analisa kegagalan low pressure turbine blade pada …
TRANSCRIPT
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2013) ISSN: 2301-9271
1
Abstrak—Low pressure turbine merupakan salah
satu peralatan vital pada sebuah pesawat. Fungsi dari low
pressure turbine adalah mengekstraksi energi kinetik gas
panas menjadi energi mekanik yang digunakan untuk
menggerakan bagian – bagian yang berada di dalam
mesin seperti kipas dan kompresor. Kegagalan pada low
pressure turbine ini dapat menyebabkan mesin tersebut
mengalami inflight shutdown. Pada kasus ini, low pressure
turbine blade ditemukan mengalami kegagalan pada
mesin Auxiliary Power Unit TCSP700-4B. Oleh karena
itu, perlu dilakukan analisa kegagalan. Analisa kegagalan
ini dilakukan dengan pengambilan data yang terdiri dari
data awal kerusakan, pengamatan makroskopik,
pengujian komposisi kimia, pengamatan mikroskopik,
dan pengujian metalografi. Dengan melaksanakan
penelitian ini, diketahui bahwa kegagalan disebabkan
karena adanya kontak antara blade dengan shroud.
Mekanisme catastrophic failure ini diawali dengan
kegagalan pada oil supply.
Kata Kunci—analisa kegagalan, APU, inflight shutdown, low
pressure turbine blade.
I. PENDAHULUAN
Pada industri transportasi, kegagalan merupakan suatu hal
yang bersifat kritikal dan harus mendapatkan perhatian lebih.
Kegagalan suatu komponen dalam media transportasi bersifat
kritikal karena dapat menyebabkan kerugian material dan
juga mengancam keselamatan para penumpang dari media
transportasi tersebut. Oleh karena itu, proses perawatan
memegang peranan utama dalam menjaga kapabilitas dari
media transportasi agar dapat beroperasi dengan aman.
Gambar 1 Lokasi Low Pressure Turbine Blade yang Mengalami
Kerusakan.
Ketika sedang beroperasi, pesawat DC-10-30 milik salah
satu perusahaan penerbangan Bangladesh mengalami
kegagalan pada Auxiliary Power Unit (APU). APU tersebut
tidak dapat mencapai performanya berdasarkan standar yang
sudah ditentukan. Hal ini mengindikasikan operator pesawat
terbang bahwa ada komponen yang bermasalah dalam APU
tersebut. Pada engine defect investigation, ditemukan
komponen yang mengalami kegagalan adalah low pressure
turbine blade tingkat kedua [1]. Gambar 1 menunjukkan
lokasi kegagalan yang terjadi pada APU. Dari gambar ini juga
dapat dilihat bahwa hanya terdapat satu buah blade yang
mengalami patah dan beberapa blade yang mengalami
deformasi plastik.
Berawal dari kasus kegagalan pada low pressure turbine
blade ini, beserta informasi yang telah terkumpul, maka
dilakukan analisa kegagalan secara sistematis (systematic
failure analysis).
II. METODE PENELITIAN
Analisa kegagalan ini dilakukan pada blade yang
mengalami patah. Pengambilan data yang dilakukan terdiri
dari data awal kerusakan, pengamatan makroskopik,
pengamatan mikroskopik, pengujian komposisi kimia,
pengujian metalografi, dan analisa tegangan. Data awal
kerusakan digunakan untuk mempermudah dalam analisis
dan pembahasan kegagalan yang terjadi. Permukaan patahan
dan permukaan blade dianalisa dengan menggunakan
pengamatan makroskopik dan mikroskopik. Komposisi kimia
dari blade diuji dengan menggunakan metode X-Ray
Fluorescence (X-RF). Sedangkan mikrostruktur dari blade
diobservasi dengan menggunakan mikroskop optis dan SEM.
III. HASIL DAN DISKUSI
A. Data Awal Kerusakan
Berikut adalah data awal berupa kronologi kegagalan yang
terjadi pada mesin APU TSCP700-4B dengan serial number
P90388 di mana low pressure turbine blade tingkat kedua
mengalami kegagalan:[1]
Pada tanggal 22-12-2012, setelah menjalani
perawatan rutin di salah satu perusahaan
maintenance nasional di Indonesia, APU P90388
berhasil dipasang pada pesawat terbang DC 10-30
dengan kode registrasi S2-ACO milik salah satu
maskapai penerbangan Bangladesh dan dapat
dijalankan dengan baik.
Pada tanggal 03-01-2013 terjadi auto shut down
pada APU saat dinyalakan di Chittagong. Kegagalan
yang dapat dideteksi adalah low pressure monopole
hanya dapat mencapai performa 15% dari kecepatan
putar normal. Pengantian pada APU starter motor
dilakukan, namun berhasil. Monopole 1 dan
monopole 2 dibersihkan dan dipasang kembali.
Pada tanggal 06-01-2013 pada inspeksi yang
dilakukan pada APU ditemukan adanya kebocoran
oli pada bagian turbin. Perbaikan dilakukan pada
ANALISA KEGAGALAN LOW PRESSURE
TURBINE BLADE PADA MESIN APU
TSCP700-4B PESAWAT DC-10-30 Felix Tjiang, Prof. Dr. Ir. Wajan Berata, DEA.
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia
e-mail: [email protected]
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2013) ISSN: 2301-9271
2
APU dan APU dapat berjalan dengan normal dan
kebocoran oli sudah teratasi.
Pada tanggal 07-01-2013 terjadi auto shut down
pada APU ketika boarding.
Pada tanggal 12-01-2013 ditemukan bahwa poros
mesin tidak dapat berputar dan sulit untuk
digerakkan. Investigasi lebih lanjut ditemukan
partikel metal pada metal chip detector dan
kerusakan pada low pressure turbine blade tingkat
kedua (gambar 2).
Kronologi di atas merupakan rangkuman dari maintenance
report yang dibuat oleh maskapai pemilik APU ini di mana
posisi APU masih berada di Bangladesh
.
Gambar 2 (A) Blade yang Masih Terpasang pada Rotor (B) & (C)
Blade yang Mengalami Deformasi Dilihat dari Sisi Cembung dan
Cekung.
Gambar 3 Internal Oil Supply Tube yang Turun setelah Sleeve Tube
Dilepas (di mana seharusnya Tube ini Berada di Posisi Tengah) yang
Mengindikasikan Kerusakan pada Pipa bagian Dalam.
Gambar 4 Low Pressure Bearing Cage yang Mengalami Kerusakan
karena Overheat.
Gambar 5 Low Pressure Turbine Shroud Tingkat Kedua Mengalami
Kerusakan yang Mengindikasikan Adanya Kontak antara Shroud
dengan Low Pressure Turbine Blade.
Pada tanggal 04-02-2013 salah satu perusahaan
maintenance pesawat di Indonesia melakukan
investigasi lebih lanjut pada APU ini. Pada
investigasi ini ditemukan kerusakan pada internal
oil supply tube (gambar 3), low pressure bearing
cage (gambar 4), dan low pressure turbine blade
shroud tingkat kedua (gambar 5).
Dari kronologi kegagalan di atas kegagalan APU diawali
oleh kebocoran oli dan APU dihidupkan dalam kondisi
keadaan kekurangan oli dalam sistem pelumasan. Kebocoran
oli disebabkan karena ada kerusakan pada inner dan outer oil
supply tube. Kerusakan pada inner dan outer oil supply tube
karena overtorque pada saat pengencangan pipa dan tidak
dipasangnya gasket flare pada troubleshooting yang
dilakukan oleh pemilik APU pada saat kebocoran oli pertama.
Pipa yang rusak diduga mengalami pengencangan pada ujung
pipa tanpa menahan pipa bagian dalam sehingga torsi yang
terjadi melebihi dari yang ditentukan oleh manual yaitu hanya
100 in-lb. Dengan kurangnya oli yang digunakan untuk
melumasi turbine bearing. Karena kondisi APU tetap hidup,
low pressure turbine bearing mengalami overheat yang
menyebabkan kegagalan pada bearing cage. Kegagalan pada
bearing ini menyebabkan poros turun dan turbine rotor
berputar dengan kondisi unbalance dan bergetar. Kondisi ini
menyebabkan blade dan shroud mengalami kontak sehingga
mengalami kegagalan [1].
B. Pengamatan Makroskopik
Pengamatan ini sendiri dibagi menjadi dua tahap yaitu
pengamatan makroskopik secara fotografi dan secara
stereomikroskopik.
Gambar 6 Penampakan dari Blade yang Mengalami Patah (A) Sisi
Cembung (B) Sisi Cekung.
Gambar 6 menunjukkan bahwa lebih dari 1/2 airfoil bagian
atas hilang mulai dari leading edge sampai pada trailing edge.
Dari hasil pengukuran didapatkan bahwa panjang dari sisa
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2013) ISSN: 2301-9271
3
blade yang patah adalah 17 mm berbeda dengan blade yang
belum mengalami deformasi yang memiliki panjang 70,1
mm. Hal ini menunjukkan bahwa patahan pada spesimen
terjadi pada daerah yang dekat dengan root dari blade.
Pasangan dari blade yang patah ini yang patah tidak dapat
ditemukan. Diduga bahwa bagian patahan tersebut terlempar
keluar dari APU dikarenakan debit gas panas yang tinggi
sehingga menghasilkan momentum yang cukup untuk
mendorong potongan blade keluar dari APU. Pada hasil
pengamatan fotografi di atas tidak terlihat adanya perubahan
warna pada permukaan kedua spesimen blade tersebut.
Gambar 7 Hasil Stereomikroskopik Spesimen 1 dengan Perbesaran
12x (A) Sisi Cembung (B) Permukaan Radial (C) Sisi Cekung.
Pengamatan stereomikroskopik ini dilakukan dengan
menggunakan alat stereobinocular microscope. Gambar 7(B)
menunjukkan penampakan dari permukaan patahan dari
blade. Tidak ditemukan cacat seperti beachmark, chevron,
atau ratchetmark pada permukaan patahan. Dapat dilihat
bahwa pada daerah leading edge dan trailing edge terlihat
lebih terang daripada bagian tengah dari blade. Daerah yang
lebih terang ini dapat mengindikasikan bahwa pola patahan
yang terjadi adalah pola patah getas. Sedangkan daerah yang
lebih gelap menunjukkan pola patahan yang relatif lebih ulet
[2].
Gambar 7(A) merupakan hasil pengamatan
stereomikroskopik pada spesimen dari sisi cembung dan
gambar 7(C) merupakan hasil pengamatan dari sisi cekung.
Hasil pengamatan dari sisi cembung dan cekung dapat
dikatakan hampir serupa. Pada daerah dekat dengan trailing
edge dapat dilihat topografi permukaan dengan profil yang
datar. Profil yang datar ini dapat mengindikasikan terjadi pola
patahan getas yang terjadi pada daerah ini. Pada daerah
tengah dari blade ini menunjukkan profil patahan yang
bergelombang. Profil yang bergelombang ini bersama dengan
warna permukaan yang gelap menunjukkan bahwa patahan
yang terjadi pada daerah ini termasuk ke dalam patah ulet [2].
Gambar 8 Transverse Microcracks yang Terjadi pada Bagian Sisi
dari Blade dengan Perbesaran 30x (a) Sisi Cembung (b) Sisi Cekung.
Gambar 8(a) dan 8(b) menunjukkan penampakan dari
transverse microcrack cluster. Transverse mikrocrack cluster
adalah sekumpulan microcrack yang terjadi pada permukaan
tranversal dari blade. Crack ini memiliki karakteristik
intergranular cracking yang diduga disebabkan oleh adanya
oksidasi. Secara kualitatif, crack yang terjadi pada
permukaan cekung lebih banyak daripada crack yang terjadi
pada permukaan cembung. Panjang orientasi crack secara
transversal lebih besar daripada arah orientasi lainnya [3].
C. Pengujian Komposisi Kimia
Pengujian komposisi kimia dilakukan dengan
menggunakan metode X-Ray Fluorescence (X-RF). Data
hasil pengujian komposisi kimia tersebut dibandingkan
dengan komposisi standar yang terdapat pada AMS 5391 [4].
Hasil pengujian komposisi kimia dengan menggunakan
metode pengujian tersebut ditampilkan pada tabel 1.
Tabel 1 Hasil Uji Komposisi Kimia dengan Metode X-RF yang
Dikomparasikan dengan Material IN-713 yang Ada pada Standar
AMS 5391.
Keterangan
*menunjukkan unsur tidak dapat diukur oleh alat uji
Warna merah menunjukkan nilai yang berada di luar
batas yang sudah ditentukan oleh AMS 5391
Dari hasil pengujian komposisi kimia di atas dapat
diketahui bahwa material dari low pressure blade tingkat 2
ini adalah IN-713. Material ini termasuk polycristalline
precipitation hardenable Ni-Cr based superalloy, yang
memiliki properties yang baik hingga sampai pada temperatur
1800oF (982oC). Paduan ini mempunyai castability yang
baik, daya tahan terhadap oksidasi dan thermal fatigue yang
baik dan salah satu paduan yang terbaik dalam hal stabilitas
mikrostrukturnya. Material ini tidak mengalami proses heat
treatment [5].
Unsur AMS 5391 X-RF (%)
Al 5,50-6,50 3,6
Si 0,5 max 0,06
Ti 0,50-1,00 0,58
Cr 12,00-14,00 12,25
Mn 0,25 max 0,12
Fe 2,5 max 0,05
Co+Ta 1,80-2,80 0,04
Ni Bal 77,57
Nb 2 max 1,53
Mo 3,80-5,20 3,9
W ... 0,04
V ... 0,0038
C 0,08-0,20 -*
Zr 0,05-0,15 0,09
Cu 0,5 max 0,17
Total 100,00
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2013) ISSN: 2301-9271
4
Pada hasil pengukuran yang ditunjukkan pada tabel 1
menunjukkan bahwa beberapa unsur seperti Co, Ta, dan Al
tidak mencapai ukuran standar yang telah ditetapkan.
Keganjilan yang tejadi dari hasil pengujian X-RF tersebut
kemungkinan karena identifikasi tidak menyeluruh pada
permukaan patahan tersebut.
D. Pengamatan Mikroskopik
Pengamatan mikroskopik dilakukan untuk mencari bukti
(evidence) penyebab kegagalan dan mengamati pola patahan
yang terbentuk setelah terjadi patah pada permukaan radial
low pressure turbine blade. Pengamatan fraktografi
dilakukan menggunakan metode Scanning Electron
Microscope (SEM). Berikut adalah hasil dari pengamatan
mikroskopik dengan menggunakan SEM pada permukaan
radial dari spesimen.
Gambar 9 Hasil Pengamatan SEM pada Spesimen 1 dengan
Perbesaran 60x.
Gambar 9 merupakan gambar permukaan patahan
spesimen 1 secara keseluruhan. Kotak yang berwarna merah
menunjukkan area yang akan diamati dengan lebih teliti.
Gambar 10 Hasil Pengamatan SEM pada Area 1 Menunjukkan
Adanya Fitur Chevron dengan Perbesaran 300x.
Pada gambar 10 di atas menunjukkan fitur patahan
chevron. Ujung dari fitur chevron yang ditandai dengan
lingkaran merah ini merupakan inisiasi dari patahan yang
terjadi pada blade. Chevron juga dapat menunjukkan arah
propagarasi yang ditunjukan oleh arah panah pada gambar di
atas. Chevron biasanya mengindikasikan awal retakan ini
yang bersifat getas dan tejadi secara cepat [2]. EDS dilakukan
pada area ini dan hasil dari EDS tersebut menunjukkan nilai
O, Nb, dan Mo yang cukup tinggi. O diduga merupakan unsur
pembentuk produk oksidasi sedangkan Nb dan Mo adalah
unsur pembentuk karbida.
Dari hasil yang didapat ini, diduga terjadi degradasi
material yang terjadi pada daerah ini yaitu terjadi oksidasi.
Oksidasi yang terjadi pada superalloy ini biasanya
menyerang unsur Cr, Al, dan Ti. Produk oksidasi ini biasanya
bersifat getas [5].
Gambar 11 Hasil Pengamatan SEM pada Area 2 (Tengah Blade)
Menunjukkan adanya Fitur Dimple (A) M150x (B) M1500x (C)
M5000x (D) M10000x
Pada gambar 11 di atas tidak ditemukan fitur seperti
beachmark atau striasi yang menunjukkan modus kegagalan
fatigue. Area 2 ini pada pengamatan stereomikroskopi terlihat
berwarna gelap dan bergelombang yang mengindikasikan
patahan yang terjadi adalah patahan ulet. Hal ini diperkuat
dengan hasil pengamatan SEM mikroskopik ini yang
menunjukkan adanya fitur dimple yang dapat dilihat pada
gambar 11(D). Fitur dimple ini memang dapat terjadi pada
spesimen ini mengingat material IN-713 memiliki elongation
yang cukup tinggi yaitu sekitar 5,9% pada temperatur kerja
dari blade ini [4].
Gambar 12 Hasil pengamatan pada area 3 (trailing edge)
menunjukkan adanya fitur cleavage (A) M200x (B) M1300x.
Gambar 13 Hasil Pengamatan SEM pada Area 4 (Leading Edge)
dengan Perbesaran 200x Menunjukkan Adanya Fitur Cleavage.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2013) ISSN: 2301-9271
5
Hasil pengamatan pada daerah trailing edge dan leading
edge ditunjukkan pada gambar 12 dan gambar 13.
Pengamatan mikroskopik pada kedua daerah ini
menunjukkan fitur patahan yang hampir sama yaitu adanya
cleavage. Cleavage merupakan salah satu fitur patahan
berenergi rendah yang berpropagarasi sepanjang bidang
kristalografi.
E. PENGUJIAN METALOGRAFI
Pengujian metalografi dilakukan untuk mengamati struktur
mikro yang terdapat dalam sampel material komponen blade.
Pada penelitian ini, pengujian metalografi dilakukan pada
kondisi setelah dilakukan pengetsaan dengan larutan etsa
Kalling’s no 2. Sebelum dilakukan pangamatan metalografi
sebelumnya material harus dipreparasi terlebih dahulu.
Spesimen dipotong menjadi 2 bagian seperti yang
ditunjukkan pada gambar 14. Bagian yang akan diamati
adalah bagian leading dari blade tersebut. Bagian leading
edge tersebut diharapkan dapat mewakili kondisi dari
masing-masing blade. Setelah dipotong, spesimen yang akan
diamati dimounting untuk mempermudah proses
pengamatan. Pengamatan metalografi ini dibagi menjadi dua
tahap yaitu pengamatan dengan menggunakan mikroskop
optis dan Scanning Microscope Electron (SEM).
Gambar 14 Pemotongan Spesimen Menjadi 2 Bagian.
Gambar 15 Hasil Pengamatan Metalografi pada Spesimen 1 dengan
Menggunakan Mikroskop Optis (A) M50x (B) & (C) M200x.
Hasil pengamatan metalografi dengan mikroskop optis
pada spesimen yang telah dietsa di atas tidak menunjukkan
adanya coating yang melapisi blade ini. Dari gambar di atas
terlihat pola butiran-butiran terlihat jelas pada spesimen ini.
Struktur butiran pada blade yang sudah dietsa ini
menunjukkan bahwa blade terbentuk dari proses
polycrytalline investment casting [5]. Dari gambar 15 pada
spesimen menunjukkan adanya retakan-retakan yang
merupakan transversal microcrack yang telah ditemukan
pada pengamatan stereomicroscopy. Microcrack ini terdapat
pada sisi cembung dan sisi cekung dari potongan blade
tersebut. Dilihat dari bentuknya, crack ini ini merambat
secara intergranular.
Pengamatan dengan SEM ini perlu dilakukan untuk
mendapatkan data yang lebih banyak mengenai kerusakan
yang terjadi pada blade. Pengamatan SEM ini juga
membandingkan mikrostruktur pada daerah yang dekat
dengan patahan dan mikrostruktur bagian root dari blade.
Root blade diasumsikan sebagai cold zone yang dapat
menjadi referensi derajat degradasi material dari blade karena
temperatur tinggi. Root blade dapat diasumsikan menjadi
cold zone karena tidak terekspos gas panas dan perubahan
mikrostruktur tidak banyak [6].
Gambar 16 Area Pengujian EDS pada Salah Satu Crack yang Ada
pada Blade.
Tabel 2 Hasil Pengujian EDS pada Salah Satu Crack Yang Ada
pada Blade
Unsur
Massa %
Area
1
Area
2
Area
3
Area
4
C 27,00 53,62 72,92 70,50
O 1,60 13,85 4,87 13,43
Al 3,52 2,55 0,44 0,51
Si - 0,42 - -
Cl - 0,39 - -
Ti 0,44 0,42 3,33 0,08
Cr 9,47 3,56 2,45 1,98
Fe - 5,29 - -
Ni 55,49 28,39 11,60 -
Nb - - 33,16 0,24
Mo 2,48 1,51 7,67 0,64
Total 100,00
Pengujian EDS juga dilakukan pada salah satu microcrack
yang ditunjukkan pada gambar 16. Sedangkan hasil dari
pengujian EDS ditunjukkan pada tabel 2. Berdasarkan hasil
pengujian pada area 1 ada memiliki kandungan yang hampir
sama dengan matriks gamma dari paduan Ni based
superalloy ini kecuali kandungan unsur C yang tinggi.
Matriks gamma adalah fase non magnetik yang biasanya
mengandung persentase elemen solid solution seperti Co, Fe,
Cr, Mo dan W. Dalam hasil EDS ini gamma matrix hanya
terdeteksi unsur Ni dengan Cr dan Mo. Kandungan Al dan Ti
yang ada dalam EDS kemungkinan membentuk fase gamma
prime. Gamma prime dari Al dan Ti bereaksi dengan Ni dan
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2013) ISSN: 2301-9271
6
berpresipitasi dengan fase austenitik matriks gamma. Unsur
lain seperti Ni dan Cr kemungkinan masuk dalam gamma
prime [5].
Komposisi dari area pengujian 2 dan 4 mengandung
banyak C dan O. Tingginya konsentrasi C pada turbine
airfoil, kemungkinan disebabkan terjadi pada saat mesin
dihidupkan, dimatikan, atau karena pembakaran yang tidak
sempurna yang disebabkan karena nozzle bahan bakar yang
buntu atau cacat. Unsur C ini juga diduga mempercepat
terjadinya korosi panas. Walaupun efek dari karbon tidak
dipelajari lebih lanjut seperti kontaminan yang lainnya,
namun peran dari karbon ini dapat dijelaskan secara
teoritikal. Degradasi unsur paduan pada batas butir yang
dekat dengan permukaan mempercepat terjadinya oksidasi
pada studi terkini [5].
Komposisi pada area pengujian 3 mengandung banyak
unsur C dan Nb. Dari bentuk dan komposisi yang didapat,
fase pada area 3 ini adalaha karbida MC. Karbida Mc
biasanya berbentuk kasar, acak, bulat, atau kotak pada
mikrostrukturnya. MC, sepeti TC dan HfC adalah paduan
yang bersifat stabil. Formasi yang diinginkan dalam sebuah
superalloy untuk karbida jenis ini adalah HfC, TaC, NbC, dan
TiC. Paduan terbaru dengan Nb dan Ta seperti IN-713 ini
tidak dapat dirusak dengan mudah pada proses atau perlakuan
panas pada range temperatur 1200 sampai dengan 1260oC [5].
Gambar 17 Mikrostruktur pada Daerah Dekat Patahan (A) M5000x
(B) M10000x.
Gambar 18 Mikrostruktur pada Daerah Root (A) M5000x (B)
M10000x.
Menurut Floyd perubahan mikrostruktur yang terjadi
ketika material terpapar panas pada temperatur tinggi antara
lain adalah membesarnya ukuran butir gamma prime, gamma
prime memanjang searah dengan beban (rafting),
berkurangnya fraksi gamma prime, pembentukan karbida
sekunder, dan creep cavities pada batas butir [7]. Dari hasil
pengamatan mikrostruktur di daerah dekat patahan pada
gambar 17 tidak ada tanda-tanda terjadi creep void, rafting,
atau melting. Apabila apabila dibandingkan dengan
mikrostruktur yang ada pada root yang ditunjukkan pada
gambar 18, mikrostruktur pada daerah dekat patahan tidak
mengalami perbedaan yang signifikan dalam ukuran gamma
prime dan derajat rafting pada gamma prime. Hal ini
mengindikasikan bahwa material blade masih bagus dan
belum mengalami degradasi material yang berarti.
Apabila dilihat dari sisi sifat material IN-713, pada
temperatur kerja 1350oF (±731oC) blade ini baru mengalami
creep apabila diberi tegangan sebesar 50.000 psi atau sekitar
344,77.106 Pa dengan creep rate sebesar 0,00014 %/hr [4].
Namun dari hasil pengamatan di atas tanda-tanda terjadinya
creep belum ada pada spesimen blade tersebut.
IV. KESIMPULAN
Setelah dilakukan rangkaian percobaan dan analisa data,
maka dapat diperoleh beberapa kesimpulan dari penelitian
tugas akhir yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Yang menjadi penyebab kegagalan adalah kontak antara
blade dengan shroud sehingga menyebabkan
instantaneous catastrophic failure. Modus kegagalan
ini didukung dari pengamatan pada low pressure turbine
shroud yang menunjukkan adanya rubbing yang
membuktikan adanya kontak dengan low pressure
turbine blade. Awalan retakan diduga karena adanya
konsentrasi tegangan yang disebabkan oleh karbida dan
oksidasi yang terjadi pada permukaan blade. Oksida dan
karbida yang berada pada batas butir ini menyebabkan
intergranular crack pada permukaan dan ketika diberi
tegangan yang tinggi blade tidak dapat menahan beban
tinggi yang diakibatkan konsentrasi tegangan tersebut
sehingga terjadi kegagalan pada blade.
2. Mekanisme kegagalan ini diawali dengan adanya
kebocoran oli karena kegagalan pada oil tube supply.
Kegagalan pada oil tube supply ini terjadi karena
overtorque. Kebocoran oli ini menyebabkan low
pressure turbine bearing tidak mendapatkan pelumasan
yang cukup sehingga menyebabkan overheat dan
kerusakan pada bearing tersebut. Kerusakan bearing ini
menyebabkan poros turun dan turbine rotor berputar
dengan kondisi unbalance dan bergetar. Kondisi ini
menyebabkan blade dan shroud mengalami kontak
sehingga mengalami kegagalan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Iskandar, “Engine defect and investigation report form No. GMF/Q-
206”. Cengkareng : GMF Aeroasia. (2013)
[2] ASM Handbook Committee, “ASM metals handbook vol. 11: failure
analysis and prevention”. Ohio, USA: ASM International. (1986)
[3] Zhi-wei Yu, Xiao-lei Xu, Shu-hua Liu, Yu Li, “Failure investigation
on failed blades used in a locomotive turbocharger”. Dalian, China:
Dalian Maritime University. (2007)
[4] Anonim, “Engineering properties of alloy 713”. USA: The
International Nickel Company. (1999)
[5] J. Donachie, Matthew; J. Donachie, Stephen, “A Technical Guide of
Superalloys”. Ohio, USA: ASM International. (2002)
[6] Carter Tim J., “Common failure in gas turbine blades. Johannesburg,
South Africa. (2004)
[7] Floyd PH, Wallace W, dan Immarigeon, “Rejuvenation of properties in
turbine engine hot section components by HIPing. USA: The Metals
Society. (1981)