tinjauan pustaka pmd
Post on 08-Feb-2016
160 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
A. Ampas Tahu
1. Pengertian Ampas Tahu
Ampas tahu merupakan limbah dari pembuatan tahu dengan bahan
utamanya kacang kedele (Glycine max Merr). Proses pembuatan tahu meliputi
tahap perendaman kedelai, penggilingan, pendidihan bubur kedele, penyaringan
atau pemerasan, penggumpalan sari kedelai dan pengempresan. Pada proses
pembuatan tahu diperoleh limbah yaitu ampas tahu yang berupa padatan putih
(Prabowo, 1983).
Menurut Suhartini (2005) ampas tahu merupakan limbah dalam proses
pembuatan tahu yang berbentuk padat dan diperoleh dari bubur kedelai yang
diperas. Di dalam ampas tahu masih terdapat kandungan protein yang relative
tinggi. Hal itu disebabkan pada proses pembuatan tahu, tidak semua bagian
protein dapat diekstrak.
Ampas Tahu adalah sisa barang yang telah diambil sarinya atau patinya
atau limbah industri pangan yang telah diambil sarinya melalui proses pengolahan
secara basah seperti ampas kecap,ampas tahu, ampas bir, dan ampas ubi kayu.
Masyarakat kita umumnya ampas tahu tersebut digunakan sebagai pakan ternak
dan sebagian dipakai sebagai bahan dasar pembuataan tempe gembus.
2. Kandungana Zat Gizi Ampas Tahu
Ditinjau dari komposisi kimianya ampas tahu dapat digunakan sebagai
sumber protein. Ampas tahu lebih tinggi kualitasnya dibandingkan dengan kacang
kedelai. Menurut Prabowo dkk (1983) menyatakan bahwa protein ampas tahu
mempunyai nilai biologis lebih tinggi dari pada protein biji kedelai dalam
keadaan mentah, karena bahan ini berasal dari kedelai yang telah dimasak.
Ampas tahu juga mengandung unsur-unsur mineral mikro maupun makro
yaitu untuk mikro; Fe 200-500 ppm, Mn 30-100 ppm, Cu 5-15 ppm, Co kurang
dari 1 ppm, Zn lebih dari 50 ppm. Ampas tahu dalam keadaan segar berkadar air
sekitar 84,5 % dari bobotnya. Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan umur
simpannya pendek. Ampas tahu basah tidak tahan disimpan dan akan cepat
menjadi asam dan busuk selama 2-3 hari, sehingga ternak tidak menyukai lagi.
Ampas tahu kering mengandung air sekitar 10,0 - 15,5 % sehingga umur
simpannya lebih lama dibandingkan dengan ampas tahu segar (Widjatmoko,
1996).
Tabel 1. Komposisi Nutrisi / Kimia Ampas Tahu
Nutrisi Ampas Tahu
Basah (%) Kering (%)
Bahan. Kering
Protein Kasar
Serat. Kasar
Lemak kasar
Abu
BETN
14,69
2,91
3,76
1,39
0,58
6,05
88,35
23,39
19,44
9,96
4,58
30,48
Sumber : Suprapti (2005)
Tahu diproduksi dengan memanfaatkan sifat protein, yaitu akan
menggumpal bila bereaksi dengan asam. Penggumpalan protein oleh asam cuka
akan berlangsung secara cepat dan bersamaan diseluruh bagian cairan sari
kedelai, sehingga sebagian besar air yang semula tercampur dalam sari kedelai
akan terkumpul di
dalamnya. Pengeluaran air yang terkumpul tersebut dapat dilakukan dengan
memberikan tekanan. Semakin besar tekanan yang diberikan, semakin banyak air
dapat dikeluarkan dari gumpalan protein. Gumpalan protein itulah yang disebut
dengan tahu (Suprapti, 2005). Sebagai akibat proses pembuatan tahu, sebagian
protein terbawa atau menjadi produk tahu, sisanya terbagi menjadi dua, yaitu
terbawa dalam limbah padat (ampas tahu) dan limbah cair.
Kandungan gizi dalam kedelai, tahu dan ampas tahu masing-masing dapat
dilihat dalam Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Unsur Gizi dan Kalori dalam Kedelai, Tahu dan Ampas Tahu
No Unsur Gizi Kadar 100 gram bahan
Kedelai Tahu Ampas Tahu
1 Energi (kal) 382 79 393
2 Air (g) 20 84,4 4,9
3 Protein (g) 30,2 7,8 17,4
4 Lemak (g) 15,6 4,6 5,9
5 Karbohidrat (g) 30,1 1,6 67,5
6 Mineral (g) 4,1 1,2 4,3
7 Kalsium (g) 196 124 19
8 Fosfor (g) 506 63 29
9 Zat besi (mg) 6,9 0,8 4
10 Vitamin A (mg) 29 0 0
11 Vitamin B (mg) 0,93 0,06 0,2
Sumber : Suprapti (2005)
3. Keunggulan dan Kelemahan Ampas Tahu
Menurut Nasliniwaty (2001) beberapa keunggulan lain dari ampas tahu,
adalah ampas tahu lebih murah, mudah diperoleh dan memiliki nilai gizi yang
cukup tinggi. Dan kelemahan dari ampas tahu yaitu tidak dapat disimpan lama
dan hanya bertahan sekitar 6 jam. Sedangkan menurut Suhartini (2005)
kelemahan lain ampas tahu yaitu akan terasa pahit/ getir apabila salah dalam
penanganannya. Untuk menghindari hal itu, sebelum diolah menjadi suatu prodak
pangan, ampas tahu terlebih dahulu dikukus atau dijemur (dibuat tepung).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan produk olahan kedelai kurang
disukai. Antara lain aroma langu atau aroma kacang, rasa pahit dan rasa seperti
kapur. Menurut Hartoyo (2005) rasa dan bau itu ditimbulkan oleh kerja enzim
lipogsiginase yang ada dalam biji kedelai. Enzim itu akan bereaksi dengan lemak
pada waktu penggilingan kedelai, terutama jika menggunakan air dingin. Hasil
reaksinya paling sedikit berupa delapan senyawa volatile (mudah menguap)
terutama etil- fenil- keton. Jika dibuat dengan cara yang tidak baik, maka kedelai
masih mengandung senyawa- senyawa anti gizi dan senyawa penyebab off- flavor
yaitu penyimpanan cita rasa dan aroma pada produk olah kedelai berasal dari
bahan bakunya, yaitu kedelai. Senyawa- senyawa anti gizi itu diantaranya
antitripsin, hemaglutinin, asam fitat, dan aligosakarida penyebab flatulensi
(timbulnya gas dalam perut sehingga perut menjadi kembung). Senyawa- senyawa
tersebut membatasi kapasitas protein untuk diserap oleh tubuh tetapi dapat diatasi
dengan proses perendaman, perebusan atau fermentasi. Sehingga aman untuk
dikonsumsi manusia (Astawan, 1991).
4. Macam – Macam Olahan Makanan dari Ampas Tahu
Ampas tahu merupakan hasil samping dari proses pembuatan tahu yang
banyak terdapat di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Oleh karena itu untuk
menghasilkan ampas tahu tidak terlepas dari proses pembuatan tahu. Ampas tahu
yang dihasilkan dari pabrik tahu di Indonesia cukup melimpah, dimana kacang
kedelai yang diimpor oleh Indonesia pada tahun 1999 sebanyak 1.306.253 ton.
Indonesia pada tahun 1999 sebanyak 1.306.253 ton, sedangkan Jawa Barat
sebanyak 85.988 ton. Bila 50% kacang kedelai tersebut digunakan untuk
membuat tahu dan konversi kacang kedelai menjadi ampas tahu sebesar 100-
112%, maka jumlah ampas tahu tercatat 731.501,5 ton secara nasional. Dari
sekian banyak ampas tahu yang dihasilkan belum semuanya terolah dengan baik,
baik sebagai pakan ternak maupun bahan makanan lainnya. Ampas ini biasanya
digunakan oleh beberapa masyarakat pedesaan untuk diolah menjadi bahan
pembuatan tempe gembus. (Anonim, 2000)
Menurut Arief (2003) dalam 100 gr ampas tahu basah mengandung
protein 18,12 gr; lemak 11,25 gr; karbohidrat 26,84 gr; dan air 40,80%. Di dalam
ampas tahu masih terdapat kandungan protein yang relative tinggi. Hal itu
disebabkan pada proses pembuatan tahu, tidak semua bagian protein dapat
diekstrak. maka sangat memungkinkan ampas tahu dapat diolah menjadi bahan
makanan yang beragam variasinya (Suhartini, 2005)
Ampas tahu adalah salah satu limbah yang dapat dimanfaatkan kembali
melalui daur ulang atau dikonversikan keproduk lain yang berguna seperti kecap,
bakso, kerupuk, stik, cookies, abon dan sebagainya yang memiliki nilai jual lebih
tinggi dibanding dengan pemanfaatan ampas tahu sebagai pakan ternak atau
sebagai tempe gembus (menjes) (Suhartini, 2005).
B. Bakso Ampas Tahu
1. Pengertian Bakso
Selama ini pemanfaatnnya ampas tahu sebagai substituent makananan
olahan hanya terbatas sebagai cemilan dalam bentuk “ tempe gembus “ sebagian
lagi digunakan sebagai pakan ternak atau dibuang. Bila dilihat dari nilai gizi
ampas tahu masih mempunyai kandungan protein yang cukup dan kandungan
seratnya juga cukup tinggi. Disebutkan dalam Daftar Komposisi Bahan Makanan,
kandungan zat gizi ampas tahu sebenarnya cukup tinggi yaitu mengandung 26,6
% protein, 18,3 % lemak, 41,3 % karbohidrat dalam 100 gr berat kering.
Kandungan zat gizi ampas tahu yang masih cukup tinggi dan terdapat dalam
jumlah yang banyak memberikan peluang yang sangat besar untuk dimanfaatkan
sebagai substituent dalam pengolahan makanan seperti bakso (Handasari dan
Syamsiyah, 2010).
Bakso merupakan produk olahan daging/ ikan/ tahu/ bahan lain yang telah
dihaluskan, dicampur dengan bumbu- bumbu dan tepung kemudian dibentuk
bulat-bulat dengan diameter 2 – 4 cm atau sesuai dengan selera (Suprapti, 2003).
Bakso merupakan salah satu dari makanan sepinggan yang sangat popular
dan digemari oleh masyarakat. Hal ini tercermin dari banyaknya penjual mie
bakso mulai dari restoran sampai ke warung-warung kecil dan gerobak dorong.
Pada umumnya bakso terbuat dari daging sapi, ayam atau ikan. Tidak semua
orang dapat memperoleh bakso yang berkualitas baik karena bakso yang
berkualitas baik dijual dengan harga yang mahal sehingga hanya konsumen
tingkat ekonomi menengah keatas saja yang mampu mengkonsumsinya. Agar
bakso berkualitas juga dapat dikonsumsi oleh konsumen tingkat ekonomi
menengah kebawah maka harga jual bakso perlu ditekan. Salah satu usaha untuk
menekan harga jual bakso adalah dengan mengganti sebagian daging dengan
bahan lain yang mempunyai kandungan protein tinggi. Bahan lain yang
berpotensi tinggi dari berserat tinggi tetapi mempunyai nilai ekonomi yang
relative rendah adalah ampas tahu (Handasari dan Syamsiyah, 2010).
2. Bahan Tambahan Pembuatan Bakso dari Ampas Tahu
Kualitas bakso ditentukan oleh kualitas bahan- bahan yang digunakan,
serta perbandingan didalam adonan. Bahan-bahan bakso terdiri atas bahan utama
dan bahan tambahan. Faktor lain seperti, pemakaian bahan tambahan dan cara
pemasakan, juga sangat mempengaruhi mutu bakso yang dihasilkan. Pada
pembuatan bakso tidak harus menggunakan campuran tepung tapioca dengan
daging murni, namun penggunaan daging dapat disubstitusikan dengan ampas
tahu, sedangkan bahan tambahan yang digunakan adalah bahan pengisi, garam, es
atau air es, bumbu-bumbu seperti lada serta bahan penyedap (Sunarlim, 1992).
a. Bahan Pengisi
Bahan pengisi dan bahan pengikat diperlukan dalam pembuatan
bakso. Perbedaan antara bahan pengikat dan bahan pengisi terletak pada
fraksi utama dan kemampuannya mengemulsikan lemak. Bahan pengisi
mempunyai kandungan karbohidrat yang lebih tinggi, sedangkan bahan
pengikat mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi. Bahan pengikat
memiliki kemampuan untuk mengikat air dan mengemulsikan lemak
(Kramlich, 1971).
Bahan pengisi yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso
adalah tepung dari pati, seperti tepung tapioca dan tepung sagu. Tepung
dari pati dapat meningkatkan daya mengikat air karena memiliki
kemampuan menahan air selama proses pengolahan dan pemanasan
(Tarwotjo et al., 1971). Menurut Forrest et al. (1975), penambahan bahan
pengisi dimaksudkan untuk mereduksi penyusutan selama pemasakan,
memperbaiki stabilitas emulsi, meningkatkan cita rasa, memperbaiki sifat
irisan dan mengurangi biaya produksi. SNI 01-3818-1995 menetapkan
penggunaan bahan pengisi dalam pembuatan bakso maksimum 50% dari
berat daging yang digunakan.
b. Garam Dapur (NaCl)
Sunarlim (1992) menyatakan bahwa hasil olahan daging biasanya
mengandung 2-3% garam. Aberle et al. (2000) menambahkan bahwa
garam yang ditambahkan pada daging yang digiling akan meningkatkan
protein myofibril yang terekstraksi. Protein ini memiliki perasaan penting
sebagai pengemulsi. Fungsi garam adalah menambahakan atau
meningkatkan rasa dan memperpanjang umur simpan produk.
c. Es atau Air Es
Peningkatan suhu selama proses pelumatan daging akan
mencairkan es, sehingga suhu daging atau adonan dapat dipertahankan.
Selain itu, penambahan es atau air juga penting untuk menjaga
kelembaban produk akhir agar tidak kering, meningkatkan sari minyak
(juiceness) dan keempukan daging (Forrest et al., 1975). Jumlah es yang
ditambahkan ke dalam adonan akan mempengaruhi kadar air, daya
mengikat air, kekenyalan dan kekompakan bakso (Indarmono, 1987). Oleh
sebab itu, penggunaan es atau air es harus dibatasi.
Salah satu tujuan penambahan air dan es pada produk emulsi
daging adalah menurunkan panas produk yang dihasilkan akibat gesekan
selama penggilingan, melarutkan dan mendistribusikan garam ke seluruh
bagian massa daging secara merata, mempermudah ekstraksi proterin otot,
membantu proses pembentukan emulsi, dan mempertahankan suhu adonan
agar tetap rendah. Jika panas ini berlebih maka emulsi akan pecah, karena
panas yang terlalu tinggi mengakibatkan terjadinya denaturasi protein.
Akibatnya produk tidak akan bersatu selama pemasakan (Aberle et al.,
2001).
d. Bumbu
Menurut Forrest et al. (1975), penambahan bumbu dalam
pembuatan produk daging dimaksudkan untuk mengembangkan rasa dan
aroma serta memperpanjang umur simpan produk. Merica dan bawang
putih sering digunakan dalam beberapa resep produk daging olahan seperti
sosis, bakso dan lain sebagainya. Tujuan utama penambahan bumbu
adalah untuk meningkatkan citarasa produk yang dihasilkan dan sebagai
bahan pengawet alami (Schmidt, 1988). Selain itu, bumbu juga
mempunyai pengaruh pengawetan terhadap produk daging olahan karena
pada umumnya bumbu mengandung zat yang bersifat bakteristatik dan
antioksidan (Soeparno, 1998).
Merica adalah buah dari tanaman Piper nigrum L. dan memiliki
rasa yang sangat pedas (Pungent) dan berbau (aromatic). Rasa pedas
dihasilkan oleh zat piperin dan aroma sedap dihasilkan oleh terpen. Merica
mengandung minyak essensial 1% - 2,7%. Bawang putih adalah umbi dari
tanaman allium Sativum L. dan memiliki rasa pedas (Pungent). Bawang
putih mengandung sekitar 0,1% - 0,25% zat volatile, yaitu alil sulfide yang
terbentuk secara enzimatik ketika butiran umbi bawang putih dihancurkan
atau dipecah. Di dalam bawang putih juga terdapat S-(2-propenil)-L-
cistein sulfoksida yang merupakan prekursor utama dalam pembentukan
alil thiosulfat (allicin) (Reinnenccius, 1994).
3. Manfaat Pembuatan Bakso dari Ampas Tahu
Penggunaan ampas tahu sebagai bahan pembuatan bakso sangat
menguntungkan, hal ini di sebabkan karena dapat mengurangi dampak dari
pencemaran lingkungan yang dihasilkan dari ampas tahu yaitu aromanya yang
tidak sedap, selain itu ampas tahu mudah didapat, memiliki harga yang relative
murah dan yang terpenting pada ampas tahu masih terdapat kandungan zat gizi
yang cukup baik, khususnya protein. Menurut Nasliniwaty (2001) ampas tahu
juga memiliki kelemahan yaitu tidak dapat disimpan lama dan hanya bertahan
sekitar 6 jam dalam keadaan basah.
Substitusi ampas tahu pada pembuatan bakso daging sapi ditujukan untuk
menekan harga jual bakso dan meningkatkan nilai guna ampas tahu sehingga
limbah tahu dapat dimanfaatkan secara maksimal, selain itu substitusi ampas tahu
ditujukan untuk memanfaatkan kandungan protein yang masih tersimpan
didalamnya. Sehingga bakso memiliki harga yang relatif murah namun tetap
memilki kandungan protein yang cukup bahkan lebih tinggi. Menurut Arief
(2003) ampas tahu basah mengandung zat gizi yang cukup banyak yaitu protein
18,12 gr%; lemak 11,25 gr; karbohidrat 26,84 gr; air 40,18 %. dan menurut
DKBM pada 100 gr daging sapi segar mengandung 18,80 gr protein; lemak 14,00
gr; energi 207,00 kal; air 68 %.
C. Abon Ampas Tahu
1. Pengertian Abon
Industri tahu yang menghasilkan limbah merupakan salah satu sumber
pencemaran udara berupa bau busuk dan pencemaran sungai yang ada di
sekitar pabrik.Limbah yang dihasilkan pabrik tahu berupa kulit kedelai,
ampas dan air tahu masih dapat dimanfaatkan menjadi produk-produk yang
bermanfaat. Pada proses pengolahan tahu akan dihasilkan limbah berupa ampas
tahu yang apabila tidak segera ditangani, dapat menimbulkan bau tidak sedap.
Ampas tahu masih mengandung zat gizi yang tinggi yaitu protein (26.6%), lemak
(18.3%), karbohidrat (41.3%), fosfor (0.29%), kalsium (0.19%), besi (0.04%) dan
air (0.09%) (Daftar Komposisi Bahan Makanan, 1992). Oleh karena itu masih
memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan dasar atau campuran pada
proses pengolahan pada poduk tertentu (Ridayanti, dkk., 2010)
Pada tahun 1990 ditemukan cara pemanfaatan limbah cair tahu
menjadi nata de soya yang jika dilakukan bersama-sama oleh pengusaha tahu
dapat mengurangi pencemaran sungai akibat pembuangan limbah cair tahu di
sekitar pabrik. Ampas tahu dapat diolah menjadi produk makanan, salah satu
alternatifnya adalah dibuat abon ampas tahu.
Abon merupakan salah satu jenis makanan awetan berasal dari daging
(sapi, kerbau, ikan laut) yang disuwir-suwir dengan berbentuk serabut atau
dipisahkan dari seratnya. Kemudian ditambahkan dengan bumbu-bumbu
selanjutnya digoreng. Dalam SNI 01-3707-1995 disebutkan abon adalah suatu
jenis makanan kering berbentuk khas, dibuat dari daging, direbus disayat-sayat,
dibumbui, digoreng dan dipres.
Abon sebenarnya merupakan produk daging awet yang sudah lama
dikenal masyarakat. Data BPS (1993) dalam Sianturi (2000) menunjukan bahwa
abon merupakan produk nomor empat terbanyak diproduksi. Abon termasuk
makanan ringan atau lauk yang siap saji. Produk tersebut sudah dikenal oleh
masyarakat umum sejak dulu.
Abon merupakan salah satu bentuk diversifikasi makanan berbahan baku
ampas tahu. Abon adalah produk hasil olahan dengan menggunakan tehnik
pengeringan untuk menghilangkan air yang terdapat dalam bahan sehingga
produk menjadi renyah. Pembuatan abon adalah salah satu cara dalam
berbagai macam tehnik yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomi
ampas tahu. Produk yang dihasilkan ini diharapkan memiliki kandungan gizi
yang tinggi dengan umur simpan yang lama. Abon memiliki umur simpan yang
relatif lama, karena berbentuk kering. Dengan cara pengolahan yang baik,
abon dapat disimpan berbulan-bulan tanpa mengalami banyak penurunan mutu.
Pada dasarnya masyarakat lebih menyukai produk pangan yang siap
dikonsumsi dan bergizi tinggi. Abon dapat dijadikan pilihan sebagai makanan
yang siap dikonsumsi karena abon bisa disajikan sebagai lauk, bahan isi utama
dalam pangan tradisional atau hanya sebagai taburan dalam berbagai produk
pangan atau menu makanan. Abon sebagai salah satu bentuk produk olahan
kering sudah dikenal masyarakat luas karena harganya cukup terjangkau dan
rasanya lezat (Ridayanti, dkk., 2010).
2. Bahan Tambahan Pembuatan Abon dari Ampas Tahu
Abon sebagai salah satu produk industri pangan yang memiliki standar
mutu yang telah ditetapkan oleh Departemen Perindustrian. Penetapan standar
mutu merupakan acuan bahwa suatu produk tersebut memiliki kualitas yang baik
dan aman bagi konsumen. Para produsen abon disarankan membuat produk abon
dengan memenuhi Standar Industri Indonesia (SII). Standar SII dapat dilihat pada
tabel 3.
Tabel 3. Standar Industri Indonesia untuk Abon No 0368-80,0368-85
Komponen NilaiLemak (maksimum) 30%Gula (maksimum) 30%Protein 20%Air (maksimum) 10%Abu (maksimum) 9%Aroma, warna dan rasa KhasLogam berbahaya (Cu, Pb, Mg, Zn dan As) NegatifJumlah bakteri (maksimum) 3000/gBakteri bentuk koli NegatifJamur Negatif
Sumber : Standar Industri Indonesia
Faktor-faktor yang mempengaruhi standar mutu abon antara lain :
a. Kadar air – berpengaruh terhadap daya simpan dan keawetan abon.
b. Kadar abu – menurunkan derajat penerimaan dari konsumen.
c. Kadar protein – sebagai petunjuk beberapa jumlah daging/ikan yang
digunakan untuk abon.
d. Kadar lemak – berhubungan dengan bahan baku yang digunakan, ada
tidaknya menggunakan minyak goreng dalam penggorengan.
Menurut Suryani (2007), bahan utama pembuatan abon adalah daging atau
ikan, namun sejalan dengan mahalnya harga daging maka pembuatan abon bisa
disubtitusikan dengan menggunakan ampas tahu. Selain itu, ada beberapa bumbu
tambahan yang sering digunakan dalam pembuatan abon ikan adalah santan
kelapa, rempah-rempah (bumbu), gula, garam, minyak goreng.
a. Santan kelapa
Santan kelapa merupakan emulsi lemak dalam air yang terkandung
dalam kelapa yang berwarna putih yang diperoleh dari daging buah
kelapa. Kepekatan santan kelapa yang diperoleh tergantung pada tua atau
muda kelapa yang akan digunakan dan jumlah dalam pembuatan air yang
ditambahkan.
Penambahan santan kelapa akan menambah cita rasa dan nilai gizi
suatu produk yang akan dihasilkan oleh abon. Santan akan menambah rasa
gurih karena kandungan lemaknya yang tinggi. Berdasarkan hasil
penelitian abon yang dimasak dengan menggunakan santan kelapa akan
lebih gurih rasanya dibandingkan abon yang dimasak tidak menggunakan
santan kelapa.
b. Rempah-rempah
Rempah-rempah (bumbu) yang ditambahkan pada pembuatan abon
bertujuan memberikan rasa dan aroma yang dapat membangkitkan selera
makan. Jenis rempah-rempah yang digunakan dalam pembuatan abon
adalah bawang merah, bawang putih, kemiri, sereh dan daun salam.
Manfaat lain penggunaan rempah-rempah adalah sebagai pengawet
dikarenakan beberapa rempah-rempah dapat membunuh bakteri.
c. Gula dan garam
Penggunaan gula dan garam dalam pembuatan abon bertujuan
menambah cita rasa dan memperbaiki tekstur suatu produk abon. Pada
pembuatan abon, gula mengalami reaksi millard. Sehingga menimbulkan
warna kecoklatan yang dapat menambah daya tarik suatu produk abon dan
memberikan rasa manis.
Garam dapur (NaCl) merupakan bahan tambahan yang hampir
selalu digunakan untuk membuat suatu masakan. Rasa asin yang
ditimbulkan oleh garam dapur berfungsi sebagai penguat rasa yang
lainnya. Garam dapat berfungsi sebagai pengawet karena berbagai
mikroba pembusuk, khususnya yang bersifat proteolitik sangat peka
terhadap kadar garam.
d. Minyak goreng
Fungsi minyak goreng dalam pembuatan abon adalah sebagai
pengantar panas, penambah rasa gurih dan penambah nilai gizi, khususnya
kalori yang ada dalam bahan pangan.
3. Manfaat Pembuatan Abon dari Ampas Tahu
Abon adalah produk hasil olahan dengan menggunakan tehnik
pengeringan untuk menghilangkan air yang terdapat dalam bahan sehingga
produk menjadi renyah. Pembuatan abon adalah salah satu cara dalam
berbagai macam tehnik yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomi
ampas tahu. Produk yang dihasilkan ini diharapkan memiliki kandungan gizi
yang tinggi dengan umur simpan yang lama. Abon memiliki umur simpan yang
relatif lama, karena berbentuk kering. Dengan cara pengolahan yang baik,
abon dapat disimpan berbulan-bulan tanpa mengalami banyak penurunan mutu.
DAFTAR PUSTAKA
Aberle, H. B. Forrest, J. C., E. D. Hendrick., M. D. Judge dan R. A. Merkel. 2000. Principle of
Meat Science. 4th Edit. Kendal/Hunt Publishing, Iowa.
Astawan, M dan M.W. Astawan, 1991. Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna.
Akademi Pressido, Jakarta.
Direktorat Gizi Depkes, RI. 2000. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta. Bharata
Forrest, J. G., E. D. Alberle., H. B. Hendrick., M. D. Judge dan R. A. Merkel. 1975. Principles of
Meat Science. W. H. Freeman, San Fansisco.
Handarsari, Erma., Syamsiyanah, Agustin. 2010. Analisis Kadar Zat Gizi, Uji Cemaran Logam
Dan Organoleptik Pada Bakso Dengan Substituen Ampas Tahu. Prosding Seminar
Nasional UNIMUS 2010. ISBN : 978.979.704.883.9
Hartoyo, T., 2005. Susu kedelai dan aplikasi olahannya. Trubus Agrisarana, Surabaya
Indarmono, T. P. 1987. Pengaruh lama pelayuan dan jenis daging karkas serta jumlah es yang
ditambahkan ke dalam adonan fisikokimia bakso sapi. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kramlich, W. E., A. M. Pearson dan F. W. Tauber. 1973. Processed Meat. The AVI Publishing,
Connecticut.
Reinnencius, G. 1994. Source Book of Flavours. 2nd Edition. Chapman and Hall, New York.
Ridayanti., Patmawati, Ai., Lisnawati, Elin. 2010. Pembuatan Abon Ampas Tahu Sebagai
Upaya Pemanfaatan Limbah Industri Pangan.PKMP-1-16-1. PS Teknologi Pangan dan
Gizi, Teknologi Pertanian, Universitas Djuanda, Bogor
Schmidt, G. R. 1988. Processing. Dalam: Cross, H. R. and A. J. Oberby. (Eds). Meat Science,
Milk Science and Technology. Elsevier Science Publishers, New York.
Sianturi, R. 2000. Kandungan Gizi dan Uji Palatabilitas Abon Daging Sapi dengan Kacang
Tanah (Arachis hypogeae L) Sebagai Bahan Pencampur. Skripsi Sarjana Jurusan Ilmu
Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.
Standar Industri Indonesia untuk Abon No 0368-80,0368-85
Sunarlim, R. 1992. Karakteristik mutu bakso daging sapi dan pengaruh penambahan natrium
klorida dan natrium tripolifosfat terhadap perbaikan mutu. Disertasi. Program Pasca
Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Suryani, A, Erliza Hambali, Encep Hidayat. 2007. Membuat Aneka Abon. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Suprapti, Lies. 2005. Tepung Tapioka Pembuatan dan Pemanfaatannya. Yogyakarta : Penerbit
Kanisius.
Suprapti, L. 2003. Pembuatan Tempe. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Tarwotjo, I. S., Hartini, S., Soekirman & Sumartono. 1971. Komposisi Tiga Jenis Bakso di
Jakarta. Akademi Gizi, Jakarta.
top related