traktat lisbon sebagai batu loncatan dalam upaya pengintegrasian uni eropa
Post on 24-Jul-2015
434 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Traktat Lisbon: Sebuah Batu Loncatan dalam Proses Pengintegrasian
Uni Eropa
Dosen Pengampu :
Dr. Siti Muti'ah Setiawati, MA
Annisa Gita Srikandini, SIP, MA
Oleh:
Faelasufa
09/ 280657/ SP/ 23228
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
1
One day, on the model of the United States of America, a United States of Europe will come into being.
-George Washington
Europe thus divided into nationalities freely formed and free internally, peace between States would have become easier: the United States of Europe would
become a possibility.- Napoleon Bonaparte
Bertahun-tahun sebelum sekarang, perdebatan tentang masa depan Benua Biru telah eksis dan
2
menjadi perhatian di dunia internasional. George Washington bukanlah satu-satunya orang
yang berpikir bahwa di masa yang akan datang dapat terbentuk United States of Europe.
Winston Churchill, dalam sebuah pidatonya di tahun 1946, pernah mengatakan bahwa
mereka (Eropa) harus membentuk semacam United States of Europe.1 Hampir dua puluh
tahun sebelum pidato Churchill tersebut atau tepatnya pada tahun 1929, Perdana Menteri
Prancis saat itu (Aristide Briand) mengusulkan dibentuknya federasi negara-negara Eropa
dalam rangka mencapai kesejahteraan ekonomi, politik dan kerjasama sosial di benua
tersebut. Apabila mau menarik cerita ini lebih jauh lagi, sebenarnya satu abad sebelum
pernyataan Churchill tersebut, telah ada tokoh-tokoh yang memiliki ide akan terbentuknya
federasi negara-negara Eropa atau United States of Europe. Tokoh-tokoh tersebut ialah Henry
IV, Grotius, Victor Hugo, Carlo Cattaneo, Mikhail Bakunin, Guiseppe Mazzini, dan Napoleon
Bonaparte.
Tahun 1951 adalah tahun bersejarah bagi sebagian negara di benua Eropa, karena di
tahun tersebut terbentuk The European Coal and Steel Community (ECSC) yang merupakan
bibit awal dari lahirnya Uni Eropa. Sebagai sebuah organisasi supranasional, Uni Eropa
adalah refleksi dari integrasi ke-27 negara anggotanya. Melihat perkembangan Uni Eropa
sekarang, tampaknya ide Napoleon Bonaparte memiliki kesempatan untuk menjadi
kenyataan; terbentuknya United States of Europe.
Sebagai sebuah regionalisme, Uni Eropa dapat dikatakan menjadi regionalisme yang
paling sempurna di dunia saat ini. Uni Eropa berbeda dengan ASEAN (Association of
Southeast Asian Nations), UNASUR (Union of South American Nations), maupun
regionalisme lainnya di dunia ini. Salah satu perbedaan itu ialah bahwa Uni Eropa sejak 1
Januari 2002 telah menggunakan satu mata uang bersama, yang hingga sekarang telah aktif
digunakan oleh 23 negara anggotanya.2 Satu mata uang tunggal adalah wujud konkret dari
keberhasilan mereka dalam hal integrasi ekonomi. Selain itu, mereka juga memiliki satu
badan eksekutif bersama (European Commision), perwakilan tinggi (high representative)
untuk kebijakan pertahanan dan luar negeri, satu pengadilan bersama (European Court of
Justice) dan sebuah angkatan bersenjata untuk misi perdamaian (Eurofor). Uni Eropa telah
mengalami perubahan dan berkembang sedemikian pesat sejak 9 Mei 1950, ketika Deklarasi
1 Churchill mengatakan bahwa, “We must build a kind of United States of Europe. In this way only will hundreds of millions of toilers be able to regain the simple joys and hopes which make life worth living”. Perkataan tersebut adalah salah satu kalimat dalam pidatonya di University of Zurich. Seperti dikutip dalam: ‘Winston Churchill: Calling for a United States of Europe’, European Commission (online), <http://europa.eu/about-eu/eu-history/founding-fathers/pdf/winston_churchill_en.pdf>, diakses 14 Juni 2012.
2 M. Rosenberg, ‘Euro Countries: 23 Countries Use the Euro as their Official Currency’, About.com (online), 17 Maret 2011, <http://geography.about.com/od/lists/a/euro.htm>, diakses 14 Juni 2012.
3
Schuman mengusulkan terbentuknya ECSC –yang kemudian menjadi kenyataan dengan
disetujuinya Traktat Paris pada 18 April 1951.
Semakin lama, integrasi Uni Eropa semakin kokoh serta terstruktur rapi. Hasil
tersebut ialah implikasi dari proses panjang perkembangan Uni Eropa. Mereka telah memulai
perkembangan regionalismenya sejak dekade 1950-an, bahkan sebelum deklarasi Bangkok
yang melahirkan ASEAN diselenggarakan. Secara konsisten Uni Eropa selalu
memperbaharui dirinya melalui perundingan-perundingan yang kemudian menghasilkan
traktat, yang merupakan landasan paling utama dari Uni Eropa. Tidak hanya oleh Uni Eropa,
dunia internasional mempercayai traktat sebagai salah satu hukum internasional yang menjadi
landasan penting dari perjanjian beberapa pihak. Sejarah traktat itu sendiri sangat panjang.
Traktat paling tua yang pernah ditemukan di dunia ialah traktat perdamaian antara Mesir-
Hittite, sebuah perjanjian yang mengakhiri pertempuran Kadesh antara Kerajaan Mesir yang
dipimpin Ramses II dan bangsa Hittite yang dipimpin Hattusili III pada 1259 SM.3
Tabel 1: Perkembangan Traktat Uni Eropa
1951 1957 1986 1992 1997 2001 2004 2007
Traktat Paris
(ECSC)
Traktat Roma (EEC)
Single European
Act
Traktat Maastricht
(EU)
Traktat Amsterda
m
Traktat Nice (EU)
Traktat Konstitusional
(gagal)
Traktat Lisbon
Kembali lagi dalam konteks Uni Eropa, sejak awal mula dibentuk mereka selalu
menggunakan traktat sebagai landasan yang paling legal, dari mulai Traktat Paris (1951)
hingga yang terbaru ialah Traktat Lisbon (2007). Ini dikarenakan traktat memiliki sifat yang
mengikat; mengikat negara-anggota untuk tunduk dengan artikel-artikel yang tertera dalam
perjanjian, dan rela menanggung resiko apabila mereka secara sengaja maupun tidak
mengingkari apa yang telah mereka janjikan. Seorang pakar hukum internasional, yakni J.L.
Brierly pernah mendefinisikan perjanjian seperti berikut: (a) A treaty is an agreement
recorded in writing between two or more States or international organizations which
establishes a relation under international law between the parties thereto; (b) A treaty
includes an agreement effected by exchange of notes; (c) The term treaty does not include an
agreement to which any entity other than a State or international organizations is or may be
a party.4 3 K. Hickman, ‘Ancient Egypt: Battle of Kadesh’, About.com (online), <http://militaryhistory.about.com/od/battleswarsto1000/p/Ancient-Egypt-Battle-Of-Kadesh.htm>,diakses 14 Juni 2012.4 H.W. Briggs, et.al., The Law of Nations (New York: Appleton-Century-Crofts, Inc., 1952), h. 836-838.
4
Secara lebih jelas, maka traktat dapat didefinisikan sebagai perjanjian paling formal
yang merupakan persetujuan dua negara atau lebih dalam kaitannya dengan bidang
perdamaian, aliansi, ekonomi, politik dan hubungan internasional lainnya. Ini adalah sebuah
dokumen resmi yang menyatakan kesepakatan mereka dalam kata-kata; yang pada akhirnya
digunakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengikatkan diri mereka secara
hukum. Atau dengan kata lain, perjanjian adalah salah satu sarana untuk membuat negara
menjadi powerless, karena mereka rela menyerahkan sebagian kecil (atau besar)
kekuasaannya demi tetap mengikuti perjanjian yang telah mereka tanda tangani. Negara-
anggota Uni Eropa tentu sudah menyadari implikasi apa yang mungkin akan ada ketika
mereka meratifikasi traktat-traktat tersebut. Oleh karena itu, proses ratifikasi traktat-traktat
tersebut tidak selamanya mudah. Meskipun tidak selamanya berjalan dengan mudah, namun
prosesi pembuatan Traktat Paris hingga Nice berlangsung lancar dan berujung pada ratifikasi
traktat oleh negara anggota Uni Eropa.
Setelah Traktat Nice, Uni Eropa berencana untuk menerapkan traktat baru, yakni
Traktat Konstitusional. Namun traktat ini, sebagaimana yang tercantum dalam Gambar 1,
gagal diterima oleh semua negara anggota. Dalam proses ratifikasinya terdapat negara
anggota Uni Eropa yang menolaknya dengan referendum. Negara-negara yang tidak
menyepakati Traktat Konstitusional tersebut adalah Perancis dan Belanda. Mereka tidak
sepakat dengan isi traktat tersebut yang lebih mengikat dan mengatur struktur institusional
Uni Eropa, meliputi perubahan prosedur pembuatan kebijakan dengan cara menyeimbangkan
hak pemilihan (jumlah suara) negara-negara anggota, memperluas peran parlemen dalam
berbagai area, dan membenahi prosedur dalam lembaga legislatif. Sehingga kemudian, traktat
tersebut digantikan oleh Traktat Lisbon. Meskipun akhirnya Traktat Lisbon diratifikasi oleh
semua negara anggota, namun seperti yang diketahui bersama, perjalanan traktat ini tidaklah
mudah. Sebagai salah contoh kasus, pada tahun 2008 mayoritas rakyat negara Irlandia
(53,4%) pernah menyatakan menolak traktat tersebut, namun pada 2 Oktober 2009
dilaksanakan referendum kedua di negara tersebut yang hasilnya sepakat menerima Traktat
Lisbon.5 Meski tidak seekstrim dengan apa yang terjadi di Irlandia, Republik Ceko, Swedia,
Polandia dan Jerman juga pernah mengalami dilema terkait ratifikasi Traktat Lisbon.
Keengganan negara-negara tersebut untuk meratifikasi tentu menimbulkan sebuah
pertanyaan, dampak seperti apa yang dapat terwujud apabila Traktat Lisbon diberlakukan?
Seperti yang telah penulis eksplanasikan sebelumnya, traktat memiliki sifat yang
5 J. Bonde, From European Constitution to the Irish Referendums on the Lisbon Treaty (Brussels: Foundation for EU Democracy, 2009), h. 11.
5
mengikat. Traktat mengikat setiap negara yang meratifikasinya untuk melaksanakan poin-
poin yang tertera dalam traktat tersebut. Sebagai hukum utama Uni Eropa saat ini, meskipun
tidak tercantum secara eksplisit dalam pasalnya, Traktat Lisbon menjadi sumber hukum yang
lebih tinggi daripada hukum nasional. Hal tersebut berarti segala aturan hukum harus sesuai
dengan hukum yang berlaku di Uni Eropa. Beberapa kalangan meyakini bahwa melalui poin-
poin di dalamnya (yang kemudian akan menjadi hukum mengikat bagi negara anggota),
Traktat Lisbon memiliki agenda untuk semakin mengintegrasikan Uni Eropa hingga
membawa mereka semakin dekat dengan wujud United States of Europe. Inilah yang
kemudian menjadi pertanyaan kelompok penulis, dan menjadi rumusan masalah dari paper
penulis. Benarkah memang demikian; bahwa Traktat Lisbon memiliki kekuatan dan visi
untuk semakin mengintegrasikan negara-negara anggota Uni Eropa hingga menjadi sebuah
negara federal seperti Amerika Serikat?
Traktat yang ditandatangani pada 13 Desember 2007 tersebut memang hanya
memiliki 7 buah artikel, namun isi dari artikel-artikel tersebut cukup banyak menuai pro-
kontra di kalangan negara-anggota. Beberapa analis menilai bahwa substansi Traktat Lisbon
memiliki prosentase 90% kemiripan dengan Traktat Konstitusional yang gagal disetujui.6
Beberapa lainnya berpendapat bahwa Traktat Lisbon ini ialah jalan tengah, antara mereka
(negara-anggota) yang dulu telah meratifikasi atau dengan kata lain setuju dengan Traktat
Konstitusional dengan mereka yang menolak traktat tersebut karena menganggap Traktat
Konstitusional terlalu ambisius (dalam konteks pengintegrasian Uni Eropa).7
Traktat Lisbon akan mengatur secara mendalam hukum bersama mengenai hak asasi
manusia, migrasi atau perpindahan penduduk, kejahatan internasional, dan sebagainya.
Dengan kata lain, traktat ini akan lebih menyentuh kebijakan-kebijakan level grassroot,
meskipun bukan berarti konsentrasi mereka terhadap kebijakan level non-grassroot
berkurang. Terlepas daripada itu secara garis besar substansi Traktat Lisbon memiliki tiga
inti utama, yakni berusaha untuk meningkatkan tranparansi dan akuntabilitas demokrasi,
membuat proses pengambilan keputusan yang semakin efisien, dan terutama sekali berusaha
merealisasikan ‘satu suara’ Uni Eropa.8
Dalam traktat ini, upaya Uni Eropa untuk meningkatkan transparansi dan demokrasi
6 CRS Report for Congress, The European Union’s Reform Process: The Lisbon Treaty, hal. 3.7 G. Maganza, ‘The Lisbon Treaty: a Brief Outline’, Fordham International Law Journal, Vol.31, Issue 6, 2007, hal. 8. 8 AGE, ‘Introduction to the European Institutions and the European Union Policy-Making Processes of Relevance to Older People’, Edisi ketiga, Maret 2010, <http://www.sante.public.lu/publications/sante-fil-vie/senior/introduction-institutions-europeennes-personnes-agees/introduction-institutions-europeennes-personnes-agees-en.pdf>, hal 2-3.
6
terlihat dari diberikannya power yang lebih besar terhadap Parlemen Eropa, legislatif nasional
negara anggota dan rakyat negara anggota Uni Eropa. Parlemen Eropa memiliki salah satu
fungsi utama sebagai ‘co-decision’ bersama dengan Dewan Menteri, yang artinya suatu
peraturan baru dapat menjadi hukum apabila telah disetujui oleh Parlemen Eropa dan Dewan
Menteri. Melalui traktat ini, fungsi ‘co-decision’ dari Parlemen Eropa diperluas. Institusi
tersebut akan dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan di beberapa area baru seperti
agrikultur, perdagangan dan bahkan isu domestik negara-anggota. Sementara itu dalam
konteks legislasi nasional tiap negara anggota, Uni Eropa akan memberikan mereka otoritas
yang lebih besar dalam hal pembuatan kebijakan dan draft legislasi di Uni Eropa. Secara
khusus, Parlemen Nasional akan diberikan hak untuk melakukan tes subsdiaritas terhadap
Rancangan Undang-Undang dan mereka dapat menolak RUU tersebut apabila sangat
bertentangan dengan keinginan mereka. Terakhir, Uni Eropa ingin semakin melibatkan rakyat
dari negara-negara anggota mereka melalui konsep Inisiatif Rakyat. Ide dari konsep ini ialah
bahwa rakyat-rakyat tersebut dapat memberikan petisi ke Komisi Eropa.
Poin kedua ialah tentang proses pengambilan keputusan. Proses pengambilan
keputusan akan semakin efisien dikarenakan adanya prosedur pemungutan suara yang baru
dalam Dewan Uni Eropa yang tidak memerlukan keputusan suara yang bulat dalam sistem
Qualified Major Voting (QMV). Keputusan akan dicapai apabila disetujui oleh mayoritas
negara anggota (dengan prosentase 55%) yang jumlahnya minimal 15 negara, yang mewakili
65% dari seluruh warga Uni Eropa.9 Penggunaan sistem QMV ini juga akan
diimplementasikan ke ranah beberapa bidang baru, seperti kerjasama hukum, perpajakan,
kebijakan luar negeri dan pertahanan. Semula juga akan diberlakukan peraturan baru terkait
jumlah anggota Komisi Eropa terkait dengan reformasi proses pengambilan keputusan.
Sebelumnya Uni Eropa merencanakan pengurangan jumlah anggota Komisi Eropa menjadi
2/3 dari jumlah negara anggota (semula setiap negara memiliki satu perwakilan).
Perampingan yang bertujuan untuk mengurangi kejadian gridlock tersebut semula akan
diimplementasikan mulai tanggal 1 November 2014. Namun ide itu tidak jadi dilaksanakan
karena penolakan dari Irlandia.
Sementara itu inti dari poin ketiga ialah bahwa traktat ini ingin membuat Uni Eropa
semakin terintegrasi, terutama sekali ketika mereka berada dalam panggung internasional
sebagai aktor global. Salah satu wujud dari realisasi penyatuan suara Uni Eropa tersebut ialah
dengan membentuk beberapa posisi baru, yakni jabatan Presiden Dewan Eropa dan jabatan
9 ‘EU Institutions and Other Bodies’, European Union (online), <http://europa.eu/about-eu/institutions-bodies/index_en.htm>, diakses tanggal 14 Juni 2012.
7
Perwakilan Tinggi Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Uni Eropa. Melalui traktat
ini, Dewan Eropa dirubah sifatnya menjadi sebuah institusi. Presiden Dewan Eropa pertama
ialah Herman Van Rompuy, yang merupakan mantan Perdana Menteri Belgia. Jabatan
presiden ini memiliki periode masa tugas selama 2,5 tahun, di mana pemilihan jabatan
presiden tidak memerlukan persetujuan dari Parlemen Eropa (dilakukan oleh Dewan Eropa
dengan konsep QMV). Selain untuk menjalankan fungsinya sebagai penyelaras kerja
European Council dan menyelenggarakan pertemuan10, Presiden adalah simbol
kepemimpinan. Ekspektasi masyarakat internasional akan Presiden Dewan Eropa, ialah
bahwa mereka nanti akan menjadi pengarah dan ujung tombak dari pengambilan kebijakan
Uni Eropa serta aktor krusial yang mewakili Uni Eropa di dunia internasional. Adanya fungsi
presiden ini semakin menambah faktor kemiripan antara Uni Eropa dengan sebuah negara.
Melalui Traktat Lisbon ini, selain Presiden Dewan Eropa juga akan ada satu posisi
baru di dalam Uni Eropa. Jabatan tersebut ialah Perwakilan Tinggi Urusan Luar Negeri dan
Kebijakan Keamanan Uni Eropa atau High Representative of the Union for Foreign Affairs
and Security Policy. Jabatan ini sendiri, sebenarnya ialah merger atau penyatuan dari jabatan
yang sudah ada sebelumnya, yakni Perwakilan Tinggi untuk Kebijakan Luar Negeri dan
Keamanan Umum serta Komisaris Hubungan Luar Negeri dan Kebijakan Ketetanggan Eropa.
Semula di Traktat Konstitusional, jabatan ini telah ada namun dengan nama ‘Union Minister
of Foreign Affairs’. Penggunaan nama tersebut tentu menimbulkan perdebatan, dan akhirnya
batal digunakan karena penolakan keras dari Inggris. Adanya jabatan ini (terlebih jabatan ini
akan mendapatkan korps diplomatik mereka sendiri) tentu akan berimplikasi pada semakin
terintegrasinya Uni Eropa dalam diplomasi politik internasional. Hubungan luar negeri antar
tiap negara anggota akan semakin selaras, dan hal tersebut jelas menunjukan integrasi politik
yang luar biasa. Ini dikarenakan dengan beragam perbedaan kepentingan luar negeri setiap
negara-anggota, dipersatukan dan dibentuk satu kebijakan luar negeri ke luar Uni Eropa yang
mewakili seluruh kepentingan negaranya. Artinya, untuk mencapai kebulatan kebijakan yang
akan diambil, harus ada kepentingan luar negeri negara anggota yang harus dikompromikan.
Selain itu, melalui traktat ini Uni Eropa juga ingin semakin memperkuat integrasi
kebijakan pertahanan-kemanannya. Uni Eropa ingin memiliki satu kerangka kebijakan
pertahanan-keamanan bersama. Sebagaimana yang tercantum dalam Artikel 28A.7 Traktat
Lisbon, mereka akan memiliki prosedur bantuan timbal balik dalam konteks pertahanan.
Misalkan saja, apabila ada satu negara menjadi korban dalam agresi militer dengan pihak lain 10 Presiden juga memiliki hak dan tanggung jawab untuk membuat agenda pertemuan Uni Eropa, sehingga agenda tersebut mungkin sekali akan tergantung pada visi individu sang Presidensi.
8
(di mana pihak lain tersebut ialah negara di luar Uni Eropa) maka negara tersebut dapat
meminta bantuan dari negara lain, dan sebaliknya negara anggota lain dapat memberikan
bantuan. Terlepas dari kondisi sedang dalam konflik bersenjata ataupun tidak, setiap negara
anggota juga dapat menjalin kerjasama militer dengan negara anggota lainnya.11 Di masa
yang akan datang, bukan tidak mungkin Uni Eropa akan memiliki tentara bersama. Isu
angkatan bersenjata bersama tersebut sudah mulai menjadi perdebatan sejak tahun 2009 lalu.
Setelah KTT Uni Eropa untuk menentukan Presiden Dewan Eropa dan Perwakilan
Tinggi Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Uni Eropa yang diselenggarakan pada
November 2009, Italia mengungkapkan keinginannya untuk membentuk sebuah angkatan
militer Uni Eropa. Perdana Menteri Italia, Franco Frattini, mengatakan bahwa konsep dari
tentara bersama itu akan meringankan setiap negara anggota Uni Eropa. Frattini
mencontohkan kasus yang terjadi di Afghanistan saat itu. Dalam perang Afghanistan, setiap
negara menempatkan mobil lapis baja, tentara, tank, pesawat dan sebagainya ke Afghanistan.
Namun dengan adanya tentara Eropa, negara-negara tersebut tidak perlu menempatkan semua
kekuatannya, mereka dapat berbagi tugas. Misalkan, Italia mengirimkan pesawat, Perancis
mengirimkan tank, dan Inggris dapat mengirimkan mobil lapis baja. Ide tentang Tentara
Eropa ini juga mendapatkan persetujuan dari Jerman, satu tahun setelahnya.12 Pada Februari
2010, Guido Westerwelle yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri Jerman
mengatakan bahwa Jerman mendukung rencana jangka panjang Uni Eropa untuk membentuk
Tentara Eropa.13 Apabila Uni Eropa nanti juga akan memiliki European Army, tentu akan
semakin membuat mereka mirip dengan sebuah negara; memiliki angkatan bersenjata
bersama.
Maka setelah menguraikan pokok inti dari Traktat Lisbon tersebut, sudah saatnya
penulis mempertanyakan kembali kutipan yang penulis tulis di awal pembukaan esai ini.
George Washington mengatakan bahwa, “One day, on the model of the United States of
America, a United States of Europe will come into being.” Apakah pengimplementasian
Traktat Lisbon akan dapat melahirkan United States of Europe? Terbentuknya United States
of Europe ini tentu membutuhkan integrasi yang mumpuni dari Uni Eropa, tidak hanya dalam
11 G. Quille, The Lisbon Treaty and its Implications for CFSP/ESDP, Directorate General External Policies of the Union <http://www.europarl.europa.eu/document/activities/cont/200805/20080513ATT28796/20080513ATT28796EN.pdf >, hal.812 Z. Wen, ‘Italy Calls for Creation of EU Army’, Global Times (online), 17 November 2009<http://www.globaltimes.cn/world/europe/2009-11/485628.html>, diakses 14 Juni 2012.13 H. Mahony, ‘Germany Speaks Out in Favour of European Army’, EUObserver (online), 8 Februari 2010 <http://euobserver.com/9/29426>, diakses pada 14 Juni 2012.
9
aspek ekonomi namun juga dalam aspek politik.
Berlandaskan pada poin-poin Traktat Lisbon yang telah penulis eksplanasikan
sebelumnya, penulis dapat menyimpulkan apabila Traktat ini dapat menjadi stepping stone
atau batu loncatan untuk semakin mengintegrasikan Uni Eropa. Diratifikasinya traktat
tersebut oleh tiap negara-anggota menunjukkan bahwa mereka juga siap menanggung
konsekuensi logis dari diimplementasikannya traktat tersebut, yakni bahwa mereka akan siap
menyerahkan kedaulatan negara mereka lebih besar lagi. Sedangkan di sisi lain, Uni Eropa
menunjukkan keinginan untuk menjadi suatu entitas besar tunggal yang memiliki satu
kepentingan, satu sistem perekonomian dan satu sistem politik. Traktat ini semakin
menyatukan Uni Eropa karena beberapa hal, seperti: (1) Adanya Presiden Dewan Eropa yang
akan menjadi simbol pemimpin yang menyatukan seluruh komponen Uni Eropa, entah itu
sedikit atau banyak peranannya, (2) Adanya Perwakilan Tinggi Urusan Luar Negeri dan
Kebijakan Keamanan Uni Eropa bersama korps diplomatiknya, yang akan membuat
kebijakan luar negeri Uni Eropa semakin terintegrasi dan membuat ‘kesatuan’ Uni Eropa
sebagai aktor global di dunia internasional semakin diakui, (3) Akan adanya perasaan
memiliki atau sense of belonging dari setiap negara-anggota Uni Eropa beserta warga negara
mereka, hal ini dikarenakan setiap komponen akan semakin dilibatkan dalam proses
pembentukan kebijakan di Uni Eropa dan bahkan Uni Eropa semakin memberikan power
terhadap badan legislatif nasional untuk terlibat di dalam Uni Eropa (4) Adanya komitmen
(melalui traktat ini) untuk membuat kebijakan pertahanan dan keamanan Uni Eropa menjadi
lebih selaras bahkan bukan tidak mungkin mereka akan memiliki Tentara Eropa, (5) Parlemen
Eropa akan semakin memiliki power, terutama dalam menjalankan fungsinya sebagai co-
decision bersama Dewan Menteri.
Meskipun demikian, menurut penulis kemungkinan Traktat Lisbon dapat membentuk
United States of Europe dalam waktu singkat sangat kecil. Setidaknya kemungkinan tersebut
lebih kecil daripada apabila Traktat Konstitusional yang diratifikasi. Perlu dicatat apabila
poin-poin yang dikandung di dalam Traktat Lisbon tidak seekstrim dalam Traktat
Konstitusional yang ingin membuat konstitusi Eropa. Misalkan saja, Traktat Lisbon
mengganti term Union Minister for Foreign Affairs dan tidak menggunakan term konstitusi di
dalam artikel-artikelnya. Kemudian berbeda dengan Traktat Konstitusional, traktat ini juga
tidak menyebutkan simbol-simbol Uni Eropa di dalam isinya seperti bendera, moto, athem
lagu dan mata uang mereka. Selain itu, Traktat Lisbon juga tidak menyertakan pasal
‘primacy’ atau keutamaan yang semula ada dalam Traktat Konstitusional. Semula dalam
Traktat Konstitusional terdapat pasal yang menyatakan bahwa negara anggota harus
10
mengutamakan Traktat Uni Eropa daripada hukum nasional mereka. Karena berbagai
penentangan, pasal tersebut dihapuskan.
Lalu apakah ide dari George Washington tersebut adalah ide yang utopis dan tidak
akan menjadi kenyataan? Tidak. Meskipun tidak dapat membentuk United States of Europe
dalam waktu singkat, namun pengimplementasian Traktat Lisbon akan semakin
mengintegrasikan Uni Eropa (terutama dalam konteks politik). Integrasi yang semakin
sempurna, akan menjadi batu loncatan yang baik untuk mewujudkan konsep United States of
Europe, meskipun tentu saja pengimplementasian dari konsep tersebut akan menghadirkan
banyak sekali pro-kontra. Namun dalam dunia internasional yang penuh ketidakpastian ini,
tidak ada yang tidak mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
11
Pustaka Literatur
CRS Report for Congress. The European Union’s Reform Process: The Lisbon Treaty.G. Maganza. ‘The Lisbon Treaty: a Brief Outline’. Fordham International Law Journal.
Vol.31. Issue 6, 2007.H.W. Briggs, et.al. The Law of Nations. New York: Appleton-Century-Crofts, Inc., 1952.J. Bonde. From European Constitution to the Irish Referendums on the Lisbon Treaty.
Brussels: Foundation for EU Democracy, 2009.
Pustaka OnlineAGE. ‘Introduction to the European Institutions and the European Union Policy-Making
Processes of Relevance to Older People’. Edisi ketiga, Maret 2010. AGE (online).Anonim. ‘EU Institutions and Other Bodies’. European Union (online).Anonim. ‘Winston Churchill: Calling for a United States of Europe’. European Commission
(online)G. Quille. ‘The Lisbon Treaty and its Implications for CFSP/ESDP’. Directorate General
External Policies of the UnionH. Mahony. ‘Germany Speaks Out in Favour of European Army’. EUObserver (online).K. Hickman. ‘Ancient Egypt: Battle of Kadesh’. About.com (online)M. Rosenberg. ‘Euro Countries: 23 Countries Use the Euro as their Official Currency’.
About.com (online)Z. Wen. ‘Italy Calls for Creation of EU Army’. Global Times (online).
12
top related