tkel1-jurnalisme damai
Post on 09-Oct-2015
74 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
-
JURNALISME DAMAI JURNALISME KONTEMPORER/A/2014
2014
Disusun oleh:
TIARA SUTARI 210110110043
ZAHIDAH ZULFA ZAHIRA 210110110129
FAUZIYAH ALHAFIZHAH KAMIL 210110110179
PERANTAMI PUTRI PUJIASTUTI 210110110192
PROGRAM STUDI ILMU JURNALISTIK FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
-
1
Jurnalisme damai pada dasarnya adalah upaya meluruskan kembali apa yang menyimpang dari
jurnalisme dalam praktik. Prinsipnya, jurnalisme itu tujuannya untuk kepentingan publik, untuk
kebaikan masyarakat luas. Jadi, ketika suatu pemberitaan kemudian tidak memberi kebaikan untuk
masyarakatmisalnya, karena cara pemberitaannya yang kurang mempertimbangkan bagaimana
menyelesaikan konflik, atau malah cara pemberitaan itu berpotensi menbuat konflik jadi semakin
berkepanjanganmaka di situ muncul jurnalisme damai (peace journalism) yang merupakan upaya
mengembalikan jurnalisme ke ruh atau tujuan dasarnya, yaitu kepentingan publik. Perdamaian dan
berakhirnya konflik adalah kepentingan publik.
Jurnalisme damai tidak memihak pada salah satu pihak yang bertikai, tetapi lebih menyorot aspek-
aspek apa yang mendorong bagi penyelesaian konflik. Dari tujuan tersebut, maka yang diangkat
adalah hal-hal yang sifatnya mendukung ke arah perdamaian. Dalam suatu konflik, selalu ada
pihak-pihak tertentu yang mengharap ke arah damai.
Ambil contoh, pemberitaan kasus konflik di Ambon beberapa tahun lalu, antara warga Muslim dan
warga Kristen. Jika pemberitaan media hanya memihak satu kelompok seraya memojokkan
kelompok lain, ini tidak membantu ke arah penyelesaian konflik. Maka, alangkah baiknya jika
media mengangkat inisiatif damai yang muncul, baik dari pihak Kristen maupun Muslim, jadi bukan
secara ceroboh mengangkat suara-suara yang mendukung berlanjutnya perang dari kedua pihak.
Pengertian Jurnalisme Damai
Jurnalisme damai adalah jenis jurnalisme yang memposisikan berita-berita sedemikian rupa, yang
mendorong dilakukannya analisis konflik dan tanggapan tanpa-kekerasan (non-violent).
Menurut teoretisi dan pendukung utamanya, Jake Lynch dan Annabel McGoldrick, jurnalisme
damai terwujud ketika para redaktur dan reporter menetapkan pilihan-pilihan bersifat damai
tentang berita apa yang akan dilaporkan, dan bagaimana cara melaporkannya. Bersifat damai di
sini adalah bentuk pemberitaan, yang menciptakan peluang bagi sebagian besar masyarakat untuk
mempertimbangkan dan menghargai tanggapan tanpa kekerasan terhadap konflik bersangkutan.
Jurnalisme damai memberi perhatian pada sebab-sebab struktural dan kultural dari kekerasan,
karena hal itu membebani kehidupan orang di daerah konflik, sebagai bagian dari penjelasan
terjadinya kekerasan. Jurnalisme damai bertujuan menempatkan konflik sebagai sesuatu yang
melibatkan banyak pihak, dan mengejar banyak tujuan, ketimbang sekadar dikotomi sederhana
antara dua pihak yang berperang.
Tujuan eksplisit jurnalisme damai adalah untuk mempromosikan prakarsa perdamaian dari kubu
manapun, dan untuk memungkinkan pembaca membedakan antara posisi-posisi yang dinyatakan
oleh para pihak tersebut dan tujuan-tujuan mereka yang sebenarnya.Jurnalisme damai merupakan
tanggapan terhadap jurnalisme kekerasan dan liputan perang yang biasa. Pendekatan tradisional
ini umumnya menekankan pada konflik yang sedang berlangsung, seraya mengabaikan sebab-
sebab atau hasil-hasilnya.
Pendekatan serupa juga bisa ditemukan pada Jurnalisme Preventif, yang memperluas prinsip-
prinsip semacam itu pada problem-problem ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan (institusional).
-
2
Tujuan Jurnalisme Damai
Tujuan utamanya adalah memetakan konflik, mengindentifikasi pihak-pihak yang terlibat, dan
menganalisis tujuan-tujuan mereka. Pendekatan JD adalah memberikan jalan baru bagi pihak-
pihak yang bertikai untuk menyelesaikan konflik secara kreatif dan tidak memakai jalan kekerasan.
Prinsip ini disederhanakan dengan rumus:
Perdamaian = nonkekerasan+kreativitas
(Purnawan Kristanto, Jurnalisme yang Membawa Perdamaian, tt)
Sejarah Jurnalisme Damai di Dunia
Kekerasan yang dilakukan media dapat juga menempa atau membentuk perang (forging war),
seperti yang terjadi di Rwanda, Bosnia dan Kosovo, di mana peran media sangat dominan untuk
memprovokasi pihak-pihak yang bertikai.
Pada prinsipnya, media berpotensi untuk menjadi solusi atau sebaliknya dari sebuah konflik atau
kekerasan. Seringkali, saat berhadapan dengan fakta sosial berupa konflik, media dan para
pengelolanya, yaitu wartawan, redaktur dan pemodal lebih suka menggunakan pendekatan
Jurnalisme Kekerasan (Violence Journalism) agar lebih laku dijual untuk kepentingan industri
medianya. Dan memang pada kenyataannya pengguna menjadi tertarik membeli yang akhirnya
tergiring larut dalam suasana dan bahasa yang dibentuk oleh media sebagai opininya.
Kita bisa lihat saat ini, media dengan tampilan kekerasan, konflik seksualitas, gosip/isu dan
sejenisnya, menjadi pilihan yang cukup diminati khalayak. Padahal kalau mau dicermati, gambaran
yang ada di benak khalayak yang dibentuk oleh informasi inilah yang nantinya menjadi dasar
proses penentuan sikap, perilaku atau respons masyarakat terhadap berbagai hal, termasuk konflik
dan kekerasan.
Bisa dibayangkan bahwa kebebasan pers yang diberikan dalam era reformasi ini akan membuat
ruang publik yang mengantar khalayak sangat akrab dengan budaya kekerasan, konflik, seksualitas,
gosip/isu dan sejenisnya. Boleh jadi bila kondisi ini terus menerus dipertahankan, maka tidak
mustahil media ini menjadi jurnalisme yang sakit (anomaly) demikian juga dengan khalayak ini,
bisa menjadikan masyarakat yang sakit, pemarah, pendendam, senang bertikai, senang gosip/isu
dan tidak cinta damai.
Masih teringat jelas ketika Amerika bersama sekutunya menyerang Irak yang dipimpin Saddam
Husein dalam Operasi Badai Gurun pada Perang Teluk tahun 1997. Salah satu jaringan televisi
dunia CNN, melakukan peliputan eksklusif siaran langsung detik demi detik peristiwa yang
meluluh lantahkan bangunan-bangunan di Irak serta mencabut ribuan nyawa mulai dari anak-anak
hingga lanjut usia. Semua itu disiarkan secara terbuka dan tervisualisasi dengan vulgar sebagai
sebuah sajian hiburan. Hingga pada akhirnya di Amerika sendiri, terjadi protes keras dari
kalangan akademisi, jurnalis, politisi dan masyarakat. Intinya menolak berbagai liputan perang
tersebut yang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai luhur jurnalisme dari sudut kemanusiaan.
-
3
Dengan dipelopori oleh Prof. Johan Galtung dan para penggiat dan pakar perdamaian lainnya,
mereka menggagas kembali Jurnalisme Damai (Peace Journalism) pada suatu pertemuan di Taplow
Court, Buckinghamshire, Inggris, pada tahun 1997, yang dihadiri oleh para wartawan, ilmuwan dan
mahasiswa dari Eropa, Asia, Afrika, Timur Tengah dan Amerika. Momentum ini dimanfaatkan betul
untuk merevitalisasi peran jurnalisme dalam sebuah konflik yang terjadi.
Rangkaian peristiwa inilah yang menggagas kembali jurnalisme damai (peace journalism) sebagai
antitesis terhadap jurnalisme perang/kekerasan (war/violence journalism) yang telah berkobar
terlebih dahulu. Boleh jadi, bahwa jurnalisme damai menjadi populer ketika audience mulai jenuh
dan tidak suka dengan pemberitaan yang berbau konflik, kekerasan dan kurang manusiawi.
Jurnalisme damai pada prinsipnya melaporkan suatu kejadian dengan bingkai (frame) yang lebih
luas, lebih berimbang dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan
perubahan-perubahan yang terjadi. Pendekatan jurnalisme damai memberikan sebuah tawaran
baru yang menghubungkan para jurnalis dengan sumber-sumber berita dan informasi, liputan yang
dikerjakan, dan berbagai konsekuensi dari liputan dimaksud. Pergeseran nilai, kesadaran dan
pengetahuan dari audience, menjadikan perkembangan konsekuensi menjadi lebih luas, tidak
hanya pada konsekuensi etis jurnalis saja, melainkan dampak hukum dan dampak hak asasi
manusia.
Jurnalisme damai diharapkan menjadi salah satu referensi bagaimana seorang jurnalis dituntut
untuk mampu mentransformasikan fakta dan realitas konflik sebagai realitas media, untuk menjadi
bank data wacana yang diharapkan tidak menciptakan potensi menggagas konflik dan perpecahan
dalam jangka pendek maupun panjang. Jurnalisme damai dilaksanakan dengan standar jurnalisme
modern, yaitu memegang asas imparsialitas dan faktualitas dengan prinsip-prinsip menghindarkan
kekerasan.
Sejarah Jurnalisme Damai di Indonesia
Sebenarnya Indonesia telah mengalami banyak insiden kekerasan yang berbau SARA sejak 1998,
mulai dari kekerasan rasial pada 13-14 Mei 1998 di Jakarta terhadap etnis Tionghoa, pembersihan
etnis Madura di Sambas, Kalimantan Barat pada 1999, konflik di Maluku 2000-2001, darurat sipil
di Aceh, dan konflik Muslim-Kristen yang kronis di Poso sejak Desember 1998. Namun Jurnalisme
damai di Indonesia mulai menjadi wacana saat terjadi kerusuhan di Maluku pada tahun 1999.
Saat itu media yang menjadi andalan setiap orang dalam memperoleh informasi juga terseret
dalam perpecahan. Adanya pemisahan kerja wartawan muslim dan wartawan kristen saat itu
menjadi suatu pemicu semakin terpecahnya golongan masyarakat di Maluku. Akibatnya, konflik
pun semakin memanas. Ternyata media yang ada tidak menyajikan berita secara berimbang.
Karena keberpihakan media itulah, pertikaian terus berlangsung. Wartawan muslim dalam Ambon
Ekspres dan wartawan kristen dalam Suara Maluku masing-masing saling menyudutkan lawan.
Mereka pun mengeksploitasi sebuah peristiwa secara berpihak dan vulgar.
-
4
Seringkali dalam meliput berita pun mereka hanya mengandalkan beberapa narasumber yang
bahkan kadang-kadang diragukan kredibilitasnya. Mulai dari situlah jurnalisme damai mulai
dirasakan penting untuk digunakan dalam kegiatan jurnalistik khususnya dalam pemberitaan
konflik. Tujuannya agar media yang sifatnya umum tidak dijadikan alat propaganda dan
pemberitaan yang disajikan pun bersifat lebih manusiawi.
Jurnalisme damai di Indonesia juga untuk menghindari apa yang disebut dengan talking
journalism atau jurnalisme omongan. Dimana kaidah pers big name big news, no name no news
masih berlaku. Pada masa Orde Baru, orang-orang penting seperti pejabat tinggi negara dan militer
menjadi narasumber yang omongannya dipercaya dan menjadi sebuah fakta kebenaran. Dimana
setiap pejabat dengan pangkat dan nama besarnya dianggap mewakili klaim atas seluruh kejadian
dan kebenaran. Setiap terjadi suatu peristiwa, mereka selalu dijadikan narasumber. Sehingga jelas
bahwa berita tidak bersifat komprehensif dan berat sebelah.
Jurnalisme damai dapat berjalan apabila ada upaya dari penguasa untuk menerapkan keadilan.
Maka dari situ muncul apa yang dinamakan dengan jurnalisme advokasi.
Jurnalisme Damai dan Jurnalisme Perang
Untuk memudahkan kita dalam memahami perbedaan antara jurnalisme damai dan jurnalisme
perang/kekerasan yang sudah ada, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Jurnalisme Damai Jurnalisme Perang
Penentuan Angle
dan Fokus
1. Fokus pada proses terjadinya
konflik: pihak-pihak yang
terlibat, penyebab pertikaian,
permasalahan yang
menyertai, berorientasi pada
opsi menang- menang
2. Ruang dan waktu yang
terbuka ; sebab-akibat dalam
perspektif sejarah
3. Memberikan konflik apa
adanya
4. Memberi ruang pada semua
suara/versi; menampilkan
empati dan pengertian
5. Melihat konflik atau perang
sebagai sebuah masalah,
fokus pada hikmah konflik
6. Melihat aspek humanisasi di
semua sisi atau pihak
7. Pro-aktif: pencegahan
sebelum konflik/perang
terjadi.
1. Fokus pada arena konflik: dua
kubu bertikai, hanya satu tujuan
(kemenangan), situasi
peperangan, orientasi menang-
kalah
2. Ruang dan waktu tertutup;
sebab-akibat terbatas arena
konflik, mencari siapa yang
menyerang duluan
3. ada fakta yang sengaja
disembunyikan sehingga konflik
berkepanjangan
4. Berita memilahkan kita-
mereka, suara propaganda, dari
dan untuk kita
5. Melihat mereka sebagai
masalah, fokus pada siapa yang
menang perang
6. Dehumanisasi di pihak mereka,
humanisasi di pihak kita
7. Reaktif: menunggu terjadi
konflik baru buat reportase
-
5
8. Fokus pada dampak nonfisik
kekerasan (trauma dan
kemenangan, kerusakan pada
struktur dan budaya
masyarakat)
9. 8. Fokus hanya pada dampak
fisik kekerasan (pembunuhan,
luka, kerugian material)
Orientasi Liputan Ketidakbenaran belah pihak
membongkar cover-up
Hanya mengungkap ketidakbenaran
mereka dan menutupi
ketidakbenaran kita
Cara Pandang
Terhadap Akhir
Konflik
1. fokus pada pemberitaan
semua: perempuan, anak-
anak, orang tua; memberi
suara pada korban
2. menyebut nama pelaku
dalam kejahatan di dua belah
pihak
3. Fokus pada para penggiat
perdamaian di tingkat akar
rumput
1. Fokus pada penderitaan kita;
memberi suara hanya pada
panglima perang
2. Menyebut nama pelaku
kejahatan di pihak mereka
3. Fokus pada penggiat
perdamaian di tingkat elit
Pandangan
terhadap akhir
konflik
1. perdamaian = anti kekerasan
+ hikmah
2. Mengangkat inisiatif
perdamaian dan mencegah
perang lanjutan
3. Fokus pada struktur dan
budaya masyarakat yang
damai
4. Usai konflik: resolusi,
rekonstruksi, rekonsiliasi
1. Perdamaian: kemenangan +
genjatan senjata
2. Menyembunyikan inisiatif
perdamaian, sebelum
kemenangan diraih
3. Fokus pada pakta dan institusi
masyarakat yang terkendali
4. Usai konflik, siap bertempur lagi
jika luka lama kambuh
Praktik jurnalisme damai di Indonesia memang sulit untuk dilaksanakan. Faktor keamanan menjadi
salah satu alasan mengapa wartawan Indonesia sulit untuk cenderung tidak berpihak. Selain itu,
unsur kekerasan dianggap masih menjadi sebuah daya tarik bagi pemberitaan. Padahal
sebenarnya audience sudah mulai bosan melihat tayangan yang tidak manusiawi. Dengan melihat
perbedaan antara jurnalisme damai dan jurnalisme perang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
jurnalisme damai berorientasi pada perdamaian/konflik, kebenaran, masyarakat dan korban,
penyelesaian dan penghentian kekerasan. Sedangkan jurnalisme perang berorientasi pada
perang/kekerasan, propaganda, elite dan pelaku kekerasan, kemenangan.
Pemberitaan di Indonesia sendiri jurnalisme damai tidak hanya dapat melihat reportase mengenai
masalah-masalah dalam negeri, namun juga masalah-masalah internasional. Seperti pada kasus
bom WTC.
Di Indonesia, jurnalisme damai ini diperkenalkan secara luas melalui berbagai training dan
penerbitan dari LSPP (Lembaga Studi Pers dan Pembangunan). Dan memang sudah sepantasnyalah
jurnalisme damai ini diterapkan di Indonesia karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang
majemuk, yang terdiri dari berbagai agama serta adat istiadat yang berbeda yang rawan timbulnya
konflik.
-
6
Kelebihan Jurnalisme Damai:
Dengan adanya jurnalisme damai, maka media massa dan jurnalis dapat menunjukkan peran
mereka untuk mampu mengelola konflik agar tetap terkendali dan mencegah tindak kekerasan
dengan mempertahankan iklim kondusif suasana damai serta mendorong terciptanya suatu
kreativitas yang sangat inovatif dan dinamis dalam mengeksplorasi ide-ide baru yang tiada
batasnya.
Jurnalisme damai pada prinsipnya melaporkan suatu kejadian dengan bingkai (frame) yang
lebih luas, lebih berimbang dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik
dan perubahan-perubahan yang terjadi.
Pendekatan jurnalisme damai memberikan sebuah tawaran baru yang menghubungkan para
jurnalis dengan sumber-sumber berita dan informasi, liputan yang dikerjakan, dan berbagai
konsekuensi dari liputan dimaksud. Pergeseran nilai, kesadaran dan pengetahuan dari
audience, menjadikan perkembangan konsekuensi menjadi lebih luas, tidak hanya pada
konsekuensi etis jurnalis saja, melainkan dampak hukum dan dampak hak asasi manusia.
Jurnalisme damai diharapkan menjadi salah satu referensi bagaimana seorang jurnalis
dituntut untuk mampu mentransformasikan fakta dan realitas konflik sebagai realitas media,
untuk menjadi bank data wacana yang diharapkan tidak menciptakan potensi menggagas
konflik dan perpecahan dalam jangka pendek maupun panjang.
Jurnalisme damai dilaksanakan dengan standar jurnalisme modern, yaitu memegang asas
imparsialitas dan faktualitas dengan prinsip-prinsip menghindarkan kekerasan.
Jurnalisme damai mengungkapkan akar masalah yang terkait dengan sejarah, psikologi, sosial,
budaya, dan lainnya. Dengan demikian media akan mampu mengungkap fakta lebih
komprehensif dan holistik agar dapat dilakukan analisis dan pemetaan permasalahan untuk
memunculkan berbagai alternatif solusinya.
Melalui strategi publikasi yang tepat, maka jurnalisme damai tidak menjadi bagian dari konflik,
akan tetapi berperan aktif menjadi bagian dari solusinya
Jurnalisme damai dalam upaya menyampaikan fokus beritanya lebih pada efek kekerasan
yang tidak tampak (invisible effect of violence), seperti kerusakan sosial, kerusakan budaya
moral, hancurnya masa depan, maupun trauma pihak yang menjadi korban, bukan produk fisik
dari konflik dan kekerasan semata, seperti potongan mayat, rumah ibadah yang hangus, wanita
dan anak terlantar. Hal ini bertujuan untuk menarik empati audience, bahwa konflik yang
disertai kerasan hanya mendatangkan kerugian. Disamping itu aspek keseimbangan
pemberitaan (cover both side) tidak hanya pada sisi materinya saja, akan tetapi juga sumber
berita. Suara korban seperti orang tua, wanita dan anak-anak harus mendapat tempat lebih
banyak dalam pemberitaan dibanding porsi para elit yang bertikai.
Pendekatan jurnalisme damai memberikan jalan baru bagi pihak-pihak yang bertikai untuk
menyelesaikan konflik secara kreatif dan tidak memakai jalan kekerasan. Prinsip ini
disederhanakan dengan rumus, perdamaian = nonkekerasan + kreativitas
Logika jurnalisme damai menggunakan pendekatan menang-menang (win-win solutions) untuk
menyelesaikan konflik. Jurnalisme damai percaya, kreatifitas menjadi salah kuncinya. Caranya
dengan menyediaan alternatif penyelesaikan konflik. Hal itu diyakini mampu mengurangi
konflik sampai menuju titik perdamaian.
-
7
Jurnalisme damai melihat perang atau pertikaian bersenjata sebagai sebuah masalah, sebagai
ironi kemanusiaan yang tidak seharusnya terjadi. Dalam konteks ini, jurnalisme damai pada
dasarnya adalah seruan kepada semua pihak agar memikirkan hikmah konflik. Yaitu dengan
senantiasa menggarisbawahi kerusakan dan kerugian psikologis, budaya dan struktur dari
kelompok masyarakat yang menjadi korban konflik atau perang.
Jurnalisme damai lebih mementingkan empati kepada korban-korban konflik daripada liputan
kontinyu tentang jalannya konflik itu sendiri. Jurnalisme damai memberikan porsi yang sama
kepada semua versi yang muncul dalam wacana konflik.
Jurnalisme damai juga berusaha mengungkapkan ketidakbenaran di kedua belah pihak,
bahkan kalau perlu menyebutkan nama pelaku kejahatan (evil doers) di kedua belah pihak
(Pantau, edisi 09, 2000:47).
Dalam jurnalisme damai wartawan bertindak memetakan masalah, menganalisa konflik dan
mengungkapkan akar persoalan. Wartawan tidak memvonis siapa yang kalah dan menang.
Namun, menyelesaikan konflik secara damai, dengan menempatkan kepentingan masyarakat
luas, di atas kepentingan kelompok dan golongaan tertentu.
Kelemahan Jurnalisme Damai
Meski baisanya mengaku segmentasi pembaca yang dituju untuk minim dan menggarap media
dengan prinsip jurnalisme yang profesional, pemberitaannya sering kali membela kelompok
tertentu.
Tidak adanya koordinasi dan rapat redaksi bersama membuat media tidak mampu membuat
perencanaan yang lebih baik, berperanan positif mengeliminasi atau mengurangi konflik.
Pada prinsipnya media berpotensi untuk menjadi solusi atau sebaliknya dari sebuah konflik
atau kekerasan. Sering kali saat berhadapan dengan fakta sosial berupa konflik, media dan
para pengelolanya, yaitu wartawan, redaktur, dan pemodal lebih suka menggunakan
pendekatan jurnalisme kekerasan (violence journalism) agar lebih laku dijual untuk
kepentingan industri medianya. Dan memang pada kenyataannya pengguna menjadi tertarik
membeli yang akhirnya tergiring larut dalam suasana dan bahasa yang dibentuk oleh media
sebagai opininya, yang nantinya menjadi dasar proses penentuan sikap, perilaku, atau respons
masyarakat terhadap berbagai hal, termasuk konflik dam kekerasan dan dapat menjadikan
masyarakat yang sakit, pemarah, pendendam, senang bertikai, senang gosip/isu dan tidak cinta
damai.
Kualitas jurnalis dalam meliput konflik tidak langsung sehingga berpengaruh pada kualitas
penyampaian. Peristiwa di lapangan tidak dilihat secara tajam. Ini memengaruhi efek dan
pemberitaan.
-
8
Arahan untuk Peliputan
Dari sejumlah kuliah tentang jurnalisme damai, yang pernah diberikan oleh Johan Galtung, pakar
studi perdamaian, dapat disusun sejumlah arahan untuk peliputan media. Berikut ini adalah daftar
singkat pertanyaan, yang perlu dijawab oleh jurnalis yang ingin menerapkan jurnalisme damai:
1. Konflik ini sebetulnya konflik tentang apa? Siapa saja pihak yang terlibat, dan apa tujuan
mereka sebenarnya? Hitunglah pihak-pihak di luar arena konflik, di mana kekerasan (jika
ada) terjadi! Daftar ini seringkali cukup panjang.
2. Apa akar yang lebih dalam dari konflik ini, dalam struktur dan budaya, termasuk sejarah dari
keduanya?
3. Gagasangagasan apa saja yang ada tentang hasil-hasil lain dari konflik ini, ketimbang yang
dipaksakan oleh satu pihak terhadap yang lain? Khususnya, ide-ide baru dan kreatif?
Dapatkah ide-ide itu diperkuat untuk mencegah kekerasan?
4. Jika kekerasan terjadi, bagaimana dengan dampak-dampak yang tak terlihat, seperti trauma
dan kebencian, dan hasrat untuk pembalasan serta lebih banyak kejayaan?
5. Siapa yang berupaya untuk mencegah kekerasan, apa visi mereka tentang hasil konflik, serta
metode-metode mereka dalam upaya tersebut? Bagaimana upaya mereka itu dapat
didukung?
6. Siapa yang memprakarsai rekonstruksi, rekonsiliasi dan resolusi? Dan siapa yang hanya
meraup keuntungan (seperti kontrak-kontrak rekonstruksi)?
Jika pendekatan seperti ini dilakukan, besar kemungkinan konflik yang terjadi di lapangan akan
mereda dan memasuki tahap yang lebih tenang. Fokus pada kekerasan salah satu pihak saja hanya
akan menyembunyikan konflik sebenarnya, dan menanam bibit bagi lebih banyak kekerasan.
Fokus pada hasil-hasil tanpakekerasan, empati pada semua pihak, dan kreativitas, diharapkan akan
mewujudkan perdamaian.
Peran Jurnalis dalam Jurnalisme Damai
Sempat muncul pertanyaan, sejauh mana jurnalis berperan dalam jurnalisme damai? Apakah
jurnalis hanya berperan dalam hal pemberitaan atau ia juga bisa berperan lebih, sampai menjadi
seorang mediator dalam konflik?
Peran jurnalis dalam jurnalisme damai hanyalah melalui karyanya (pemberitaan). Bila ada perang
antara dua pihak, sebagai jurnalis kita memberikan kontribusi ke arah perdamaian dengan cara
memberitakan hal-hal yang mendukung ke arah perdamaian. Bila kita terlibat sebagai mediator,
atau sebagai juru runding, kita bukan lagi seorang jurnalis tetapi pihak yang terlibat dalam konflik.
Meskipun menjadi mediator itu bisa dibilang terlibat dalam arti positif, peran mediator itu
bukanlah porsi untuk jurnalis.
Bagaimana perspektif jurnalisme damai terhadap media, yang cukup sering menampilkan gambar-
gambar yang vulgar atau kurang pantas dalam suatu peliputan konflik? Sebenarnya untuk jurnalis
sudah ada pedoman-pedoman perilaku bagaimana kita melakukan peliputan. Pedoman semacam
itu untuk jurnalis media siar sudah ada dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Dalam Kode Etik
Jurnalistik AJI (Aliansi Jurnalis Independen), PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), atau IJTI (Ikatan
Jurnalis Televisi Indonesia) juga ada. Dan kemudian dari media massa yang bersangkutan, juga ada
ketentuan-ketentuan dari pimpinan news tentang bagaimana jurnalis harus meliput.
-
9
Sebetulnya, bila setiap jurnalis mengikuti aturan-aturan tersebut, relatif tidak ada masalah. Cuma,
di Indonesia, ada iklim kompetisi yang sangat ketat antar berbagai media massa. Sehingga, karena
terlalu bersemangat dalam memenangkan kompetisi ketat tersebut, ada media tertentu yang
melanggar rambu-rambu.
Adapun pertimbangan-pertimbangan teknis. Karena kerjanya terburu-buru, kemudian ada gambar
di media TV yang seharusnya di-blur, tetapi malah jadi lolos, ditayangkan tanpa di-blur. Tetapi itu
semua kembali berpulang pada jurnalis atau produser yang menangani liputan itu. Jika mereka
menjalankan tugas secara cermat dan hati-hati, seharusnya hal-hal menyimpang semacam itu bisa
dihindari.
Contoh Kasus
Pers tetap pada perannya sebagai provokator, tapi bukan provokator meningkatkan ekskalasi
konflik, tapi memprovokasi pihak-pihak yang bersengketa untuk menemukan jalan keluar. Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, pemberitaan yang ditampilkan bukan semata-mata siapa yang
menang atau kalah, tapi lebih pada pendekatan menang-menang (win-win solution) dan memberi
ruang yang lebih banyak kepada kedua belah pihak untuk berdamai.
Dalam kasus Temanggung (seperti yang dilansir dari nasional.news.viva.co.id) pada Selasa 8
Februari 2011, Tiga gereja dirusak massa lantaran mereka dihalangi polisi menghadiri sidang yang
mengadili Antonius Richmond Bawengan, seorang Kristen Protestan yang didakwa melakukan
penodaan agama. Kasus yang menjerat Antonius ini, bermula sekitar setahun sebelumnya, yaitu di
tahun 2010. Saat itu, Antonius yang memegang KTP Jakarta, datang ke Temanggung untuk
mengunjungi rumah sanak saudaranya. Di Temanggung, dia malah terjerat hukum karena
menyebarkan pamflet-pamflet dan buku yang isinya memprovokasi sekaligus melecehkan agama
Katolik maupun Islam.Salah satu isinya, dia menyebarkan pamflet anti Bunda Maria. Itu kan
pengingkaran iman Katolik seutuhnya.
Salam meliput kasus ini, pers Indonesia menempatkan kerusuhkan itu dalam bingkai yang lebih
luas dan akurat yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahan-perubahan yang
terjadi. Meskipun dalam kasus SARA seperti itu, ada informasi yang sengaja disembunyikan
untuk menghindarkan konflik yang lebih luas. Pers menempuh jalan kebijaksanaan untuk tidak
menyebut asal usul konflik itu secara terbuka dengan misi yang bagus, konflik tidak sampai
meluas. Dalam running news berita kerusuhan itu justru mulai ditawarkan alternatif untuk
menyelesaikan konflik itu secara adil.
Contoh lainnya adalah ketika sebuah surat katindakan kekera. dar di Aceh pernah memberitakan
peristiwa penyerangan terhadap sebuah masjid. Dalam berita itu, media tersebut tidak
mengungkapkan secara detail tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan karena dapat menyulut
kemarahan masyarakat. Dalam hal ini, jurnalisme damai bukan menyembunyikan fakta, tetapi
memilih fakta yang lebih bijaksana. Tujuannya agar tidak terjadi perpecahan maupun konflik baru.
-
10
Kesimpulan
Dalam upaya mengeliminir pemberitaan yang cenderung lebih mengedepankan pemberitaan
kekerasan konflik, dan kerusuhan SARA, tampaknya jurnalisme damai merupakan solusi yang perlu
diterapkan insan-insan media dalam mencegahmeminimalisirpotensi konflik dan
memperbesar ruang bagi potensi integrasi bangsa (nation and character building).
Jurnalisme Damai adalah penerapan jurnalisme dalam berita yang menggunakan ukuran-ukuran
etis, seperti memisahkan antara fakta dan opini media, menerapkan azas impartialitas atau tidak
memihak, memberitakan dengan tidak menonjol-nonjolkan kekerasan itu sendiri melalui ukuran
dan penempatan yang "berlebihan", serta tidak menggunakan istilah atau bahasa yang mendorong
permusuhan. Kemudian memberikan kesempatan suara pada voiceless, bukan suara para elite
yang bertikai. Lebih berorientasi pada korban yang tidak tampak, yang bersifat jangka panjang.
Pemberitaannya cenderung lengkap, melakukan mapping terhadap persoalan, mencari akar
permasalahan, dan solusi, bukan pemberitaan justru terkonsentrasi pada arena konflik.
Kritik dan Saran
Untuk penerapan jurnalistik damai setidaknya media massa nasional mengedepankan unsur-unsur
sebagai berikut:
a. Tidak mencampurkan antara fakta dan opini yang berasal dari wartawan, yang diindikasi
dengan kata-kata: tampaknya, diperkirakan, seakan-akan, terkesan, kesannya, seolah, agaknya,
diramalkan, kontroversi, mengejutkan, manuver, sayangnya, dan kata-kata opinionatif lainnya.
b. Adanya keseimbangan pemberitaan (cover both side), artinya ketidakberpihakan pemberitaan.
c. Tidak membesar-besarkan berita (konflik), ditempatkan sebagai berita utama (exagerrate).
d. Tidak menggunakan bahasa yang bersifat puffery (kekerasan)
e. Menggunakan konsep "giving voice to the voiceless" (memberikan kesempatan bicara pada
mereka yang tidak bersuara).
f. Berita yang disampaikan lebih memperhatikan akibat (implikasi) yang ditimbulkan oleh
pertikaian.
g. Beritanya berorientasi lebih banyak pada arena konflik, yaitu hanya meliput konfliknya saja,
dan deskripsi di daerah pertikaian. Pemberitanya lebih diarahkan sebagai persoalan yang tidak
sederhana, melakukan mapping, mencari atau melihat latar belakang masalah, problem-
problem kultural dan politik yang mendasari, serta diharapkan dapat memberi alternatif solusi.
-
11
Daftar Pustaka
Rahmawati, evi. Tantowi anwari. 2013. Jurnalisme Keberagaman, Sebuah Panduan Peliputan.
Jakarta. Sejuk pers dan Hivos.
Arismunandar, Satrio,. 2011, Jurnalisme Damai (Peace Journalism),
http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2011/04/jurnalisme-damai-peace-journalism-
oleh.html, diakses pada Rabu, 3 September 2014 pukul 06.20 WIB.
http://mobile.lintasgayo.co/2014/01/20/perbedaan-jurnalisme-damai-dengan-jurnalisme-perang,
diakses pada Sabtu, 6 September 2014 pukul 20.35 WIB
http://husnun.wordpress.com/2011/03/01/sby-dan-jurnalisme-damai/, diakses pada Sabtu, 6
September 2014 pukul 20.40 WIB
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/203558-antonius-dan-perusakan-gereja-di-
temanggung, diakses pada Senin, 8 September 2014 pukul 16.00 WIB
Lynch, Jake. 2008, What is Peace Journalism?,
www.internationalpeaceandconflict.org/forum/topics/article diakses pada Senin, 8
September 2014 pukul 08.00 WIB
Majalah Pantau Edisi 09, 2000: p.47
top related