salinitas air laut klmpk 1.docx
Post on 11-Feb-2015
22 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat
dan rahmat-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Unsur-Unsur Dalam Air Laut Dan Salinitas”. Salam dan salawat kepada junjungan
Nabi Muhammad SAW yang merupakan tauladan bagi kaum muslimin dimuka bumi
ini. Walaupun berbagai macam tantangan yang dihadapi, tapi semua itu telah
memberikan pengalaman yang berharga untuk dijadikan pelajaran dimasa yang
akan datang.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan
akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang
setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari
bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis
harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.
Makassar, 20 Februari 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul…………………………………………………………………………..i
Kata Pengantar…………………………………………………………………………ii
Daftar Isi………………………………………………………………………………...iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………………………………1
B. Rumusan Masalah …………………………………………………………….1
C. Tujuan Penulisan ……………………………………………………………...2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Salinitas Air Laut…………………………………………………4
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Salinitas…………………………….4
C. Sebaran Salinitas Di Laut……………………………………………………6
D. Hubungan Densitas Ikan Dan Salinitas………………………………….10
E. Pengaruh Faktor Salinitas Di Laut Pada Tingkah Laku
Dan Kelimpahan Ikan………………………………………………………..11
F. Penentuan Nilai Salinitas…………………………………………………..15
G. Desalinisasi………………………………………………………………..…16
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………………20
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………..21
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber air terbanyak di bumi ini adalah air laut, namun untuk sampai pada tahap
penggunaan sehari-hari tidak bisa langsung digunakan harus melalui pengolahan terlebih
dahulu, mengingat salinitas air laut sangat tinggi. HYDRO sea water membran dapat
mengubah air laut dengan salinitas tinggi menjadi air tawar untuk penggunaan sehari-hari.
Air laut mengandung 3,5% garam-garaman, gas-gas terlarut, bahan-bahan organik
dan partikel-partikel tak terlarut. Keberadaan garam-garaman mempengaruhi sifat fisis air
laut (seperti: densitas, kompresibilitas, titik beku, dan temperatur dimana densitas menjadi
maksimum) beberapa tingkat, tetapi tidak menentukannya. Beberapa sifat (viskositas, daya
serap cahaya) tidak terpengaruh secara signifikan oleh salinitas. Dua sifat yang sangat
ditentukan oleh jumlah garam di laut (salinitas) adalah daya hantar listrik (konduktivitas) dan
tekanan osmosis.
Garam-garaman utama yang terdapat dalam air laut adalah klorida (55%), natrium
(31%), sulfat (8%), magnesium (4%), kalsium (1%), potasium (1%) dan sisanya (kurang dari
1%) teridiri dari bikarbonat, bromida, asam borak, strontium dan florida. Tiga sumber utama
garam-garaman di laut adalah pelapukan batuan di darat, gas-gas vulkanik dan sirkulasi
lubang-lubang hidrotermal (hydrothermal vents) di laut dalam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Salinitas ?
2.. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi salinitas ?
3. Bagaimana sebaran salinitas dilaut ?
4. Apa dan bagaiman hubungan antara densitas ikan dan salinitas ?
5. Apa pengaruh faktor salinitas di laut pada tingkah laku dan kelimpahan ikan ?
6. Bagaiman cara menentukan nilai salinitas ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Salinitas ?
2.. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi salinitas ?
3. Untuk mengetahui sebaran salinitas dilaut ?
4. Untuk mengetahui hubungan antara densitas ikan dan salinitas ?
7. Untuk mengetahui pengaruh faktor salinitas di laut pada tingkah laku dan kelimpahan ikan ?
8. Untuk mengetahui cara menentukan nilai salinitas ?
9. Untuk mengetahui devenisi desalinisasi
?
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Salinitas
Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air.
Salinitas juga dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah. Kandungan
garam pada sebagian besar danau, sungai, dan saluran air alami sangat kecil
sehingga air di tempat ini dikategorikan sebagai air tawar. Kandungan garam
sebenarnya pada air ini, secara definisi, kurang dari 0,05%. Jika lebih dari itu, air
dikategorikan sebagai air payau atau menjadi saline bila konsentrasinya 3 sampai
5%. Lebih dari 5%, ia disebut brine.
B. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Salinitas
1. Penguapan, makin besar tingkat penguapan air laut di suatu wilayah, maka
salinitasnya tinggi dan sebaliknya pada daerah yang rendah tingkat
penguapan air lautnya, maka daerah itu rendah kadar garamnya.
2. Curah hujan, makin besar/banyak curah hujan di suatu wilayah laut maka
salinitas air laut itu akan rendah dan sebaliknya makin sedikit/kecil curah
hujan yang turun salinitas akan tinggi.
3. Banyak sedikitnya sungai yang bermuara di laut tersebut, makin banyak sungai yang
bermuara ke laut tersebut maka salinitas laut tersebut akan rendah, dan sebaliknya
makin sedikit sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitasnya akan tinggi.
Air laut secara alami merupakan air saline dengan kandungan garam sekitar
3,5%. Beberapa danau garam di daratan dan beberapa lautan memiliki kadar garam
lebih tinggi dari air laut umumnya. Sebagai contoh, Laut Mati memiliki kadar garam
sekitar 30%. Walaupun kebanyakan air laut di dunia memiliki kadar garam sekitar
3,5 %, air laut juga berbeda-beda kandungan garamnya. Yang paling tawar adalah
di timur Teluk Finlandia dan di utara Teluk Bothnia, keduanya bagian dari Laut
Baltik. Yang paling asin adalah di Laut Merah, di mana suhu tinggi dan sirkulasi
terbatas membuat penguapan tinggi dan sedikit masukan air dari sungai-sungai.
Kadar garam di beberapa danau dapat lebih tinggi lagi.
Tabel 1. Salinitas air berdasarkan persentase garam terlarut
Salinitas Air Berdasarkan Persentase Garam Terlarut
Air Tawar Air Payau Air Saline Brine
< 0.05 % 0.05 – 3 % 3 – 5 % > 5 %
Zat terlarut meliputi garam-garam anorganik, senyawa-senyawa organik yang
berasal dari organisme hidup, dan gas-gas yang terlarut. Garam-garaman utama
yang terdapat dalam air laut adalah klorida (55,04%), natrium (30,61%), sulfat
(7,68%), magnesium (3.69%), kalsium (1,16%), kalium (1,10%) dan sisanya (kurang
dari 1%) teridiri dari bikarbonat, bromida, asam borak, strontium dan florida. Tiga
sumber utama dari garam-garaman di laut adalah pelapukan batuan di darat, gas-
gas vulkanik dan sirkulasi lubang-lubang hidrotermal (hydrothermal vents) di laut
dalam. Keberadaan garam-garaman mempengaruhi sifat fisis air laut (seperti:
densitas, kompresibilitas, titik beku, dan temperatur dimana densitas menjadi
maksimum) beberapa tingkat, tetapi tidak menentukannya. Beberapa sifat
(viskositas, daya serap cahaya) tidak terpengaruh secara signifikan oleh salinitas.
Dua sifat yang sangat ditentukan oleh jumlah garam di laut (salinitas) adalah daya
hantar listrik (konduktivitas) dan tekanan osmosis.
Kandungan garam mempunyai pengaruh pada sifat-sifat air laut. Karena
mengandung garam, titik beku air laut menjadi lebih rendah daripada 0 0C (air laut
yang bersalinitas 35 %o titik bekunya -1,9 0C), sementara kerapatannya meningkat
sampai titik beku (kerapatan maksimum air murni terjadi pada suhu 4 0C). Sifat ini
sangat penting sebagai penggerak pertukaran massa air panas dan dingin,
memungkinkan air permukaan yang dingin terbentuk dan tenggelam ke dasar
sementara air dengan suhu yang lebih hangat akan terangkat ke atas. Sedangkan
titik beku dibawah 00 C memungkinkan kolom air laut tidak membeku. Sifat air laut
yang dipengaruhi langsung oleh salinitas adalah konduktivitas dan tekanan osmosis.
Istilah teknik untuk keasinan lautan adalah halinitas, dengan didasarkan
bahwa halida-halida terutama klorida adalah anion yang paling banyak dari elemen-
elemen terlarut. Dalam oseanografi, halinitas biasa dinyatakan bukan dalam persen
tetapi dalam “bagian perseribu” (parts per thousand , ppt) atau permil (‰), kira-kira
sama dengan jumlah gram garam untuk setiap liter larutan.
Sebelum tahun 1978, salinitas atau halinitas dinyatakan sebagai ‰ dengan
didasarkan pada rasio konduktivitas elektrik sampel terhadap “Copenhagen water”,
air laut buatan yang digunakan sebagai standar air laut dunia. Pada 1978,
oseanografer meredifinisikan salinitas dalam Practical Salinity Units (psu, Unit
Salinitas Praktis): rasio konduktivitas sampel air laut terhadap larutan KCL standar.
Rasio tidak memiliki unit, sehingga tidak bisa dinyatakan bahwa 35 psu sama
dengan 35 gram garam per liter larutan.
Tabel 2. Perbedaan kandungan garam dan ion utama antara air laut dan
air sungai
NAMA UNSUR % jumlah berat seluruh gram
AIR LAUT AIR SUNGAI
Klorida 55,04 5,68
Natrium 30,61 5,79
Sulfat 7,68 12,14
Magnesium 3,69 3,41
Kalsium 1,16 20,29
Kalium 1,10 2,12
Bikarbonat 0,41 -
Karbonat - 35,15
Brom 0,19 -
Asam borak 0,07 -
Strontium 0,04 -
Flour 0,00 -
Silika - 11,67
Oksida - 2,75
Nitrat - 0,90
C. Sebaran Salinitas di Laut
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi
air, penguapan, curah hujan, aliran sungai. Perairan estuaria atau daerah sekitar
kuala dapat mempunyai struktur salinitas yang kompleks, karena selain merupakan
pertemuan antara air tawar yang relatif lebih ringan dan air laut yang lebih berat,
juga pengadukan air sangat menentukan.
Pertama adalah perairan dengan stratifikasi salinitas yang sangat kuat, terjadi
di mana air tawar merupakan lapisan yang tipis di permukaan sedangkan di
bawahnya terdapat air laut. Ini bisa ditemukan di depan muara sungai yang
alirannya kuat sedangkan pengaruh pasang-surut kecil. Nelayan atau pelaut di
pantai Sumatra yang dalam keadaan darurat kehabisan air tawar kadang-kadang
masih dapat menyiduk air tawar di lapisan tipis teratas dengan menggunakan piring,
bila berada di depan muara sungai besar.
Kedua, adalah perairan dengan stratifikasi sedang. Ini terjadi karena adanya
gerak pasang-surut yang menyebabkan terjadinya pengadukan pada kolom air
hingga terjadi pertukaran air secara vertikal. Di permukaan, air cenderung mengalir
keluar sedangkan air laut merayap masuk dari bawah. Antara keduanya terjadi
percampuran. Akibatnya garis isohalin (=garis yang menghubungkan salinitas yang
sama) mempunyai arah yang condong ke luar. Keadaan semacam ini juaga bisa
dijumpai di beberapa perairan estuaria di Sumatra.
Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan
pengadukan di lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen kira-kira setebal
50-70 m atau lebih bergantung intensitas pengadukan. Di perairan dangkal, lapisan
homogen ini berlanjut sampai ke dasar. Di lapisan dengan salinitas homogen, suhu
juga biasanya homogen. Baru di bawahnya terdapat lapisan pegat (discontinuity
layer) dengan gradasi densitas yang tajam yang menghambat percampuran antara
lapisan di atas dan di bawahnya.
Di bawah lapisan homogen, sebaran salinitas tidak banyak lagi ditentukan
oleh angin tetapi oleh pola sirkulasi massa air di lapisan massa air di lapisan dalam.
Gerakan massa air ini bisa ditelusuri antara lain dengan mengakji sifat-sifat sebaran
salinitas maksimum dan salinitas minimum dengan metode inti (core layer method).
Salinitas di daerah subpolar (yaitu daerah di atas daerah subtropis hingga
mendekati kutub) rendah di permukaan dan bertambah secara tetap (monotonik)
terhadap kedalaman. Di daerah subtropis (atau semi tropis, yaitu daerah antara
23,5o – 40oLU atau 23,5o – 40oLS), salinitas di permukaan lebih besar daripada di
kedalaman akibat besarnya evaporasi (penguapan). Di kedalaman sekitar 500
sampai 1000 meter harga salinitasnya rendah dan kembali bertambah secara
monotonik terhadap kedalaman. Sementara itu, di daerah tropis salinitas di
permukaan lebih rendah daripada di kedalaman akibatnya tingginya presipitasi
(curah hujan).
1. Dinamika Salinitas di Daerah Estuaria
Estuaria adalah perairan muara sungai semi tertutup yang berhubungan
bebas dengan laut, sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur
dengan air tawar. Estuaria dapat terjadi pada lembah-lembah sungai yang tergenang
air laut, baik karena permukaan laut yang naik (misalnya pada zaman es mencair)
atau pun karena turunnya sebagian daratan oleh sebab-sebab tektonis. Estuaria
juga dapat terbentuk pada muara-muara sungai yang sebagian terlindungi oleh
beting pasir atau lumpur.
Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar akan menghasilkan suatu
komunitas yang khas, dengan lingkungan yang bervariasi, antara lain:
a) Tempat bertemunya arus air tawar dengan arus pasang-surut, yang berlawanan
menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan
ciri-ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya.
b) Pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan
khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut.
c) Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang-surut mengharuskan komunitas
mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya.
d) kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasang-surut air laut, banyaknya
aliran air tawar dan arus-arus lainnya, serta topografi daerah estuaria tersebut.
2. Sifat-sifat Ekologis
Sebagai tempat pertemuan air laut dan air tawar, salinitas di estuaria sangat
bervariasi. Baik menurut lokasinya di estuaria, ataupun menurut waktu.
Secara umum salinitas yang tertinggi berada pada bagian luar, yakni pada batas
wilayah estuaria dengan laut, sementara yang terendah berada pada tempat-tempat
di mana air tawar masuk ke estuaria. Pada garis vertikal, umumnya salinitas di
lapisan atas kolom air lebih rendah daripada salinitas air di lapisan bawahnya. Ini
disebabkan karena air tawar cenderung ‘terapung’ di atas air laut yang lebih berat
oleh kandungan garam. Kondisi ini disebut ‘estuaria positif’ atau ‘estuaria baji garam’
(salt wedge estuary).
Akan tetapi ada pula estuaria yang memiliki kondisi berkebalikan, dan
karenanya dinamai ‘estuaria negatif’. Misalnya pada estuaria-estuaria yang aliran air
tawarnya sangat rendah, seperti di daerah gurun pada musim kemarau. Laju
penguapan air di permukaan, yang lebih tinggi daripada laju masuknya air tawar ke
estuaria, menjadikan air permukaan dekat mulut sungai lebih tinggi kadar garamnya.
Air yang hipersalin itu kemudian tenggelam dan mengalir ke arah laut di bawah
permukaan. Dengan demikian gradien salinitas airnya berbentuk kebalikan daripada
“estuaria positif’’.
Dalam pada itu, dinamika pasang surut air laut sangat mempengaruhi
perubahan-perubahan salinitas dan pola persebarannya di estuaria. Pola ini juga
ditentukan oleh geomorfologi dasar estuaria.
Sementara perubahan-perubahan salinitas di kolom air dapat berlangsung
cepat dan dinamis, salinitas substrat di dasar estuaria berubah dengan sangat
lambat. Substrat estuaria umumnya berupa lumpur atau pasir berlumpur, yang
berasal dari sedimen yang terbawa aliran air, baik dari darat maupun dari laut.
Sebabnya adalah karena pertukaran partikel garam dan air yang terjebak di antara
partikel-partikel sedimen, dengan yang berada pada kolom air di atasnya
berlangsung dengan lamban.
D. Hubungan Densitas Ikan Dengan Salinitas
Salinitas dipengaruhi oleh massa air oseanis di bagian utara hingga bagian
tengah perairan, dan massa air tawar dari daratan yang mempengaruhi massa air di
bagian selatan dan bagian utara dekat pantai. Kondisi ini mempengaruhi densitas
ikan, dan kebanyakan kelompok ikan yang ditemukan dengan densitas tinggi (0,9
ikan/mł) pada daerah bagian selatan dengan salinitas antara 29,36-31,84 %, dan
densitas 0,4 ikan/mł di bagian utara dengan salinitas 29,97-32,59 % . Densitas ikan
tertinggi pada lapisan kedalaman 5-15 m (0,8 ikan/mł) ditemukan pada daerah
dengan salinitas ≥31,5 % yaitu pada bagian utara perairan. Dibagian selatan,
densitas ikan tertinggi sebesar 0,6-0,7 ikan/mł ditemukan pada daerah dengan
salinitas ≤30,0 %. Pola pergeseran nilai salinitas hampir sama di tiap kedalaman,
dengan nilai yang makin bertambah sesuai dengan makin dalam perairan. Pada
lapisan kedalaman 15-25 m, kisaran salinitas meningkat hingga lebih dari 32 %, dan
konsentrasi densitas ikan ditemukan lebih dari 0,4 ikan/mł dengan areal yang lebih
besar pada konsentrasi salinitas ≤31,5 %. Konsentrasi ikan yang ditemukan pada
daerah dengan salinitas ≥32,0 %, yaitu di bagian utara perairan sebesar 0,2-0,3
ikan/mł.
Pada lapisan kedalaman 25-35 m dan 35-45 m dijumpai kisaran salinitas
yang hampir sama yaitu 31,43-32,53 % dan 31,77-32,73 %, dengan distribusi
densitas ikan lebih banyak ditemukan pada daerah dengan salinitas 32,0-32,5 %
yaitu sebesar 0,1-0,8 ikan/mł, dan kelompok ikan dengan densitas lebih kecil dari 0,1
ikan/mł banyakditemukan pada perairan dengan salinitas ≤32,0 %. Pada lapisan
kedalaman 35-45 m, konsentrasi densitas ikan makin berkurang. Densitas tertinggi
di lapisan ini hanya sebesar 0,17 ikan/mł, atau rata-rata densitas ikan yang
ditemukan di bawah 0,1 ikan/mł. Hal ini sesuai dengan ukuran ikan yang terdeteksi,
yang umumnya merupakan ikan-ikan berukuran kecil. Dimana lebih condong
terkonsentrasi pada daerah permukaan dan dekat pantai.
E. Pengaruh Faktor Salinitas Di Laut Pada Tingkah Laku Dan Kelimpahan Ikan.
1. Suhu air laut
Ikan adalah hewan berdarah dingin, yang suhu tubuhnya selalu
menyesuaikan dengan suhu sekitarnya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa ikan
mempunyai kemampuan untuk mengenali dan memilih range suhu tertentu yang
memberikan kesempatan untuk melakukan aktivitas secara maksimum dan pada
akhirnya mempengaruhi kelimpahan dan distribusinya. Pengaruh suhu terhadap ikan
adalah dalam proses vertikall, seperti pertumbuhan dan pengambilan makanan,
aktivitas tubuh, seperti kecepatan renang, serta dalam rangsangan syaraf. Pengaruh
suhu air pada tingkah laku ikan paling jelas terlihat selama pemijahan. Suhu air laut
dapat mempercepat atau memperlambat mulainya pemijahan pada beberapa jenis
ikan. Suhu air dan arus selama dan setelah pemijahan adalah faktor-faktor yang
paling penting yang menentukan “kekuatan keturunan” dan daya tahan larva pada
spesies-spesies ikan yang paling penting secara komersil. Suhu ekstrim pada
daerah pemijahan (spawning ground) selama musim pemijahan dapat memaksa
ikan untuk memijah di daerah lain daripada di daerah tersebut. Perubahan suhu
jangka panjang dapat mempengaruhi perpindahan tempat pemijahan (spawning
ground) dan fishing ground secara vertikal.
Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan hangat karena
mendapat radiasi matahari pada siang hari. Karena pengaruh angin, maka di lapisan
teratas sampai kedalaman kira-kira 50-70 m terjadi pengadukan, hingga di lapisan
tersebut terdapat suhu hangat (sekitar 28°C) yang ertical. Oleh sebab itu lapisan
teratas ini sering pula disebut lapisan vertikal. Karena adanya pengaruh arus dan
pasang surut, lapisan ini bisa menjadi lebih tebal lagi. Di perairan dangkal lapisan
vertikal ini sampai ke dasar. Lapisan permukaan laut yang hangat terpisah dari
lapisan dalam yang dingin oleh lapisan tipis dengan perubahan suhu yang cepat
yang disebut termoklin atau lapisan diskontinuitas suhu. Suhu pada lapisan
permukaan adalah seragam karena percampuran oleh angin dan gelombang
sehingga lapisan ini dikenal sebagai lapisan percampuran (mixed layer). Mixed layer
mendukung kehidupan ikan-ikan pelagis, secara pasif mengapungkan plankton, telur
ikan, dan larva, sementara lapisan air dingin di bawah termoklin mendukung
kehidupan hewan-hewan bentik dan hewan laut dalam.
Pada saat terjadi penaikan massa air (upwelling), lapisan termoklin ini
bergerak ke atas dan gradiennya menjadi tidak terlalu tajam sehingga massa air
yang kaya zat hara dari lapisan dalam naik ke lapisan atas.jangka pendek dari
kedalaman termoklin dipengaruhi oleh pergerakan permukaan, pasang surut, dan
arus. Di bawah lapisan termoklin suhu menurun secara perlahan-lahan dengan
bertambahnya kedalaman.
Kedalaman termoklin di dalam lautan Hindia mencapai 120 meter. Menuju ke
selatan di daerah arus equatorial selatan, kedalaman termoklin mencapai 140 meter.
2. Pengaruh arus
Ikan bereaksi secara langsung terhadap perubahan lingkungan yang
dipengaruhi oleh arus dengan mengarahkan dirinya secara langsung pada arus.
Arus tampak jelas dalam organ mechanoreceptor yang terletak garis mendatar pada
tubuh ikan. Mechanoreceptoradalah reseptor yang ada pada vertikal yang mampu
memberikan informasi perubahan mekanis dalam lingkungan seperti gerakan,
tegangan atau tekanan. Biasanya gerakan ikan selalu mengarah menuju arus.
Fishing ground yang paling baik biasanya terletak pada daerah batas antara dua
arus atau di daerah upwelling dan divergensi. Batas arus (konvergensi dan
divergensi) dan kondisi oseanografi dinamis yang lain (seperti eddies), berfungsi
tidak hanya sebagai perbatasan distribusi lingkungan bagi ikan, tetapi juga
menyebabkan pengumpulan ikan pada kondisi ini. Pengumpulan ikan-ikan yang
penting secara komersil biasanya berada pada tengah-tengah arus eddies.
Akumulasi plankton, telur ikan juga berada di tengah-tengah antisiklon eddies.
Pengumpulan ini bisa berkaitan dengan pengumpulan ikan dewasa dalam arus eddi
(melalui rantai makanan).
3. Pengaruh cahaya
Ikan bersifat fototaktik baik secara positif maupun vertikal. Banyak ikan yang
tertarik pada cahaya buatan pada malam hari, satu fakta yang digunakan dalam
penangkapan ikan. Pengaruh cahaya buatan pada ikan juga dipengaruhi oleh faktor
lingkungan lain dan pada beberapa spesies bervariasi terhadap waktu dalam sehari.
Secara umum, sebagian besar ikan pelagis naik ke permukaan sebelum matahari
terbenam. Setelah matahari terbenam, ikan-ikan ini menyebar pada kolom air, dan
tenggelam ke lapisan lebih dalam setelah matahari terbit. Ikan demersal biasanya
menghabiskan waktu siang hari di dasar selanjutnya naik dan menyebar pada kolom
air pada malam hari.
Cahaya mempengaruhi ikan pada waktu memijah dan pada larva. Jumlah
cahaya yang tersedia dapat mempengaruhi waktu kematangan ikan. Jumlah cahaya
juga mempengaruhi daya hidup larva ikan secara tidak langsung, hal ini diduga
berkaitan dengan jumlah produksi organik yang sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan cahaya. Cahaya juga mempengaruhi tingkah laku larva. Penangkapan
beberapa larva ikan pelagis ditemukan lebih banyak pada malam hari dibandingkan
pada siang hari.
4. Upwelling
Upwelling adalah penaikan massa air laut dari suatu lapisan dalam ke lapisan
permukaan. Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas
tinggi, dan zat-zat hara yang vertikal permukaan. Proses upwelling ini dapat terjadi
dalam tiga bentuk.
Pertama, pada waktu arus dalam (deep current) bertemu dengan rintangan
seperti mid-ocean ridge (suatu sistem ridge bagian tengah lautan) di mana arus
tersebut dibelokkan ke atas dan selanjutnya air mengalir deras ke permukaan.
Kedua, ketika dua massa air bergerak berdampingan, misalnya saat massa
air yang di utara di bawah pengaruh gaya coriolis dan massa air di selatan ekuator
bergerak ke selatan di bawah pengaruh gaya coriolis juga, keadaan tersebut akan
menimbulkan “ruang kosong” pada lapisan di bawahnya. Kedalaman di mana massa
air itu naik tergantung pada jumlah massa air permukaan yang bergerak ke sisi
ruang kosong tersebut dengan kecepatan arusnya. Hal ini terjadi karena adanya
divergensi pada perairan laut tersebut.
Ketiga, upwelling dapat pula disebabkan oleh arus yang menjauhi pantai
akibat tiupan angin darat yang terus-menerus selama beberapa waktu. Arus ini
membawa massa air permukaan pantai ke laut lepas yang mengakibatkan ruang
kosong di daerah pantai yang kemudian diisi dengan massa air di bawahnya.
Meningkatnya produksi perikanan di suatu perairan dapat disebabkan karena
terjadinya proses air naik (upwelling). Karena gerakan air naik ini membawa serta air
yang suhunya lebih dingin, salinitas yang tinggi dan tak kalah pentingnya zat-zat
hara yang kaya seperti fosfat dan nitrat naik ke permukaan. Selain itu proses air naik
tersebut disertai dengan produksi plankton yang tinggi.
Di perairan Selat Makasar bagian selatan diketahui terjadi upwelling. Proses
terjadinya upwelling tersebut disebabkan karena pertemuan arus dari Selat Makasar
dan Laut Flores bergabung kuat menjadi satu dan mengalir kuat ke barat menuju
Laut Jawa. Dengan kondisi demikian dimungkinkan massa air di permukaan di dekat
pantai Ujung Pandang secara cepat terseret oleh aliran tersebut dan untuk
menggantikannya massa air dari lapisan bawah naik ke atas. Proses air naik di Selat
Makasar bagian selatan ini terjadi sekitar Juni sampai September dan berkaitan erat
dengan sistem arus. Air laut di lapisan permukaan umumnya mempunyai suhu
tinggi, salinitas, dan kandungan zat hara yang rendah. Sebaliknya pada lapisan yang
lebih dalam air laut mempunyai suhu yang rendah, salinitas, dan kandungan zat
hara yang lebih tinggi.
Pada waktu terjadinya upwelling, akan terangkat massa air dari lapisan
bawah dengan suhu rendah, salinitas, dan kandungan zat hara yang tinggi.
Keadaan ini mengakibatkan air laut di lapisan permukaan memiliki suhu rendah,
salinitas, dan kandungan zat hara yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan massa
air laut sebelum terjadinya proses upwelling ataupun massa air sekitarnya. Sebaran
suhu, salinitas, dan zat hara secara vertical maupun horizontal sangat membantu
dalam menduga kemungkinan terjadinya upwelling di suatu perairan. Pola-pola
sebaran oseanografi tersebut digunakan untuk mengetahui jarak vertikal yang
ditempuh oleh massa air yang terangkat. Sebaran suhu permukaan laut merupakan
salah satu parameter yang dapat dipergunakan untuk mengetahui terjadinya proses
upwelling di suatu perairan.
Dalam proses upwelling ini terjadi penurunan suhu permukaan laut dan
tingginya kandungan zat hara dibandingkan daerah sekitarnya. Tingginya kadar zat
hara tersebut merangsang perkembangan fitoplankton di permukaan. Karena
perkembangan fitoplankton sangat erat kaitannya dengan tingkat kesuburan
perairan, maka proses air naik selalu dihubungkan dengan meningkatnya
produktivitas primer di suatu perairan dan selalu diikuti dengan meningkatnya
populasi ikan di perairan tersebut. Upwelling di perairan Indonesia dijumpai di Laut
Banda, Laut Arafura, selatan Jawa hingga selatan Sumbawa, Selat Makasar, Selat
Bali, dan diduga terjadi di Laut Maluku, Laut Halmahera, Barat Sumatra, serta di
Laut Flores dan Teluk Bone. Upwelling berskala besar terjadi di selatan Jawa,
sedangkan berskala kecil terjadi di Selat Bali dan Selat Makasar. Upwelling di
perairan Indonesia bersifat musiman terjadi pada Musim Timur (Mei-September), hal
ini menunjukan adanya hubungan yang erat antara upwelling dan musim.
F. Penentuan Nilai Salinitas
Ciri yang paling khas pada air laut yang diketahui oleh semua orang adalah
rasanya yang asin. Ini disebabkan karena di dalam air laut terlarut bermacam-
macam garam, yang paling utama adalah garam natrium korida (NaCl) yang sering
pula disebut garam dapur. Selain garam-garam korida, di dalam air laut terdapat
pula garam-garam magnesium, kalsium, kalium dan sebagainya. Dalam literatur
oseanologi dikenal istilah salinitas (acapkali pula disebut kadar garam atau
kegaraman) yang maksudnya ialah jumlah berat semua garam (dalam garam) yang
terlarutdalam satu liter air, biasanya dinyatakan dengan satuan 0/00 (per mil, gram per
liter).
Ada berbagai cara menentukan salinitas, baik secara kimia maupun fisika.
Secara kimia untuk menentukan nilai salinitas dilakukan dengan cara menghitung
jumlah kadar klor dalam sample air laut. Hal ini dilakukan karena sangat susah untuk
menentukan salinitas senyawa terlarut secara keseluruhan. Oleh sebab itu hanya
dilakukan peninjauan pada komponen terbesar yaitu klorida (Cl). Kandungan klorida
ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah dalam gram ion klorida pada satu
kilogram air laut jika semua halogen digantikan oleh klorida. Penetapan ini
mencerminkan proses kimiawi titrasi untuk menentukan kandungan klorida.
Salinitas ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah total dalam gram bahan-
bahan terlarut dalam satu kilogram air laut jika semua karbonat dirubah menjadi
oksida, semua bromida dan yodium dirubah menjadi klorida dan semua bahan-
bahan organik dioksidasi. Selanjutnya hubungan antara salinitas dan klorida
ditentukan melalui suatu rangkaian pengukuran dasar laboratorium berdasarkan
pada sampel air laut di seluruh dunia dan dinyatakan sebagai: S (o/oo) = 0.03
+1.805 Cl (o/oo) (1902) Lambang o/oo (dibaca per mil) adalah bagian per seribu.
Kandungan garam 3,5% sebanding dengan 35o/oo atau 35 gram garam di dalam
satu kilogram air laut. Persamaan tahun 1902 di atas akan memberikan harga
salinitas sebesar 0,03o/oo jika klorinitas sama dengan nol dan hal ini sangat menarik
perhatian dan menunjukkan adanya masalah dalam sampel air yang digunakan
untuk pengukuran laboratorium. Oleh karena itu, pada tahun 1969 UNESCO
memutuskan untuk mengulang kembali penentuan dasar hubungan antara klorinitas
dan salinitas dan memperkenalkan definisi baru yang dikenal sebagai salinitas
absolut dengan rumus: S (o/oo) = 1.80655 Cl (o/oo) (1969) Namun demikian, dari
hasil pengulangan definisi ini ternyata didapatkan hasil yang sama dengan definisi
sebelumnya.
Definisi salinitas ditinjau kembali ketika tekhnik untuk menentukan salinitas
dari pengukuran konduktivitas, temperatur dan tekanan dikembangkan. Sejak tahun
1978, didefinisikan suatu satuan baru yaitu Practical Salinity Scale (Skala Salinitas
Praktis) dengan simbol S, sebagai rasio dari konduktivitas. “Salinitas praktis dari
suatu sampel air laut ditetapkan sebagai rasio dari konduktivitas listrik (K) sampel air
laut pada temperatur 15oC dan tekanan satu standar atmosfer terhadap larutan
kalium klorida (KCl), dimana bagian massa KCl adalah 0,0324356 pada temperatur
dan tekanan yang sama. Rumus dari definisi ini adalah: S = 0.0080 – 0.1692 K1/2 +
25.3853 K + 14.0941 K3/2 – 7.0261 K2 + 2.7081 K5/2 Sebagai catatan: dari
penggunaan definisi baru ini, dimana salinitas dinyatakan sebagai rasio, maka
satuan o/oo tidak lagi berlaku, nilai 35o/oo berkaitan dengan nilai 35 dalam satuan
praktis. Beberapa oseanografer menggunakan satuan “psu” dalam menuliskan
harga salinitas, yang merupakan singkatan dari “practical salinity unit”. Karena
salinitas praktis adalah rasio, maka sebenarnya ia tidak memiliki satuan, jadi
penggunaan satuan “psu” sebenarnya tidak mengandung makna apapun dan tidak
diperlukan.
Kemudian untuk menghitung nilai salinitas secara fisik adalah ini untuk
menentukan salinitas melalui konduktivitas air laut. Alat-alat elektronik canggih
menggunakan prinsip konduktivitas. Salah satu alat yang paling popular untuk
mengukur salinitas dengan ketelitian tinggi ialah salinometer yang bekerjanya
didasarkan pada daya hantar listrik. Makin besar salinitas, makin besar pula daya
hantar listriknya. Selain itu telah pula dikembangkan pula alat STD (salinity-
temperature-depth recorder) yang apabila diturunkan ke dalam laut dapat dengan
otomatis membuat kurva salinitas dan suhu terhadap kedalaman di lokasi tersebut.
G. Desalinisasi
Desalinasi adalah proses pemisahan yang digunakan untuk mengurangi
kandungan garam terlarut dari air garam hingga level tertentu sehingga air dapat
digunakan. Proses desalinasi melibatkan tiga aliran cairan, yaitu umpan berupa air
garam (misalnya air laut), produk bersalinitas rendah, dan konsentrat bersalinitas
tinggi. Produk proses desalinasi umumnya merupakan air dengan kandungan garam
terlarut kurang dari 500 mg/l, yang dapat digunakan untuk keperluan domestik,
industri, dan pertanian. Hasil sampingan dari proses desalinasi adalah brine. Brine
adalah larutan garam berkonsentrasi tinggi (lebih dari 35000 mg/l garam terlarut).
Distilasi merupakan metode desalinasi yang paling lama dan paling umum
digunakan. Distilasi adalah metode pemisahan dengan cara memanaskan air laut
untuk menghasilkan uap air, yang selanjutnya dikondensasi untuk menghasilkan air
bersih. Berbagai macam proses distilasi yang umum digunakan, seperti multistage
flash, multiple effect distillation, dan vapor compression umumnya menggunakan
prinsip mengurangi tekanan uap dari air agar pendidihan dapat terjadi pada
temperatur yang lebih rendah, tanpa menggunakan panas tambahan.
Metode lain desalinasi adalah dengan menggunakan membran. Terdapat dua
tipe membran yang dapat digunakan untuk proses desalinasi, yaitu reverse osmosis
(RO) dan electrodialysis (ED). Pada proses desalinasi menggunakan membran RO,
ialah sebuah istilah teknologi yang berasal dari osmosis. Osmosis adalah sebuah
fenomena alam dalam sel hidup di mana molekul “solvent” (biasanya air) akan
mengalir dari daerah “solute” rendah ke daerah “solute” tinggi melalui sebuah
membran “semipermeable”. Membran “semipermeable” ini menunjuk ke membran
sel atau membran apa pun yang memiliki struktur yang mirip atau bagian dari
membran sel. Gerakan dari “solvent” berlanjut sampai sebuah konsentrasi yang
seimbang tercapai di kedua sisi membrane. Reverse osmosis dapat diartikan proses
pemaksaan sebuah solvent dari daerah konsentrasi “solute” tinggi melalui sebuah
membran ke sebuah daerah “solute” rendah dengan menggunakan sebuah tekanan
melebihi tekanan osmotik.
Dalam istilah lebih mudah, reverse osmosis adalah mendorong sebuah solusi
melalui filter yang menangkap “solute” dari satu sisi dan membiarkan pendapatan
“solvent” murni dari sisi satunya. air pada larutan garam dipisahkan dari garam
terlarutnya dengan mengalirkannya melalui membran water-permeable. Permeate
dapat mengalir melalui membran akibat adanya perbedaan tekanan yang diciptakan
antara umpan bertekanan dan produk, yang memiliki tekanan dekat dengan tekanan
atmosfer. Sisa umpan selanjutnya akan terus mengalir melalui sisi reaktor
bertekanan sebagai brine. Proses ini tidak melalui tahap pemanasan ataupun
perubahan fasa. Kebutuhan energi utama adalah untuk memberi tekanan pada air
umpan. Desalinasi air payau membutuhkan tekanan operasi berkisar antara 250
hingga 400 psi, sedangkan desalinasi air laut memiliki kisaran tekanan operasi
antara 800 hingga 1000 psi.
Dalam praktiknya, umpan dipompa ke dalam container tertutup, pada
membran, untuk meningkatkan tekanan. Saat produk berupa air bersih dapat
mengalir melalui membran, sisa umpan dan larutan brine menjadi semakin
terkonsentrasi. Untuk mengurangi konsentrasi garam terlarut pada larutan sisa,
sebagian larutan terkonsentrasi ini diambil dari container untuk mencegah
konsentrasi garam terus meningkat.
Sistem RO terdiri dari 4 proses utama, yaitu:
1. Pretreatment: Air umpan pada tahap pretreatment disesuaikan dengan membran
dengan cara memisahkan padatan tersuspensi, menyesuaikan pH, dan
menambahkan inhibitor untuk mengontrol scaling yang dapat disebabkan oleh
senyawa tetentu, seperti kalsium sulfat.
2. Pressurization: Pompa akan meningkatkan tekanan dari umpan yang sudah melalui
proses pretreatment hingga tekanan operasi yang sesuai dengan membran dan
salinitas air umpan.
3. Separation: Membran permeable akan menghalangi aliran garam terlarut, sementara
membran akan memperbolehkan air produk terdesalinasi melewatinya. Efek
permeabilitas membran ini akan menyebabkan terdapatnya dua aliran, yaitu aliran
produk air bersih, dan aliran brine terkonsentrasi. Karena tidak ada membran yang
sempurna pada proses pemisahan ini, sedikit garam dapat mengalir melewati
membran dan tersisa pada air produk. Membran RO memiliki berbagai jenis
konfigurasi, antara lain spiral wound dan hollow fine fiber membranes.
4. Stabilization: Air produk hasil pemisahan dengan membran biasanya membutuhkan
penyesuaian pH sebelum dialirkan ke sistem distribusi untuk dapat digunakan
sebagai air minum. Produk mengalir melalui kolom aerasi dimana pH akan
ditingkatkan dari sekitar 5 hingga mendekati 7.
Dua metode yang paling banyak digunakan adalah Reverse Osmosis
(47,2%) ialah sebuah istilah teknologi yang berasal dari osmosis. Osmosis adalah
sebuah fenomena alam dalm sel hidup di mana molekul “solvent” (biasanya air)
akan mengalir dari daerah “solute” rendah ke daerah “solute” tinggi melalui sebuah
membran “semipermeable”. Membran “semipermeable” ini menunjuk ke membran
sel atau membran apa pun yang memiliki struktur yang mirip atau bagian dari
membran sel. Gerakan dari “solvent” berlanjut sampai sebuah konsentrasi yang
seimbang tercapai di kedua sisi membrane. Reverse osmosis dapat diartikan proses
pemaksaan sebuah solvent dari daerah konsentrasi “solute” tinggi melalui sebuah
membran ke sebuah daerah “solute” rendah dengan menggunakan sebuah tekanan
melebihi tekanan osmotik. Dalam istilah lebih mudah, reverse osmosis adalah
mendorong sebuah solusi melalui filter yang menangkap “solute” dari satu sisi dan
membiarkan pendapatan “solvent” murni dari sisi satunya. Proses ini telah
digunakan untuk mengolah air laut untuk mendapatkan air tawar, sejak awal 1970-
an
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah “Unsur-Unsur Dalam Air Laut dan Salinitas”
yaitu :
1. Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi salinitas :
a. Penguapan
b. Curah hujan
c. Banyak sedikitnya sungai yang bermuara dilaut
3. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi
air, penguapan, curah hujan, aliran sungai.
4. Model Salinitas adalah suatu penggambaran atas kadar garam yang terdapat
pada air, baik kandungan atau perbedaannya sehingga untuk tiap daerah
dimungkinkan terdapat perbedaan ”model salinitas”nya.
5. Pengaruh Faktor Salinitas Di Laut Pada Tingkah Laku Dan Kelimpahan Ikan:
a. Suhu air laut
b. Pengaruh arus
c. Pengaruh cahaya
d. upwelling
6. Ada berbagai cara menentukan salinitas, baik secara kimia maupun fisika.
Secara kimia untuk menentukan nilai salinitas dilakukan dengan cara
menghitung jumlah kadar klor dalam sample air laut. Hal ini dilakukan karena
sangat susah untuk menentukan salinitas senyawa terlarut secara
keseluruhan.
7. Desalinasi adalah proses pemisahan yang digunakan untuk mengurangi
kandungan garam terlarut dari air garam hingga level tertentu sehingga air
dapat digunakan. Proses desalinasi melibatkan tiga aliran cairan, yaitu umpan
berupa air garam (misalnya air laut), produk bersalinitas rendah, dan
konsentrat bersalinitas tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.gewater.com/what_we_do/water_scarcity/desalination.jsp
http://www.oas.org/dsd/publications/Unit/oea59e/ch20.htm#TopOfPage
Nontji, A. , 2007. LAUT NUSANTARA. Jakarta : Djambatan.
Romimohtarto, K. dan Juwana, S. 2007. BIOLOGI LAUT : Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Jakarta : Djambatan.
www.oseanografi.blogspot.com/200/07/salinitas-air-laut.html
www.wikipedia.com
top related