translate neuro 10042015-pemilihan waktu rekurensi kejang dini dan lambat setelah operasi epilepsi...
Post on 15-Jan-2016
23 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Penetapan Waktu Rekurensi Kejang Dini dan Lambat
setelah Operasi Epilepsi Lobus Temporal
RANGKUMAN
Tujuan Penelitian: Rekurensi kejang setelah operasi epilepsi telah
diklasifikasikan sebagai dini atau lambat tergantung pada waktu rekurensi setelah
operasi. Akan tetapi, waktu rekurensi bervariasi dan secara berubah-ubah
didefinisikan dalam literatur. Peneliti menetapkan model matematika untuk
membedakan pasien-pasien dengan rekurensi kejang dini atau lambat, dan
menguji perbedaan antara kedua kelompok.
Metode: Sebuah penelitian kohort historikal pada 247 pasien konsekutif yang
ditangani secara operatif untuk epilepsi lobus temporal diidentifikasi. Pada pasien-
pasien yang mengalami kejang berulang, waktu postoperatif sampai rekurensi
kejang diuji dengan menggunakan kurva receiver-operating characteristic (ROC)
untuk menentukan titik potong terbaik untuk memprediksi prognosis jangka
panjang, yang membagi pasien menjadi mereka dengan rekurensi kejang dini dan
lambat. Peneliti kemudian membandingkan kelompok-kelompok dalam istilah
angka klinis, elektrofisiologis, dan variabel radiologis.
Penemuan Kunci: Kejang mengalami rekurensi pada 107 pasien (48,9%). Kurva
ROC menunjukkan bahwa 6 bulan merupakan waktu ideal untuk memprediksi
outcome operasi jangka panjang dengan akurasi terbaik, (area under the curve
[AUC]= 0,761; sensitivitas= 78,8%; spesifisitas= 72,1%). Peneliti mengamati
bahwa pasien-pasien dengan rekurensi kejang selama 6 bulan pertama mulai
mengalami kejang pada usia yang lebih muda (odd ratio [OR]= 6,03; 95%
intervaal kepercayaan [CI]= 1,06-11,01; p= 0,018), memiliki outcome yang
memburuk (OR= 6,85; 95% CI= 2,54-18,52; p=0,001), memerlukan angka
pengobatan epilepsi yang lebih tinggi (OR= 2,07; 95% CI= 1,16-9,34; P=0,013),
dan lebih sering menjalani operasi ulang (OR= 9,59; 95% CI= 1,18-77,88;
p=0,021). Pasien-pasien dengan relaps lambat lebih sering mengalami kejang
terkait dengan kejadian pemicu (OR=9,61; 95% CI= 3,52-26,31; p<0,01).
Signifikansi: Pasien-pasien dengan rekureni kejang dini atau lambat memiliki
karakteristik berbeda yang dapat mencerminkan perbedaan pada zona
epileptogenik dan epileptogenisitas itu sendiri. Perbedaan tersebut dapat
membantu menjelaskan pola rekurensi kejang yang bervariasi setelah operasi
epilepsi.
KATA KUNCI: Operasi epilepsi, Rekurensi, Epilepsi lobus temporal, penetapan
waktu
Beberapa pasien dengan epilepsi yang sulit diatasi dengan pengobatan
(intractable) memerlukan operasi untuk mengontrol kejangnya. Lokalisasi area
epileptogenik merupakan dasar untuk panduan terapi (Rosenow & Luders, 2001).
Mayoritas kejang fokal refrakter berasal dari lobus temporal, dan reseksinya
merupakan prosedur yang ditetapkan dengan baik (Wiebe dkk, 2001).
Diperkirakan bahwa kurang lebih 50-62% pasien akan bebas kejang 5 tahun
setelah operasi untuk epilepsi lobus temporal, tergantung pada substrat patogenik
yang berkaitan dengan kejang refrakter (Wieser dkk, 2003; McIntosh dkk, 2004;
de Tisi dkk, 2011).
Akan tetapi, waktu berlalunya untuk rekurensi kejang setelah operasi tidak
seragam, dan pasien yang berlanjut mengalami kejang terbagi menjadi dua
kategori yang berbeda. Pertama adalah pasien-pasien yang tidak memperoleh
manfaat dari operasi, baik dengan kejang postoperatif segera atau hanya periode
singkat dari kontrol kejang. Lainnya, dapat mengalami periode kontrol kejang
yang lebih lama setelah operasi namun kemudian berulang (Schwartz dkk, 2006).
Perbedaan antara dua kelas pasien tersebut mungkin mencerminkan ketepatan
reseksi, epileptogenisitas jaringan intrinsik, dan prognosis jangka panjang (Jehi
dkk, 2010). Sebagai contoh, pasien-pasien dengan rekurensi kejang lambat
biasanya mengalami serangan yang lebih sedikit dan memiliki kualitas hidup yang
lebih baik saat dibandingkan dengan individu dengan relaps dini (Lee dkk, 2006;
Buckingham dkk, 2010). Sampai saat ini, masing-masing penulis telah
mendefinisikan rekurensi kejang dini atau lambat secara berubah-ubah, yang
membuat kesulitan nyata saat menginterpretasikan data, dan membuat sulit untuk
peneliti melakukan perbandingan dan memahami signifikansi penemuan. Sarana
matematika atau statistik, sepengetahuan kami belum pernah digunakan
sebelumnya untuk tujuan ini.
Rekurensi kejang dini atau lambat setelah operasi mungkin terlihat lebih
baik sebagai dua kejadian yang berbeda. Meskipun rekurensi dini dapat
mencerminkan reseksi yang tidak lengkap dari zona epileptogenik, rekurensi
lambat dapat mencerminkan perkembangan proses epileptogenik baru, yang
mungkin mencerminkan tendensi epileptogenik yang mendasari. Perbedaan yang
lebih baik dan komprehensi dari dua situasi yang berbeda tersebut dapat
mendorong pada pemahaman alasan yang lebih tepat untuk kegagalan operasi. Ini
penting karena pada short run ini akan membantu untuk menetapkan prognosis
jangka panjang yang lebih akurat untuk pasien lebih awal setelah operasi, dan
pada long run dapat memiliki dampak dalam merencanakan protokol terapi yang
lebih baik. Oleh karena itu, tujuan utama penelitian ini adalah untuk menentukan
model yang berorientasi statistik untuk membedakan pasien dengan lebih baik
dengan rekurensi kejang dini atau lambat dan untuk penelitian perbedaan klinis,
elektrofisiologis, dan neuroradiologis antara dua kelompok pasien. Harapan
peneliti adalah untuk membantu menginformasikan pasien dengan lebih baik
mengenai prognosisnya juga untuk menggambarkan tujuan penelitian untuk terapi
selanjutnya.
METODE
Peneliti melakukan penelitian kohort retrospektif dari semua pasien konsekutif
yang didiagnosis dengan epilepsi lobus temporal refrakter secara medis yang
menjalani operasi lobus temporal resektif pada pusat kami antara Januari 1994 dan
Februari 2007. Peneliti menbandingkan masing-masing demografis pasien,
semiologi kejang, investigasi preoperatif, teknik operasi, hasil-hasil patologi, dan
hasil luaran/outcome, diambil ke dalam pertimbangan waktu untuk kejang
pertama setelah operasi.
Pemilihan Pasien
Semua pasien menjalani operasi untuk epilepsi lobus temporal setelah diterapi dan
diklasifikasikan sebagai refrakter secara medis oleh epileptologis berpengalaman.
Semua pasien menjalani investigasi lengkap dengan video elektroensefalografi
(EEG) kepala kontinyu, magnetic resonance imaging (MRI) otak, dan
pemeriksaan neurofisiologis. Pasien-pasien dengan epilepsi lobus ekstratemporal,
mereka dengan lesi otal yang memerlukan operasi sebagian besar untuk reseksi
tumor dan tidak untuk intraktabilitas kejang, serta pasien dengan lesi yang meluas
keluar dari lobus temporal dieksklusikan.
Pemeriksaan Pasien
Pasien pada awalnya diklasifikasikan berdasar pada semiologi kejang, adanya
aura, kejang generalisata, dan status post iktal. Riwayat kejang demam,
handedness, usia pada onset gejala, durasi epilepsi, etiologi, frekuensi serangan,
dan jumlah obat-obatan antiepilepsi (AED) juga dicatat. Pemeriksaan EEG dan
video EEG diperoleh dengan menggunakan Sistem Internasional 10-20. Untuk
video EEG interiktal dan iktal, peneliti mengklasifikasikan semua aktivitas
epileptiform berdasar pada lokasi lobarnya. Untuk analisis statistik, peneliti
membagi pasien-pasien sebagai memiliki abnormalitas konkordan temporal secara
eksklusif atau adanya perubahan di luar lobus temporal. MRI otak diperoleh
berdasar pada protokol institusional kami, dan adanya abnormalitas yang
disebutkan dalam laporan radiologis dicatat. Peneliti mencatat adanya
abnormalitas, keterlibatan lobus temporal, dan diagnosis radiologis. Untuk tujuan
statistik, peneliti juga membagi pemeriksaan abnormal sebagai patologi tunggal
atau dual (Kim dkk, 2010).
Assessment neurofisiologis dilakukan oleh ahli neurofisiologi terlatih
untuk protokol standar yang digunakan pada pusat kami. Peneliti
mengklasifikasikan pasien sebagai normal, memiliki perubahan temporal
konkordan, atau memiliki abnormalitas lainnya di luar lobus temporal epileptik
(Keary dkk, 2007). Saat diperlukan, monitoring intrakranial invasif untuk
lokalisasi akurat dari zona onset-iktal dilakukan. Di institusi kami, peneliti paling
sering menggunakan elektroda subdural, biasanya ditempatkan melalui lubang
burr temporal posterior (Steven dkk, 2007).
Prosedur Operasi
Berdasar pada hasil evaluasi preoperasi, pasien dimasukkan ke standar lobektomi
temporal, amigdalohipokampektomi selektif, lesionektomi, atau reseksi
neokortikal temporal yang dijahit. Batas untuk reseksi selama lobektomi standar
adalah 6-6,5 cm dari ujung lobus temporal pada hemisfer nondominan yang
mengikuti garis longitudinal dari polus temporal pada girus temporal tengah
(Wiebe dkk, 2001). Batas posterior pada hemisfer dominan paling sering
ditentukan oleh stimulasi kortikal dan pemetaan area bicara temporal intraoperatif,
meskipun batas 4-5 cm seringkali terobservasi. Seperti disebutkan sebelumnya,
pasien-pasien dengan adanya reseksi di luar lobus temporal dieksklusikan dari
penelitian. Area yang direseksi dimasukkan untuk pemeriksaan patologis dan
diklasifikasikan berdasar pada abnormalitas histologis.
Assessment Luaran
Pasien-pasien yang menjalani operasi lobus temporal pada awalnya
diklasifikasikan sebagai bebas-kejang atau rekurensi. Pasien dipertimbangkan
sebagai bebas-kejang jika mereka tidak mengalami kejang pada poin manapun
dalam periode postoperatif sampai tanggal follow-up terakhir. Perkecualian satu-
satunya adalah pasien yang mengalami kejang yang terjadi selama 2 minggu
pertama setelah operasi. Kejang postoperatif segera tersebut, tidak digunakan
untuk klasifikasi inisial karena kepentingan yang tidak pasti untuk prognosis
lambat (Malla dkk, 1998). Selain itu, jika pasien hanya memiliki aura
nondisabilitas, mereka dipertimbangkan sebagai bebas kejang. Pasien yang
dipertimbangkan sebagai “bebas-kejang” disingkirkan dan sisa dari analisis
dilakukan pada pasien-pasien dengan kejang rekuren setelah operasi. Waktu
kejadian epileptik postoperasi pertama adalah referensi untuk analisis komparatif.
Peneliti mencatat frekuensi kejang, semiologi, dan adanya kejadian pencetus.
Pada follow-up terakhir, pasien dilakukan skoring berdasar pada International
League Against Epilepsy (ILAE) dan klasifikasi Engel untuk luaran/outcome
(ILAE, 1981; Engel dkk 1993). Peneliti pasien menjadi dua kelompok utama
untuk analisis statistik: perbaikan signifikan untuk ILAE 1, 2, atau 3; atau klas
Engel IC, ID, atau II, dan tidak ada perbaian signifikan untuk lainnya. Berdasar
definisi, tidak terdapat pasien klas Engel IA atau IB dalam analisis ini. Pasien-
pasien yang masih mengalami kejang postintervensi namun menjadi bebas-kejang
setelah periode waktu (fenomena running-down; Rasmusse, 1970), dan mereka
yang menjalani reoperasi, juga dianalisis.
Analisis Statistik
Kurva Receiver Operating Characteristic (ROC) dihitung pada awalnya dengan
tujuan untuk membagi dua kelompok pasien dengan perhatian pada prognosis
jangka panjang. Peneliti mengamati periode waktu yang mana yang memiliki
akurasi, sensitivitas, dan spesifisitas tertinggi untuk memprediksi angka luaran
jangka panjang dan digunakan sebagai indikator untuk membagi kelompok antara
rekurensi kejang dini dan lambat. Variabel kategorikal dibandingkan dengan
menggunakan uji two-tailed chi square atau uji two-tailed Fischer’s exact, saat
persyaratan untuk yang pertama tidak ditemukan. Variabel kuantitatif
dibandingkan dengan menggunakan t-test untuk sampel-sampel independen atau
uji nonparametrik untuk distribusi non-Gausian. Adanya perbedaan signifikan
secara statistik didefinisikan sebagai nilai probabilitas p<0,05, dan interval
kepercayaan (CI) yang diterima adalah 95%. Untuk memverifikasi faktor-faktor
independen, regresi logistik digunakan. Pendekatan ini memungkinkan peneliti
untuk membandingkan kedua kelompok, mencari untuk perbedaan yang dapat
secepatnya menentukan mengapa beberapa pasien memiliki rekurensi kejang yang
lebih dini dan lainnya mengalami kejang hanya setelah periode bebas-kejang.
Kurva kelangsungan hidup/survival Kaplan-Meirer dengan uji logrank (Mantel-
Cox) digunakan untuk menentukan perbedaan antara prognosis yang baik dan
buruk pada waktu mengenai kejang pertama setelah operasi.
HASIL
Dari 247 pasien yang menjalani operasi untuk epilepsi lobus temporal selama
periode penelitian, 219 memenuhi kriteria inklusi kami. Dari mereka, 107 (48,9%)
mengalami relaps kejang. Median follow-up adalah 36 bulan (rentang 12-60).
Berdasar pada kejadian pertama, 58 (54,2%) dari 107 pasien tersebut mengalami
rekurensi kejang sebelum 6 bulan, 18 (16,8%) antara 6 bulan dan 1 tahun, 17
(15,9%) antara 1 dan 2 tahun, 5 (4,7%) antara 2 dan 3 tahun, 7 (6,5%) antara 3
dan 4 tahun, 5 (4,7%) antara 2 dan 3 tahun, 7 (6,5%) antara 3 dan 4 tahun, dan 2
(1,9%) antara 4 dan 4 tahun (Gambar 1). Tabel 1 menggambarkan karakteristik
klinis dari pasien yang dilibatkan. Usia pada onset epilepsi memiliki rentang dari
1 sampai 55 tahun (rata-rata 16 tahun). Usia operasi memiliki rentang dari 12
sampai 65 tahun (rata-rata 34 tahun), dan waktu durasi epilepsi dari 1 sampai 54
tahun (rata-rata 20 tahun). Tujuh puluh empat pasien (69,2%) memiliki riwayat
kejang general. Abnormalitas struktural pada MRI teridentifikasi pada 87
(81,3%), dengan 57 (53,2%) memiliki sklerosis temporal mesial ipsilateral.
Waktu rekurensi kejang
Dengan menggunakan kurva ROC, peneliti menemukan bahwa waktu rekurensi
dari enam bulan postoperatif memprediksikan luaran operasi jangka panjang
dengan sensitivitas dan spesifisitas terbaik yang mungkin. Hasil yang diperoleh
sama tanpa memperhatikan apakah klasifikasi Engel atau ILAE yang digunakan.
Dengan menggunakan klasifikasi Engel, pasien-pasien dapat dibagi ke dalam
luaran operasi jangka panjang yang baik dengan akurasi 76,1% (95% CI= 0,665-
0,867; p<0,001). Berdasarkan pada kriteria ILAE, akurasi adalah 72,9% (95% CI=
0,622-0,837, P<0,001). Kerangka waktu ini juga berguna untuk memprediksikan
ada atau tidaknya kejadian pemicu yang mempresipitasi rekurensi kejang, dimana
akurasi untuk memprediksi luaran operasi adalah 79,8% (95% CI= 0,707-0,890;
p<0,001; Gambar 2). Hal penting adalah, pada ketiga kurva, poin sensitivitas dan
spesifisitas tertinggi untuk memprediksi luaran kejang jangka panjang diamati
pada 6 bulan setelah operasi (sensitivitas 78,8%, spesifitas 72,1%). Oleh karena
itu peneliti menggunakan waktu ini untuk memisahkan pasien pada dua
kelompok: kelompok rekurensi dini dimana kejang kembali terjadi dalam 6 bulan
dari operasi dan kelompok rekurensi lambat dimana kejang kembali terjadi setelah
6 bulan dari operasi. Peneliti meneliti perbedaan antara kedua kelompok tersebut
dengan tujuan untuk memahami faktor-faktor yang berkaitan dengan rekurensi
kejang dini atau lambat dengan lebih baik.
Perbedaan antara rekurensi kejang dini dan lambat
Setelah membagi pasien menjadi rekurensi dini dan lambat berdasar pada kurva
ROC, analisis univariat dilakukan pada variabel-variabel preoperatif dan
postoperatif (Tabel 2 dan 3). Usia onset epilepsi adalah satu-satunya variabel
preoperatif yang ditemukan menjadi perbedaan signifikan antara dua kelompok
(Tabel 2). Pasien-pasien dengan rekurensi kejang dini setelah operasi memiliki
usia onset epilepsi yang lebih dini (13,4 tahun) dibanding mereka dengan
rekurensi kejang lambat (19,5 tahun; OR= 6,034; 95% CI= 1,056-11,013;
p=0,018). Baik tipe prosedur bedah yang dilakukan maupun diagnosis patologi
yang berbeda antara mereka dengan rekurensi lambat dan dini. Pasien-pasien
dengan rekurensi dini memiliki prognosis jangka panjang yang lebih buruk saat
dibandingkan dengan kelompok rekurensi kejang lambat, sebagaimana
diklasifikasikan dengan menggunakan skor luaran ILAE (OR=4,545; 95% CI=
1,785-11,111; p=0,001) atau Engel (OR=7,142; 95% CI= 2,564-20, p=0,001).
Kurva keberlangsungan hidup/survival Kaplan-Meirer menunjukkan perbedaan
yang secara statistik signifikan saat membandingkan waktu untuk rekurensi antara
mereka dengan skor Engel atau ILAE yang lebih tinggi dan lebih rendah saat
menganalisis luaran pada follow-up terakhir (p<0,001; Gambar 3). Ini
menunjukkan bahwa pasien-pasien dengan skor Engel atau ILAE yang lebih baik
cenderung untuk kambuh dibanding mereka dengan skor yang lebih buruk.
Pasien-pasien dengan rekurensi lambat 7,4 kali lebih mungkin untuk mengalami
penurunan >50% pada kejang dibanding pasien-pasien dengan rekurensi yang
lebih awal (95% CI= 1,55-35,4; p=0,005), yang mempertimbangkan klasifikasi
Engel, dan 5,9 kali lebih mempertimbangkan skor luaran ILAE (95% CI= 1,78-
19,25; p=0,002). Selain itu, frekuensi kejang lebih tinggi pada kelompok pasien
dengan rekurensi dini (p=0,027). Angka serangan rata-rata adalah 3,29 (standar
deviasi [SD] ± 5,83) per bulan untuk rekurensi dini dan 1,13 (SD ± 2,23) untuk
rekurensi lambat. Kejang yang berulang setelah 6 bulan lebih sering berkaitan
dengan kejadian pemicu yang berlainan saat dibandingkan dengan kejang yang
relaps lebih dini (OR= 2,82; 95% CI= 1,81-4,39; P<0,001). Pasien-pasien dengan
rekurensi dini memerlukan angka AED yang lebih tinggi setelah operasi
(p=0,013). Setelah regresi logistik, hanya usia onset epilepsi (p=0,05), adanya
faktor pemicu (p=0,002), dan beratnya kejang (p=0,032) masih berbeda secara
signifikan antara pasien dengan rekurensi kejang dini dan lambat (Tabel 4).
Fenomena running-down
Fenomena running-down teramati pada enam pasien (5,6%). Waktu sampai bebas
kejang dicapai bervariasi dari 7 sampai 15 bulan (rata-rata 11,3 bulan). Dua dari
pasien tersebut mengalami kejang rekuren yang memiliki semiologi berbeda saat
dibandingkan dengan kejadian preoperatif.
Reoperasi
Pada penelitian kohort ini, pasien-pasien dengan rekurensi secara signifikan lebih
sering dimasukkan ke dalam prosedur operasi tambahan untuk kontrol kejang.
Lima belas pasien dengan kejang rekuren (14%) diinvestigasi dengan elektroda,
dan 11 menjalani operasi resektif tambahan. Dari mereka yang memiliki rekaman
subdural, perubahan EEG iktal mengalami lateralisasi ke sisi ipsilateral untuk
operasi awal pada 13 pasien, kontralateral pada satu pasien, dan pada satu pasien
menunjukkan lebih banyak area epileptogenik difus (Tabel 5). Dari 58 pasien
dengan rekurensi dini, 10 (16,9%) menjalani reseksi tambahan, sementara hanya
satu dari 49 pasien (2%) dengan rekurensi lambat yang menjalani operasi lanjutan
(OR= 9,59; 95% CI= 1,18-77,87; p=0,021). Penetapan waktu dari operasi kedua
bervariasi dari 2 sampai 11 tahun setelah operasi awal (rata-rata 6 tahun). Pada
sebuah kasus, reseksi ulang ditinggalkan mengikuti stimulasi kortikal, karena area
epileptogenik bertumpang tindih dengan area bahasa. Dari 10 pasien yang tersisa,
semua reoperasi dilakukan pada hemisfer original. Rencana operasi yang
disempurnakan adalah pembuangan neokorteks temporal pada empat pasien
dengan amigdalohippokampektomi selektif sebelumnya, reseksi dari struktur
mesial yang tersisa pada tiga pasien dengan reseksi neokortikal yang dijahit
sebelumnya, dan reseksi tambahan dari neokortek temporal pada tiga pasien yang
menjalani lobektomi temporal standar. Pada follow-up terakhir, lima dari pasien
yang menjalani reoperasi adalah Engel klas I, dua adalah Engel klas II, dua adalah
Engel III, dan satu adalah Engel klas IV. Pada semua, 70% pasien dengan
reoperasi memiliki perbaikan signifikan (Engel klas I atau II), dan 90% memiliki
lebih dari 50% penurunan frekuensi kejang yang mengikuti operasi kedua.
PEMBAHASAN
Beberapa penelitian telah meneliti risiko untuk rekurensi kejang setelah
operasi dengan membandingkan pasien-pasien yang bebas kejang dibanding
mereka yang tidak (Foldvary dkk, 2000; McIntosh dkk, 2004; Janszky dkk, 2005;
de Tisi dkk, 2011). Akan tetapi, mungkin bahwa tidak semua kegagalan operasi
sama dan bahwa pasien yang kambuh lebih awal berbeda dari mereka yang
kambuh belakangan, mungkin mencerminkan mekanisme yang berbeda untuk
rekurensi kejang juga prognosis yang berbeda. Pada sedikit penelitian, rekurensi
kejang telah dipisahkan ke dalam kelompok dini dan lambat; akan tetapi, sangat
sedikit perbandingan dari perbedaan yang mungkin antara dua kelompok pasien
tersebut yang dikerjakan. Selain itu, tidak terdapat persetujuan mengenai titik
potong/cutoff waktu untuk mengklasifikasikan relaps kejang sebagai dini atau
lambat. Meskipun beberapa penulis menganjurkan untuk 1 tahun (Schwartz dkk,
2006) dan lainnya untuk 5 tahun (Sperling dkk, 2008), lainnya
mempertimbangkan 2 tahun sebagai cutoff terbaik (McIntosh dkk, 2004; Kelemen
dkk, 2006). Akan tetapi, klasifikasi terebut sebagian besar berubah-ubah dan tidak
mencerminkan adanya mekanisme statistik atau neurobiologis yang mungkin
untuk rekurensi kejang. Apa yang unik mengenai penelitian saat ini adalah bahwa
peneliti tidak mempertimbangkan gagasan sebelumnya sebagai untuk cutoff waktu
apa yang akan digunakan untuk memisahkan rekurensi dini dari lambat.
Dibandingkan pemilihan cutoff yang berubah-ubah, data diperiksa dan cutoff yang
secara statistik relevan dipilih. Pembagian pada 6 bulan merupakan penemuan
terbaik untuk mencocokkan data. Pasien yang mengalami kejang kembali dalam 6
bulan dari operasi memiliki usia onset yang lebih awal, luaran operasi yang lebih
buruk, dan frekuensi kejang postoperatif yang lebih tinggi.
Peneliti menemukan bahwa residivis awal memiliki usia onset epilepsi
yang lebih muda dibanding mereka dengan rekurensi kejang setelah 6 bulan. Ini
merupakan penemuan menarik yang dapat mencerminkan proses epileptogenik
yang lebih aktif dan ini segaris dengan penemuan di literatur, yang memberi kesan
kesempatan yang lebih rendah untuk kontrol kejang yang baik pada kelompok
epilepsi onset dini (Cendes, 2011). Ini juga berhubungan dengan bukti yang
mendukung bahwa usia onset epilepsi atau durasi epilepsi mungkin secara
langsung berhubungan dengan prognosis bedah (Aull-Watschinger dkk, 2008).
Sekali pasien mengalami kejang pertama setelah operasi, adalah berguna
untuk memiliki cara untuk memprediksikan luaran jangka panjang. Hasil dalam
penelitian saat ini memberi kesan bahwa pasien-pasien yang mengalami rekurensi
dalam 6 bulan postoperatif memiliki prognosis yang lebih buruk, dengan
frekuensi kejang yang lebih tinggi dan kebutuhan untuk rekaman intrakranial
selanjutnya atau operasi resektif tambahan yang lebih sering dibanding mereka
yang mengalami rekurensi lebih dari 6 bulan. Ini sejalan dengan hasil dari
penelitian Radhakrishnan dan Kelemen yang menunjukkan bahwa kejang yang
dapat kembali sebelum 1 tahun setelah operasi memiliki prognosis yang lebih
buruk (Radhakrishnan dkk, 2003; Kelemen dkk, 2006). Relaps lambat tampak
menjadi kondisi lebih jinak, dengan kejang yang lebih jarang, yang sesuai dengan
Buckingham dkk (2010) yang menyatakan bahwa kejang yang kembali setelah
peiriode yang lebih panjang memiliki luaran jangka panjang yang lebih baik,
dengan kesempatan remisi yang lebih tinggi.
Dalam penelitian kami, kejang yang kembali lebih dari 6 bulan setelah
operasi lebih sering berkaitan dengan kejadian pemicu yang berlainan/diskret.
Tapering atau withdrawal obat antiepilepsi dan stres fisiologis merupakan faktor-
faktor utama yang berkaitan dengan rekurensi lambat. Mungkin bahwa pasien-
pasien tertentu tanpa faktor-faktor yang mempresipitasi tetap bebas kejang untuk
periode yang lebih lama dan dapat mengalami rekurensi saat dihadapkan dengan
satu dari kejadian pemicu (Schmidt dkk, 2004). Ini dapat menjelaskan mengapa
pasien-pasien tersebut kurang sering dipertimbangkan untuk reoperasi. Juga
mungkin bahwa pasien-pasien tersebut memiliki ambang kejang yang lebih
rendah. Pada kelompok rekurensi lambat penurunan frekuensi kejang, beratnya
gejala yang minor, dan angka peresepan obat antiepilepsi yang lebih rendah untuk
kontrol kejang mungkin mencerminkan proses epileptogenik baru (Jehi dkk,
2012).
Perbedaan patofisiologi antara rekurensi dini dengan reseksi tidak lengkap
dibanding rekurensi lambat dengan kemungkinan otak yang memiliki mabnag
kejang lebih rendah atau epileptogenisitas masih dalam pembahasan (Fong dkk,
2011). Peneliti tidak mencatat adanya perbedaan histopatologi atau radiologis
antara rekurensi dini dan lambat. Dapat diperdebatkan bahwa 6 bulan merupakan
periode yang terlalu cepat/precocious untuk terjadinya fokus baru; akan tetapi,
sangatlah penting untuk mencatat bahwa untuk pasien yang mengalami beberapa
kejang dalam seminggu atau sebuan, menjadi bebas serangan untuk lama waktu
ini sangat mungkin memiliki hubungan dengan pembuangan beberapa atau
seluruh area epileptogenik. Selain itu, waktu untuk area kortek baru menjadi
epileptogenik tidak diketahui. Adalah jelas bahwa semakin panjang waktu
semakin besar pula kesempatan untuk relaps, namun mungkin bahwa 6 bulan
cukup untuk secara klinis mendefinisikan proses ini.
Peneliti menemukan bahwa pasien-pasien yang dipilih untuk operasi
kedua adalah lebih sering mereka dengan rekurensi kejang dini. Dari 11 pasien
yang dimasukkan pada prosedur bedah lainnya untuk kontrol kejang, 10 (90,9%)
diinklusikan dalam kelompok relaps kejang dini, dan semuanya memiliki area
operasi sebelumnya yang meluas. Masih tidak jelas mengapa reoperasi tidak
dilakukan sesering pada kelompok rekurensi lambat. Sebagian besar pasien-pasien
postoperasi dengan kejang rekuren dievaluasi kembali pada pusat kami tanpa
memperhatikan waktu rekurensi, dan waktu untuk rekurensi tidak secara spesifik
digunakan sebagai faktor penentu saat mempertimbangkan operasi tambahan.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, adalah mungkin bahwa terkait dengan sifat
epilepsi yang lebih ringan pada mereka dengan rekurensi lambat dimana operasi
tidak dirasa perlu. Juga mungkin bahwa kejang dirasakan menjadi salah satu dari
multifokal, general, atau dari asal kontralateral, yang mendukung hipotesis bahwa
pasien-pasien tersebut memiliki ambang kejang yang lebih rendah atau
kecenderungan untuk berkembangnya fokus kejang yang mendasari; ini pantas
untuk penelitian selanjutnya. Dari pasien-pasien yang menjalani operasi ulang
tersebut, lima pasien dinilai bebas kejang, sebuah penemuan yang dengan kuat
berimplikasi bahwa alasan untuk rekurensi dini pada pasien-pasien tersebut adalah
reseksi inkomplit dari zona epileptogenik, dibanding efek plasebo atau beberapa
penyebab fisiologis yang tidak diketahui terkait dengan bedah secara umum.
Penemuan tersebut sesuai dengan Germano dkk (1994) yang melaporkan bahwa
rekurensi kejang inisial secara umum terjadi selama 6 bulan pertama pada seri 40
pasien yang memerlukan reoperasi untuk kejang TLE. Akan tetapi, reseksi parsial
dari area epileptogenik mungkin bukan merupakan penjelasan fisiologis utama
untuk semua rekurensi dini. Meskipun 16,9% dari rekurensi dini menjalani
operasi ulang dan banyak yang dilakukan dengan baik, mayoritas (83,1%) tidak
menjalani operasi ulang. Adalah mungkin bahwa pasien-pasien tersebut memiliki
zona epileptogenik lainnya yang tidak teridentifikasi. Adalah menarik untuk
mengamati bahwa meskipun saat kejang kembali hanya setelah beberapa bulan,
waktu utama untuk reseksi kedua adalah 6 tahun setelah operasi awal.
Mempertimbangkan bahwa fenomena running down yang diobservasi paling akhir
adalah 15 bulan postoperatif, dan bahwa 90% pasien yang menjalani operasi ulang
mendapatkan manfaat dari prosedur operasi kedua, akan menjadi strategi
beralasan untuk mempertimbangkan penelitian untuk operasi lainnya dalam 2
tahun setelah usaha operasi pertama.
Keterbatasan operasi ini terletak pada sifat dasar retrospektif dan fakta
bahwa beberapa statistik adalah eksploratori. Juga mungkin bahwa terdapat
perbedaan antara kelompok rekurensi dini dan lambat yang akan dideteksi hanya
dengan kelompok pasien yang lebih basar dari 107 yang ada di sini.
Meskipun demikian, penelitian ini menyajikan beberapa informasi penting
mengenai penetapan waktu rekurensi setelah operasi, dan mengusulkan bahwa 6
bulan mungkin menjadi cutoff waktu yang paling berguna untuk mendefinisikan
rekurensi dini vs lambat setelah operasi untuk TLE. Meskipun karakteristik
preoperatif merupakan prediktor yang baik untuk remisi atau rekurensi kejang
setelah operasi (McIntish dkk, 2001), sekali tujuan primer tidak dicapai, waktu
kejang pertama mungkin menjadi prediktor penting untuk luaran kejang jangka
panjang. Dalam hal ini penelitian kami dapat membantu mengenai definisi
prognosis dan merencanakan penanganan selanjutnya. Peneliti mengusulkan
bahwa rekurensi kejang setelah operasi untuk epilepsi lobus temporal sebaiknya
dipisahkan menjadi rekurensi dini atau lambat berdasar pada kerangka waktu 6
bulan yang mengikuti operasi. Pasien-pasien dengan rekurensi kejang dalam 6
bulan memiliki luaran yang lebih buruk, frekuensi serangan yang lebih tinggi,
kecenderungan untuk menggunakan obat antiepilepsi lebih banyak, dan membawa
kemungkinan lebih besar untuk reoperasi saat dibandingkan dengan pasien-pasien
dengan rekurensi kejang lambat.
top related