analisa kasus kejahatan terorisme berdasarkan teori kriminologi.docx
TRANSCRIPT
Analisa Kasus Kejahatan Terorisme Berdasarkan Teori Dalam
Kriminologi
Tugas ini dibuat dalam rangka
memenuhi tugas Mata Kuliah Kriminologi Kelas E
Disusun Oleh :
Nama : Imam HidayatNIM : 110101111500012
Universitas Diponegoro
Fakultas Hukum
2013
Pendahuluan
Tugas analisa ini akan membahas mengenai kejahatan terorisme yang dilakukan secara
berencana dan terorganisir oleh Kurnia Widodo bersama-sama dengan Abdul Ghofur, Pahrul Ruji
Tanjung, Helmy Priwardan, dan Muhammad Iqbal. Keempatnya didakwa melakukan perencanaan
pemboman terhadap Mako Brimod, Mabes Polri dan Kedutaan Besar Denmark. Kasus ini telah diputus
oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan putusan No: 276 / PID.SUS / 2011 / PN.JKT.BAR yang
menyatakan terdakwa Kurnia Widodo, ST alias Bobby tersebut terbukti secara sah dan menyakinkan
melakukan tindak pidana terorisme.
Terdakwa Kurnia Widodo alias Bobby terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak
pidana terorisme secara melawan hukum dengan cara memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima,
mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai
persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan,
mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau
sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan
tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Dakwaan Pertama Subsidair
pasal 15 jo. pasal 9 Undang-Undang RI No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi
Undang-Undang;
Pengadilan Negeri Jakarta Barat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Kurnia Widodo alias
Bobby, dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam
tahanan.
Analisa Kasus menurut Teori Kriminologi
1. Ditinjau Dari Teori Asosiasi Diferensial
Edwin H. Sutherland menyajikan “Teori Asosiasi Diferensial” yang menekankan bahwa
semua tingkah laku itu dipelajari, tidak ada yang diturunkan berdasarkan pewarisan orang tua.
Tegasnya, pola perilaku jahat tidaklah diwariskan oleh orang tua tetapi dipelajari melalui suatu
pergaulan yang akrab.
Teori asosiasi diferensial yang dikemukakan Sutherland merujuk pada proses dimana
seseorang terlibat dalam perilaku kriminal. Dalam hal ini tidak berarti bahwa hanya sekelompok
yang melakukan pergaulan dengan penjahat saja yang akan menyebabkan terjadinya perilaku
kriminal, tetapi yang terpenting adalah isi atau muatan komunikasi dengan orang lain yang
menyebabkan perilaku kriminal.
Teori asosiasi diferensial yang dikemukakan Sutherland merujuk pada proses dimana
seseorang terlibat dalam perilaku kriminal. Untuk itu, Sutherland kemudian menjelaskan proses
terjadinya kejahatan melalui 9 (sembilan) premis linear, yaitu :
1. Tingkah laku jahat itu dipelajari. Sutherland menyatakan bahwa tingkah laku itu tidaklah
diwarisi sehingga tidak mungkin ada orang jahat secara mekanis. Dalam premis ini terdakwa
menjadi teroris oleh karena belajar agama Islam yang salah diartikan oleh Ustad Aman
Abdurrahman, yang mengatakan dalam ceramahnya di Masjid As-Sunnah Cileunyi Bandung
bahwa tujuan dan visi Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) adalah untuk menegakkan syariat Islam
melalui “Dakwah dan Jihad Fisabililah” yang dalam pemahaman JAT adalah perang sampai
dengan tegaknya “Syariat Islam” baik melalui perang pemikiran maupun angkat senjata.
Ustad Aman Abdurrahman juga mengajarkan bahwa setiap orang yang tidak mengamalkan
syariat Islam maka halal untuk diperangi dengan cara ditembak dan dibom sampai dengan
tegaknya Syariat Islam, sedangkan orang-orang yang dianggap halal untuk diperangi yaitu
semua aparat pemerintah pada tingkat Provinsi/Kabupaten, Polisi, Tentara (TNI) dan unsur-
unsur penegak hukum seperti Jaksa dan Hakim karena dianggap menolak Syariat Islam. Jadi
di dalam premis ini, sudah jelas bahwa terdakwa menjadi teroris oleh karena mempelajari
ceramah-ceramah dari Ustad Aman Abdurrahman;
2. Tingkah laku jahat itu dipelajari dari orang-orang kedalam suatu proses interaksi. Dalam
premis ini, terdakwa telah berkali-kali bertemu Ustad Aman Abdurrahman dalam pengajian
bulanan yang diadakan di Masjid As-Sunnah Cileunyi Bandung;
3. Bagian yang terpenting dari tingkah laku jahat yang dipelajari dalam kelompok-kelompok
pergaulan yang akrab. Dalam premis ini terdakwa berteman dengan sesama anggota
kelompok pengajian yang dibawakan oleh Ustad Aman Abdurrahman, yaitu Pahrul Ruji, Iqbal,
Abdul Ghofur dan Helmy, yang dimana semua teman terdakwa mempunyai guru pengajian
yang sama yaitu Ustad Aman Abdurrahman;
4. Apabila tingkah laku itu dipelajari maka yang dipelajari dalam premis ini adalah, terdakwa
berencana dan berusaha meracik bom rakitan yang dibantu oleh teman-temanya satu
kelompok pengajian tersebut, terdakwa mampu meracik bom, karena terdakwa merupakan
lulusan Fakultas Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung (ITB) yang bergelar ST (Sarjana
Teknik/Insinyur);
5. Bimbingan yang bersifat khusus mengenai motif dan serangan itu dipelajari dari penafsiran
undang-undang. Dalam premis ini terdakwa bertentangan dengan pasal 15 jo. pasal 9
Undang-Undang RI No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang;
6. Seseorang yang menjadi delinkuen disebabkan karena ekses dari pengertian yang lebih
banyak dinilai sebagai pelanggaran undang-undang daripada penataan undang-undang yang
berlaku. Dalam premis ini, terdakwa selaku Seorang terpelajar (Sarjana Teknik/Insinyur)
menyadari bahwa perbuatannya meracik bom untuk meledakkan kepada orang lain adalah
keliru, akan tetapi terdakwa merasa cara dan tujuan dari perbuatan itu adalah benar
menurut konteks Syariat Islam, maka terdakwapun melakukannya demi tegaknya Syariat
Islam. Pola pikir terdakwa telah berubah sejak mengikuti pengajian yang dibawakan Ustad
Aman Abdurrahman;
7. Lingkungan pergaulan yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan tersebut dapat bervariasi
atau berubah-ubah dan perubahan tergantung pada frekuensi, jangka waktu masa lampau
dan intensitas. Dalam premis ini, terdakwa bergaul dengan anggota pengajian yang dipimpin
oleh Ustad Aman Abdurrahman karena didasarkan persaudaraan akan Islam, dan terdakwa
juga sering mengikuti pengajian dan mendengarkan ceramah-ceramah Ustad yang sangat
ingin menegakkan Syariat Islam di Indonesia;
8. Proses mempelajari tingkh laku jahat melalui pergaulan dengan pola-pola kriminal dan anti
kriminal meliputi semua mekanisme sebagaimana mempelajari yang lain. Dalam premis ini,
setelah terdakwa menginap di rumah Helmy, mereka mempunyai rencana untuk membuat
bom dan menentukan target sasaran mereka di Kantor Mabes Polri dan Kantor Kedutaan
Besar Denmark di Jakarta;
9. Apabila tingkah laku kriminal adalah ekspresi dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang
umum, akan tetapi tingkah laku non kriminal pun juga merupakan pencerminan dari
kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama. Hal ini disebabkan kelakuan yang tidak jahatpun
merupakan ekspresi dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama. Dalam premis ini,
mereka melakukan perbuatan kejahatan tersebut dikarenakan mempunyai tujuan dan cara
yang sama, yang ingin melakukan perubahan seperti yang mereka maksud.
Berdasarkan kasus terdakwa, dengan memperhatikan Putusan Nomor :
276/PID.SUS/2011/PN.JKT.BAR, jika penulis kaitkan dengan teori kriminologi yang mendasari
seseorang melakukan suatu kejahatan tertentu, kasus ini termasuk kedalam teori asosiasi
diferensial.
2. Teori Labelling
Kaitan antara Teori Labelling dan sebutan terorisme sangat erat dengan wacana
terorisme yang digulirkan oleh media di masyarakat. Pemberian nama teroris menggelinding
bak bola salju dan memberikan dampak signifikan di masyarakat. Fenomena terorisme di Tanah
Air tidak terlepas dari stigma negatif yang diciptakan oleh dunia Barat, terutama Amerika
Serikat. Pasca tragedi World Trade Center, Amerika Serikat menerapkan kebijakan yang keras
terhadap negara-negara muslim. Stigma yang buruk tentang Islam sebagai teroris oleh Presiden
AS ketika itu, Goerge W Bush membuat umat Islam di negara itu termarginalkan,
didiskriminasikan, bahkan diperlakukan tidak manusiawi. Sampai hari ini mereka masih
menerapkan kecurigaan yang buruk tentang muslim. Muslim pantas dicurigai sebagai teroris,
orang yang paling berbahaya.
Di Indonesia bias ini terus terjadi dalam pemberitaan tentang terorisme.Stigma teroris
sudah melekat pada atribut-atribut tertentu yang berhubungan dengan sebuah agama.Masjid
begitu gampang dikutip sebagai tempat bagi merekrut para pelaku bom bunuh diri. Jadilah
masjid sebagai "sarang teroris".
Kejahatan Pemboman yang akan dilakukan oleh Muhammad Iqbal alias Bobby hanya
sedikit dari Peristiwa pemboman yang kerap terjadi di Indonesia. Aksi pemboman yang
menimbulkan korban jiwa sedikit hingga yang menewaskan ratusan jiwa memiliki sejarah
panjang. Keadaannya hampir identik antara satu pemboman dengan pemboman lainnya.
Sebagai contoh ; aksi pemboman di Pakistan, Palestina, Irak dan Filipina mirip dengan Aksi Bom
Bali 1 dan 2, bom Kedubes Australia, Kedubes Filipina, bom JW Marriot dan Ritz Carlton yang
menunjukkan rentetan panjang aksi pemboman di Indonesia. Sosok pelaku pemboman seperti
Amrozi, Ali Ghufron, Imam Samudera, Dr Azahari, Dany, Nana, Saefudin Zuhri dan Noordin M
Top menjadi aktor yang tampil menghiasai pemberitaan media massa.
Setiap kali peristiwa pemboman di Indonesia terjadi maka media secara langsung
memberikan nama sebagai aksi terorisme. Maka terminologi terorisme dalam pemberitaan
media di Indonesia seolah telah menjadi kebijakan wajib yang dianut oleh semua media. Tidak
satupun yang berani berbeda dengan menggunakan pilihan kata yang lain. Pemilihan kata lain
misalnya aksi anarkhi, perbuatan melawan hukum, kekerasan dan kata lain yang semisal, jarang
digunakan oleh media. Mereka menganggap bahwa kata terorisme adalah suatu keharusan
untuk menyebut aksi-aksi pemboman yang terjadi.
Ada dua hal yang harus terjadi bersamaan untuk memberikan label teroris yaitu
peristiwa dan pelakunya. Apabila peristiwa pemboman atau kekerasan lainnya dilakukan oleh
kelompok yang dimaksud media, maka kata terorisme bisa digunakan. Sebaliknya jika tidak,
maka pilihan kata yang digunakan bukan terorisme. Nampak jelas bahwa kebijakan media
dalam pemberitaan terorisme bukanlah sesuatu yang netral atau apa adanya, melainkan
sebuah kebijakan yang syarat muatan ideologis. Label teroris diberikan kepada kelompok
tertentu (dalam hal ini Islam) yang memiliki ciri-ciri khusus.
Sepintas lalu penggunaan kata terorisme nampak wajar dan cocok dengan realitas yang
terjadi. Namun jika kita cermati lebih dalam akan nampak dengan jelas bagaimana penggunaan
kata ini ternyata telah diidentikkan dengan aksi dan kelompok tertentu.Stigma teroris sudah
melekat pada atribut-atribut tertentu yang berhubungan dengan sebuah agama.Masjid begitu
gampang dikutip sebagai tempat bagi merekrut para pelaku bom bunuh diri. Jadilah masjid
sebagai "sarang teroris".
Dalam kasus terorisme yang dilakukan oleh Muhammad Iqbal alias Bobby, pemberian
label teroris dilekatkan kepadanya karena dua hal yaitu : karena dia melakukan tindakan
penyimpangan yaitu tindakan menyimpang dari undang-undang yaitu Undang-Undang
Terorisme. Oleh karena tindakan nya itu dia mendapat label Teroris yaitu sebagai seseorang
yang melakukan tindakan terorisme. Hal yang kedua adalah adanya pemberian label teroris
yang dilakukan oleh aparat,media dan masyarakat yang terlanjur digunakan untuk memberi
sebutan kepada seseorang atau kelompok orang yang melakukan tindakan pengeboman.
Dimana seseorang atau kelompok orang ini memiliki ciri-ciri tertentu yang mengarah pada
komunitas agama tertentu yaitu Islam. Kalau kita perhatikan para pelaku pemboman akan kita
lihat bahwa para pelaku tersebut memiliki penampilan yang dapat dikatakan agamis serta
melaksanakan ajaran agama Islam secara penuh. Sebagai contoh, misalnya mereka
menggunakan janggut, ikat sorban, baju jubah dan lain-lain sehingga apabila para pelaku
pemboman tersebut mempunyai cirri-ciri penampilan tersebut baik media maupun
masyarakat langsung melabelinya dengan sebutan teroris. Salah satu dampak sosial yang
negatif dari tindakan labelisasi adalah apabila ada seseorang atau kelompok orang yang
memiliki ciri atau penampilan seperti di atas maka stigma yang diberikan masyarakat atau
media adalah mereka itu adalah teroris atau calon teroris. Hal ini tentu saja sangat merugikan
karena belum tentu mereka yang berpenampilan seperti itu adalah teroris bahkan sangat
mungkin kalau mereka itu justru orang yang alim yang saat taat pada agamanya, memahami
agama Islam secara benar dan utuh sehingga sangat menentang tindakan terorisme tersebut
karena bertentangan dengan ajaran Islam yang sesungguhnya.
Pada akhirnya dampak tersebut akan semakin meluas, Kecurigaan masyarakat, media
masa dan penegak hukum kepada orang yang memiliki ciri-ciri tertentu (stereotyping), dalam
bentuk labeling (pemberian cap) kepada kelompok atau seseorang dalam kasus terorisme
dapat memojokkan kaum Muslim. Padahal ciri-ciri seperti itu, tidak bisa dijadikan dasar
penangkapan sebab label seperti ini banyak dimiliki orang. Oleh karena itu, kita semua
khususnya aparat harus menjunjung asas praduga tak bersalah dan bukan berpedoman pada
ciri-ciri fisik seseorang saja.
3. Teori Anomie
Teorie anomi diajukan oleh Robert K. Merton, selain Merton, teori anomie juga diajukan
oleh Emile Durkheim namun dalam pembahasan ini hanya akan dibahas teori anomie milik
Merton. Menurut Merton, ada dua komponen didalam masyarakat yang menentukan
terjadinya ketertiban, yaitu: tujuan bersama dalam masyarakat (the same goals in society) dan
sarana atau alat yang tersedia untuk mencapai tujuan tersebut (acceptable means).
Merton menekankan pengaruh struktur social sebagai factor korelatif terjadinya
kejahatan. Pengaruh ini terlihat dari adanya disparitas antara tujuan yang hendak dicapai
dengan sarana yang dugunakan dalam mencapai tujuan tersebut. 125 Marton mengemukakan
5 (lima) bentuk kemungkinan pengadaptasian yang dapat terjadi didalam setiap anggota
kelompok masyarakat berkaitan dengan tujuan yang sudah membudaya (goals) dan tata cara
yang sudah melembaga (means), yaitu: Conformity,Innovation, Ritualism, Retreatism, dan
Rebellion.
Dalam kasus terrorisme ini,salah satu langkah yang diambil oleh anggota masyarakat
menurut teori anonim adalah rebellion. Pemberontakan (Rebeliion) merupakan sikap
menolak sarana dan tujuan-tujuan yang disahkan oleh budaya masyarakat dan menggantikan
dengan cara yang baru. Hal ini dapat diketahui dengan jelas dari fakta hukum bahwa terdakwa
adalah anggota Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) Subang. Tujuan dan visi Jamaah Ansharut
Tauhid (JAT) adalah untuk menegakkan syariat Islam melalui Dakwah dan Jihad Fisabilillah yang
dalam pemahaman JAT adalah perang sampai dengan tegaknya syariat Islam melalui perang
pemikiran dan angkat senjata. Dalam pemahaman para anggota JAT tersebut diatas,
penggunaan bom merupakan bagian dan pengertian perang dengan mengangkat senjata
sehingga dalam kelompok tersebut memiliki senjata api, amunisi dan bahan peledak serta
mempelajari cara membuat bom, Ustad Aman Abdurahmman juga mengajarkan bahwa setiap
orang yang tidak mengamalkan syariat Islam maka halal untuk diperangi dengan cara ditembak
dan dibom sampai dengan tegaknya syariat Islam, sedangkan orang-orang yang dianggap halal
untuk diperangi yaitu semua aparat pemerintah yang tidak menjalankan syariat Islam mulai
dari Presiden, Menteri-Menteri, pemimpin pemerintah pada tingkat Propinsi/Kabupaten, Polisi,
Tentara (TNI) dan unsur-unsur penehak hukum seperti Jaksa dan Hakim karena dianggap
menolak tegakknya syariat Islam.