an teori linguistik saussure dalam kajian epistimologi

22
PERKEMBANGAN TEORI LINGUISTIK SAUSSURE DALAM KAJIAN EPISTIMOLOGI Makalah dikumpulkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu Dosen pengampu : Drs. Mulyono, M. Hum. disusun oleh : Ameen O Saleh Almanafi Eko Heriyanto Athiyah Salwa Arum Suryaningsih B Diana Hardiyanti Dwiyani Septiana 1

Upload: diana-hardiyanti

Post on 26-Jun-2015

339 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: an Teori Linguistik Saussure Dalam Kajian Epistimologi

PERKEMBANGAN TEORI LINGUISTIK SAUSSURE

DALAM KAJIAN EPISTIMOLOGI

Makalah

dikumpulkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu Dosen pengampu : Drs. Mulyono, M. Hum.

disusun oleh :

Ameen O Saleh Almanafi

Eko Heriyanto

Athiyah Salwa

Arum Suryaningsih B

Diana Hardiyanti

Dwiyani Septiana

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER LINGUISTIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2010

1

Page 2: an Teori Linguistik Saussure Dalam Kajian Epistimologi

I. Epistimologi dalam Ilmu Filsafat

A. Definisi Epistimologi

Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme yang berarti

ilmu pengetahuan (Plato mendifinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang

benar-benar sempurna) dan logos (teori yang membicarakan tentang ilmu).

Sehingga diperoleh definisi secara etimologi bahwa epistemolgi merupakan

ilmu yang mempelajari tentang pengetahuan itu sendiri. Sedangkan

menurut istilah Epistemologi merupakan cabang filsafat yang berkaitan

dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan.

Definisi lain yakni, epistemologi (filsafat ilmu) Epistimologi

adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang

filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber

pengetahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh

pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan (ilmiah).

Epistomologi atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu

pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung

jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap

manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca

indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode

deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.

B. Bagaimana manusia memperoleh Ilmu Pengetahuan

Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan

dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan,

bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan

kebenaran dan keyakinan. Selain itu, epistemologi juga sering

memperdebatkan tentang bagaimana pengetahuan itu diperoleh, dengan

sarana apa manusia mendapatkan pengetahuan, dan validitas dari ilmu

pengetahuan itu sendiri.

Para filusuf yang memperdebatkan tentang asal muasal ilmu

pengetauan antara lain adalah Plato dan Rene Descartes yang berasal dari

aliran Nativisme. Mereka menyatakan bahwa ilmu pengetahuan diperoleh

2

Page 3: an Teori Linguistik Saussure Dalam Kajian Epistimologi

sejak manusia lahir dibumi atau merupakan bawaan sejak lahir. Francis

Bacon, John Locke dan Tomas Hobbes menyatakan bahwa pengalaman

merupakan sumber atau asal muasal ilmu pengetahuan. Mereka kemudian

digolongkan dalam para filusuf aliran Empiris. Namun, Ki Hajar Dewantara

menggabungkan keduanya, yakni pengetahuan berasal dari bakat,

pengalaman atau pendidikan dan lingkungan. Kolaborasi dari ketiganya

akan membentuk pengetahuan yang sebenarnya. Beliau kemudian

termasuk dalam filusuf Konvergensi.

Perbedaan landasan ontologik menyebabkan perbedaan dalam

menentukan metode yang dipilih dalam upaya memperoleh pengetahuan

yang benar. Akal, akal budi, pengalaman, atau kombinasi akal dan

pengalaman, intuisi, merupakan sarana mencari pengetahuan yang dimaksud

dalam epistemologik, sehingga dikenal model-model epistemologik seperti

rasionalisme, empirisme, rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi dan

sebagainya.

Epistemologi juga membahas bagaimana menilai kelebihan dan

kelemahan suatu model epistemologik be serta tolok ukurnya bagi

pengetahuan (ilmiah), seperti teori koherensi, korespondesi pragmatis, dan

teori intersubjektif. Pengetahuan merupakan daerah persinggungan antara

benar dan dipercaya. Pengetahuan bisa diperoleh dari akal sehat yaitu

melalui pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan

kebetulan sehingga cenderung bersifat kebiasaan dan pengulangan,

cenderung bersifat kabur dan samar dan karenanya merupakan pengetahuan

yang tidak teruji. Ilmu pengetahuan (sains) diperoleh berdasarkan analisis

dengan langkah-langkah yang sistematis (metode ilmiah) menggunakan nalar

yang logis. Sarana berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika dan statistika.

Metode ilmiah menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif sehingga

menjadi jembatan penghu-bung antara penjelasan teoritis dengan pembuktian

yang dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu menyusun

pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris

ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak.

Dengan metode ilmiah berbagai penjelasan teoritis (atau juga

naluri) dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak.

3

Page 4: an Teori Linguistik Saussure Dalam Kajian Epistimologi

Kebenaran pengetahuan dilihat dari kesesuaian artinya dengan fakta yang

ada, dengan putusan-putusan lain yang telah diakui kebenarannya dan

tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi kehidupan manusia.

Jika seseorang ingin membuktikan kebenaran suatu pengetahuan maka cara,

sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun pengetahuan tersebut

harus benar. Apa yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja tidak

benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah. Demikian pula apa

yang kita yakini karena kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita

mungkin saja mengalami penyimpangan. Itulah sebabnya ilmu pengetahan

selalu berubah-ubah dan berkembang.

II. Biografi Singkat Saussure

Ferdinand de Saussure lahir di Genewa pada tanggal 26 November

1857 dari keluarga Protestan Perancis (Huguenot) yang ber-emigrasi dari daerah

Lorraine ketika perang agama pada akhir  abad ke-16. Sejak kecil, Saussure

memang sudah tertarik dalam bidang bahasa. Pada tahun 1870, ia masuk Institut

Martine, di Paris. Dua tahun kemudian (1872), ia menulis “Essai sur les

langues” yang ia persembahkan untuk ahli linguistik pujaan hatinya (yang

menolong dia untuk masuk ke Institut Martine, Paris), yakni Pictet. Pada tahun

1874 ia belajar fisika dan kimia di universitas Genewa (sesuai tradisi

keluarganya), namun 18 bulan kemudian, ia mulai belajar bahasa sansekerta di

Berlin. Rupanya, Saussure semakin tertarik pada studi bahasa, maka pada 1876-

1878, ia belajar bahasa di Leipzig; dan pada tahun 1878 -1879 di Berlin. Di

perguruan tinggi ini, ia belajar dari tokoh besar Linguistik, yakni Brugmann dan

Hübschmann.

 Ketika masih mahasiswa, ia telah membaca karya ahli Linguistik

Amerika, William Dwight Whitney yang membahas tentang The Life and

Growth of Language: and outline of Linguistic Science (1875); buku ini sangat

mempengaruhi teori linguistiknya di kemudian hari. Pada tahun 1878, Saussure

menulis buku tentang Mémoire sur le systéme Linguisti des voyelles dans les

langues indo-européennes (Catatan Tentang Sistem Vokal Purba Dalam Bahasa-

bahasa Indo-Eropa). Pada tahun 1880 ia mendapat gelar Linguis (dengan prestasi

gemilang: summa cum laude) dari universitas Leipzig dengan

4

Page 5: an Teori Linguistik Saussure Dalam Kajian Epistimologi

disertasi: Del’emploi du génetif absolu en sanscrit ( Kasus Genetivus Dalam

Bahasa Sansekerta) dan pada tahun yang sama, ia berangkat ke Paris. 

Tahun 1881 menjadi dosen di salah satu universitas di Paris. Setelah

lebih dari sepuluh tahun mengajar di Paris, ia dianugrahi gelar Linguist dalam

bidang bahasa Sansekerta dan Indo-Eropa dari Universitas Genewa. Kemudian

ia pindah ke Jenewa dan meneruskan belajar sanskerta dan Lingusitik

komparatif. Berkali-kali ia menolak untuk mengembangkan pandangan-

pandangan teorisnya, namun pada akhirnya ia terpaksa harus mengikuti kuliah

linguistik umum karena guru besar yang bersangkutan berhenti sebelum

waktunya.

Sekalipun sumbangannya bagi Linguistik historis sungguh besar,

namun ia lebih dikenal karena sumbangannya dalam Linguistic umum. Tiga seri

kuliahnya tentang Linguistik umum dikumpulkan oleh beberapa mahasiswanya

dan diterbitkan pada tahun 1916. Kumpulan kuliahnya yang berjudul Cours de

Linguistique Generale, itulah yang menjadikannya sebagai peletak dasar

Linguistik modern. Berkat ketekunanya mendalami struktur dan filsafat bahasa,

Saussure didaulat sebagai bapak strukturalis. Menurut beliau, prinsip dasar

strukturalisme adalah bahwa alam semesta terjadi dari relasi (forma) dan bukan

benda (substansial).

III. Perkembangan Teori Linguistik Saussure dalam Kajian Epistimologi

A. Sinkronik Versus Diakronik : Perkembangan Studi Penelitian Bahasa

Selain perbedaan langue dan parole, signifiant dan signifie,

sintagmatik dan paradigmatik, ada satu bahasan lain yang menjadi

pandangan De Saussure yaitu pandangan tentang telaah bahasa secara

sinkronik dan diakronik. Yang dimaksud dengan telaah bahasa secara

sinkronik adalah mempelajari suatu bahasa pada suatu kurun waktu tertentu

saja. Misalnya, mempelajari bahasa Indonesia yang digunakn pada zaman

Jepang atau pada tahun lima puluhan. Sedangkan telaah bahasa secara

diakronik adalah telaah bahasa sepanjang masa, atau sepanjang zaman

bahasa itu digunakan oleh para penuturnya. Jadi, kalau mempelajari bahasa

Indonesia secara diakronik, maka harus dimulai sejak zaman kerajaan

Sriwijaya sampai zaman sekarang ini.

5

Page 6: an Teori Linguistik Saussure Dalam Kajian Epistimologi

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa telaah bahasa secara

diakronik adalah jauh lebih sukar dari pada telaah bahasa secara sinkronik.

Sebelum terbit buku course de linguistique generale, telaah bahasa selalu

dilakukan orang dengan diakronik tidak pernah secara sinkronik. Para linguis

pada waktu itu belum sadar bahwa bahasa dapat diteliti secara sinkronik.

Inilah salah satu pandangan Saussure yang sangat penting sehingga sekarang

ini kita dapat memberikan pemerian terhadap suatu bahasa tertentu tanpa

melihat sejarah bahasa itu.

Mengapa bahasa itu dapat diteliti secara sinkronik ?

Hal ini dapat dilakukan karena bahasa merupakan kenyataan

sosial yang dapat dipelajari tanpa menghubungkannya dengan sejarah.

Bahasa juga merupakan system tanda, dan dapat diperiksa bentuk dan

maknanya pada satu waktu. Satu waktu tersebut bersifat relatif, artinya

adanya jangka waktu yang stabil bagi bahasa ynag bersangkutan. Jangka

waktu tersebut dapat berlangsung lama bagi bahasa yang sudah mapan

seperti bahasa Inggris atau Jerman, tapi bagi bahasa Indonesia yang sedang

mengalami perkembangan yang tinggi, jangka waktu kestabilan itu mungkin

hanya berkisar 5 sampai 10 tahun. Singkatnya, jangka waktu kestabilan itu

tidak memberikan kesempatan bagi suatu bahasa untuk mengadakan

perubahan.

Dapatkah studi diakronik dapat dipelajari tanpa didahului oleh studi

sinkronik ?

Jika bahasa dan ujaran, paradigmatik dan sintagmatik, signifiant

dan signifie tidak dapat dipisah-pisahkan, tidaklah demikian dengan

sinkronik dan diakronik. Sebenarnya menurut pendapat Saussure, dia

membalikkan kedua hal itu, maksudnya, bahwa disangsikan sekali bila

diakronik dapat dipelajari tanpa didahului oleh studi sinkronik. Logisnya,

bila kita ingin mengenali sosok professor bahasa A, pertama yang kita

lakukan adalah melihat orangnya (paling tidak gambar professor tersebut)

serta mempelajari aktivitasnya saat itu (di kampus). Kemudian baru

diperluas dengan kehidupan pribadinya; lahir dimana, tahun berapa, dan lain-

lain. Selain itu, bahasa sebenarnya berubah terus menerus, walaupun si

6

Page 7: an Teori Linguistik Saussure Dalam Kajian Epistimologi

pemakai mungkin tidak menyadarinya dan menganggap perubahan-

perubahan itu seperti yang dialaminya sebagai pemilihab gaya bahasa di

antara pemakaian-pemakaian uyang terdapat secara sinkronik. Ada

pandangan lain; pandangan pemakai bahasa, yang menyatakan bahwa bahasa

itu tidak tampak berubah.

B. Langue dan Parole

De Saussure telah meneliti dan membedakan antara Langue,

Parole dan Langage dalam kajiannya tentang objek linguistik. Kendatipun

dalam bahasa Indonesia ketiganya dikenal dengan istilah ‘bahasa’ namun

sebenarnya mempunyai pengertian yang lebih spesifik. Parole adalah bahasa

konkret yang keluar dari mulut pembicara, bersifat konkret dan dapat

didengar. Langue adalah bahasa tertentu sebagai sistem tertentu,dan bersifat

abstrak; hanya ada di otak manusia. Contoh: bahasa Indonesia, bahasa

Inggris. Langage adalah bahasa pada umumnya dan berfungsi sebagai alat

interaksi manusia. Langage juga bersifat abstrak

De Saussure beranggapan bahwa objek penelitian dari kajian

linguistik adalah langue bukan parole ataupun langage, hal ini disebabkan

karena :

Dalam linguistik, aspek langue merupakan aspek sosial dari bahasa,

langue inilah yang memungkinkan berlangsungnya komunikasi

simbolik manusia lewat bahasa, karena langue ini “dimiliki”

bersama. Agar pesan yang hendak disampaikan mencapai sasarannya

maka Parole yang diwujudkan seorang individu harus berada dalam

sistem langue tertentu. Sebab jika aspek langue diabaikan, maka

akan membuat kabur pesan yang hendak disampaikan

Langue bersifat abstrak dan tersembunyi di dalam otak , sedang

Parole bergantung pada kemauan penutur dan bersifat intelektual.

Langue itu pasif dan parole aktif.

Berdasarkan fakta di atas, De Saussue berpendapat bahwa

linguistik haruslah mengkaji langue karena langue adalah fakta sosial

sedangkan parole merupakan perlakuan individual, dan merupakan embrio

dari langage. Dengan kata lain, apa yang keluar dari mulut penutur dalam

7

Page 8: an Teori Linguistik Saussure Dalam Kajian Epistimologi

bentuk kalimat-kalimat selalu berubah-ubah dan bersifat idiosinkretis,

sehingga tidak layak dijadikan kajian linguistik.

Pada perkembangannya, teori langue ini dikembangkan lebih

lanjut oleh De Saussure menjadi kajian tentang signifie’ dan signifiant.

Langue mempertalikan masyarakat penggunanya dan menciptakan suatu

average yang merupakan tanda atau lambang yang arbitrer dan digunakan

untuk menyatakan ide-ide dan mempunyai aturan, sehingga langue

merupakan satu sistem nilai murni yang terdiri dari pikiran yang tersusun

yang digabungkan dengan bunyi dan bukan mempersatukan nama dengan

benda seperti nama ‘buku’ dengan sebuah buku sebagai bendanya. Konsep

tentang langue , parole dan langage masih dijadikan kajian dalam linguistik

sampai sekarang.

C. Signifiant dan Signifie

Ilmu yang membahas tentang tanda disebut semiotik (the study of

signs). Masyarakat selalu bertanya apa yang dimaksud dengan tanda?

Banyak tanda dalam kehidupan kita sehari-hari,  seperti tanda-tanda lalu

lintas, tanda-tanda adanya suatu peristiwa atau tanda-tanda lainnya. Semiotik

meliputi studi seluruh tanda-tanda tersebut sehingga masyarakat berasumsi

bahwa semiotik hanya meliputi tanda-tanda visual (visual sign). Awal

mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui

dikotomi sistem tanda.

Saussure mendefinisikan tanda (sign) sebagai kesatuan dari satu

penanda (signifiant) dan satu signifie (petanda), sebelumnya, tanda (sign)

disebut sebagai kesatuan antara citra akustik dan satu konsep (Barthes, 2007:

37-38). Citra akustis (image acoustique) bersangkutan dengan ingatan atau

kesan bunyi yang dapat kita dengar dalam khayal, bukan dalam ujaran yang

diucapkan. Salah satu manfaat konsep citra akustis adalah bahwa

komponennya jelas batasnya. Citra akustis  dapat digambarkan dengan

tulisan secara cermat, sedangkan bunyi tidak (contohnya: bunyi gemuruh,

bagaimana menuliskannya dengan kata-kata?). Citra bunyi adalah

keseluruhan unsur fonem yang jumlahnya terbatas dan dapat diwujudkan

dengan lambang tertulis yang jumlahnya sepadan. Konsep lebih abstrak

daripada citra akustis. Konsep bersifat pembeda semata-mata, dan secara

8

Page 9: an Teori Linguistik Saussure Dalam Kajian Epistimologi

langsung bergantung pada citra bunyi. Itulah sebabnya Saussure mengatakan

bahwa tanda mempunyai dua muka yang tidak dapat dipisahkan satu sama

lain: konsep itu signifie (yang ditandai atau petanda) dan citra akustis

itu signifiant (yang menandai atau penanda). Tanda adalah konkret dalam

arti tidak ada satupun yang ditinggalkan dari defenisi yang diperlukan oleh

sudut pandangnya karena sudut pandangnya itulah yang menciptakan objek:

sudut pandang menentukan apa yang dianggap konkret (menyeluruh) sebagai

lawan dari abstrak (sebagian). Saussure berpendapat bahwa tanda adalah

berupa kalimat, klausa, frasa, morfem (afiks, inflektif, derivatif). 

Ada dua jenis tanda: tanda tunggal dan tanda sintagma. Semua

tanda tersebut memiliki sifat utama, yakni: Pertama, prinsip

arbitrer (kesemenaan). Kesemenaan tanda bahasa dalam arti tidak ada

motivasi aspek bunyi dalam benda yang ditandainya dan hanya terdapat

dalam tanda tunggal. Sedangkan dalam sintagma, seperti kata majemuk,

frasa terdapat motivasi relatif, misalnya bentuk inflektif (perubahan nada

suara) diwujudkan secara sama untuk memenuhi hubungan makna yang

sama atau konstruksi sintaksis yang dipergunakan dalam situasi yang sama

diwujudkan secara sama pula. Kesemenaan merupakan bentuk umum dari

kemampuan biologis manusia untuk mengkoordinasikan dan

mengasosiasikan (pada waktu yang sama) sehingga melahirkan sistem

bahasa yang berbeda bagi setiap masyarakat. Dengan kata lain, kesemenaan

adalah tempat manusia membuat sejarah pada dirinya. Tetapi harus

diperhatikan bahwa ciri lambang tidak selalu semena, tidak hampa. Sebab,

ada suatu dasar dari ikatan alami antara penanda dan petanda. Misalnya,

lambang keadilan, timbangan, tidak mungkin diganti dengan sembarang

lambang, misalnya dengan lambang kereta. Walaupun demikian, semena

bukan berarti penanda tergantung dari pilihan bebas penutur melainkan

semena adalah tanpa motif.

Untuk mengerti bagaimana suatu kata disebut semena, marilah

kita ikuti uraian ini: tiba-tiba saya berteriak kepada ayah saya yang kebetulan

lewat di depan saya “ayah, tunggu aku!”. Kata ayah di situ bersifat semena

atau tanpa motif karena untuk menyebut kata “ayah” tentu saya tidak perlu

berpikir terlebih dahulu dan tidak perlu saya mencari-cari kata apa yang

harus saya serukan untuk memanggil laki-laki yang lewat di depan saya; dan

9

Page 10: an Teori Linguistik Saussure Dalam Kajian Epistimologi

tidak mungkin saya berkata: ya sudah, saya panggil saja ayah saya sebagai

“ibu”, tidak mungkin. Walaupun demikian, jika dalam bentuk

kalimat, langue tidak seluruhnya semena karena langue adalah suatu sistem;

dan sistem memiliki nalar tertentu. Misalnya: Saya makan nasi (S+P+K),

tidak mungkin saya balik: makan nasi saya. Tetapi justru karena alasan inilah

masyarakat tak mampu mengubah langue sesuka hatinya.

Kedua, prinsip kelinearan tanda bahasa. Hal ini paling nampak

dalam signifiant, yaitu dalam rangkain wicara. Dan, hal ini yang

membedakan bahasa dengan tanda lain (entah parole dan juga langage).

Penanda akustis hanya ada dalam garis waktu; unsur-unsurnya terungkap

satu persatu. Semua itu membentuk suatu rangkaian.

Ketiga, prinsip tak tertukarkan (ketakterubahan). Saussure

memberi 4 alasan mengapa tanda tak tertukarkan: 1) karena tanda bersifat

arbitrer; 2) walaupun ada kemungkinan orang ingin mengubah sistem tulisan

yang sifatnya arbitrer karena unsur-unsurnya terbatas, namun karena tanda

bahasa  tak terbatas jumlahnya, maka ketakterbatasan tersebut menghalangi

perubahan bahasa; 3) bahasa merupakan sistem yang sangat rumit; 4) bahasa

adalah satu-satunya sistem sosial yang dipergunakan semua orang. Oleh

sebab itu, di antara penutur terdapat sikap konservatif dalam menghadapi

perubahan kebiasaan bahasa. Dengan kata lain, bahasa diwarisi. Dan

penerima warisan itu menerima begitu saja (pasif) dan bahkan menjadi

bahasa konvensional. Penanda seolah dipisah secara bebas tetapi jika

dipandang dari masyarakat bahasa yang memakainya, penanda bahasa tak

bebas, ia dipaksakan. Penanda yang dipilih oleh langue tidak mungkin

diganti dengan yang lain. Contoh: pilihlah!, tidak mungkin saya ganti tanda

bahasa di dalam kata itu menjadi “pilihlah?”. Jadi, masyarakat tidak dapat

memaksakan kemauannya pada satu kata, masyarakat terikat pada langue

seperti apa adanya.

Singkatnya, langue tidak dapat diikat dengan suatu kontrak dan

justru karena itulah tanda bahasa begitu menarik untuk diteliti. Sebab, kalau

kita ingin memperlihatkan bahwa hukum yang diterima dalam

suatu  masyarakat sebagai sesuatu yang kita turuti dan bukan aturan yang

ditetapkan secara bebas oleh individu, langue-lah yang paling cocok sebagai

analoginya. Lambang bahasa atau langue tidak tunduk pada kemauan kita; ia

10

Page 11: an Teori Linguistik Saussure Dalam Kajian Epistimologi

adalah warisan dari abad sebelumnya. Misalnya, pemerian nama pada benda

atau hal, merupakan warisan dari zaman dahulu. Jadi, langue juga

merupakan hasil dari faktor historis, dan itu sebabnya langue tak terubahkan.

Keempat, prinsip tertukarkan (keterubahan): sifat ini terjadi jika

kita menggunakan sudut pandang historis yang menimbulkan pergeseran

hubungan antara signifiant dan signifiésebagai akibat perubahan bunyi dalam

pergeseran analogi. Tanda selalu berganti karena tanda bersifat sinambung.

Pergantian tanda selalu mengakibatkan perubahan hubungan antara petanda

dan penanda. Misalnya, kata “nēcare” (Latin) dikemudian hari berubah

menjadi “necare”. Atau contoh lain adalah kata “dritteil” (kata Jerman

klasik) berubah menjadi “drittel” (kata Jerman modern). Jadi, penanda

berubah, baik secara material maupun secara gramatikal.

Namun, sebuah langue sama sekali tidak berkekuatan untuk

mempertahankan diri terhadap faktor-faktor yang setiap waktu mengubah

hubungan antara penanda dan petanda; hal ini adalah salah satu konsekuensi

dari kesemenaan lambang. Prinsip dasar bahasa adalah tata nama. Artinya,

sebuah kata mewakili “hal” atau “benda”. Prinsip ini mengandaikan adanya

“benda” sebelum ada kata. Tetapi kata tak jelas apakah berwujud bunyi atau

psikis.

D. Sintagmatik dan Paradigmatik

Menurut Saussure kalimat apapun adalah satu rangkain tanda-

tanda, yang satu sama lainnya mempunyai perbedaan dan setiap tanda itu

memilki arti atas makna keseluruhan. Bisa juga disebutkan bahwa struktur

kalimat dari bahasa manapun pasti terdapat relasi di antara komponen-

komponen penyusunnya. Dengan dasar itulah, Saussure mengenalkan istilah

Sintagmatik dan Paradigmatik (asosiatif). Pembahasan struktur kalimat

seperti ini –sintaksis- merupakan bagian dari parole. Parole inilah yang

diamati langsung oleh para linguis, dari pengamatan inilah dapat

disimpulkan aturan yang melandasi yaitu langue.

Relasi sintagmatik-paradigmatik

Seperti yang diungkapkan Hoed (dalam Christommy 2002:6),

relasi sintagmatik merupakan relasi antar komponen dalam struktur.

11

Page 12: an Teori Linguistik Saussure Dalam Kajian Epistimologi

Sedangkan Saussure (1988:16), dalam terjemahan Kridalaksana,

mengungkapkan bahwa relasi sintagmatik adalah hubungan antar mata rantai

dalam suatu ujaran. Adapun relasi paradigmatik atau asosiatif adalah relasi

antara relasi antara suatu komponen dalam struktur tertentu dengan entitas

lain di luar struktur tersebut.

Untuk memaparkan relasi antara sintagmatik dan paradigmatik

dengan lebih jelas, berikut adalah contoh penerapannya dalam kalimat:

(1) (2) (3) (4)

a. Amir must study now

b. He will go tomorrow

c. the baby should sleep at noon

Masing-masing kalimat tersebut terdiri dari empat tanda dan

masing-masing mempunyai kedudukan yang berbeda. Kalimat diatas

memberikan satu gagasan utuh yang didukung oleh keempat tanda tadi.

Relasi sintagmatik antar keempat tanda itu diabstraksikan sebagai : N +

auxiliary verb + main verb + adverb of time atau kata benda + kata kerja

bantu + kata kerja utama + keterangn waktu.

Relasi (1-2-3-4) tersebut sah, karena sesuai dengan kaidah tata

bahasa Inggris. Jika relasi dari keempat tadi ditukar, misalnya (4-3-1-2),

relasi itu tidak akan sah karena tidak ada dalam langue bahasa Inggris (tidak

sesuai dengan sistem kaidah tata bahasa inggris).

Tiap tanda di atas adalah satu anggota dari kesatuan jenis katanya,

misalnya Amir, He, the baby adalah anggota dari kesatuan jenis kata nomina.

Setiap angggota kesatuan jenis kata ada relasinya dengan aggota lainnya dari

kesatuan yang sama, artinya setiap anggota kesatuan bisa menempati posisi

pada kalimat di atas. Relasi ini dinamai relasi paradigmatik.

12

Page 13: an Teori Linguistik Saussure Dalam Kajian Epistimologi

IV. Simpulan

a) Pengkajian bahasa dapat dilakukan tanpa mengetahui asal usul bahasa

tersebut. Hal inilah yang menjadi pemikiran Saussure dalam mengkaji

bahasa.

b) Saussue berpendapat bahwa Linguistik haruslah mengkaji langue karena

langue adalah fakta sosial sedangkan parole merupakan perlakuan

individual, dan merupakan embrio dari langage.

c) Tanda adalah berupa kalimat, klausa, frasa, morfem (afiks, inflektif,

derivatif). Dengan demikian, dalam sebuah bahasa pasti mempunyai sistem

tanda.

d) Setiap hari kita berbicara dengan berbagai pola kalimat. dengan adanya

relasi sintagmatik dan paradigmatik kita dapat membuat sejumlah kalimat

yang tak terhingga jumlahnya karena kejadian (nikmat Tuhan) di dunia

tidak terhingga. Di samping itu, dengan adanya relasi sintagmatik dan

paradigmatik, bahasa menjadi suatu yang sangat produktif hingga saat ini.

V. Referensi

Barthes, Roland. 2007. Petualangan Semiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer,Abdul.2009. Psikolinguistik. Jakarta : Rineka Cipta

Dardjowidjojo,Soenjono.1987.Linguistik:Teori & Terapan.Lembaga Bahasa

Universitas Atmajaya.

Mulyono. 2008. Pengantar Filsafat Sistemik. Semarang: Fakultas Sastra Undip.

Pengantar Linguistik Umum. 1993. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

Samsuri. 1988. Berbagai aliran linguistic abad XX. Jakarta: Departemen

pendidikan dan kebudayaan direktorat jenderal pendidikan tinggi PPLPTK.

Sampson, Geoffery.1980.Schools of Linguistics. Stamford University Press.

13