sukma unpam
Post on 02-Oct-2021
14 Views
Preview:
TRANSCRIPT
SUKMA-UNPAM Suara Kebangkitan Mahasiswa Universitas Pamulang
Majalah Mingguan Mahasiswa UNPAM
Wacana
1. MENYOAL RADIKALISME; PEMAKNAAN DAN
DISTORSI (dam Alfian) ....................... 2
2. Menyikapi Radikalisme sebagai Tantangan Pemerintah Dan Maha-siswa (Ayyub Kadriah SH.MH.) .... 3
3. RADIKALISME DAN NARASI KEGELI-SAHAN ( Cendikia Ayu Sriwulan ) ...4
4. Radikalisme dalam Sudut Pandang Mahasiswa (Muh.Rayhansyah) ... 5
5. Gerak Mahasiswa Dalam isu Radilkalisme (Rezan Nahri) ......... 6
“Peran Mahasiswa Dalam Menyikapi Isu Radikalisme”
Oleh : Paturahman Fikri (Duta Wacana Kantin Berdiskusi )
Pengertian Radikalisme Istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin radix yang be-
rarti akar, pangkal, bagian bawah, atau bisa juga berarti menyeluruh, habis-habisan dan amat keras untuk menuntut perubahan. (Muslih, 2015: 9) Dalam bahasa Inggris, kata radikal memiliki makna ekstrem, menyeluruh fanatik, revolusioner, fundamental. Se-dangkan radikalisme adalah doktrin atau praktek yang mengenut paham radikal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme berarti “(1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaha-ruan sosial dengna cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik. Dalam Kamus Politik, yang dimaksud radikal adalah orang yang ingin membawa ide-ide politiknya ke akar-akarnya, dan mempertegas dengan cara yang sempurna doktrin-doktrin yang dihasilkan oleh usaha tersebut.
Berkaitan erat dengan kata radikal sendiri, ada beberapa istilah mengemuka yang
seakar dengan kata radikal. Beberapa istilah tersebut di antaranya adalah radikalisme, radikalisasi, dan deradikalisasi. Abu Rokhmad (2014), mengutip pendapat KH. Hasyim Muzadi (Ketua PBNU dan pengasuh pesantren al-Hikam Malang), membedakan antara radikal, radikalisme, dan radikalisasi. Dalam kutipannya, Rokhmad menjelaskan bahwa seseorang berfikir radikal (maksudnya berfikir mendalam, sampai ke akar-akarnya) boleh-boleh saja, dan memang berfikir sudah seharusnya seperti itu. Rokhmad mencontohkan, misalnya, berkaitan dengan permasalahan bangsa Indonesia yang semakin runyam, baik dalam persoalan ekonomi, social, politik dan sebagainya. Atas berbagai persoalan itu, lahir suatu pandangan yang menginginkan sistem pemerintahan Islam ditegakkan di Indonesia sebagai solusinya. Sedang radikalisme adalah radikal dalam paham atau ismenya. Maksud-nya ialah radikal yang sudah menjadi ideologi dan madzhab pemikiran. Sedangkan yang dimaksud radikalisasi, ialah seseorang yang tumbuh menjadi reaktif ketika terjadi ketid-akadilan di masyarakat.
Volume 1
Radikalisme dalam arus makna indonesia
Di Indonesia, penggunaan kata “radikal/
radikalisme/radikalisasi” telah muncul
sejak zaman pergerakan Nasionalisme
(1908-1945) tokohtokoh pergerakan
nasional menamai diri mereka sebagai
“kaum radikal” yang menentang dan
tidak berkompromi dengan kolonial-
isme, semisal tokoh-tokoh kunci perge-
rakan nasional seperti Tjipto Mangun
Kusumo, Ernest Douwes Dekker, Sukar-
no, Suwardi Surya Ningrat, dan Tan
Malaka digolongkan sebagai nasionalis-
radikal.
media arus utama melulu melekatkan
kata “radikalisme” bagi para pelaku,
bunyi redaksinya seperti ini kira-kira
“pelaku diduga memiliki paham
radikalisme” atau “pelaku diduga ter-
jangkit paham radikalisme”. Mengapa
tidak memberikan sematan kata
“sektarian” bagi tindak terorisme ?
Di Indonesia, penggunaan kata “radikal/radikalisme/radikalisasi” telah muncul sejak zaman pergerakan Nasion-
alisme (1908-1945) tokohtokoh pergerakan nasional menamai diri mereka sebagai “kaum radikal” yang
menentang dan tidak berkompromi dengan kolonialisme, semisal tokoh-tokoh kunci pergerakan nasional
seperti Tjipto Mangun Kusumo, Ernest Douwes Dekker, Sukarno, Suwardi Surya Ningrat, dan Tan Malaka digo-
longkan sebagai nasionalis-radikal.
Gagasan nasionalis-radikal ini juga mengilhami lahirnya Indische Partij yang pada zamannya merupakan partai
progresif dan revolusioner, sebab menentang pengkotak-kotakan etnis yang dilakukan oleh kolonial, sehingga
menghambat persatuan, Indische Partij juga turut mendobrak cara pandang yang sempit tentang persatuan,
penindasan dan jebakan-jebakan kolonial lainnya.
Pelabelan cap radikal ini juga turut digunakan oleh kolonial bagi mereka-mereka yang menentangnya, jadi
terdapat dua pandangan tentang pemaknaan radikal, bagi kolonial radikal adalah orang-orang yang menentang
dan mengganggu kekuasaan. Sedangkan bagi pergerakan nasional, radikal adalah sebagai cara berpikir yang
maju dan mendasar serta anti penindasan. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata “radikal” memiliki
tiga pengertian. Pertama, secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); kedua, amat keras menuntut
perubahan; dan ketiga, maju dalam berpikir atau bertindak. Nah lalu dimana poin negatif dari arti kata radikal ?
sehinggal seringkali kita mendengar “menolak radikalisme dan anti radikalisme” ? penggunaan imbuhan “isme”
dalam sebuah kata berarti menjadi sebuah paham/ajaran, lagi-lagi pertanyaannya dimana arti negatif dalam
istilah radikalisme ? mari simak sedikit lagi analisis dari penulis
Sejalan dengan Foucault yang mengatakan bahwa kekuasaan juga memproduksi, mendistribusi, dan
menghegemoni pengetahuan sehingga pemberian label benar atau salah, baik atau buruk, positif atau
negatif— seakan-akan hanya dapat dinyatakan oleh kekuasaan, sebagian dari kita di era sekarang ini sering
mendengar istlah “media arus utama”, itulah distributor pengetahuan yang paling ampuh, jika media arus
utama sudah menyebarkan informasi, maka seolah-olah itu paling benar adanya. Contoh lain semisal, ketika
kekuasaan memberitakan tentang penangkapan teroris atau kelompok-kelompok lain yang dianggap sebagai
ancaman, media arus utama melulu melekatkan kata “radikalisme” bagi para pelaku, bunyi redaksinya seperti
ini kira-kira “pelaku diduga memiliki paham radikalisme” atau “pelaku diduga terjangkit paham radikalisme”.
Mengapa tidak memberikan sematan kata “sektarian” bagi tindak terorisme ? silahkan cek kamus KBBI untuk
arti kata “sektarian/sekte”. Atau kekuasaan ingin rakyatnya tidak boleh radikal ? tidakk boleh maju dalam
berfikir dan bertindak ? tidak boleh menuntut perubahan ? dan bahkan tidak boleh berpikir secara mendasar
dan prinsipil ? karena itu semua akan mengganggu kekuasaan ? mari kita pikirkan jawabnya bersama-sama.
“nyatanya tema radikalisme—menurut penulis tidak patut kita cerna secara mentahmentah dan sesantai layaknya percintaan”
MENYOAL RADIKALISME; PEMAKNAAN DAN DISTORSI Essay ini disampaikan dalam kegiatan Kantin Berdiskusi Universitas Pamulang, Jum’at 25 Oktober 2019 Oleh: Adam Alfian1
Mari simak sedikit penjelasan Radilkal untuk di Indonesia
Mulanya penulis ingin melibatkan banyak
dialog dalam tulisan ringkas ini, namun di
tengah-tengah penulisan, justru berbalik ide
untuk membuat sekaligus membenturkan
imajinasi pembaca, ekpektasinya adalah ingin
membuat tulisan ini seperti story telling agar
pembaca dapat dinikmati bagaikan novel
percintaan. Namun apa daya—nyatanya tema
“radikalisme”—menurut penulis tidak patut
kita cerna secara mentahmentah dan sesantai
layaknya percintaan, mengapa demikian ?
Ruang imajinasi seperti apa yang muncul
dalam benak pembaca saat ini jika mendengar
kata “radikal/radikalisme/radikalisasi” ?
pemikiran penulis pun-sempat dipenuhi
imajinasi seperti terorisme, kekerasan, intol-
eran ketika mendengar kata “radikal/
radikalisme/radikalisasi”, pemaknaan yang
melulu negatif itu amat dekat maknanya
dalam kata tersebut. Namun setelah mem-
baca studi dan olah debat beberapa
pemikiran, penulis memiliki pandangan ten-
tang kata “radikal/radikalisme/radikalisasi”,
begini ceritanya; Michel Foucault2 salah satu
tokoh Mahzab Frankfurt yang cukup populer
dalam bukunya The Archeology of Knowledge
salah satunya membahas tentang bagaimana
kekuasan melakukan produksi, distribusi, dan
hegemoni pengetahuan, menurut Foucault, ia
melihat bahwa relasi kekuasaan tidak sekedar
bekerja pada ranah infrastruktur politik
(seperti pembagian kekuasaan dan
wewenang), justru lebih jauh dari itu,
kekuasaan bekerja sebagai alat hegemoni
pengetahuan yang masif dan terstruktur,
tentu saja Foucault melihat kondisi ini dalam
tendensi bahwa penguasa perlu menjaga
dominasi kekuasaannya, salah satunya
dengan cara mereduksi dan mendistorsi pem-
ahaman warga negara secara besar-besaran
dan positif. Namun, mengapa saat ini khu-
susnya di Indonesia kata radikal justru ber-
makna “negatif” seolah-olah melulu disemat-
kan dengan berbagai tindak kekerasan.
2
Sifat Negatif Radikalisme
Pandangan Egon Bittner mencatat
bahwa terma radikalisme cenderung
merujuk pada sesuatu yang bersifat
revisionis atau perbaikan atas keadaan
sebelumnya, Karena pendefinisian
sebuah konsep selalu menyertakan
kemunginan untuk berubah, maka
konsep radikalisme pun demikian adan-
ya, dan ia bisa bermakna positif dan
negative
Upaya melampaui standard pen-
didikan yang ada saat ini menjadi tan-
tangan bagi pemerintah modern Indo-
nesia, terutama dalam mendorong dan
menopang wacana pendidikan yang
progresif, dimana pendidikan progresif
ini menrupakan perhalusan terhadap
pendidikan radikal yang telah terpapar
fanatisme ilmu pengetahuan fanatisme
lembaga pendidikan dan fanatisme-
fanatisme lainnya yang berdampak pada
terkotak-kotaknya lembaga pendidikan
Fanatisme menurut Sudirwan
adalah sebuah keadaan dimana
seseorang atau kelompok yang menga-
nut sebuah paham, baik politik, agama,
kebudayaan atau yang lainnya dengan
cara berlebihan (membabi buta)
sehingga berakibat destruktif, bahkan
cenderung menimbulkan perseteruan
dan konflik serius bagi kelompok yang
berbeda termasuk ras, suku, dan agama
Fanatisme Inilah yang menjadi
dasar terbentuknya Deindividuasi, yang
menurut Lorenz deindividuasi dapat
mengarahkan individu kepada kelelua-
saan dalam melakukan agresi sehingga
agresi yang dilakukan menjadi lebih
intens. Bagi setiap individu yang secara
psikologis sehat (well-adjusted), Identi-
tas dirinya maupun identitas individu-
individu lain merupakan hambatan
setidaknya bisa membatasi intensitas
agresi. Dengan mengindentikkan diri
dengan bangsa, kelompok tertentu,
ideology, individuindividu yang terlibat
merasa cukup aman dan sah untuk
menyerang dan menjatuhkan korban
sebanyak mungkin dengan segala cara
kepada pihak lain yang diberi label
“musuh”
MENYIKAPI RADIKALISME SEBAGAI TANTANGAN TERHADAP PEMERINTAHAN BARU DAN MAHASISWA ( Essai Oleh Ayyub Kadriah, Dalam Kantin Berdiskusi 25 Oktober 2019)
Masalah radikalisme cenderung kompleks ditengah masyarakat Indonesia hari ini, utamanya dalam tubuh kaum akademis
termasuk mahasiswa, kaum akademis saat ini perlu memahami dan meretas kebingungan epistemologis yaitu bagaimana mendudukkan peristilahan seperti , radikalisme, fundamentalisme, ekstremisme,fanatisme, militanisme , jihad, dan terorisme
Dalam upaya meretas kebingungan epistemologis ini terdapat beberapa pendekatan yang perlu dibuka terkait
radikalisme Radikalisme berdiri dalam pertarungan wacana modern ini dimana analisis radikalisme berdiri pada sudut baik didalam analisis terhadap berbagai daerah Indonesia terdapat pula gerakan-gerakan yang bersifat radikal yang bertujuan menolak tatanan politik, sosial, dan ekonomi yang dipaksakan pemerintah penjajah. Itulah yang melahirkan Perang Aceh (1873-1942), Perang Paderi (1830- 1837), dan Perang Diponegoro (1825-1830), Radikalisme mereka dianggap positif karena memper-juangkan hak-hak asasi rakyat pribumi yang tertindas oleh kaum penjajah. Sebagaimana analisis dalam pendekatan sintaksis, bahwa radikalisme ialah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastic
Analisis diatas sejalan dengan pandangan Egon Bittner mencatat bahwa terma radikalisme cenderung merujuk pada
sesuatu yang bersifat revisionis atau perbaikan atas keadaan sebelumnya, Karena pendefinisian sebuah konsep selalu me-nyertakan kemunginan untuk berubah, maka konsep radikalisme pun demikian adanya, dan ia bisa bermakna positif dan negative
Sebagai pendorong perubahan pengertian dari radikalisme di Indonesia dipengaruhi oleh perkembangan zaman yang
terlihat bahwa radikalisme pasca Orde Baru dipahami secara negatif, sebagaimana ditunjukkan dua organisasi keagamaan arus utama di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, yang menolak cara dakwah Front Pembela Islam (FPI) yang merepresentasi-
kan sebagai kelompok radikal,
Fakta sejarah melihat radikalisme sebagai sesuatu yang negative secara garis besar berlawanan dengan pandangan Arthur G. Gish, yang radikal diartikan sebagai menuju ke akar permasalahan tersebut dengan menawarkan alternatif kepada
status quo, dimana alternative pandangan terhadap status quo di Indonesia diperhalus dalam istilah progresif
Dan progresifitas sebagai loncatan berfikir dari radikalisme banyak digadang dari ruang-ruang akademis yang dimana
dalam sudut pandang Indonesia akademisi ditafsirkan dalam ruang regulasi Indonesia diamanahkan dalam Pasal 1 ayat (1)
Undang-undangNomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional :
“pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.”
Sedangkan Menurut Langeveled, pendidikan dianalisis sebagai berikut :
“pendidikan adalah proses bimbingan yang dilakukan oleh orang dewasa dengan tujuan untuk mendewasakan
orang lain yang dicirikan dengan tiga karakteristik umum, yaitu: (a) stabil, yaitu sikap dan kepribadian yang
tetap dalam segala situasi dan kondisi, baik kondisi normal, senang, maupun susah; (b) tanggung jawab, yaitu
orang yang memiliki kemampuan memberikan argumentasi kuat terhadap apa yang telah dikatakan dan dil-
aksanakan; (c) mandiri, yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan atas dasar kemampuan yang dimiliki
sendiri, bukan karena paksaan dari pihak lain”.
Kotak-kotak fanatic dalam lembaga pendidikan menjadi masalah bagi mahasiswa yang terkotak-kotak dalam ruang
organisasi, kotak jurusan, kotak fakultas, kotak universitas, ketika bangunan yang di usung dalam kotak tersebut bersifat
fanatic dan men-deindividuasi pihak-pihak dari kelompok lain yang sebenarnya adalah sesama mahasiswa namun terlihat
sebagai “Musuh” karena fanatisme kelompok kemahasiswaan ini
Tantangan bagi mahasiswa dalam meretas fanatisme adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari demi menyokong
gerak pembangunan bangsa, dan memerlukan peran bersama dan kesadaran pemerintah jika menginginkan Indonesia maju,
maka harus ada gerak bersama yang tidak fanatic antara pemerintah dan mahasiswa sebagai bagian rakyat Indonesia dalam
membangun bangsa
3
top related