rasa rendah hati dan terbuka. Orang Jawa identik dengan sikap ramah, selalu tersenyum, dan terbuka. Sama halnya dengan karakteristik pertama, bisnis yang dikembangkan tidak luput dari branding kesan ramah yang membuat pelanggan atau pembeli nya merasa nyaman. Perspektif pelanggan adalah rejeki atau berkah mendasari mereka untuk selalu bersikap rendah hati, ramah, dan menerima segala masukan yang diberikan terhadap bisnisnya. Tidak hanya pada pelanggan, orang Jawa juga percaya bahwa dengan adanya keterbukaan terhadap rekan atau lawan bisnisnya bisa menimbulkan sumber ide atau masukan yang berperan serta dalam perkembangan bisnisnya. Sehingga persaingan yang tercipta antara mereka adalah persaingan sehat dan kerjasama yang utuh antara pemilik utama (pemodal) bisnis dan rekan (sanak saudara atau orang yang membantu operasional bisnis). Fenomena ini menggambarkan keberlakuan satu dimensi budaya Hofstede berikutnya yaitu jarak kekuasaan, dimana jaraknya terbilang pendek atau tidak kentara karena hubungan bisnis yang tercipta tidak menimbulkan gap yang mempengaruhi dominasi kekuasaan yang mungkin terjadi.Selain kedua karakteristik di atas, orang Jawa juga dikenal dengan masyarakat yang berpola pikir kreatif dan berpola hidup dinamis. Seperti yang telah diungkapkan Jong (1976), orang Jawa memiliki sikap rela, menerima, dan sabar. Definisi harafiah ketiga sikap tersebut adalah bahwa mereka tidak serta merta berpasrah tanpa melakukan usaha terlebih dahulu. Nilai itulah yang dijunjung oleh orang Jawa dalam mempertahankan bisnisnya ditengah persaingan yang meningkat. Didukung dengan karakteristik mereka yang terbuka, informasi dan perkembangan jaman yang dinamis membuat kreatifitas turut berkembang di masyarakatnya. Sebagai contoh, usaha warung makan prasmanan menawarkan satu keunggulan dibandingkan dengan warung makan biasa yaitu waktu yang dimiliki pembeli untuk memilih makanan apa yang ingin mereka santap menjadi lebih efisien dengan melayani diri sendiri karena mereka tidak harus menunggu si penjual untuk melayani pesanan mereka. Ide prasmanan tersebut muncul dari semakin terbatasnya waktu yang dimiliki pelanggan ketika mereka harus membagi waktu makan mereka dengan bekerja, kuliah atau kegiatan lainnya. Karakteristik lainnya adalah sikap skeptis yang merupakan pencerminan dari sebagian besar orang Jawa. Mereka cenderung tidak akan percaya akan sesuatu hal jika tidak ada bukti nyata keberhasilan. Jika pada awal berkembangnya, suatu usaha yang hanya dirintis oleh satu dua orang saja menjadi berhasil atau menuai keuntungan maka lama kelamaan usaha tersebut mulai menyebar menjadi industri yang dilakukan dalam satu wilayah. Dari situ pula mereka belajar tentang konsekuensi yang akan mereka hadapi dan antisipasi yang bisa dilakukan terkait dengan perkembangan bisnisnya. Penelitian yang dilakukan oleh Purbaningtyas (2014) terhadap industri keripik tempe di Kampung Sanan, Malang, telah menjelaskan teori tersebut. Fenomena ini juga membuktikan satu dimensi budaya Hofstede lainnya yaitu penghindaran ketidakpastian, dimana mereka cenderung ingin mengetahui risikonya terlebih dahulu sebelum memulai suatu bisnis.Karakteristik berikutnya adalah religius. Dengan mayoritas penduduk adalah penganut Islam, orang Jawa menekankan bahwa nilai-nilai agama juga menjadi pengiring kehidupan dalam masyarakatnya. Dalam Zulfikar (2008), salah satu prinsip bisnis orang Jawa yang turun temurun adalah kepercayaan bahwa Tuhan tidak akan tidur. Mereka percaya bahwa segala sesuatu yang mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup selama itu halal maka Tuhan akan melihat dan membalas dengan sesuatu yang sepadan. Ungkapan lain yang semakna adalah rezeki di tangan Tuhan. Hal-hal itulah yang menjadi pendorong masyarakatnya untuk terus berproduksi dan mengembangkan bisnisnya. Karakteristik terakhir yang juga menjadi prinsip penting orang Jawa dalam etos bisnis adalah jujur. Orang Jawa berkeyakinan bahwa seseorang yang berani dan selalu berperilaku jujur akan mendapatkan kebahagiaan. Orang yang mampu berlaku jujur akan memiliki keuntungan karena apa pun alasannya, orang yang mampu bersikap jujur akan mendapatkan ketenangan hati dan dirinya tidak merasa bersalah.

Implikasi Budaya Jawa terhadap Praktik Akuntansi UMKMFenomena mengenai nilai kearifan budaya Jawa serta karakteristik-karakteristik masyarakat Jawa yang telah diungkapkan diatas, telah mampu membuktikan bahwa sebagian besar pelaku UMKM bersuku Jawa menerapkan nilai-nilai dan prinsip budaya mereka dalam praktik bisnisnya. Saratnya budaya kekeluargaan dan tingginya tingkat kepercayaan, membuat kesadaran akan praktik akuntansi sangat kurang di sebagian besar para pelaku usaha. Dalam kenyataannya, pelaku UMKM tidak menyelenggarakan dan menggunakan informasi akuntansi dalam pengelolaan usahanya (Pinasti, 2001), sehingga kualitas laporan keuangan pada UMKM masih rendah dan praktik akuntansi pada UMKM di Indonesia memiliki banyak kelemahan (Suhairi, dkk, 2004). Penelitian sebelumnya menemukan bahwa praktek akuntansi dalam rumah tangga maupun usaha mikro terbagi menjadi dua yaitu, akuntansi dengan tulisan dan akuntansi tanpa tulisan. Namun sebagian besar pelaku UMKM bersuku Jawa cenderung memilih akuntansi tanpa tulisan karena dianggap lebih praktis dan tidak membuang waktu serta biaya (Purbaningtyas, 2014). Beberapa penyebab atas fenomena tidak terselenggarakannya praktik akuntansi secara optimal dan tidak termanfaatkannya informasi akuntansi pada UMKM telah ditelusuri dalam beberapa penelitian. Pertama, tidak adanya penyelenggaraan dan penggunaan informasi akuntansi dalam kebanyakan pengelolaan usaha kecil ditentukan oleh persepsi pelaku UMKM atas informasi akuntansi. Bagi sebagian besar UMKM, tidak pentingnya pemanfaatan informasi akuntansi karena mereka merasa tidak membutuhkan informasi akuntansi (Hariyanto, 1999). Hal ini sejalan dengan karakteristik orang Jawa yang masih menjunjung tinggi kepercayaan antara rekan bisnisnya, sehingga mereka tidak memerlukan informasi yang bersifat akuntabilitas atas harta mereka. Selain itu, nilai religi yang mereka anut juga turut memberikan pengaruh terhadap penggunaan akuntansi yang notabene hanya berfokus pada keuntungan materiil dan tidak memperhatikan keterlibatan Tuhan akan keberhasilan bisnisnya. Kedua, dalam Marbun (1997), salah satu kelemahan usaha kecil di Indonesia ialah pada umumnya mereka tidak menguasai dan tidak mempraktekkan sistem keuangan yang memadai. Hal ini sebenarnya bertentangan dengan karakteristik masyarakat Jawa yang terbuka, dimana seharusnya mereka mau menerima informasi baru terkait perkembangan bisnis mereka (dalam hal ini penerapan akuntansi pada UMKM). Ketiga, pertimbangan biaya dan manfaat bagi UMKM. Salah satu alasan tidak adanya catatan akuntansi yang memadai pada UMKM adalah kebutuhan akan pengadaan catatan akuntansi yang dianggap hanya membuang-buang waktu dan biaya (Marbun, 1997). Disamping itu, orientasi bisnis orang Jawa yang masih berbasis kas juga membatasi penggunaan akuntansi. Sebagian besar dari mereka menjelaskan bahwa perputaran kas pada usahanya sangat cepat sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan pencatatan karena keterbatasan waktu. Fenomena ini juga sejalan dengan nilai budaya Jawa yang cenderung dinamis dan mempertimbangkan masalah waktu. Keempat, prinsip leluhur yang dipegang erat pada suatu kelompok masyarakat secara tidak sadar menghalangi sesuatu yang baru untuk masuk dan berkembang. Zulfikar dalam penelitiannya menemukan bahwa orang Jawa percaya akan keseimbangan hidup yang bukan hanya berasal dari nilai materiil namun juga investasi demi kepentingan sosial atau kepentingan kelompok yang lebih luas sehingga akan menjamin keberlangsungan usaha.KESIMPULANDimensi-dimensi budaya yang terkandung pada karakteristik masyarakat Jawa telah membuktikan keberlakuan dimensi budaya yang mempengaruhi praktik akuntansi yang dikemukakan Hofstede, antara lain kekeluargaan dan gotong royong dengan kolektivisme dan femininitas, keterbukaan dengan jarak kekuasaan, dan sifat skeptis dengan penghindaran ketidakpastian. Selain ketiga nilai budaya tersebut, masyarakat Jawa juga memiliki sifat religius dan jujur yang berpengaruh pada praktik bisnis dan akuntansinya. Saratnya budaya kekeluargaan dan tingginya tingkat kepercayaan yang dimiliki masyarakat Jawa, membuat kesadaran akan praktik akuntansi sangat kurang di sebagian besar para pelaku UMKM. Beberapa penyebab atas fenomena tidak terselenggaranya praktik akuntansi pada UMKM antara lain persepsi mereka terhadap kebermanfaatan informasi akuntansi, pengetahuan yang minim akan sistem akuntansi, pertimbangan biaya dan manfaat, dan prinsip leluhur yang masih dipegang erat. Penyebab-penyebab tersebut muncul karena didukung oleh karakteristik masyarakat Jawa dan nilai-nilai budaya yang mereka anut.Hal ini lah yang menggambarkan bentuk praktik akuntansi yang terpengaruh oleh tema budaya dan karakteristik masyarakat Jawa. Mereka tidak akan berfokus tentang bagaimana mencari laba sebesar-besarnya atau memperhitungkan informasi yang bermanfaat bagi pengambilan keputusan mereka, namun lebih menekankan pada kepercayaan antara sesamanya, kekeluargaan, dan nilai-nilai ketuhanan.

DAFTAR PUSTAKADeegan, C. (2004). Financial Accounting Theory. Australia: McGraw-Hill Australia Pty Limited.Hariyanto, E. 1999. Analisis Kebutuhan Informasi Akuntansi bagi Usaha Perdagangan Eceran (Retail) di Kotatip Purwokerto. Jurnal Ekonomi Bisnis dan Akuntansi. No. 1/Vol. 1/September.Hofstede, G. (1999). Cultures and Organization. McGraw-Hill International (UK) Limited.Jong. 1976. Salah Satu Sikap Hidup Jawa Orang Jawa dalam Endraswara, Suwardi. 2006. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala.Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai PustakaMarbun, B.N. 1997. Manajemen Perusahaan Kecil. PT Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.Pinasti, Margani. 2001. Penggunaan Informasi Akuntansi dalam Pengelolaan Usaha Para Pedagang Kecil di Pasar Tradisional Kabupaten Banyumas. Jurnal Ekonomi, Bisnis dan Akuntansi No. 1/Vol. 3/Mei.Purbaningtyas, Galuh. 2014. Interaksi Aspek Budaya Dalam Akuntansi Pada Industri Kripik Tempe di Kota Malang._____. 2007. Pengaruh Penyelenggaraan dan Penggunaan Informasi Akuntansi Terhadap Persepsi Pengusaha Kecil atas Informasi Akuntansi: Suatu Riset Eksperimen. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 10 (3). Hal. 321-331.Suhairi, Sofri Yahya & Hasnah Haron. 2004. Pengaruh Pengetahuan Akuntansi Dan Kepribadian Wirausaha Terhadap Penggunaan Informasi Akuntansi Dalam Pengambilan Keputusan Investasi. Makalah Simposium Nasional Akuntansi VII. Denpasar.Zulfikar. 2008. Menguak Akuntabilitas Dibalik Tabir Nilai Kearifan Budaya Jawa. Jurnal Akuntansi dan Keuangan No. 2/Vol. 7/September. Hal 144-150.