sanyoto tugas makalah pak karno ltp
Post on 20-Jan-2016
496 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TUGAS INDIVIDUMATA KULIAH
LINGKUNGAN TANAMAN PAKAN
DOSEN PENGAMPU : Dr. Ir. KARNO, MAppl.Sc
PENGEMBANGAN SILVOPASTURA UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN HIJAUAN PAKAN TERNAK
SANYOTO WAHONONIM. 23010112410045
(Kelas A)
SEMESTER II
MAGISTER ILMU TERNAKFAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIANUNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2013
PENDAHULUAN
Pada suatu usaha peternakan terutama ternak ruminansia, permasalahan
utama dalam pengembangan utama yang dihadapi adalah penyediaan pakan
hijauan yang mencukupi sesuai dengan jumlah ternak yang dipelihara. Sebenarnya
ini merupakan masalah klasik, kurangnya ketidaktersediaan hijauan pakan
disebabkan karena tidak adanya lahan untuk penanaman hijauan pakan. Luas
kepemilikan lahan pertanian oleh peternak skala rumah tangga yang banyak
terdapat di Indonesia, hanya mengusahakan pakan seadanya dari lingkungan
sekitar seperti di pinggiran sawah, kebun, pekarangan rumah, maupun rumput-
rumput liar yang tumbuh di pinggir jalan. Kepemilikan lahan yang tidak luas
menjadikan adanya persaingan dengan kebutuhan lain manusia, seperti
pemukiman dan penanaman tanaman pangan, membuat peruntukan lahan bagi
peternakan tidak dipikirkan/diprioritaskan. Keterbatasan lahan merupakan
masalah umum dalam pengembangan ternak ruminansia untuk penanaman hijauan
pakan, padahal lahan merupakan salah satu komponen penting dalam ekosistem
bioindustri peternakan bersama komponen lainnya seperti peternak, ternak, dan
teknologi.
Walaupun begitu, bukan berarti tidak sama sekali tidak tersedia lahan yang
dapat digunakan untuk pengembangan peternakan. Pada dasarnya kegiatan usaha
peternakan dapat menjadi bagian dari program-program pemanfaatan lahan dari
sektor-sektor lainnya seperti tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan,
transmigrasi, dan peningkatan desa tertinggal (Soehadji, 1994), sehingga kegiatan
di sektor-sektor tersebut dapat dipadukan dan diintegrasikan dengan kegiatan
peternakan menjadi suatu usaha tani yang terpadu.
Salah satu sistem pengelolaan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
produktivitas ternak adalah dengan melakukan sistem pertanaman campuran atau
integrasi ternak dengan tanaman. Penyediaan hijauan pakan untuk ternak
rumnansia banyak berasal dari lahan-lahan yang lain yang terintegrasi dengan
peternakan. Salah satu peluang integrasi yang dapat dikembangkan untuk
pengembangan sapi perah adalah integrasi dengan kehutanan. Hutan-hutan
produki yang berada di daerah dataran tinggi dapat digunakan sebagai tempat
untuk menanam hijuan pakan. Konsep ini dikenal dengan sistem silvopastoral.
Sistem silvopastoral diharapkan dapat memberikan manfaat secara ekonomi,
sosial, lingkungan, dan dapat memberikan kesejahteran bagi masyarakat terutama
masyarakat sekitar hutan.
Pada tulisan ini akan dibahas konsep silvopastoral dan pemanfaatan dalam
pengembangan usaha peternakan berupa penyediaan hijauan pakan ternak sebagai
suatu sistem integrasi tanaman kehutanan-ternak yang juga dapat menjaga
kelestarian hutan.
PEMBAHASAN
Pengertian Agroforestri
Agroforestri adalah suatu sistem tata guna lahan berkelanjutan yang
mempertahankan atau meningkatkan hasil total dengan mengkombinasikan
tanaman pangan (annual) dengan tanaman pohon (parennial) atau peternakan
dalam unit lahan yang sama pada waktu yang bergantian atau pada waktu yang
sama dengan melakukan pengelolaan yang sesuai dengan karakteristik sosial,
budaya penduduk setempat dan kondisi ekonomi, serta ekologi area (Vergara,
1982). Young (1989) mengatakan bahwa agroforestri adalah gabungan nama
untuk sistem tata guna lahan yang didalamnya terdapat tanaman perennial
berkayu (pohon, semak) yang tumbuh bersama-sama dengan tanaman herbaceous
(tanaman pangan, padang rumput) atau peternakan dan didalamnya terdapat
interaksi ekologi dan ekonomi antara komponen pohon dengan komponen bukan
pohon. Nair (1991) mendefinisikan agroforestri adalah sistem penggunaan lahan
terpadu yang mengkombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian dan atau
hewan ternak secara bersama-sama atau bergiliran untuk menghasilkan produk
terpadu.
Agroforestri dapat diklasifikasikan berdasarkan pada berbagai aspek sesuai
dengan perspektif dan kepentingannya. Pengklasifikasian ini bukan dimaksudkan
untuk menunjukkan kompleksitas agroroforestri dibandingkan budidaya tunggal
(monoculture; baik di sektor kehutanan atau di sektor pertanian).
Pengklasifikasian ini justru akan sangat membantu dalam menganalisis setiap
bentuk implementasi agroforestri yang dijumpai di lapangan secara lebih
mendalam, guna mengoptimalkan fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat atau
para pemilik lahan. Komponen penyusun utama agroforestri adalah komponen
kehutanan, pertanian, atau peternakan. Ditinjau dari komponennya, agroforestri
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1) agrisilvikultur (Agrisilvicultural systems) adalah sistem agroforestri yang
mengkombinasikan komponen kehutanan (tanaman berkayu/ woody plants)
dengan komponen pertanian (tanaman non-kayu);
2) silvopastura (Silvopastural systems) adalah sistem agroforestri yang meliputi
komponen kehutanan (tanaman berkayu) dengan komponen peternakan
(binatang ternak/ pasture) disebut sebagai sistem silvopastura;
3) agrosilvopastura (Agrosilvopastural systems) adalah pengkombinasian
komponen berkayu (kehutanan) dengan pertanian (semusim) dan sekaligus
peternakan (binatang) pada unit manajemen lahan yang sama.
Silvopastura
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.49/Menhut II/2008,
kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh
Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, hutan negara
adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah,
sedangkan hutan desa merupakan hutan negara yang dikelola oleh desa dan
dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta belum dibebani ijin/hak. Pengertian
dari pada desa itu sendiri merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui
dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan pengembangan hutan desa diharapkan desa – desa yang sebagian
besar wilayahnya adalah kawasan hutan dapat menghasilkan pendapatan asli desa
untuk kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Secara umum hutan desa
merupakan hutan negara yang berada di dalam wilayah suatu desa, dimanfaatkan
oleh desa untuk kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Tanpa adanya upaya
peningkatan kualitas ataupun bentuk pelestarian dari hutan desa tersebut maka
hutan tersebut tidak memberikan arti yang lebih bagi masyarakat
sekitar. Pemanfaatan kawasan pada hutan antara lain melalui beberapa kegiatan
salah satunya adalah budidaya hijauan makanan ternak dalam kawasan hutan
(selanjutnya disebut silvopastura)
Silvopastoral merupakan salah satu kegiatan yang ada dalam agroforestri
yang mengintergrasikan antara tegakan pohon, tanaman pakan, dan ternak dalam
suatu kegiatan yang terstruktur dan menggambarkan berbagai interaksi. Tujuan
silvopastoral adalah bagaimana dapat mengoptimalkan ketiga komponen tersebut.
Pada sistem tersebut tegakan pohon diatur untuk menghasilkan kayu gelondongan
yang bernilai tinggi, dan mengelola vegetasi dibawah tegakan yang berupa
tanaman pakan untuk dapat disajikan atau digembalakan oleh ternak. Suatu design
sistem silvopastoral yang baik akan memberikan kepuasan yang memenuhi tiga
kriteria, yaitu produktivitas, keberlanjutan dan kemampuan beradaptasi
(Ladyman et al., 2003).
Kehadiran silvopastoral di hutan merupakan suatu bentuk pengelolaan
hutan yang menempatkan kehutanan sebagai suatu bagian dalam kerangka
pembangunan wilayah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar
hutan. Masyarakat dilibatkan sebagai bagian dari sistem dalam mengusahakan dan
mengelola lahan kehutanan, sehingga tercipta suatu manfaat yang sinergis baik
secara ekologi, ekonomi dan sosial bagi masyarakat maupun pengelola hutan
(misalnya Perhutani). Silvopasture merupakan manajemen pengelolaan hutan
yang menghasilkan output beragam hasil dari areal yang sama. Tujuan utama dari
sistem silvopasture adalah untuk menghasilkan kayu berkualitas tinggi dalam
jangka panjang bersamaan itu juga dapat dilakukan penggembalaan atau
pemanfaatan hijauan pakan ternak yang pada areal yang sama dalam sebagai
tujuan jangka pendek.
Silvopastoral di Indonesia diarahkan untuk mengoptimalkan produktivitas
tanaman pakan untuk menyediakan hijauan pakan. Tanaman pakan yang ada
dipanen dengan cara dipotong dan disajikan ke ternak yang berada di kandang-
masing-masing peternak yang terletak relatif cukup jauh dari lokasi. Sistem
silvopastoral tersebut sebenamya lebih menyerupai perkebunan rumput (Grass
estate) yang ditumpangsarikan di bawah tegakan hutan (pinus). Silvopastoral ini
lebih dikenal dengan sebutan emulated silvopasture system, yaitu sistem
silvopasture yang tidak ada komponen ternaknya.
Pengembangan Silvopastura
Ada tiga variasi pilihan pada saat awal pengembangan silvopastoral, antara
lain (i) menanam tanaman pakan pada saat umur tanaman kehutanan masih muda,
(ii) menanam tanaman pakan pada saat umur tanaman kehutanan sudah dewasa,
dan (iii) menanam tanaman pakan secara simultan bersamaan dengan tanaman
kehutanan (White, 2005).
Sistem silvopasture dapat diterapkan di atas lahan apapun yang mampu
secara bersamaan mendukung tumbuhnya pohon dan hijauan. Akan tetapi
memerlukan lahan yang relatif luas untuk mempertahankan produki kayu dan
produki pakan ternak yang kontinyu. Pengembangan silvopastura dapat dilakukan
yang pertama dengan penanaman hijauan pakan di lahan hutan diantara tegakan-
tegakan pohon, kedua menanam satu atau beberapa baris pohon di atas pada
padang rumput yang ada dengan dengan pola tertentu. Pada cara pertama
silvopasture dapat langsung dengan penanaman hijauan disela-sela tegakan pohon
ataupun dengan mengurangi/menebang tegakan pohon yang ada sesuai dengan
pola yang dinginkan sebagai lorong-lorong/gang yang akan ditanami hijauan
pakan (USDA, 2008).
Komponen Peternakan dalam Silvopasura
Sistem Silvopasture memerlukan pengelolaan interaksi tiga-arah antara
ternak, pohon, dan hijauan. Namun, ada empat variabel dalam silvopastoral yang
membutuhkan manajemen khusus yaitu : pemeliharaan ternak, jenis pohon,
kerapatan pohon, dan spesies hijauan. Diperlukan pemahaman yang baik guna
keberhasilan mengelola keempat variabel tersebut.
Peranan Silvopastura terhadap Ternak
Ternak (ruminansia) dalam sistem silvopastura memberikan kontribusi
berupa pendapatan, mengkonsumsi gulma, dan merupakan salah satu faktor utama
dalam pengelolaan antara rumput/legum, dan pohon/hijauan. Ternak yang
merumput (digembalakan dalam silvopastura) juga dapat mengurangi kebutuhan
akan pupuk karena adanya peningkatan efektivitas hara tanah melalui daur ulang
(dalam kotoran dan urine) dari unsur-unsur seperti nitrogen, fosfor, kalium, dan
sulfur yang disimpan dalam padang rumput hijauan.
Pohon yang tumbuh dalam sistem silvopastura menyediakan tempat
naungan yang nyaman bagi ternak pada saat cuaca buruk. Hal ini secara signifikan
dapat meningkatkan kinerja ternak selama masa sangat panas atau dingin. Pada
beberapa kasus, pakan hijauan tumbuh di bawah teduhan pohon, tiupan angin di
bawah pohon cenderung lebih lambat dan karenanya, hijauan yang dihasilkan
lebih rendah kandungan seratnya dan lebih mudah dicerna dari pada yang tumbuh
di tempat terbuka.
Pola makan ternak yang digembalakan dalam silvopastura perlu untuk
diperhatikan. Walaupun makanan utamanya adalah hijauan atau legume yang
terdapat di bawah/diantara pohon tapi tidak menutup kemungkinan mereka akan
mencoba memakan daun-daun pohon yang dapat dijangkau. Konsumsi daun
biasanya terjadi pada pohon yang belum begitu tinggi ataupun daun pohon yang
tumbuh di batang bagian bawah. Hal ini apabila dibiarkan berlarut-larut dapat
menjadi masalah serius sehingga tujuan utama sistem silvopastura tidak tercapai.
Kerusakan pohon selain menyebabkan berkurangnya hasil dan kualitas kayu yang
dihasilkan juga menjadikan manajemen penggembalaan/defoliasi hijauan yang
dirancang tidak sesuai harapan. Ternak juga tidak bisa merumput dengan nyaman
oleh panas cuaca/terik matahari karena pohon banyak yang rusak, dan yang utama
pertumbuhan hijauan dan legume kualitasnya akan menurun. Maka sudah
semestinya terutama pada sistem penggembalaan (grazing) perlu ditentukan kapan
ternak dapat mulai digembalakan dengan melihat pertumbuhan pohon yang ada.
Hal ini tentunya tidak begitu perlu diperhatikan apabila dengan sistem cut and
carry.
Sistem Penggembalaan
Sistem pemeliharaan dengan cara penggembalaan perlu dilakukan
manajemen penggembalaan (grazing), tapi apabila dengan sistem cut and carry
yang diperlukan manajemen pemotongan hijauan. Sistem penggembalaan
dibedakan menjadi dua; (1) Penggembalaan secara terus-menerus pada suatu
lahan tertentu (continuous stocking); dan (2) Penggembalaan secara rotasi
(rotational grazing). Continuous stocking, ternak dipelihara di suatu lahan tunggal
tertentu dalam jangka waktu yang lama. Pakan yang tersedia dapat dimanfaatkan
secara efektif dengan menyesuaikan populasi ternak berdasarkan produki hijauan.
Penggembalaan secara terus-menerus pada lokasi yang sama dapat menciptakan
lahan rumput yang kurus dan rusak (undergrazing) serta dapat menyebabkan erosi
tanah. Namun, keuntungan sistem ini memungkinkan ternak untuk selektif
memilih rumput tanaman kualitas yang paling diinginkan atau tinggi. Praktek ini
umumnya tidak dianjurkan untuk sistem silvopasture.
Cara penggembalaan secara rotasi (rotational grazing) membagi lahan
silvopastura menjadi beberapa bagian/petak dimana setiap bagian akan mendapat
giliran untuk penggembalaan pada waktu tertentu, selanjutnya pada periode waktu
berikutnya pindah ke lahan berikutnya. Periode penggembalaan di setiap petak
umumnya berkisar selama 1 hari sampai dengan 1 minggu menyesuaikan kondisi
lahan. Seterusnya akan berpindah ke lahan berikutnya, dan akhirnya kembali ke
lahan awal yang mana hijauan sudah tumbuh kembali.
Pembagian lahan penggembalaan secara rotational grazing
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam rotational grazing :
Sesuaikan waktu rotasi dengan pertumbuhan hijauan. Jangan menggunakan
jadwal waktu yang kaku tapi haris fleksibel dengan kondisi lahan.
Menjamin berlangsungnya proses fotosintesis yang cukup.
Pindahkan ternak ke petak yang baru sebelum mereka merumput dari
pertumbuhan hijauan di petak yang telah dimakan.
Kualitas hijauan akan menurun seiring meningkatnya umur hijauan sehingga
penting untuk merencanakan skema pengelolaan grazing guna mendapatkan
kualitas hijauan yang terbaik.
Tambahkan suplemen mineral yang cukup dalam sistem silvopasture.
Peranan Silvopastura terhadap Penyediaan Pakan
Pemanfaatan kawasan pada hutan antara lain melalui beberapa kegiatan
salah satunya adalah budidaya hijauan makanan ternak. Integrasi peternakan dan
kehutanan dalam bentuk budidaya hijauan makanan ternak merupakan salah satu
bentuk dari pemberdayaan masyarakat setempat, dimana menurut Peraturan
Menteri Kehutanan nomor P.49/Menhut II/2008, pemberdayaan masyarakat
setempat merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian
masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara
optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam
rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Kriteria kawasan hutan
yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan desa adalah hutan lindung dan
hutan produki yang belum dibebani hak pengelolaan atau ijin pemanfaatan dan
berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan. Kriteria tersebut
berdasarkan rekomendasi dari Kepala KPH atau kepala dinas kabupaten/kota yang
diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan.
Dengan adanya integrasi dengan bidang peternakan dapat membantu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani yang tinggal di kawasan hutan
tersebut, karena dengan integrasi hutan desa dikembangkan untuk dapat
memberikan hasil pada peternakan demikian juga sebaliknya peternakan dapat
memberikan kontribusi kepada hutan desa. Budidaya hijauan makanan ternak
pada hutan desa merupakan salah satu bentuk pemanfaatan kawasan, karena
dengan budidaya hijauan makanan ternak maka telah dilakukan kegiatan untuk
memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat
sosial dan manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi
utamanya.
Tanaman yang terdapat pada hutan desa tidak selalu murni berupa kayu-
kayuan, tetapi terpadu atau dikombinasikan dengan berbagai jenis tanaman
lainnya, misalnya tanaman pertanian, tanaman perkebunan, tanaman pakan ternak
(silvopastura), dan sebagainya Hijauan pakan ternak merupakan pakan asal
tanaman (rumput, tanaman kacang – kacangan ataupun rambanan) yang dapat
digunakan untuk memberi pakan hewan. Kelompok makanan hijauan ini biasanya
disebut makanan kasar. Hijauan sebagai bahan makanan ternak bisa diberikan
dalam dua macam bentuk, yakni hiajuan segar dan hijauan kering. Sebagai
makanan ternak, hijauan memegang peranan sangat penting, sebab hijauna
mengandung hampir semua zat yang diperlukan hewan, khususnya di Indonesia
bahan makanan hijauan memegang peranan istimewa, karena bahan tersebut
diberikan dalam jumlah yang besar. Budidaya hijauan makanan ternak merupakan
salah satu bentuk pengembangan hutan desa, karena pengembangan hutan desa
(silvopastura) dapat dilakukan dengan (1). Penanaman tanaman – tanaman keras
(tanaman hutan multiguna), tanaman perkebunan yang cocok dan tanaman buah -
buahan, (2). Penanaman sela penutup termasuk legum penyubur tanah, rumput
gajah sebagai pakan ternak, (3). Penanaman palawija dan holtikultura.
Kebutuhan hijauan makanan ternak (HMT) masih sulit dipenuhi oleh
masing-masing peternak, karena hanya memiliki lahan sempit dan sangat
tergantung pada musim. Apalagi dengan meningkatnya kepemilikan ternak
misalnya sapi, peternak akan menghabiskan waktu untuk pemeliharaan dan
pengelolaan sapi, tidak memiliki waktu lagi untuk menyediakan pakan hijauan.
Dengan masih banyaknya lahan tidur, tanah-tanah sela di antara pokok tanaman
perkebunan besar maupun hutan milik Perhutani, jerami padi/jagung di daerah
produki yang belum dimanfaatkan, limbah industri, seperti kulit gabah, dedak
padi/ bekatul dari penggilingan padi, dedak atau bungkil jagung dari industri
minyak jagung, cangkang kernel dari industri minyak sawit, kulit coklat, dan
sebagainya, yang semuanya dapat dimanfaatkan menjadi makanan ternak, tetapi
tentu saja harus diproses lebih lanjut yang memerlukan teknologi dan manajemen
yang handal.
Tujuan dari pengembangan hutan desa ini dimaksudkan untuk
merehabilitasi dan meningkatkan produktivitas lahan, serta kelestarian sumber
daya alam agar dapat memberi manfaat yang sebesar – besarnya bagi masyarakat,
sehingga kesejahteraan hidup meningkat. Manfaat lain peran peternakan bagi
hutan desa dari pengembangan hutan desa dengan budidaya hijauan makanan
ternak dilihat dari segi sosial ekonomi meliputi mampu meningkatkan pendapatan
masyarakat tani di pedesaan karena dengan hijauan makanan ternak kebutuhan
ternak akan pakan dapat tercukupi secara terus menerus untuk pertumbuhan dan
pertambahan bobot badan yang pada akhirnya ternak tersebut dihargai dengan
harga yang cukup tinggi, dapat memanfaatkan secara optimal dan lestari lahan
yang tidak produktif untuk usaha tanaman pakan, tanaman pakan seperti legum
dan rumput tidak terlalu membutuhkan lahan yang kaya unsur hara seperti
tanaman lain, tetapi dengan kombinasi limbah ternak berupa kotoran dan diolah
menjadi pupuk maka dapat meningkatkan kualitas tanah tersebut. Rumput-
rumputan jenis King Grass dan Setaria digunakan untuk tanaman penguat teras
dan untuk memenuhi kebutuhan hijauan makanan ternak (HMT) pemilik lahan.
Manfaat lain dapat membantu dalam keanekaragaman hasil pertanian yang
diperlukan masyarakat, karena dengan budidaya tanaman pangan, limbah dari
hasil pertanian tersebut dapat digunakan sebagai pakan ternak, sedangkan limbah
dari peternakan berupa kotoran akan menjadi pupuk dengan kualitas tinggi karena
berupa pupuk organik tanpa merusak struktur tanah dan lingkungan.
Disamping itu hijauan pakan ternak dapat berfungsi ganda, selain sebagai
pakan, juga sebagai tanaman konservasi tanah dan air. Manfaat lain dari hijauan
makanan ternak adalah sebagai tanaman konservasi lahan baik sebagai tanaman
penguat teras di lahan miring maupun sebagai tanaman reklamasi pada tanah yang
rusak, sebagai tanaman penutup di tanah – tanah perkebunan. Kebutuhan ternak
akan hijauan dalam hal ini ternak sapi adalah 10% dari bobot badan, pada
umumnya peternak memliki ternak sapi dengan bobot 250 – 300kg, maka
kebutuhan akan hijauan sebesar 25 – 30 kg, dan untuk masyarakat yang tinggal di
desa pada umumnya memiliki ternak sebagai usaha sampingan sehingga hanya
memiliki 2 – 3 ekor tiap kepala keluarga. Sedangkan hijauan makanan ternak yang
dapat dihasilkan dalam 1 ha sebanyak 400 ton untuk rumput gajah.
Peternakan dalam hutan desa akan memiliki nilai yang tinggi apabila
dalam pengelolaan ternak dengan sistem dikandangkan, selain pakan selalu
tersedia melalui budidaya hijauan makanan ternak serta limbah tanaman pertanian
maupun perkebunan, pemberiannya dapat terukur untuk masing – masing ternak,
kotoran dari ternak dengan sistem di kandangkan dapat dengan mudah
dikumpulkan untuk kemudian dijadikan pupuk bagi tanaman pertanian, dapat pula
di olah menjadi produk biogas. Dengan pemanfaatan biogas bagi masyarakat di
sekitar, maka pengeluaran untuk bahan bakar dapat ditekan, selain itu
pemanfaatan kayu bakar untuk keperluan memasak dapat berkurang sehingga
kelestarian hutan dapat terjaga, dengan mengurangi kegiatan penebangan pohon
untuk kayu bakar bagi masyarakat sekitar.
Salah satu model silvopastura yang telah lama ada di Indonesia yaitu
pemeliharaan ternak ruminansia pada lahan budidaya kelapa sawit. Pada dasarnya
pengembangan usaha budidaya ternak potong ruminansia dapat dilakukan pada
daerah-daerah integrasi yang berbasis tanaman pangan, hortikultura, perkebunan
atau kawasan hutan lindung. Namun dalam hal ketersediaan pakan Hijauan
Makanan Ternak (HMT) sering ditemukan kendala yang sering terjadi berupa bila
musim hujan jumlah ketersedian pakan HMT akan melimpah atau surplus dan
sebaliknya bila musim kemarau panjang maka ketersediaan HMT mengalami
kekurangan. Pada areal perkebunan kelapa sawit banyak terdapat jenis gulma
yang dapat digunakan sebagai hijauan untuk pakan ternak ruminansia seperti
Axonopus compressus, Paspalum conjugatum, Ottochloa nodosa, Brachiraria
milliformis, Brachiaria mutica, Ischaenum mucunoides, Centrosema pubescens
dan spesies lainnya. Ternak ruminansia memakan hampir semua jenis gulma yang
sering dijumpai di perkebunan kelapa sawit diantaranya yang paling disukai
adalah Ottochloa nodosa, Paspalum spp, Brachiaria mutica, Mikania micrantha,
dan berbagai jenis kacangan penutup tanah (Purba et al., 1997). Pada umur
tanaman di bawah 3 tahun, rumput alam yang tumbuh di kawasan kelapa sawit
dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak adalah: rumput pahitan (Axonopus
compressus), krakapan, patikan, wedhusan, prenthulan, kenthangan, teki, trinyo
dan sedikit legume Calopo. Sedangkan di area perkebunan kelapa sawit milik
perusahaan besar, pada saat umur tanaman diatas 3 tahun sangat sedikit dijumpai
rumput alam, umumnya ditumbuhi tanaman penutup tanah (cover crop) berupa
legume Calopogonium mucunoides (Wijaya dan Utomo, 2001).
Selama ini gulma dipandang sebagai pesaing terhadap tanaman utama dan
dikendalikan secara kimiawi maupun mekanis dengan biaya sebesar 10% dari
biaya pemeliharaan. Selama 5 tahun pertama setelah kelapa sawit ditanam, bobot
gulma yang diperoleh mencapai 10-15 ton/ha (Purba et al., 1997). Sampai saat ini
pemanfatan gulma sebagai pakan ternak ruminansia umumnya bersifat
konvensional yaitu dengan menggembalakan ternak di areal perkebunan.
Ketersediaan pakan hijauan pada areal kelapa sawit berumur 1 – 5 tahun (sebelum
menghasilkan) diperkirakan mampu mendukung 3 – 5 ekor domba/ha setara lebih
kurang 2 ekor sapi bakalan. Pada saat kelapa sawit berumur diatas 6 tahun (mulai
menghasilkan) kerapatan dan jenis gulma mulai berkurang dan merupakan factor
pembatas.
Di areal perkebunan kelapa sawit keberadaan rumput unggul diharapkan
membantu mencukupi kebutuhan HMT baik dari segi kualitas dan kuantitasnya
yang sulit ditemui jika hanya dari rumput alam saja. Rumput raja (Pennisetum
purpureophoides), adalah sumber hijauan pakan yang sangat baik untuk
kebutuhan ternak. Seperti diketahui bahwa produktivitas ternak sangat
dipengaruhi oleh sumber pakan yang dikonsumsi. Dari jumlah pokok pohon
kelapa sawit yang tertanam sebanyak 130 batang per hektar akan berkurang atau
tidak seluruhnya produktif. Pada umumnya yang tersisa sebanyak 120 batang per
hektar. Penanaman rumput raja dilakukan di lokasi kebun yang tanaman sawitnya
mati atau ditebang akibat tidak produktif juga di sekitar alur-alur yang ada di
lokasi kebun. Kalau kematian pohon kelapa sawit rata-rata 10 pohon/ha, maka
akan tersedia lahan kosong 10 x 760 m2, yang dapat ditanami 760/10.000 x 2.000
= 1.520 rumput/ha (Sitompul, 2003). Pada musim penghujan produksi rumput
akan meningkat (180 ton/ha/tahun). Dibandingkan dengan rumput unggul lainnya,
rumput Raja mempunyai produksi tertinggi dengan rata-rata berat basah 189,34
ton/ha/tahun.
Pola Tanam pada Silvopastura
Pola penanaman antara pohon dan hijauan dibentuk sedemikian rupa untuk
memberikan ruang bagi masuknya sinar matahari untuk mengoptimalkan
pertumbuhan masing-masing sehingga nantinya dapat diperoleh kayu yang
berkualitas dari pohon yang ditanam dan hijauan pakan ternak. Pada silvopastura
akan menjadikan berkurangnya jumlah pohon guna memberikan ruang bagi
bertunas dan tumbuhnya hijauan, hal ini berbeda dengan budidaya hutan secara
murni dimana pohon dapat ditanam lebih padat. Sedangkan pada silvopastura
yang berasal dari padang rumput, maka setelah penanaman pohon perlu dilakukan
pemeliharaan selama 2 sampai 3 tahun untuk menjaga bibit pohon dapat tumbuh
dengan baik, terutama gangguan dari gulma atau tanaman perdu dan semak yang
mudah tumbuh ataun bahkan dengan hijauan sehingga kontrol kompetisi hijauan
perlu diperhatikan.
Pengaturan jarak dan kepadatan tanam antara pohon dan hijauan
sepenuhnya tergantung pada tujuan silvopastura yang dilaksanakan. Seberapa
banyak hijauan yang ingin diperoleh untuk mencukupi kebutuhan ternak yang
dipelihara dan kayu yang dinginkan. Pada permulaan, pohon dapat ditanam lebih
banyak/lebih rapat kemudian dapat dilakukan penjarangan seiring dengan
bertambahnya umur tanaman dengan menyesuaikan kondisi lahan, kompetisi
tanaman, dan pancaran sinar matahari pada masing-masing tanaman.
Pohon yang ditanam berbaris sering mengalami pertumbuhan yang kurang
baik karena tidak memiliki setidaknya satu sisi yang mendapat sinar matahari
penuh. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan pertumbuhan, baris tunggal atau
ganda umumnya lebih disukai dari tiga baris atau beberapa pohon. Pada
silvopastura pohon berdaun jarum seperti pinus atau cemara populasi pohon yang
baik antara antara 200 hingga 400 pohon per hektar. Luas area yang tertutup
pohon (kanopi) dalam sistem silvopasture bervariasi antara 25 hingga 60 persen,
yang menyediakan ruang terbuka yang lebih besar untuk produki hijauan (USDA,
2008).
Menurut USDA (2008) ada beberapa pola tanam pohon-hijauan yang
direkomendasikan :
1) Penanaman Pohon Satu Baris (Single Row-Planting)
Pola tanam terdiri dari pohon yang berjarak sekitar 8 sampai 12 feet dalam
baris dan 16 sampai 30 feet antara baris (gang). Jarak yang terlalu dekat akan
menyulitkan pemasukan peralatan ke dalam sistem dan dapat berpotensi
mengurangi produki hijauan jika pohon tidak dipangkas supaya lebih tipis
dan pada waktu yang tepat. Semakin lebar jarak baris cenderung mendukung
produki hijauan lebih banyak.
Penanaman Pohon Satu Baris (Single Row-Planting)
2) Penanaman Pohon Dua Baris (Double Row-Planting)
Jarak antar pohon dalam satu baris antara 8 sampai 10 feet. Dalam pola ini,
baik hijauan dan pohon hidup berdampingan dan dapat berkontribusi pada
sistem silvopasture dengan sangat produktif. pengaturan lebar antar baris
dapat dipertimbangkan sesuai kebutuhan maupun peralatan yang akan
digunakan dalam pengelolaannya.
Penanaman Pohon Dua Baris (Double Row-Planting)3) Penanaman Jarak baris ganda (Multiple Row Spacing)
Jarak baris ganda memiliki dua hingga tiga baris pohon dengan jarak cukup
dekat (8 feet x 10 feet atau 10 feet x 10 feet) dengan sebuah gang selebar 20
sampai 40 feet antara set baris pohon sebagai tempat untuk produki hijauan.
Penanaman Jarak baris ganda (Multiple Row Spacing)
4) Penanaman sistem tiga dan empat pohon dalam baris (Triple and Quadruple)
Sistem ini merupakan pengembangan dari double row-planting dengan
penambahan jumlah pohon dalam satu baris. Dalam prakteknya, sistem ini
menyebabkan ruang untuk tumbuh pohon lebih sempit dan pada pohon yang
ada di tengah baris, dimana sinar matahari tidak dapat dapat menjangkau
pohon yang ada di tengah karena terhalang pohon yang dipinggir dan
kompetisi yang lebih besar untuk mendapatkan nutrisi dari tanah.
Penanaman sistem tiga dan empat pohon dalam baris (Triple and Quadruple)
5) Penanaman secara Blok (Block Planting)
Penanaman secara blok mempunyai jarak antar pohon yang lebih lebar (pada
12 feet x 12 feet atau 15 feet x 15 feet). Sistem ini dianggap lebih cenderung
untuk poduksi kayu, menyebabkan hijauan lebih sensitif terhadap kerapatan
kanopi sehingga perlu dilakukan pemangkasan secara berkala untuk
mempertahankan produki hijauan.
Penanaman secara Blok (Block Planting)
Komponen Silvopastura
Penerapan silvopasture memerlukan pengelolaan interaksi tiga-arah antara
ternak, pohon, dan hijauan. Namun, ada empat variabel dalam silvopastoral yang
membutuhkan manajemen independen : pemeliharaan ternak, jenis pohon,
kerapatan pohon, dan spesies hijauan. Keberhasilan dalam mengintegrasikan dan
mengelola komponen dependen dan independen memerlukan pemahaman yang
baik tentang biologi dan dinamika komponen sendirian maupun kombinasi.
Nilai strategis silvopastura
Sistem diakui dapat memberikan manfaat secara ekologis, ekonomi, dan
sosial bagi masyarakat. Kehadiran silvopastoral di hutan merupakan suatu bentuk
pengelolaan hutan yang menempatkan kehutanan sebagai suatu bagian dalam
kerangka pengembangan pembangunan wilayah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Berikut ini adalah beberapa manfaat yang
diperoleh dari sistem silvopastoral.
Diversifikasi produki hutan dan peningkatan produktivitas lahan
Hijauan yang dihasilkan dari sistem silvopastoral merupakan suatu bentuk
diversifikasi produk yang dihasilkan dari lahan kehutanan. Produk hutan yang
dihasilkan oleh lahan kehutanan tidak hanya produk konvensional hutan, yaitu
kayu pinus dan getah pinus, tetapi ada produk lain yaitu pakan ternak. Hal ini
memperlihatkan bahwa sistem silvopastoral merupakan salah satu bentuk dalam
pengelolaan hutan bersama masyarakat yang baik, dimana salah satu karakterisk
terpenuhi, yaitu memaksimalkan produk non kayu yang dapat digunakan untuk
menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat yang
tinggal di sekitar hutan dalam hal ini adalah kebutuhan hijauan pakan.
Konservasi tanah dan air
Salah satu penyebab terjadinya banjir dan kekeringan adalah kesalahan dalam
pengelolaan hutan, dimana banyak hutan dibuka digunakan untuk keperluan
pertanian tanaman pangan dan sayuran tanpa didukung oleh pengelolaah yang
baik. Hal ini yang menyebabkan turunnya fungis hidrologis hutan. Lahan
langsung dibuka dan dibiarkan tanpa vegetasi yang lain, sehingga pada saat terjadi
hujan air langsung hanya sedikit yang dapat diserap dan sebagian besar pergi
menjadi air permukaan, selanjutnya tentunya menjadi banjir yang melanda daerah
yang lebih rendah. Selain itu, bersama aliran air tersebut ikut terbawa topsoil
tanah yang kaya akan hara dan bahan organik. Tanah-tanah cepat mengalami
asam, karena banyak kation-kation tanah yang tercuci. Sebaliknya pada musim
kemarau terjadi kekeringan dan kekurangan yang lebih cepat terjadi. Hal ini
disebabkan rendahnya daya tangkap lahan pada saat hujan, sehinga air yang
ditampung dalam jumlah yang lebih kecil.
Keberadaan tanaman pohon dan semak, seperti dalam kombinasi silvopastoral,
tidak diragukan lagi dapat memproteksi terhadap erosi dan melindungi lahan-
lahan peranian. Selain itu, tanaman tersebut dapat meningkatkan serapan air dan
kemampuan retensi (kecepatan infiltrasi dan kapasitas lapang) tanah. Hasilnya
akan lebih besar ketersediaan air bagi tanaman, periode pertumbuhan yang dapat
diperpanjang, total produki tanaman akan meningkat, dan tentunya tanah akan
terlindungi oleh vegetasi sepanjang tahun. Keberadaan tanaman pakan di tegakan
tanaman kehutanan dapat membantu mempertahankan nutrisi hara dibandingkan
dengan tanpa tanaman pakan, dan selanjutnya akan meminimalkan kehilangan
hara dari lahan kehutanan (Michel et al, 2003)
Peningkatan pendapatan
Sistem silvopastoral secara tidak langsung dapat membantu menggerakan roda
ekonomi pedesaan. Keberadaan kebun rumput pada areal kehutanan, bagi
peternak sapi perah dapat melakukan efisiensi dan efektivitas dalam pengadaan
hijauan pakan. Biaya dan waktu yang diperlukan dalam pengadaan hijauan pakan
besar, dan akan lebih meningkat lagi pada saat musim kemarau. Biaya yang untuk
pengadaan hijauan pakan dapat ditekan waktu yang dicurahkan lebih sedikit,
sehingga mereka dapat mencurahkan waktu lainnya dapat dicurahkan untuk
melakukan usaha yang lain.
Kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati
Kehadiran peternak yang mengelola atau melakukan tumpangsari tanaman
pakan di lahan kehutan berkewajiban membantu mengawasi dan menjaga tanaman
kehutan dari percurian kayu. Perambahan hutan oleh masyarakat biasanya
disebabkan oleh ketidaksejahteraan masyarakat yang tinggal di daerah sekitar
hutan. Kehadiran usaha ternak sapi perah dapat membantu meningkatkan
pendapatan masyarakat sekitar, sehingga perambahan hutan dapat diminimalkan .
Selain itu, peternak yang menanam rumput memelihara tegakan tanaman hutan,
seperti pengendalian gulma dan pemberian pupuk.
Pengelolaan hutan yang baik adalah pengelolaan hutan yang mempertahankan
peranan hutan dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup serta
melindungi sumber keanekaragam hayati. Keanekaragaman hayati lebih
meningkat setelah dilakukan dalam bentuk sistem integrasi bahwa pada sistem
silvopastoral lebih banyak keragaman tanaman dibandingkan dengan padang
rumput yang terbuka.
Masalah yang Perlu Dipecahkan
Pemanfaatan daerah kehutanan untuk penanaman rumput bukan tidak
mempunyai permasalah, seperti umumnya permasalahan dalam pengembangan
silvopastoral di daerah lain, permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan
silvopastoral meliputi: terjadi persaingan antara tanaman kayu dengan tanaman
pakan, persintensi tanaman pakan terhadap naungan, dan permasalahan kesuburan
tanah. Keterbatasan utama dalam pengembangan sistem silvopastoral adalah
kerusakan tanaman muda oleh pengembalaan ternak, persistensi tanaman pakan
yang disebabkan oleh naungan, mempertahankan kesuburan tanah, dan invasi
gulma.
Kerusakaan tanaman muda oleh ternak dan invasi gulma tidak terjadi
dalam pengembangan silvopastoral. Hal ini dikarenakan pada sistem silvopastoral
tidak menerapkan sistem penggembalaan ternak secara langsung, tetapi
menggunakan pengelolaan sistem potong dan angkut (cut and carry system), dan
ternak tetap dikandangkan di masing-masing peternak. Pengendalian gulma
dilakukan bersamaan pada saatpemanenan rumput, jenis jenis tumbuhan yang
tidak dapat dikonsumsi oleh ternak dan berpotensi akan menggangu pertumbuhan
tanaman pakan dibabat atau dicabut. Gulma yang sering hadir adalah kirinyuh
(Chromolaena odorata), gulma ini apabila dibiarkan akan berpotensi mengurangi
potensi produki hijauan. Bamualim et al. (1990) melaporkan bahwa C. odorata
telah menginvasi padang penggembalaan alam dan sudah mengurangi potensi
ketersediaan pakan di Nusa Tenggara. Pemotongan gulma ini secara rutin
bersamaan dengan waktu panen akan membantu pengendaliannya dan gulma ini
tidak tahan terhadap intensitas pemotongan.
Persaingan antara tanaman kayu dengan tanaman pakan
Penanaman dua atau lebih jenis tanaman sama atau berbeda pada suatu
hamparan yang sama tentunya akan menghasilkan berbagai interaksi diantara jenis
tanaman. Ada enam jenis interaksi, yaitu neutralisme, kompetisi, amensalisme,
dominasi, komensalisme, dan protokooperasi. Interaksi yang berupa kompetisi
(persaingan) dan dominasi merupakan jenis interaksi yang tidak diharapkan dalam
sistem pertanaman campuran. Pada sistem silvopastoral, persaingan sumberdaya
(cahaya, air, hara, dan ruang hidup) akan terjadi antara tanaman pohon dengan
tanaman pakan. Persiangan ini lebih disebut dengan persaingan interspesies (inter
spesific competition), yaitu persaingan antar tanaman yang berbeda spesies
(Moenandir, 1993) .
Pengaruh naungan dapat diminimalisasi dengan cara mengelola tegakan hutan
dan memilih spesies tanaman pakan yang tahan naungan. Menurut Nasrum (1983)
rumput gajah masih dapat bertahan dengan tingkat naungan 50% dibawah tegakan
hutan jati. Pengelolan tegakan untuk meningkatkan transmisi cahaya dapat
dimodifikasi seperti mengatur kepadatan tanaman maupun dengan penjarangan.
Jarak tegakan tanaman yang lebar akan membantu meningkatkan transmisi cahaya
dan produki hijauan pakan, tetapi kadang kala pada kepadatan tegakan
yangrendah, pohon biasanya cenderung mempunyai banyak percabangan yang
mengurangi kualitas kayu yang dihasilkan.
Persintensi tanaman pakan terhadap naungan
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih tanaman pakan
yang akan dikembangkan dalam sistem silvopastoral, antara lain (i) apakah cocok
untuk sistem penggembalaan atau sistem potong dan angkut, (ii) apakah cocok
dengan kondisi lingkungan dan iklim setempat, (iii) apakah akan berproduki
dengan baik pada kondisi ternaungi dan cekaman kelembaban, (iv) bagaimana
responnya terhadap pengelolaan yang intensif, dan (v) bagaimana persistensi
tanaman pakan dalam jangka waktu yang lama terhadap kondisi lingkungan
tersebut (Nowak et al., 2003).
Kehadiran cahaya matahari akan berpengaruh terhadap produki bahan kering
melalui proses fotosintesisnya, dimana fotosintesis merupakan mekanisme
penggunaan cahaya matahari yang dikonversi oleh tanaman dalam bentuk energi
yang dapat digunakan dalam sistem biologis. Umumnya rerumputan meningkat
produkinya sejalan dengan dilakukan penjarangan pada tanaman utama yang
menaunginya. Produki bahan kering mempunyai hubunngan yang sangat dekat
dengan intensitas transmisi cahaya matahari. Tetapi walaupun begitu ada beberapa
jenis tanaman pakan yang meningkat dengan meningkatnya tingkat naungan
sampai tingkat intensitas cahaya matahari tertentu dan tingkat transimisi cahaya
matahari 45% merupakan tingkat cahaya minumum yang potensial untuk
memungkinkan tanaman pakan tetap tumbuh pada sistem silvopastoral (Ladyman
et al., 2003)
Kesuburan tanah
Kesuburan tanah menjadi permasalahan yang nampaknya harus cukup
mendapat perhatian karena akan mengganggu terhadap keberlanjutan silvopastoral
ini. Hal ini disebabkan bahwa silvopastoral bukan merupakan suatu sistem dengan
siklus yang tertutup. Pada saat pemanenan dengan sistem potong clang angkut
terjadi pengangkutan nutrient tanah dalam bentuk hijauan pakan dan tidak ada
usaha untuk mengembalikannya kembali lagi, baik berupa pemberian pupuk kimia
maupun organik. Sikap sebagian peternak yang tidak melakukan pemupukan ini
disebabkan oleh dua alasan mendasar, yaitu lahan hutan yang masih sangat subur
dan jarak kandang yang relatif jauh dengan lokasi kebun rumput di hutan. Lahan
yang subur sampai hari ini masih dapat mendukung pertumbuhan dan produki
tanaman pakan sehingga peternak belum mersa perlu melakukan pemupukan,
sedangkan lokasi kebun yang jauh berada di hutan manjadi kendala dalam
pengangkutan kotoran ternak yang bulky. Padahal kotoran ternak sebagai pupuk
organik belum dimanfaatkan secara optimal. Bahkan kotoran ternak tersebut
menjadi sumber pencemaran. Kesadaran peternak untuk memberikan pemupukan
hara perlu dibangun untuk mempertahankan kesuburan tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Bumualim, A, J Nuluc, dan Rc Gutterdge. 1990. Usaha perbaikan pakan ternak sapi di Nusa Tenggara, Jurnal Litbang Pertanian, 12 (2) : 38-44.
Ladyman, K.P., M.S. Kerley, R.L. Kallenbach, H.E. Garrett, J .W. Van Sambeek, and N .E . Navarrete-Tindall. 2003 . Quality and quantity evaluations of shade grown forages . AFTA 2003 C.on Proceedings. 175 - 181.
Michel, G.A., V.D. Nam, P. K. R. Nair and S. C. Allen. 2003. Silvopasture as an aproach torducing ntrient pllution from psturelands in Florida. In: AFTA 2005 Conference Proceedings. 1-5 .
Moenandir, J. 1993. Persaingan tanaman budidaya dengan gulma: Ilmu Gulma-Buku ketiga. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. 101 .
Nair PKR. 1991. State-of-the-art of agroforestry system. J. Forest Ecology Manage. 45:5-29
Nowak, J., A. Blount and S Workman. 2002. Circular 1430, integrating timber, forage and livestock production-benefits of silvopasture . School of Forest R Resources and Conservation, Florida Cooperative Extension Service, University of Florida.
Purba, A., S.P. Ginting, Z. Poeloengan, K. Simanihuruk dan Junjungan. 1997. Nilai nutrisi dan manfaat pelepah kelapa sawit sebagai pakan domba. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 5 (3) : 161-177 .
Sitompul, D. 2003. Desain pembangunan kebun dengan sistem usaha terpadu ternak sapi Bali . Prosiding Lokakarya Nasional : Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Bengkulu, 9-10 September 2003. P. 81-88.
USDA. 2008. Silvopasture : Establishment & Management for Principles for Pine Forest in The Southeastern United States. National Agroforestry Centre.
Vergara, 1982 New Directions in Agroforestry: The Potential of Tropical Legume Trees. A Working Group on Agroforestry Environment and Policy Institute. Hawai, USA. 36 p.)
White, L. 2005. Silvopasture literature review. Agroforestry Unit of Saskatchewan Foret Centre. Canada. 36
Widjaja, E., dan B.N. Utomo. 2001. Pemanfaatan limbah kelapa sawit solid sebagai pakan tambahan temak ruminansia di Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Nasional Petemakan dan Veteriner. Bogor, 17-18 September 2001. P. 262-268.
Young. 1989. Agroforestry for Soil Conservation. ICRAF Science and Practise of Agroforestry. 276 p
top related