onghokham menimbang bung karno

34
Onghokham Menimbang Bung Karno Kamis, 28 Januari 2010 Kompas, 5 oktober 2009 Onghokham Menimbang Bung Karno Oleh: Peter Kasenda Data buku • Judul : Sukarno, Orang Kiri, Revolusi & G30S 1965 Penulis : Onghokham Penerbit : Komunitas Bambu, April 2009 Tebal : xii + 220 halaman ISBN : 979-3731-52-4 Ada kekaguman yang diekspresikan sejarawan Onghokham kepada Sukarno. Namun, kekaguman itu tidak membuat dirinya luput melihat ironi Sukarno: yang menjadi korban dari konsistensinya sendiri. Sumbangan Onghokham, biasa disapa Ong, yang terpenting adalah ia telah menampilkan dirinya sebagai cendekiawan publik. Dialah sejarawan yang paling sering menulis di media. Melalui tulisannya, Ong bergelut seraya mengajak kita melihat persoalan masa kini untuk dibandingkan dengan peristiwa pada masa lampau. Perbandingan secara diakronis inilah yang menyebabkan sejarah di tangan Ong seolah-olah hadir di pelupuk mata, hidup, inspiratif, dan menarik. Namun, bagaimana kalau Ong menulis sejarah yang sezaman dengannya, dialaminya, dan bahkan ia terlibat di dalamnya? Inilah yang menarik selama membaca Sukarno, Orang Kiri, Revolusi & G30S 1965 karya Ong, suatu bunga rampai yang berkaitan dengan

Upload: okcta-xaverius

Post on 18-Jun-2015

305 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Onghokham Menimbang Bung Karno

Onghokham Menimbang Bung Karno

Kamis, 28 Januari 2010 Kompas, 5 oktober 2009

Onghokham Menimbang Bung Karno

Oleh: Peter Kasenda

Data buku• Judul : Sukarno, Orang Kiri, Revolusi & G30S 1965• Penulis : Onghokham• Penerbit : Komunitas Bambu, April 2009• Tebal : xii + 220 halaman• ISBN : 979-3731-52-4

Ada kekaguman yang diekspresikan sejarawan Onghokham kepada Sukarno. Namun, kekaguman itu tidak membuat dirinya luput melihat ironi Sukarno: yang menjadi korban dari konsistensinya sendiri.

Sumbangan Onghokham, biasa disapa Ong, yang terpenting adalah ia telah menampilkan dirinya sebagai cendekiawan publik. Dialah sejarawan yang paling sering menulis di media. Melalui tulisannya, Ong bergelut seraya mengajak kita melihat persoalan masa kini untuk dibandingkan dengan peristiwa pada masa lampau. Perbandingan secara diakronis inilah yang menyebabkan sejarah di tangan Ong seolah-olah hadir di pelupuk mata, hidup, inspiratif, dan menarik.

Namun, bagaimana kalau Ong menulis sejarah yang sezaman dengannya, dialaminya, dan bahkan ia terlibat di dalamnya? Inilah yang menarik selama membaca Sukarno, Orang Kiri, Revolusi & G30S 1965 karya Ong, suatu bunga rampai yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa politik yang terjadi pada abad ke-20, periode kehidupan penulis yang sezaman dengan sejarah yang dikisahkan.

Menurut Ong, banyak sejarawan segan menulis atau meneliti sejarah kontemporer atau masa yang sezaman dengan masa hidup sejarawan itu. Bahkan, ada yang mengatakan semakin kuno suatu zaman untuk diteliti, semakin ilmiah sifatnya karena emosi, kepentingan, dan lain-lain sudah mereda, serta mungkin bahannya pun lebih lengkap. Pendapat ini belum tentu benar. Sejarah kuno Indonesia, misalnya, sedikit sekali bahannya. Pun emosi dan kepentingan tentang suatu zaman lampau masih kuat.

Page 2: Onghokham Menimbang Bung Karno

Korban konsistensi

Ketertarikan Ong pada figur bapak pendiri ini bisa ditelusuri dari persahabatannya dengan aktivis-aktivis GMNI yang berdomisili di Asrama Daksinapati UI Rawamangun. Terlebih lagi Onghokham mempunyai kecenderungan politik pada PNI yang mempunyai hubungan emosional dan ideologis dengan Sukarno dan pada Sukarno sendiri. Ong dan Sukarno dilahirkan di Provinsi Jawa Timur dan Ong mempunyai kebanggaan yang berlebih atas provinsi kelahirannya.

Bagi seorang sejarawan, yang mengalami zaman Sukarno dan menulis mengenai Sukarno, delapan tahun sesudah Sukarno tiada, tidaklah mudah. Periode Sukarno mungkin terlalu dekat bagi sejarawan untuk melihat semua fakta. Kebesaran seorang tokoh membuat dirinya terselimut dengan nilai-nilai dan anggapan yang telah dikenakan kepadanya. Bagaimana bisa menulis biografi sesungguhnya untuk mengetahui ”badan alamiah” orang tersebut jika terselubung realitas-realitas palsu, yang menghambat pengenalan langsung terhadap si tokoh?

Sukarno adalah contoh yang jelas dari ironi sejarah dan penilaian sejarah. Sejak remaja ia berjuang. Ia berhasil. Bukan saja dalam usaha bersama mencapai cita-cita kemerdekaan, tetapi juga menjadi keberhasilan itu sendiri. Ia menjadi presiden dan kemudian dianggap dan menganggap diri sebagai personifikasi segala nilai dan slogan yang sedang dikembangkan. Namun, setelah kudeta 30 September 1965, ketika anak-anak muda meneriakkan mengenai pentingnya pembubaran PKI, Sukarno tidak mau membubarkan PKI. Sukarno tetap konsisten dengan pendirian mengenai perlunya tiga kekuatan besar bersatu menghadapi imperialisme dan kapitalisme. Di sini, kata Ong, Sukarno sendirian menghadapi realitas yang tak sesuai lagi dengan dirinya. Kejatuhan Sukarno, menurut Ong, disebabkan korban pandangan politiknya sendiri yang dipegangnya sejak 1926.

Pengalaman trauma

Sebenarnya, Ong juga menjadi korban tidak langsung dari Peristiwa Gerakan 30 September. Tulisan Saya, Sejarah dan G30S 1965 di buku ini berbicara mengenai pengalaman yang membuatnya trauma. Setelah G30S, Ong menyaksikan pembantaian massal di Jawa Timur, tempatnya berasal. Kenyataan itu membuat dirinya marah dan terguncang. Ketakutan menghampiri dirinya. Tanpa alasan jelas Ong ditahan penguasa militer pada Januari 1966. Penahanan atas diri Ong tidak berlangsung lama. Atas bantuan Nugroho Notosusanto, Ong bisa menghirup udara bebas. Barangkali itu adalah periode paling kelam dalam hidup Ong.

Pada awal Orde Reformasi, Masyarakat Sejarawan Indonesia mengadakan seminar Memandang

Page 3: Onghokham Menimbang Bung Karno

Tragedi 1965 secara Jernih di Serpong, Tangerang. Melalui makalah ”Refleksi tentang Peristiwa G30S (Gestok) 1965 dan Akibat-akibatnya”, yang dimuat kembali dalam bunga rampai ini, Ong berbicara mengenai latar belakang peristiwa tersebut ketimbang epilog Peristiwa G30S. Di sini Ong menyatakan pembantaian massal yang terjadi adalah perang saudara. Ini disebut perang saudara karena kalau tentara saja yang melakukannya tidak mungkin kehancuran PKI demikian total sehingga tidak ada bayang-bayangnya sama sekali kini.

Mengenai peristiwa kelabu tersebut, Sukarno memilih untuk memakai istilah Gestok dan bukan istilah Gestapu yang populer itu, yang bagi kalangan berpendidikan mempunyai makna sampingan yang jelas menunjuk pada organisasi teror Hitler, yaitu Gestapo. Menurut Ong, istilah Gestok memang lebih tepat dari sudut sejarah, sedangkan istilah Gestapu politis dan hina bagi gerakan tersebut. Namun, karena pemenang perebutan kekuasaan menyebut peristiwa itu Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), sejarawan sampai sekarang memakai istilah tersebut. Sejarah adalah sejarah pemenang, bukan sejarah orang kalah.

Sebelum Peristiwa G30S, Sukarno merupakan satu-satunya pemimpin nasional yang paling terkemuka selama dua dasawarsa lebih, yaitu sejak Sukarno bersama Hatta, pada 1945 mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Ia satu-satunya presiden negara-bangsa baru itu. Dengan karisma, kefasihan lidah, dan patriotismenya yang menggelora, ia tetap sangat populer di tengah semua kekacauan politik dan salah urus perekonomian pascakemerdekaan. Bahkan, sampai 1965 kedudukannya sebagai presiden tak tergoyahkan.

Namun, pasca-Peristiwa G30S situasinya menjadi lain. Menurut Ong, Angkatan 66 berhasil menurunkan Sukarno dan foto-foto Sukarno yang berada di setiap sudut jalan di Jakarta. Anehnya, lebih dari 20 tahun kemudian, pemerintahan Orde Baru mulai mengembalikan nama Sukarno-Hatta (yang mewakili generasi 28) ke proporsi kebenaran sejarah. Ada Bandara Sukarno-Hatta, ada penghormatan sebagai pahlawan nasional, dan lain-lain. Sukarno juga menjadi mitos yang bernilai politis dan disejajarkan dengan cita-cita kebangsaan. Foto-foto Sukarno diarak peserta kampanye.

Sayangnya, Ong tidak menjelaskan bahwa pada saat itu terjadi struggle of power sehingga sering secara sadar atau tidak sadar gerakan mahasiswa Angkatan 1966 menjadi alat. Angkatan ’66 memang monumental dalam hal mobilisasi mahasiswa, tetapi gerakan mereka telah masuk ke dalam setting politik yang dibangun oleh militer.

Melalui bunga rampai ini, Ong ingin mengatakan bahwa Peristiwa G30S telah membuat Pemimpin Besar Revolusi hilang dari panggung nasional dan internasional. Ternyata revolusi tidak berjalan sebagaimana digariskan Sukarno. Selama pemerintahannya, situasi sosial-politik telah tumbuh ke dalam suatu kondisi matang bagi terjadinya revolusi lain. Sukarno digulingkan oleh kontrarevolusi yang dilancarkan Soeharto. Dalam konteks ini, benar juga ungkapan bahwa setiap revolusi harus mengorbankan anak-anaknya sendiri. Sukarno hanyalah salah satu bukti

Page 4: Onghokham Menimbang Bung Karno

tambahan atas ungkapan ini.

* Penulis: Peter Kasenda Pengajar di Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta.

Next...

Diposkan oleh Peter Kasenda di 07:41 0 komentar    

Label: Tokoh Indonesia

Moestopo Menteri Pertahanan ‘Pertama’ yang Mengabdi pada Dunia Pendidikan

Sabtu, 05 Desember 2009

Peter Kasenda, Tokoh Indonesia, Hlm. 230—255. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Indonesia, Universitas 17 Agustus 1945.

Moestopo Menteri Pertahanan ‘Pertama’

Yang Mengabdi pada Dunia Pendidikan

Di daerah Kebayoran Baru terdapat perguruan tinggi, Universitas Prof Dr. Moestopo (Beragama). Sebuah perguruan tinggi tersebut menggunakan nama seseorang yang mendirikannya. Anak keenam dari delapan bersaudara, putra Raden Koesoemowinto pensiunan wedana Kediri di terdapat sejumlah gelar yang menyertai namanya. Lengkapnya Mayor Jendral (Purn) Prof. Doktor Moestopo Os (Oral surgeon), Orth (Orthdentist), Opdent (Operatives dentes), Pedo/De (Pedodentic/Dentalheatlh education), Prost (Pristhodonotia), Biol (Biologist) dan Panca (Pancasila). Sederetan gelar disertai sejumlah gelar di belakang namanya sebagai Bapak Publisitik/Ilmu Komunikasi, Bapak Perminyakan, Bapak Recllassering, Bapak Ilmu Kedokteran Gigi Indonesia, Bapak Ilmu Bedah Rahang Indonesia, Bapak Pengawal Pancasila dan Bapak Kerukunan Umat Beragama Indonesia.

Sederatan gelar yang menyertai nama dari pendiri Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) sebenarnya menunjukkan betapa luas minat, lakon yang dimainkan serta sumbangan dari ayah dari sembilan anak tersebut. Moestopo bukan saja menyandang sebelas tanda jasa dari Pemerintah Republik Indonesia yang diberikan atas pengabdiannya kepada bangsa dan tanah air

Page 5: Onghokham Menimbang Bung Karno

Indonesia. Tulisan di bawah ini mencoba mengisahkan peranan dari Moestopo dalam perjalanan bangsa Indonesia dengan demikian bisa diperoleh gambaran mengenai sederetan gelar maupun sejumlah tanda jasa yang ada pada Moestopo.

Menjadi Dokter Gigi

Moestopo dilahirkan di Ngaduluwih, Kediri pada tanggal 13 Juni 1913, dari buah perkawinan Raden Kusumowinoto, seorang pensiunan wedana dengan Indoen Sukijah. Ketika Moestopo berusia lima tahun, dia harus berpisah dengan kedua orangnya dan tinggal bersama dengan pamannya merupakan adik dari ayah Moestopo. Ia adalah seorang bupati Kediri yang bernama Raden Kusumo Adinoto. Rupanya Moestopo tidak tinggal terlalu lama bersama pamannya. Ketika Moestopo mulai masuk Hollands Indslansche Scholl, dia kembali tinggal bersama keluarga dan ayahnya ketika itu menjadi Fiscal Griffer di Kediri. Sewaktu Moestopo duduk di kelas V HIS, Raden Kusumowinoto meninggal dunia, Indoen Sukijah menitipkan Moestopo pada pamannya (dari ibu) yang menjadi wedana Plamah Kediri. Selama tinggal di sana Moestopo yang juga bersekolah di madrasah ketika itu mulai memperoleh ketrampilan menggembala kambing dan menanam sayur-sayuran yang berupa kubis dan jenis sayur-sayuran lainnya. Kemudian ketika dia duduk di kelas VI dan kelas VII HIS Moestopo menjadi jongos di kediaman Kepatihan Kediri dan dia mulai bekerja dari pukul 21.00 sampai 23.00 W.I.B. Selain itu setiap hari Rabu minggu terakhir setiap bulan, Moestopo terpaksa bolos sekolah karena harus bekerja sebagai juru tulis di pasar ternak yang menjual kambing, sapi dan kerbau.

Setelah menyelesaikan HIS pada tahun 1927, Moestopo kemudian melanjutkan sekolah Voor Klass MULO (kelas persiapan sekolah lanjutan pertama) dengan biaya ditanggung kerabatnya. Sebagai seorang yatim Moestopo belajar dengan keras agar tidak mengecewakan kerabatnya yang telah membiayai sekolahnya dan kerja kerasnya ternyata berbuah dengan lulusnya Moestopo dari MULO pada tahun 1931 dan Moestopo tidak berhenti di situ saja dia melanjutkan pendidikannya ke Hollands Indslansche Kweekschool. Ketika Moestopo berada di kelas III HIK, Moestopo tingal bersama dengan saudara misannya Raden Sutari sampai Moestopo berada di kelas II School ter Opleiding van Indische Tandartsen (sekolah pendidikan dokter gigi Indonesia) dan yang menanggung biaya pendidikannya adalah kakak Moestopo Raden Mustajab yang pernah menjadi Walikota Surabaya.

Ketika Moestopo duduk di kelas III STOVIT, Moestopo melepaskan diri menjadi beban kerabatnya dengan membiayai pendidikannya dan sekarang Moestopo mulai hidup mandiri.

Page 6: Onghokham Menimbang Bung Karno

Moestopo membiayai pendidikannya sekaligus kehidupan sehari-hari dengan cara kalau sehabis pulang kuliah siang hari, Moestopo berdagang beras dan barang-barang kelontong lainnya dengan menggunakan gerobak dorong. Moestopo mulai berdagang dari siang hari hingga sore hari dengan diawali mulai menjual sabun sampai akhirnya bisa menjadi leveransir kebutuhan rumah tangga Asrama Agama Kristen Surabaya, Asrama Dokter NIAS dan keluarga besar di daerah Tambaksari.

Meskipun Moestopo sibuk berdagang, Moestopo juga menjadi Dental Technician dari Prof. M. Knap yang menjadi guru besar Sekolah Tinggi Kedokteran Gigi STOVIT Surabaya. Moestopo mulai bekerja dari 17.00 sampai pukul 24.00 W.I.B. dan bahkan sering baru selesai pada pukul 02.00 WIB dinihari. Dari hasil kerja kerasnya, Moestopo bukan hanya mampu membiayai kuliahnya serta kehidupan sehari-hari, tetapi dia mampu menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk membeli sebuah rumah sederhana yang beratap alang-alang yang letaknya berada di luar kota Surabaya.

Next page...

Diposkan oleh Peter Kasenda di 11:40 0 komentar    

Label: Tokoh Indonesia

Amir Sjarifuddin di Persimpangan Jalan

Peter Kasenda, Tokoh Indonesia, Hlm. 256—309. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Indonesia, Universitas 17 Agustus 1945.

Amir Sjarifuddin di Persimpangan Jalan

Setelah Partai Sosialis Amir Sjarifuddin menyatakan diri bergabung pada PKI pada tanggal 27 Agustus 194. Mr. Amir Sjarifudin yang pernah menjadi Menteri Penerangan RI yang pertama, Menteri Keamanan Rakyat / Pertahanan yang pertama dan Perdana Menteri yang kedua membuat pengakuan mengenai kesalahannya pada masa lampau sebagai berikut:

Page 7: Onghokham Menimbang Bung Karno

Kita akui dan saya sebagai seorang komunis akui, telah menjalankan kesalahan dalam lapangan politik dan saya saya berjanji tidak akan menjalankan politik salah lagi, dan akan saya perbaiki selanjutnya ……..Orang bilang saya mesti digantung. Saya tidak takut, saya cukup melatih diri dalam penderitaan dan siksaan. Kalau saya harus dihukum gantung karena kesalahan politik, di zaman Republik ………..Saya akui telah menerima dari Van der Plas f 25..000,- tetapi saya jalankan itu karena Komintern telah menganjurkan kepada kami untuk kerjasama dengan kaum penjajah di dalam front bersama melawan fasisme ………Tetapi setelah Perang Dunia II selesai kaum komunis telah melepaskan kerjasama itu. Sekarang kami dari PKI tidak mengakui lagi “ Linggarjati”, ”Renville” dan Manifest Politik 1 November 1945 dan kami melepaskan politik kompromi dengan musuh dan kami melepaskan politik kompromi dengan musuh. [1]

Partai Sosialis yang dipimpin Amir Sjarifuddin juga mengeluarkan pernyataan yang mengakui kesalahan pada masa lampau. Ia menyatakan bahwa pada bulan Oktober 1945 Komunis Ilegal membentuk Partai Sosialis Indonesia (Parsi) dan ini dianggap sebagai suatu kesalahan sebab komunis tidak akan mendirikan Partai Sosialis tetapi mendirikan suatu Partai Komunis. Ketika Partai Sosialis Indonesia digabungkan dengan Partai Rakyat Sosialis, yang kemudian merupakan sayap kanan Partai Sosialis dibawah pimpinan Sutan Sjahrir.Penggabungan ini dianggap sebagai suatu kesalahan sebab suatu partai yang berdasarkan pada Marxist-Lenisme tidak akan bergabung dengan kaum reformist. Kesalahan yang lain adalah memberikan kepemimpinan Partai Sosialis fusi itu dipegang oleh sayap kanan. Koreksi diri dalam bidang organisasi mulai berhasil ketika Kabinet Sjahrir III jatuh pada bulan Juni 1947 dan dengan diikuti keluarnya sayap kanan dari Partai Sosialis pada bulan Februari 1948. Sedangkan kesalahan dalam bidang politik adalah mengadakan kerja sama dengan bangsa-bangsa imperialis dengan asumsi bangsa-bangsa imperialis dan anti-imperialis sedang melawan musuh bersama, sebagaimana terjadi di Eropah. Berdasarkan kejadian tersebut maka komunis di sini mendesak untuk bergabung dengan sosial reformist. [2]

Ketika Pemberontakan PKI Madiun meletus pada tanggal 19 September 1948. Pada tanggal 23 September 1948, Amir Sjariduddin yang terlibat di dalamnya, mengucapkan pidato radionya lewat Radio Gelora Pemuda yang berbunyi sebagai berikut:

Perjuangan yang kita sedang lancarkan di sini adalah tidak lebih dan tidak kurang daripada satu pergerakan untuk membetulkan evolusi revolusi kita. Oleh itu asasnya masih sama dan tidak pernah berubah.

Page 8: Onghokham Menimbang Bung Karno

Mengikut pertimbangan kami revolusi kekal sebagai suatu yang bersifat nasional, yang boleh dinamakan sebagai revolusi borjuis demokrat. Perlembagaan kami masih lagi sama, bendera kami masih lagi berwarna merah dan putih, manakala lagu kebangsaan kami tidak lain daripada Indonesia Raya. [3]

Abu Hanifah kawan akrab ketika mondok di Indonesiche Studieclub Gebouw yang mendengar pidato Amir Sjarifuddin yang diradiokan berkali-kali, menaruh rasa kasihan kepada kawannya itu. Abu Hanifah merasakan bahwa pidato tersebut ada nada-nada ada frustasi, kebingungan dan keputusasan. Pidato tersebut dianggap sama sekali bukan pidato seorang seorang pemimpin komunis yang fanatik dan terdidik. Ia tidak percaya kalau Amir Sjarifuddin, yang selalu membawa Injil kecil dalam sakunya adalah Komunis. Amir diduga sebagai seorang ‘radikal-sosialis’ atau nasionalis revolusioner atau marxis tok. Abu Hanifah menganggap Amir Sjarifuddin adalah ‘seorang pejuang yang kecewa dalam cita-citanya buat kemerdekaan tanah airnya‘. Amir Sjarufuddin telalu banyak mengharapkan dari manusia-manusia di sekelilingnya. [4]

Tetapi mengapa Amir Sjarifuddin mengaku dirinya sebagai seorang Komunis. Selama ini orang mengenalnya sebagai seorang Kristen yang saleh. Ketika menjadi menteri penerangan dan menteri keamanan/pertahanan dikenal oleh jemaah Gereja HKBP Kotabaru (Yogyakarta ) sering memberikan khotbah pada hari Minggu. Mengapa ia berada di Madiun. Mengapa semua ini terjadi ? Tulisan ini mencoba menelusuri perjalanan tokoh kontroversial dalam hidupnya maupun dalam perjalanan bangsa Indonesia, yang menyebabkan Amir Sjarifuddin berada di kota Madiun. Justru keberadaannya di sana telah mengantarkan nyawanya untuk dihukum mati.

Keturunan Raja Padang Lawas

Amir Syarifuddin Harahap dilahirkan pada tanggal 27 Mei 1907 di Medan. Ia adalah buah perkawinan dari Baginda Soripada Harahap dengan Basunu boru Siregar. Amir Syarifuddin yang berarti “Pembaru Iman“ bergelar Sutan Gunung Mulia

Page 9: Onghokham Menimbang Bung Karno

Soaloon.Ia anak sulung dari tujuh bersaudara. Amir dengan tiga orang adik dibawahnya tidak mempergunakan nama marga Harahap dan sedangkan tiga adiknya yang terakhir tetap mempergunakan nama marga Harahap. Tindakan ini dilakukan karena adanya kesepakatan yang diambil dalam Kongres Pemuda tahun 1927 untuk tidak mempertahankan nama marga dan gelar-gelar kebangsawanan dan menganggap bahwa semua orang Indonesia adalah satu dan sama derajatnya. [5]

Adalah akibat tindakan Tentara Imam Bonjol terhadap penduduk Tapanuli Selatan pada saat terjadinya Pemberontakan Imam Bonjol (1822 – 1837) di Sumatra Barat yang merembes ke Tapanuli Selatan menyebabkan nenek moyang Amir meninggalkan wilayah Gunung Tua di mana terdapat batu nenek moyang, di dataran Padang Lawas sampai ke danau Toba menyingkir ke Tapanuli Utara. Di Sipirok Kakek Amir, Sutan Gunung Tua tertarik pada sekolah yang didirikan di Parausorat pada tahun 1868 oleh pekabar Injil A. Schreiber untuk mendidik para ‘pekabar Injil‘. Sutan Gunung Tua yang merupakan keturunan raja-raja Padang Lawas yang semula beragama sukunya ‘Parbegu’ dibaptis menjadi seorang Kristen Prostestan pada tahun 1861 dan mendapat nama ‘Ephraim‘.Tahun 1875, ia diangkat menjadi Jaksa di Sipirok dan sepuluh tahun kemudian ia menjadi Jaksa Kepala di Tapanuli. [6]

[1] A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia – Pemberontakan PKI 1947, Jilid 8 (Bandung, Disjarah AD dan Angkasa, 1979), hal. 210 – 213.

[2] Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1980), hal. 342 – 343.

[3] Ibid., hal. 363.

[4] Abu Hanifah, ‘ Revolusi Memakan Anaknya Sendiri, Tragedi Amir Sjarifuddin, “ Prisma No. 8, Agustus 1977, Tahun VI, hal, 86 – 100.

[5] Frederick Djara Wellem, Amir Sjarifoeddin – Pergumulan Imannya dalam Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hal. 58 – 61.

[6] Jacques Leclerc, “ Amir Sjarifuddin 75 Tahun, Prisma No 12, Desember 1982, Tahun XI, hal. 54 – 76

Page 10: Onghokham Menimbang Bung Karno

Next page...

Diposkan oleh Peter Kasenda di 11:37 0 komentar    

Label: Tokoh Indonesia

Hamengku Buwono IX: Sultan yang Mengabdi pada Republik

Rabu, 21 Oktober 2009

Peter Kasenda, Tokoh Indonesia, Hlm 102—133. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas 17 Agustus 1945, 2005.

Hamengku Buwono IX: Sultan yang Mengabdi pada Republik

Ketika Proklamasi Kemerdekaan Hamengku Buwono IX menunjukkan simpati dan dukungan terhadap Republik Indonesia. Malahan Hamengku Buwuno IX mengundang Pemerintah Republik Indonesia untuk memindahkan kedudukannya ke Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (ketika situasi di Jakarta kurang aman) yang kemudian menjadi jantung revolusi Indonesia. Dari sanalah gerakan kemerdekaan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dimulai. Sikap berpihak Hamengku Buwono IX pada Republik bisa dimengerti, karena sebagaimana yang dikatakan Hamengku Buwono IX “My nacestors always struggled againts the Ducth, Jogjakarta was born out that“. Sejarah Indonesia pun mencatat sejumlah keturunan dari Panembahan Senapati, yang dahulunya bernama Sutawijaya, pendiri kerajaan Mataram telah mendapat anugerah dari pemerintah Republik Indonesia, sebagai pahlawan bangsa Indonesia. Seperti Sultan Agung (1591–1645), Pangeran Diponogoro, putera Hamengku Buwono III (1785–1855) dan Sri Susuhunan Paku Buwono VI (1807–1849), yang membantu Pangeran Diponogoro dalam Perang Jawa (1825–1830). Ketiganya memperoleh penghargaan sebagai pahlawan nasional. Suryopranoto (1871–1959), yang memperoleh julukan De Staingskoning (Raja Mogok) dari pemerintah Belanda, karena cucu Paku Alam III menentang penguasa Belanda dengan memimpin pemogokan kaum buruh di pabrik-pabrik gula dan rumah penggadaian dikukuhkan sebagai pahlawan pergerakan nasional, Ki Hajar Dewantara (1880–1959), adik Suryapranoto berlainan ibu memperoleh gelar pahlawan pergerakan nasional. Pangeran Sambernyawa alias

Page 11: Onghokham Menimbang Bung Karno

Raden Mas Said (1772–1795) sebagai pahlawan kemerdekaan nasional. Pemerintah Soeharto berdasarkan Surat Keputusan Republik Indonesia 053/TK/Tahun 1990, tanggal 39 Juli 1990, menganugerahi Hamengku Buwono IX sebagai pahlawan nasional.

Syahdan, pada tahun 1629 bala tentara kerajaan Mataram yang telah memperoleh perintah dari Sultan Agung untuk menyerang Belanda tiba di tepi sungai Ciliwung. Bala tentara Mataram menjadikan daerah sekitar sungai Ciliwung tersebut sebagai pangkalan untuk melancarkan serangan terhadap Belanda. Oleh karena itu daerah tersebut sampai sekarang terkenal dengan nama Mataram (Matraman). Bala tentara Mataram tidak berhasil menaklukan Belanda dan dari Batavia inilah Belanda meluaskan daerah kekuasaannya sehingga pada akhirnya seluruh wilayah Nusantara berada dibawah pengaruh Belanda. Tiga ratus dua puluh tahun kemudian yakni pada tanggal 27 Desember 1949 sore, sebuah delegasi berangkat dari gedung Proklamasi Pegangsaan Timur 56, yang terletak di daerah Mataram menuju Paleis Rijswik untuk menghadiri upacara berakhirnya kekuasaan Belanda di wilayah Nusantara ini. Sejak terjadinya pengakuan kedaulatan nama Paleis Rijswik digantikan menjadi Istana Merdeka. Delegasi yang menghadiri upacara peresmian berakhirnya kekuasaan Belanda atas Indonesia itu berada di bawah pimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, keturunan Sultan Agung.

Kerajaan Mataram berawal dengan berkuasannya Kiai Gede Pemanahan di tanah Mataram, yang merupakan vasal dari Kesultanan Padang. Ketika Kiai Gede Mataram Pamanahan yang kemudian disebut sebagai Kiai Gede Mataram meninggal dunia pada tahun 1551, diganti oleh putranya, Sutawijaya yang disebut juga sebagai Pangeran Ngabei Loring Pasar. Sutawijaya kemudian memberontak terhadap kesultanan Pajang. Setelah Sultan Pajang meninggal pada tahun 1582, Sutawijaya mengangkat dirinya sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati. Kesultanan Pajang dijadikan daerah bagian Mataram yang beribukotakan di Kotagede. Di masa pemerintahan Panembahan Senapati menjalankan politik ekspansi sehingga daerah kekuasannya semakin luas saja.

Kebijaksanaan politik itu diteruskan oleh putranya, yang biasanya disebut sebagai Panembahan Sedo Krapyak dan cucunya, Sultan Agung Anyokromokusumo. Di masa pemerintahan Sultan Agung (1613–1645), kerajaan Mataram mengalami masa jayanya. Ibukota kerajaan dipindahkan ke Plered. Rupanya politik ekspansi Mataram terhadang dengan adanya Verenidge Oost Indische Compagnie (Serikat Dagang Hindia Timur) dengan gubernur jenderalnya J.P. Coen yang bermarkas di Batavia. Dua kali bala tentara Mataram mencoba mengepung dan menggempur Batavia (1628–1629), tetapi VOC tidak berhasil ditaklukan. Sultan Agung kemudian memutuskan untuk berhenti perang, tetapi juga tidak berdamai dengan VOC. Kedua belah pihak mempunyai kepentingan yang bertentangan, Kerajaan Mataram ingin menjalankan politik ekspansinya tetapi di lain pihak VOC mengadakan monopoli perdagangan.

Page 12: Onghokham Menimbang Bung Karno

Setelah Sultan Agung meninggal dunia pada tahun 1645, putranya Sunan Amangkurat I menggantikan serta memindahkan ibukota kerajaan Mataram ke Kerto. Di masa pemerintahan yang lalim itu (1645–1676) menyebabkan terjadi pemberontakan Trunajaya dari Surabaya, yang mana putra mahkota Sunan Amangkurat I terlibat di dalamnya. Ketika itu ibukota Kerto jatuh dan Sunan Amangkurat I bersama putra mahkotanya yang berbalik membela Sunan Amangkurat I terpaksa meninggalkan ibukota kerajaan. Ketika mencoba mencari bantuan VOC, sesampai di Tegalarum Sunan Amangkurat meninggal dunia dan putranya menggantikannya dengan gelar Sunan Amangkurat II.

Pengganti Sunan Amangkurat I mendapat bantuan dari VOC dalam mempertahankan tahtanya serta berhasil memadamkan pemberontakan Raden Trunajaya. Dan kemudian memindahkan ibukota kerajaan ke Kartasura. Ternyata bantuan yang diberikan VOC itu telah menyebabkan kerajaan Mataram harus memikul ongkos perang serta memberikan sejumlah konsensi yang sangat merugikan kerajan Mataram sendiri. Bermula dari persoalan itu, menyebabkan hubungan kedua belah pihak semakin tegang saja. Hal ini mencapai puncaknya setelah Sunan Amangkurat II meninggal pada tahun l903 dan diganti oleh putranya, Sunan Amangkurat III, yang dikenal dengan sebutan Sunan Mas. Sikap permusuhannya terhadap VOC, menyebabkan VOC lebih suka mengakui Pangeran Puger (adik dari Sunan Amangkurat II) sebagai raja Mataram dengan gelar Paku Buwono I. Kemudian terjadi perang suksesi I (1704–1708), yang mana akhirnya Sunan Amangkurat II menyerah serta dibuang ke Sailan (Srilangka) dan Paku Buwono I yang menjadi pemenang harus menyerahkan sejumlah wilayahnya kepada VOC.

Ketika Paku Buwono I meninggal dunia pada tahun 1719 dan putranya menggantikannya dengan gelar Sunan Amangkurat IV yang lebih dikenal sebagai Sunan Prabu (1719-1727). Pada masa pemerintahan Sunan Prabu terjadi perang suksesi II (1719–1723), VOC terlibat didalamnya. Ketika Sunan Prabu meninggal dunia dan digantikan oleh putranya, Paku Buwono II. Pada masa pemerintahan Paku Buwono II (1727–1749) terjadi pemberontakan orang-orang Cina terhadap VOC. Semula Paku Buwono II memihak terhadap pemberontakan Cina, tetapi setelah melihat orang-orang Cina diambang kekalahan, Paku Buwono II menjadi bimbang dan kemudian memutuskan berada di pihak VOC. Kejadian ini menyebabkan Raden Mas Garendi bersama para pemberontak menggempur keraton, sehingga Paku Buwono II terpaksa melarikan diri. Pemberontakan itu berhasil dipadamkan oleh VOC dan tahta Mataram dapat direbut kembali pada tahun 1743. Setelah perang usai Paku Buwono memindahkan ibukota kerajaan ke Surakarta Adiningrat pada tahun 1744.

Next.....

Page 13: Onghokham Menimbang Bung Karno

Diposkan oleh Peter Kasenda di 01:19 0 komentar    

Label: Tokoh Indonesia

Soedjatmoko Dekan Intelektual Bebas Indonesia

Peter Kasenda, Tokoh Indonesia, Hlm. 182—202. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas 17 Agustus 1945, 2005.

Soedjatmoko Dekan Intelektual Bebas Indonesia

le role d’un clrec n’est’pas de changer le monde, mais de rester fidele a un ideal don’t le mainten me semble necessaire a la moralite de’espece humaine. (Julien Benda)

Kursi Dekan Intelektual Bebas Indonesia kosong. Pendengarnya tak mungkin mendengar pandangan Soedjatmoko yang cemerlang dengan bobot kearifan yang dilakukan hampir empat puluh tahun ini. Kini Soedjatmoko meninggalkan warisan yang merupakan buah pikiran Soedjatmoko yang tertuang dalam lebih dari seratus tulisan mengenai masa depan umat manusia.

Tulisan-tulisan Soedjatmoko mempunyai dimensi luas. Ia bergerak pada masalah kebudayaan, sastra, sejarah, pembangunan, ilmu pengetahuan, politik, diplomasi, percaturan internasional dan agama. Perhatian Soedjatmoko yang begitu luas dan besar menyebabkan tidak gampang bagi pendengarnya menunjukkan kotak mana Soedjatmoko berada.

Soedjatmoko berbicara berbagai masalah di tengah arus kuat berpikir dislipiner dengan ketat membatasi pembahasan masalah dalam bidang-bidang spesialisasi. Ia benar-benar mewaspadai apa yang dipandang sebagai spesialisasi yang berlebihan dalam disiplin akademis dan mencoba belajar tak begitu percaya pada fragmentasi yang mewarnai metode ilmiah. Disiplin ilmu hanya merupakan konsensus yang dihasilkan manusia. Seorang tidak boleh memutlakkan tetapi boleh menerima sehingga membatasi kebebasan berpikir seharusnya disiplin ilmu membantu

Page 14: Onghokham Menimbang Bung Karno

kebebasan berpikir dan bukan mengintimidasinya dengan menetapkan batas-batas yang terlanggar.

Kalau boleh memakai kata-kata Ignas Kleden. Tulisan Soedjatmoko lebih menekankan pada kesungguhan menghadapi masalah ketimbang sebagai usaha membangun suatu pemikiran atau mengadakan penerobosan dalam suatu disiplin ilmu. Dalam bahasa yang hampir sama. Frans von Magnis Suseno menyatakan bahwa Soedjatmoko bukan seorang filsuf yang melahirkan suatu sistem sendiri. Atau melahirkan sebuah bangunan intelektual yang bisa dikagumi oleh generasi berikutnya bukan menjadi tujuan dari Soedjatmoko. Tantangan spiritual dan etis yang dihadapi Soedjatmoko menyebabkan ia menggumuli tema-tema yang begitu luas.

Keadaan dunia yang sedemikian suram menyebabkan Soedjatmoko menjadi kecewa sebagaimana tercermin dalam tulisan-tulisannya. Ia menyaksikan dunia dilanda penderitaan, kekecewaan maupun jurang kaya-miskin terus melebar. Pertentangan politik,resesi ekonomi dan pencemaran lingkungan hidup melanda segenap sistem internasional. Pertumbuhan penduduk yang memusingkan, teknologi yang mengasingkan dan kekuatan destruktif yang mengerikan hanya membuat Soedjatmoko gusar. Tulisan-tulisan Soedjatmoko merupakan refleksi atas prestasi upaya pembangunan pasca Perang Dunia II. Kendatipun demikian tak menyebabkan Soedjatmoko menjadi apatis. Ia pun percaya bahwa langkah-langkah pertama ke arah kelangsungan hidup umat manusia harus diambil, ketika masyarakat menyadari kerentanan yang mengancam masa depan mereka. Soedjatmoko tak memiliki obat untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia karena tak percaya pada adanya obat serba mujarab. Soedjatmoko lebih menyukai memberi jawaban yang tidak sederhana pada masalah yang begitu kompleks yang menjadi perhatiannya.

Kalau bisa menggunakan kata-kata Umar Kayam, dalam memberi jawaban Soedjatmoko bukanlah seorang yang akan menjelaskan dalam perjalanan itu ada satu lorong dimensi melainkan mengambil posisi sebagai penunjuk jalan yang memperlihatkan ada beberapa pilihan lorong yang bisa ditempuh. Kemungkinan besar Soedjatmoko tidak akan menjatuhkan pilihan pada satu lorong saja, tetapi yang dikerjakan adalah membeberkan betapa rumitnya lorong-lorong itu. Melalui cara itu membuat para pendengarnya merasa tidak kecewa tidak digurui atau diremehkan kecerdasannya.

Soedjatmoko menghargai proses pencarian jawaban sama dengan atau mungkin lebih daripada hasil pencarian itu. Pendekatan semacam itu dilakukan Soedjatmoko karena ia tak mempunyai keinginan menawarkan jalan pintas sampai ke tempat tujuan. Ia menyadari bahwa ada kemungkinan terdapat lorong-lorong yang tersembunyi dalam menuju suatu perjalanan.

Page 15: Onghokham Menimbang Bung Karno

Dunia Buku

Soedjatmoko merupakan anak kedua dari buah perkawinan Dr. Mohammad Saleh dengan R.A Ismadikun Bt Tjitrokusumo. Ia dilahirkan di Sawahlunto, Sumatra Barat pada tanggal 10 Januari l919, ketika ayahnya bertugas sebagai dokter pada Rumah Sakit Umum Sawahlunto dan kemudian dipindahkan ke Rumah Sakit Kediri (tahun l922–1924). Ketika Dr. Mohammad Saleh mendapat beasiswa untuk memperdalam keahliannya di Amsterdam, Negeri Belanda, keluarganya dibawa serta. Soedjatmoko hidup di lingkungan Belanda, bukan di lingkungan Jawa. Ia mulai pendidikan taman kanak-kanak di sana, suatu pengalaman yang tidak lazim

Next.....

Diposkan oleh Peter Kasenda di 01:16 0 komentar    

Label: Tokoh Indonesia

Sartono Kartodirdjo: Sejarawan Multidimensional

Peter Kasenda, Tokoh Indonesia, Hlm 310—335. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, 2006.

Sartono Kartodirdjo: Sejarawan Multidimensional

Tanggal 1 November 1987 di kampus Universitas Gajah Mada, Yogyakarta ada seminar sehari bertema “The Development of Interdisiplinary Approaches in The Study History in Indonesia and Southeast”, yang dihadiri oleh sejumlah ilmuwan yang mendalami mengenai Indonesia dari mancanegara, seperti Bernhard Dahm, A. Teeuw, M.C. Ricklefs, Joseph Fischer dan sejarawan tenar lainnya. Kegiatan seminar ini diselenggarakan untuk dosen untuk menghormati Prof. Dr. Sartono Kartodirjo yang telah memasuki masa pensiun sebagai dosen selama tiga puluh tahun pada Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada. Sebenarnya Sartono Kartodirdjo telah memasuki

Page 16: Onghokham Menimbang Bung Karno

masa pensiunnya pada tanggal 1 Maret 1986, tetapi acara seminar diadakan pada tanggal itu, semata-mata untuk mengormati Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo yang menempuh ujian disertasinya, The Peasants’ Revolt of Banten 1888: Its Conditions, Course dan Sequel; A Case Study of Social Movement in Indonesia, dengan mendapat nilai Cum Laude pada tanggal yang sama duapuluh satu tahun yang lalu.

Sejumlah puja-puji terhadap diri Sartono Kartodirdjo mewarnai acara tersebut. M.C. Ricklefs, guru besar Monash University menyatakan bahwa Sartono Kartodirdjo dalam melakukan pendekatan maupun metode tidak berhenti pada pendekatan konvensional saja, tetapi telah bergerak pada pendekatan sosiologi, sastra dan filsafat. Karena itulah Sartono Kartodirjo lebih terbuka terhadap pendekatan-pendekatan baru dibandingkan dengan kebanyakan sejarawan diluar negeri, maka ia selangkah lebih maju dibandingkan rekan-rekannya. Kalau dulu Sartono Kartodirdjo banyak dipengaruhi oleh bekas guru besarnya seperti Harry J. Benda dan W.F. Weterheim. Tetapi sekarang dia lebih maju dibandingkan keduanya terutama di dalam masalah metedologi.

Mendengar puji-puji serta pembacaan riwayat hidup, rupanya Sartono Kartodirjo di luar sekenario upacara langsung minta waktu untuk berbicara. Dengan sigap Rektor UGM Prof. Dr. Koesnadi Hardirdjo mempersilahkan Sartono yang penglihatannya berapa tahun terakhir semakin berkurang itu kemimbar. Dari mimbar Sartono Kartodirdjo berkata, “Meski menderita karena menjadi objek, saya juga merasa berbahagia sekali. Karena ….. saya bisa mendengar riwayat hidup tadi ketika saya masih hidup dan sehat.” Segera terdengar gemuruh tepuk-tangan. Merujuk pada puja-puji yang didengar siang hari itu, Sartono Kartodirdjo kemudian menyitir salah satu nasihat dalam kitab Ajurna Wihaha, “Saya akan tetap berusaha... tak menjadi takabur dalam saat mendapatkan anugerah.”

Seminar sehari itu bukan berisi puja-puji tetapi juga penghargaan. Sebagai tanda kekaguman serta terima kasihnya Joseph Fischer, mahaguru Universitas California, Amerika Serikat yang sekarang menjadi pengusaha penerbitan dan bekas kolega Sartono Kartodirdjo ketika mengajar di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM dengan sukarela menyediakan dua tanda penghargaan yang dinamakan: “The Profesor Sartono Kartodirjo Prezes in History and Social Thought”. Satu diperuntukan setiap mahasiswa UGM yang berhasil menulis skripsi atau tesis terbaik mengenai sejarah Indonesia. Sisanya untuk setiap dosen atau mahasiswa yang menulis manuskrip terbaik mengenai sejarah Indonesia dan diterbitkan oleh Gajah Mada University Press.

Sebagai puncak acara penghargaan kepeda Sartono Kartodirdjo. Gajah Mada University Press menyerahkan kepada Sartono Kartodirdjo sebuah festschrift – Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejerah Kritis, yang merupakan karangan yang ditulis sejumlah kolega dan bekas murid-

Page 17: Onghokham Menimbang Bung Karno

muridnya. Sebaliknya, Sartono Kartodirdjo tidak mau kalah, ia sendiri menyerahkan karya terbarunya – Kebudayaan Pembangunan Dalam Perspekif Sejarah, yang merupakan kumpulan artikel, baik yang berasal dari seminar maupun yang tersebar dalam media massa. Sebagai seorang sejarawan tak dapat disangsikan reputasinya. Ia telah menghasilkan puluhan buku dari buah tangannya serta kualitas tulisannya benar-benar bermutu. Tetapi sebagaimana dengan Sartono Kartodirjo sebagai pendidik. Untuk mengetahui itu ada baiknya mendengar apa yang diutarakan oleh Ibrahim Alfian, yang merupakan doktor pertama yang dibimbing oleh Sartono Kartodirdjo.

Persoalan, apakah parameter yang harus dipakai untuk menilai guru yang baik? Kalau parameternya bisa melahirkan sekian banyak penerus dan penyebar ide-idenya, beliau memang seorang guru yang baik dan berhasil… Tetapi kalau parameternya seorang guru yang baik harus sanggup melahirkan murid yang berkemampuan melebihi gurunya, guru mengajarkan 10 jurus baru, dan sang murid harus bisa menciptakan 60 jurus baru, saya kuatir, beliau belum bisa menghasilkan murid setarap atau melebihi sang guru… Beliau ingin menghasilkan harimau, namun yang tercipta hanya kambing-kambing. Seperti saya sediri, hanya kambing. Tapi, ini bukan salahnya sang guru mungkin karena kami-kami ini, muridnya, kenyataannya belum bisa menyamai ketekunan, keteladanan, semangat kerja beliu. Saya suadah diajarkan 10 jurus, tetapi jangankan mengembangkan jadi 60 jurus, mungkin hanya sekadar 2 jurus yang saya kuasai.

Kesadaran Sejarah

Sartono Kartodirdjo dilahirkan pada tanggal 15 Februari 1921, di Wonogiri Salatiga, Jawa Tengah, merupakan buah hasil perkawinan dari Tjiro Sarojo yang berkerja sebagai seorang Posterij Amtenar (PPT) dengan Soetimah, setelah memperoleh dua anak peremuan, Sarsini dan Sarsijem. Ketika Sartono Kartodirjo masih kecil ibunya meninggal dunia dan kemudian ayahnya menikah kembali Sartono memperoleh dua adik perempuan, Sri Soebekti dan Sri Soekesi. Atas terkabulnya keinginan keluarga Tjipto Sarojo memperoleh anak laki-laki, keluarga Sarojo memenuhi nazarnya untuk membawa sang bayi yang belum berusia satu tahun itu menuju Candi Prambanan yang terletak di perbatsan Yogyakarta – Klaten. Sebenarnya ongkos perjalanan berpergian Yogyakarta – Klaten. Sebenarnya ongkos perjalanan berpergian ke Candi Prambanan ketika itu termasuk mahal. Ketika itu kereta api dari Wonogiri, dimana Sartono Katodirdjo dilahirkan menuju Solo saya saja menghabiskan ongkos sebesar tiga puluh sen. Kepergian keluarga Sarojotersebut dengan harapan agar anak laki-lakinya itu menjadi pandai. Harapan orang tua terhadap Sartono Kartodirdjo dianggap telah memberikan kengan khusus. Kenangan seperti itu telah memberi bimbingan supranatural terhadap diri Sartono Kartodirdjo mengenai bangai mana seharusnya hidup itu dijalankan. Sartono Kartodirdjo menganggap bahwa dibawanya dia ketempat bersejarah itu rupanya telah mempengaruhi bawah sadar sehingga menyebabkan Sartono mencintai lapangan yang sampai kini dilakoninya. Ayahnya sebenarnya menginginkan agar putranya menjadi seorang dokter. Hal itu tidak mungkin terlaksana karena

Page 18: Onghokham Menimbang Bung Karno

Sartono Kartodirdjo takut melihat darah dan beberapa kali semaput kalau melihat darah, karena itu dia menyadiri bahwa masa depan menjadi dokter telah tertutup. Walaupun demikian, Sartono Kortodirdjo menyatakan dirinya tidak merasa mengecewakan hati orangtuanya setelah menjadi sejarah dengan alasan,

“Sebab fungsinya kan sama. Saya juga memberikan terapi pada orang lain. Sebab dengan berpegang pada sejarah yang benar. Kemajuan sebuah bangsa dapat terjaga, Keperibadian bangsa juga berakar dari sejarahnya.”

Sebenarnya minat Sartono Kartodirdjo terhadap sejarah tidak bisa dilepaskan dari lingkungan yang mengelilingi Sartono Kartodirdjo. Orang tua Sartono suka membeli buku terbitan Balai Pustaka mengenai sastra Indonesia dan sering membaca surat-surat, serta paman dan sebagainya sangat menyukai wayang. Ketika Sartono masih kecil dia sudah mendengar cerita mengenai perjuangan Pangeran Sambernyowo (Mangkunegara I). Dilingkungan keluarga Sartono terdapat kenangan khusus mengenai Pangeran Sambernyowo berupa tombak, Kyai Bruwang. Alkisah, salah seorang nenek moyang Sartono pernah menyelamatkan Pangeran Sambernyowo diseberangkan nenek moyang Sartono di Bengawan Solo dengan selamat. Sebagai rasa terima kasih Pangeran Sambernyowo menghadiahkan pusakan tombak Kyai Bruwang pada penolongnya itu. Sartono juga mendapat cerita dari ibunya yang mengatakan bahwa kakek Sartono adalah seorang ronggo. Suatu hari kakek bertengkar mulut dengan seorang pengawas perkebunan Belanda tersebut yang berwarga negara Belanda. Kemudian entah bagaimana terjadinya orang Belanda tersebut diketemukan mati terbunuh. Polisi Belanda langsung mencari kakek Sartono dan untuk menghindari perkara ia melarikan diri ke Jawa Timur. Diceritakan juga bahwa dari garis nenek secara turunan temurun adalah putra pejabat di Wonogiri. Namanya Mangunprajoko, keluarga dari ibunya Sartono adalah cikal bakal yang merupakan orang pertama yang membuka daerah dan menetap serta memimpin di Wonogiri.

Wonogiri sebenarnya adalah kota historis, banyak penelitian Pangeran Sambernyowo diketemukan di sana. Di sebelah selatan Wonogiri sering menemukan mikrolit, ujung-ujung panah yang biasanya orang Wonogiri menyebutnya sebagai gigi halilintar. Ketika itu guru Sartono di HIS menerangkan bahwa benda-benda yang diketemukan Sartono merupakan barang peninggalan nenek moyang. Menyaksikan benda dan mendengar sejumlah informasi mengenai benda-benda tersebut, secara tidak sadar telah menyebabkan ia menaruh minat. Disitulah mulai muncul persfektif historis, memandang kemasa lampau. Situasi dikota Wonogiri yang sepi dari keramaian menyebabkan anak-anak sebaya Sartono menaruh perhatian terhadap yang terjadi pada masa lampau.

Page 19: Onghokham Menimbang Bung Karno

Sartono kecil suka mendengarkan orang tuanya mendendangkan Macapat serta membawakan Wedatama yang dianggap Sartono sebagai pendidikan etika melalui sastra, dari penghayatan kebudayaan Jawa yang benar-benar hidup ketika itu. Sartono merasakannya sebagai suatu pengembangan intelektual meskipun hal itu berada di lingkungan Timur. Kalau lingkungan Barat adalah pendidikan formal, ketika Sartono kecil berada di kelas tiga HIS, pada bulan puasa dia berlibur selama sebulan kerumah kakaknya yang menjabat sebagai Kepala Desa di Borobudur. Setiap pagi selama sebulan, Sartono sendirian menjelajahi Borobudur menyaksikan candi-candi, sungai-sungai, bukit maupun sawah-sawah disekitarnya. Kadang-kadang Sartono kecil duduk menikmati pemandangan dari tingkat atas candi. Dari sana Sartono menyaksikan sekeliling bangunan candi yang indah dengan Sungai Progo.

Next.....

Diposkan oleh Peter Kasenda di 01:12 0 komentar    

Label: Tokoh Indonesia

Drijarkara, Imam yang Merintis Studi Filsafat

Peter Kasenda, Tokoh Indonesia, Hlm, 69—101. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas 17 Agustus 1945, 2005.

Drijarkara, Imam yang Merintis Studi Filsafat

Nama Drijarkara terukir di depan tembok Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara, sebuah perguruan tinggi yang berlokasi di Jakarta Pusat. Sebuah lembaga filsafat pendidikan yang dirintis oleh Sarekat Yesus dan Ordo Fratrum Minorum dengan dukungan Keuskupan Agung Jakarta. Pendapat-pendapatnya dikutip banyak orang, terutama ketika orang berbicara tentang pemikiran spekulatif itu, sebuah bidang ilmu yang dianggap tidak praktis. Memang ilmu filsafat pernah menjadi ilmu yang universal, payung segala ilmu positif. Tetapi ilmu-ilmu positif makin berkembang, makin tersepesialisasi, selaras dengan pragmatisme kehidupan manusia. Ilmu filsafat pun berkembang sebagai salah satu disiplin ilmu. Spekulasi tentang manusia kurang

Page 20: Onghokham Menimbang Bung Karno

mendukung sikap pragmatis, primum vivere deinde philosophari. Perkembangan ini tidak merugikan filsafat, melainkan makin memberi ruang bagi ilmu filsafat memainkan peran yang sebenarnya menangani pertanyaan-pertanyaan yang tak tersentuh oleh ilmu-ilmui positif seperti pertanyaan tentang apa siapanya manusia (antropologi). apa siapanya ilmu pengetahuan (epistemologi), apa siapanya alam semesta (kosmologi) dan apa siapanya keberadaan (ontologi).

Lebih dari tiga puluh tahun lalu, Drijarkara mempertanyakan apa ada orang yang mau belajar filsafat di Indonesia? Tiga puluh tahun kemudian, keraguan itu terjawab dengan kenyataan bahwa semakin banyaknya analisis filsafat dipakai dalam memberi penjelasan masalah. Satu dasawarsa terakhir ini semakin banyak orang Indonesia yang menaruh minat terhadap analisis filsafat, terutama kalangan muda. Ada kecenderungan orang memakai disiplin ilmu filsafat untuk mempertajam disiplin ilmu positif (ekonomi, sosiologi, kedokteran dll). Filsafat lebih merupakan metode pendekatan daripada gudang jawaban. Filsafat mau mendidik manusia untuk mendekati masalah-masalah yang dasar yang dihadapinya secara terbuka, sistimatis, kritis dan tak berdasarkan apriori, atau prasangka, dogmatis, dan ideologis, melainkan secara rasional dan argumentatif. Apa yang berkembang kemudian memang tak bisa lepas dari jasa Nicolas Drijarkara untuk menjawab tentang kerinduan adanya pengembangan studi ilmu filsafat. Berkat Drijarkara ilmu filsafat di Indonesia bukan sebagai enklaf milik segelintir orang, melainkan menjadi bagian dari kehidupan manusia. Filsafat yang menjadi hidupnya itu mendorong dia untuk gigih berusaha menyadarkan masyarakat, bahwa filsafat adalah soal kedalaman hidup, hidup yang bernas; dan ke dalaman hidup itu merupakan suatu berlian terpendam yang dmiliki bangsa Indonesia.

Warisan karyanya terserak dalam 31 karangan dan 7 tulisan mengenai Pancasila. Drijakara memang tidak pernah menulis menulis buku dalam arti yang sebenarnya, kecuali disertasinya. Tulisannya yang paling panjang dan dilengkapi dengan catatan-catatan kaki ialah pidato inagurasinya yang diucapkan pada peresmian penerimaan jabatan guru besar luar biasa dalam ilmu filfasat pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada tanggal 30 Juni 1962 dengan judul “Sosialitas sebagai Eksistensial“. Namun tidak seorangpun menyangsikan karangan-karangan Drijarkara mempunyai kadar filosofis yang mantap. Tulisan-tulisan yang ditulis lebih dari tiga puluh tahun masih tetap aktual, orsinal dan mendalam. Tulisan-tulisannya itu merupakan sumbangan penting bagi khanazah pustaka filsafat Indonesia asli modern.

Penggunaan nama Drijarkara pada Sekolah Tinggi Filsafat tersebut bukan berarti bahwa lembaga pendidikan filsafat tersebut didirikan oleh Drijarkara atau karena mengembangkan ajaran-ajarannya. Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara tidak seperti Sekolah Frankfurt di Jerman atau Perguruan Taman Siswa. Drijarkara memang tidak membangun sistem filsafat baru dan memang bukan itu yang diinginkan. Yang ingin disajikan ialah suatu cara berpikir, suatu metode berfilsafat sebagai kegiatan manusia yang hakiki dan terus-menerus. Alasan penggunaan nama Drijarkara bisa ditelusuri pada kata sambutan Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara dalam

Page 21: Onghokham Menimbang Bung Karno

merayakan sewindu berdirinya Sekolah Tinggi Filsafat tersebut. Dalam satu nafas dikemukakan olehnya keprihatinan dasariah seorang yaitu Drijarkara, yang tak henti-hentinya berpikir secara mendalam, kritis, kreatif, menganalisis latar belakang suatu masalah, mengungkapkan pengandaian-pengandaian dasar, melihat implikasi-implikasi lebih lanjut, mengambil sikap terhadap ideologi-ideologi, membentuk penilaian sendiri, dengan tak segan-segan mengumuli masalah-masalah yang pernah direnungkan oleh pemikir-pemikir besar umat manusia, mencoba mendalami apa yang hidup di lingkungan kebudayaan sendiri, berusaha melihat, menghadapi dan mendekati masalah-masalah manusia dan masyarakat di dalam gejolak zaman di mana ia sendiri ikut terlibat dan tidak sekedar sebagai penonton ….itulah yang ingin diteruskan oleh Sekolah Tinggi Filsafat, yang ditandai dengan nama Drijarkara.

Masa Kecil

Nicolas Drijarkara dilahirkan pada tanggal 13 Juni 1913 di daerah pegunungan Menoreh Di desa Kedunggubah, kurang lebih 8 km sebelah timur Purworejo, Kedu, Jawa Tengah. Ia diberi nama Suhirman tetapi biasanya dipanggil Djentu (bahasa Jawa yang berarti berbadan kekar dan gemuk). Dia dilahirkan sebagai anak bungsu dari keluarga Atma Sendjaja. Ia mempunyai seorang kakak laki-laki dan sedangkan kakak yang perempuan ada dua orang .

Sebagai seorang anak yang dibesarkan di tengah kebudayaan Jawa, dia mewarisi sifat halus yang menjadi inti sari kebudayaan masyarakat Jawa. Hal ini tercermin dalam cara bergaul Drijarkara yang sopan, ramah dan akrab, dari cara mengungkapkan gagasan-gagasannya. Cara sedemikian rupa sehingga sekurang-kurangnya tidak ada yang mengeluh. Kedekatannya dengan akar kebudayaannya telah mendorongnya untuk memperdalam pengetahuannya tentang Sastra Klasik Jawa dan menjadi warna dominan dalam pemikiran-pemikian filosofisnya.

Djentu masuk Volksschool tetapi kemudian pindah Vervolgschool di Cangkrep, yang diteruskan dengan Hollands Indlanse School di Purworedjo dan Malang. Dari rumahnya ke Cangkrep jaraknya ada sekitar 5 km, sedangkan ke Purworedjo ada sekitar 8 km. Kesemuanya harus ditempuhnya dengan berjalan kaki. Ketika masih tinggal di desa Djentu sering membantu orang tuanya menyiram tanaman sirih merupakan tanaman pokok di desa Kedunggubah. Wijasendjaya lurah desa Kedunggubah, paman Djentu membantu membiayai sekolahnya.

Page 22: Onghokham Menimbang Bung Karno

Pada tahun l929, Djentu masuk Seminari Menengah, sebuah lembaga pendidikan khusus calon Imam Katolik, setingkat SMP dan SMA atau Gymnasium A. Ketika berada di kelas 4 Seminari Menengah (setingkat dengan kelas 1 SMA), Djentu menciptakan nama majalah seminari “Aquila“ yang berarti “Garuda” yang sekaligus merupakan akronim dari “Augeamus Quam Impensissime Landem Altesoimi “. Tulisan dalam bahasa Latin itu kalau diterjemahkan dalam bahasa Latin kira-kira artinya “Marilah kita sekuat tenaga menambah keluruhan Yang Mahatinggi“. Tahun berikutnya ia memenangkan perlombaan untuk menterjemahkan kata-kata Latin “Salus Vestra Ego Sum“ ke dalam bahasa Jawa. Kata–kata Latin itu diterjemahkan menjadi “Ija Ingsun Karahajonira“ yang berarti “Akulah Keselamatanmu“ sampai sekarang ditulis di bawah patung Hati Kudus di muka gereja Pugeran di Yogyakarta. Pada saat bersamaan ia mengarang sandiwara dalam bahasa Belanda dengan judul “Sutanta “. Naskah sandiwara itu diterima baik oleh guru kesusasteraan bahasa Belanda dan malah pernah dipentaskan. Djentu mengeyam pendidikan di seminari menengah itu selama 6 tahun. Ia selesai pada tahun l935.

Kemudian Drijarkara melanjutkan jenjang pendidikannya ke Novisiat Serikat Yesus di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah. Sebuah tempat penggemblengan dasar bagi seorang yang mau menginternalisasi semangat dan cara hidup serta spiritualitas tarekat Sarekat Yesus. Ia mendalami Ascetika (kehidupan rohani) selama dua tahun dan sisanya satu tahun dihabiskan untuk mempelajari humaniora (bahasa Latin dan Yunani Kuno) sebagai propedeusis untuk filsafat. Setelah tiga tahun berada di sana di Girisonta, Drijarkara dipercayakan sebagai bidel semacam ketua angkatan. Ketika itu Drijakara satu-satunya calon Imam pribumi di tengah enam orang lainnya yang semuanya dari negeri kincir angin itu.

Pada tahun 1939 Drijarkara melanjutkan studi filsafat selama tiga tahun pada Sekolah Tinggi Filsafat (Ignantius College) di Yogyakarta. Setelah menyelesaikan studi filsafat, Driyarkara mengajar bahasa Latin selama 1 tahun. Sekitar tahun l942–l943 Drijarkara belajar lagi untuk memperluas pengetahuan filsafat, agama dan kebudayaan. Selama masa pendudukan Jepang sampai awal-awal proklamasi kemerdekaan (tahun 1946) Drijarkara menjadi dosen filsafat pada Seminari Tinggi, Yogyakarta. Kendati Drijarkara hanya seorang frater Serikat Yesus yang dianggap masih dalam tahap pendidikan sudah mendapat tugas mengajar pada Seminari Tinggi antara tahun l943—l946 untuk mengisi kekosongan karena tenaga-tenaga asing yang ditahan. Kenyataan ini merupakan sebuah pengakuan resmi terhadap kemampuan Drijarkara. Mgr. Leo Soekoto SJ almarhum (Uskup Agung Jakarta) yang menjadi salah satu muridnya, terkesan dengan kebiasaan Drijarkara untuk setiap kali selesai memberi kuliah, Drijarkara menyobek-nyobek bahan yang digunakan untuk mengajar. Dengan demikian Drijarkara selalu didorong untuk berpikir terus dan menyusun kembali gagasan-gagasannya. Dalam persiapan untuk ditabiskan menjadi Imam

Page 23: Onghokham Menimbang Bung Karno

Katolik, Drijarkara banyak belajar teologi sendiri. Pemberian izin pada Drijarkara untuk melakukan studi pribadi dalam teologi, merupakan sesuatu hal yang tidak lazim, meskipun benar juga bahwa ketika itu adalah waktu pancaroba bagi lembaga-lembaga yang gerejani.

Gereja dan Politik

Perang Dunia II terutama Perang Pasifik sangat mempengaruhi renungan–renungan Drijarkara. Sebagai rohaniawan dalam Gereja Katolik di Indonesia yang pada waktu itu masih mengikuti pola-pola pendidikan gaya lama, di mana pandangan-pandangan teologis masih cukup tradisional dan di mana peranan missionaris-missionaris berkebangsaan Belanda masih sangat besar. Drijarkara mengalami pergumulan batin yang tidak selalu mudah. Ia berkeyakinan bahwa seharusnya orang Belanda sudah jenuh dengan situasi lama. Ia mengharapkan agar dari timbul Asia Raya dan Indonesia Raya yang tentram dan sejahtera. Indonesia dibayangkan Drijarkara akan muncul dari perang ini kendati ia tidak mengetahui bagaimana tatanan masyarakat dan sistim pendidikannya. Ia sendiri mengaku banyak berkhayal mengenai hal ini. Pada awal tahun l943 ia membuat catatan yang menyatakan tidaklah jelas siapa yang akan muncul sebagai pemenang dalam Perang Pasifik itu. Drijarkara melihat secara jelas bahwa keseganan orang Timur terhadap orang Belanda telah menjadi pudar untuk selama-lamanya.

Pecahnya Perang Pasifik diawali dengan pengeboman Jepang terhadap Pearl Harbour pada tanggal 7 Desember 1941. Dalam waktu yang sangat singkat Jepang menduduki seluruh Asia Timur dan Asia Tenggara. Di bulan Maret 1942 dalam waktu satu minggu saja Jepang telah menduduki seluruh Jawa, mengusir Belanda dan berhasil mengambil kontrol atas wilayah Hindia Belanda ini. Masa pendudukan Jepang di Indonesia merupakan cobaan bagi Gereja Katolik di Indonesia yang mana ketika itu semua misionaris Katolik Belanda dimasukkan oleh penguasa baru ke dalam kamp-kamp tawanan. Dengan sejumlah pastor pribumi yang tak lebih dari dari sejumlah hitungan jari manusia merupakan tantangan bagi Uskup Agung pertama pribumi Mgr. Soegijopranata SJ untuk memelihara kehidupan jemaah Katolik di wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya. Uskup Agung Semarang ini terkenal gigih dalam

Page 24: Onghokham Menimbang Bung Karno

mempertahankan gambaran bahwa Gereja Katolik Indonesia bukanlah sekedar ‘boneka‘ (para misionaris) Belanda. Kendati tidak selalu berhasil. Mgr. Soegijopranata berusaha kuat mempertahankan harta milik dan bangunan milik misi Katolik yang akan direbut oleh penguasa baru ini. Satu-satunya alasan dan baik yang sering dia pertahankan yaitu bahwa Gereja Katolik adalah sebuah lembaga ‘supra-nasional’. Bahkan dalam membela ‘kepentingan’ Gereja Katolik berhadapan dengan pihak militer Jepang, tidak jarang dia sampai berani mengatakan “Langkahi mayatku dahulu sebelum mengambil alih harta milik Gereja ini “. Nampaknya bahwa pemerintah militer Jepang dalam masa pendudukan Jepang berusaha keras untuk menghentikan terlaksananya pendidikan bagi para pemuda pribumi untuk menjadi Imam.